BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Kejadian cedera dada merupakan salah satu trauma yang sering terjadi, jika tidak ditangani dengan benar akan menyebabkan kematian, kejadian trauma dada terjadi sekitar seperempat dari jumlah kematian akinat trauma yang terjadi, serta sekitar sepertiga dari kematian yang terjadi berbagai rumah sakit. Beberapa cedera dada yang dapat terjadi antara lain, tension pneumthorax, pneumthorax terbuka, flail chest, hematotoraks, tamponade jantung. Kecelakaan kendaraan bermotor paling sering menyebabkan terjadinya trauma pada toraks. Tingkat morbiditas mortalitas akan meningkat dan menjadi penyebab kematian kedua didunia pada tahun 2020 menurut WHO (World Health Organization) (Punarwaba dan Suarjaya, 2013). Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat mengembang dengan maksimal sebagaimana biasanya ketika bernapas. Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik (2). Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui. Namun dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa pneumotoraks lebih sering terjadi pada penderita dewasa yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih sering daripada wanita, dengan perbandingan 5 : 1 (2). Pneumothorax spontan primer sering dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat 2 penyakit paru sebelumnya. Pneumothorax spontan primer banyak dijumpai pada pria dengan usia antara dekade 3 dan 4. Salah satu penelitian menyebutkan sekitar 81% kasus pneumthorax spontan primer berusia kurang dari 45 tahun (Hisyam dan Budiono, 2009). Tidak ada mendasari penyakit paru pada pasien pneumothorax primer, bleb subpleura dan bula terjadi secara patogenesis sebab terjadi 90% kasus pneumothorax primer melalui torakoskopi atau dilakukan torakotomi terjadi pada sampai 80% (Henry et al, 2003)
1
A. TUJUAN Tujuan dari penulisan tinjauan pustaka (referat) ini adalah untuk mengetahui definisi dari pneumotoraks, serta cara menegakkan diagnosa pneumotoraks secara tepat sesuai jenis dan luasnya pneumotoraks, karena hal tersebut akan berpengaruh pada penanganannya
2
BAB II A,Definisi Pneumothorax adalah suatu keadaan dimana terdapatnya udara pada rongga potensial diantara pleura visceral dan pleura parietal (Punarwaba dan Suarjaya, 2013). Pneumothorax adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru (Amita, 2012).
B.Etiologi
Pneumothoraks spontan primer: pecahnya pleura blebs biasanya terjadi pada orangorang muda tanpa penyakit paru-paru parenchymal atau terjadi dalam ketiadaan cedera traumatis dada atau paru-paru
Pneumothoraks spontan sekunder: terjadi dalam kehadiran penyakit paru-paru, emfisema terutama, tetapi juga dapat terjadi dengan tuberkulosis (TB), Sarkoidosis, cystic fibrosis, keganasan, dan fibrosis paru
Iatrogenik: komplikasi prosedur medis atau operasi, seperti terapi thoracentesis, trakeostomi, biopsi pleura, kateter vena sentral penyisipan, ventilasi mekanik tekanan positif, sengaja intubasi bronkus kanan mainstem
Traumatis: bentuk paling umum dari Pneumotoraks dan hemothorax, disebabkan oleh trauma dada terbuka atau tertutup terkait dengan cedera tumpul atau menembus. (Matt Vera: 2012) 3
C. Anatomi dan Fisiologi Pleura
\
Anatomi Pleura Pleura merupakan lapisan pembungkus paru (pulmo). Dimana antara pleura yang membungkus pulmo dextra et sinistra dipisahkan oleh adanya mediastinum. Pleura dari interna ke externa terbagi atas 2 bagian: a. Pleura visceralis/ pulmonis, yaitu pleura yang langsung melekat pada permukaan pulmo. b. Pleura parietalis, yaitu bagian pleura yang beratasan dengan dinding thorax. Kedua lapisan ini saling berhubungan pada hilus pulmonale sebagai ligamentum pulmonale (pleura penghubung). Diantara kedua lapisan pleura terdapat sebuah rongga yang disebut dengan cavum pleura ini terdapat sedikit cairan pleura yang berfungsi agar tidak terjadi gesekan antar pleura ketika proses pernafasan (Amita, 2012) Pleura parietal berdasarkan letaknya terbagi atas: a. Cupula pleura (pleura cervicalis): 5 Merupakan pleura parietalis yang terletak diatas costa I namun tidak melebihi dari collum costaenya. Cupula pleura terletak setinggi 1-1,5 inchi diatas 1/3 medial os.clavicula b. Pleura parietalis pars diafraghmatica Pleura yang menghadap ke diafragma permukaan thoracal yang dipisahkan oleh fascia endothoracica c. Pleura parietalis pars mediastinalis (medialis): Pleura yang menghadap ke mediastinum/terletak di bagian medial dan membentuk bagian lateral dari mediastinum Vaskularisasi pleura Pleura parietal divaskularisasi oleh Aa. Intercostalis, a.mammaria, a.musculophrenica. Dan vena-venanya bermuara pada sistem vena dinding thorax. Sedangkan pleura visceralisnya mendapatkan vaskularisasi dari Aa. Bronchiales (Amita, 2012). 4
Fisiologi Pleura Paru-paru merupakan struktur elastis yang akan mengempis seperti balon dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk mempertahankan pengembangannya. Juga, tidak dapat perlekatan antara paruparu dan dinding rangka dada kecuali pada bagian paru yang tergantung pada hilumnya mediastinum. Bahkan, paru-paru sebetulnya “mengapung” dalam rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi pelumas bagi gerakan paru di dalam rongga. Selanjutnya, cairan yang berlebihan akan diisap terus menerus ke dalam saluran limfatik untuk menjaga agar terdapat sedikit isapan antara permukaan viseral dari pleura paru dan permukaan parietal pleura dari rongga toraks (Guyton dan Hall, 2007). Fungsi mekanis pleura adalah meneruskan tekanan negatif thorax ke dalam paru-paru yang elastis dapat mengembang. Tekanan pleura pada waktu istirahat (restting pressure) dalam posisi tiduran adalah -2 sampai -5 H2O, sedikit bertambah negatif di apex sewaktu posisi berdiri. Sewaktu inspirasi tekanan negatif meningkat menjadi -25 sampai -35 cm H2O (Amita, 2012). Selain fungsi mekanis, cavum pleura steril karena mesothelial bekerja melakukan fagositosis benda asing, dan cairan yang diproduksinya bertindak sebagai lubrikasi (Amita, 2012) Cairan cavum pleura sangat sedikit, sekitar 0,3 ml/kg, bersifat hipoonkotik dengan konsentrasi protein 1gr/dl. Gerakan pernafasan dan gravitasi kemungkinan besar ikut mengatur jumlah produksi dan resorbsi cairan cavum pleura. Resobsi terjadi terutama pada pembuluh limfe pleura parietalis, dengan kecepatan 0,1 sampai 0,15 ml/kg/jam (Amita, 2012).
D. Klasifikasi Pneumothorax Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (2), (3) 1. Pneumotoraks spontan Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu : a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. Keadaan ini juga dapat disebabkan oleh ruptur kista kecil udara subpleura di apeks (“bleb”) tetapi jarang menyebabkan gangguan fisiologis yang signifikan. Biasanya menyerang laki-laki (L:P 5:1) muda (20-40 tahun) bertubuh tinggi tanpa penyakit paru penyebab. Pneumothorax spontan 5
primer merupakan jenis paling sering pada pneumothorax (prevalensi 8/105 /tahun, meningkat sampai 200/105 /tahun pada orang dengan tinggi badan >1,9 m). Setelah Pneumothorax spontan primer kedua, mungkin terjadi rekurensi (>60%). Pleurodesis untuk menyebabkan fusi pleura viseralis dan parietalis yang menggunakan tindakan medis (misalnya insersi bleomisin atau talcum ke dalam pleura) atau pembedahan (misalnya abrasi lapisan pleura ) dianjurkan (Ward et al, 2007).
b. Pneumotoraks spontan sekunder Pneumothorax spontan sekunder dihubungkan dengan penyakit respirasi yang merusak arsitektur paru, paling sering bersifat obstruktif (misalnya penyakit paru obstruktif kronik/PPOK, asma) fibrotik atau infektif (misalnya pneumonia) dan kadang-kadang gangguan langka atau herediter (misalnya sindrom Marfan, Fibrosis kistik). Insidensi SPP meningkat seiring bertambahnya usia dan memberatnya penyakit paru penyebab. Pasien tersebut biasanya perlu dirawat di rumah sakit karena meskipun pneumothorax sekunder kecil, pada pasien dengan cadangan respirasi yang berkurang, dapat terjadi komplikasi yang lebih serius daripada pneumothorax spontan primer besar. Pasien ICU dengan penyakit paru sangat berisiko mengalami pneumothorax primer karena tekanan tinggi (“barotraumas”) dan distensi pada alveolar (“volutrauma”) akibat ventilasi mekanis. Strategis ventilasi “protektif” yang menggunakan ventilasi bertekanan renah, dengan volume terbatas mengurangi risiko tersebut(Ward et al, 2007) 2. Pneumotoraks traumatik, Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru. Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu : a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma. b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan menjadi dua, yaitu : 6
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate) Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan
untuk
tujuan
pengobatan,
misalnya
pada
pengobatan
tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru.
Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu (4) : 1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax) Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif. 2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax), Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan (4). Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif (4). Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound) (2). 3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax) 7
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar (4). Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas (2).
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (4) : 1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru (< 50% volume paru).
8
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (> 50% volume paru).
E.Patofisiologi Pneumothorax Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk melakukan proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang, tulang-tulang yang menyususn struktur pernapasan seprti tulang clavicula, sternum, scapula. Kemudian yang kedua adalah otot-otot pernapasan yang sangat berperan pada proses inspirasi dan ekspirasi (Punarwaba dan Suarjaya, 2013). Jika salah satu dari dua struktur tersebut mengalami kerusakan, akan berpengaruh pada proses ventilasi dan oksigenasi. Contoh kasusnya, adanya fraktur pada tulang iga atau tulang rangka akibat kecelakaan, sehingga bisa terjadi keadaan flail chets atau kerusakan pada otot pernapasan akibat trauma tumpul, serta adanya kerusakan pada organ visceral pernapasan seperti, paru-paru, jantung, pembuluh darah dan organ lainnya diabdominal bagian atas, baik itu disebabkan oleh trauma tumpul, tajam, akibat senapan atau gunshot (Punarwaba dan Suarjaya, 2013). Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses respirasi, udara tidak akan dapat masuk kedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan tekanan parsial dari udara pada kapiler pembuluh darah ke rongga pleura, memerlukan tekanan pleura lebih rendah dari -54 mmHg (-36 cmH2O) yang sulit terjadi pada keadaan normal.
9
Jadi yang menyebabkan masuknya udara pada rongga pleura adalah akibat trauma yang mengenai dinding dada dan merobek pleura parietal atau visceral, atau disebabkan kelainan congenital adanya bula pada subpleura yang akan pecah jika terjadi peningkatan tekanan pleura (Punarwaba dan Suarjaya, 2013)
F.Gejala Klinis Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah 1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka. 2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan. 3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien. 4. Denyut jantung meningkat. 5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang. 6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks tersebut, (2): 1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat 2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih berat 3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang lain serta ada tidaknya jalan napas. 4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil disebabkan pengisian yang kurang.
10
G. Pemeriksaan Fisik Inspeksi :
Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit
Pada waktu respirasi,bagian yang sakit gerakannya tertinggal
Trachea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
Palpasi:
Pada sisi yang sakit,ruang antar iga dapat normal atau melebar
Iktus jantung terdorong ke sisi yang sehat
Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
Perkusi :
Suara ketok pada sisi sakit,hipersonor sampai timpani dan tidak mengggetar
Batas jantung terdorong ke arah thorax yang sehat apabila tekanan intrapleura tinggi
Auskultasi
Pada bagian yang sakit,suara nafas terdengar amorfik bila ada fistel bronkopleura yang cukup besar pada pneumothorax terbuka
Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif
H. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto Röntgen Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus pneumotoraks antara lain (6): a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru. b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
11
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi. d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai berikut (3): 1)
Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
2)
Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.
3)
Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma
Foto Rö pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak panah merupakan bagian paru yang kolaps
12
2. Analisa Gas Darah Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
3. CT-scan thorax CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.
4. Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasive, tetapi memiliki sensitivitas yang lebih besar dibandingkan pemeriksaan CT-Scan. Menurut Swierenga dan Vanderschueren, berdasarkan analisa dari 126 kasus pada tahun 1990, hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajat yaitu Derajat I : Pneumothorax dengan gambaran paru yang mendekati normal (40%) Derajat II: Pneumothorax dengan perlengketan diserati hemotorak (12%) Derajat III : Pneumothorax dengan diameter bleb atau bulla <2 cm (31%) Derajat IV : Pneumotohorax dengan banyak bulla yang besar, diameter > 2cm (17%) (Hisyam dan Budiono, 2009). I. Diagnosa Banding Pneumothorax dapat member gejala seperti infark miokard, emboli paru dan pneumonia. Pada pasien muda, tinggi, pria dan perokok jika setelah difoto diketahui ada pneumothorax, umumnya diagnosis kita menjurus ke pneumothorax spontan primer. Pneumothorax spontan sekunder kadang-kadang sulit dibedakan dengan pneumothorax yang terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla subpleura (Hisyam dan Budiono, 2009).
13
J.Perhitungan Luas Pneumothorax Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan jenis kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang bisa dipakai dalam menentukan luasnya kolaps paru, antara lain : 1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana masingmasing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus (2). Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter kubus ratarata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka rasio diameter kubus adalah : 83 ______
103
512 =
________
= ± 50 %
1000
2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh (2)
.
% luas pneumotoraks A + B + C (cm) =
__________________
3
14
x 10
3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas hemitoraks (4).
(L) hemitorak – (L) kolaps paru (AxB) - (axb) _______________
x 100 %
AxB
K. Penatalaksanaan Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut : 1. Observasi dan Pemberian O2 Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari
(2)
.
Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka (4). 2. Tindakan dekompresi Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara (2) : a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut (2), (4).
15
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil : 1)
Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam botol (4).
2)
Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol (4).
3)
Pipa water sealed drainage (WSD) Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis mid klavikula. Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut (3), (4). Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura 16
sudah negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal (2).
3. Torakoskopi Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat bantu torakoskop. Torakoskopi yang dipandu dengan video (Video Assited Thoracoscopy Surgery = VATS) memberikan kenyamanan dan keamanan baik bagi operator maupun pasiennya karena akan diperoleh lapangan pandang yang lebih luas dan gambar yang lebih bagus. Tindakan ini sangat efektif dalam penangan Pneumothorax spontan primer dan mencegah berulangnya kembali. Dengan prosedur ini dapat dilakukan untuk pleurodesis (Hisyam dan Budiono, 2009).
Tindakan ini dilakukan apabila:
Tindakan aspirasi maupun WSD gagal
Paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tube torakostomi
Terjadinya fistula bronkopleura
Timbulnya kembali pneumothorax setelah tindakan pleurodesis
17
Pada pasien yang berkaitan dengan pekerjaannya agar tidak mudah kambuh kembali seperti pada pilot dan penyelam (Hisyam dan Budiono, 2009).
4. Torakotomi Tindakan pembedahan ini indikasinya hampir sama dengan torakoskopi. Tindakan ini dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau jika bleb atau bulla terdapat di apek paru, maka tindakan torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau bulla tersebut (Hisyam dan Budiono, 2009). 5. Tindakan bedah (4) a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi. c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
K,Komplikasi Pneumothorax
tension
(terjadi
pada
3-5%
pasien
pneumothorax),
dapat
mengakibatkan kegagalan respirasi akut, pio-pneumothorax, hidro-pneumothorax/hemopneumothorax, henti jantung paru dan kematian (sangat jarang terjadi); pneumomediastinum dan emfisema subkutan sebagai akibat komplikasi pneumthorax spontan, biasanya karena pecahnya esophagus atau bronkus, sehingga kelainan tersebut ditegakkan (insidensinya sekitar 1%), pneumothorax simultan bilateral, insidensinya sekitar 2%, pneumothorax kronik, bila tetap ada selama waktu lebih dari 3 bulan, insidensinya sekitar 5% (Hisyam dan Budiono, 2009).
18
LPrognosis Pasien dengan pneumothorax spontan hampir separuhnya akan mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumthorax yang dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaanya cukup baik, umumnya tidak dijumpai komplikasi (Hisyam dan Budiono, 2009).
\
19
BAB III KESIMPULAN
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat mengembang dengan maksimal sebagaimana biasanya ketika bernapas. Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik. Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik. Dan menurut fistel yang terbentuk, maka pneumotoraks dapat bersifat terbuka, tertutup dan ventil (tension). Diagnosa pneumothorax berdasarkan manifestasi klinik dilihat dari gejala-gejala yang dikeluhkan pasien pneumothorax, pemeriksaan klinik dan pemeriksaan penunjang yang dilihat dari pemeriksaan foto toraks, CT-scan dan pemeriksaaan lainnya yang dinilai adalah terdapat bulla dan luas permukaan terjadi pneumthorax.
Pada
prinsipnya,
penanganan
pneumotoraks
berupa
observasi
dan
pemberian O2 yang dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks yang berat dapat dilakukan tindakan pembedahan. Sedangkan untuk proses medikasi disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya. Tahap rehabilitasi juga perlu diperhatikan agar pneumotoraks tidak terjadi lagi
20
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. p.
Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press; 2009. p. 162-179
Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed Lung)
Hisyam,Barmawi., dan Budiono, Eko., 2009. Pneumotoraks Spontan. in Sudoyo AW,Setiyohadi B, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Edisi ke-4. internal publising FK UI. hal.,: internal publising FK UI. hal. 2339-2346 (Jakarta 2009
21