Referat Pneumothorax.docx

  • Uploaded by: ayuka nishi
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Pneumothorax.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,394
  • Pages: 8
DIAGNOSA BANDING(1) 1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Prevalensi

meningkat

seiringan

dengan

peningkatan

usia.

PPOK

berhubungan erat dengan riwayat merokok. Pada pemeriksaan radiologi dapat ditemukan hiperinflasi, defisiensi vaskular, emfisema sentrilobular dan bulla; banyak ditemukan pada paru bagian atas. 2. Infark Miokard Memberikan gejala klinis yang mirip dengan pneumotoraks. Gambaran radiologi biasanya normal. 3. Asma Terjadi secara paroksimal dengan onset, usia dan klinis yang bervariasi. Berhubungan dengan alergi. Pemeriksaan radiologi biasanya normal. 4. Cystic fibrosis Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan bronkiektasis dengan koloni bakteri, banyak terjadi pada anak dan dengan gejala klinis ekstraparu (rhinosinusitis, polip nasal, infertilitas). Pada pemeriksaan radiologi ditemukan hiperinflasi dan tanda-tanda bronkiektasis (penebalan dinding bronkus, honeycomb, penyumbatan oleh mukus, fibrosis).

PENATALAKSANAAN Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut : 1. Observasi dan Pemberian O2 Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-

24 jam pertama selama 2 hari

(2)

. Tindakan ini terutama ditujukan untuk

pneumotoraks tertutup dan terbuka (3).

2. Tindakan dekompresi Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara (2) : a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut (2), (3)

.

b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil : 1) Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam botol (2,3).

2) Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol (2,3).

3) Pipa water sealed drainage (WSD)

Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis mid klavikula. Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut (3). Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal (2).

3. Torakoskopi Torakoskopi adalah suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat bantu torakoskop. Tindakan torakoskopi untuk episode petama pneumotoraks spontan primer yang masih tertangani dengan aspirasi masih menjadi perdebatan, karena pada dasarnya sekitar 64 % pneumotoraks spontan primer tidak terjadi rekurensi pada pemasangan. Tindakan yang dilakukan adalah reseksi bula dan pleurodesis. Torakoskopi pada pneumotoraks spontan sekunder harus dilakukan bila paru tidak mengembang setelah 48-72 jam. Pada pneumotoraks spontan sekunder komplikasi torakoskopi lebih tinggi dibandingkan pada pneumotoraks spontan pimer.

4. Tindakan bedah (3) a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit b. Pada

pembedahan,

apabila

ditemukan

penebalan

pleura

yang

menyebabkan paru tidak bisa mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.

c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.

5. Penatalaksanaan tambahan a. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan bronkodilator (3). b. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (3). c. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema (3).

6. Rehabilitasi a. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya. b. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu keras. c. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan ringan. d. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak napas. KOMPLIKASI(4) 1.

Hemopneumotoraks Spontan Insiden dari efusi pleura pada pasien dengan hidropneumotoraks adalah

sebesar 15 – 20%. Sekitar 5% pasien dengan pneumotoraks menderita hemotoraks

secara

bersamaan.

Mekanisme

dari

perdarahan

pada

hemopneumotoraks spontan adalah robeknya adhesi vaskular antara pleura

viseral dan parietal, atau karena robekan kongenital dari pembuluh darah antara pleura parietal dan bula saat paru kolaps atau karena pecahnya bula yang tervaskularisasi. Manifestasi klinisnya tergantung jumlah darah yang keluar. Tatalaksana dilakukan torakostomi untuk mendrainase hemotoraks dan ekspansi paru. Jika ekspansi paru tidak menghentikan perdarahan, maka diperlukan torakotomi. 2. Fistula Bronkopleura Fistula bronkopleura dapat terjadi pada pasien dengan penumotoraks spontan sekunder, pneumotoraks traumatik dan pneumotoraks spontan primer. Kebocoran udara yang terus-menerus yang terjadi setelah drainase toraks adalah tanda klinis awal dari fistula bronkopleura. Komplikasi ini dapat ditatalaksana dengan torakotomi, menutup fistula dan pleurodesis (penyatuan pleura parietalis dan viseralis). 3. Pneumomediastinum Pneumomediastinum adalah terdapatnya udara pada mediastinum, namun komplikasi ini jarang terjadi (<1%). Pneumomediastinum dapat terjadi melalui tiga tahap yang umum disebut dengan efek Macklin. Urutan kejadiannya adalah terjadinya ruptur alveolar kemudian terjadi diseksi sepanjang seubung bronkovaskuler menuju daerah hilus dan akhirnya udara mencapai mediastinum. Pneumomediastinum jarang menyebabkan komplikasi klinis yang signifikan. Tetapi pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum dapat menyebabkan peningkatan tekanan mediastinum sehingga terjadi penekanan langsung terhadap jantung atau menurunkan aliran darah balik sehingga terjadi penurunan curah jantung. Pneumomediastinum dapat berkembang menjadi emfiesema subkutis. Apabila udara pada subkutan dan mediastinum sangat banyak dapat terjadi kompresi jalan napas dan jantung. 4. Emfisema subkutan

Emfisema subkutis terjadi akibat udara memasuki daerah-daerah tersebut dan bermanifestasi sebagai pembengkakan tidak nyeri. Pada palpasi akan terasa seperti kertas. Gambaran radiologis untuk emfisema subkutis adalah radiolusen di tepian struktur anatomi terkait.Komplikasi ini dapat memperparah keadaan pasien dengan pneumotoraks akibat kompresi jalan napas.Pertolongan pertama yang dapat dilakukan apabila terjadi distres adalah insisi kulit dengan pisau pada daerah kulit yang mengalami pembengkakan.

5. Pneumotoraks kronis (kegagalan ekspansi paru kembali) Chest tube digunakan untuk pneumotoraks untuk meningkatkan ekspansi kembali paru. Tapi dalam beberapa kasus, prosedur ini gagal. Korteks yang menebal pada pleura viseral mencegah adanya ekspansi paru. Prosedur medis untuk kondisi ini adalah torakotomi dan dekortikasi.

PROGNOSIS Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak dijumpai komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder tergantung penyakit paru yang mendasarinya, misalkan pada pasien PSS dengan PPOK harus lebih berhati-hati karena sangat berbahaya.(2)

1. Pierce CW, Hull PR, Lemire EG, Marciniuk D. Birt–Hogg–Dubé syndrome: an inherited cause of spontaneous pneumothorax. CMAJ 2011. DOI:10.1503/cmaj.092121.

2. Hisyam, B. Budiono, Eko. Pneumothoraks spontan. Dalam : Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. P. 1063-1068. 3. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Pneumotoraks. Dalam : Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press. 2009. p. 162179 4. Slobodan M, Marko S, Bojan M. Pneumothorax – diagnosis and treatment.

Sanamed.

10.5937/sanamed1503221M

2015;

10(3):

221–228.

DOI:

Related Documents

Referat
May 2020 53
Referat Skizoid.docx
April 2020 17
Referat Carotid.docx
November 2019 20
Referat Faringitis.pptx
December 2019 28
Referat Cont.docx
December 2019 26
Referat Hnp.docx
June 2020 17

More Documents from "Nalda Nalda"