DAFTAR ISI BAB 1 ........................................................................................................................... 2 PENDAHULUAN ........................................................................................................ 2 BAB 2 ........................................................................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 4 2.1 Infeksi Menular Seksual ...................................................................................... 4 2.2 Epidemiologi ....................................................................................................... 5 2.3 Etiologi ................................................................................................................ 5 2.4 Cara Penularan .................................................................................................... 8 2.5 Anamnesis dan Pemeriksaan pada Infeksi Menular Seksual .............................. 9 2.6 Infeksi Menular Seksual .................................................................................... 11 2.6.1 Gonore ........................................................................................................ 11 2.6.2 Infeksi Genital Non-Spesifik10.................................................................... 14 2.6.3 Trikomoniasis7,12......................................................................................... 16 2.6.4 Sifilis ........................................................................................................... 18 2.6.5 Ulkus mole .................................................................................................. 23 2.6.6 Vaginosis Bakterial ..................................................................................... 26 2.6.8 Granuloma Inguinale .................................................................................. 29 2.6.9 Herpes simpleks .......................................................................................... 31 2.6.10 Kondiloma akuminatum ........................................................................... 34 2.6.11 Moluskum Kontagiosum .......................................................................... 37 2.6.11 Scabies ...................................................................................................... 41 2.6.12 Kandidosis Vulvo-vaginal ........................................................................ 44 BAB 3 ......................................................................................................................... 46 EDUKASI .................................................................................................................. 46 3.1 Konseling pada Pasien IMS .............................................................................. 46 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 50
1
BAB 1 PENDAHULUAN Infeksi menular seksual (IMS) adalah berbagai macam kondisi penyakit yang disebabkan oleh lebih dari 30 organisme virus, bakteri, dan parasit yang ditularkan melalui hubungan seksual.1 Sekitar 20 juta IMS kasus baru yang ada di Amerika Serikat setiap tahunnya, menghabiskan biaya perawatan kesehatan sekitar $16 miliar. IMS terdapat di semua strata demografi, budaya, dan sosial ekonomi; dan semua orang yang aktif secara seksual berisiko untuk mendapatkannya. Faktor-faktor yang terkait dengan risiko tinggi untuk IMS menunjukan pentingnya praktik seksual individu dan perilaku berisiko tinggi (yaitu, banyak pasangan seks, penyalahgunaan zat, pekerja seks komersial, pria yang berhubungan seks dengan pria, dan praktik seks yang tidak aman), serta berbagai demografis dan determinan sosial yang mempengaruhi status kesehatan (yaitu, remaja dan dewasa muda, minoritas, dan status sosial ekonomi rendah). 2 3 World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terdapat 350 juta penderita baru IMS di sector-negara berkembang di Afrika, Asia, Asia Tenggara, dan Amerika Latin. Di sector-negara berkembang infeksi dan komplikasi IMS adalah salah satu dari lima alasan utama tingginya angka kesakitan. Dalam kaitannya dengan infeksi HIVAIDS, United States Bureau of Census pada 1995 mengemukakan bahwa di daerah yang tinggi prevalensi IMS-nya, ternyata tinggi pula prevalensi HIV-AIDS dan banyak ditemukan perilaku seksual berisiko tinggi. Salah satu kelompok seksual yang berisiko tinggi terkena IMS adalah Perempuan Pekerja Seks.4 Jumlah kasus baru IMS lainnya di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebanyak 8.671 kasus, lebih sedikit 2ector2ing tahun 2011 (10.752 kasus). Meskipun demikian kemungkinan kasus yang sebenarnya di populasi masih banyak yang belum terdeteksi.5
2
Diagnosis pasien IMS dapat ditegakkan berdasarkan pendekatan sindrom bagi sarana pelayanan kesehatan yang tidak memiliki fasilitas laboratorium, atau secara etiologis berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium sederhana. 6 Penyiapan fasilitas pelayanan yang terjangkau dan dapat diterima serta efektif merupakan syarat utama pemberantasan dan penanggulangan IMS. Di sector maju maupun di sector berkembang, setiap pasien IMS diberi kesempatan untuk memilih unit pelayanan kesehatan untuk perawatan IMSnya. Kemungkinan ada tiga pilihan yang dilakukan, yaitu: pengobatan oleh klinik pemerintah, klinik swasta atau informal. Dalam menjamin keterjangkauan program IMS perlu diketahui bahwa para pasien IMS akan mencari kombinasi dari ke tiga fasilitas tersebut di atas.
Di banyak Negara
hampir semua tempat pengobatan pasien IMS dilakukan di luar sector pemerintah. Dalam perencanaan program yang paripurna perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan kemampuan seluruh petugas kesehatan agar mampu memberikan pelayanan IMS yang baik. 6
3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Menular Seksual IMS adalah penyakit-penyakit yang timbul atau ditularkan atau melalui hubungan seksual dengan manifestasi klinis berupa timbulnya kelainan-kelainan terutama pada alat kelamin. Kegagalan deteksi dini IMS dapat menimbulkan berbagai komplikasi misalnya kehamilan di luar kandungan, kanker anogenital, infeksi pada bayi yang baru lahir atau infeksi pada kehamilan. Pada prakteknya banyak IMS yang tidak menunjukkan gejala (asimtomatik), sehingga mempersulit pemberantasan dan pengendalian penyakit ini.4 Infeksi menular Seksual ( IMS ) adalah berbagai infeksi yang dapat menular dari satu orang ke orang yang lain melalui kontak seksual. Semua teknik hubungan seksual baik lewat vagina, dubur, atau mulut baik berlawanan jenis kelamin maupun dengan sesama jenis kelamin bisa menjadi sarana penularan penyakit kelamin. Sehingga kelainan ditimbulkan tidak hanya terbatas pada daerah genital saja, tetapi dapat juga di daerah ekstra genital. Kelompok umur yang memiliki risiko paling tinggi untuk tertular IMS adalah kelompok remaja sampai dewasa muda sekitar usia (15-24 tahun). Tidak semua IMS ditularkan hanya melalui hubungan seksual, tetapi ada IMS yang dapat menular melalui kontak langsung dengan alat-alat tercemar, seperti: handuk, jarum suntik, atau melalui cairan tubuh (darah, cairan vagina, sperma, saliva) dan dari ibu hamil kepada janin yang dikandungnya atau pada saat inpartu.7
4
2.2 Epidemiologi Jumlah kasus baru IMS lainnya di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebanyak 8.671 kasus, lebih sedikit dibanding tahun 2011 (10.752 kasus). Meskipun demikian kemungkinan kasus yang sebenarnya di populasi masih banyak yang belum terdeteksi. Menurut Data Profil Kota Semarang tahun 2011 menunjukkan persentase kasus IMS mengalami peningkatan selama empat bulan terakhir, yaitu bulan September sebesar 19,6%, bulan Oktober sebesar 23,4%, bulan November sebesar 21,3% dan bulan Desember sebesar 22%. Peningkatan kasus IMS tersebut dimulai pada bulan September sampai dengan Desember karena banyaknya anak asuh baru dan pindahan dari tempat lain. Berdasarkan laporan Rumah Sakit dapat diketahui pada tahun 2011 terdapat 5 jenis IMS yang meningkat jumlah kasusnya, yaitu Candidiasis dari 297 menjadi 333 kasus, Condyloma acuminata dari 98 menjadi 126 kasus, NGU dari 19 menjadi 33 kasus, Herpes genitalis dari 23 menjadi 52 kasus dan Trichomonas urethralis dari tidak ada kasus menjadi 7 kasus. Sedangkan untuk jenis IMS lainnya mengalami penurunan jumlah kasus. Sebagian besar penderita IMS dari laporan rumah sakit adalah perempuan, hal ini disebabkan karena perempuan mempunyai risiko lebih besar untuk terkena IMS dibanding dengan laki-laki. Sedangkan menurut golongan umur kasus terbanyak pada umur 21 – 30 tahun, hal tersebut dapat dimungkinkan karena aktivitas seksual pada kelompok umur tersebut cukup tinggi.5 2.3 Etiologi Secara umum ada banyak jenis penyebab IMS. Antara lain bakteri, klamidia, virus, jamur, protozoa dan parasit seperti tercantum pada tabel I.
Table 1 IMS dilihat dari etologi.7
5
6
IMS dapat dibagi pula di bagi menjadi lima kategori besar (sindrom): uretritis, ulkus genital, gangguan sel epitel, duh tubuh perempuan, dan ektoparasit seperti yang tercantum pada table 2.
7
Tabel 2. Diagnosis banding infeksi menular seksual. 6
2.4 Cara Penularan Terutama melalui hubungan seksual (genito-genital, oro-genital, ano-genital) menyebabkan kelainan yang timbul tidak terbatas hanya pada daerah genital saja. Tidak hanya melalui kntak sekksual tetapi ada IMS yang dapat menular melalui kontak langsung dengan alat-alat yang tercemar, seperti: handuk, thermometer, jarum sunik, atau melalui cairan tubuh (darah, cairan vagina, sperma, saliva) Cara penularan lain adalah dari ibu hamil kepada janin yang dikandungnya atau pada saat inpartu.8
8
2.5 Anamnesis dan Pemeriksaan pada Infeksi Menular Seksual Pemeriksaan klinis pada IMS memiliki 3 prinsip yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboratorium (Daili, 2009). Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan informasi penting terutama pada waktu menanyakan riwayat seksual. Hal yang sangat penting dijaga adalah kerahasiaan terhadap hasil anamnese pasien. Pertanyaan yang diajukan kepada pasien dengan dugaan IMS meliputi: 1. Keluhan utama 2. Keluhan tambahan 3. Riwayat perjalanan penyakit 4. Siapa menjadi pasangan seksual tersangka (wanita/pria penjaja seks, teman, pacar, suami/istri) 5. Kapan kontak seksual tersangka dilakukan 6. Jenis kelamin pasangan seksual 7. Cara melakukan hubungan seksual (genito-genital, orogenital, anogenital) 8. Penggunaan kondom (tidak pernah, jarang, sering, selalu) 9. Riwayat
dan
pemberi
pengobatan
sebelumnya
(dokter/bukan
dokter/sendiri) 10. Hubungan keluhan dengan keadaan-keadaan lainnya menjelang/sesudah haid; kelelahan fisik/psikis; penyakit (diabetes, tumor, keganasan, lainlain); penggunaan obat: (antibiotik, kortikosteroid, kontrasepsi); pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR); rangsangan seksual; kehamilan; kontak seksual. 11. Riwayat IMS sebelumnya dan pengobatannya 12. Hari terakhir haid 13. Nyeri perut bagian bawah 14. Cara kontrasepsi yang digunakan dan mulai kapan
9
Pasien dianggap berperilaku beresiko tinggi mederita IMS bila terdapat jawaban “ya” untuk satu atau lebih pertanyaan ini: 1) Pasangan seksual lebih dari satu dalam satu bulan terakhir, 2) Berhubungan seksual dengan penjaja seks dalam satu bulan terakhir, 3) Mengalami satu atau lebih episode IMS dalam satu bulan terakhir, 4) Perilaku pasangan seksual berisiko tinggi.7 Pemeriksaan fisik yang dilakukan kepada pasien harus memperhatikan hal penting seperti kerahasiaan pribadi pasien, sumber cahaya yang baik untuk dokter pemeriksa dan selalu harus menggunakan sarung tangan setiap kali memeriksa pasien. Pada pasien pria, organ reproduksi lebih mudah diraba. Mula-mula inspeksi daerah inguinal dan raba adakah pembesaran kelenjar dan catat konsistensi, ukuran, mobilitas, rasa nyeri, serta tanda radang pada kulit di atasnya. Pada waktu bersamaan, perhatikan daerah pubis dan kulit sekitarnya, adanya pedikulosis, folikulitis atau lesi kulit lainnya. Lakukan inspeksi skrotum, apakah asimetris, eritema, lesi superfisial dan palpasi isi skrotum dengan hati-hati. Dan akhirnya perhatikan keadaan penis mulai dari dasar hingga ujung. Inspeksi daerah perineum dan anus dengan posisi pasien sebaiknya bertumpu pada siku dan lutut. Berbeda dengan pasien pria, organ reproduksi wanita terdapat dalam rongga pelvik sehingga pemeriksaan tidak segampang pria. Pemeriksaan meliputi inspeksi dan palpasi dimulai dari daerah inguinal dan sekitarnya. Untuk menilai keadaan di dalam vagina, gunakan spekulum dengan memberitahukannya kepada pasien terlebih dahulu. Dan akhirnya lakukan pemeriksaan bimanual untuk menilai ukuran, bentuk, posisi, mobilitas, konsistensi dan kontur uterus serta deteksi kelainan pada adneksa. Pengambilan bahan duh tubuh uretra pria, dapat dilakukan dengan menggunakan sengkelit maupun lidi kapas yang dimasukkan ke dalam uretra. Sedangkan pengambilan duh tubuh genital pada wanita dilakukan dengan spekulum dan mengusapkan kapas lidi di dalam vagina dan kemudian dioleskan ke kaca objek bersih.8 10
2.6 Infeksi Menular Seksual 2.6.1 Gonore 9,10 Gonore merupakan semua penyakit yang disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang bersifat purulen dan dapat menyerang permukaan mukosa manapun di tubuh manusia Gonore masuk dalam kelompok Neisseria sebagai N.gonorrhoeae bersama dengan 3 spesies lainnya yaitu, N.meningitidis, N.catarrhalis dan N.pharyngis sicca. Gonokok termasuk golongan diplokokus berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 u dan panjang 1,6 u. Kuman ini bersifat tahan asam, gram negatif, dan dapat ditemui baik di dalam maupun di luar leukosit. Kuman ini tidak dapat bertahan hidup pada suhu 39 derajat Celcius, pada keadaan kering dan tidak tahan terhadap zat disinfektan. Gonokok terdiri atas 4 tipe yaitu tipe 1, tipe 2, tipe 3 dan tipe 4. Namun, hanya gonokok tipe 1 dan tipe 2 yang bersifat virulen karena memiliki pili yang membantunya untuk melekat pada mukosa epitel terutama yang bertipe kuboidal atau lapis gepeng yang belum matur dan menimbulkan peradangan. Masa tunas gonore sangat singkat yaitu sekitar 2 hingga 5 hari pada pria. Sedangkan pada wanita, masa tunas sulit ditentukan akibat adanya kecenderungan untuk bersifat asimptomatis pada wanita. Keluhan subjektif yang paling sering timbul adalah rasa gatal, disuria, polakisuria, keluar duh tubuh mukopurulen dari ujung uretra yang kadang-kadang dapat disertai darah dan rasa nyeri pada saat ereksi. Pada pemeriksaan orifisium uretra eksternum tampak kemerahan, edema, ekstropion dan pasien merasa panas. Pada beberapa kasus didapati pula pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral maupun bilateral. Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada wanita berbeda dari pria. Pada wanita, gejala subjektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan objektif. Adapun gejala yang mungkin dikeluhkan oleh penderita wanita adalah rasa nyeri pada panggul bawah, dan dapat ditemukan serviks yang memerah dengan erosi dan sekret mukopurulen.
11
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah: Sediaan langsung yaitu dengan pemeriksaan Gram dari duh uretra memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi terutama pada duh uretra pria, sedangkan duh endoserviks memiliki sensitivitas yang tidak begitu tinggi. Pemeriksaan ini akan menunjukkan N.gonorrhoeae yang merupakan bakteri gram negatif dan dapat ditemukan baik di dalam maupun luar sel leukosit. Kultur -
Transpor
Media stuart-> perlu ditanam kembali pada media pertumbuhan
Media transgrow -> selektif dan nuritif, bertahan 96jam dan tidak perlu media pertumbuhan. Merupakan media modifikasi Thayer Martin dengan penambahan trimetropim.
-
Pertumbuhan
Mc Leod’s chocolate agar -> berisi agar coklat dan agar serum. Merupakan media nonselektif. Kuman selain N. Gonorrhoeae dapat tumbuh
Media Thayer Martin -> seletif untuk N. Gonorrhoreae. Mengandung vankomisin untuk menekan gram-posotif dan nistatin untuk menekan pertumbuhan jamur.
Modified Thayer Martin
Tes defenitif -
tes oksidasi akan ditemukan semua Neisseria akan mengoksidasi dan mengubah warna koloni yang semula bening menjadi merah muda hingga merah lembayung.
-
tes fermentasi dapat dibedakan N.gonorrhoeae yang hanya dapat meragikan glukosa saja.
12
Tes beta-laktamase: tes ini menggunakan cefinase TM disc dan akan tampak perubahan warna koloni dari kuning menjadi merah. Tes Thomson: tes ini dilakukan dengan menampung urine setelah bangun pagi ke dalam 2 gelas dan tidak boleh menahan kencing dari gelas pertama ke gelas kedua. Hasil dinyatakan positif jika gelas pertama tampak keruh sedangkan gelas kedua tampak jernih (Daili, 2009). Terapi uretritis gonokokkus dan uretritis non-gonokokkus dapat dilihat pada tabel 2 dikutip dari Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology. Tabel 2. Terapi Uretiris Gonokokkus.11
13
Komplikasi gonore sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal genitalia. Komplikasi lokal pada pria dapat berupa tisonitis, parauretritis, littritis, dan cowperitis. Selain itu dapat pula terjadi prostatitis, vesikulitis, funikulitis, epididimitis yang dapat menimbulkan infertilitas. Sementara pada wanita dapat terjadi servisitis gonore yang dapat menimbulkan komplikasi salpingitis ataupun penyakit radang panggul dan radang tuba yang dapat mengakibatkan infertilitas atau kehamilan ektopik. Dapat pula terjadi komplikasi diseminata seperti artritis, miokarditis, endokarditis, perikarditis, meningitis dan dermatitis. Infeksi gonore pada mata dapat menyebabkan konjungtivitis hingga kebutaan. 10 Gambar 1 Duh Tubuh pada penderita N. Gonorrrhoeae.
2.6.2 Infeksi Genital Non-Spesifik10 IGNS merupakan infeksi traktus genital yang disebabkan oleh penyebab yang nonspesifik yang meliputi beberapa keadaan yaitu Uretritis Non-spesifik (UNS), proktitis nonspesifik dan Uretritis Non-Gonore (UGN) (Lumintang, 2009). Penyebab 30% hingga 50% kasus IGNS adalah Chlamydia trachomatis, sedangkan kasus selebihnya umumnya disebabkan oleh Ureaplasma urealyticum. Chlamydia
14
trachomatis, imunotipe D sampai dengan K, ditemukan pada 35 – 50% dari kasus uretritis non gonokokus. Klamidia dalam prkembangannya mengalami 2 fase: 1). Noninfeksius yaitu keadaan laten yang dapeat ditemukan pada genitalia maupun konjungtiva, kuman intraseluler di dalam vakuol yang melekat pada inti sel hospes ini disebut badan inklusi. 2). Penularan yaitu ketika vakuol pecah dan kuman keluar dalam bentuk badan elementer yang dapat menimbulkan infeksi pada sel hospes baru. Penting untuk mengetahui adanya koitus suspektus yang biasanya terjadi 1 hingga 5 minggu sebelum timbulnya gejala. Juga penting untuk mengetahui apakah telah melakukan hubungan seksual dengan istri pada waktu keluhan sedang berlangsung, mengingat hal ini dapat menyebabkan fenomena penularan pingpong. Menurut Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual Depkes RI,infeksi melalui hubungan seksual ini pada pria muncul sebagai uretritis dan pada wanita sebagai servisitis mukopurulen. Manifestasi klinis dari uretritis kadang sulit dibedakan dengan gonorrhea dan termasuk adanya discharge mukopurulen dalam jumlah sedikit atau sedang, terutama pada pagi hari (morning drops) dan dapat pula berupa bercak di celana dalam, gatal pada uretra dan rasa panas ketika buang air kecil. Infeksi tanpa gejala bisa ditemukan pada 1-25% pria dengan aktivitas seksual aktif. Pada wanita, manifestasi klinis mungkin sama dengan gonorrhea, dan seringkali muncul sebagai discharge endoservik mukopurulen, disertai dengan pembengkakan, eritema dan mudah mengakibatkan perdarahan endoservik disebabkan oleh peradangan dari epitel kolumner endoservik. Namun, 70 % dari wanita dengan aktivitas seksual aktif yang menderita klamidia, biasanya tidak menunjukkan gejala. Infeksi kronis tanpa gejala dari endometrium dan saluran tubabisa memberikan hasil yang sama. Diagnosa Uretritis Non Gonokokus (UNG) atau diagnosa servisitis nongonokokus ditegakkan biasanya didasarkan pada kegagalan menemukan Neisseria gonorrhoeae melalui sediaan apus dan kultur. Klamidia sebagai penyebab dipastikan dengan pemeriksaan preparat apus yang diambil dari uretra atau endoserviks ataudengan tes IF langsung dengan antibodi monoklonal, EIA, Probe DNA, tes amplifikasi asam nukleus 15
(Nucleic Acid Amplification Test, NAAT), yaitu PCR dan LCR atau dengan kultur sel NAAT bisa dilakukan dengan menggunakan spesimen urin. Organisme intraseluler sulit sekali dihilangkan dari discharge. Pada pemeriksaan sekret uretra dengan pewarnaan Gram ditemukan leukosit lebih dari 5 pada pemeriksaan mikroskop dengan pembesaran 1000 kali. Komplikasi dan gejala sisa berupa salpingitis dengan risiko infertilitas, kehamilan diluar kandungan atau nyeri pelvis kronis. Komplikasi dan gejala sisa mungkin terjadi dari infeksi uretra pada pria berupa epididimitis, infertilitas dansindroma Reiter. Pada pria homoseksual, hubungan seks anorektal bisa menyebabkan proktitis klamidia. Pengobatan bias dilakukan dengan siprofloksasin 500mg hari pertama, lalu doksisiklin 2 x 100mg selama 7 hari atau azithromizin 1 gram dosis tunggal. Opsi lain bias di berikan azithromisin 2 gram dosis tunggal, atau tiamfenikol 2, gram hari pertama kemudian 3 x 500mg selama 5 hari10
2.6.3 Trikomoniasis7,12 Trikomoniasis adalah infeksi saluran urogenital bagian bawah yang disebabkan oleh Trichomanas vaginalis, yaitu protozoa parasite yang menginfeksi epitel mukosa sehingga timbul mikroulserasi. Pada wanita, organisme dapat diambil dari vagina, uretra, serviks, kelenjar Bartholin dan Skene, dan kandung kemih. Pada pria, organisme dapat ditemukan di area eksternal genital, uretra anterior, epididymis, prostat, dan sperma. Periode inkubasi sebelum infeksi simptomatik berkisar 4 sampai 28 hari. Wanita yang terinfeksi dapat mengeluhkan discharge vagina berwarna kuningkehijauan yang berbau, pruritus vulva, bengkak dan eritema, dispareuni, rasa tidak nyaman di abdomen bawah, atau dysuria. Pada pria, biasanya asimptomatik meski beberapa mengeluhkan discharge uretra dan dysuria atau frekuensi. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan titik-titik perdarahan di dinding vagina dan serviks, biasa disebut “colpitis macularis” atau “strawberry cervix”.
16
Gambar 2. Strawberry cervix pada infeksi trikomoniasis
Selain pemeriksaan laboratorium sederhana dengan menemukan parasit trikomonas pada sediaan basah, dapat juga dilakukan pemeriksaan dengan pewarnaan Giemsa. Kultur anaerobik yang biasanya positif dalam 48 jam. Tes imunokromatografi trikomonas yang dapat memberikan hasil cepat. Tatalaksana sesuai dengan Pedoman Nasional Tatalaksana IMS 2015 adalah metronidazole per oral 2 g dosis tunggal atau alternatif dengan metronidazole per oral 2x500 mg selama 7 hari. Belakangan ini, studi menunjukkan adanya hubungan antara infeksi trikomoniasis dengan komplikasi pada kehamilan seperti kelahiran prematur, ketubah pecah dini, dan berat badan lahir rendah pada neonatus. Trikomoniasis juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko transmisi HIV. Prognosis bagus dengan resolusi infeksi yang timbul setelah terapi yang sesuai. Tatalaksana pasangan seksual dapat membantu menghindari reinfeksi.
17
2.6.4 Sifilis Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik. Selama perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh, terdapat masa laten tanpa manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan pada bayi di dalam kandungan. Treponema pallidium merupakan spesies Treponema dari famili Spirochaetaceae, ordo Spirochaetales. Klasifikasi sangat sulit dilakukan, karena spesies Treponema tidak dapat dibiakkan in vitro. Terdapat 4 species yaitu Treponema pallidium sub species pallidium yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidium sub species pertenue yang menyebabkan frambusia, Treponema pallidium sub species endemicum yang menyebabkan bejel, dan Treponema carateum menyebabkan pinta. Masa inkubasi sifilis biasanya 3 minggu. Fase sifilis primer ditandai dengan munculnya tanda klinis yang pertama yang umumnya berupa tukak baik tunggal maupun multipel. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami erosi,teraba keras dan terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi dan keras. Pada laki-laki biasanya disertai dengan pembesaran kelenjar limfe inguinal media baik unilateral maupun bilateral. Masuknya mikroorganisme ke dalam darah terjadi sebelum lesi primer muncul, biasanya ditandai dengan terjadinya pembesaran kelenjar limfe (bubo) regional, tidak sakit, keras nonfluktuan. Tanpa diberi pengobatan, lesi primer akan sembuh spontan dalam waktu 4 hingga 6 minggu. Pada kasus yang tidak diobati sepertiga penderita akan mengalami stadium generalisata, stadium dua, dimana muncul erupsi di kulit yang kadang disertai dengan gejala konstitusional tubuh. Timbul ruam makulo papuler bisanya pada telapak tangan dan telapak kaki diikuti dengan limfadenopati. Erupsi sekunder ini merupakan gejala klasik dari sifilis yang akan menghilang secara spontan dalam beberapa minggu atau sampai dua belas bulan kemudian. Sifilis sekunder dapat timbul berupa ruam pada kulit, selaput lendir dan organ tubuh dan dapat disertai demam dan malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata 18
pemeriksaan serologis reaktif. Pada kulit kepala dijumpai alopesia yang disebut motheaten alopecia yang dimulai di daerah oksipital. Dapat dijumpai plakat pada selaput lendir mulut, kerongkongan dan serviks. Pada beberapa kasus ditemukan pula splenomegali. Penularan dapat terjadi jika ada lesi mukokutaneus yang basah pada penderita sifilis primer dan sekunder tetapi jika dilihat dari kemampuannya menularkan kepada orang lain,maka perbedaan antara stadium pertama dan stadium kedua yang infeksius dengan stadium laten yang non infeksius adalah bersifat arbitrari, oleh karena lesi pada penderita sifilis stadium pertama dan kedua bole saja tidak kelihatan. Lesi pada sifilis stadium dua boleh muncul berulang dengan frekuensi menurun 4 tahun setelah infeksi. Namun penularan jarang sekali terjadi satu tahun setelah infeksi. Transmisi sifilis dari ibu kepada janin kemungkinan terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal namun infeksi dapat saja berlangsung selama stadium laten. Penderita stadium erupsi sekunder ini, sepertiga dari mereka yang tidak diobati akan masuk kedalam fase laten selama berminggu minggu bahkan selama bertahun-tahun. Fase laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis. Namun bukan berarti perjalanan penyakit akan berhenti pada fase ini, sebab dapat terjadi sifilis stadium lanjut berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan kardiovaskuler. Terserangnya Susunan Syaraf Pusat (SSP) ditandai dengan gejala meningitis sifilitik akut dan berlanjut menjadi sifilis meningovaskuler dan akhirnya timbul paresis dan tabes dorsalis. Periode laten ini kadang kala berlangsung seumur hidup. Pada kejadian lain yang tidak dapat diramalkan, 5 – 20 tahun setelah infeksi terjadi lesi pada aorta yang sangat berbahaya (sifilis kardiovaskuler) atau gumma dapat dijumpai dikulit, saluran pencernaan tulang atau pada permukaan selaput lendir. Penderita yang terinfeksi sifilis dan pada saat yang sama juga terkena infeksi HIV cenderung akan menderita sifilis SSP. Oleh karena itu, setiap saat ada penderita HIV dengan gejala SSP harus dipikirkan kemungkinan penderita mengalami neurosifilis (neurolues). Infeksi pada janin terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal pada saat mengandung bayinya dapat menyebabkan terjadinya aborsi, stillbirth atau kematian bayi karena lahir prematur atau lahir dengan Berat Badan Lahir 19
Rendah (BBLR) atau mati karena menderita penyakit sistemik. Bayi yang menderita sifilis mempunyai lesi mukokutaneus basah yang muncul lebih menyebar dibagian tubuh lain dibandingkan dengan penderita sifilis dewasa. Lesi basah ini merupakan sumber infeksi yang sangat potensial. Infeksi kongenital dapat berakibat munculnya manifestasi klinis yang muncul kemudian berupa gejala neurologis terserangnya SSP. Dan kadangkala infeksi kongenital dapat mengakibatkan berbagai kelainan fisik yang dapat menimbulkan stigmatisasi di masyarakat seperti gigi Hutchinson, saddlenose (hidung berbentuk pelana kuda), sabershins (tulang kering berbentuk pedang), keratitis interstitialis dan tuli. Sifilis kongenital kadang asimtomatik, terutama pada mingguminggu pertama setelah lahir.
Gambar 3. Ulkus durum pada pria11
Gambar 4. Ulkus durum pada wanita11
20
Gambar 5. Sifilis Stadium II11
Gambar 6. Kondiloma lata11
21
Dapat dilihat pada tabel 2 dibawah mengenai tatalaksana sifilis diambil dari fitzpatrick’s.
22
Tabel 3 Penatalaksanaan Sifilis.
2.6.5 Ulkus mole Ulkus mole atau sering disebut Chancroid, ialah penyakit infeksi genitalia akut, setempat, dapat inokulasi sendiri (auto-inoculable), disebabkan oleh Haemophilus ducreyi, dengan gejala klinis khas berupa ulkus pada tempat masuk dan seringkali desertai supurasi kelenjar getah bening regional. Penyakit ini bersifat endemik dan tersebar di daerah tropik dan subtropik,terutama di kota dan pelabuhan. Perbaikan tingkat ekonomi mempengaruhi berkurangnya frekuensi penyakit ini di negara-negara yang lebih maju. Selain penularan melalui 23
hubungan seksual, secara kebetulan juga dapat mengenai jari dokter atau perawat. Frekuensi pada wanita dilaporkan lebih rendah, mungkin karena kesukaran membuat diagonsa. Beberapa faktor menunjukkan bahwa terdapat pembawa kuman (carrier) basil Ducreyi, tanpa gejala klinis, biasanya wanita tuna susila. Menurut CDC, Sejak tahun 1987, dilaporkan kasus ulkus mole menurun terus sampai 2001. Sejak itu, jumlah kasus yang dilaporkan telah berfluktuasi. Pada tahun 2010, hanya 24 kasus ulkus mole dilaporkan di Amerika Serikat dan hanya sembilan negara melaporkan ada kasus ulkus mole, satu atau lebih pada tahun 2010 tetapi menurut Whitemon, ulkus mole sering terjadi pada laki-laki berusia 25 sampai 35, dan epidemiologi di Amerika Serikat menunjukkan rasio laki-laki: perempuan dalam kisaran 3:1 sampai 25:1. Masa inkubasi berkisar Antara 2-35 hari, pada umumnya 7 hari. Lesi kebanyakan multiple, jarang soliter, biasanya pada daerah genital, jarang pada daerah ekstragenital. Mula-mula kelainan kulit berupa papul, kemudian menjadi vesiko-pustul pada tempat inokulasi, cepat pecah menjadi ulkus. Tempat predileksi pada laki-laki ialah permukaan mukosa preputium,sulkus koronarius, frenulum penis, dan batang penis. Dapat juga timbul lesi diuretra, skrotum, perineum, atau anus. Pada perempuan ialah labia, klitoris, fourchette, vestibuli, anus, dan serviks. Boleh juga terjadi lesi ekstragenital,terdapat pada lidah, jari tangan,bibir, payudara, umbilikus dan konjungtiva. Beberapa variasi ulkus mole telah dilaporkan, di antaranya ialah ulkus molefolikularis,
dwarf
chancroid,
transient
chancroid,
papular
chancroid,
giantchancroid, phagedenic chancroid, dan tipe serpiginosa. Berdasarkan gambaran klinis dapat disingkirkan penyakit kelamin yang lain. Menurut Makes, harus pikirkan juga kemungkinan infeksi campuran.Pada pemeriksaan serologik untuk menyingkirkan sifilis juga harus dikerjakan dan sebagai penyokong diagnosis ialah pewarnaan Wright, Unna-pappenhein, atau Giemsa. Selain itu, diagnosis yang lebih akurat didapat dari kultur H.ducreyi dengan media baku berupa agar gonokokus dan agar Mueller-Hinton. Di samping itu, tes serologi juga boleh dilakukan dengan tes ELISA memakai whole lysed H.ducreyi.7,9
24
Gambar 7. Ulkus mole pada sulkus koronarius
Gambar 16. Chancroid vulva
Komplikasi yang terjadi pada penderita ulkus mole ialah adenitis inguinal, fimosis dan parafimosis, fisura uretra, fistel rektovagina, mixed chancre, dan infeksi campuran dengan organisme Vincent. Tatalaksana ulkus molle dapat diliat pada tabel 4 dibawah ini. Tabel 4 penatalaksaan ulkus molle.14
25
2.6.6 Vaginosis Bakterial Vaginosis bakterial adalah sindrom klinik akibat bertambah banyaknya organisme komensal dalam vagina (contoh: Gardnerella vaginalis, Prevotella, Mobiluncus, spp.) serta berkurangnya organisme laktobasilus, terutama Lactobacillus yang menghasilkan hydrogen peroksida. Pada vagina yang sehat, laktobasilus mempertahankan suasana asam dan aerob.7 Sebanyak 50-75% wanita dengan vaginosis bakterial tidak mengalami gejala atau keluhan. Wanita dengan vaginosis bakterial dapat mengeluhkan discharge warna putih atau keabu-abuan tipis, berbau amis. Pruritus vulvovaginal dan inflamasi jarang. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan lapisan di vagina homogen dan sedikit kental, menempel pada dinding vagina.9 Berdasarkan kriteria Amstel untuk diagnose vaginosis bakterial, 3 dari 4 kriteria harus ditemukan: 1) discharge vagina tipis dan homogen, (2) Whiff tes (+), melibatkan produksi bau amis ketika cairan vagina dicampur dengan KOH 10%, 3) pH cairan vagina >4.5, dan 4) adanya clue cells, yaitu sel epitel dikelilingi oleh bakteri, minimal 20% sel epitel pada sediaan basah. Pemeriksaan lain antara lain pewarnaan Gram untuk membedakan antara flora normal bakteri Gram positif dan laktobasilus dari Gram negatif.7,9 Tatalaksana sesuai dengan Pedoman Nasional Tatalaksana IMS 2015 adalah metronidazole per oral 2 g dosis tunggal atau alternatif dengan metronidazole per oral 2x500 mg selama 7 hari atau klindamisin per oral 2x300 mg/hari, selama 7 hari. Vaginosis bakterial memiliki faktor risiko untuk kelahiran prematur dan lahir kurang bulan pada kehamilan. Vaginosis bakterial juga dikaitkan dengan faktor risiko transmisi dan akuisisi HIV.7 Vaginosis bakterial memiliki prognosis yang baik dengan terapi yang tepat. Beberapa infeksi dapat sembuh dengan sendirinya tanpa terapi. Banyak infeksi yang asimptomatik dan komplikasi jarang. Sedangkan untuk pencegahannya abstinensia dianggap yang paling efektif.9 26
2.6.7 Limfogranuloma Venerum Limfogranuloma Venereum (LGV) adalah infeksi menular seksual yang mengenai sistem saluran pembuluh limfe dan kelenjar limfe, terutama pada daerah genital, inguinal, anus dan rektum. Penyakit ini terutama terdapat di negeri tropik dan subtropik, penderita laki-laki pada sindrom inguinal lebih banyak daripada perempuan, kini penyakit ini jarang ditemukan. LGV adalah penyakit jarang di negara maju tetapi penyakit ini sering ditemukan di daerah Kepulauan Karibia, Amerika Tengah, Asia Tenggara, danAfrika. LGV mempengaruhi kedua jenis kelamin, tetapi lebih sering laki-laki dilaporkan. Selain itu, LGV juga dapat mempengaruhi semua usia tetapi dalam populasi yang aktif secara seksual didapati berusia 15-40 tahun. Penyebabnya ialah Chlamydia trachomatis, terdiri dari dua biovars yaitu trachoma atau organisme TRIC dan organisme LVG. LVG sendiri terdiri atas 3 serovars yaitu L1, L2, dan L3. Menurut Sentono, Afek primer berbentuk tak khas dan tak nyeri, dapat berupa erosi, papul miliar, vesikel, pustul, dan ulkus. Pada laki-laki umumnya afek primer berlokasi genitalia eksterna, terutama di sulkus koronarius dapat pula di uretra meskipun sangat jarang. Pada perempuan ada padavagina bagian dalam dan serviks. Setelah afek primer menghilang timbul sindrom inguinal yaitu pembesaran kelenjar di atas dan di bawah ligamentum inguinal pouparti sehingga terbentuk celah disebut sign of groove (Greenblatt’s sign) dan pembesaran kelenjar femoralis, inguinalis superfisial dan profundus menyebabkan bentuk seperti tangga sehingga disebut ettage bubo.18
27
Gambar 8. Limfogranuloma venereum: erosi halus yang tidak nyeri pada preputium
Gambar 9. Bubo awal yang terdiri atas pembesaran unilateral dan koalesen nodus limfe inguinal17
28
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tes GPR (Gate Papaacosta Reaction), pengecatan Giemsa dari pus bubo, tes Frei, tes serologi seperti CFT (complementfixation
test),
RIP
(radio
isotop
presipitation),
dan
micro-IF
(immunofluorescence Typing). Selain itu, kultur jaringan boleh dilakukan di dalam yolk sac embrio ayam dari aspirasi pus bubo.18 Tatalaksana sesuai dengan Pedoman Nasional Tatalaksana IMS 2015 untuk limfogranuloma venereum adalah doksisiklin per oral 2x100 mg/hari selama 14 hari, atau eritromisin base per oral 4x500 mg/hari selama 14 hari.9 Komplikasi LGV berupa stadium lanjut dari sindrom inguinal yaitu sindrom anorektal dan sindrom genital atau Eschiomene.
2.6.8 Granuloma Inguinale Granuloma inguinale adalah proses granulomatosa yang biasanya mengenai daerah anogenital dan inguinal. Daya penularan penyakit ini rendah,bersifat kronik, progresif, penularan secara autoinokulasi, mengenai genitalia dankulit di sekitarnya, kadangkadang sistem limfatik . Penyakit ini jarang terjadi di Amerika Serikat, tetapi pada tahun 1954 dilaporkan penyakit ini bersifat endemik di beberapa daerah tropis dan negara berkembang. Frekuensi pada laki-laki dua kali daripada perempuan. Pada umumnya penderita berumur 20-40 tahun dengan tingkat sosial-ekonomi yang rendah dan higiene yang buruk serta jarang pada usia anak dan usia orang tua. Penyakit ini disebabkan oleh Klebsiella granulomatis yang dulu disebut Calymatobacterium granulomatis. Masa inkubasi sangat bervariasi, berkisar Antara 2minggu sampai 3 bulan, adapula yang 1 tahun. Lesi dapat dimulai pada daerah genitalia eksterna, paha, lipatan paha, atau perineum. Pada permulaan, nodus subkutan tunggal ataupun multiple, kemudian mengalami erosi menibulkan ulkus berbatas tegas
yang tidak nyeri, kemudian
perlahan-lahan menjadi ulkus granulomatosa berbentuk bulat dan mudah berdarah, lesi dapat meluas ke abdomen bagian bawah dan bokong. Pembengkakkan di daerah inguinal dapat timbul sebagai abses yang akhirnya pecah menjadi ulkus yangkhas
29
disebut pseudobubo. Proses ulserasi kadang-kadang meluas ke genitalia perempuan, mengenai servik uteri, labia minora, monsveneris, dan fourchette sedangkan pada lakilaki, penis dan skrotum yang terkena. Terdapat beberapa tipe gambaran klinis yaitu tipe nodular, tipe ulsero-vegetatif, tipe hipertrofik, tipe sikatrisial. Gambar 10. Granuloma inguinale
Diagnosis ditegakkan dengan hapusan jaringan yaitu mencari D.granulomatis dalam sel-sel mononuklear yang besar kemudian diwarnai dengan Giemsa, Wright Leishman, Perak atau Gram. Boleh juga menggunakan Tes PCR. Komplikasi yang didapati berbentuk edema genital sering pada wanita, deformitas genital sekiranya berlangsung lama, pada bentuk sklerotik terjadi stenosis pada uretra, vagina, dan lubang anus. Selain itu, dapat terjadi hiperplasia pseudoepitelimatosa serta pada perempuan sering terjadi lesi metastatik, dapat mengenai tulang, sendi, dan alatalat dalam.
Tabel 5 Penatalaksaan granuloma inguinale.
30
2.6.9 Herpes simpleks Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekuren. Herpes Simplex Virus (HSV) dibedakan menjadi 2 tipe oleh SHARLITT tahun 1940 menjadi HSV tipe 1 dan HSV tipe 2. Secara serologik, biologik dan fisikokimia, keduanya hampir tidak dapat dibedakan. Namun menurut hasil penelitian, HSV tipe 2 merupakan tipe dominan yang ditularkan melalui hubungan seksual genito-genital. HSV tipe 1 justru banyak ditularkan melalui aktivitas seksual oro-genital atau melalui tangan.9,10 Masa inkubasi umumnya berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama. Gejala yang timbul dapat berat, tetapi dapat juga asimtomatik terutama bila lesi ditemukan pada daerah serviks. Pada penelitian retrospektif (Daili, 2011) 50-70% bersifat asimtomatik. Menurut Handoko (2010), infeksi HSV ini berlangsung dalam tiga tingkat yaitu yang pertama adalah infeksi primer, kedua adalah fase laten, dan ketiga adalah infeksi rekurens. Setiap tingkat tersebut mempunyai gambaran klinis yang berbeda.11 i. Infeksi primer
31
- Lokasi klinis HSV tipe I biasanya terdapat pada daerah pinggang keatas,yaitu daerah mulut dan hidung. Pada HSV tipe II, lokasi klinisnya didaerah pinggang ke bawah terutama pada daerah genitalia, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatus. Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai gejala sistemik seperti demam, malaise, anoreksia, dan dapat juga menyebabkan pembengkakan kelenjar getah bening reigonal. - Selain itu, gejala klinis infeksi primer yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih kemudian dapat menjadi seropurulen serta dapat menjadi krusta dan kadangkadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatrik. ii. Infeksi laten - Pada fase ini penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat dijumpai dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis. iii. Infeksi rekurens - Fase ini merupakan fase lanjutan dari fase laten yaitu HSV yang dijumpai dalam keadaan tidak aktif, dipacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis yang lebih ringan daripada infeksi primer, yaitu prodromal lokal sebelum timbul vesikel, berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Faktor pencetus dapat berupa trauma fisik, demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dan makanan dan minuman yang merangsang.
32
Gambar 11. Herpes Genitalis Primer dengan Vesikel
Gambar 12. Herpes Genitalis Rekuren
Diagnosis secara klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekuren. Pemeriksaan laboratorium yang paling sederhana adalah tes Tzank yang diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright dimana akan tampak sel raksasa berinti banyak. Cara terbaik dalam menegakkan diagnosa adalah dengan melakukan kultur jaringan karena paling sensitif
33
dan spesifik. Namun cara ini membutuhkan waktu yang banyak dan mahal. Dapat pula dilakukan tes-tes serologis terhadap antigen HSV baik dengan cara imunoflouresensi, imunoperoksidase maupun ELISA.1 Tatalaksana sesuai dengan Pedoman Nasional Tatalaksana IMS 2015 untuk herpes genitalis episode pertama adalah asiklovir per oral 5x200 mg/hari selama 7 hari, atau asiklovir per oral 3x400 mg selama 7 hari, atau valasiklovir per oral 2x500 mg/hari selama 7 hari. Sedangkan untuk herpes genitalis rekurens, lini pertama adalah asiklovir per oral 5x200 mg/hari selama 5 hari, atau asiklovir per oral 3x400 mg selama 5 hari, atau valasiklovir per oral 2x500 mg/hari selama 5 hari.2 Komplikasi yang paling ditakutkan adalah akibat dari penyakit ini pada bayi yang baru lahir (Daili, 2009). Herpes genitalis pada trimester awal kehamilan dapat menyebabkan abortus atau malformasi kongenital berupa mikroensefali. Pada bayi yang lahir dari ibu pengidap herpes ditemukan berbagai kelainan seperti hepatitis, ensefalitis, keratokonjungtivitis bahkan stillbirth.
2.6.10 Kondiloma akuminatum Kondiloma akuminata (KA) adalah infeksi menular seksual dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada kulit dan mukosa. Sering di sebut sebagai kutil kelamin atau penyakit jengger ayam. Lebih dari 90% kondiloma akuminata disebabkan oleh Virus Papiloma Humanus (VPH) tipe 6 dan 11. VPH merupakan virus DNA yang merupakan virus epiteliotropik (menginfeksi epitel ) dan tergolong dalam famili Papovaviridae.Berdasarkan kemungkinan terjadinya displasia epitel dan keganasan maka VPH dibagi menjadi VPH berisiko rendah (low risk), VPH beresiko sedang (moderate risk) dan VPH berisiko tinggi (high risk). VPH tipe 6 dan tipe 11 paling sering ditemukan pada kondiloma akuminata yang eksofitik dan pada displasia derajat rendah (low risk), sedangkan VPH tipe 16 dan 18 sering ditemukan pada displasia keganasan yang berisiko tinggi (high risk) sedangkan risiko menengah (moderate risk)
34
terdiri atasVPH tipe 33, 35, 39, 40, 43, 45, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 58. Pada sekitar 10% pasien mengalami kondiloma akuminata yang diakibatkan oleh kombinasi beberapa VPH.8 Kondiloma akuminata paling sering tumbuh di permukaan tubuh yang hangat dan lembab. Pada pria, area yang sering terkena adalah ujung dan batang penis dan di bawah prepusium jika tidak disunat. Pada wanita, kutil timbul di vulva, dinding vagina, leher rahim (serviks) dan kulit di sekeliling vagina. Kutil genitalis juga bisa terjadi di daerah sekeliling anus dan rektum, terutama pada pria homoseksual dan wanita yang melakukan hubungan seksual secara genitoanal. Kutil biasanya muncul dalam waktu16 bulan setelah terinfeksi, dimulai sebagai pembengkakan kecil yang lembut,lembab, berwarna merah atau pink. Mereka tumbuh dengan cepat dan bisa memiliki tangkai. Pada suatu daerah seringkali tumbuh beberapa kutil dan permukaannya yang kasar memberikan gambaran seperti kembang kol. Pada wanita hamil, pada gangguan sistem kekebalan (penderita AIDS atau pengobatan dengan obat yang menekan sistem kekebalan) dan pada orang yang kulitnya meradang, pertumbuhan kutil ini sangat cepat. Keadaan klinis kondiloma akuminata dibagi dalam 3 bentuk yaitu bentuk akuminata, bentuk papul dan bentuk datar. Selain itu, dikenal pula sebutan Giant Condyloma untuk keadaan klinis KA tampak sangat besar, bersifat invasif lokal dan tidak bermetastasis.9
Gambar 13. Kutil Kelamin
35
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Kutil yang menetap bisa diangkat melalui pembedahan dan diperiksa dibawah mikroskop untuk meyakinkan bahwa itu bukan merupakan suatu keganasan. Wanita yang memiliki kutil di leher rahimnya, harus menjalani pemeriksaan Pap-smear secara rutin. Pada lesi yang meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dengan tes asam asetat, kolposkopi dan pemeriksaan histopatologis
36
Pengangkatan lesi bukan berarti penyembuhan infeksi, dan tidak ada cara pengobatan yang memuaskan. Pada umumnya podofilin (atau podofilotoksin) atau trichloracetic acid (TCA) digunakan untuk pengobatan kutil pada genitalia eksterna dan daerah perianal. Krioterapi dengan nitrogen cair, carbondioxida padat, atau cryoprobe merupakan pilihan banyak dokter bila sarana tersebut tersedia. Krioterapi adalah cara yang tidak toksik, tidak memerlukan tindakan anastesi dan bilamana dilakukan secara benar, tidak akan menimbulkan jaringan parut. Tabel 6. Beberapa cara pengobatan kutil kelamin2
Kondiloma akuminata yang diakibatkan oleh VPH berisiko tinggi dapat berkembang menjadi keganasan. Infeksi VPH akan semakin buruk pada pasieni munodefisiensi dan memperbesar kemungkinan terjadinya keganasan. Penyakit laten semakin sering kambuh pada wanita yang sedang hamil. Pendarahan sering terjadi pada flat penile wart.
2.6.11 Moluskum Kontagiosum Moluskum kontagiosum merupakan infeksi virus DNA genus Molluscipox. Gejala klinis berupa papul berbentuk kubah, berkilat dan pada permukannya terdapat lekukan (umbilikasi), berisi massa yang mengandung badan moluskum. Pada individu sehat dapat sembuh spontan setelah beberapa bulan. Kadang menetap sampai dua bulan atau lebih.
37
Penyakit ini terutama menyerang anak, kadang juga orang dewasa, dan pasien imunokompromais. Pada orang dewasa digolongkan dalam penyakit infeksi menular seksual (IMS).9 Virus moluskum tergolong virus DNA genus Molluscipox, ditemukan 4 subtipe, dan tipe 1 dianggap dapat menyerang individu yang imunokompeten. Transmisi dapat melalui kontak kulit langsung, otoinokulasi, atau melalui benda yang terkontaminasi, misalnya handuk, baju, kolam renang dan mainan. Masa inkubasi antara 2-8 minggu. Penyembuhan spontan biasanya terjadi dalam berbulan hingga 2-3 tahun, namun dapat juga bertahan lama. Pemulihan spontan diperantarai oleh respon imun selular yakni limfosit. Predileksi lokasi yaitu wajah, leher, ketiak, badan, dan ekstremitas (jarang di telapak tangan atau kaki), sedangkan pada orang dewasa di daerah pubis dan genitalia eksterna. Kelainan kulit berupa papul berbentuk bulat mirip kubah, berukuran miliar sampai lentikular dan berwarna putih dan berkilat seperti lilin. Papul tersebut kemudian membesar di tengahnya terdapat lekukan (umbilikasi). Jika dipijat akan tampak ke luar massa yang berwarna putih mirip butiran nasi.
Gambar 13. A, Terlihat lesi berbentuk kubah dengan umbilikasi. B, Lesi pada wajah seorang anak lakilaki yang tersebar akibat garukan.
38
Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga timbul supurasi. Lesi dapat timbul sendiri hingga multipel. Dapat terasa gatal. Penyebaran terjadi akibat garukan, sehingga memiliki konfigurasi berupa linier. Sebagian papul dapat berukuran 1-5 mm dan bertangkai, juga dapat berukuran besar hingga 10-15 mm disebut giant molluscum. Pada pasien imunokompromais, lesi moluskum cepat tumbuh, berjumlah sampai ratusan, besar, dan tersebar. Virus dapat dideteksi dengan pemeriksaan PCR. Pemeriksaan histopatologik di daerah epidermis dapat ditemukan badan moluskum (intracytoplasmic inclusion body) yang mengandung partikel virus. Badan inklusi tersebut dinamakan HendersonPaterson bodies. Badan moluskum juga dapat dilihat dengan pulasan Gram, Wright atau Giemsa.9
39
Gambar 15.17 Moluskum kontagiosum: papul berbentuk kubah dengan umbilikasi pada bagian sentral.
Morfologi klinis yang khas berupa papul bulat, keras, berkilat mirip lilin dan permukaan dapat disertai umbilikasi. Biasanya tanpa inflamasi. Klinis mudah dibedakan dengan milia, folikulitis, dan lesi awal varicella. Salah satu pilihan terapi pada kasus moluskum kontagiosum adalah menunggu hingga sembuh dengan sendirinya. Namun dapat juga dengan cara mengeluarkan masa yang mengandung badan moluskum. Untuk mengeluarkan massa tersebut, dapat dipakai alat, antara lain ekstraktor komedo, jarum suntik, atau kuret; laser juga dapat digunakan. Cara lain yang dapat digunakan adalah elektrokauterisasi atau bedah beku dengan CO2 dan N2. Sebelum tindakan dapat diberikan anestetik lokal, misalnya krim lidokain. Pada anak, terapi intervensi kurang dapat diterima, selain tidak nyaman juga menimbulkan trauma pada anak. Pengobatan yang dilakukan oleh divisi Kulit AnakPoliklinik Kulit dan Kelamin RSCM dengan cara mengoles kantaridin 0.7% dan dibiarkan selama 4 jam lalu dicuci memberikan hasil efektif. Pengolesan dapat
40
menimbulkan nyeri saat timbul vesikel (1-3 hari setelah aplikasi). Rasa nyeri dapat diatasi dengan asetaminofen dan bila gelembung pecah dapat diolesi krim/salap natrium fusidat atau mipirosin. Efek samping berupa hiperpigmentasi pasca inflamasi juga dapat menghilang. Obat pilihan lain adalah pengolesan dengan fenol jenuh dan dicuci setelah 4 jam juga efektif. Rasa nyeri/pedih atau panas yang muncul beberapa menit setelah dioles fenol. Penyembuhan dapat disertai hipopigmentasi atau hiperpigmentasi pasca inflamasi. Terapi lain adalah golongan keratolitik topikal, misalnya tretinoin, bichlorocetic acid, atau trichloroacetic acid, dan asam salisilat. Pada orang dewasa pengobatan harus dilakukan terhadap pasangan seksual. Pasien yang diketahui memiliki HIV/AIDS dianjurkan terapi antivirus per oral, misal cidofovir. Pencegahan pada pasien diminta menjaga kebersihan diri, tidak saling meminjam alat mandi, mencegah kontak fisik, dan selama sakit dilarang berenang.9
2.6.11 Scabies Scabies adalah penyakit yang di sebabkan oleh infestasi dan sensitasi Sarcoptes scabiei Var. Hominis. Parasit tersebut merupakan tungau kecil berbentuk bulat lonjong, yang betinanya akan membuat terowongan setelah dibuahi. Terowongan dapat mencapai ke perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum. Di terowongan ini tungau betina tinggal kurang lebih selama 30 hari dan bertelur 2-3 butir telur per hari, lalu menetas dalam 3-4 hari menjadi larva yang akan keluar ke permukaan kulit lalu masuk menggali kembali ke kulit untuk melindungi dirinya dan mendapat makanan. Waktu yang diperlukan dari telur hingga bentuk dewasa 10-14 hari. Pruritus pada malam hari
merupakan gejala scabies yang utama, karena
aktivitas tungau meningkat pada suhu kulit yang lembab dan hangat. Lesi khas scabies adalah papul yang gatal sepanjang terowongan, kulit terlihat meninggi bias lurus atau
41
berkelok dan berwarna ke abu-abu an. Pada umumnya lesi simetrik dan tempat predileksinya adalah sela jari tangan, fleksor siku dan lutut pergelangan bawah dan bokong. Lesi pada penis berbentuk khas terutama berupa nodul dan sering disertai lesi ulseratif dan pioderma.17 Adapula berbagai bentuk khusus dari scabies17: 1. 2. 3. 4.
Scabies pada orang bersih Scabies nodularis Scabies yang disertai infeksi menular seksual lain Scabies dsn AIDS
Komplikasi pada scabies yang sering di jumpai adalah infeksi sekunder, seperti lesi impetiginosa, ektima, furunkulosis dan selulitis. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sistemik, yang memberatkan perjalanan penyakit (bisa terdapat stafilokokus dan streptokokus). Diagnosis dengan riwayat gatal terutama pada malam hari, terdapat lesi polimorf terutama pada tempat predileksi, diagnosis pasti di tegakan dengan ditemukannta tungau dengan pemeriksaan mikroskop, yang di dapat dilakukan dengna berbagai cara, yaitu17: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kerokan kulit Mengambil tungan dengan jarum Epidermal shave biopsy Kuretasi terowongan Tes tinta Burrow Tetrasiklin topical apusan kulit Biopsy plong
Prinsip penatalaksaan scabies dimulai dari menemukan tungaunya, lalu dijelaskan penyakitnya pada penderita dan menentukan obat yang akan di gunakan. Beberapa macam obat dapat dipakai pada pengobatan scabies.
42
Tabel
7
Penatalaksaan
untuk
scabies.
Gambar 16 Skabies di sela jari.
43
2.6.12 Kandidosis Vulvo-vaginal Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh Candida spp. seperti Candida albicans. Infeksi dapar mengenai kulit, kuku, membran mukosa, traktus gastrointestinal, juga dapat menyebabkan kelainan sistemik. Infeksi Candida dapat dikelompokkan sebagai berikut:8 • Kandidosis oral • Kandidosis kutis dan selaput lendir genital • Paronikia candida dan onikomikosis candida • Kandidosis kongenital • Kandidosis mukokutan kronik • Reaksi id Kandidosis vaginal dan vulvovaginal adalah penyebab kedua tersering dari vaginitis. Faktor risiko kandidosis vulvovaginal antara lain penggunaan antibiotic atau steroid, diabetes mellitus, pemakaian AKDR, penggunaan pakaian yang ketat, dan imunosupresi.9 Keluhan utama kandidosis vulvovaginal adalah gatal di daerah vulva dengan discharge vagina, rasa terbakar atau nyeri saat berkemih, kadang dyspareunia. Pemeriksaan fisik menunjukkan hiperemis pada labia minora, introitus vagina, dan vagina ⅓ bagian bawah. Dapat juga ditemukan plak atau bercak putih-kekuningan di dinding vagina dengan dasar eritema. Fluor albus kandidosis vulvovaginal berwarna kekuningan. Tanda khasnya adalah disertai gumpalan-gumpalan seperti susu berwarna putih kekuningan.8,9 Gambar 17. Kandidiosis vulvovaginal
44
Candida spp. dapat menyebabkan 30-35% balanitis infeksius. Faktor predisposisinya antara lain diabetes mellitus, belum sirkumsisi, dan infeksi vagina pasangan seksual. Kadang, pasien dengan balanitis mengeluhkan adanya eritema sementara dan rasa terbakar yang timbul segera setelah intercourse. Erupsi yang melibatkan penis terasa gatal. Pemeriksaan fisik meliputi bercak putih pada glans penis dan preputium. Papul kecil atau vesikulopustul rapuh di glans atau sepanjang sulkus koronaius bila pecah akan meninggalkan erosi eritema dengan skuama putih.
Gambar 18. Balanoposthitis candida8
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan antara lain: 1) pemeriksaan langsung kerokan kulit atau usapan mukokutan dengan larutan KOH 20% atau dengan pewarnaan Gram, dimana akan ditemukan sel ragi, blastospora, atau pseudohifa. 2) Pemeriksaan biakan dengan media agar dekstrosa glukosa Saboraud dengan koloni mucoid putih dalam 2-5 hari.8 Tatalaksana sesuai dengan Pedoman Nasional Tatalaksana IMS 2015 adalah klotrimazol intravagina 200 mg setiap hari selama 3 hari, atau klotrimazol intravaginal 500 mg dosis tunggal, atau flukonazol per oral 1x150 mg dosis tunggal, atau itrakonazol per oral 1x200 mg dosis tunggal. Alternatif bisa dengan nystatin intravagina 100.000 IU setiap hari selama 7 hari.8,9
45
BAB 3 EDUKASI 3.1 Konseling pada Pasien IMS Penyiapan fasilitas pelayanan yang terjangkau dan dapat diterima serta efektif merupakan syarat utama pemberantasan dan penanggulangan IMS. Di negara maju maupun di negara berkembang, setiap pasien IMS diberi kesempatan untuk memilih unit pelayanan kesehatan untuk perawatan IMSnya. Kemungkinan ada tiga pilihan yang bisa dilakukan, yaitu: pengobatan oleh klinik pemerintah, klinik swasta atau sektor informal. Dalam menjamin keterjangkauan program IMS perlu diketahui bahwa para pasien IMS akan mencari kombinasi dari ke tiga fasilitas tersebut di atas.
Beberapa pesan edukasi IMS yang perlu disampaikan: 1. Mengobati sendiri cukup berbahaya 2. IMS umumnya ditularkan melalui hubungan seksual. 3. IMS adalah ko-faktor atau faktor risiko dalam penularan HIV. 4. IMS harus diobati secara paripurna dan tuntas. 5. Kondom dapat melindungi diri dari infeksi IMS dan HIV. 6. Tidak dikenal adanya pencegahan primer terhadap IMS dengan obat. 7. Komplikasi IMS dapat membahayakan pasien.
RINCIAN PENJELASAN KEPADA PASIEN IMS yang diderita dan Pengobatannya 1. menjelaskan kepada pasien tentang IMS yang diderita dan obat yang diperlukan, termasuk nama, dosis, serta cara penggunaannya. Bila perlu dituliskan secara rinci untuk panduan pasien 2. memberitahu tentang efek samping pengobatan 3. menjelaskan tentang komplikasi dan akibat lanjutnya 4. menganjurkan agar pasien mematuhi pengobatan 5. menganjurkan agar tidak mengobati sendiri, harus berobat ke dokter 6. menjelaskan agar pasien tidak melakukan douching
46
Menilai Tingkat Risiko ♦ Perilaku seksual pribadi, tanyakan tentang : • jumlah pasangan seksual dalam 1 tahun terakhir ? • hubungan seksual dengan pasangan baru berbeda dalam 3 bulan terakhir ? • pernah menderita IMS lain dalam 1 tahun terakhir ? • apakah hubungan seksual dilakukan untuk mendapatkan uang, barang atau obat terlarang (baik yang memberi maupun yang menerima)? • pemakaian napza atau obat lain (sebutkan) sebelum atau selama berhubungan seksual ?
♦ Perilaku seksual pasangan, menanyakan apakah pasangan pasien : • berhubungan seksual dengan orang lain ? • juga menderita IMS ? • mengidap HIV? • penyalah guna Napza suntik ? • untuk pria, apakah berhubungan seksual dengan sesama pria?
♦ Perilaku yang melindungi pasien : • apa yang dilakukan pasien untuk melindungi diri terhadap IMS/ HIV? • pemakaian kondom? bilamana dan cara pemakaiannya? Jarang/sering/ selalu digunakan? • jenis aktivitas seks aman yang dilakukan pasien ? Seberapa sering? Dengan siapa dan mengapa ?
Menjelaskan pilihan perilaku seksual yang aman ♦ Cara ABCD
47
A = Abstinence (tidak melakukan hubungan seksual untuk sementara waktu) B = Be faithful (setia pada pasangan) C = Condom (gunakan kondom bila tidak mau melaksanakan A dan B, termasuk menggunakan kondom sebelum IMS yang dideritanya sembuh) D = no Drugs Tidak menggunakan obat psikotropik atau zat adiktif lainnya
♦ Ada juga cara lain yaitu dengan mengganti hubungan seksual penetratif berisiko tinggi (hubungan seksual anal maupun vaginal yang tidak terlindung) dengan hubungan seksual non-penetratif berisiko rendah).
Perilaku berisiko tinggi adalah perilaku yang menyebabkan seseorang terpapar dengan darah, semen, cairan vagina yang tercemar kuman penyebab IMS atau HIV. Yakinkan pasien bahwa mereka telah terinfeksi melalui hubungan seksual tak terlindung dengan pasangan yang terinfeksi, dan bahwa tidak ada penyebab lainnya. Pasien perlu diberi penjelasan mengenai manfaat penggunaan kondom sebagai pecegahan terhadap IMS,bagaimana cara pemakaian yang benar serta berberapa hal yang harus diperhatikan.
Manfaat kondom : ♦ mencegah penularan IMS termasuk HIV. ♦ membantu mencegah kehamilan. ♦ memberikan rasa nyaman, wanita tidak terlalu merasa basah di dalam vaginanya. ♦ memberikan rasa aman, terhadap kemungkinan tertular atau hamil. ♦ menghemat dana untuk perawatan dan obat-obatan bila seseorang tertular IMS 7
48
7
49
DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization : Sexually transmitted infections (STIs). www.who.int/mediacentre/factsheets/fs110/en 2. Satterwhite CL, et al: Sexually transmitted infections among U.S. women and men: prevalence and incidence estimates, 2008. Sex Transm Dis 2013; 40: pp. 187-193 3. Owusu-Edusei K, et al: The estimated direct medical cost of selected sexually transmitted infections in the United States, 2008. Sex Transm Dis 2013; 40: pp. 197-201 4. Dr. Anung Sugiantono MK. Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2012 Semarang; 2012. 5. Staf. Profil Kesehatan Puskesmas Lebdosari Tahun 2012 Semarang; 2012. 6. Heidi Swygard and Myron S. Choen. Approach to the patien with a Sexually Transmitted Infection. Published in January 1, 2016. 7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional penanganan infeksi menular seksual 2015. Edisi ke-1. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2015. 8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 28 tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehtan Nasional. In Indonesia DKR, (Ed). Jakarta 2014. 9. Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W dkk, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2015. 10. Daili SF, Zubier F. Tinjauan infeksi menular seksual (I.M.S). Dalam: Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W dkk, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2015. p. 439-449. 11. Wolf K.Johnshon RA. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology.
50
12. Sjaiful fahmi daily, wresti indratmi B., Farida zubier , editor. Infeksi Menular Seksual. Edisi keempat. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2014. 13. Katz KA. Syphilis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel l DJ, Wolff K. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Volume 2. 8th edition. New York: The McGrawHill Companies; 2012. P. 2471-92. 14. Stephan Lautenschlager. Chancroid. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel l DJ, Wolff K. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Volume 2. 8th edition. New York: The McGrawHill Companies; 2012. P. 2504. 15. Zitelli BJ, Mclntire SC, Nowalk AJ. Zitelli and Davis. Atlas of Pediatric Physical Diagnosis, Seventh Edition. Elsevier, 2018; 8, hal. 275-340. 16. Yanoff M. Opthalmology, Fifth Edition. Elsevier, 2018; hal. 1293-1303. Habif TP. Clinical Dermatology: a Color Guide to Diagnosis and Therapy, Sixth Edition. Elsevier, 2016. 17. M. Soedarto. Skabies dalam: Sjaiful fahmi daily, wresti indratmi B., Farida zubier , editor. Infeksi Menular Seksual. Edisi keempat. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2014. P197-202. 18. Adhi Dhuanda, Hanny Nilasari. Limfogranuloma VenerumDalam: Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W dkk, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2015. p. 484-487.
51