OBSTRUKSI SALURAN NAPAS ATAS Oleh Dr. R.E. Shofi Loftyani ANATOMI SALURAN NAPAS ATAS ANATOMI1,2 Pernapasan artinya pengangkutan gas ke dan dari sel-sel. Dalam pengangkutan gas ini melewati alat-alat pernapasan. Dibedakan alat-alat pernapasan yang dilalui udara, misalnya rongga hidung, faring, laring, dan trakea.dari paru-paru yang berfaal pada pertukaran gas secara langsung antara udara dan darah. Sebagian besar saluran pernapasan (jalan udara), bronkus, terdapat didalam paru-paru. Laring juga berfaal pada produksi suara. Alat penghidu (hidung) mengontrol udara penarikan napas.2 Satu bagian jalan-jalan udara terdapat di kepala yaitu saluran napas bagian atas (hidung, faring dan laring). Dari sudut klinik, rongga mulut sering kali juga diikut sertakan dalam struktur-struktur ini. Bagian lain jalan udara terletak di leher dan batang badan yaitu saluran nafas bagian bawah (trakea, bronkus, dan paru-paru). Pada semua bagian saluran pernapasan udara penarikan napas telah dipersiapkan, misalnya telah dibersihkan dengan berbagai cara, dilembabkan dan dihangatkan2.
1
Hidung
Gambar 1.6 Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) Pangkal hidung (bridge), 2) Batang hidung (dorsum nasi), 3) Puncak hidung (hip), 4) Ala nasi, 5) kolumela dan 6) Lubang hidung (nares anterior). Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 4) tepi anterior kartilago septum. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunuyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
2
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Batas rongga hidung Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribiformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid. Kompleks OstioMeatal (KOM) Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulm etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.
3
Pendarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.
4
Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. Oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n. maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dari n. ofaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
5
Faring
Diambil dari Anatomy and Function respiratory system Faring adalah otot berbentuk pipa corong dengan panjang 5 inch yang menghubungkan hidung dan mulut menuju laring. Faring adalah tempat dari tonsil dan adenoid. Dimana terdapat jaringan limfe yang melawan infeksi dengan melepas sel darah putih ( limfosit T dan B).3 Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring. NASOFARING disebut juga Epifaring, Rinofaring. merupakan yang terletak dibelakang rongga hidung,diatas Palatum Molle dan di bawah dasar tengkorak. Dinding samping ini berhubungan dengan ruang telinga tengah melalui tuba Eustachius. Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius menonjol diatas ostium tuba yang disebut Torus Tubarius. Tepat di belakang Ostium Tuba. Terdapat cekungan kecil disebut Resesus Faringeus atau lebih di kenal dengan fosa Rosenmuller; yang merupakan banyak penulis merupakan lokalisasi permulaan tumbuhnya tumor ganas nasofaring. OROFARING disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikalis. struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring,
6
tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum. LARINGOFARING, batas laingofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebre servikal. Perdarahan Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang A. karotis eksterna ( cabang faring asendens dan cabang fausial ) serta dari cabang A. maksila interna yakni cabang palatina superior. Persarafan persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif. pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari N. vagus, cabang dari N. glosofaring dan serabut simpatis. cabang faring dari N. vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang cabang untuk otot otot faring kecuali M. stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang N. glosofaring ( N.IX )
Laring
Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi yang menyatukan trakea dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif umum. Laring memiliki kegunaan penting
7
yaitu (1) ventilasi paru, (2) melindungi paru selama deglutisi melalui mekanisme sfingteriknya, (3) pembersihan sekresi melalui batuk yang kuat, dan (4) produksi suara. Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan subglotis. Supraglotis terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu) dan ventrikel laringeal. Glotis terdiri dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotik memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid. Ukuran, lokasi, konfigurasi, dan konsistensi struktur laringeal, unik pada neonatus. Laring dibentuk oleh kartilago, ligamentum, otot dan membrana mukosa. Terletak di sebelah ventral faring, berhadapan dengan vertebra cervicalis 3-6. Berada di sebelah kaudal dari os hyoideum dan lingua, berhubungan langsung dengan trakea. Di bagian ventral ditutupi oleh kulit dan fasia, di kiri kanan linea mediana terdapat otot-otot infra hyoideus. Posisi laring dipengaruhi oleh gerakan kepala, deglutisi, dan fonasi. Kartilago laring dibentuk oleh 3 buah kartilago yang tunggal, yaitu kartilago tireoidea, krikoidea, dan epiglotika, serta 3 buah kartilago yang berpasangan, yaitu kartilago aritenoidea, kartilago kornikulata, dan kuneiform. Selain itu, laring juga didukung oleh jaringan elastik. Di sebelah superior pada kedua sisi laring terdapat membrana kuadrangularis. Membrana ini membagi dinding antara laring dan sinus piriformis dan dinding superiornya disebut plika ariepiglotika. Pasangan jaringan elastik lainnya adalah konus elastikus (membrana krikovokalis). Jaringan ini lebih kuat dari pada membrana kuadrangularis dan bergabung dengan ligamentum vokalis pada masing-masing sisi. Otot-otot yang menyusun laring terdiri dari otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik berfungsi menggerakkan laring, sedangkan otot-otot intrinsik berfungsi membuka rima glotidis sehingga dapat dilalui oleh udara respirasi. Juga menutup rima glotidis dan vestibulum laringis, mencegah bolus makanan masuk ke dalam laring (trakea) pada waktu menelan. Selain itu, juga mengatur ketegangan (tension) plika vokalis ketika berbicara. Kedua fungsi yang pertama diatur oleh medula oblongata secara otomatis, sedangkan yang terakhir oleh korteks serebri secara volunter. Rongga di dalam laring dibagi menjadi tiga yaitu, vestibulum laring, dibatasi oleh aditus laringis dan rima vestibuli. Lalu ventrikulus laringis, yang dibatasi oleh rima vestibuli dan rima glotidis. Di dalamnya berisi kelenjar mukosa yang membasahi plika vokalis. Yang ketiga adalah kavum laringis yang berada di sebelah ckudal dari plika vokalis dan melanjutkan diri menjadi kavum trakealis. 8
Laring pada bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan orang dewasa. Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat ditekan oleh tekanan jalan nafas. Pada bayi laring terletak setinggi C2 hingga C4, sedangkan pada orang dewasa hingga C6. Ukuran laring neonatus kira-kira 7 mm anteroposterior, dan membuka sekitar 4 mm ke arah lateral. Laring berfungsi dalam kegiatan Sfingter, fonasi, respirasi dan aktifitas refleks. Sebagian besar otot-otot laring adalah adduktor, satu-satunya otot abduktor adalah m. krikoaritenoideus posterior. Fungsi adduktor pada laring adalah untuk mencegah benda-benda asing masuk ke dalam paru-paru melalui aditus laringis. Plika vestibularis berfungsi sebagai katup untuk mencegah udara keluar dari paru-paru, sehingga dapat meningkatkan tekanan intra thorakal yang dibutuhkan untuk batuk dan bersin. Plika vokalis berperan dalam menghasilkan suara, dengan mengeluarkan suara secara tiba-tiba dari pulmo, dapat menggetarkan (vibrasi) plika vokalis yang menghasilkan suara. Volume suara ditentukan oleh jumlah udara yang menggetarkan plika vokalis, sedangkan kualitas suara ditentukan oleh cavitas oris, lingua, palatum, otot-otot facial, dan kavitas nasi serta sinus paranasalis.
9
SUMBATAN SALURAN NAPAS ATAS DEFINISI1,2 Sumbatan saluran napas atas adalah salah satu keadaan suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Sumbatan dapat bersifat sebagian, dapat juga sumbatan total. Pada sumbatan ringan dapat mrnyebabkan sesak, sedangkan sumbatan yang lebih berat namun masih ada sedikit celah dapat menyebabkan sianosis (berwarna biru pada kulit dan mukosa membran yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah), gelisah bahkan penurunan kesadaran. Pada sumbatan total bila tidak ditolong dengan segera dapat menyebabkan kematian ETIOLOGI DAN FISIOLOGI1,2,3,4 Sumbatan saluran napas atas dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti infeksi virus dan bakteri, tumor, trauma bakar, reaksi bahan kimia, reaksi alergi, benda asing dan trauma. Sumbatan sering terjadi pada laring dikarenakan menyempitnya jalan napas.1 Pada anak-anak sering terjadi sumbatan akibat benda asing yang ditelan oleh anak tanpa pengawasan orang tua. Benda-benda yang sering tertelan oleh anak-anak adalah koin, kancing dan mainan anak-anak yang kecil. Terkadang juga terdapat makanan yang tersumbat karena terlalu besar.1 Selain benda asing penyebab lain yang cukup sering adalah reaksi alergi. Contoh klasik yang sering terjadi adalah akibat sengatan lebah. Contoh yang lain adalah alergi terhadap makanan, antibiotik (penicillin), dan obat anti hiprtensi (ACE inhibitor). Etiologi yang dapat menyebabkan sumbatan saluran napas atas dibagi menjadi : 1. Benda asing 2. Trauma
3. Neoplasma 4. Infeksi 5. Gangguan neurogenik pada laring
10
GEJALA KLINIS UMUM OBSTRUKSI SALURAN NAPAS ATAS2 Gejala dan tanda sumbatan yang tampak adalah : •
Serak (disfoni) sampai afoni
•
Sesak napas (dispnea)
•
Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.
•
Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat.
•
Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)
•
Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
Sumbatan saluran napas atas dapat dibagi menjadi 4 derajat berdasarkan kriteria Jackson. 1. Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal, tanpa sianosis. 2. Jackson II adalah gejala sesuai Jackson I tetapi lebih berat yaitu disertai retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak mulai gelisah. 3. Jackson III adalah Jackson II yang bertambah berat disertai retraksi interkostal, epigastrium, dan sianosis lebih jelas. 4. Jackson IV ditandai dengan gejala Jackson III disertai wajah yang tampak tegang, dan terkadang gagal napas.
I. Benda asing16,21 Benda asing pada saluran nafas adalah suatu hal yang sering juga dijumpai pada anak-anak. Anak laki-laki terinhalasi benda asing dua kali lebih banyak daripada anak perempuan, dan kira-kira 80% dari penderita adalah anak-anak di bawah umur 4 tahun. Kacang tanah dan kacang kacangan lainnya yang dapat dimakan, merupakan kasus yang terbanyak didapat dan letaknya di bronkhus kanan sedikit lebih banyak daripada di bronkhus kiri.
11
GEJALA Gejala klinis yang terjadi tergantung dari letak benda asing tersebut di saluran nafas. Gejalagejala ini penting untuk diketahui, supaya diagnosis dapat ditegakkan secepatnya untuk mencegah kerusakan saluran nafas yang lebih parah. Seseorang yang mengalami aspirasi benda asing akan mengalami 3 stadium, yaitu : Stadium pertama merupakan gejala permulaan, yaitu batuk batuk hebat secara tiba tiba, rasa tercekik, rasa tersumbat di tenggorokan, bicara gagap dan obstruksi jalan napas. Stadium kedua, gejala stadium permulaan diikuti oleh interval asimtomatik. Hal ini terjadi karena benda asing tersebut tersangkut,refleks refleks akan melemah dan gejala rangsangan akut menghilang. Stadium ketiga, telah terjadi gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi atau infeksi sebagai akibat reaksi terhadap benda asing, sehingga timbul batu batuk, hemoptisis, pnemonia dan abses paru. Benda asing di hidung Hidung tersumbat oleh sekret mukopurulen yang banyak dan berbau busuk di satu sisi rongga hidung, kanan atau kiri, tempat adanya benda asing. Setelah sekret hidung dihisap, benda asing akan tampak dalam kavum nasi. Kadang disertai rasa nyeri, demam, epistaksis dan bersin. Pada pemeriksaan tampak edema dengan inflamasi mukosa hidung unilateral dan dapat terjadi ulserasi. Bila benda asing tersebut adalah binatang lintah, terdapat epistaksis berulang yang sulit berhenti meskipun sudah diberikan koagulan. Pada rinoskopi anterior tampak benda asing berwarna coklat tua, lunak pada perabaan dan melekat erat pada mukosa hidung atau nasofaring. Cara mengeluarkan benda asing dari dalam hidung adalah dengan memakai pengait. Benda asing di laring Benda asing dilaring dapat menutup laring, tersangkut diantara pita suara atau berada di subglotis. Gejala sumbatan laring tergantung pada besar, bentuk dan letak benda asing. Sumbatan total di laring akan menimbulkan keadaan yang gawat biasanya kematian 12
mendadak karena terjadi asfiksia dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan oleh timbulnya spasme laring dengan gejala antara lain disfonia sampai afoni, apne dan sianosis. Sumbatan tidak total di laring dapat menyebabkan gejala suara parau, disfonia sampai afonia, batuk yang disertai sesak, odinofagia, mengi, sianosis, hemoptisis dan rasa subjektif dari benda asing dan dipsnea dengan derajat bervariasi. Jakson membagi sumbatan pada laring menjadi 4 stadium dengan tanda dan gejala : Stadium 1 Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada waktu inspirasi dan pasien masih tenang. Stadium 2 Cekungan pada waktu inspirasi didaerah suprasternal makin dalam, ditambah lagi dengan timbulnya cekungan didaerah epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah. Stridor terdengar pada waktu inspirasi. Stadium 3 Cekungan selain didaerah suprasternal, epigastrium juga terdapat di infraklavikula dan selasela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea. Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi. Stadium 4 Cekungan-cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus maka pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkarpnea. Pasien lemah dan tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia. Pada anak dengan sumbatan total pada laring dapat dicoba dengan memegang anak dengan posisi terbalik, kepala dibawah, kemudian daerah punggung dipukul. Cara lain adalah dengan perasat Heimlich. Pada sumbatan benda asing tidak total di laring, perasat Heimlich tidak dapat digunakan. Dalam hal ini pasien masih dapat dibawa ke rumah sakit terdekat untuk diberi pertolongan dengan menggunakan laringoskop atau bronkoskopi, atau kalau alat alat tersebut tidak ada dilakukan traekostomi.
13
Perasat Heimlich Hentakan perut pada pasien/korban dewasa dan anak yang sadar. 1) Penolong berdiri dibelakang pasien/korban posisikan tangan penolong memeluk diatas perut korban melalui ketiak korban. 2) Sisi genggaman tangan penolong diletakkan diatas perut pasien/korban tepat pada pertengahan antara pusar dan batas pertemuan iga kiri dan kanan 3) Letakkan tangan lain penolong diatas genggaman pertama ,lalu hentakkan tangan penolong kearah belakang dan atas, posisi kedua siku penolong ke arah luar. lakukan hentakan sambil meminta pasien/korban membantu memuntahkannya 4) Lakukan berulang-ulang sampai berhasil / sampai pasien/korban tidak respon /
tidak sadar . Hentakan perut pada pasien/korban dewasa dan anak, tidak sadar. 1) Baringkan pasien/korban dalam posisi terlentang. 2) Upayakan memberikan bantuan pernafasan, bila gagal upayakan perbaikan posisi dan coba ulangi pemberian nafas bantuan. Bila gagal lanjutkan kelangkah berikut. 3) Berlututlah demikian rupa sehingga paha pasien/korban diapit oleh lutut penolong lalu tempatkan tumit tangan sedikit diatas pusat tepat pada garis tengah antara pusat dan pertemuan rusuk kiri dan kanan. 4) Lakukan 5 kali hentakan perut ke arah atas 5) Periksa mulut pasien/korban dan lakukan sapuan jari .Bila perlu dapat dilakukan penarikan rahang bawah (pada anak kecil dan bayi dilakukan hanya bila bendanya terlihat). 6) Bila belum berhasil ulangi langkah 2-5 berulang-ulang sampai jalan nafas terbuka.
Hentakan dada pada pasien/korban dewasa yang kegemukan atau wanita hamil yang sadar. 1) Berdirilah dibelakang pasien/korban. Lengan memeluk pasien/korban melalui bawah ketiak dibagian dada. 2) Posisikan tangan membentuk kepalan seperti pada hentakan perut tepat di atas pertengahan tulang dada. 3) Lakukan hentakan dada sama seperti pada pasien yang sadar
14
4) Lanjutkan sampai jalan nafas terbuka atau pasien/korban menjadi tidak sadar. Hentakan dada pada pasien/korban dewasa yang kegemukan atau wanita hamil yang tidak sadar. Langkahnya sama seperti pada pasien/korban dewasa atau anak yang tidak sadar hanya posisi penolong berlutut disamping pasien/korbanletakkan tumit tangan pada pertengahan tulang dada.
II. Trauma Laring23 Trauma yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas biasanya terjadi pada laring. Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul yang dapat menghancurkan struktur laring juga menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot, saraf, dan pembuluh darah. Hal ini dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti leher terpukul oleh tangkai pompa air, leher membentur dash board dalam kecelakaan waktu mobil berhenti tiba-tiba, tertendang atau terpukul waktu berolah raga beladiri, berkelahi, dicekik atau usaha bunuh diri dengan menggantung diri. Trauma akibat tindakan medik juga dapat menyebabkan sumbatan jalan napas atas seperti tindakan pemasangan endotrakeal tube (ETT) oleh tenaga medis yang kurang terampil sehingga mengakibatkan terjadi pembengkakan jalan napas. Pemakaian ETT yang terlalu lama juga sehingga terjadi stenosis pada laring atau trakea. Gejala klinik •
Stridor
•
Suara serak ( disfoni ) sampai suara hilang ( afoni )
•
Hemoptisis
•
Disfagia ( sulit menelan )
•
Odinofagia ( nyeri menelan )
15
III. Neoplasma Tumor hidung10
Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit di ketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus. Hampir seluruh tumor jinak dan ganas dapat tumbuh di daerah sinonasal. Termasuk tumor jinak epitelial yaitu adenoma dan papiloma, yang non epitelial yaitu fibroma, angiofibroma, hemangioma, neurilemomma, osteoma, displasia fibrosa dan lain lain. Disamping itu ada tumor odontogenik misalnya ameloblastoma atau adamantinoma, kista tulang dan lain lain. Tumor ganas epitelial adalah karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur, adenokarsinoma, karsinoma
tanpa
diferensiasi
dan
lain
lain.
Jenis
non
epitelial
ganas
adalah
hemangioperisitoma, bermacam macam sarkoma termasuk rabdomiosarkoma dan osteogenik
16
sarkoma ataupun keganasan limfoproliferatif seperti limfoma malignum, plasmasitoma ataupun polimorfik retikulosis sering juga ditemukan didaerah ini. Gejala dan tanda Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, mendorong atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi atau orbita. Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikatagorikan sebagai berikut : Gejala nasal obstruksi hidung unilateral dan rinore. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik. Gejala orbita Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora. Gejala oral Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosessus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah. Sering kali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut. Gejala fasial Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi. Disertai nyeri, anestesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus. Gejala intrakranial Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasannya sampai ke fossa kranii media maka saraf saraf kranial lainnya juga terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertain anestesia dan parestesi daerah yang dipersyarafi N. Maksilaris dan mandibularis. 17
Pemeriksaan penunjang •
Foto polos sinus paranasal
•
CT scan
•
Magnetic Resonance Imaging ( MRI )
Penatalaksanaan •
Operasi
•
Kemoterapi
•
Radiasi
Karsinoma nasofaring11
www. cahayamasadepan.blogspot.com
Karsinoma nasofaring ( KNF ) merupakan penyakit keganasan yang paling sering ditemukan di bidang penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Dalam urutan 5 besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, ia menduduki tempat ke empat setelah kanker mulut rahim, payudara dan kulit. Gangguan pendengaran merupakan salah satu gejala dini dari penyakit ini, disamping gejala dini lain yang berupa hidung buntu atau hidung keluar darah, tetapi gejala tersebut sering tidak terpikirkan oleh dokter pemeriksa bahwa penyebanya adalah tumor ganas di nasofaring, 18
sehingga baru di ketahui bila penyakit sudah dalam keadaan lanjut. Gangguan pengdengaran kadang-kadang disertai juga keluhan rasa penuh di telinga , telinga berbunyi atau rasa nyeri di telinga. Lokasi permulaan tumbuh KNF, tersering di fosa Rosemuller, sebab daerah tersebut merupakan daerah peralihan epitel. Dalam penyebarannya, tumor dapat mendesak Tuba Eustachius serta mengganggu pergerakan otot Levator Palatini., yang berfungsi membuka tuba, sehingga fungsi tuba terganggu dan mengakibatkan gangguan pendengaran berupa menurunnya pendengaran tipe Konduksi yang bersifat Reversibel. ETIOLOGI Penyebab penyakit ini dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Kaitan antara suatu kuman yang di sebut sebagai virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. KLASIFIKASI WHO 1. Tipe. 1 : Karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi 2. Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi 3. Tipe 3 : Karsinoma tanpa diferensiasi GEJALA DINI Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana tumor masih terbatas di rongga nasofaring. Gejala telinga : gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba eustachius ( fosa Rosenmuller ). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman pada telinga sampai rasa nyeri di telinga.
19
Gejala Hidung Epistaksis. Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya
sedikit
dan
seringkali
bercampur
dengan
ingus.
Sumbutan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala mata Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, V, VI, sehingga tidak jarang gejala diplopia lah yang membawa pasien ke dokter mata. Gejala saraf Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, XII jika penjalaran melalui foramen jugulare. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jakson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrome unilateral. Gejala akibat metastasis Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasotoring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk. STADIUM Stadium T = Tumor Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (2002). T = Tumor primer T0 - Tidak tampak tumor. T1 - Tumor terbatas di nasofaring
20
T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak T2a : perluasan tumor ke orofaring dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring T2b : disertai perluasan ke parafaring T3 – Tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal T4 - Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator N = Nodule N – Pembesaran kelenjar getah bening regional . NX- pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai N0 - Tidak ada pembesaran. N1 – metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm diatas fossa supraklavikula . N2 - . metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm diatas fossa supraklavikula N3 - metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau terletak didalam fossa supraklavikula. N3a : ukuran lebih dari 6 cm N3b : di dalam fossa supraklavikula M = Metastasis M = Metastesis jauh MX – metastase jauh tidak dapat dinilai M0 - Tidak ada metastesis jauh.
21
M1 – Terdapat Metastesis jauh . Stadium : Stadium O
: T1s dan N0 dan M0
Stadium I
: T1 No Mo
Stadium II A : T2a dan No dan Mo Stadium II B : T1 N1 Mo T2a N1 Mo T2b No, N1 Mo Stadium III
: T1 N2 dan M0 T2a, T2b N2 Mo T3 N2 Mo
Stadium IVa
: T4 N0, N1, N2 dan M0
IVb : semua T N3 Mo IVc
: semua T semua N M1
Penatalaksanaan Stadium I : radioterapi Stadium II & III : kemoradiasi Stadium IV dengan N < 6 cm : kemoradiasi Stadium IV dengan N > 6 cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi
Angiofibroma nasofaring belia12 Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi 22
merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif dari anak atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (“Juvenile nasopharyngealangiofibroma”). GEJALA KLINIK Gejala 1. Paling sering mengenai anak dan remaja laki-laki.Umumnya pada dekade ke-2, antara 7-19 tahun. Jarang pada pasien dengan umur lebih dari dua puluh lima tahun. 2. hidung tersumbat 3. Obstruksi nasal. 4. Epistaksis. 5. Rinore kronis 6. Gangguan penciuman 7. Gangguan pendengaran 8. Otalgia Stadium Klasifikasi menurut Sessions : •
Stadium IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaringeal voult.
•
Stadium IB : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaringeal voult dengan meluas sedikitnya satu sinus paranasalis.
•
Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterygomaksillaris.
•
Stadium IIB : Tumor meluas memenuhi fossa pterygomaksillaris tanpa erosi tulang orbita.
•
Stadium IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan intrakranial.
23
meluas sedikit ke
•
Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa meluas ke sinus kavernosus.
Pentalaksanaan •
Operasi
•
Terapi hormonal
•
Radioterapi
Tumor Laring13
Tumor jinak laring Tumor jinak laring tidak banyak ditemukan , hanya kurang lebih 5 % dari semua jenis tumor laring. Tumor jinak laring dapat berupa : •
Papiloma laring
•
Adenoma
•
Kondroma
•
Mioblastoma sel granuler
24
•
Hemangioma
•
Lipoma
•
Neurofibroma
Tumor ganas laring Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa hal yang berhubungan erat dengan terjadinya keganasan laring yaitu : rokok, alkohol, sinar radio aktif, polusi udara, radiasi leher dan asbestosis. Ada peningkatan resiko terjadinya tumor ganas laring pada pekerja-pekerja yang terpapar dengan debu kayu. Klasifikasi letak tumor : •
Supraglotik
•
Glotik
•
Subglotik
Klasifikasi dan stadium tumor berdasarkan UICC : 1. Tumor primer (T) Supra glottis : T is: tumor insitu T 0 : tidak jelas adanya tumor primer T 1 : tumor terbatas di supra glotis dengan pergerakan normal T 1a : tumor terbatas pada permukaan laring epiglotis, plika ariepiglotika, ventrikel atau pita suara palsu satu sisi. T 1b : tumor telah mengenai epiglotis dan meluas ke rongga ventrikel atau pita suara palsu T 2 : tumor telah meluas ke glotis tanpa fiksasi T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dan / atau adanya infiltrasi ke dalam. T 4 : tumor dengan penyebaran langsung sampai ke luar laring.
25
Glotis : T is : tumor insitu T 0 : tak jelas adanya tumor primer T 1 : tumor terbatas pada pita suara (termasuk komisura anterior dan posterior) dengan pergerakan normal T 1a : tumor terbatas pada satu pita suara asli T 1b : tumor mengenai kedua pita suara T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan daerah supra glotis maupun subglotis dengan pergerakan pita suara normal atau terganggu. T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dari satu atau ke dua pita suara T 4 : tumor dengan perluasan ke luar laring Sub glotis : T is : tumor insitu T 0 : tak jelas adanya tumor primer T 1 : tumor terbatas pada subglotis T 1a : tumor terbatas pada satu sisi T 1b : tumor telah mengenai kedua sisi T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan pada satu atau kedua pita suara asli dengan pergerakan normal atau terganggu T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi satu atau kedua pita suara T 4 : tumor dengan kerusakan tulang rawan dan/atau meluas keluar laring. 2. Pembesaran kelenjar getah bening leher (N) N x : kelenjar tidak dapat dinilai N 0 : secara klinis tidak ada kelenjar. N 1 :klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter ≤ 3 cm N 2 :klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter >3 – <6 cm atau klinis terdapat kelenjar homolateral multipel dengan diameter ≤ 6 cm 26
N 2a :klinis terdapat satu kelenjar homolateral dengan diameter > 3 cm - ≤ 6 cm. N 2b :klinis terdapat kelenjar homolateral multipel dengan diameter ≤ 6 cm N 3 :kelenjar homolateral yang masif, kelenjar bilateral atau kontra lateral N 3 a :klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter > 6 cm N 3 b :klinis terdapat kelenjar bilateral N 3 c : klinis hanya terdapat kelenjar kontra lateral 3. Metastase jauh (M) M 0 : tidak ada metastase jauh M 1 : terdapat metastase jauh 4. Stadium : Stadium I : T1 N0 M0 Stadium II : T2 N0 M0 Stadium III : T3 N0 M0 T1, T2, T3, N1, M0 Stadium IV : T4, N0, M0 Setiap T, N2, M0, setiap T, setiap N , M1 Gejala tumor laring : •
Serak
•
Dispnea
•
Stridor
•
Nyeri tenggorok
•
Disfagia
•
Batuk dan hemoptisis 27
Diagnosis •
Laringoskop
•
Biopsi
•
Pemeriksaan radiologi
•
CT scan
Penatalaksanaan •
Pembedahan
•
Radiasi
•
Obat sitostatik
•
Kombinasi
Stadium I : radiasi Stadium II – III : operasi Stadium IV : operasi dengan rekonstruksi
28
IV. Infeksi Epiglotitis3
Aaron's Tracheostomy
Epiglottitis akut biasanya terjadi pada anak yang lebih tua daripada penderita croup yaitu antara 3-6 tahun biasanya disebabkan oleh H.influenzae. Gejala klinis epiglottitis akut berupa nyeri tenggorok (sore throat), nyeri menelan (odinofagia) yang mengakibatkan sulit menelan (disfagia), suara berubah (muffled voice atau hot potato voice), demam sampai menggigil, stridor inspirasi dan sesak nafas karena sumbatan jalan nafas. Anak lebih suka posisi duduk, dagu lebih maju dan leher hiperekstensi untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pemeriksaan penunjang : foto leher lateral: dapat terlihat obstruksi supraglotis karena pembengkakan epigloti(thumb sign) laboratorium : pemeriksaan darah menunjukkan lekosit meningkat, pada hitung jenis tampak pergeseran ke kiri. Bila fasilitas tersedia : dari pemeriksaan hapusan tenggorokan dan biakan darah dapat ditemukan Haemophylus Influenza tipe B. Penatalaksanaan : Pemilihan antibiotik : o
Ampisilin 100 mg/kgBB/hari, intravena, terbagi 4 dosis
29
o
Kloramfenikol : 50 mg/kgBB/hari, intra vena, terbagi dalam 4 dosis
o
Sefalosporin Generasi 3 (Cefotaksim atau Ceftriakson)
Bila panas dapat diberikan antipiretik Seringkali memerlukan tindakan trakeostomi
Croup Sindrom4,19
www.andorrapediatrics.com/.../croup.htm
Croup atau laringotrakeobronkitis akut (LTBA) merupakan penyakit peradangan akut di daerah subglotis larings, trakea, dan bronkus. Penyakit ini merupakan penyebab tersering
30
obstruksi saluran nafas atas pada anak-anak dan biasanya ditandai dengan suara serak, batuk kering seperti menggonggong, dan stridor inspirasi. Biasanya menyerang pada bayi dan anakanak. penyebabnya dapat bermacam-macam. Penyebab paling sering sering adalah virus. Penyebab lain adalah bakteri, reaksi alergi, bahan yang mengiritasi seperti cairan lambung. PATOFISIOLOGI
Adanya faktor infeksi (virus, bakteri, jamur), mekanis dan/atau alergi dapat menyebabkan terjadinya inflamasi, eritema dan edema pada laring dan trakea, sehingga mengganggu gerakan plica vocalis. Diameter saluran napas atas yang paling sempit adalah pada bagian trakea dibawah laring (subglottic trachea). Adanya spasme dan edema akan menimbulkan obstruksi saluran napas atas. Adanya obstruksi akan meningkatkan kecepatan dan turbulensi aliran udara yang lewat. Saat aliran udara ini melewati plica vocalis dan arytenoepiglottic folds, akan menggetarkan struktur tersebut sehingga akan terdengar stridor. Awalnya stridor bernada rendah (low pitched), keras dan terdengar saat inspirasi tetapi bila obstruksi semakin berat stridor akan terdengar lebih lemah, bernada tinggi (high pitched) dan terdengar juga saat ekspirasi. Edema pada plica vocalis akan mengakibatkan suara parau. Kelainan dapat berlanjut hingga mencapai brokus dan alveoli, sehingga terjadi laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis. Pada spasmodic croup terjadi edema jaringan tanpa proses inflamasi. Reaksi yang terjadi terutama disebabkan oleh reaksi alergi terhadap antigen virus dan bukan akibat langsung infeksi virus. PENYEBAB SINDROMA CROUP •
INFEKSI : terbanyak infeksi virus
•
Bakteri : Hemofilus influenza tipe B, Corynebacterium difteri
•
Virus
•
Jamur : Candida albican
: Para influenza 1,2,3; Infuenza; Adeno;Entero; RSV, morbilli
MEKANIK : o
Benda asing
o
Pasca pembedahan
o
Penekanan masa ekstrinsik
31
ALERGI : Sembab angioneurotik GEJALA KLINIS SINDROMA CROUP Gejala klinis awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan stridor inspiratoir. Bila terjadi obstruksi stridor akan makin berat tetapi dalam kondisi yang sudah payah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi gejala obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati suara serak dan batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 3 sampai 7 hari. Pada kasus lain terjadi obstruksi napas yang makin berat, ditandai dengan takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan cuping hidung. Pada pemeriksaan toraks dapat ditemukan adanya retraksi supraklavikular, suprasternal, interkostal, epigastrial. Bila anak mengalami hipoksia, anak akan tampak gelisah, tetapi jika hipoksia bertambah berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun. Pada kondisi yang berat dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat proses penyembuhan terjadi setelah 7-14 hari.
Laringitis22
INFO KESEHATAN THT-BEDAH KEPALA LEHER
Laringitis adalah suatu radang laring yang disebabkan terutama oleh virus dan dapat pula disebabkan oleh bakteri. Berdasarkan onset dan perjalanannya, laringitis dibedakan menjadi laringitis akut dan kronis(1,2). Laringitis akut merupakan radang laring yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1, 2, 3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus
32
influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae. Laringitis akut lebih banyak dijumpai pada anak-anak (usia kurang dari 3,5 tahun), namun tidak jarang dijumpai pada anak yang lebih besar, bahkan pada orang dewasa atau orang tua. Diagnosis laringitis akut dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemerinksaan penunjang. Pada anamnesis biasanya didapatkan gejala demam, malaise, batuk, nyeri telan, ngorok saat tidur, yang dapat berlangsung selama 3 minggu, dan dapat keadaan berat didapatkan sesak nafas, dan anak dapat biru-biru. Pada pemeriksaan fisik, anak tampak sakit berat, demam, terdapat stridor inspirasi, sianosis, sesak nafas yang ditandai dengan nafas cuping hidung dan/atau retraksi dinding dada, frekuensi nafas dapat meningkat, dan adanya takikardi yang tidak sesuai dengan peningkatan sushu badan merupakan tanda hipoksia. Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu menegakkan diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan tampak edema terutama dibagian atas dan bawah glotis. Pemeriksaan darah rutin tidak memberikan hasil yang khas, namun biasanya ditemui leukositosis. Pemeriksaan usapan sekret tenggorok dan kultur dapat dilakukan untuk mengetahui kuman penyebab, namun pada anak seringkali tidak ditemukan kuman patogen penyebab. Proses peradangan pada laring seringkali juga melibatkan seluruh saluran nafas baik hidung, sinus, faring, trakea dan bronkus, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan foto. Laringitis akut pada anak sering menyebabkan obstruksi saluran nafas yang kemudian mengakibatkan terjadinya distres respirasi akut, yang apabila tidak ditangani dengan cepat dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : a. Agen penyebab laringitis akut, terutama virus menyebabkan inflamasi, peningkatan produksi mukous, dan berkurang atau hilangnya aktivitas silia di saluran nafas. b.
Diameter saluran nafas pada anak lebih kecil dibanding orang dewasa, sehingga inflamasi dan produksi mukous yang meningkat dapat dengan cepat menyebabkan obstruksi saluran nafas yang hebat
c.
Subglotis terdiri dari kartilago cricoid yang kaku, sehingga inflamasi dan edema di daerah ini akan semakin memperkecil diameter saluran nafas
33
d.
Kolaps dinamik (yaitu menyempitnya saluran nafas bagian atas pada saat fase inspirasi) cenderung terjadi pada anak kecil oleh karena struktur kartilago trakea yang belum sempurna.
e.
Bayi dan anak amat rentan terhadap kelelahan otot nafas dan gagal nafas akibat peningkatan kerja nafas.
Tonsilitis24
Tonsil atau yang lebih sering dikenal dengan amandel adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya, bagian organ tubuh yang berbentuk bulat lonjong melekat pada kanan dan kiri tenggorok. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil faringal yang membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil terletak dalam sinus tonsilaris diantara kedua pilar fausium dan berasal dari invaginasi hipoblas di tempat ini. Tonsillitis sendiri adalah inflamasi pada tonsila palatine yang disebabkan oleh infeki virus atau bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil berfungsi sebagai filter/penyaring menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut dengan sel-sel darah putih. Hal ini akan memicu sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang. Tetapi bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul tonsillitis. Dalam beberapa kasus ditemukan 3 macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis membranosa, dan tonsillitis kronis. 1. TONSILITIS AKUT ETIOLOGI
34
Tonsillitis akut ini lebih disebabkan oleh kuman grup A Streptokokus beta hemolitikus, pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes. Virus terkadang juga menjadi penyebab penyakit ini. Tonsillitis ini seringkali terjadi mendadak pada anak-anak dengan peningkatan suhu 1-4 derajat celcius. MANIFESTASI KLINIK Tonsillitis Streotokokus grup A harus dibedakan dri difteri, faringitis non bacterial, faringitis bakteri bentuk lain dan mononucleosis infeksiosa. Gejala dan tanda-tanda yang ditemukan dalam tonsillitis akut ini meliputi suhu tubuh naik hingga 40o celcius, nyeri tenggorok dan nyeri sewaktu menelan, nafas yang berbau, suara akan menjadi serak, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di persendian, tidak nafsu makan, dan rasa nyeri di telinga. Pada pemeriksaan juga akan nampak tonsil membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna akan tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan. KOMPLIKASI Otitis media akut (pada anak-anak), abses peritonsil, abses parafaring, toksemia, septicemia, bronchitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis 2. TONSILITIS MEMBRANOSA Ada beberapa macam penyakit yang termasuk dalam tonsillitis membranosa beberapa diantaranya yaitu Tonsilitis difteri, Tonsilitis septic, serta Angina Plaut Vincent. 2.1 TONSILITIS DIFTERI ETIOLOGI Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteriae yaitu suatu bakteri gram positis pleomorfik5penghuni saluran pernapasan atas yang dapat menimbulkan abnormalitas toksik yang dapat mematikan bila terinfeksi bakteriofag. MANIFESTASI KLINIS Tonsillitis difteri ini lebih sering terjadi pada anak-anak pada usia 2-5 tahun. Penularan melalui udara, benda atau makanan uang terkontaminasai dengan masa in kubasi 2-7 hari. Gejala umum dari penyaki ini adalah terjadi kenaikan suhu subfebril, nyeri tenggorok, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, dan nadi lambat. Gejala local berupa nyeri
35
tenggorok, tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor makin lama makin meluas dan menyatu membentuk membran semu. Membran ini melekat erat pada dasar dan bila diangkat akan timbul pendarahan. Jika menutupi laring akan menimbulkan serak dan stridor inspirasi, bila menghebat akan terjadi sesak nafas. Bila infeksi tidak terbendung kelenjar limfa leher akan membengkak menyerupai leher sapi. Gejala eksotoksin akan menimbulkan kerusakan pada jantung berupa miokarditis sampai decompensation cordis . KOMPLIKASI Laryngitis difteri, miokarditis, kelumpuhan otot palatum mole, kelumpuhan otot mata, otot faring laring sehingga suara parau, kelumpuhan otot pernapasan, dan albuminuria. DIAGNOSIS Diagnosis tonsillitis difteri harus dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Pemeriksaan preparat langsung diidentifikasi secara fluorescent antibody technique yang memerlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphteriae dengan pembiakan pada media Loffler dilanjutkan tes toksinogenesitas secara vivo dan vitro. Cara PCR (Polymerase Chain Reaction) dapat membantu menegakkan diagnosis tapi pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjagn lebih lanjut untuk menggunakan secara luas. 2.2 TONSILITIS SEPTIK Penyebab dari tonsillitis ini adalah Streptokokus hemolitiku yang terdapat dala susu sapi sehingga dapat timbul epidemic. Oleh karena itu perlu adanya pasteurisasi sebelum mengkonsumsi susu sapi tersebut. ANGINA PLAUT VINCENT ETIOLOGI Penyakit ini disebabkan karena kurangnya hygiene mulut, defisiensi vitamin C serta kuman spirilum dan basil fusi form. MANIFSTASI KLINIS Penyakit ini biasanya ditandai dengan demam sampai 39o celcius, nuyeri kepala, badan lemah, dan terkadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi, dan gusi berdarah.
36
PEMERIKSAAN Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan kelenjar submanibula membesar. 3. TONSILITIS KRONIS ETIOLOGI bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut , namun terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif. FAKTOR PREDISPOSISI Mulut yang tidk hygiene, pengobatan rdang akut yang tidak adekuat, rangsangan kronik karena rokok maupun makanan. MANIFESTASI KLINIS Adanya keluhan pasien di tenggookan seperti ada penghalang, tenggorokan terasa kering, pernapasan berbau. Saat pemeriksaan ditemukan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus membesar dan terisi detritus. KOMPLIKASI Timbul rhinitis kronis, sinusitis atau optitis media secara perkontinuitatum, endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitus, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.
Abses retrofaring14 Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing masing 2 – 5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfe dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba eustachius dan telinga tengah. Pada usia diatas 6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi.
37
Gejala dan tanda Gejala utama adalah rasa nyeri dan sukar menelan. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan jalan napas, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis. Terapi •
Antiiotik
•
Pungsi dan insisi abses
V. Gangguan Neurogenik Pada Laring Parese pita suara bilateral25 Kelumpuhan pita suara bilateral Dengan adanya kelumpuhan pita suara bilateral, pita suara tidak dapat abduksi, terjadinya obstruksi laring, penderita sesak napas. Pada keadaan ini perlu trakeostomi. Dengan melakukan aritenoidektomi pada bedah-mikro-laring, maka glotis menjadi luas sehingga penderita dapat bernapas tanpa trakeostomi lagi. Secara umum terdapat 5 posisi dari korda vokalis sesuai dengan derajat ostium laringeus : median, paramedian, intermedia, sedikit abduksi dan abduksi penuh. Jika paralisis terjadi bilateral, posisi posisi ini di tandai dengan mengamati ukuran celah glotis. Jika paralisis terjadi unilateral, maka pengamatan pertama tama harus memperkirakan posisi garis tengah sebenarnya dan kemudian menghubungkannya dengan posisi korda vokalis. Gejala paralisi korda vokalis adalah suara parau, stridor atau bahkan kesulitan menelan tergantung pada penyebabnya. Tiap lesi sepanjang perjalanan nervus laringeus rekurens dapat menimbulkan paralisis laring. Lesi intrakranial biasanya disertai gejala gejala lain dan lebih bermanifestasi sebagai gangguan neurologis dan bukannya gangguan suara atau artikulasi. Lesi batang otak terutama 38
menimbulkan gangguan suara, namun dapat pula disertai tanda tanda neurologis lain. Sklerosis multipel, tumor batang otak, dan sklerosis lateral amiotrafik mungkin disertai gejala suara yang cukup bermakna. Lesi pada dasar kranium yang secara selektif melibatkan satu atau lebih saraf kranialis termasuk tumor nasofaring, aneurisma dan tumor neurogenik. Tumor yang berasal dari spasium laterofaringeus serta dari lobus profunda kelenjar parotis, juga dapat menyebabkan paralisis korda vokalis. Demikian pula tiroidektomi atau pembedahan leher lainnya. Tekanan mekanis dari struktur kardiovaskular yang berdilatasi atau abnormal, kista yang teregang atau adenopati hilus yang membesar dengan cepat, dapat pula menimbulkan paralisis korda vokalis. Bahkan setelah evaluasi menyeluruh, bebeapa kasus paralisis korda vokalis tetap tidak dapat diterangkan. Paralisis idiopatik ini diduga beretiologi virus. Bila disebut idiopatik, maka harus dilakukan pengamatan jangka panjang dengan pemeriksaan berulang. Kasus karsinoma tersamar khususnya pada tiroid, dapat tampil idiopatik pada stadium dini. Daftar tindakan yang perlu dilakukan untuk evaluasi paralisis korda vokalis termasuk radiogram dada ( pandangan anteroposterior dan lateral ), esofagogram, CT scan, sidik tiroid yodium radioaktif, radiogram vertebra servikalis, radiogram kranium, hitung sel darah putih ( untuk leukimia ), nitrogen urea darah, titer virus dan uji toleransi glukosa ( neuropati diabetika ). Pemeriksaan laring tentunya harus dilakukan secara langsung atau dengan memakai cermin. Palpasi artikulasio krikoaritenoidea dilakukan untuk membedakan fiksasi karena peradangan dengan paralisis korda vokalis. Fiksasi seperti itu mungkin akibat dari artitis reumatoid, trauma laring atau pemasangan tuba endotrakea. Paralisis korda vokalis unilateral pada anak memiliki ciri tambahan. Karena ukuran glotis yang kecil, maka paralisis unilateral pada anak dapat membahayakan jalan napas., sehingga secara klinis mengakibatkan stridor. Banyak pasien kembali mendapat fungsi korda vokalis yang normal baik karena saraf yang memulih
dan dapat menggerakkan korda vokalis,
ataupun karena kompensasi korda vokalis satunya, yang menyeberangi garis tengah untuk menempel dengan korda vokalis yang lumpuh. Hal ini dimungkinkan bila mana korda vokalis yang paralisis berada dalam posisi paramedian. Paralisis korda vokalis bilateral menampilkan masalah yang berbeda. Karena kedua korda vokalis biasanya dalam posisi paramedian, maka suara tidak terlalu terpengaruh, akan tetapi rima glotis tidak cukup lebar untuk kegiatan yang menghabiskan tenaga. Pasien bahkan 39
mengalami sesak napas pada waktu istirahat. Biasanya pasien dengan paralisis korda vokalis bilateral mempunyai korda vokalis yang hampir melekat, sehingga sebagian besar memerlukan trakeostomi guna mengurangi obstruksi jalan napas. Pengobatan pada paralisis korda vokalis adalah terapi suara dan bedah pita suara.
DIAGNOSIS SUMBATAN SALURAN NAPAS ATAS3,4 Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui letak sumbatan, diantaranya adalah : •
Laringoskop. Dilakukan bila terdapat sumbatan pada laring. Laringoskop dapat dilakukan secara direk dan indirek.
•
Nasoendoskopi
•
X-ray. Dilakukan pada foto torak yang mencakup saluran nafas bagian atas. Apabila sumbatan berupa benda logam maka akan tampak gambaran radiolusen. Pada epiglotitis didapatkan gambaran thumb like.
•
Foto polos sinus paranasal
•
CT-Scan kepala dan leher
•
Biopsi
PENATALAKSAAN Dalam penatalaksanaan sumbatan pada prinsipnya diusahakan supaya jalan napas lancar kembali. Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi, anti alergi, antibiotika, serta pemberian oksigen intermiten dilakukan sumbatan stadium 1 yang disebabkan peradangan. Tindakan operatif atau resusitasi untuk membebaskan jalan napasini dapat dengan cara memasukkan pipa endotrakea melalui mulut (intubasi orotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma atau melakukan krikotirotomi.
40
Intubasi endotrakea dan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan stadium 2 dan 3, sedang krikotirotomi dilakukan pada sumbatan stadium 4. Tindakan operatif atau resusitasi dapat dilakukan berdasarkan analisis gas darah (pemeriksaan gas darah). Bila fasilitas tersedia, maka intubasi endo trakea pilihan pertama, sedangkan jika ruangan intensif tidak tersedia, sebaiknya dilakukan trakeostomi. Apabila pada sumbatan laring total dilakukan prasat Heimlich untuk pertolongan pertama untuk mencegah kematian. INTUBASI ENDOTRAKEA5,20 Indikasi intubasi endotrakea : •
Untuk mengatasi sumbatan saluran napas bagian atas
•
Membantu ventilasi
•
Memudahkan menghisap secret dari traktus trakeobronkial
•
Mencegah aspirasi secret yang ada di rongga mulut atau yang berasal dari lambung
Pipa endotrakea dibuat dari bahan polyvinilchloride dengan balon (cuff) pada ujungnya dapat diisi dengan udara. Ukuran pipa endotrakea harus sesuai dengan ukuran trakea pasien dan umumnya untuk orang dewasa dipakai yang diameter dalamnya 7-8,5 mm. pipa endotrakea yang dimasukkan melalui hidung dapat dipergunakan untuk beberapa hari. Secara umum
41
dapat dikatakan bahwa intubasi endotrakea jangan melebihi 6 hari dan untuk selanjutnya sebaiknya dilakukan trakeostomi. Komplikasi yang dapat timbul adalah stenosis laring atau trakea.
Gambar. Endotrakeal Tube TEKNIK INTUBASI Posisi pasien tidur terlentang leher fleksi sedikit dan kepala ekstensi Laringoskop dengan spatel bengkok di pegang dengan tangan kiri, dimasukkan melalui mulut sebelah kanan sehingga lidah terdorong kekiri Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula lalu laringoskop diangkat keatas sehingga pita suara dapat terlihat. Dengan tangan kanan pipa endotrakea dimasukkan melalui mulut terus melalui celah antara kedua pita suara kedalam trakea. Pipa endotrakea dapat pula dimasukkan melalui lubang hidung sampai rongga mulut dan dengan cunam magill ujung pipa endotrakea dimasukkan kedalam celah antara kedua pita suara sampai ke trakea. Kemudiian balon diisi dengan udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik. Apabila menggunakan laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur telentang pundaknya harus diganjal dengan bantal pasir, sehingga kepala mudah diekstensikan maksimal.
42
Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan dimasukkan mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis diangkat horizontal ke atas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat. Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan dimasukkan melalui celah pita suara sampai di trakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan plester. TRAKEOSTOMI5 Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea untuk bernapas. Menurut letak stoma trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak yang rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ke tiga. Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi dalam: Trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana sangat kurang Trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik (legal artis) Indikasi trakeostomi : Mengatasi obstruksi laring Mengurangi ruang rugi (dead air space) disaluran napas bagian atas seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh oksigen yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertinggal diruang rugi itu. Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya berkurang. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam keadaan koma Untuk memasang respirator atau alat bantu pernapasan Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas untuk bronkoskopi. Jenis Tindakan Trakeostomi
43
1. Surgical trakeostomy Tipe ini dapat sementara dan permanen dan dilakukan di dalam ruang operasi. Insisi dibuat diantara cincin trakea kedua dan ketiga sepanjang 4-5 cm.
2. Percutaneous Tracheostomy Tipe ini hanya bersifat sementara dan dilakukan pada unit gawat darurat. Dilakukan pembuatan lubang diantara cincing trakea satu dan dua atau dua dan tiga. Karena lubang yang dibuat lebih kecil, maka penyembuhan lukanya akan lebih cepat dan tidak meninggalkan scar. Selain itu, kejadian timbulnya infeksi juga jauh lebih kecil. 3. Mini tracheostomy Dilakukan insisi pada pertengahan membran krikotiroid dan trakeostomi mini ini dimasukan menggunakan kawat dan dilator.
Jenis Pipa Trakeostomi 1. Cuffed Tubes Selang dilengkapi dengan balon yang dapat diatur sehingga memperkecil risiko timbulnya aspirasi 2. Uncuffed Tubes Digunakan pada tindakan trakeostomi dengan penderita yang tidak mempunyai risiko aspirasi 3. Trakeostomi dua cabang (dengan kanul dalam) Dua bagian trakeostomi ini dapat dikembangkan dan dikempiskan sehingga kanul dalam dapat dibersihkan dan diganti untuk mencegah terjadi obstruksi. 4. Silver Negus Tubes
44
Terdiri dua bagian pipa yang digunakan untuk trakeostomi jangka panjang. Tidak perlu terlalu sering dibersihkan dan penderita dapat merawat sendiri. 5. Fenestrated Tubes Trakeostomi ini mempunyai bagian yang terbuka di sebelah posteriornya, sehingga penderita masih tetap merasa bernafas melewati hidungnya. Selain itu, bagian terbuka ini memungkinkan penderita untuk dapat berbicara.
Tehnik Trakeostomi Pasien tidur terlentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga memudahkan kepala untuk diekstensikan pada persendian atalantooksipital. Dengan posisi seperti ini leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis median dekat permukaan leher. Kulit leher dibersihkan sesuai dengan prinsip aseptik dan antiseptik dan ditutup dengan kain steril. Obat anestetikum disuntikkan di pertengahan krikoid dengan fossa suprasternal secara infiltrasi. Sayatan kulit dapat vertikal di garis tengah leher mulai dari bawah krikoid sampai fosa suprasternal atau jika membuat sayatan horizontal dilakukan pada pertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kira-kira dua jari dari bawah krikoid orang dewasa. Sayatan jangan terlalu sempit,dibuat kira-kira lima sentimeter. Dengan gunting panjang yang tumpul kulit serta jaringan di bawahnya dipisahkan lapis demi lapis dan ditarik ke lateral dengan pengait tumpul sampai tampak trakea yang berupa pipa dengan susunan cincin tulang rawan yang berwarna putih. Bila lapisan ini dan jaringan di bawahnya dibuka tepat di tengah maka trakea ini mudah ditemukan. Pembuluh darah yang tampak ditarik lateral. Ismuth tiroid yang ditemukan ditarik ke atas supaya cincin trakea jelas terlihat. Jika tidak mungkin, ismuth tiroid diklem pada dua tempat dan dipotong ditengahnya. Sebelum klem ini dilepaskan ismuth tiroid diikat keda tepinya dan disisihkan ke lateral. Perdarahan dihentikan dan jika perlu diikat. Lakukan aspirasi dengan cara menusukkan jarum pada membran antara cincin trakea dan akan terasa ringan waktu ditarik. Buat stoma dengan memotong cincin trakea ke tiga dengan gunting yang tajam. Kemudian pasang kanul trakea dengan ukuran yang sesuai. Kanul difiksasi dengan tali pada leher pasien dan luka operasi di tutup dengan kasa.
45
Untuk menghindari terjadinya komplikasi perlu diperhatikan insisi kulit jangan terlalu pendek agar tidak sukar mencari trakea dan mencegah terjadinya emfisema kulit. Perawatan Pasca Trakeostomi Secera setelah trakeostomi dilakukan: 1. Rontgen dada untuk menilai posisi tuba dan melihat timbul atau tidaknya komplikasi 2. Antibiotik untuk menurunkan risiko timbulnya infeksi 3. Mengajari pihak keluarga dan penderita sendiri cara merawat pipa trakeostomi Perawatan pasca trakeostomi sangat penting karena sekret dapat menyumbat dan menimbulkan asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea dan kanul harus sering diisap ke luar dan kanul dalam dicuci sekurang-kurangnya dua kali sehari lalu segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Bila kanul harus dipasang dalam jangka waktu lama, maka kanul harus dibersihkan dua minggu sekali. Kain basah di bawah kanul harus diganti untuk menghindari timbulnya dermatitis. Gunakan kompres hangat untuk mengurangi rasa nyeri pada daerah insisi. Komplikasi Komplikasi dini yang sering terjadi: 1. perdarahan 2. pneumothoraks terutama pada anak-anak 3. Aspirasi 4. Henti jantung sebagai rangsangan hipoksia terhadap respirasi 5. paralisis saraf rekuren Komplikasi lanjut 1. Perdarahan lanjutan pada arteri inominata 2. Infeksi 3. fistula trakeoesofagus 4. stenosis trakea 46
PROGNOSIS Prognosis baik bila sumbatan yang terjadi adalah sumbatan parsial sehingga masih terdapat waktu untuk dilakukan tindakan yang direncanakan. Selain itu apabila sumbatan total harus dilakukan segera pembebasan jalan napas untuk mencegah kematian akibat asfiksia.
47
BAB IV KESIMPULAN Sumbatan saluran napas atas adalah salah satu keadaan suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian.1 Sumbatan dapat bersifat sebagian, dapat juga sumbatan total. Pada sumbatan ringan dapat mrnyebabkan sesak, sedangkan sumbatan yang lebih berat namun masih ada sedikit celah dapat menyebabkan sianosis gelisah bahkan penurunan kesadaran. Pada sumbatan total bila tidak ditolong dengan segera dapat menyebabkan kematian1. Sumbatan saluran napas atas dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti infeksi virus dan bakteri, tumor, trauma bakar, reaksi bahan kimia, reaksi alergi, benda asing dan trauma. Sumbatan sering terjadi pada laring dikarenakan menyempitnya jalan napas. Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi sumbatan jalan napas atas adalah dengan medika mentosa. Dapat pula dilakukan tindakan intubasi endotrakeal, trakeostomi dan krikotiroitomi. Untuk tindakan pertama pada sumbatan total laring dapat dilakukan prasat Heimlich.
48
DAFTAR PUSTAKA 1) D Gerard,MD. Acute airway obstruction. Dalam: Daniel J Kelley MD, Francisco
Talavera, PharmD, PhD, Gregory C Allen,MD, Christopher L Slack, MD, Arlen D Meyers,MD,MBA (editor). http://www.emedicine.com. 2) Hermani B, Abdurrachman. Penanggulangan sumbatan laring. Dalam: S.A.Efiaty, I.Nurbaiti, B.Jenny, R.D.Ratna (editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi IV. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2003 : 156 - 160. 3) D Gerard,MD. Epiglotitis. Dalam: Daniel J Kelley MD, Francisco Talavera, PharmD,
PhD, Gregory C Allen,MD, Christopher L Slack, MD, Arlen D Meyers,MD,MBA (editor). http://www.emedicine.com. 4) D Gerard,MD. Croup Dalam: Daniel J Kelley MD, Francisco Talavera, PharmD, PhD,
Gregory C Allen,MD, Christopher L Slack, MD, Arlen D Meyers,MD,MBA (editor). http://www.emedicine.com. 5) Wahyudhy Utama H,Trakeostomi, www.klikharry.com. 6) Peter A. Hilger , Anatomi Hidung Dalam : BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI.
EGC Jakarta 1997 7) James I. Cohen .Anatomi Laring Dalam : BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI.
EGC Jakarta 1997
49
8) John D. Banovets . Gangguan Laring Jinak Dalam : BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi VI. EGC Jakarta 1997 9) Robert H. Maisel . Trakeostomi Dalam : BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI.
EGC Jakarta 1997 10) A. Roezin, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007 11) A. Roezin, M. Adham. Karsinoma Nasofaring Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007 12) A. Roezin, US Dharmabakti, Z. Musa. Angiofibroma Nasofaring Belia Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007 13) B. Hermani, H. Abdurrachman. Tumor Laring Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007 14) D. Fachruddin. Abses Leher Dalam. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007 15) N. Iskandar. Sumbatan Traktus Trakeo- Bronkial Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007 16) M.H. Junizaf. Benda Asing Di Saluran Napas Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007 17) Siti H. Haryuna. Tumor Ganas Laring Dalam Penelitian Bagian Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Sumatra Utara 2004
50
18) Siti H. Haryuna. Anastesi Umum Pada Penatalaksanaan Papilloma Laring Secera
Bedah Mikrolaring Dalam Penelitian Bagian Anastesiologi dan Reaminasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Sumatra Utara 2004 19) AB. Darmawan. Croup ( Laringotrakeobronkitis ) Dalam Hasil penelitian Bagian
THT Fakultas Kedokteran dan Ilmu ilmu Kesehatan Universitas Jendral Soedirman RSUD Margono Soekarjo. Purwokerto 2008 20) S. Soedjak. Petunjuk Praktis Trakeostomi Dalam Laboratorium/ SMF THT Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo. Surabaya 2000 21) Sugito, HMM Tarigan, LS Soeroso, RS Parhusip. Benda Asing di Saluran Nafas
Bagian Ilmu Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Sumatera Utara UPF Paru Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan 1992 22) KH. Pujowidodo. Laringitis
Dalam Kesehatan THT- Bedah Kepala Leher.
www.infokesehatanTHT-BedahKepalaLeher.com 23) M. Munir, A.Hadiwikarta, S.M.Hutauruk. Trauma Laring Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007 24) Rusmarjono, E.A.Soepardi. Faringitis, Tonsilitis dan Hipertrofi Adenoid Dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007 25)B.Hermani, H.Abdurrachman, A. Cahyono. Kelainan Laring Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007
51