Referat Ra.docx

  • Uploaded by: Feisal Moulana
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Ra.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,848
  • Pages: 27
Referat

RINITIS ALERGI

Oleh: Linda Angelia, S.Ked

04054821820081

Nyimas Badrya Ulfa, S.Ked

04054821820017

Rati Amira Lekabreda, S.Ked

04054821820010

Feisal Moulana, S.Ked

04011181520040

Reni Wahyu Novianti, S.Ked

04084821921114

Pembimbing: dr. Yoan Levia Magdi, Sp.THT-KL (K), FICS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2019

HALAMAN PENGESAHAN

Judul: RINITIS ALERGI

Oleh: Linda Angelia, S.Ked

04054821820081

Nyimas Badrya Ulfa, S.Ked

04054821820017

Rati Amira Lekabreda, S.Ked

04054821820010

Feisal Moulana, S.Ked

04011181520040

Reni Wahyu Novianti, S.Ked

04084821921114

Pembimbing: dr.Yoan Levia Magdi, Sp.THT-KL (K), FICS

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 11 Maret— 14 April 2019.

Palembang, Maret 2019 Pembimbing

dr.Yoan Levia Magdi, Sp.THT-KL (K), FICS

ii

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “RINITIS ALERGI”. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas referat yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya pada Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RSMH Palembang. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Yoan Levia Magdi, Sp.THTKL (K), FICS selaku pembimbing yang telah banyak membimbing dalam penulisan dan penyusunan referat ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya referat ini. Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki kekurangan dan kesalahan akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan referat di masa mendatang. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi pembaca.

Palembang, Maret 2019

Penulis

iii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv BAB I

PENDAHULUAN ..................................................................................1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................2

2.1

Anatomi Hidung ......................................................................................2

2.2

Definisi ....................................................................................................4

2.3

Epidemiologi ...........................................................................................5

2.4

Etiologi ....................................................................................................5

2.5

Patogenesis ..............................................................................................6

2.6

Gambaran Histologik ...............................................................................8

2.7

Klasifikasi ................................................................................................8

2.8

Gejala Klinis ............................................................................................9

2.9

Diagnosis ...............................................................................................11

2.10

Diagnosis Banding.................................................................................14

2.11

Penatalaksanaan .....................................................................................15

2.12

Komplikasi ............................................................................................18

2.13

Pencegahan ............................................................................................19

2.14

Prognosis ...............................................................................................20

BAB III KESIMPULAN ....................................................................................21 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................22

iv

BAB I PENDAHULUAN Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersinbersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.1 Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta penderita dari seluruh etnis dan usia.2 Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya menderita rinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia.3 Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%).2 Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab, medikamentosa, operatif dan imunoterapi.1-8 Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah polip hidung, otitis media, dan sinusitis paranasal, asma bronchial, gangguan fungsi tuba eustachius.1,3,6,9

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Anatomi Hidung Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung

dengan pendarahan serta persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung, 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).1,10 Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis, 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor), 3) beberapa pasang kartilago ala minor, dan 4) tepi inferior kartilago septum. 1,10 Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 1,4,10 Septum bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding hidung licin, yang disebut agar nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.1 Pada dinding lateral terdapat 4 konka, dari yang terbesar sampai yang terkecil adalah konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimeter. 1 Di antara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sepit yang disebut meatus. Terdapat 3 meatus, yaitu meatus inferior dimana terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimaris, meatus media dimana terdapat muara sinus frontalis, sinus maksilaris, dan sinus etmoid anterior, dan meatus superior tempat bermuara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.1,10 2

Pendarahan hidung berasal dari a. maksilaris interna (bagian bawah hidung), a. fasialis (bagian depan hidung). Bagian depan anastomosis dari cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kieselbach. 1 Vena-vena membentuk pleksus yang luas di dalam submucosa. Pleksus ini dialirkan oleh vena-vena yang menyertai arteri.10 Persarafan hidung pada bagian depan dan atas, saraf sensoris n. etmoid anterior (cabang n. nasolakrimalis, cabang N. oftalmikus). Rongga hidung lainnya saraf sensoris n. maksila. Saraf vasomotor (autonom) melalui ganglion sfenopalatinum. 1

Gambar 1: Anatomi External Hidung

Gambar 2: Anatomi Dinding Lateral Hidung 3

Mukosa hidung berdasar histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan dan mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung berupa epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan di antaranya terdapat sel goblet. Pada bagian yang lebih sering terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang berubah menjadi epitel skuamosa. 1 Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai arti penting dalam mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi yang didorong ke arah nasofaring. 1 Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang tidak bersilia. 1 Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa hidung, hanya lebih tipis dan sedikit mengandung pembuluh darah. 1

2.2 Definisi Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.1 Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.1 Gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah udara dingin debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau masakan, bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol. Selain itu, predisposisi genetik juga memegang peranan penting.

4

2.3

Epidemiologi Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta

penderita dari seluruh etnis dan usia.2 Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya menderita rhinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus rhinitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia.3 Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%).2

2.4

Etiologi Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:1,3,5,7

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur. Suatu tudi epidemiologi juga menunjukkan hubungan yang kuat antara polusi udara dengan penyakit alergi. Telah dibuktikan bahwa polusi udara dapat memperkuat reaksi alergi dengan modifikasi epitel, mempengaruhi imunitas, dan meningkatan sensitivitas terhadap alergen. 2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan. Berdasarkan data WHO, alergi makanan diderita oleh 4-10% anak dan 2-4% dewasa. Alergen ingestan lebih berperan pada masa bayi dan anak. 3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah. Alergen ini tidak berperan secara signifikan namun dapat memicu eksaserbasi pada rinitis alergi 4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan. Pada rinitis alergi, alergen kontaktan tidak memiliki peran yang signifikan karena alergen ini lebih berdampak pada dermatitis kontak/iritan

5

Gambar 3: Etiologi Rinitis Alergi

2.5

Patogenesis Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai satu jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.1,6 Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T Helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi 6

aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain itu juga dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrein D4 (LTD4), Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).1 Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan sel mukosa dan sel goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).1 Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eusinofil dan neutrofil di jaringan target. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiper responsive hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti ECP, EDP, MBP, EPO. Pada fase ini, selain factor spesifik (allergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.1

7

Gambar 4: Patogenesis Rinitis Alergi

2.6

Gambaran Histologik Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan

pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang inter seluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.1 Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Di luar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/ persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.

2.7

Klasifikasi Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi :1,6,7

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen), rerumputan, dan spora jamur. 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan dan alergen ingestan.

8

Berdasarkan WHO Initiative ARIA, rinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:1,11 1. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. 2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:1 1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu. 2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

2.8

Gejala Klinis Gejala klinis yang khas adalah bersin yang berulang. Bersin biasanya pada

pagi hari dan karena debu. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik dan perlu dicurigai adanya rinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase cepat. Gejala lain berupa keluarnya ingus yang encer dan banyak, hidung tersumbat, mata gatal dan banyak air mata. Pada anak-anak sering gejala tidak khas dan yang sering dikeluhkan adalah hidung tersumbat. Pada anak-anak, akan ditemukan tanda yang khas seperti: 1. Allergic salute 2. Allergic crease 3. Allergic shiner 4. "Bunny rabbit" nasal twiching sound Allergic salute adalah gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya karena gatal. Allergic crease adalah alur yang melintang di sepertiga bawah dorsum nasi akibat sering menggosok hidung. Allergic shiner adalah bayangan gelap di bawah mata yang terjadi akibat stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Bunny-rabbit sound adalah suara yang dihasilkan karena lidah menggosok palatum yang gatal dan gerakannya seperti kelinci mengunyah.

9

Allergic crease

Allergic salute

Allergic shinner Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).

Facies Adenoid

Geographic Tongue

10

2.9

Diagnosis Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:1

a. Anamnesis Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin yang berulang. Bersin ini merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai akibat dilkepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).1 Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga perlu ditanya gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti asma, eczema, urtikaria, atau sensitivitas obat. Keadaan lingkungan kerja dan tempat tinggal juga perlu ditanya untuk mengaitkan awitan gejala. 3,4 Rinitis alergi dapat terjadi karena adanya kontak pasien dengan bahan alergen seperti tungau debu rumah, jamur, rokok,antigen hewan peliharaan, serbuk sari tumbuh-tumbuhan atau bunga di pekarangan, kadang-kadang makanan dapat menimbulkan gejala serupa. Anamnesis lingkungan adalah langkah penting dalam mengidentifikasi faktor pemicu. Tujuan anamnesis lingkungan, yaitu: 1. Mencari hubungan sebab-akibat 2. Survei untuk tes alergen yang dicurigai dan saran untuk keluarga pasien Unsur-unsur dalam anamnesis lingkungan berupa: 1. Lingkungan rumah: usia rumah, jenis penghangat ruangan, adanya jamur atau lumut, usia karpet, dan frekuensi pembersihan rumah 2. Kamar tidur (waktu yang paling banyak dihabiskan, terutama pada anak): seprai, jenis kasur, jumlah barang dan buku-buku. 3. Hewan peliharaan: sering dokter dikeluhkan dengan komentar keluarga "Hewan peliharaan saya jelas bukan penyebab alergi saya sebab saat saya timbul bersin hewan itu tidak ada bersama saya", hal ini perlu diluruskan karena antigen hewan seperti anjing terdapat pada air liur dan bulu yang lepas bahkan saat anjing tersebut telah lama dikeluarkan.

11

4. Riwayat adanya "flu" berulang perlu ditanyakan lebih cermat. Flu yang tidak disertai demam, nyeri tenggorok, muntah, dan diare atau adanya gatal-gatal perlu dicurigai adanya alergi.

b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik untuk rinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi pemeriksaan wajah, mata, telinga, leher, paru-paru, dan kulit juga penting.  Wajah -

Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung

-

Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung keatas dengan tangan.

 Hidung -

Pada pemeriksaan hidung digunakan nasal speculum atau bagi spesialis dapat menggunakan rhinolaringoskopi

-

Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat, disertai adanya sekret encer yang banyak.

-

Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis alergi mukus encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis. Namun, mukus yang kental, purulen dan berwarna dapat timbul pada rinitis alergi.

-

Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi septum yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit granulomatus.

-

Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip dan tumor. Polip berupa massa yang berwarna abu-abu dengan tangkai. Dengan dekongestant topikal polip tidak akan menyusut. Sedangkan mukosa hidung akan menyusut.

 Telinga, mata dan orofaring -

Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, air-fluid level, atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani dapat dilihat dengan

12

menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan tersebut dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan disfungsi tuba eustachius dan otitis media sekunder. -

Pada pemeriksaan mata

-

Akan ditemukan injeksi dan pembengkakkan konjungtiva palpebral yang disertai dengan produksi air mata.

 Leher. Perhatikan adanya limfadenopati  Paru-paru. Perhatikan adanya tanda-tanda asma  Kulit. Kemungkinaan adanya dermatitis atopi. c. Pemeriksaan Penunjang1\  In vitro Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). 1 Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Pemeriksaan sitologi hidung dilakukan dengan mengambil cairan hidung pasien dan menempelkannya pada kaca apus dan diberi pewarna Giemsa-Wright. Adanya sel netrofil, eosinofil, limfosit adalah fokus perhatian. Disebut eosinofilia bila ditemukan >10% eosinofil. Eosinofilia ini mengarah pada penyebab berupa alergi. Apabila ditemukan netrofil > 90% maka disimpulkan terjadinya infeksi. Netrofil dan eosinofil yang ditemukan bersamaan menunjukkan infeksi pada pasien alergi. Apabila eosinofilia ditemukan pada anak-anak, maka rinitis alergi perlu dicurigai. Sedangkan eosinofilia pada orang dewasa muda, maka rinitis alergi dan NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) perlu dipikirkan. 13

 In vivo Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. 1 Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (³Challenge Test´).1 Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. 1

2.10 Diagnosis Banding NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) dapat disingkirkan bila tes kulit menunjukkan positif terhadap alergen lingkungan. Penyebab keluhan pada NARES adalah alergi pada makanan. Rinitis vasomotor dapat dibedakan dengan rinitis alergi dengan keluhan bersin pada perubahan suhu ekstrim, rokok, tidak terdapat gatal pada mata, udara lembab, hidung tersumbat pada posisi miring dan bergantian tersumbatnya. Selain itu mukosa yang pucat atau merah gelap, licin, edema juga mendukung rinitis vasomotor. Pada tes kulit bernilai negatif. Rinitis alergi dan vasomotor dapat pula terjadi bersamaan dengan memberi gambaran rinoskopi anterior yang bercampur seperti mukosa pucat tetapi positif pada tes kulit. Sekresi hidung yang kekuningan dan tampak purulen tetapi eosinofilik sering terjadi pada rinitis alergi, tetapi pada sekresi yang berbau busuk dan purulen dan terjadi unilateral perlu dicurigai adanya benda asing.

14

2.11 Penatalaksanaan9 a. Menghindari alergen b. Medikamentosa  Antihistamin H1 oral H1-blocker atau antihistamin H1 merupakan obat yang memblokade histamin pada level reseptor H1. Antihistamin H1 oral efektif untuk melawan gejala yang dimediasi oleh histamin (rinore, bersin-bersin, hidung gatal dan gejala mata) tetapi kurang efektif terhadap hidung tersumbat. Antihistamin H1 oral generasi pertama memiliki efek samping signifikan akibat sifat sedatif dan antikolinergiknya. Antihistamin yang lebih baru tidak menyebabkan atau hanya menyebabkan sedikit sedasi. Antihistamin H1 oral telah terbukti aman dan efektif pada anak. Meskipun antihistamin H1 oral efektif, mereka tidak direkomendasikan jika obat generasi kedua tersedia karena efek sedasi dan antikolinergiknya.  Antihistamin H1 topikal Antihistamin H1 intranasal efektif untuk mengurangi gatal, bersinbersin, hidung berair dan hidung tersumbat. Obat ini efektif dalam waktu 20 menit setelah pemakaian. Antihistamin H1 topikal memerlukan dosis 2 kali sehari. Glukokortikosteroid intranasal secara signifikan lebih efektif daripada antihistamin H1 oral atau topikal untuk terapi rhinitis alergi.  Glukokostikosteroid intranasal Glukokortikosteroid intranasal merupakan obat paling ampuh yang tersedia untuk terapi rinitis alergi dan nonalergi. Obat ini efektif untuk mengurangi semua gejala rinitis alergi. Karena mekanisme kerjanya, efek akan muncul setelah 7—8 jam, tetapi efek maksimum mungkin memerlukan waktu sampai 2 minggu.  Antileukotrien Kombinasi Montelukast dan Cetirizine, ketika dimulai 6 minggu sebelum musim serbuk sari, efektif dalam mencegah gejala rinitis alergi dan mengurangi peradangan alergi pada mukosa nasal selama paparan 15

alergen. Antagonis reseptor leukotrien lebih efektif daripada plasebo, sebanding dengan antihistamin H1 oral dan kurang efektif dibanding glukokortikosteroid intranasal untuk mengobati rinitis alerdi musiman.  Cromone Cromoglycate dan nedocromil tersedia dalam sediaan intranasal. Mereka efektif untuk gejala nasal.  Dekongestan Dalam terapi hidung tersumbat, pada rinitis alergi dan nonalergi, dekongestan intranasal efektif dalam jangka pendek. Meskipun demikian, mereka tidak mengurangi hidung gatal, bersin-bersin atau rinore. Pemakaian berkepanjangan (>10 hari) vasokonstriktor intranasal dapat menyebabkan takipilaksis, pembengkakan mukosa hidung yang berulang, dan rinitis terinduksi obat (rinitis medikamentosa). Vasokonstriktor oral seperti

efedrin,

fenilefrin,

fenilpropanolamin

dan

pseudoefedrin

merupakan dekongestan oral yang paling umum digunakan. Efek samping sistemik tidak jarang terjadi pada obat oral, termasuk iritabilitas, pusing, sakit kepala, tremor, insomnia, takikardi, dan hipertensi. Pasien dengan glaukoma atau hipertiroidisme dan laki-laki lanjut usia dengan pembesaran prostat berisiko ketika mengunakan dekongestan oral. Kombinasi ibuprofen dan pseudoefedrin efektif dalam mengurangi gejala rinitis alergi.  Agen antikolinergik Ipratropium bromide efektif dalam mengontrol ingus yang cair, tetapi tidak mempengaruhi bersin atau hidung tersumbat pada rinitis alergi perenial dan rinitis nonalergi. Efek samping topikal karena efek antikolinergik jarang terjadi.  Glukostikosteroid sistemik Pada kasus langka, pasien dengan gejala berat yang tidak respon terhadap obat lain atau mereka yang intoleran terhadap obat intranasal mungkin perlu diterapi dengan glukokortikosteroid sistemik (misalnya prednisolon, dosis awal 20—40 mg/hari) untuk waktu singkat. 16

Glukokortikosteroid juga dapat diberikan secara oral atau injeksi depo (misalnya metilprednisolon 40—80 mg/injeksi). Obat intramuskular harus dihindari. c. Imunoterapi Imnoterapi spesifik alergen merupakan tindakan memasukan secara bertahap ekstrak alergen dalam jumlah yang ditingkatkan sedikit demi sedikit ke dalam subjek untuk memperbaiki gejala yang berhubungan dengan paparan alergen penyebab. 

Imunoterapi subkutan efektif pada dewasa dan anak-anak yang alergi serbuk sari dan tungau



Imunoterapi sublingual dapat digunakan untuk terapi pasien dengan alergi tungau.



Imunoterapi intranasal dapat digunakan untuk terapi pasien dengan alergi serbuk sari.

d. Anti-IgE Antibodi anti-IgE monoklonal rekombinan (Omalizumab) membentuk kompleks dengan IgE bebas, memblokade interaksinya dengan sel mast dan basofil dan merendahkan level IgE bebas dalam sirkulasi. Pada dewasa dan remaja, Omalizumab ditemukan dapat mengurangi gejala nasal dan memperbaiki RQLQ pada pasien rinitis yang diinduksi serbuk sari. e. Pembedahan Indikasi: 

Hipertofi konka inferior yang resisten obat



Variasi anatomis pada septum dengan relevansi fungsional



Variasi anatomis pada bony pyramid dengan relevansi fungsional/estetika



Sinusitis kronis sekunder atau independen



Berbagai bentuk poliposis nasal unilateral (polip koanal, polip soliter, sinusitis fungal alergi) atau poliposis nasal bilateral yang resisten teterapi



Penyakit jamur pada sinus (mycetoma) atau patologi lainnya yang tidak berhubungan dengan alergi (inverted papilloma, tumor jinak dan maligna, Wegener’s disease, dll). 17

Gambar 5: Alur Tatalaksana Rinitis Alergi

2.12 Komplikasi Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:1,3,7,13 1. Polip hidung Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. Polip hidung biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan manifestasi utama akibat proses inflamasi kronis yang menimbulkan sumbatan sekitar ostia sinus di meatus medius. Polip memiliki tanda patognomonis : inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih-lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. 18

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak 3. Sinusitis paranasal Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa ostia menyebabkan sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan menyebabkan penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob. Selain dari itu, proses alergi akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator-mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah. Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan obstruksi ostia sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan reaksi humoral maupun seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini maka pengobatab

rasionalnya

adalah

pemberian

antihistamin,

dekongestan,

antiinflamasi, antibiotia adekuat, imunoterapi dan bila perlu operatif.

2.13 Pencegahan Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: 1.

Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini terhadap alergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan kacang) mulai trimester 3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itukontrol lingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan.

2.

Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang dapat diketahui dengan uji kulit.

19

3.

Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan.

2.14 Prognosis Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap alergen. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang itu dalam jangka panjang.14 Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap serbuk sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis sulit diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga yang berulang. Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

20

BAB III KESIMPULAN 1. Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 2. Rinitis alergi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. 3. Peran lingkungan pada kejadian rhinitis alergi adalah sangat penting, ditinjau dari faktor alergen yang mensensitisasi terjadinya penyakit ini. 4. Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (avoidance), dimana apabila tidak dapat disingkirkan dapat dibantu dengan terapi medikamentosa hingga pembedahan. 5. Pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan pengobatan memiliki prognosis baik.

21

DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2010 2. Melati Sudiro, Teti HS Madiadipoera, Bambang Purwanto. Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. MKB. 2010; 42(1) 3. Munasir Zakiudin, Rakun Martani Widjajanti. Rinitis Alergi Buku Ajar Alergi – Imunologi Anak Edisi 2 Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : Badan Penerbit IDAI 4. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi Revisi 2014 5. Peter Small, Harold Kim. Review: Allergic rhinitis. Asthma & Clinical Immunology 2011, 7 (Suppl 1):S3 6. Jan L. Brożek, et al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2010 Revision. Journal of Allergy and Clinical 2010 – V. 9/8/2010 7. Jenerowicz, et al. Environmental factors and allergic diseases. Annals of Agricultural and Environmental Medicine 2012, Vol 19, No 3, 475-481 8. Effy Huriyati, Al Hafiz. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang Disertai Asma Bronkial. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. FK Universitas Andalas 9. Bousquet J, et al. ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) 2008 Update 10. Michael D. Seidman, et al. Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis Otolaryngology– Head and Neck Surgery Vol. 152(1S) S1 –S43, 2015 11. Yang-Gi Min. Review: The Pathophysiology, Diagnosis and Treatment of Allergic Rhinitis. Allergy Asthma Immunol Res. April; Volume 2 Number (2):65-76. 2010 12. Baratawidjaja KG, Rengganis Iris. Alergi Dasar Edisi 1. Jakarta : Interna Publishing, 2011 13. Nina Lakhani, Michelle North, and Anne K. Ellis. Review Article: Clinical Manifestations of Allergic Rhinitis. J Aller Ther S5:007. 2012 22

14. Denise K. Sur, Stephanie Scandale. Treatment of Allergic Rhinitis. American Family Physician Volume 81, Number 12 June 15, 2010

23

Related Documents

Referat
May 2020 53
Referat Skizoid.docx
April 2020 17
Referat Carotid.docx
November 2019 20
Referat Faringitis.pptx
December 2019 28
Referat Cont.docx
December 2019 26
Referat Hnp.docx
June 2020 17

More Documents from "Nalda Nalda"

Referat Ra.docx
April 2020 6
Bab 4 (penelitian).docx
April 2020 10
Tugas Kombis.docx
November 2019 29
The Mahasamatta Manifesto
December 2019 13
Honest Money
December 2019 20