BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sifilis merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Penularan sifilis melalui hubungan seksual. Penularan juga dapat terjadi secara vertikal dari ibu kepada janin dalam kandungan atau saat kelahiran, melalui produk darah atau transfer jaringan yang telah tercemar, kadang-kadang dapat ditularkan melalui alat kesehatan Meskipun insidens sifilis kian menurun, penyakit ini tidak dapat diabaikan, karena merupakan penyakit berat. Hampir semua alat tubuh dapat diserang, termasuk system kardiovaskular dan saraf. Selain itu wanita hamil yang mnederita sifilis dapat menularkan penyakitnya ke janin sehingga menyebabkan kelainan bawaan dan kematian. Istilah kita untuk penyakit ini yaitu raja singa sangat tepat karena keganasannya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum yang sangat kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir seluruh alat tubuh, dapat mnyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. 2.2. Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae, dan genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam. Pembiakan pada umumya tidak dapat dilakukan diluar badan. Diluar badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat hidup tujuh puluh dua jam.
Gambar 1. Treponema pallidum
2.3. Klasifikasi Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat). Sifilis kongenital dibagi menjadi : dini (sebelum dua tahun), lanjut (sesudah dua tahun), dan stigmata. Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua cara, secara klinis dan epidemiologic. Menurut cara pertama sifilis dibagi menjadi tiga stadium: stadium I (S I), stadium II (S II), dan stadium III (S III). Secara epidemiologik menurut WHO dibagi menjadi: 1. Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi), terdiri atas S I, S II, stadium rekuren, dan stadium laten dini. 2. Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), terdiri atas stadium laten lanjut dan S III.
Bentuk lain ialah sifilis kardiovaskular dan neuro-sifilis. Ada yang memasukannya ke
dalam S III atau S IV.
2.4. Patogenesis A. Stadium Dini Pada sifilis yang didapat, T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui sanggama. Kuman tersebut membiak, jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel- sel plasma, terutama di perivaskular, pembuluh- pembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan perivaskular disekitarnya. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofik endothelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans). Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S1. Sebelum S1 terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan menyebar kesemua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian. Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi enam sampai delapan minggu sesudah S1. S1 akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. SII juga mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang. Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan bayi dengan sifilis kongenital. Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga T.pallidum membiak lagi pada tempat S I dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman tersebut menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren S II, yang terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat timbul berulang-ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi 2 tahun (3-10 tahun).
B. Stadium Lanjut Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya Treponema dalam keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita. Keseimbangan antara
treponema dan jaringan dapat berubah karena sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat itu munculah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan T. pallidum namun reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma tersebut timbul di tempat-tempat lain. Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi kerusakan menjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan guma biasanya tidak mendapat gangguan saraf dan kardiovaskular, demikian pula sebaliknya. Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium laten tidak memberi gejala.
2.5. Manifestasi Klinis 1. Sifilis Akuisita a) Sifilis Dini I. Sifilis Primer (SI) Masa tunas biasanya dua sampai empat minggu. T. pallidum masuk ke dalam selaput lender atau kulit yang telah mengalami lesi/mikro-lesi secara langsung, biasanya melalui senggama. Treponema tersebut akan berkembang biak, kemudian terjadi penyebaran secara limfogen dan hematogen. Kelainan kulit dimulai sebagai papul lentikular yang permukaannya segera menjadi erosi, umumnya kemudian menjadi ulkus. Ulkus tersebut biasanya bulat, solitary, dasarnya ialah jaringan granulasi berwarna merah dan bersih, diatasnya hanya tampak serum. Dindingnya tak bergaung, kulit disekitarnya tidak menunjukkan tandatanda radang akut. Yang khas ialah ulkus tersebut inolen dan teraba indurasi karena itu disebut ulkus durum. Kelainan tersebut dinamakan afek primer dan umumnya berlokasi pada genitalia eksterna. Pada pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita di labia mayor dan minor. Selain itu juga dapat di ekstragenital, misalnya di lidah, tonsil dan anus. Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu. Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah bening
regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks primer. Kelenjar tersebur solitary, inolen, tidak lunakm besarnya biasanya lentikular, tidak supuratifm an tidak terdapat peridenitis. Kulit diatasnya tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut. Istilah syphilis d/emblee dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam, mislanya pada transfuse darah atau suntikan.
Gambar 2. Lesi sifilis primer
Gambar 3. Ulkus Durum ‘ II.
Sifilis Sekunder (SII) Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan
sejumlah sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai sembilan bulan. Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat disertai gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya umumnya tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan, malaise, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan artralgia. Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga disebur the great
imitator. Selain memberi kelainan pada kulit, S II dapat juga memberi kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang, dan saraf. Kelainan kulit yang membasah (eksudatif) pada S II sangat menular, kelainan yang kering kurang menular. Kondilomata lata dan plaque muqueses ialah bentuk yang sangat menular. Gejala yang penting untuk membedakannya dengan berbagai penyakit kulit yang lain ialah: kelainan kulit pada S II umumnya tidak gatal, sering disertai limfadenitis generalisata, pada S II dini kelainan kulit juga terjadi pada telapak tangan dan kaki. Antara S II dini dan S II lanjut terdapat perbedaan. Pada S II dini kelainan kulit generalisata, simetrik dan lebih cepat hilang (beberapa hari hingga beberapa minggu). Pada S II lanjut tidak generalisata lagi, melainkan setempat-setempat tidak simetrik dan lebih lama bertahan (beberapa minggu hingga beberapa bulan).
Bentuk Lesi 1. Roseola Roseola ialah eritema makular, berbintik-bintik atau berbercak-bercak, warna merah tembaga, berbentuk bulat atau lonjong, diameter 0,5-2 cm. Roseola biasanya merupakan kelainan kulit yang pertama terlihat pada S II dan disebut roseola sifilitika. Karena efloresensi tersebut merupakan kelainan S II dini,maka seperti telah dijelaskan, lokalisasinya generalisata dan simetrik, telapak tangan dan kaki ikut dikenai. Disebut pula eksantema karena timbulnya cepat dan menyeluruh. Roseola akan menghilang dalam beberapa hari atau minggu, dapat pula bertahan hingga beberapa bulan. Kelainan tersebut dapat residif, jumlahnya menjadi lebih sedikit, lebih lama bertahan, dapat anular, dan bergerombol. Jika menghilang, umumnya tampak bekas, kadang kala dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi dan disebut leukoderma sifilitikum. Jika roseola terjadi pada kepala yang berambut, dapat menyebabkan rontoknya rambut.
Gambar . Roseola Sifilitika
2. Papul Bentuk ini merupakan bentuk yang paling sering terlihat pada S II. Bentuknya bulat, ada kalanya terdapat bersama dengan roseola. Papul tersebut dapat berskuama yang terdapat di pinggir (koleret) dan disebut papulo-skuamosa. Skuama dapat pula menutupi permukaan papul sehingga mirip psoriasis, oleh karena itu dinamakan psoriasiformis. Jika papul-papul tersebut menghilang dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi dan disebut leukoderma koli atau collar of Venuus. Selain papul yang lentikular dapat pula terbentuk papul yag likenoid, meskipun jarang, dapat pula folikular dan ditembus dan simetrik, sedangkan pada yang lanjut bersifat setempat dari tersusun secara tertentu, arsinar, sirsinar, polisiklik dan korimbiformis. Jika pada dahi susunan yang arsinar/sirsinar tersebut dinamakan korona venerik karena menyerupai mahkota. Papul-papul tersebur juga dapat dilihat pada sudut mulut, ketiak, di bawah mammae dan alat genital. Bentuk lain ialah kondilomata lata, terdiri atas papul-papul lentikular, permukaannya datar, sebagian berkonfluensi, terletak pada daerah lipatan kulit akibat gesekan antar kulit permukannya menjadi erosive, eksudatif, sangat menular. Tempat predileksinya di lipat paha, skrotum, vulva, perianal, di bawah mammae, dan antarjari kaki. Kejadian yang jarang terlihat ialah pada tempat afek primer terbentuk lagi infiltrate dan reindurasi, sebabnya treponema masih tertinggal pada waktu S I menyembuh yang kemudian akan membiak, dan dinamakan chancer redux.
3. Pustul Bentuk ini jarang terdapat. Mula-mula terbetuk banyak papul yang menjadi vesikel dan kemudian terbentuk pustul, sehingga di samping pustul masih pula terlihat papul. Bentuk pustule ini lebih sering tampak pada kulit berwarna dan jika daya tahan tubuh menurun. Timbulnya banyak pustule ini sering disertai demam yang intermitten dan penderita sering tampak sakit, lamanya dapat berminggu-minggu. Kelainan kulit demikian disebut sifilis variseliformis karena menyerupai varisella.
4. Bentuk lain Kelainan lain yang dapat terlihat pada S II ialah banyak papul, pustul, dan krusta yang berkonfluensi sehingga mirip impetigo, karena itu disebut sifilis impetiginosa. Dapat pula timbul berbagai ulkus yang tertutupi krusta yang disebut ektima sifilitikum. Bila krustanya tebal disebut rupia sifilitika. Disebut sifilis ostrasea jika ulkus meluas ke perifer sehingga berbentuk seperti kulit kerang. Sifilis yang berupa ulkus-ulkus yang terdapat di kulit dan mukosa disertai demam dan keadaan umum buruk disebut sifilis maligna yang dapat menyebabkan kematian.
Gambar 4. Sifilis sekunder di daerah sekitar mulut dan genital
S II pada wajah
S II pada mulut
Alopecia Areolaris Sifilitika III. Sifilis Laten Dini Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk alat-alat dalam, tetapi infeksi
masih
ada
dan
aktif.
Tes
serologik
darah
positif,
sedangkan
tes
likuorserebrospinal negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA. Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi pemeriksaan serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan kardiovaskuler. Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius kembali muncul.
IV. Stadium Rekuren Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip SII, maupun serologik yang telah negatif menjadi positif terutama pada sifilis yang tidak diobati atau
yang mendapat pengobatan tidak cukup. Umumnya bentuk relaps ialah SII, kadangkadang SI. Kadang-kadang relaps terjadi pada tempat afek primer dan disebut monorecidive. Relaps dapat memberi kelainan pada mata, tulang, alat dalam, dan susunan saraf. Juga dapat terlahir bayi dengan sifilis kongenital.
B) Sifilis Lanjut I.
Sifilis Laten Lanjut
Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan dapat seumur hidup. Likuor
serebrospinalis
hendaknya
diperiksa
untuk
menyingkirkan
neurosifilis
asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk melihat, apakah ada orititis. Perlu diperiksa pula, apakah ada sikatriks bekas S I pada alat genital atau leukoderma pada leher yang menunjukkan bekas S II (colar of Venus). Kadang-kadang terdapat pula banyak kulit hipotrofi lentikular pada badan bekas papul-papul S II.
II. Sifilis Tersier (SIII) Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar telur ayam. Kulit diatasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut dan dapat digerakkan. Setelah beberapa bulan mulai melunak, biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian
terjadi
perforasi
dan
keluarlah
cairan
seropurulen,
kadang-kadang
sanguinolen. Pada beberapa kasus disertai jaringan nekrotik. Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat, dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar. Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga membentuk pinggir yang polisiklik. Jika telah menjadi ulkus, maka infiltrat yang terdapat di bawahnya yang semula sebagai benjolan menjadi datar. Tanpa pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa bulan hingga beberapa tahun.
Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula multipel, umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma multipel dan perlunakannya cepat, dapat disertai demam. Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula-mula dikutan kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu/bulan dan umumnya
meninggalkan
sikatriks
yang
hipotrofi.
Nodus
tersebut
dalam
perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis di tengah dan membentuk ulkus. Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik. Perbedaannya dengan guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil (miliar hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan untuk bergerombol atau berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata). Warnanya merah kecoklatan. Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terus secara serpiginosa. Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti lilin dan disebut psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional tidak membesar. Kelainan yang jarang ialah yang disebut nodositas juxta articularis berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen, biasanya pada sendi besar.4
Guma Pada S III SIII pada Mukosa Guma juga ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar. Yang setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. Seperti biasanya akan melunak dan membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat merusak tulang rawan septum nasi atau palatum mole hingga terjadi perforasi. Pada lidah yang tersering ialah
guma yang nyeri dengan fisur-fisur tidak teratur serta leukoplakia
SIII pada Tulang Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan humerus. Gejala nyeri, biasanya pada malam hari. Terdapat dua bentuk, yakni periostitis gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat didiagnosis dengan sinar-X
SIII pada Alat Dalam Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang.Guma bersifat multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar mengalami retraksi, membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar lobatum. Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Guma dapat menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, guma solitar dapat terjadi di dalam atau di luar bronkus; jika sembuh terjadi fibrosis dan menyebabkan bronkiektasi. Guma dapat menyerang ginjal, vesika urinaria, dan prostat, meskipun jarang. S III pada ovarium jarang, pada testis kadang-kadang berupa guma atau fibrosis interstisial, tidak nyeri, permukaannya rata dan unilateral. Kadang kadang memecah ke bagian anterior skrotum.
2. Sifilis Kardiovaskuler Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-30 tahun. Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Pada dinding aorta terjadi infilytrasi perivascular yang terdiri atas sel limfosit dan sel plasma. Enartritis akan menyebabkan iskemia. Lapisan intima dan media juga dirusak sehingga terjadi pelebaran aorta yang menyebabkan aneurisma. Aortritis yang tersering ialah yang mengenai aorta asendens, katup mengalami kerusakan sehingga darah mengalir kembali ke ventrikel kiri. Aortritis juga sering mengenai arteri koronaria dan menyebabkan iskemia miokardium. Aortritis dapat tanpa komplikasi dan tidak memberikan gejala, pada pemeriksaan dengan sinar-X memberikan kelainan yang khas. Angina pektrois merupakan gejala umum aortritis karena sifilis, yaitu disebabkan oleh stenosis muara arteria koronaria, karena jaringan granulasi dan deformitas, serta dapat menyebabkan kematian mendadak. Heart block merupakan
kelainan aritmia jantung yang jarang dan kadang-kadang disebabkan oleh sifilis, miokarditis karena sifilis sangat jarang, demikian pula gama pada kor. Kelainan lain ialah aneurisma pada aorta yang dapat fusiformis atau sakular. Umumnya tidak memberi gejala selama beberapa tahun. Aneurisma dapat mengenai aorta asendens yang dapat memberi benjolan dan pulsasi pada dada sebelah kanan atas sternum. Jika aneurisma itu membesar, dapat mengeser trakea dan menyumbat vena kava superior. Kematian biasanya disebabkan oleh rupture ke pleura, pericardium dan bronkus.
3. Neurosifilis Akibat pengobatan sifilis dengan penisilin, kini jarang ditemukan neurosifilis. Neurosifilis lebih sering terjadi pada orang berkulit putih daripada orang kulit berwarna, juga lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Infeksi pada stadium dini. Sebagian besar kasus tidak memberi gejala, setelah bertahun-tahun baru memberi gejala. Pada sejumlah 20-37 % kasus terdapat kelainan pada likuor serebrospinalis, sebagian kecil diantaranya dengan kelainan meningeal. Neurosifilis dibagi menjadi empat macam: 1. Neurosifilis asimtomatik 2. Sifilis
meningovaskular
(sifilis
serebrospinalis),
misalnya
meningitis,
meningomielitis, endarteritis sifilitika. 3. Sifilis parenkim: tabes dorsalis dan demensia paralitika 4. Guma
4. Sifilis Kongenital Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis dini sebab banyak T. pallidum beredar dalam darah. treponema masuk secara hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat masa kehamilan 10 minggu. Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada tahun I setelah infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai 90%. Jika ibu menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%, bila sifilis lanjut 30 %. Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang kemudian menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi abortus pada bulan kelima,
berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan, berikutnya janin dengan sifilis kongenital yang akan meninggal dalam beberapa minggu, diikuti oleh dua sampai tiga bayi yang hidup dengan sifilis kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi yang sehat. Keadaan ini disebut hukum Kossowitz. Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis congenital lanjut (tarda), dan stigmata. Batas antara dini dan lanjut ialah dua tahun. Yang dini bersifat menular, jadi menyerupai S II, sedangkan yang lanjut berbentuk guma dan tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat penyembuhan kedua stadium tersebut.
a) Sifilis Kongenital Dini Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada tempat lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T. pallidum. Bayi tampak sakit. Bentuk ini ada kalanya disebut pemfigus sifilitika. Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa minggu dan mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau papulo-skuamosa yang simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya anular. Pada tempat yang lembab papul dapat mengalami erosi seperti kondilomata lata. Ragades merupakan kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang hidung, dan anus; bentuknya memancar (radiating). Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat turunnya berat badan sehingga kulit berkeriput. Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan belakang kepala. Kuku dapat terlepas akibat papul di bawahnya; disebut onikia sifilitika. Kelenjar getah bening dapat membesar, generalisata, tetapi tidak sejelas pada S II. Hepar dan lien membesar akibat invasi T. pallidum sehingga terjadi fibrosis yang difus. Dapat terjadi udema dan sedikit ikterik (fungsi hepar terganggu). Ginjal dapat diserang, pada urin dapat terbentuk albumin, hialin, dan granular cast. Pada umumnya kelainan ginjal ringan. Pada paru kadang-kadang terdapat infiltrasi yang disebut "pneumonia putih". Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa minggu. Osteokondritis pada tulang panjang umumnya terjadi sebelum berumur enam bulan dan memberi gambaran khas pada waktu
pemeriksaan dengan sinar-X.
b) Sifilis Kongenital Lanjut Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun. Guma dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam. Yang khas ialah guma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi akan terjadi perforasi, bila meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung mengalami kolaps dengan deformitas. Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai sepertiga tengah tulang dan menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Keratitis interstisial merupakan gejala yang paling umum, biasanya terjadi antara umur tiga sampai tiga puluh tahun, insidensnya 25% dari penderita dengan sifilis kongenital dan dapat menyebabkan kebutaan. Akibat diserangnya nervus VIII terjadi ketulian yang biasanya bilateral.7
Sabre Tibia
Sifilis Kongenital
5. Stigmata Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh serta meninggalkan parut dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian merupakan stigmata sifilis kongenital, akan tetapi hanya sebagian penderita yang menunjukkan gambaran tersebut. 1) Stigmata Lesi Dini a. Facies Akibat rhinitis yang parah dan terus menerus pada bayi, akan menyebabkan gangguan pertumbuhan septum nasi dan tulang lain pada kavum nasi. Kemudian terjadi depresi pada jembatan hidung dan disebut saddle nose.
Maksilla tumbuh secara abnormal yakni lebih kecil daripada mandibula yang tumbuh normal dan disebut bulldog jaw. b. Gigi Gigi Hutchinson merupakan kelainan yang khas, hanya terdapat pada gigi insisi permanen. Gigi tersebut lebih kecil daripada normal, sisi gigi konveks, sedangkan daerah untuk menggigit konkaf. Kelainan lain yang khas ialah pada gigi molar pertama, biasanya yang di bawah. Pertama kali dilukiskan oleh Moon dan disebut Moon’s molar. Permukaannya berbintil-bintil (tuberkula) sehingga mirip murbai, karena itu dinamai pula mulberry molar. Kelainan ini lebih sering terdapat daripada gigi Hutchinson. Enamel di tempat itu tipis, hingga mudah terjadi karies dan cepat tanggal.
c. Kuku Onikia akan merusak dasar kuku dan meninggalkan kelainan permanen di fundus okuli. d. Ragades Ragades terdapat terutama pada sudut mulut, jarang pada lubang hidung dan anus. Terbentuknya dari papul-papul yang berkonfluensi, akibat pergerakan mulut terjadi fisur yang kemudian mengalami infeksi sekunder, jika sembuh meninggalkan jaringan parut linear yang memancar dari sudut mulut. e. Jaringan parut koroid Koroidoretinitis pada sifilis kongenital dini meninggalkan kelainan permanen di fundus okuli.
2) Stigmata Lesi Lanjut
a. Kornea Keratitis interstisial dapat meninggalkan kekeruhan pada lapisan dalam kornea b. Sikatriks gumatosa Guma pada kulit meninggalkan sikatriks yang hipotrofi seperti kertas perkamen. Pada palatum dan septum nasi meninggalkan perforasi.
c. Trias Hutchinson Trias Hutchinson ialah sindrom yang terdiri dari keratitis intertisialis, gigi Hutchinson dan tuli nervus VIII.
d. Tulang Osteoporosis gumatosa meninggalkan deformitas sebagai sabre tibia. Nodus periosteal yang menyembuh sering memberi prominen yang abnormal dan pelebaran region frontalis yang disebut frontal bossing. Kelainan ini bersama dengan saddle nose dan bulldog jaw disebut buffdog facies.
2.6.
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis sifilis ada 3 :
1.
Pemeriksaan T.Pallidum Cara pemeriksaan adalah dengan mengambil serum dari lesi kulit dan dilihat bentuk dan pergerakannya dengan microskop lapangan gelap. Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut. Jika hasil pada hari I dan II negatif. Sementara itu lesi dikopres dengan larutan garam faal. Bila negatif bukan selalu berarti diagnosisnya bukan sifilis, mungkin kumannya terlalu sedikit. Treponema tampak berwarna putih pada latar belakang gelap. Pergerakannya memutar terhadap sumbunya, bergerak perlahan-lahan melintasi lapangan pada pandangan, jika tidak bergerak cepat seperti Borrelia vincentii penyebab stomatitis. Pemeriksaan lain dengan pewarna menurut Buri, tidak dapat dilihat pergerakannya karena treponema tersebut telah mati, jadi hanya tampak bentuknya saja. Sementara itu lesi dikompres dengan larutan garam faal setiap hari.8
2. Tes Serologik Sifilis (TSS) T.S.S. atau Serologic Tests for Sypilis (S.T.S) merupakan pembantu diagnosis yang penting bagi sifilis. S I pada mulanya memberi hasil T.S.S. negatif (seronegatif), kemudian menjadi positif (seropositif) dengan titer rendah, jadi positif lemah. Pada S II yang masih dinireaksi menjadi positif agak kuat, yang akan menjadi sangat kuat pada S II lanjut. PadaS III reaksi menurut lagi menjadi positif lemah atau negatif. T.S.S. dibagi menjadi dua berdasarkan antigen yang dipakai, yaitu
a) Nontreponemal (Tes Reagin) Termasuk dalam kategori ini adalah tes RPR (Rapid Plasma Reagin) dan VDRL (Venereal Disease Research Laboratory). Tes serologis yang termasuk dalam kelompok ini mendeteksi imunoglobulin yang merupakan antibodi terhadap bahanbahan lipid sel-sel T. Pallidum yang hancur. Antibodi ini dapat timbul sebagai reaksi terhadap infeksi sifilis. Namun antibodi ini juga dapat timbul pada berbagai kondisi lain, yaitu pada infeksi akut (misalnya: infeksi virus akut) dan penyakit kronis (misalnya: penyakit otoimun kronis). Oleh karena itu, tes ini bersifat nonspesifik, dan bisa menunjukkan hasil positif palsu. Tes non-spesifik dipakai untuk mendeteksi infeksi dan reinfeksi yang bersifat aktif, serta memantau keberhasilan terapi. Karena tes non spesifik ini jauh lebih murah dibandingkan tes spesifik treponema, maka tes ini sering dipakai untuk skrining. Jika tes non spesifik menunjukkan hasil reaktif, selanjutnya dilakukan tes spesifik treponema, untuk menghemat biaya.
Hasil positif pada tes non spesifik treponema tidak selalu berarti bahwa seseorang pernah atau sedang terinfeksi sifilis. Hasil tes ini harus dikonfirmasi dengan tes spesifik treponema. Pada tes ini digunakan antigen tidak spesifik yaitu kardiolipin yang dikombinasikan dengan lesitin dan kolestrol, karena itu tes ini dapat memberi Reaksi Biologik Semu (RBS) atau Biologic Fase Positive (BFP). Antibodinya disebut reagin, yang
terbentuk setelah infeksi dengan T.pallidum, tetapi zat tersebut terdapat pula pada berbagai penyakit lain dan selama kehamilan. Reagin ini dapat bersatu dengan suspensi ekstrak lipid dari binatang atau tumbuhan, menggumpal membentuk masa yang dapat dilihat pada tesflokulasi. Massa tersebut juga dapat bersatu dengan komplemen yang merupakan dasar bagi tes ikatan komplemen.8 Contoh tes nontreponemal: 1) Tes fiksasi komplemen : Wasserman (WR), Kolmer. 2) Tes flokulasi : VDRL (Venereal Disease Research Laboratories), Kahn, RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Test), dan RST (Reagin Screen Test).
b) Tes Spesifik Treponemal Tes ini bersifat spesifik karena antigennnya ialah treponema atau ekstraknyadan dapat digolongkan menjadi empat kelompok : 1) Tes Imobilisasi : TPI (Treponemal pallidum Imobilization Test). 2) Tes fiksasi komplemen : RPCF (Reiter Protein Complement FixationTest). 3) Tes Imunofluoresen : FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antbody Absorption Test), ada dua : lgM, lgG; FTA-Abs DS (FluorescentTreponemal AntibodyAbsorption Double Staining). 4) Tes hemoglutisasi : TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination Assay), 19S lgM SPHA (Solid-phase Hemabsorption Assay), HATTS (Hemagglutination Treponemal Test for Syphilis), MHA-TP (Microhemagglutination Assay for Antibodies to Treponema pallidum).
Tes ini dapat menunjukkan hasil positif/reaktif seumur hidup walaupun terapi sifilis telah berhasil. Tes jenis ini tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi secara adekuat. Tes treponemal hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi treponema, namun tidak dapat menunjukkan apakah seseorang sedang mengalami infeksi aktif. Tes ini juga tidak dapat membedakan infeksi T pallidum dari infeksi treponema lainnya. Anamnesis mengenai perilaku seksual, riwayat pajanan dan riwayat perjalanan ke daerah
endemis treponematosis lainnya dibutuhkan untuk menentukan diagnosis banding.
Kedua tes serologi, treponema dan non-treponema, dibutuhkan untuk diagnosis dan tatalaksana pasien sifilis oleh petugas kesehatan. Hasil tes treponema memastikan bahwa pasien pernah terinfeksi sifilis, sedangkan hasil tes non-treponema menunjukkan aktivitas penyakit
TPI merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai kekurangan : biasanya mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu banyak. Selain itu juga reaksinya lambat , baru positif pada akhir stadium primer, tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan, hasil dapat negatif pada sifilis dini dan sangat lanjut. RPCF sering digunakan untuk tes screening karena biayanya murah; kadang-kadang didapatkan reaksi positif semu. FTA-Abs paling sensitif (90%), terdapat dua macam yaitu untuk lgM dan lgG sudah positif pada waktu timbuk kelainan S I. lgM sangat reaktif pada sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer lgM cepat turun, sedangkan lgG lambat. lgM penting untuk mendiagnosis sifilis kongenital. TPHA merupakan tes treponemal yang dianjurkan karena teknis dan pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik dan sensitif, menjadi reaktifnya cukup dini. Kekurangannya tidak dapat dipakai untuk menilai hasil terapi, karena tetap reaktif dalam waktu yang lama. Tes ini sudah dapat dilakukan di Indonesia. Bila hasil tes serologik tidak sesuai dengan klinis, tes tersebut peru diulangi, karena mungkin terjadi kesalahan teknis. Kalau perlu di laboratorium lain. Demikian pula jika hasil tes yang satu dengan yang lain tidak sesuai, misalnya titer VDRL rendah (1/4), sedangkan titer TPHA tinggi (1/1024) Pemeriksaan mikroskopis lapangan gelap terhadap lesi kulit, merupakan pemeriksaan yang paling spesifik untuk diagnosis sifilis. Kuman spirochaeta hidup berbentuk khas seperti sekrup, dapat terlihat pada pemeriksaan slide eksudat secara mikroskopis. Uji absorpsi antibodi treponema menggunakan fluoresensi akan mendeteksi antigen T.pallidum yang terdapat
pada jaringan, cairan mata, LCS, secret trakeobronkial dan eksudat pada lesi. Pemeriksaan ini sangat sensitif untuk mendeteksi sifilis pada berbagai tahap. Sekali reaktif, ia akan tetap reaktif.