Referat Meningitis Tuberkulosis.docx

  • Uploaded by: dita
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Meningitis Tuberkulosis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,515
  • Pages: 27
MENINGITIS TUBERKULOSIS Dita Citra Pratiwi, Jumhari Baco

A. PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan anak di dunia. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun 5% sampai 6% dari total kasus TB.2 Sekitar 9,6 juta kasus terjadi di seluruh dunia sepanjang tahun 2014, dengan angka kematian mencapai 1,5 juta jiwa. Angka infeksi tertinggi di Asia Tenggara, Cina, India, Afrika, dan Amerika Latin.4,11 Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus TB tertinggi kedua setelah India dengan jumlah kasus 10% dari total kasus di seluruh dunia. Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan angka insidensi TB di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 395 kasus per 100.000 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 10% kasus merupakan infeksi oportunistik dari infeksi HIV. Tingkat kematian akibat penyakit ini sekitar 40 dari 100.000 jiwa.12 TB merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas yang sering pada anak. Anak yang terinfeksi TB mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita sakit TB. Anak dengan infeksi laten TB, jika tidak diobati dengan benar, dapat berkembang menjadi kasus TB pada masa dewasanya dan menjadi sumber penularan di masyarakat. TB anak mempunyai potensi menimbulkan berbagai persoalan mulai gagal tumbuh, infeksi di berbagai organ tubuh seperti paru-paru, kelejar getah bening, hingga infeksi sumsum tulang belakang dan radang selaput otak yang berpotensi menimbulkan kelainan syaraf, kecacatan bahkan kematian.17 Infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis pada sistem saraf pusat meliputi meningitis TB, tuberkuloma intracranial, arakhnoiditis tubercular spinal dan ensefalopati TB. (Pemula) Meningitis tuberkulosis merupakan bentuk paling berat dan paling sering dari tuberkulosis neurologis.1,8 Di Indonesia, meningitis TB masih banyak ditemukan karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%.5

1

2 B. DEFINISI Meningitis adalah suatu inflamasi menings pada membran araknoid, piamater, dan cairan serebrospinal. Proses inflamasi terjadi dan menyebar melalui ruangan subaraknoid di sekeliling otak dan medula spinalis serta ventrikel. Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.9,12

C. ETIOLOGI Secara etimologi, tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis (sangat jarang disebabkan oleh Mycobacterium avium). Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri aerobic, non-motil, tidak membentuk spora dan acid-fast bacillus (AFB) yang terutama menginfeksi manusia. Waktu memperbanyak tubuh (doubling time) M. tuberculosis sangat lambat (15-20 jam) dan membutuhkan beberapa minggu untuk tumbuh parallel dan berkelompok (serpentine cording) pada media Lowenstein-Jensen konvensional. Pemeriksaan biokimia dengan metode berbasis DNA/RNA dapat digunakan untuk mengidentifikasi M. tuberculosis dari AFB yang lain. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Basil tuberkulosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi dalam cairan mati pada suhu 60°C dalam 15–20 menit. Fraksi protein basil tuberkulosis menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dalam tuberkel. Basil tuberkulosis tidak membentuk toksin baik endotoksin maupun eksotoksin. 4,6,14

D. EPIDEMIOLOGI Meningitis tuberkulosis merupakan bentuk tuberkulosis ekstra paru dengan adanya kelainan neurologis yang mencapai 70-80% dari seluruh kasus tuberkulosis neurologis, 5,2% dari seluruh tuberculosis ekstrapulmoner dan 0,7% dari seluruh kasus tuberkulosis. World Health Organization (WHO) pada tahun 2009 menyatakan meningitis tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi primer tuberkulosis, 83% disebabkan

3 oleh komplikasi infeksi primer pada paru. Walaupun telah diberikan terapi yang adekuat, penyakit ini masih memiliki tingkat mortalitas yang tinggi hingga mencapai 50%, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun. Hal tersebut lima kali lebih besar dibandingkan meningitis yang disebabkan infeksi oleh bakteri yang lain maupun virus dengan tingkat mortalitas mencapai 10%.12 Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Komplikasi meningitis TB terjadi setiap 300 kasus TB primer yang tidak diobati. Risiko progresivitas TB paru berkembang menjadi meningitis TB lebih besar pada anak-anak dibandingkan dewasa.1 Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.12

E. FAKTOR RISIKO Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresifitas infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).5 1. Faktor Risiko Infeksi TB Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik) dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain). Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Kemungkinan seseorang terinfeksi tuberculosis dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konsentrasi percik renik (droplet nuclei) di udara dan jumlah kuman yang terhirup, ventilasi udara, serta lamanya pajanan. Makin dekat dengan sumber infeksi dan makin lama waktu pajanan (dalam hari atau minggu) akan meningkatkan risiko seseorang terinfeksi. Bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat kontak bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius.5 Faktor lain adalah jumlah orang serumah (kepadatan hunian), lamanya tinggal serumah dengan pasien, pernah sakit TB, dan satu kamar dengan penderita TB di malam hari, terutama bila satu tempat tidur.11

4 Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik. Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah kuman pada TB anak pada umumnya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.5 Tetapi pasien TB anak dapat menularkan pada orang di sekitarnya, jika anak tersebut BTA positif atau menderita adult type TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks positif adalah 17%.11

2. Faktor Risiko Sakit TB Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Faktorfaktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB adalah sebagai berikut.5,8,11 a. Usia <5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya belum berkembang sempurna (imatur). Risiko sakit TB akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Anak dengan usia <5 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB), dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Risiko tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB selama satu tahun pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu antara terjadi infeksi dan timbul sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan timbul gejala akut.

5 b. Infeksi TB baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir. c. Status imunisasi BCG d. Gizi buruk dan keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan imunosupresi). TB ekstrapulmoner sering ditemukan pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dengan hitung CD4 yang lebih rendah. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan sistem imun sehingga kuman TB yang dorman mengalami aktivasi dan menyebar ke organ lain. e. Penyakit kronik (seperti diabetes melitus dan gagal ginjal kronik) dan trauma kepala. f. Status sosioekonomi yang rendah (penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah)

F. PATOFISIOLOGI Patogenesis penyakit meningitis tuberkulosis diduga terjadi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, penularan Mycobacterium tuberculosis terjadi melalui udara (airborne) yang menyebar melalui partikel percik renik (droplet nuclei) saat seseorang batuk, bersin, berbicara, berteriak atau bernyanyi. Percik renik ini berukuran sangat kecil (<5μm) dan dapat bertahan di udara selama beberapa jam. Infeksi terjadi bila seseorang menghirup percik renik yang mengandung M.tuberculosis dan akhirnya sampai di alveoli menyebabkan infeksi fokal di paru. Umumnya respons imun terbentuk 2–10 minggu setelah infeksi. Sejumlah kuman tetap dorman bertahun-tahun yang disebut infeksi laten. Jika sistem imunitas tubuh lemah, kuman menjadi aktif dan dapat menyebar secara hematogen dan limfogen. Hal tersebut menyebabkan bakteremia dan basil M. tuberculosis dapat masuk ke jaringan meningen atau parenkim otak melalui sirkulasi serebral membentuk lesi metastatik kaseosa foci subependimal yang disebut focus tuberkuloma (Rich foci). Akibat ukuran yang besar, tuberkuloma dapat menimbulkan gejala yang menyerupai tumor ganas. 1,11,12 Pada tahap kedua, meningitis tuberkulosis terjadi akibat bertambahnya ukuran fokus tuberkuloma subependimal atau subpial sampai kemudian pecah ke dalam rongga yang mengelilingi otak (ruang subarachnoid) atau sumsum tulang belakang dan menimbulkan inflamasi pada meningen sehingga disebut meningitis. Respon jaringan terhadap inflamasi pada meningitis tuberkulosis adalah eksudat inflamasi mendorong struktur pada bagian dasar

6 otak, nervus dan pembuluh darah di otak. Vaskulopati mempengaruhi sirkulus Willisi, sistem vertebrobasiler, dan cabang kecil dari arteri serebri media menyebabkan infark. Selanjutnya, eksudat di basal menghambat aliran cairan serebrospinal setinggi tentorium menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan hidrosefalus.8,11 Proses patologi yang menyebabkan defisit neurologis pada meningitis tuberkulosis adalah (1) eksudat dapat menyebabkan obstruksi aliran CSS sehingga terjadi hidrosefalus, (2) granuloma dapat bergabung membentuk tuberkuloma atau abses sehingga terjadi defisit neurologis fokal, dan (3) vaskulitis obliteratif yang dapat menyebabkan infark dan sindrom stroke.12

Gambar 1. Patofisiologi Meningitis Tuberkulosis3

G. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis meningitis tuberkulosis sama dengan meningitis subakut lainnya. Pasien dengan meningitis tuberculosis akan mengalami tanda dan gejala meningitis yang khas, seperti nyeri kepala, demam dan kaku kuduk, walaupun tanda rangsang meningeal mungkin tidak ditemukan pada tahap awal penyakit. Durasi gejala sebelum ditemukannya tanda meningeal bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa bulan.12 Sebagian besar pasien meningitis tuberkulosis memiliki riwayat sakit kepala dengan keluhan tidak khas selama 2-8 minggu sebelum timbulnya gejala iritasi meningeal. Gejala nonspesifik

7 ini meliputi malaise, anoreksia, rasa lelah, demam, mialgia dan sakit kepala. Namun pada beberapa kondisi, meningitis tuberkulosis dapat muncul sebagai penyakit yang berat, dengan disertai defisit neurologis fokal (palsi nervus kranial, parese, kejang), perubahan perilaku dan penurunan kesadaran.7 Tabel 1. Manifestasi klinis meningitis tuberculosis pada anak dan dewasa16,1 Gejala Klinis Tanda Klinis Anak  Gejal awal tidak  Apatis atau irritable, tanda meningeal, spesifik: demam, batuk, penurunan kesadaran muntah (tanpa diare),  Tanda-tanda malaise dan penurunan peningkatan tekanan berat badan intrakranial (ubun Durasi gejala >6 hari ubun besar  Kejang lebih sering membumbung pada bayi), palsi nervus ditemukan pada anak kranialis VI, atrofi dibanding pasien dewasa optic  Pergerakan abnormal dan tanda-tanda defisit neurologis (paling sering hemiplegia) Dewasa  Periode prodormal non-  Kaku kuduk, palsi spesifik: malaise,demam nervus kranialis (suhu tubuh tidak terlalu (VI>III>IV>VII) tinggi), penurunan berat  Typical meningeal badan diikuti dengan signs sakit kepala onset  Confusion, koma, gradual (1-2 minggu) anda-tanda defisit  Sakit kepala yang neurologis, seperti semakin memburuk, monoplegia, hemi muntah, confusion, plagia atau paraplegia koma (pada sekitar 20%  Durasi gejala ≥6 hari kasus)  Retensi urin

Pemeriksaan CSS  Xantocrom, jumlah sel darah putih meningkat (0,59 1x10 /L) dengan limfosit dan neutrofil  Peningkatan konsentrasi protein (0,5-2,5g/L) Rasio glukosa CSS dengan plasma <0,5 pada 95% kasus

 High opening pressure >25 cm  Biasanya jernih dan tidak berwarna, jumlah sel darah putih meingkat 9 (0,05-1x10 /L) dengan limfosit dan neutrofil  Peningkatan konsentrasi protein (0,5-2,5g/L) Rasio glukosa CSS dengan plasma <0,5 pada 95% kasus Meningitis tuberkulosis diklasifikasikan menjadi tiga derajat oleh British Medical

Research Council seperti tampak pada tabel 2. Sistem klasifikasi ini digunakan untuk memisahkan pasien dan juga untuk menentukan prognosis. (Pemula, Kechagia)

8 Tabel 2. Klasifikasi kriteria klinis berdasarkan tingkat keparahan meningitis TB14,16 Derajat

Kriteria klasik

I

Sadar

penuh

Kriteria kontemporer dan

tanpa

defisit Sadar, orientasi baik dan tanpa defisit

neurologis. II

Sadar, atensi kurang, bingung, letargi Glascow coma score (GCS) 14-11 atau dan terdapat defisit neurologis fokal

III

neurologis (GCS 15).

GCS 15 dengan defisit neurologis fokal

Stupor atau koma, multipel palsi nervus GCS ≤10, dengan atau tanpa deficit kranialis/hemiparesis komplit/paralisis

neurologis fokal

H. DIAGNOSIS Diagnosis pasti meningitis TB dapat dibuat hanya setelah dilakukan pungsi lumbal pada pasien dengan gejala dan tanda penyakit di sistem saraf pusat (defisit neurologis), basil tahan asam positif dan atau atau M.tuberculosis terdeteksi menggunakan metode molekular dan atau atau setelah dilakukan kultur cairan serebrospinal (CSF). 13 1. Anamnesis Gejala TB pada anak seringkali tidak khas. Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang, penurunan kesadaran adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis. Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia. Gejala pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel muncul bercak pada kulit tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak beraturan. Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk autoanamnesa. Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan adanya trias meningitis dan kecurigaan tuberkulosis secara klinis. Gejala klinis saat akut adalah defisit saraf kranial, nyeri kepala, meningismus, dan perubahan status mental. Gejala prodromal yang dapat dijumpai adalah nyeri kepala, muntah, fotofobia, dan demam.4 Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit kepala, diikuti kejang berulang dan kesadaran menurun khususnya jika terdapat bukti bahwa anak telah

9 kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Apabila ditemukan gejala-gejala tersebut, harus segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis dengan sistem skoring tidak direkomendasikan. Di rumah sakit rujukan, akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan dilengkapi dengan uji tuberkulin, laboratorium darah serta pengambilan cairan serebrospinal untuk dianalisis. Diagnosis ataupun suspek meningitis TB memerlukan gejala dan tanda meningitis yang disertai klinis yang mengarahkan ke infeksi tuberkulosa dan pada hasil foto rontgen toraks serta cairan serebrospinalis menunjukkan infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada anak, sulit untuk mendapatkan spesimen diagnostik yang representatif dan berkualitas baik. Seringkali, walaupun spesimen berhasil diperoleh, M. tuberculosis jarang ditemukan pada sediaan langsung maupun biakan.11

10 Tabel 3. Kriteria diagnosis untuk klasifikasi diagnosis meningitis TB13 KRITERIA Kriteria klinis Durasi gejala >5 hari Gejala-gejala sistemik sugestif TB (satu atau lebih dari gelaja berikut): penurunan berat badan atau berat badan susah naik, berkeringat malam atau batuk terus-menerus selama >2 minggu Riwayat kontak erat dengan individu TB paru (dalam setahun terakhir) atau tes tuberculin/IGRA positif Defisit neurologis fokal (terkecuali palsi nervus facialis) Palsi nervus kranialis Gangguan kesadaran

SKOR Skor maksimal=6 4 2

2 1 1 1

Kriteria CSS Warna jernih Jumlah sel 10-500/μL Predominan limfositik (>50%) Konsentrasi protein >1g/L Rasio glukosa CSS-plasma <50% atau konsentrasi glukosa CSS absolut <2,2 mmol/L

Skor maksimal=4 1 1 1 1 1

Kriteria pencitraan kepala Hidrosefalus Basal meningeal enhancement Tuberkuloma Infark Pre-contrast basal hyperdensity

Skor maksimal=6 1 2 2 1 2

Infeksi TB di organ lainnya Gambaran rontgen thoraks sugestif TB aktif: tanda-tanda TB=2; TB milier=4 CT/MR/USG menunjukkan TB diluar SSP Kultur M. tuberculosis dari sumber lain (kultur sputum, nodus limfe, bilasan lambung, urin, darah) Pemeriksaan NAAT menunjukkan positif M. tuberculosis dari spesimen ekstra-neural

Skor maksimal=4 2/4 2 4 4

CSS, cairan serebrospinal; CT, computed tomography, IGRA, interferon-gamma release assay; MR, magnetic resonance; NAAT, nuclei acid amplification test; TB, tuberculosis

11 Berdasarkan tabel 2, diagnosis kemungkinan meningitis TB (probable) adalah apabila didapatkan skor antara 10 sampai 12. Diagnosis mungkin bisa meningitis TB (possible) jika skor di atas 6 di bawah 10.13

2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya adalah pemeriksaan rangsang meningeal, yaitu sebagai berikut:3 a. Kaku Kuduk Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. b. Kernig’s sign Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

Gambar 3. Kernign’s Sign3 c. Brudzinski I (Brudzinski leher) Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Brudzinski I positif (+) bila gerakan fleksi kepala

12 disusul dengan gerakan fleksi disendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

Gambar 4. Brudzinski Leher3 d. Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai) Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter padasendi panggul dan lutut kontralateral. e. Brudzinski III (Brudzinski Pipi) Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari pemeriksa tepat dibawah os ozygomaticum. Tanda Brudzinski III positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas superior. f. Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis) Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi involunter extremitas inferior. g. Lasegue`s Sign Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+) jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang dari 60° pada lansia.

13 3. Pemeriksaan Penunjang a. Uji Mantoux/Tuberkulin Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi TB yaitu dengan melakukan uji tuberkulin. Caranya adalah dengan menginjeksikan 0,1 mL derivat protein yang dimurnikan (purified protein derivative) yang mengandung 5 unit tuberkulin dan distabilkan dengan Tween 80 secara intradermal. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute Denmark dan PPD (Purified Protein Derivative) yang sama dari Staten yang dikemas ulang oleh Biofarma.11 Uji tuberkulin relatif mudah dan murah. Selain itu, tuberkulin tetap konstan setelah vial dibuka selama 1 bulan. Pembacaan hasil uji tuberkulin yang dilakukan dengan cara Mantoux (intrakutan) dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan dengan mengukur diameter transversal. Kadang-kadang indurasi akan muncul lebih dari 72 jam sesudah perlakuan uji; ini adalah hasil positif. Uji tuberkulin dinyatakan positif yaitu:7 1.) Pada kelompok anak dengan imunokompeten termasuk anak dengan riwayat imunisasi BCG diameter indurasinya > 10mm. 2.) Pada kelompok anak dengan imunokompromais (HIV, gizi buruk, keganasan dan lainnya) diameter indurasinya > 5mm Uji tuberkulin positif dapat ditemui pada keadaan sebagai berikut, infeksi tuberkulosis alamiah (infeksi tuberkulosis tanpa sakit, infeksi tuberkulosis dan sakit tuberkulosis, pasca pengobatan tuberkulosis), imunisasi BCG (infeksi tuberkulosis buatan), infeksi Mycobacterium atipic/M. Leprae. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah terinfeksi.7,17 Test tuberkulin negatif dapat ditemui pada keadaan sebagai berikut, penyuntikan yang salah, tidak ada infeksi tuberkulosis, dalam masa inkubasi infeksi tuberkulosis dan anergi (anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap test tuberculin padahal sebenarnya sudah terinfeksi tuberkulosis).17

14 Hasil tes Mantoux dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:11 

Vaksinasi BCG



Usia yang masih muda (≤6 bulan )



Malnutrisi (gizi buruk) dan dehidrasi



Penderita TB disertai dengan infeksi lain (pertusis, varisela, morbili, parotitis)



Imunosupresi karena penyakit atau obat-obat

b. Pemeriksaan mikrobiologi cairan serebrospinal (CSS) Pemeriksaan mikrobiologi CSS meliputi analisis CSS, pewarnaan Ziehl Neelsen (ZN) dan kultur TB. Pada prinsipnya, prosedur pengambilan sampel cairan serebrospinal melalui pungsi lumbal sebaiknya dikerjakan pada setiap kecurigaan meningitis dan/atau ensefalitis.12 Ketepatan diagnosis meningkat dengan semakin banyaknya cairan serebrospinal (CSS) yang diperiksakan untuk pemeriksaan mikroskopik maupun biakan M. tuberculosis, lumbal pungsi dapat diulang apabila diagnosis masih meragukan. Pada usia berapapun 10% volume cairan serebrospinal dapat diambil untuk pemeriksaan, setidaknya sebanyak 6 ml cairan serebrospinal.7 Karakteristik klasik CSS pada meningitis tuberkulosis adalah sebagai berikut: (1) peningkatan jumlah hitung leukosit (pleiocytosis) antara 100-500 sel/mm3 dengan dominan limfosit; (2) peningkatan tekanan lumbal dengan warna xantocrom; (3) peningkatan konsentrasi protein berkisar 100-500 mg/dl; (4) penurunan konsentrasi glukosa (konsentrasi glukosa rata-rata sekitar 45 mg/dl); dan (5) kultur positif Mycobacterium tuberculosis pada 75% pasien setelah 3-6 minggu biakan. Peningkatan protein maupun penurunan glukosa (sering <5 mg/dl) CSS bisa disebabkan oleh infeksi bacterial, fungal, maupun TB. Pleositosis dengan sel mononuclear predominan merupakan patognomonis untuk meningitis TB.8,12 Hasil pewarnaan ZN dari material CSS seringkali memberikan hasil negatif palsu, disebabkan karena sedikitnya konsentrasi bakteri di dalam CSS, sedangkan kultur TB membutuhkan waktu yang lama sekitar 5-8 minggu. Konsentrasi bakteri dalam CSS pada kasus infeksi susunan saraf pusat (SSP) biasanya <103/ml dengan sensitivitas hanya sekitar 25%, sedangkan bila konsentrasi bakteri didalam CSS >105/ml, sensitivitas bisa mencapai 97%.9

15 Tabel 4. Estimasi produksi CSS, volume dan jumlah yang aman untuk pungsi lumbal7 Usia

Produksi CSS

Volume CSS

Jumlah CSS yang aman diambil

(ml/jam

(ml)

untuk lumbal pungsi (ml)

Dewasa

22

150-170

15-17

Remaja

18

120-170

12-17

Anak

12

100-150

10-15

Bayi

10

60-90

6-9

Neonatus

1

20-40

2-4

Untuk meyakinkan diagnosis meningitis TB, tes cairan serebrospinalis lain barubaru ini telah dikembangkan. Diantaranya adalah evaluasi adenosine deaminase activity (ADA) dan pengukuran interferon-gamma (IFN-ɣ) yang dikeluarkan oleh limfosit. Tes aktivitas ADA merupakan rapid test yang menampilkan proliferasi dan diferensiasi limfosit sebagai hasil dari aktivasi imunitas yang diperantarai sel (cellmediated immunity) terhadap infeksi bakteri M.tuberculosis. Aktivitas ADA dapat menjadi informasi tambahan yang berguna untuk menyingkirkan diagnosis meningitis yang diakibatkan selain bakteri. Nilai ADA dari 1 sampai 4 U/L (sensitivitas >93% dan spesifitas <80%) dapat membantu eksklusi diagnosis meningitis TB. Nilai >8 U/L (sensitivitas 59% dan spesifitas >96%) dapat membantu menegakkan diagnosis meningitis TB (p<0.001). Namun, nilai diantara 4 dan 8 U/L insufisien untuk mengonfirmasi atau mengeksklusi diagnosis meningitis TB (p=0.07). Hasil positif palsu juga bisa ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV.6 Pemeriksaan Interferon-gamma release assay (IGRA) dapat membedakan infeksi TB alamiah dengan BCG, tetapi tidak dapat membedakan antara sakit TB atau hanya terinfeksi TB. Pemeriksaan IGRA pada anak tidak menunjukkan keunggulan mengingat harganya yang mahal dan masih rendahnya bukti akurasi pada bayi dan anak. Pengukuran IFN-ɣ yang dikeluarkan oleh limfosit yang terstimulasi oleh antigen bakteri M.tuberculosis telah diakui lebih akurat dibandingkan dengan skintesting untuk mendiagnosis infeksi TB laten dan sangat berguna untuk mendiagnosis TB ekstrapulmoner. Namun, sensitivitas dan spesifitas tes bervariasi menurut asal

16 atau sumber infeksi primernya. Telah dilaporkan kegagalan tes pengukuran IFN-ɣ ini diakibatkan oleh kematian limfosit yang cepat ketika distimulasi dengan antigen M.tuberculosis ex vivo sehingga hasil tes dapat ditemukan negatif meskipun sesungguhnya telah terdapat infeksi TB.7 Tabel 5. Perbandingan karakteristik CSS normal dan jenis meningitis yang berbeda10 Karakteristik Makroskopik

Normal

Bakterial

Viral

Jernih, tak Keruh

Jernih/

berwarna

opalescent

TB

Fungi

Xantocrom

Jernih

Tekanan

N



N/↑



N/↑

Sel

0-5/mm3

100-

5-100/mm3

5-1000/mm3

20-

60.000/mm3

500/mm3

Neutrofil

Tak ada

>80%

<50%

<50%

<50%

Glukosa

75%



N





glukosa

(<40%

(<50%

(<80%

darah

glukosa darah)

glukosa

glukosa

darah)

darah)

Protein Lainnya

<0,4 g/L

1-5g/L

>0,4-0,9 g/L 1-5 g/L

0,5-5 g/L

Gram positif

PCR kultur Kultur

Gram

<90%; kultur

positif

positif

positif <80%;

<50%

80%

50- negatif; kultur

kultur darah

positif

positif <60%

25-50%

17 Tabel 6. Berbagai pemeriksaan mikrobiologi pada meningitis tuberculosis16 Uji diagnostik Apusan CSS

Prinsip tes

Sampel CSS (10 ml) disentrifugasi kemudian dilakukan pewarnaan ZN atau fluorescent pada endapannya dan diamati dibawah mikroskop Kultur CSS CSS diinokulasi pada media kultur cair (seperti Mycobacterial Grwoth Tube, Becton Dickinson) dan diikubasi selama 42 hari.pertumbuhan bakteri dideteksi menggunakan florescent Kultur Endapan CSS diinokasi MODS pada microtitre plate kemudian diinkubasi. Pertumbuhan bakteri diperiksa menggunakan mikroskop inverted

Keunggulan

Kekurangan

Cepat, murah dan secara umum tersedia di laboratorium pelayanan kesehatan

Kurang sensitif digunakan sebagai uji diagnostik laboratorium rutin

Lebih cepat dan sensitif dibandingkan kultur pada media padat—median time 10-14 hari; dapat digunakan untuk uji susceptibility obat lini pertama Lebih sensitif dibandingkan apusan CSS, lebih cepat dibandingkan kultur dibandingkan kultur pada media padat/ cair, dapat digunakan untuk uji susceptibility obat lini pertama

Hanya tersedia pada laboratorium dengan sarana yang memadai. Perlu fasilitas kontainer level 3 dan petugas laboratorium yang ahli

Perlu fasilitas kontainer level 3 dan petugas laboratorium yang ahli

c. Pemeriksaan radiologi Setiap pasien TB meningitis harus dilakukan CT-Scan kepala dengan kontras sebelum diterapi atau dalam 48 jam pertama terapi.7 CT-Scan kepala dapat membantu diagnosis TB meningitis sehingga dapat ditatalaksana sesegera mungkin karena cepat, mudah diperoleh dan non-invansif. Oleh karena itu, CT-Scan memainkan peran penting dalam deteksi dini meningitis TB. Apabila didapatkan tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti muntah-muntah dan edema papil, perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI, untuk mencari kemungkinan komplikasi seperti hidrosefalus.1

18 Pemeriksaan CT-Scan tidak selalu spesifik menggambarkan adanya kelainan pada meningitis tuberkulosis. Gambaran obliterasi sisterna basalis oleh eksudat isodens atau hiperdens ringan sebagai temuan yang paling umum ditemukan.12 Trias kelainan CT-scan kepala yang khas untuk meningitis TB yaitu: 1 1.) Basal meningeal enhancement Merupakan prediktor adanya meningitis TB dengan tingkat sensitivitas 35-73% dan spesifisitas 69-88%. 2.) Hydrocephalus Kelainan yang paling sering ditemukan pada meningitis TB dengan sensitivitas 57-93% dan spesifisitas 69-88%. Pada CT-Scan ditandai dengan gambaran dilatasi simetris atau asimetris dari ventrikel. 3.) Infark Infark iskemik biasanya terdapat pada ganglia basalis, kapsula interna bagian anterior limb dan thalami. Sensitivitasnya berkisar 18-75% dan spesifisitas 82100%. Pada CT-Scan ditandai sebagai area hypoattenuation dan menghilangnya gray-white matter delineation. Adanya infark menunjukkan prognosis yang buruk sebab meningkatkan risiko komplikasi neurologis. Gambaran yang lebih baik dapat ditemukan dari pemeriksaan MRI, khususnya MRI dengan kontras yang menunjukkan penebalan leptomeningeal dan eksudat sisterna. Manifestasi lainnya yang dapat ditemukan pada gambaran radiologi meningitis tuberkulosis adalah komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu hidrosefalus, vaskulitis, infark dan neuropati kranial. Semua pasien dengan tuberkuloma serebral atau tuberkulosis spinal sebaiknya dilakukan MRI untuk menentukan perlunya intervensi bedah dan melihat respons terapi.12 Pemeriksaan foto toraks juga sebaiknya dilakukan untuk mengetahui adanya TB paru atau TB milier bersamaan dengan TB ekstraparu. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral), konsolidasi

19 segmental/lobar, efusi pleura, milier, atelektasis, kavitas, kalsifikasi dengan infiltrate dan tuberkuloma.7

d. Pemeriksaan biomolekular Nucleic acid amplification (NAA) assay terutama Polimerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik diagnostik molekular yang cepat, spesifik, dan sensitif untuk mendeteksi meningitis tuberkulosa. IS6110 merupakan insertion sequence target untuk amplifikasi PCR dari M. tuberculosis complex yang mempunyai spesifisitas tinggi sekitar 94% dan sensitivitas tinggi (85-97%), namun hasil positif-palsu juga dapat terjadi sekitar 3-20% kasus. Keberhasilan deteksi dengan menggunakan PCR juga bergantung dari kondisi sebelum isolasi (penyimpanan sampel klinis, tranportasi), cara ekstraksi dan jenis PCR. Real time PCR lebih sensitif daripada konvensional PCR.6,9 Tabel 7. Berbagai pemeriksaan biomolekular pada meningitis tuberculosis16 Uji Prinsip tes diagnostik Line probe DNA strip test dapat assays mendeteksi adanya M. tuberculosis dan mutasi genetik yang umum terjadi pada resistensi OAT tertentu Gene Menggunakan automated Xpert cartridge-based system RIF/TB untuk memproses sputum, ekstraksi dan amplifikasi DNA serta pendeteksian M. tuberculosis dan resistensi rifampisin Interferon- Menggunakan wholegamma blood test untuk release mendeteksi respon imun assay terhadap antigen M. (IGRA) tuberculosis

Keunggulan

Kekurangan

Mampu mendeteksi M. tuberculosis dan resistensi obat pada spesimen sputum atau isolat kultur

Mahal. Perlu petugas laboratorium yang ahli dan fasilitas kontainer level 3, termasuk PCR.

Mampu mendeteksi M. tuberculosis dan resistensi obat pada specimen sputum dan lainnya

Mahal. Banyak terjadi hasil positif palsu pada daerah dengan prevalensi resistensi rifampisin yang rendah

Dapat digunakan untuk mendeteksi TB laten, hasil dapat diketahui dalam 24 jam, tidak dipengaruhi vaksinasi BCG

Tidak direkomendasikan untuk mendiagnosis TB aktif. Membutuhkan volume CSS yang banyak untuk mendiagnosis meningitis TB dan sensitivitasnya bervariasi

20 Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan ketepatan diagnosis TB Anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan Nucleic Acid Amplification Test misalnya Xpert MTB/RIF. Xpert assay dapat mengidentifikasi M. tuberculosis dan mendeteksi resisten rifampisin dari dahak yang diperoleh dalam beberapa jam. Akan tetapi konfirmasi TB resisten obat dengan uji kepekaan obat konvensional masih digunakan sebagai baku emas (gold standard). Penggunaan Xpert MTB/RIF tidak menyingkirkan kebutuhan metode biakan dan uji resistensi obat konvensional yang penting untuk menegakkan diagnosis definitif TB pada pasien dengan apusan BTA negatif dan uji resistensi obat untuk menentukan kepekaan OAT lainnya selain rifampisin. Saat ini data tentang penggunaan Xpert MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB. Pada pasien anak penggunaan cara ini terbentur masalah klasik yaitu kesulitan mendapatkan spesimen bakteriologis.7

I. PENATALAKSANAAN 1. Medikamentosa Tuberkulosis meningitis merupakan kegawatan medis, keterlambatan penanganan sangat berhubungan dengan mortalitas. Terapi obat anti tuberculosis (OAT) empiris harus segera diberikan pada pasien yang diduga TB meningitis. Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan basil tahan asam melalui apusan atau kultur, baik dari sputum, darah maupun CSS. Hal ini karena bahkan pemeriksaan terbaik sekalipun mungkin tidak dapat menemukan basil tuberkulosis pada pasien meningitis tuberkulosis, infeksi HIV dan anak kecil. Oleh karena itu, pada kondisi seperti ini atau pada pasien dengan sakit berat dimana dicurigai tuberkulosis, maka penilaian klinis dapat digunakan untuk memulai pemberian terapi empiris sembari menunggu hasil akhir pemeriksaan seperti kultur yang membutuhkan waktu lama atau bahkan ketika hasil pemeriksaan negatif. Usia muda mempengaruhi kecepatan metabolisme obat sehingga anak terutama usia kurang dari 5 tahun memerlukan dosis yang lebih tinggi (mg/kgBB) dibandingkan anak besar atau dewasa.12

21 Tabel 8. Standar rekomendasi regimen obat untuk meningitis TB pada anak8,16 OAT dan

Dosis

Dosis

fase

rekomendasi

maksismum

pengobatan

(mg/kg/hari)

(mg/hari)

Isoniazid

10-20

500

Efek samping potensial

Hepatotoksik, perifer

pengobatan

neuropati 12

(dosis

neuropati

Durasi

bulan

tinggi), (min.

optikus,

9

gejala bulan)

gastrointestinal Rifampisin

10-20

600

Hepatotoksik, rash, flu-like 12 syndrome,

multiple

drug (min.

sakit

kepala, bulan)

interactions, drowsiness,

bulan 9

orange

discolouration

of

bodily

fluids, gejala gastrointestinal Pyrazinamid

30-35

2000

Hepatotoksik, anoreksia,

arthralgia, 2 bulan gejala

gastrointestinal,

skin

photosensitization Streptomycin 30

1000

Nefrotoksik, ototoksik dan 2 bulan vestibular toksik

Ethambutol

15-20

1000 (HIV-)

Neuritis optikus, buta warna 2 bulan

2500 (HIV+)

merah/hijau, neuritis perifer, arthralgia

dan

gangguan

gastrointestinal Penatalaksanaan TB sistem saraf pusat harus terdiri dari 4 obat yaitu isoniazid, rifampisin, etambutol dan pirazinamid pada 2 bulan pertama dan dilanjutkan dengan 2 obat yaitu isoniazid dan rifampisin selama minimal 10 bulan.7,8 Para ahli merekomendasikan pemberian terapi OAT pada meningitis TB selama 9-12 bulan. Pemberian rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus meningitis TB umumnya diperpanjang hingga 7-10 bulan. Ethambutol susah masuk ke dalam CSS

22 sehingga untuk regimen meningitis TB biasanya diganti dengan ethionamid atau streptomicin. Pada TB dengan kondisi berat atau mengancam nyawa dapat diberikan streptomisin. Apabila keadaan anak dengan TB meningitis sudah melewati masa kritis, maka pemberian OAT dapat dilanjutkan dan dipantau di fasilitas pelayanan kesehatan primer.12 Tabel 9. Aktivitas farmakokinetik dan tingkat penetrasi CSS obat anti-TB8

Obat lini pertama

Obat lini kedua

Agen baru

Obat Anti-TB

Cara kerja

Penetrasi CSS

Isoniazid

Cidal

90-95%

Rifampisin

Cidal

5-25%

Pyrazinamid

Cidal

95-100%

Streptomycin

Static

20-25%

Ethambutol

Cidal

10-50%

Ciprofloxacin

Cidal

15-35%

Levofloxacin

Cidal

60-80%

Moxifloxacin

Cidal

70-80%

Ethoniamid

Cidal

80-95%

Cycloserin

Static

40-70%

Amikacin

Cidal

10-25%

Streptomycin

Cidal

10-20%

Capreomycin

Static

Tidak diketahui

Para-aminosalicylic acid

Static

Tidak diketahui

Thioacetazone

Static

Tidak diketahui

Linezolid

Cidal

80-100%

Bedaquiline (TMC207)

Cidal

Tidak diketahui

Delamanid (OPC-67683)

Cidal

Tidak diketahui

Keterangan: Cidal=bactericidal; Static: bacteriostatic British Infection Society merekomendasikan pemberian kortikosteroid pada semua pasien meningitis TB tanpa melihat derajat/tingkat keparahannya. Pemberian kortikosteroid dapat menekan respons inflamasi dalam ruang subaraknoid sehingga mengurangi risiko edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran

23 darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron. Selain itu, pemberian kortikosteroid terbukti memperbaiki outcome dengan penurunan tingkat mortalitas dan keparahan dari komplikasi neurologis.6,7 Kortikosteroid yang biasanya digunakan adalah prednison oral yang diberikan dosis 2 mg/kg/hari (maksimum 60 mg per hari) selama empat minggu sebagai tambahan obat TB dan dilakukan tapering off setelah dua minggu (total penggunaan kortikosteroid 6 minggu). Terapi dengan deksametason atau prednisolon yang ditappering off selama 68 minggu direkomendasikan pada pasien meningitis tuberkulosis. Kortikosteroid sebaiknya diberikan intravena pada awalnya dan dilanjutkan dengan pemberian per oral sesuai klinis pasien. Deksametason dengan dosis 0,6 mg/kg/hari ekuivalen dengan prednisolon dosis 2-4 mg/kg/hari. Keduanya merupakan kortikosteroid injeksi pilihan untuk diberikan pada kasus meningitis tuberkulosis. Durasi pemberian selama 4 minggu dengan tapering 2-4 minggu setelahnya. Evaluasi pengobatan TB ekstraparu dilakukan dengan memantau klinis pasien, tanpa melakukan pemeriksaan histopatologi ataupun biakan. Pada pasien tuberkulosis ekstra paru dan pada anak, respon pengobatan terbaik dinilai secara klinis.12

2. Non Medikamentosa Indikasi bedah dilakukan pada pasien meningitis TB dengan komplikasi seperti hidrosefalus, abses serebral tuberkulosis dan tuberkulosis vertebra dengan kompresi pada medulla spinalis. Dekompresi bedah segera harus dipertimbangkan pada lesi ekstradural yang menyebabkan paraparesis. Tujuan tatalaksana bedah adalah untuk mengurangi ukuran space-occupying lesion dan mengurangi tekanan intrakranial.6 Hidrosefalus communicating pada tahap awal dapat diterapi dengan furosemide (40 mg/24 jam) dan acetazolamide (10-20 mg/kgBB) atau dengan pungsi lumbal berulang.7

J. PROGNOSIS Risiko morbiditas dan mortalitas tertinggi adalah pada bayi dan anak kurang dari 2 tahun, yaitu kelompok usia yang tersering mengalami TB diseminata. Makin muda usia anak, makin tinggi risiko morbiditas dan mortalitas TB. Mortalitas pada pasien meningitis tuberkulosis terkait dengan hidrosefalus, resistensi obat, gagal terapi, lanjut usia, infeksi HIV.

24 Prognosis meningitis TB secara umum ditentukan oleh status neurologis pasien dan waktu insiasi terapi (time to treatment-initiation). Apabila gejala kelainan neurologis berat telah ditemukan (misalnya, koma, kejang, peningkatan tekanan intrakranial dan hemiparese), maka prognosisnya buruk.12 Tingkat mortalitas sangat tinggi jika pasien terlambat menerima terapi, yaitu pada derajat III. Jika pasien meningitis TB tidak menerima terapi, maka pasien akan mengalami koma dan kematian.6,8

K. KOMPLIKASI Meningitis tuberkulosis merupakan penyakit yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat dengan tingkat mortalitas mencapai 30%. Pasien meningitis TB yang bertahan hidup sebagian besar mengalami sekuele neurologis (50%).8 Sekuele neurologis pada 1 tahun follow up diketahui berhubungan dengan defisit saat pasien masuk rumah sakit. Sekuele neurologis yang dapat terjadi antara lain retardasi mental pada anak, tuli sensorineural, hidrosefalus, palsi nervus kranialis, stroke, kejang dan koma.12 Stroke terjadi pada 30-45% pasien meningitis tuberkulosis. Stroke pada meningitis dapat terjadi karena gangguan aliran darah akibat inflamasi pada pembuluh darah yang meninggalkan meningen untuk masuk ke otak. Sekitar 10% pasien TB meningitis juga mengalami TB tulang belakang. Apabila TB meningitis tidak diobati maka dapat menyebabkan kerusakan otak seperti gangguan mental, paralisis motorik, kejang serta perilaku abnormal. Sekitar 10% pasien meningitis TB juga mengalami TB tulang belakang. Apabila meningitis TB tidk diobati maka dapat menyebabkan kerusakan otak seperti gangguan mental, paralisis motorik, kejang serta perilaku abnormal.7

L. PENCEGAHAN 1. Vaksinasi Bacillus Calmette et Guerin (BCG) Risiko tuberkulosis pada anak dapat dikurangi dengan pemberian vaksinasi BCG. Pemberian vaksinasi BCG pada bayi baru lahir sampai usia 2 bulan sudah merupakan kesepakatan dalam program imunisasi nasional di Indonesia, dengan cakupan imunisasi yang terus meningkat setiap tahunnya. Keberhasilan imunisasi ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik pejamu serta kualitas dan kuantitas vaksin. 2

25 Vaksin BCG merupakan vaksin yang berisi M. bovis hidup yang dilemahkan. Efek proteksi sangat bervariasi mulai dari 0-80% bahkan di wilayah endemis TB diragukan efek proteksinya. Namun demikian, vaksin BCG memberikan proteksi yang cukup baik terhadap terjadinya TB berat (TB milier dan meningitis TB). Daya proteksi BCG terhadap meningitis TB 64%, pada anak yang mendapat vaksinasi.7 World Health Organization menetapkan bahwa vaksinasi BCG merupakan kontraindikasi pada anak terinfeksi HIV yang bergejala. Pada anak terinfeksi HIV, vaksin BCG tidak banyak memberikan efek menguntungkan dan dikhawatirkan dapat menimbulkan BCG-itis diseminata, yaitu penyakit TB aktif akibat pemberian BCG pada pasien imunokompromais. Hal ini sering menjadi dilema bila bayi mendapat BCG segera setelah lahir pada saat status HIV-nya belum diketahui. Bila status HIV ibu telah diketahui dan Preventing Mother to Child Transmission of HIV (PMTCT) telah dilakukan maka vaksinasi BCG dapat diberikan pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif, kecuali jika ada konfirmasi bayi telah terinfeksi HIV.7 2. Pemberian INH profilaksis Sekitar 50-60% anak kecil yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA sputum positif, akan terinfeksi TB. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB diseminata yang berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah sakit TB. Profilaksis primer diberikan pada balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif (+), namun pada evaluasi dengan tidak didapatkan indikasi gejala dan tanda klinis TB. Obat yang diberikan adalah INH dengan dosis 10 mg/kgBB/hari selama 6 bulan (rentang dosis 715mg/kgBB), dengan pemantauan dan evaluasi minimal satu kali per bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai dan anak belum atau tidak terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada anak dengan kontak erat TB yang imunokompromais seperti pada HIV, keganasan, gizi buruk dan lainnya, profilaksis INH tetap diberikan meskipun usia di atas 5 tahun. Profilaksis sekunder diberikan kepada anak-anak dengan bukti infeksi TB (uji tuberkulin atau IGRA positif) namun tidak terdapat gejala dan tanda klinis TB. Dosis dan lama pemberian INH sama dengan pencegahan primer.7

26 DAFTAR PUSTAKA

1. Andreas M.M., Austine U.J. dan Reyes-Paguia M.P. 2016. Tuberculosis Meningitis: Basal Cistern Enhacement Pattern on CT Imaging. TB Corner 2(5): 1-9. 2. Basir D., Yani F.F. dan Triyanto. 2007. Uji Tuberkulin pada Bayi BBLR yang Mendapat BCG Segera Setelah Lahir dan yang Menunggu Berat Badan ≥2500 Gram. Sari Pediatri 9(4):293-298. 3. Be N.A., Kim K.S., Bishai W.R. dan Jain S.K. 2009. Pathogenesis of Central Nervous System Tuberculosis. Bentham Science Publishers: Current Molecular Medicine 9(2): 94-99. 4. Chin J.H. 2014. Tuberculous Meningitis Diagnostic and Therapeutic Challenges. American Academy of Neurology, Neurology Clinical Practice: 199-205. 5. Kartasasmita C.B. 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri 11(2): 124-128. 6. Kechagia M., Mamoucha S., Adamou D., Kanterakis G., Velentza A., Skarmoutsou N., Stamoulos K. dan Fakiri E. 2012. Tuberculous Meningitis. Prof. George Wireko-Brobby (Ed.). InTech 7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta. 8. Marx G.E. dan Chan E.D. 2011. Tuberculous Meningitis: Diagnosis and Treatment Overview. Hindawi Publishing Corporation: Tuberculous Research and Treatment: 1-9. 9. Masfiyah, Bintoro A.C. dan Hadi P. 2013. Gambaran Definitif Meningitis Tuberkulosa di RSUP dr. Kariadi Semarang Studi Deskriptid pada Pasien Dewasa dengan Menggunakan Real Time PCR dengan Target Amplifikasi pada IS6110 Mycobaterium tuberculosis complex. Sains Medika 5(2): 62-67. 10. Meisadona G., Soebroto A.D., Estiasari R. 2015. Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis Bakterialis. Cermin Dunia Kedokteran-224 42(1):15-19. 11. Nursyamsi dan Rasjid HS Mariani. 2011.

TBC dengan Tes Mantoux di Bagian Ilmu

Kesehatan Anak Rsu Prof. Dr.R.D.Kandou Manado Periode 2001 – 2006. Inspirasi 14. 12. Pemula G. dan Apriliana E. 2016. Penatalaksanaan yang Tepat pada Meningitis Tuberkulosa. Jurnal Medula Unila 6(1): 50-54. 13. Principi N. dan Esposito S. 2012. Diagnosis and Therapy of Tuberculous Meningitis in Children. Elsevier: Tuberculosis 92: 377-383.

27 14. Rock R.B., Olin M., Baker C.A., Molitor T.W. dan Peterson P.K. 2008. Central Nervous System Tuberculosis: Pathogenesis and Clinical Aspects. Clinical Microbiology Reviews 21(2): 243-261. 15. Saberi A. dan Syed S.A. 1999. Meningeal Signs: Kernig’s Sign and Brudzinski’s Sign. Hospital Physician: 23-24. 16. Torok M.E. 2015. Tuberculous Meningitis: Advances in Diagnosis and Treatment. British Medical Bulletin 113: 117-131. 17. Triharinni T. dan Isvandiari M.A. 2014.Analisis Faktor yang Terkait Test Tuberculin pada Anak dengan Riwayat Kontak TB. Jurnal Berkala Epidemiologi 2(2): 151-160.

Related Documents


More Documents from "Mohammad Aji"