Referat Parkinsons.docx

  • Uploaded by: Albert Shanto
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Parkinsons.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,217
  • Pages: 24
REFERAT KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF PARKINSON’S DISEASE

Pembimbing: dr. Samadhi Tulus Makmud, Sp.S

Oleh: Albert Shanto 406172106

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA RUMAH SAKIT SUMBER WARAS PERIODE 4 FEBRUARI – 10 MARET 2019

I.

PENDAHULUAN Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis progresif, merupakan penyakit terbanyak kedua setelah demensia Alzheimer. Penyakit ini memiliki dimensi gejala yang sangat luas sehingga baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup penderita maupun keluarga. Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter inggris yang bernama James Parkinson pada tahun 1887. Penyakit ini merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami ganguan pergerakan. Rata- rata penduduk Amerika yang terkena penyakit ini sebanyak 1 juta orang sedangkan ntuk rata- rata penduduk dunia yang terkena penyakit ini adalah sebanyak 5 juta orang. Penyakit Parkinson dapat terjadi pada pria dan wanita dari semua ras, jenis pekerjaan, dan tidak terbatas pada daerah tempat tinggal Rata- rata Penyakit Parkinson menyerang penduduk usia 60 tahun tetapi kadang- kdang daat terjadi pada penduduk usia 20 tahun dan bahkan pada penduduk yang lebih muada. Angka kejadian penyakit ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap sekumpulan penduduk maka dapat diperkirakan dalam beberapa dekade ke depan, jumlah penyakit ini akan meningkat.1 Di Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-400.000 penderita. Rata-rata usia penderita di atas 50 tahun dengan rentang usia-sesuai dengan penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Sumatera dan Jawa- 18 hingga 85 tahun. Statistik menunjukkan, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, lelaki lebih banyak terkena dibanding perempuan (3:2) dengan alasan yang belum diketahui. Secara klinis, Penyakit parkinson dapat ditandai dengan resting tremor, rigiditas, bradikinesia, dan gait impairment. Tanda- tanda ini dikenal sebagai cardinal features dari penyakit parkinson. Adapun gejala tambahan seperti freezing, ketidakstabilan postural, kesulitan berbicara, gangguan sistem otonom, gangguan pada sistem sensoris, gangguan mood, gangguan tidur, gangguan fungsi kognitif, dan dementia dapat timbul pada penyakit ini.1 Secara patologis, pada Parkinson dijumpai degenerasi dari dopaminergic neuron pada substansia nigra pars kompakta dan lewy body.1 2

II.

Definisi

Penyakit parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif progresif yang berkaitan erat dengan usia. Secara patologis penyakit parkinson ditandai oleh degenerasi neuron-neuron berpigmen neuromelamin, terutama di pars kompakta substansia nigra yang disertai inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies), atau disebut juga parkinsonisme idiopatik atau primer.2 Sedangkan Parkinonisme adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural akibat penurunan kadar dopamine dengan berbagai macam sebab. Sindrom ini sering disebut sebagai Sindrom Parkinson.

2

Semua pasien dengan diagnosa penyakit parkinson mengalami

parkinsonisme tetapi tidak semua pasien dengan parkinsonisme memiliki penyakit parkinson. 3

III.

Klasifikasi Secara Umum Parkinson’s Disease dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Parkinson primer: paling sering ditemui, etiologi tidak diketahui (idiopatik). 2. Parkinson sekunder: post infeksi (encephalitis, sifilis meningovaskular, tuberkulosis), post trauma, drug induce (sering obat-obatan psikosis misalnya: Chlorpromazin, Petidin, Fenotiazin, Reserfin, Tetrabenazin), Toksik (misalnya CO, mangan, karbon disulfida). 3. Sindrom Paraparkinson (Parkinson’s Plus) : Sindrom Shy-Drager, Penyakit Wilson, Parkinsonismus juvenilis, Hidrosefalus normotensif, Degenerasi striatonigral, Penyakit Creutzfeldt-Jakob, sindrom Steele-Richardson-Olszewski, penyakit Hallervorden-Spatz, kompleks demensia Parkinsonisme Guam.

3

IV.

Etiologi Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di substansi nigra. Suatu kelompok sel yang mengatur gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki (involuntary). Akibatnya, penderita tidak bisa mengatur/menahan gerakan-gerakan yang tidak disadarinya. Mekanis-me bagaimana kerusakan itu belum jelas benar. Beberapa hal yang diduga bisa menyebabkan parkinson adalah sebagai berikut 5: 1. Usia Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50 sampai 200 dari 10.000 penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini berkaitan dengan reaksi mikrogilial yang mempengaruhi kerusakan neuronal, terutama pada substansia nigra, pada penyakit parkinson. 2. Geografi Di Libya 31 dari 100.000 orang, di Buinos aires 657 per 100.000 orang. Faktor resiko yang mempengaruhi perbedaan angka secara geografis ini termasuk adanya perbedaaan genetik, kekebalan terhadap penyakit dan paparan terhadap faktor lingkungan. 3. Genetik Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan pada penyakit parkinson. Yaitu mutasi pada gen -sinuklein pada lengan panjang kromosom 4 (PARK1) pada pasien dengan Parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien dengan autosomal resesif parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point pada gen parkin (PARK2) di kromosom 6.

4

Selain itu juga ditemukan adanya disfungsi

mitokondria. 4. Faktor Lingkungan a. Xenobiotik Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang dapat menmbulkan kerusakan mitokondria b. Pekerjaan Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih tinggi dan lama. c. Infeksi

4

Paparan virus influenza intrautero diduga turut menjadi faktor predesposisi penyakit parkinson melalui kerusakan substansia nigra. Penelitian pada hewan menunjukkan adanya kerusakan substansia nigra oleh infeksi Nocardia astroides. d. Diet Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress oksidatif, salah satu mekanisme kerusakan neuronal pada penyakit parkinson. Sebaliknya, kopi merupakan neuroprotektif. e. Trauma kepala Cedera kranio-serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson, meski peranannya masih belum jelas benar f. Stress dan depresi Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala motorik. Depresi dan stress dihubungkan dengan penyakit parkinson karena pada stress dan depresi terjadi peningkatan turnover katekolamin yang memacu stress oksidatif. V.

Patofisiologi Patofisiologi parkinson juga dapat digambarkan berupa meningkatnya jalur Indirect pada basal ganglia. Diketahui bahwa ada 2 jalur pada basal ganglia yaitu direct pathway dan indirect pathways. Dopamine bekerja untuk mengaktivasi direct pathway dan menghambat indirect pathway, sedangkan pada parkinson tidak terjadi mekanisme tersebut . Kelainan utama pada penyakit Parkinson yang idiopatik maupun pada postensefalitik adalah hilangnya sel-sel berpigmen di substansia nigra dan nukleus berpigmen lainnya (locus ceruleus, nukleus motorik dorsalis vagus). Dengan berkurang atau hilangnya sel-sel neuron dopaminergik di substansia nigra, akan mengakibatkan hilangnya neuron dopaminergik nigro-striatum.

5

Dalam keadaan normal, neuron ini memproduksi Dopamin. Dopamin merupakan neurotransmitter yang berperan dalam transmisi sinyal untuk kontrol dan koordinasi gerakan motorik halus. Kerusakan sel-sel neuron substansia nigra menyebabkan berkurangnya produksi dopamin sehingga akan mengganggu fungsi motorik. Penyebab kerusakan belum jelas diketahui. Diduga terdapat 4 mekanisme kematian sel yang menimbulkan degenerasi neuron yaitu stress oksidatif, toksin dari lingkungan, predisposisi genetik dan percepatan penuaan. Pada stress oksidatif diduga menyebabkan kematian sel neuron secara langsung. Toksin lingkungan seperti Sianida, CO, pestisida, obat neuroleptik menyebabkan gangguan metabolisme sel neuron dopaminergik secara selektif sehingga pada akhirnya menimbulkan degenerasi sel. Terdapat beberapa gen yang diduga berhubungan dengan penyakit ini yaitu gen yang mengkode protein “parkin” pada kromosom 6. Mutasi pada gen tersebut menyebabkan Parkinsonism secara autosomal resesif. Onset terjadi sebelum usia 40 tahun dan progresivitas berjalan lambat. Selain itu terdapat juga gen untuk protein alpha-synuclein pada kromosom 4 yang diduga berhubungan dengan terjadinya penyakit Parkinson. Pada penyakit Parkinson, terjadi percepatan degenerasi neuron dopaminergik oleh sebab yang belum diketahui sehingga menimbulkan gejala klinik. Berbagai keadaan tersebut menimbulkan destruksi sel-sel neuron melanin penghasil dopamin pada pars kompakta substansia nigra sehingga secara makroskopis terhadi depigmentasi. Secara mikroskopis, terjadi pengurangan jumlah sel neuron melanin, dimana sel-sel yang tersisa mengandung badan-badan inklusi eosinofilik di sitoplasma yang dikelilingi oleh halo sehingga disebut sebagai Lewy bodies.

6

Gambar. Lewy Body di sitoplasma dari sel neuron substansia nigra

Gambar. Jaras ganglia basalis – talamokortikal normal Sinyal-sinyal dari korteks cerebri akan diproses melalui ganglia basalis-talamokortikal dan kembali ke area yang sama melalui mekanisme feedback. Ada dua jalur di jaras

7

tersebut, yaitu jalur direk dan jalur indirek. Pada jalur direk, striatum secara langsung menghambat globus palidus pars interna dan substansia nigra pars reticulata. Pada jalur indirek, inhibisi oleh striatum ke glonbus palidus pars interna dan substansia nigra pars reticulata terjadi melalui hambatan ke globus palidus pars externa dan nucleus subtalamus. Jaras nigro-striatal ini berperan penting dalam mengatur fungsi gerakan halus. Untuk fungsi yang normal, perlu ada keseimbangan antara komponen dopaminergik yang menghambat dengan sistem kolinergik yang mengeksitasi. Dopamin disekresikan dari neuron-neuron nigrostriatal (substansia nigra pars kompakta) untuk mengaktivasi jalur direk dan menghambat jalur indirek. Gejala Parkinson timbul bila terdapat disproporsi fungsional antata kedua komponen (inhibisi dan eksitasi) dimana hasil akhirnya terjadi penurunan dopamin di striatum sehingga terjadi peningkatan efek inhibisi ke globus palidus secara direk maupun indirek. Peningkatan efek inhibisi di jalur talamokortikal tersebut menyebabkan penekanan pada gerakan sehingga gerakan menjadi lamban, sulit, gerakan asosiatif berkurang, gerakan spontan berkurang.

8

VI.

Manifestasi Klinis

1. Rigiditas Mungkin hanya terbatas pada satu kelompok otot dan terutama unilateral atau dapat menyebar dan bilateral. Parkinsonisme menurunkan kekuatan dan menurunkankecepatan otot, dan merupakan faktor utama dalam terjadinya deformitas akibat sindrom ini. Gejala pasif yang melibatkan ekstrimitas atau trunkus mengalami resistensi “traffylike” yang relatif stabil melalui kisaran gerakan. Parkinsonisme telah dibandingkan dengan pipa saluran yang ditekuk sehingga kadang disebut rigiditas pipa saluran. “Catches” sering timbul selama gerakan pasif, menyebabkan karakter roda pedati atau “rachetlike” pada rigiditas yang disebut rigiditas roda pedati. Otot fleksor maupun ekstensor berkontraksi kuat (tonus meningkat), mengindikasikan adanya gangguan kontrol pada kelompok otot yang bersebrangan. Jika rigiditas melibatkan trunkus, rigiditas itu bertanggungjawab terhadap gaya berjalan dan masalah posisi tubuh akibat Parkinson. Pasien membungkuk ketika mereka berdiri sehingga dagu maju jauh ke depan daripada ibu jarinya. Mereka berjalan sambil menyeret kakinya terburu-buru, langkah yang semakin cepat bila tersandung ke depan dan mencoba untuk cepat mengembalikan kaki mereka pada keadaan semula (festinating gait)7,8,9 2. Tremor Akibat parkinsonisme timbul pada saat istirahat dan disebut tremor istirahat. Ketika otot menegang untuk melakukan tindakan yang bertujuan, biasanya tremor akan berhenti. (sekitar sepertiga pasien mengalami tremor yang hebat bersamaan dengan tremor istirahat, namun seperti yang telah disebutkan, tremor hebat biasanya berkaitan dengan disfungsi serebelum). Tremor yang melibatkan tangan dijelaskan sebagai pill rolling dan mengakibatkan gerakan ritmis ibu jari pertama dan kedua. Tremor adalah akibat dari kontraksi bergantian yang regular (4 hingga 6 siklus per detik) pada otot yang berlawanan. Tremor sepertinya akan memburuk jika pasien lelah, di bawah tekanan emosi, atau terfokus pada tremor. Dasar tremor tidak jelas. Degenerasi ganglia basalis menyebabkan hilangnya pengaruh inhibitor dan menigkatkan timbal balik berbagai sirkuit yang berakibat dalam osilasi. Tidak semua pasien memiliki tremor yang jelas. Bila pasien secara tidak sengaja mengalami kejadian serebrovaskular (CVA, stroke) dan timbul hemiplegia, tremor akan hilang pada bagian yang paralisis. 9

Kedua gejala di atas biasanya masih kurang mendapat perhatian sehingga tanda akinesia/bradikinesia muncul. Gerakan penderita menjadi serba lambat. Dalam pekerjaan sehari-hari pun bisa terlihat pada tulisan/tanda tangan yang semakin mengecil, sulit mengenakan baju, langkah menjadi pendek dan diseret. Kesadaran masih tetap baik sehingga penderita bisa menjadi tertekan (stres) karena penyakit itu. Wajah menjadi tanpa ekspresi. Kedipan dan lirikan mata berkurang, suara menjadi kecil, refleks menelan berkurang, sehingga sering keluar air liur.7 3. Gerakan volunter menjadi lambat sehingga berkurangnya gerak asosiatif misalnya sulit untuk bangun dari kursi, sulit memulai berjalan, lambat mengambil suatu obyek, bila berbicara gerak lidah dan bibir menjadi lambat. Bradikinesia mengakibatkan berkurangnya ekspresi muka serta mimik dan gerakan spontan yang berkurang, misalnya wajah seperti topeng, kedipan mata berkurang, berkurangnya gerak menelan ludah sehingga ludah sering keluar dari mulut.7,8,9 4. Tulisan tangan secara gradual menjadi kecil dan rapat, pada beberapa kasus hal ini merupakan gejala dini, berjalan dengan langkah kecil menggeser dan makin menjadi cepat (marche a petit pas), stadium lanjut kepala difleksikan ke dada, bahu membengkok ke depan, punggung melengkung bila berjalan.7 5. Sering pula terjadi bicara monoton karena bradikinesia dan rigiditas otot pernapasan, pita suara, otot laring, sehingga bila berbicara atau mengucapkan kata-kata yang monoton dengan volume suara halus (suara bisikan) yang lambat. 7 6. Demensia, adanya perubahan status mental selama perjalanan penyakitnya dengan defisit kognitif. Gangguan Behavioral, lambat-laun menjadi dependen (tergantung kepada orang lain), mudah takut, sikap kurang tegas, depresi. Cara berpikir dan respon terhadap pertanyaan lambat (bradifrenia) biasanya masih dapat memberikan jawaban yang betul, asal diberi waktu yang cukup, dan gejala lain yaitu kedua mata berkedip-kedip pada pengetukan diatas pangkal hidungnya (tanda Myerson positif) 7,8,9

10

Adapula gejala non motorik yang dapat terjadi, yaitu: 1. Disfungsi otonom a. Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama inkontinensia, dan adanya hipotensi ortostatik. b. Kulit berminyak dan infeksi kulit seborrheic c. Pengeluaran urin yang banyak d. Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya hasrat seksual, perilaku, orgasme. 2. Gangguan afek penderita sering mengalami depresi 3. Ganguan kognitif, lamban menanggapi rangsangan 4. Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia) 5. Gangguan sensasi, a. kepekaan kontras visual lemah, pemikiran mengenai ruang, pembedaan warna b. penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh hypotension orthostatic, suatu kegagalan sistemsaraf otonom untuk melakukan penyesuaian tekanan darah sebagai jawaban atas perubahan posisi badan c. berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra penciuman (microsmia atau anosmia).

Gambaran tambahan parkinsonisme adalah 1. Gangguan okulomotor: Pandangan yang kabur bila melihat suatu titik akibat ketidakmampuan untuk mempertahankan kontraksi otot okular. Gejala ini seringkali tidak dapat dibedakan dari gejala awal gangguan gerak neurodegeneratif yang jarang terjadi dan secara terpisah disebut palsi supranuklear progressive (PSP). 2. Krisis okuligirik: spasme otot mata untuk berkonjugasi dengan mata yang terfiksasi biasanya pada pandangan ke atas, selama beberapa menit hingga beberapa jam; berkaitan dengan parkinsonisme yang berasal dari eksogen, seperti penggunaan obat atau pascaensefalitis. 11

3. Kelelahan dan nyeri otot yang akibat rigiditas. 4. Hipotensipostural akibat efek samping pengobatan 5. Gangguan fungsi pernapasan yang berkaitan dengan hipoventilasi, aspirasi makanan atau saliva, dan berkurangnya bersihan jalan napas. TEMUAN NEUROLOGIS UTAMA PADA PD Temuan Neurologis

Keterangan

Tremor istirahat*

Gerakan memilin pada jari tangan yang khas; tremor berkurang dengan gerakan voluntar selama tidur.

Bradikinesia*

Perlahan-lahan

dalam

memulai

dan

mempertahankan gerakan Rigiditas roda pedati*

Gerakan dihalangi dengan “menangkap” ; resistensi relatif konstan sepanjang rentang gerakan.

Kelainan posisi tubuh Membungkuk, berjalan dengan kaki diseret, cara dan cara berjalan*

berjalan

yang

capat,

berbalik

badan

secara

bersamaan (en bolic). Mikrografia

Tulisan tangan yang kecil-kecil dan secara perlahan; tremor dapat jelas terlihat ketika menggambar lingkaran yang konsentrik.

Wajah seperti topeng

Mata yang melotot, tidak berkedip, ekspresi dingin, berkedip 2 atau 3 kali/menit (kedip normal 12-20 kali/ menit)

Suara datar (monoton) Bicara tanpa ekspresi Refleks

Hiperaktif Sensitivitas yang berlebihan terhadap ketukan jari di

glabelar

atas glabela (antara alis mata) menyebabkan pasien berkedip setiap kali ketukan.

12

13

Hingga saat ini, terdapat beberapa skala penilaian untuk menilai dan mengevaluasi adanya disfungsi motorik pada pasien penyakit Parkinson. Namun sebagian besar dari skala penilaian tersebut, tidak memiliki hasil yang valid dan tidak sepenuhnya dapat dipercaya. Skala menurut Hoehn dan Yahr merupakan skala penilaian yang paling sering digunakan untuk menggambarkan progresifitas penyakit.

Tabel Skala Hoehn dan Yahr10 14

Untuk kepentingan klinis diperlukan adanya penetapan berat ringannya penyakit dalam hal ini digunakan stadium klinis berdasarkan Hoehn and Yahr (1967) yaitu: 1. Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan, terdapat gejala yang mengganggu tetapi menimbulkan kecacatan, biasanya terdapat tremor pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat dikenali orang terdekat (teman). 2. Stadium 2: Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap/cara berjalan terganggu. 3. Stadium 3: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang. 4. Stadium 4: Terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri, tremor dapat berkurang dibandingkan stadium sebelumnya. 5. Stadium 5: Stadium kakhetik (cachactic stage), kecacatan total, tidak mampu berdiri dan berjalan walaupun dibantu.11,12

VII.

Diagnosis13

Penegakkan diagnosis penyakit Parkinson dapat berdasarkan kriteria: 1. Secara klinis -

Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia, atau

-

3 dari 4 tanda motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia dan ketidakstabilan postural.

15

2. Berdasarkan

UK

Parkinson’s

Disease

Society

Brain

Bank

(UKPDSBB)

Clinical Diagnostic Criteria dan NINDS criteria13

16

VIII. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium hanya bersifat dukungan pada hasil klinis, karena tidak memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk penyakit Parkinson. Pengukuran kadar NT dopamine atau metabolitnya dalam air kencing, darah maupun cairan otak akan menurun pada penyakit Parkinson dibandingkan kontrol. Lebih lanjut, dalam keadaan tidak ada penanda biologis yang spesifik penyakit, maka diagnosis definitive terhadap penyakit Parkinson hanya ditegakkan dengan otopsi. Dua penelitian patologis terpisah berkesimpulan bahwa hanya 76% dari penderita memenuhi kriteria patologis aktual, sedangkan yang 24% mempunyai penyebab lain untuk parkinsonisme tersebut.(14) 2. EEG (biasanya terjadi perlambatan yang progresif) 3. CT Scan kepala (biasanya terjadi atropi kortikal difus, sulki melebar, hidrosefalua eks vakuo) 4. Neuroimaging: 17

a. Magnetik Resonance Imaging (MRI) Baru-baru ini dalam sebuah artikel tentang MRI, didapati bahwa hanya pasien yang dianggap mempunyai atropi multi sistem memperlihatkan signal di striatum.14,15 b. Positron Emission Tomography (PET) Ini merupakan teknik imaging yang masih relatif baru dan telah memberi kontribusi yang signifikan untuk melihat kedalam sistem dopamine nigrostriatal dan peranannya dalam patofisiologi penyakit Parkinson. Penurunan karakteristik pada pengambilan fluorodopa, khususnya di putamen, dapat diperlihatkan hampir pada semua penderita penyakit Parkinson, bahkan pada tahap dini. Pada saat awitan gejala, penderita penyakit Parkinson telah memperlihatkan penurunan 30% pada pengambilan fluorodopa putamen. Tetapi sayangnya PET tidak dapat membedakan antara penyakit Parkinson dengan parkinsonisme atipikal. PET juga merupakan suatu alat untuk secara obyektif memonitor progresi penyakit, maupun secara obyektif memperlihatkan fungsi implantasi jaringan mesensefalon fetus.14,15

Gambar 4. PET pada penderita Parkinson pre dan prost transplantasi

c. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) Sekarang telah tersedia ligand untuk imaging sistem pre dan post sinapsis oleh SPECT, suatu kontribusi berharga untuk diagnosis antara sindroma Parkinson plus dan penyakit Parkinson, yang merupakan penyakit presinapsis murni. Penempelan ke striatum oleh derivat kokain [123]beta-CIT, yang juga dikenal sebagai RTI-55, 18

berkurang secara signifikan disebelah kontralateral sisi yang secara klinis terkena maupun tidak terkena pada penderita hemiparkinson. Penempelan juga berkurang secara signifikan dibandingkan dengan nilai yang diharapkan sesuai umur yang berkisar antara 36% pada tahap I Hoehn dan Yahr sampai 71% pada tahap V. Marek dan yang lainnya telah melaporkan rata-rata penurunan tahunan sebesar 11% pada pengambilan [123]beta-CIT striatum pada 34 penderita penyakit Parkinson dini yang dipantau selama 2 tahun. Sekarang telah memungkinkan untuk memvisualisasi dan menghitung degenerasi sel saraf nigrostriatal pada penyakit Parkinson. Dengan

demikian,

imaging

transporter

dopamin

pre-sinapsis

yang

menggunakan ligand ini atau ligand baru lainnya mungkin terbukti berguna dalam mendeteksi orang yang beresiko secara dini. Sebenarnya, potensi SPECT sebagai suatu metoda skrining untuk penyakit Parkinson dini atau bahkan presimptomatik tampaknya telah menjadi kenyataan dalam praktek. Potensi teknik tersebut sebagai metoda yang obyektif untuk memonitor efikasi terapi farmakologis baru, sekarang sedang diselidiki.14

IX.

Diagnosis Banding15 1. Progresif Supranuclear palsy 2. Multiple System Atrophy 3. Corticobasal degeneration. 4. Esential Tremor 5. Lewy Body Dementia 6. Vascular parkinsonism 7. Normal pressure Hidrocephalus 8. Drug induced parkinsonism

X.

Penatalaksanaan Saat ini, terapi obat terhadap penyakit Parkinson merupakan simptomatis. Mengingat obat-obat ini mempunyai efek samping jangka pendek dan jangka panjang yang dapat mengganggu, dianjurkan untuk tidak memulai terapi bila penyakit Parkinson yang diderita belum mengakibatkan gangguan. Banyak teori yang mengemukakan baik19

buruknya obat-obat tertentu dalam menangani penyakit Parkinson, namun kebanyakan teori ini didasarkan atas eksperimen dan penelitian di lapangan yang masih terbatas.16 1. Medikamentosa Obat dopaminergik17 i.

Prekursor dopamine Levodopa atau L-dopa merupakan prekursor dopamine. Pada terapi Parkinson, tidak dapat secara langsung diberikan dopamin eksogen sebab dopamin dalam darah tidak dapat menembus blood brain barier. Hal ini berbeda dengan levodopa, dimana levodopa yang diserap dalam saluran cerna melalui transport aktif menuju darah, dan mampu menembus blood brain barier. Kemudian levodopa dikonversi menjadi dopamine di otak dengan bantuan enzim dopa dekarboksilase.17 Lebih dari 90% levodopa dimetabolisme menjadi dopamine oleh dekarboksilase dopa perifer (diluar SSP) dan kadar yang sampai ke otak kurang dari 2%, sehingga levodopa perlu diberikan dalam dosis tinggi. Akan tetapi, kadar dopamine yang tinggi di perifer dapat menyebabkan efek samping otonomik yang hebat. Efek samping otonomik yang hebat ini dapat dikurangi dengan pemberian bersama-sama dengan inhibitor enzim dopa dekarboksilase perifer, yaitu karbidopa. Berdasarkan gambaran gejala klinis, pasien dengan PD dikelompokkan ke dalam 3 kategori dasar yaitu kategori ringan, sedang dan berat. Pada tingkat ringan (3-5 tahun pertama setelah diagnosis), respon terhadap levodopa masih baik dan efek yang menguntungkan ini menetap walaupun dosis yang diberikan tidak bersifat individual. Pada tingkat sedang biasanya setelah 510 tahun di diagnosa, biasanya 50-70% pasien memperlihatkan komplikasi motorik yang diinduksi oleh obat (drug induce) berupa periode “on” dan “off”. Waktu periode “on” pasien tampak berrespon terhadap obat tapi waktu periode “off” gejala parkinson kembali kambuh.13Pada kategori ketiga (berat) pasien PD yang lanjut sudah terjadi kerusakan motorik yang progresif meskipun telah mendapat terapi levodopa, dan tidak berespon secara baik terhadap pengobatan yang menyebabkan timbulnya komplikasi 20

motorik seperti fluktuasi dan diskinesia dan mungkin sulit diobati, bahkan tidak mungkin dapat dikontrol dengan terapi obat.Untuk mencegah timbulnya efek samping dari penggunaan levodopa tersebut,saat ini strategi penundaan pemberian levodopa lebih diterapkan.17 Levodopa diberikan ketika gejala parkinson pada pasien sudah mulai menyebabkan gangguan fungsional dalam kehidupan sehari-hari.17 ii.

Dopa dekarboksilase inhibitor Karbidopa dan benserazid merupakan dopadekarboksilase inhibitor pada jaringan perifer, tetapi tidak masuk susunan saraf pusat. Karena tidak dapat melewati blood brain barier, sebagai hasilnya karbidopa menurunkan kadar dopamine di perifer, tetapi tidak di susunan saraf pusat.

iii.

Dopamin agonis Oleh karena perlunya penundaan pemberian levodopa pada tahap awal penyakit Parkinson, para ahli parkinsonologist merekomendasikan pemberian obat-obat dopamine agonis sebagai terapi awal atau inisial dari golongan obat dopaminergik. Obat-obat dopamine agonis bekerja dengan mengaktivasi reseptor dopamine secara langsung, dimana berdasarkan studi penemuan klinis dan eksperimental menemukan bahwa aktivasi reseptor dopamin yang penting adalah reseptor dopamin D2 dalam memediasi efek antiparkinsonian dari dopamine agonis. Akan tetapi, beberapa penelitian saat ini juga menyatakan bahwa stimulasi reseptor D1 dan D2 dibutuhkan terhadap peningkatan optimal efek terhadap fungsi fisiologis dan perilaku. Dopamine agonis terdiri atas derivat ergot (bromocriptine, cabergoline, lisuride and pergolide) dan derivat non-ergot (pramipexole and ropinirole). Derivat non-ergot memiliki resiko komplikasi yang lebih rendah dibandingkan derivat ergot. Komplikasi yang terjadi dapat berupa ulkus peptikum, efek vasokonstriktif, fibrosis retroperitoneal, penyakit katup jantung, dan reaksi serosal berupa efusi pleura, perikardial, dan peritoneal. Oleh karena obat-obat derivat ergot berpotensi cukup kuat terhadap kejadian penyakit jantung katup, penggunaan obat golongan ini sudah sangat terbatas. 21

Pramiprexole merupakan obat yang aman dan efektif apabila digunakan sebagai monoterapi pada tahap awal Parkinson. Pramiprexole juga digunakan sebagai neuroprotektif dan dapat meningkatkan aktivitas neurotropik pada dopaminergik mesensefali. Penggunaan ropirinole juga merupakan obat yang aman dan efektif pada tahap awal penyakit Parkinson, hanya saja ropirinole berisko lebih tinggi terhadap kejadian hipotensi dan somnolen.17 iv.

MAO-B Inhibitor Selegilline dan rasagiline merupakan obat golongan MAO-Inhibitor. MAOB Inhibitor memblok metabolisme dopamine sehingga kadarnya tetap meningkat di striatum.

v.

COMT Inhibitor Entacapon dan tolcapon merupakan obat golongan COMT-Inhibitor. Obat golongan COMT Inhibitor menghambat degradasi dopamine menjadi 3-Omethyldopa oleh enzim COMT, terutama di perifer da meningkatkan jumlah levodopa yang melewati sawar darah otak. 12Tolcapon kini sudah tidak digunakan di negara Eropa setelah 3 pasien meninggal akibat toksisitas hepar terhadap obat tersebut. Entacapom mengurangi waktu “off” dari dosis levodopa, dan mengurangi-sedang-gangguan motorik dan disabilitas.

Obat Non-dopaminergik i. Antikolinergik Triheksifenidil dan benztropine merupakan obat antikolinergik. Obat ini menghambat sistem kolinergik di ganglia basal dengan menghambat aksi neurotransmitter asetilkolin, sehingga mampu membantu dalam menjaga keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin, sehingga dapat mengurangi gejala tremor. Efek samping obat antikolinergik perifer mencakup pandangan menjadi kabur, mulut kering, retensi urin. Piridostigmin, sampai 60 mg, 3x sehari, dapat membantu mengatasi mulut kering dan kesulitan miksi. Efek samping sentral terutama adalah pelupa dan menurunnya memori jangka 22

pendek. Kadang-kadang dapat dijumpai halusinasi dan psikosis, terutama apda kelompok usia lanjut, sehingga dapat digunakan obat antikolinergik yang lebih lemah, seperti difenhidramin (Benadryl), orfenadrin (Norflex), amitriptilin.16 ii. Amantadin Bekerja dengan membebaskan dopamin dari vesikel prasinaptik. XI.

Prognosis 12 Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson, sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena parkinson, maka penyakit ini akan menemani sepanjang hidupnya. Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping pengobatan terkadang dapat sangat parah. PD sendiri tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal, tetapi berkembang sejalan dengan waktu. Rata-rata harapan hidup pada pasien PD pada umumnya lebih rendah dibandingkan yang tidak menderita PD. Pada tahap akhir, PD dapat menyebabkan komplikasi seperti tersedak, pneumoni, dan memburuk yang dapat menyebabkan kematian. Progresifitas gejala pada PD dapat berlangsung 20 tahun atau lebih. Namun demikian pada beberapa orang dapat lebih singkat. Tidak ada cara yang tepat untuk memprediksikan lamanya penyakit ini pada masing-masing individu. Dengan treatment yang tepat, kebanyakan pasien PD dapat hidup produktif beberapa tahun setelah diagnosis

23

DAFTAR PUSTAKA 1. Longo DL dkk. Harrison’s principles of internal medicine. Edisi 18. New York: McGrawHill company; 2012. Hal 3317- 3327 2. American Parkinson Disease Assosiation. Handbook of Parkinson Disease. USA: American Parkinson Disease Assosiation Inc; 2010. p. 1- 2 3. Parkinson Management. Available at: file:///C:/Users/user/Downloads/C123_17811794.pdf 4. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2010. Hal 301- 303 5. 12.Jankovic. J, Tolosa. E. Parkinson’s Disease And Movements Disorders 4th. Philadelpia : Lippincott &Wilkins;2002. P 91-99, 39-53 6. Parkinson. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1831191-overview#a2 7. Reichmann H. Clinical criteria for Diagnosis Parkinson Disease. German: Neurodegenerative Dis; 2010;7:284–290 DOI: 10.1159/000314478 8. Zigmond MJ. Pathofisiology of parkinson. Available at: https://www.google.co.id/search?q=pathophysiology+of+parkinson+disease+pdf&oq=pat hophysiology+of+par&aqs=chrome.1.69i57j0l5.12085j0j7&sourceid=chrome&es_sm=9 3&ie=UTF-8 9. Parkinson disease symptom. Available at: http://www.webmd.com/parkinsonsdisease/tc/parkinsons-disease-symptoms 10. Massachusetts General Hospital. Hoehn and Yahr staging for parkinson disease. Available at: http://neurosurgery.mgh.harvard.edu/functional/pdstages.htm 11. Agoes, Azwar, dkk. 2010. Penyakit di Usia Tua. Penyakit Parkinson. Jakarta. EGC. Hal 147-152. 12. Ganong, William F., and Mcphee, Stephen J. 2011. Patofisiologi Penyakit Edisi 5. Penyakit Parkinson. Jakarta. EGC. Hal 188-189. 13. Jankovic J. Parkinson’s disease: clinical features and diagnosis. USA: J Neurol Neurosurg Psychiatry; 2008; 79:368-376. 14. Price SA, Wilson LM, Hartwig MS. 2006. Gangguan Neurologis dengan Simtomatologi Generalisata. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 1139-1144. 15. Lingor N. Diagnosis and differential diagnosis of Parkinson. Available at: http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/20327.pdf 16. Lumbantobing SM. Sindrom Parkinson. In: Gangguan gerak. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2005; p.67-110. 17. Jankovic J, Aguilar LG. Current approaches to the treatment of Parkinson’s disease. USA: Neurophsyciatric disease and treatment; 2008; Vol.4 (4); p.743-57. 18. Muis A, Joesof AA, Agoes A, Sudomo A, Shahab A, Husni A, dkk. Konsensus tatalaksana penyakit Parkinson. Surabaya: Perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia (PERDOSSI); 2000; p.8-17. 24

Related Documents

Referat
May 2020 53
Referat Skizoid.docx
April 2020 17
Referat Carotid.docx
November 2019 20
Referat Faringitis.pptx
December 2019 28
Referat Cont.docx
December 2019 26
Referat Hnp.docx
June 2020 17

More Documents from "Nalda Nalda"