Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Referat
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
SINUSITIS PARANASAL
Disusun oleh : Salwah Nur
(1510029022)
Zuniva Andan P.B
(1510029010)
Pembimbing dr. Moriko Pratiningrum, Sp. THT-KL
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik SMF/Laboratorium Telinga Hidung Tenggorok Program Studi Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2016
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Sinusitis Paranasal”. Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada : 1. dr. Moriko Pratiningrum, Sp. THT-KL, sebagai dosen pembimbing klinik selama stase THT. 2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga pendidikan saat ini. 3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2015 yang telah bersedia memberikan saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis. 4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis. Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Desember, 2016
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..............................................................................................
1
KATA PENGANTAR ............................................................................................
2
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
3
BAB 1 PENDAHULUAN .....................................................................................
4
1.1. Latar Belakang ...........................................................................................
4
1.2. Tujuan ........................................................................................................
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
5
2.1.Anatomi Hidung ...........................................................................................
5
2.2. Anatomi Sinus Paranasal.............................................................................
8
2.3 Fisiologi Sinus Paranasal.. ........................................................................... 12 2.4.Sinusitis ........................................................................................................ 13 2.4.1 Definisi .............................................................................................. 13 2.4.2 Epidemiologi ..................................................................................... 14 2.4.3 Klasifikasi ......................................................................................... 14 2.4.4 Etiologi.. ............................................................................................ 15 2.4.5 Patofisiologi ...................................................................................... 16 2.4.6 Gejala Klinis...................................................................................... 17 2.4.7 Diagnosis ........................................................................................... 19 2.4.8 Penatalaksanaan ................................................................................ 29 2.4.9 Komplikasi ........................................................................................ 32 2.4.10 Prognosis ......................................................................................... 38 BAB 3 PENUTUP.. ................................................................................................. 39 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 40
3
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal. Definisi lain menyebutkan, sinusitis adalah inflamasi dan pembengkakan membran mukosa sinus disertai nyeri lokal. Sesuai anatomisinus yang terkena dapat dibagi menjadi sinusitis maxilla, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai semua sinus disebut sinusitis paranasal. Penyebab utama ialah infeksi virus yyang kemudian diikuti oleh infeksi sekunder dari bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus maksilla. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari. Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena hal diatas. Terapi antibiotik diberikan pada awal dan jika telah terjadi hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka diperlukan tindakan operasi.
1.2 Tujuan Tujuan dibuatnya referat ini adalah agar dokter muda mengetahui definisi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi sinusitis paranasal. Dan diharapkan juga, dengan membuat laporan kasus ini dapat menambah wawasan pengetahuan baik bagi penulis maupun teman-teman sejawat lainnya.
4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Hidung Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk, terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas dari akar hidung di wajah ke puncaknya (ujung hidung). Pada permukaan inferior terdapat dua lubang, yakni nares anterior yang terpisah satu dari yang lain oleh septum nasi. Septum nasi ini yang untuk sebagian berupa tulang dan untuk sebagian berupa tulang rawan, membagi kavum nasi menjadi dua rongga kanan dan kiri (Moore, 2002). Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi dan tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise (Soetjipto, 2001). Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan superior. Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling bawah, konka media yang lebih kecil, konka superior yang lebih kecil lagi, dan konka suprema adalah yang terkecil (Soetjipto, 2001). Konka nasalis superior, konka nasalis media, dan konka nasalis inferior membagi kavum nasi menjadi empat lorong : meatus nasalis superior, meatus nasalis medius, meatus nasalis inferior, dan hiatus semilunaris (Moore, 2002). Meatus nasalis superior adalah sebuah lorong yang sempit antara konka nasalis superior dan konka nasalis media dan merupakan tempat bermuaranya sinus etmoidalis superior melalui satu atau lebih lubang (Moore, 2002). Meatus nasalis medius berukuran lebih panjang dan lebih luas daripada meatus nasalis superior. Bagian anterosuperior meatus nasalis ini berhubungan dengan sebuah lubang yang berukuran seperti corong, yakni infundibulum yang merupakan jalan pengantar kedalam sinus frontalis. Hubungan masing-masing sinus frontalis ke infundibulum terjadi melalui duktus frontonasalis. Sinus maksilaris juga bermuara ke dalam meatus nasalis medius (Moore, 2002).
5
Meatus nasalis inferior adalah sebuah lorong horizontal yang terletak inferolateral terhadap konka nasalis inferior. Duktus nasolakrimalis bermuara dibagian anterior meatus nasalis inferior (Moore, 2002). Hiatus semilunaris adalah sebuah alur yang berbentuk setengah lingkaran dan merupakan muara sinus frontalis. Bulla etmoidalis adalah sebuah tonjolan yang membuat di sebelah superior hiatus semilunaris, dan baru terlihat setelah konka nasalis media disingkirkan. Bulla etmoidalis ini dibentuk oleh cellulae ethmoidales tengah yang membentuk sinus etmoidalis (Moore, 2002). Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoidalis dan bagian posterior dibentuk oleh os vomer. Bagian tulang rawan yaitu kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar dilapisi mukosa hidung (Snell, 2006; Soetjipto, 2001). Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os maksilaris dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior atau atap hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoidalis, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoidalis (Snell, 2006; Soetjipto, 2001). Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoidalis anterior dan posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris interna, yaitu ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Bagian
depan
septum
terdapat
anastomosis
dari
cabang-cabang
arteri
sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena-vena ini membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Drainase vena terutama
6
melalui vena oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina (Soetjipto, 2001; Snell, 2006). Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM). KOM adalah bagian dari sinus etmoid anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila (Hwang, 2009; Kennedy et al, 2003; Kamel, 2002). Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung, melekat di anterosuperior pada pinggir tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior. Prosesus unsinatus membentuk dinding medial dari infundibulum (Kennedy et al, 2003; Nizar, 2000; Stammberger et al, 1993). Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel udara etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior. Bula etmoid dapat membengkak sangat besar sehingga menekan infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus maksila (Kennedy et al, 2003; Kamel, 2002; Stammberger et al, 1993). Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh bula etmoid, dan pada bagian posteroinferolateralnya terdapat ostium alami sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior (Nizar, 2000; Stammberger et al, 1993). Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-sel etmoid anterior. Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan patokan anatomi untuk operasi sinus frontal. Dengan membuka sel ini akan memberi jalan menuju resesus frontal (Shankar et al, 2001; Mangunkusumo, 2000).
7
Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus media dan merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media atau melalui infundibulum etmoid menuju kavum nasi (Browning, 2007; Mangunkusumo, 2000; Stammberger et al, 1993). Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media, sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus posterior dan bermuara di meatus superior (Walsh et al, 2006).
2.2. Anatomi Sinus Paranasal 2.2.1. Sinus Maksilaris Pada waktu lahir sinus maksilaris berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Pada awalnya dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung, kemudian terus mengalami penurunan, sehingga pada usia delapan tahun menjadi
8
sama tinggi. Perkembangannya berjalan kearah bawah dan membentuk sempurna setelah erupsi gigi permanen. Ukuran rata-rata pada bayi yang baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan pada usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm dan isinya kira-kira 15 ml. (Ballenger, 2004) Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksilaris terletak di dalam korpus maksilaris dan sinus ini berbentuk piramid. Dinding anterior sinus yaitu permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superior adalah dasar orbita, dan dinding inferior yaitu prosesus alveolaris dan palatum (Soetjipto, 2001). Sinus maksilaris bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris. Karena sinus etmoidalis anterior dan sinus frontalis bermuara ke infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan penyebaran infeksi dari sinus-sinus ini ke sinus maksilaris adalah besar (Snell, 2006). Membrana mukosa sinus maksilaris dipersarafi oleh nervus alveolaris superior dan nervus infraorbitalis (Snell, 2006). Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: 1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis 2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita 3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit (Walsh et al, 2006). Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami sinus maksila yang terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksila biasanya berbentuk celah oblik dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus dan bula etmoid. Sisi anterior dan posterior dari ostium sinus maksila adalah fontanel dan terletak di sebelah inferior lamina papirasea. Sinus maksila dapat
9
ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit ke atas konka inferior dan didekat fontanel posterior (Nizar, 2000).
Gambar 2.1. Anatomi Sinus Paranasal (Hwang PH, 2009).
2.2.2. Sinus Frontalis Bentuk dan ukuran sinus frontalis sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata sinus frontalis yaitu tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm dan isi rata-rata 6-7 ml. Dinding depan sinus frontalis hampir selalu diploik, terutama pada bagian luar atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding anterior dan posterior (Benninger et al, 2003). Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadangkadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus (Hilger, 2013).
10
Gambar 2.2 Dinding lateral tanpa konka. Muara sinus paranasal, demikian pula duktus lakrimalis dapat terlihat membuka pada meatus yang bersesuaian.
2.2.3. Sinus Sfenoidalis Sinus sfenoidalis terletak di dalam korpus os sfenoidalis di belakang sinus etmoidalis posterior. Sinus sfenoidalis dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoidalis. Batas-batas sinus ini adalah bagian superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofise, sebelah inferior adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna, dan di sebelah posterior berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Soetjipto, 2001).
2.2.4. Sinus Etmoidalis Sinus etmoidalis terdapat di dalam os etmoidalis, di antara konka media dan dinding medial orbita. Sinus etmoidalis terdiri dari sel-sel yang jumlahnya bervariasi. Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga infeksi dengan mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoidalis dibagi menjadi sinus etmoidalis anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoidalis posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoidalis anterior biasanya kecil dan banyak, terletak di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral
11
(lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoidalis posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Snell, 2006; Soetjipto, 2001). Di bagian terdepan sinus etmoidalis anterior terdapat bagian sempit yang disebut resesus frontalis, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Sel etmoidalis yang terbesar disebut bula etmoidalis. Pada daerah etmoidalis anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuara ostium sinus maksilaris.
Pembengkakan
atau
peradangan
di
resesus
frontalis
dapat
menyebabkan sinusitis frontalis dan bila di infundibulum menyebabkan sinusitis maksilaris. Membrana mukosa dipersarfi oleh nervus etmoidalis anterior dan posterior (Soetjipto, 2001; Snell, 2006).
2.3. Fisiologi Sinus Paranasal 2.3.1. Sistem Mukosiliar Sistem mukosiliar akan menjaga agar saluran napas atas selalu bersih dan sehat dengan mengalirkan keluar partikel debu, bakteri, virus, alergen, toksin dan lain-lain yang terperangkap pada lapisan mukus ke arah nasofaring. Silia memiliki gerakan-gerakan teratur, bersama palut lendir akan mendorong partikel-partikel asing dan bakteri yang terhirup ke rongga hidung menuju nasofaring dan orofaring. Partikel-partikel asing tersebut selanjutnya akan ditelan dan dihancurkan di lambung dengan demikian mukosa saluran napas mempunyai kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri (Cohen, 2006). Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakkan lapisan tersebut. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung yang tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi gerak silia kira-kira 3:1, sehingga gerakannya seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves) dengan arah yang sama pada satu area. Gerak silia mempunyai frekuensi denyut (ciliary beat frequency) sebesar 1000 getaran per menit (Hwang PH, 2009).
12
Keberhasilan sistem mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal pada hidung dan sinus paranasal bergantung kepada transportasi mukosiliar yang dikenal sebagai bersihan mukosiliar. Bersihan mukosiliar yang baik akan mencegah terjadinya infeksi di dalam hidung dan sinus paranasal. Bersihan mukosiliar ditentukan oleh keadaan silia, palut lendir dan interaksi antara keduanya. Daya pembersih mukosiliar dapat berkurang akibat perubahan komposisi palut lendir, aktivitas silia, peningkatan sel-sel infeksi, perubahan histopatologi sel hidung, hambatan sel sekresi atau obstruksi anatomi (Cohen, 2006).
2.3.2. Fungsi Sinus Paranasal Beberapa teori mengemukakan, fungsi sinus paranasal yaitu: (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara, dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung (Soetjipto, 2001). Penelitian yang paling terbaru pada fungsi sinus berfokus pada molekul nitrat oksida (NO). Studi menunjukkan bahwa produksi nitrat oksida sinus intranasal adalah secara primer pada sinus. Telah diketahui bahwa nitrat oksida beracun pada bakteri, jamur, dan virus pada tingkatan sama rendah 100ppb. Konsentrasi dari unsur ini dapat menjangkau 30.000 ppb dimana beberapa peneliti sudah berteori tentang mekanisme dari sterilisasi sinus. Nitrat oksida juga meningkatkan pergerakan silia (Angraini, 2005).
2.4 Sinusitis 2.4.1 Definisi Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan sinus paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur (Soetjipto, 2001). Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi)
13
dan sinus sphenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang dapat berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis (Soetjipto, 2001).
2.4.2
Epidemiologi Sinusitis adalah penyakit yang benyak ditemukan di seluruh dunia,
terutama di tempat dengan polusi udara tinggi. Iklim yang lembab, dingin, dengan konsentrasi pollen yang tinggi terkait dengan prevalensi yang lebih tinggi dari sinusitis. Sinusitis maksilaris adalah sinusitis dengan insiden yang terbesar. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Di Amerika Serikat, lebih dari 30 juta orang menderita sinusitis. Virus adalah penyebab sinusitis akut yang paling umum ditemukan. Namun, sinusitis bakterial adalah diagnosis terbanyak kelima pada pasien dengan pemberian antibiotik. Lima milyar dolar dihabiskan setiap tahunnya untuk pengobatan medis sinusitis, dan 60 milyar lainnya dihabiskan untuk pengobatan operatif sinusitis di Amerika Serikat. Pada tahun 2009, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit melaporkan bahwa hampir 31 juta orang dewasa didiagnosis dengan sinusitis. Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat.
2.4.3
Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi atas (Hilger, 2013): 1) Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai 4 minggu, 2) Sinusitis subakut, bila infeksi antara 4 minggu sampai 3 bulan, 3) Sinusitis kronik, bila infeksi sudah lebih dari 3 bulan Berdasarkan letaknya, sinusitis terbagi atas (Hilger, 2013):
14
1) Sinusitis maksilaris 2) Sinusitis etmoidalis 3) Sinusitis frontalis 4) Sinusitis sphenoidalis Sedangkan berdasarkan penyebabnya, sinusitis dibagi atas: a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu
yang
menyebabkan
sumbatan
pada
hidung
dapat
menyebabkan sinusitis. Contohnya rhinitis akut (influenza), polip, dan septum deviasi b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar dan molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae,
Hemophilus
influenza,
Steptococcusviridans,
Staphylococcus aureus, Branchamella catarhatis
2.4.4
Etiologi
1) Sinusitis akut Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri atau jamur. Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran pernafasan atas. Bakteri penyebab sinusitis akut tersering ialah Streptococcus pneumonia, dapat juga Haemofillus influenzae, Staphilococcus aureus yang ditemukan pada 70% kasus (Hilger, 2013) Dapat pula disebabkan rinitis akut : infeksi faring, seperti faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut; infeksi gigi molar M1, M2, M3 atas, serta premolar P1, P2; berenang dan menyelam; trauma langsung yang dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal; dan barotrauma serta adanya faktor predisposisi antara lain (Hilger, 2013):
Obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, benda asing di hidung, tumor dan polip.
Rinitis kronik dan rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus.
15
Lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering yang dapat menyebabkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia.
2) Sinusitis subakut Etiologi dan faktor predisposisi kurang lebih sama dengan sinusitis akut, hanya tanda-tanda radang akutnya sudah reda (Hilger, 2013). 3) Sinusitis kronik Polusi bahan, alergi, dan defisiensi imunologik menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan ini mempermudah terjadinya infeksi. Terdapat edema konka yang mengganggu draenase sekret, sehingga silia rusak, dan seterusnya. Jika pengobatan pada sinusitis akut tidak adekuat, maka akan terjadi infeksi kronik (Hilger, 2013).
2.4.5
Patofisiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliarry clearance) di dalam KOM (kompleks osteomeatal). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan (Soetjipto, 2001). Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-nacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, sekret yang berkumpul didalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor presdiposisi, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkan dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi,
16
polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi (Soetjipto, 2001).
2.4.6
Gejala Klinis
1) Sinusitis Akut Keluhan utama rinosinositis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/ rasa tekanan oada muka dan ingus purulen, yang sering kali turun ke tenggorok (post nasal-drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu (Soetjipto, 2001). Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/ anosmia, halitosis, post nasal-drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak (Soetjipto, 2001). Selaput lendir hidung tampak merah dan membengkak, dari hidung mungkin keluar nanah berwarna kuning atau hijau. Demam dan menggigil menunjukkan bahwa infeksi telah menyebar ke luar sinus (Soetjipto, 2001). a. Sinusitis maksilaris Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Sering kali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan maksila.Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritiatif non produktif sering kali ada (Hilger, 2013). b. Sinusitis etmoidalis Sinusitis etmoidalalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi selulitis orbita. Pada dewasa. Sering kali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris, serta dianggap sebagai
17
penyerta sinusitis frontalis yang tak dapat dielakan. Gejala berupa nyeri tekan di antara kedua mata dan di atas jembatan hidung, drainase dan sumbatan hidung. Pada anak, dinding lateral labirin etmoidalis (lamina papirasea) sering kali merekah dan karena itu sering kali menimbulkan selulitis orbita (Hilger, 2013). c. Sinusitis frontalis Sinusitias frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis anterior.penyakit ini terutama ditemukan pada dewasa, dan selain daripada gejala inferksi yang umum, pada sinusitis frontalis terdapat nyeri kepala yang khas. Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.pasien biasanya menyatakan bahwa dahinya terasa nyeri bila disentuh, dan mungkin terdapat pembengkakan supraorbita. Tanda patognomotik adalah nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi di daerah sinus yang terinfeksi (Hilger, 2013). d. Sinusitis sphenoidalis Sinusitis sphenoidalis akut terisolasi amat jarang. Sinusitis ini dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks kranium, oksipital, belakang bola mata, dan daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim penjadi pansinusitis dan oleh karena itu menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya (Hilger, 2013).
2) Sinusitis Kronik Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eusthacius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (Hilger, 2013).
18
2.4.7
Diagnosis dan Pemeriksaan Untuk menegakkan diagnosis dari sinusitis adalah didasari oleh anamnesa
dan adanya keluhan dan tanda klinis dari pasien dan juga didasari atas pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang tambahan seperti transluminasi sinus, pemeriksaan radiologik, nasal endoskopi, CT scan, biakan kuman, dan tes alergi. 1) Anamnesis Pada anamnesis biasanya pasien dengan sinusitis akut datang dengan keluhan hidung tersumbat disertai nyeri atau rasa tekanan pada muka dan sekret yang purulen yang sering kali turun ke tenggorok (post nasal drip). Perlu ditanyakan pula gejala-gejala lainnya seperti demam, lesu, nyeri kepala, hiposmia/anosmia, dan halitosis (Soetjipto, 2001) Keluhanan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas dari sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menadakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang kedua mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipitalm belakang bola mata, dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri laih ke gigi dan telinga (Soetjipto, 2001). Pada sinusitis kronik, keluhan tidak khas, sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eusthacius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (Hilger, 2013).
2) Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik sinusitis pada inspeksi didapati adanya pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah, biasanya pada sinusitis maxilaris. Pembengkakkan di kelopak mata atas mungkin terjadi
19
pada sinusitis frontalis. Pada palpasi dan perkusi, nyeri tekan dan nyeri ketuk dirasakan pada pipi dan gigi menunjukkan adanya sinusitis maxilaris, nyeri tekan pada atap orbita menunjukkan adanya sinusitis frontalis. Dan nyeri tekan di daerah kantus medius menunjukkan adanya sinusitis ethmioidalis (Soetjipto, 2001). Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan udem, pada sinusitis maksilaris, ethmoidalis anterior dan frontalis tampak mukopus keluar dari meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoidalis posterior dan sinusitis sphenoid keluar mukopus dari meatus superior Pada rinoskopi posterior tampak post nasal drip. Pada sinusitis kronik tampak nanah pada meatus medius atau meatus superior pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok (Soetjipto, 2001). Pada pemeriksan transiluminasi sinus dilakukan di kamar gelap, dan sumber cahaya diletakkan di mulut pasien pada salah satu sisi palatum durum, maka cahaya tersebut akan dihantarkan melalui rongga sinus dan akan memberikan gambaran sinar yang samar-samar dan berbentuk bulan sabit di bawah mata. Akan tetapi pemeriksaan ini hanya terbatas pada sinus maksila dan sinus frontalis saja. Pemeriksaan ini bermakna bila hanya satu sisi sinus yang terkena, maka akan tampak lebih suram dibandingkan dengan yang normal (Soetjipto, 2001). Sinoskopi, merupakan pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop dimasukan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fossa koana. Dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa, apakah ostiumnya terbuka (Soetjipto, 2001).
2.
Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan radiologik pada sinusitis akut mula-mula berupa penebalan mukosa selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat atau akibat akumulasi cairan yang
20
memenuhi sinus. Akhirnya tebentuk gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang terlihat pada foto tegak sinus maksilaris. oleh karena itu radiogram sinus harus dibuat dalam posisi waters, PA dan lateral (Soetjipto, 2001). Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transluminasi bermakna bila salah satu salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal (Soetjipto, 2001). Pemeriksaan radiologi untuk mendapatkan informasi dan untuk mengevaluasi sinus paranasal adalah (Rachman, 2005) : a.
Pemeriksaan foto kepala dengan berbagai posisi yang khas. Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai macam posisi, antara lain (Rachman, 2005): -
Foto kepala posisi anterior-posterior (AP atau posisi Caldwell) Foto ini diambil pada posisi kepala menghadap kaset, bidang midsagital kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak piramid tulang petrosum diproyeksikan pada 1/3 bawah orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbita metal line tegak lurus pada film dan sentrasi membentuk sudut 150 kaudal (Rachman, 2005).
21
Gambar 2.3 Foto kepala posisi Caldwell.
Gambar 2.4 Foto konvensional caldwell posisi PA menunjukkan air fluid level pada sinus maxillaris merupakan gambaran sinusitis akut.
22
-
Foto lateral kepala Foto lateral kepala dilakukan dengan kaset terletak sebelah lateral dengan sentrasi di luar kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksillaris berhimpit satu sama lain (Rachman, 2005).
Gambar 2.5 Foto lateral kepala
Gambar 2.6 Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus maksilla
23
-
Foto posisi Waters Foto Waters dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap kaset, garis orbita-meatus membentuk sudut 37o dengan kaset. Sentrasi sinar kira-kira di bawah garis interior-bital. Pada foto Waters, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksillaris sehingga kedua sinus maksillaris dapat dievaluasi seluruhnya. Foto Waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat menilai daerah dinding posterior sinus sphenoidalis dengan baik (Rachman, 2005).
Gambar 2.7 Foto posisi Waters.
-
Foto kepala posisi submentoverteks Posisi submentroverteks diambil dengan meletakkan film pada verteks, kepala pasie sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus kaset dalam bidang midsagitalis melalui sella tursika ke arah verteks. Banyak variasi-variasi sudut sentrasi pada posisi submentoverteks, agar supaya mendapatkan gambaran yang baik pada beberapa bagian basis kranii, khususnya sinus frontalis dan dinding posterior sinus maksillaris (Rachman, 2005).
24
Gambar 2.8 Foto kepala posisi submentoverteks.
-
Foto posisi Rhese Posisi Rhese atau oblique dapat mengevaluasi bagian posterior sinus ethmoidalis, kanalis optikus, dan lantai dasar orbita sisi lain (Rachman, 2005).
Gambar 2.9 Foto posisi Rhese.
-
Foto posisi Towne Posisi Towne diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi antara 30o-60o kea rah orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm di atas glabella dari foto polos kepala dalam bidang midsagital. Proyeksi ini adalah proyeksi yang paling baik untuk menganalisis dinding posterior sinus maksillaris, fisura orbitalis
25
inferior, kondilus mandibularis dan arcus zygomatikus posterior (Rachman, 2005).
Gambar 2.10 Foto posisi Towne
b. Pemeriksaan tomogram Pemeriksaan tomogram pada sinus paranasalis biasanya digunakan multidirection tomogram. Sejak digunakannya CT-Scan, pemeriksaan tomogram penggunaannya agak tergeser. Tetapi pada fraktur daerah sinus paranasal, pemeriksaan tomogram merupakan suatu teknik yang terbaik untuk
menyajikan
fraktur-fraktur
tersebut
dibandingkan
dengan
pemeriksaan aksial dan coronal CT-Scan (Rachman, 2005).
c. Pemeriksaan CT-Scan Pemeriksaan CT-Scan sekarang merupakan pemeriksaan yang sangat unggul untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat menganalisis dengan baik tulang-tulang secara rinci dan bentuk jaringanjaringan lunak. Irisan aksial merupakan standar pemeriksaan paling baik dilakukan dalam bidang inferior orbitometal (IOM), dengan irisan setebal 5 mm, dimulai dari sinus maksillaris sampai sinus frontalis. Pemeriksaan ini dapat menganalisis perluasan penyakit dari gigi geligi, sinus-sinus dan palatum, termasuk ekstensi intrakranial dari sinus frontalis (Rachman, 2005).
26
Gambar 2.11 Foto normal CT Scan sinus Maxilla
Gambar 2.12 Foto CT scan posisi coronal memperlihatkan gambaran sinusitis maxilla dengan penebalan dinding mukosa di sinus maxilla kanan
Pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan CT Scan dan MRI juga dilakukan untuk menegakkan diagnosis dari sinusitis. Cara ini mampu menggambarkan secara detail area dari sinus dan area nasal, biasanya digunakan untuk kasus yang kronis dan sinusitis akut yang rekuren serta pada kasus-kasus sulit (Rachman, 2005).
27
CT Scan disarankan hanya untuk pemeriksaan sinusitis akut jika terdapat komplikasi atau beresiko tinggi terhadap terjadinya komplikasi. MRI tidak seefektif CT Scan dalam penggambaran anatomi dari sinus paranasal. Disamping harganya yang lebih mahal, biasanya MRI tidak dipakai kecuali pemeriksa menitikberatkan pada tumor, infeksi jamur, atau komplikasi yang mengenai tulang tengkorak (Rachman, 2005). CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasuskasus kronik).Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CTScan (Rachman, 2005): a. Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level. b. Polip yang mengisi ruang sinus c. Polip antrokoanal d. Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus e. Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadangkadang pengapuran perifer Gold Standart untuk mendiagnosa sinusitis yang disebabkan oleh bakteri adalah pemeriksaan mikrobiologis (pungsi sinus dan kultur bakteri). Biakan bakteri yang berasal dari hidung bagian depan hanya sedikit bernilai dalam interpretasi bakteri dalam sinus maksilaris, bahkan dapat memberikan informasi yang salah karena biakan dari hidung depan akan mengungkapkan organisme dalam vestibulum nasi termasuk flora normal seperti stafilokok dan beberapa kokus gram positif lainnya yang tidak ada kaitannya dengan bakteri yang dapat menimbulkan sinusitis. Suatu biakan
dari posterior hidung atau nasofaring justru lebih
memberikan banyak manfaat dan jauh lebih akurat namun sangat sulit
28
dalam pengerjaannya. Biakan bakteri pada sinusitis kronik dapat ditemukan infeksi campuran dari berbagai macam mikroba Rachman, 2005).
2.4.8
Penatalaksanaan Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah (Soetjipto, 2001): 1. Mempercepat penyembuhan 2. Mencegah komplikasi 3. Mencegah perubahan menjadi kronik. Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan
pembedahan (operasi). Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien sinusitis akut, yaitu: a. Sinusitis akut Terapi medikamentosa 1) Dapat diberikan terapi antibiotik selama 10-14 hari, namun dapat diperpanjang sampai gejala semuanya hilang. Pemilihannya hampir selalu empirik karena kultur nasal tidak dapat diandalkan dan aspirasi sinus maksila merupakan kontraindikasi. Jenis antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika resisten dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang (Soetjipto, 2001). 2) Dekongestan lokal maupun sistemik. Dekongestan lokal berupa obat tetes hidung, untuk membantu draenase sinus selama 5 hari untuk menghindari rinitis medikamentosa. Sedangkan dekongestan sistemik hanya 2, yaitu : Pseudoefedrin dan fenilpropanolamin (Soetjipto, 2001). 3) Analgetik selain untuk menghilangkan rasa nyeri juga untuk mengencerkan sekret, meningkatkan kerja silia serta merangsang pemecahan fibrin (Soetjipto, 2001).
b. Sinusitis subakut 1) Antibiotik, diberikan antibiotik spektrum luas selama 10 atau 14 hari.
29
2) Dekongestan ( Obat tetes hidung ) untuk memperlancar draenase, selama 5-10 hari, karena bila terlalu lama dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa. 3) Analgetik, antihistamin, dan mukolitik. 4) Diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave Diatermy, UKG) sebanyak 5-6 kali di daerah sinus yang sakit, untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. 5) Terapi pencucian Proetz ( Proetz Displecement Therapy ), yang pada prinsipnya membuat tekanan negatif dalam rongga hidung dan sinus paranasal serta menghisap sekret ke luar. Cara ini dipakai untuk mencuci sinus etmoid dan sinus sfenoid. Untuk sinus frontal dan sinus maksila cara ini kurang efektif. 6) Pada sinusitis maksila, dapat dilakukan tindakan pungsi, irigasi, atau antrostomi, yaitu lubang di meatus inferior yang menghubungkan hidung dengan sinus maksila. 7) Tindakan intranasal lain yang mungkin diperlukan agar drainase sekret lancar berdasarkan kelainan yang ada pada pasien adalah operasi koreksi septum, pengangkatan polip, dan konkotomi total atau parsial.
c. Sinusitis kronis Terapi
Medikamentosa
memiliki
peran
terbatas
karena
umumnya
disebabkan obstruksi sinus yang persisten (Soetjipto, 2001). 1) Dapat diberikan obat-obat simtomatis dan antibiotik selama 2-4 minggu untuk mengatasi infeksinya. Antibiotik yang dipilih mencakup anaerob, seperti penisilin V, Klindamisin atau augmentin merupakan pilihan yang tepat jika penesilin tidak efektif. 2) Steroid nasal topikal contohnya beklometason yang digunakan sebagai antiinflamasi dan alergi. 3) Pada sinusitis maksila dapat dilakukan pungsi, atau antrostomi dan irigasi sedangkan pada sinusitis etmoidalis ,sfenoidalis dan frontalis dapat dilakukan pencucian proetz. Terapi Radikal (Brook, 2015)
30
Dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat draenase sinus yang terkena. 1) Operasi Caldwell –luc dapat dilakukan pada kelainan sinus maksila. 2) Etmoidektomi dapat dilakukan pada kelainan sinus etmoidalis. 3) Operasi Killian secara intranasal dan ekstra nasal dilakukan pada kelainan sinus frontal. 4) Draenase secara intranasal juga dapat dilakukan pada kelainan sinus sfenoid.
Gambar 2.13. Prosedur tindakan Caldwell.
Gambar 2.14. Caldwell procedure
Pada perkembangan terakhir Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BESF) yang mempunyai prinsip membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga mukosa sinus menjadi normal kembali. Bila gejala akut sinusitis tidak reda dengan pengobatan, terutama bila serangan timbul lebih dari 4-6 kali per tahun, gejala menetap di antara 2 serangan, dan diperkirakan ada masalah lain yang mendasarinya maka sebaiknya pasien juga dirujuk, karena mungkin diperlukan tindakan pembedahan (Soetjipto,2001).
31
Gambar 2.15. Endoscopic sinus surgery
2.4.9
Komplikasi Sinusitis Sinusitis merupakan suatu penyakit yang tatalaksananya berupa rawat
jalan. Pengobatan rawat inap di rumah sakit merupakan hal yang jarang kecuali jika ada komplikasi dari sinusitis itu sendiri. Walaupun tidak diketahui secara pasti, insiden dari komplikasi sinusitis diperkirakan sangat rendah. Salah satu studi menemukan bahwa insiden komplikasi yang ditemukan adalah 3%. Sebagai tambahan, studi lain menemukan bahwa hanya beberapa pasien yang mengalami komplikasi dari sinusitis setiap tahunnya. Komplikasi dari sinusitis ini disebabkan oleh penyebaran bakteri yang berasal dari sinus ke struktur di sekitarnya. Penyebaraan yang tersering adalah penyebaran secara langsung terhadap area yang mengalami kontaminasi. Komplikasi dari sinusitis tersebut antara lain (Hilger, 2013):
32
1.
2.
3.
Komplikasi lokal a)
Mukokel
b)
Osteomielitis (Pott’s puffy tumor)
c)
Kelainan paru
Komplikasi orbita a)
Inflamatori edema
b)
Abses orbita
c)
Abses subperiosteal
d)
Trombosis sinus cavernosus.
Komplikasi intrakranial a)
Meningitis
b)
Abses Subperiosteal
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intracranial. CT scan merupakan suatu modalitas utama dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronik atau berkomplikasi (Rachman, 2005) 1. Komplikasi lokal a.
Osteomielitis Infeksi sinus dapat menjalar hingga struktur tulang mengakibatkan
osteomielitis baik di anterior maupun posterior dinding sinus. Penyebaran infeksi dapat berasal langsung atau dari vena yang berasal dari sinus. Osteomielitis paling banyak ditemukan pada dinding sinus frontal. Sekali tulang terinfeksi, bisa menyebabkan erosi pada tulang tersebut dan mempermudah terjadinya penyebaran infeksi di bawah subperiosteum yang berujung pembentukan abses subperiosteal. Erosi bisa mempengaruhi bagian anterior atau posterior dari dasar sinus yang mempermudah terjadinya
penyebaran
ekstrakranial
atau intrakranial. Jika abses
subperiosteal berbatasan dengan dasar anterior dari tulang frontal itu disebut dengan Pott`s puffy tumor. Pasien dengan Pott`s puffy tumor selalu
33
muncul pada usia lebih dari 6 tahun karena sinus frontalis belum terbentuk pada usia di bawah 6 tahun (Hilger, 2013).
Gambar 2.16. Gambaran Pott`s puffy tumor pada osteomielitis
b.
Mukokel Mukokel adalah penyakit kronis berupa lesi kistik yang mengandung
mukus pada sinus paranasal. Mukokel tumbuh secara perlahan memakan waktu tahunan untuk menimbulkan keluhan. Dan keluhan berhubungan dengan bertambah besarnya mukokel. Sesuai dengan pertambahan besarnya, mukokel dapat menekan dinding sinus sehingga mengawali erosi tulang. Setelah terjadi erosi pada dinding sinus, mukokel dapat mengenai seluruh struktur. Mukokel kebanyakan terjadi pada sinus frontalis, diikuti dengan sinus etmoid dan maksila. Gejala dari sinus frontal atau etmoid dapat menyebabkan sakit kepala, diplopia dan proptosis. Bola mata yang proptosis secara khas berpindah ke arah bawah dan luar. Mukokel sinus maksilaris biasanya ditemukan secara tidak sengaja pada foto rongent sinus. Mukokel pada lokasi ini jarang menyebabkan gejala karena sinus maksilaris luas dan mukokel jarang menjadi cukup besar untuk menyebabkan kelainan pada tulang. Mukokel sinus maksilaris dapat menimbulkan gejala, jika menghambat ostium sinus maksilaris. Mukokel dapat bergejala pada setiap sinus ketika mukokel terinfeksi membentuk mukopyocele. Gejalanya hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Diagnosis ditegakkan oleh CT scan sinus. Mukokel yang mempunyai gejala ditata laksana dengan tindakan bedah mengangkat mukokel dan membersihkan sinus. Eksplorasi
34
sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan berpenyakit serta memastikan suatu drainase yang baik, atau obliterasi sinus merupakan prinsip-prinsip terapi (Hilger, 2013).
Gambar 2.17 Gambaran MRI mukokel sinus frontal bilateral.
c.
Kelainan Paru Seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan (Hilger, 2013).
2. Infeksi orbita Infeksi orbita disebabkan oleh penetrasi ruang orbita saat operasi atau trauma, kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang menyebar dari sinus yang terinfeksi. Oleh karena ruang orbita dibatasi oleh beberapa sinus, seperti sinus frontalis, etmoid, dan maksilari, infeksi dari sinus tersebut berpotensial menyebar hingga ruang orbita. Sinus etmoid sangat mempengaruhi penyebaran infeksi ke ruang orbita. Hal ini dipengaruhi karena sangat eratnya hubungan antara dinding sinus dengan orbita. Dinding yang tipis menyebabkan infeksi lebih mudah menyebar. Sinus etmoid mempunyai dinding yang paling tipis, disebut lamina papyracea
35
yang batas lateral dan medialnya adalah orbita. Sehingga infeksi pada orbita biasanya dimulai dari bagian medial. Walaupun jarang terjadi dinding sinus yang lebih tebal dapat juga menyebabkan infeksi orbita. Sekali infeksi menyebar melalui dinding sinus, batas periosteal dinding sinus berperan sebagai barrier tambahan untuk memproteksi orbita dari penyebaran infeksi. Jika terbentuk abses di antara dinding dengan periosteum, disebut abses subperiosteal. Jika periosteum rusak maka akan terbentuk abses orbita (Hilger, 2013).
Gambar 2.18 Gambaran selulitis periorbita.
Gambar 2.19 Klasifikasi komplikasi infeksi orbita pada sinusitis.
36
3. Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intrakranial sangat jarang, terjadi hanya satu hingga 3 kali setiap tahunnya. Penggunaan antibiotik menurunkan insiden komplikasi ini. Komplikasi dari intrakranial meliputi (1) meningitis, (2) abses epidural, (3) abses subdural, (4) abses otak. Pasien pada umumnya memiliki
lebih
dari
satu
komplikasi
intrakranial,
seperti
abses
epidural/subdural terjadi bersamaan dengan abses otak atau meningitis. Berikut ini frekuensi relatif jumlah komplikasi intrakranial dari sinusitis (Hilger, 2013).
Tabel 2.1 Frekuensi Komplikasi Intrakranial Komplikasi intracranial
Frekuensi relatif (%, range)
Meningitis
34 % (17 – 54)
Abses otak
27 % (0 – 50)
Abses epidural
23 % (0 – 44)
Abses subdural
24 % (9 – 86)
Persentase pasien dengan > 1 28 % komplikasi intracranial
Banyak studi yang telah memperlihatkan bahwa sejumlah besar komplikasi ini lebih sering terjadi pada pria (lebih dari 3 : 1 pria/wanita). Penyebab hal ini tidak diketahui secara pasti , tapi berlaku bahwa pada setiap golongan umur dan mungkin terkait dengan jenis kelamin, memiliki perbedaan anatomi dan drainase vena sinus (Hilger, 2013).
37
Gambar 2.20 Lokasi komplikasi intrakranial dari sinusitis
Patogenesis dari komplikasi intrakranial ini mirip dengan terjadinya komplikasi pada infeksi infraorbital. Infeksi intrakranial bisa berkembang dari penyebaran luas melalui invasi dinding sinus menuju tulang yang terkontaminasi, dan kemudian ke struktur intrakranial melalui osteitis atau cacat congenital atau defek traumatik. Berbeda dengan infeksi orbital, metode tersering dari komplikasi intrakranial ini adalah melalui penyebaran emboli septik via vena diploik kalvaria dan tidak adanya katup pada sistem vena juga bertanggung jawab terhadap drainase dari wajah bagian tengah dan sinus paranasal (Hilger, 2013).
2.4.10 Pencegahan Mencegah radang selaput lendir atau sinusitis : a. Minum banyak : membantu meringankan hidung yang tersumbat dan sekret hidung dapat mengalir. b. Pemberian obat yang adekuat dan dosis yang tepat. c. Menggonsumsi obat yang teratur sesuai petunjuk dokter. d. Menghindari zat-zat alergen yang mengakibatkan pembengkakan mukosa hidung.
2.4.11 Prognosis Kira-kira 40% kasus sinusitis akut sembuh spontan tanpa antibiotik, angka kekambuhan setelah keberhasilan pengobatan adalah kurang dari 5%. Sedangkan pada sinusitis kronik, hasil akhir yang memuaskan 38
tercapai jika pasien diobati secara dini dengan penanganan medis yang agresif, selain itu FESS dapat mengembalikan kesehatan sinus dengan meredakan gejala secara komplit atau moderat pada 80-90% pada pasien dengan sinusitis yang rekuren atau yang tidak responsif terhadap pengobatan (Hilger, 2013).
39
BAB 3 PENUTUP
2.5
Kesimpulan Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus
ethmoid, sinus maxilla, sinus sfenoid. Sinus paranasal dalam kodisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa ke daerah yang berbeda dalam kavum nasi. Sinus paranasal memiliki fungsi : 1. Pengatur kondisi udara ( Air Conditioning ) 2. Penahan suhu ( Thermal Insulators ) 3. Membantu keseimbangan kepala 4. Membantu resonansi suara 5. Peredam perubahan tekanan udara 6. Membantu produksi mukus Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang ditandai dengan inflamasi dan pembengkakan memberana mukosa sinus disertai nyeri lokal. Penyebab utama adalah infeksi saluran pernapasan oleh virus yang biasanya dilanjutkan dengan infeksi bakteri. Diagnosis untuk sinusitis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang tepat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang misalnya foto radiologis, pemeriksaan sinoskopi dan pemeriksaan mikrobiologis. Gejala utama yang tampak pada sinusitis adalah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Sinusitis dapat terjadi karena faktor-faktor seperti obstruksi jalan keluar sekresi sinus, kelainan mukosiliar, dan berubahnya kualitas dan kuantitas mukus. Prinsip penatalaksanaan pada sinusitis adalah membuka sumbatan di kompleks osteomeatal (KOM) sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Penatalaksanaan dapat dilakukan secara medis atau bedah. Komplikasi sinusitis secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu ke mata dan ke intrakranial.
40
DAFTAR PUSTAKA
Angraini, R., 2005. Anatomi dan Fungsi Sinus Paranasal. Available from: http://library.usu.ac.id/download/fk/06001191.pdf.
[Acessed
18
December 2016]. Endang Mangunkusumo, Damayanti Soetjipto. Sinusitis. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, editor. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta: Balai penerbit FK-UI; 2001.h.151-3. Hilger, Peter A., 2013. Penyakit Sinus Paranasalis. In: Adams, G.L., ed. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 240-260. Hwang PH, Abdalkhani A., 2009. Embriology, anatomy and physiology of nose and paranasal sinuses. Dalam: Snow JB, Wackym PA, editor. Ballenger’s otolaryngology, head and neck surgery. Edisi ke-17. Shelton: BC Decker Inc. hal: 455-463. Itzhak
Brook.
Acute
Sinusitis.
Diambil
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview#showall .Diakses tanggal 18 Desember 216 Kamel R, 2002. Endoscopic anatomy of the lateral nasal wall, ostiomeatal complex and anterior skull base. Struck Druck GmBH, Germany. p : 7-32 Kennedy DW, Lee JT, 2001. Endoscopic Sinus Surgery, in Head and Neck surgery – Otolaryngology, Vol II, Third Edition, Byron J. Bailey Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia. p: 459 – 75. Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4
th
Edition. Vol 2. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins.
41
Mangunkusumo E, 2000. Persiapan Operasi BSEF: Nasoendoskopi dan Pemeriksaan Tomografi Komputer dalam Kursus Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Makasar. hal: 13-25. Moore, K.L, Agur, A.M.R., 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates. hal: 397-401. Nizar, 2000, Anatomi Endoskopik Hidung Sinus Paranasal dan Patofisiologi Sinusitis dalam Kursus Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Makasar. hal: 1-12. Rachman MD, Sinus paranasalis dan Mastoid. Dalam: Ekayuda I. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Divisi Radiodiagnostik Departemen Radiologi FKUI; 2005. Hal 431-45 Snell, Richard S., 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 205-223. Stammberger et al, 1993. Endoscopic Anatomy of Lateral Nasal Wall and Ethmoidal Sinuses. In : Essentials of Functional Endoscopic Sinus Surgery. Mosby. USA. p. 13-42. Walsh et al, 2006, Sinonasal Anatomy, Function, and Evaluation. In : Bailey BJ, Johnson JT, Cohen NA., 2006. Sinonasal mucociliary clearance in health and disease. Ann Otol Rhinol Laryngol Suppl: 196:20-6
42