REFERAT
Pembimbing : Dr. Teppy Hartubi Djohar, Sp.THT
Penyusun : Putri Yuliani 030.05.174
Kepaniteraan Klinik Ilmu THT Rumah Sakit Otorita Batam Periode 17 Agustus – 19 September 2009 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
LEMBAR PENGESAHAN
Referat yang berjudul “Kolesteatoma” telah diterima dan disetujui pada tanggal
September 2009
oleh pembimbing sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher Rumah Sakit Otorita Batam
Batam,
September 2009
dr. Teppy Hartubi Djohar, Sp.THT
Kata Pengantar Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis ini. Karya tulis berjudul “Kolesteatoma” ini dibuat dengan tujuan sebagai salah satu syarat kelulusan dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu THT di Rumah Sakit Otorita Batam. Dalam pembuatan karya tulis ini, saya mengambil referensi dari literatur dan jaringan internet. 2
Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing saya, dr.Teppy Hartubi Djohar, Sp.THT, yang telah memberikan bimbingannya dalam proses penyelesaian karya tulis ini, juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril maupun dalam mencari referensi yang lebih baik. Selain itu, saya juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman saya yang berada dalam satu kelompok kepaniteraan yang sama, Christian Sunur (030.05.058) dan Meimi Devita (030.04.149) atas dukungan dan bantuan mereka selama saya menjalani kepaniteraan ini. Pengalaman saya dalam kepaniteraan ini akan selalu menjadi suatu inspirasi yang unik. Saya juga mengucapkan rasa terimakasih yang mendalam kepada kedua orangtua saya atas bantuan, dukungan baik secara moril maupun materil, dan kasihnya. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Penulis,
Putri Yuliani 030.05.174
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan.............................................................................................................2 Kata Pengantar.....................................................................................................................3 Daftar Isi..............................................................................................................................4 Bab I Pendahuluan.........................................................................................................................5 Bab II Anatomi Telinga...................................................................................................................6 3
Bab III Kolesteatoma........................................................................................................................9 Bab IV Kesimpulan........................................................................................................................20 Daftar Pustaka....................................................................................................................21
Bab I Pendahuluan Kolesteatoma telah diakui selama puluhan tahun sebagai lesi destruktif dasar tengkorak yang bisa mengikis dan menghancurkan struktur penting dalam tulang temporal. Kolesteatoma berpotensi untuk menyebabkan komplikasi pada sistem saraf pusat (misalnya, abses otak,meningitis) membuat lesi ini bersifat fatal. Kolesteatoma pertama kali dijelaskan pada tahun 1829 oleh Cruveilhier, tetapi dinamakan pertama kali oleh Muller pada tahun 1858. Sepanjang paruhawal abad ke-20, kolesteatoma dikelola dengan eksteriorasi. Sel pneumatisasi mastoid dieksenterasi, dinding posterior kanalis akustikus eksternus dihilangkan, dan membuka saluran telinga sehingga menghasilkan rongga yang diperbesar untuk menjamin pertukaran udara yang memadai dan untuk memudahkan melakukan inspeksi visual.1 4
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, sebuah pendekatan baru diperkenalkan oleh William dan Howard Otologic DPR Medical Group . Bedah anatomi wajah digambarkan dan dijelaskan oleh William House, MD, seorang perintis ahli penyakit telinga dari abad ke-20. Operasi melalui reses wajah menghasilkan akses ke telinga tengah melalui tulang mastoid tanpa menghapus dinding kanal posterior. Dengan teknik ini, kolesteatoma dapat dihilangkan tanpa menghancurkan dinding kanal posterior.1 Seiring waktu, semakin banyak ahli bedah berusaha untuk membiarkan dasar-dasar struktur anatomi telinga dan tulang temporal tetap utuh dengan menjaga keutuhan dinding kanal. Paham yang berupaya untuk menjaga anatomi di dekat telinga tetap normal mengundang kontroversi besar. Para ahli bedah cenderung untuk memilih antara teknik lama canal wall-down atau filosofi baru yaitu, canal wall-up. Selama dua dekade terakhir, sebagian besar ahli bedah otologi mengambil jalan tengah. Kebanyakan ahli bedah otologi di Amerika Serikat sekarang melakukan kedua teknik tersebut, memilih satu atau yang lain dari operasi ini tergantung pada keadaan individual pasien masing-masing.
Bab II ANATOMI TELINGA2 Auris (telinga) dibedakan atas bagian luar, tengah, dan dalam. Auris berfungsi ganda : untuk keseimbangan dan untuk pendengaran. Membrana tymphanica memisahkan auris externa dari auris media atau cavum tymphani. Tuba auditiva (tuba Eustachius) menghubungkan auris dengan nasopharynx.
5
Gambar 1. Anatomi Telinga
Telinga Tengah Auris media terletak di dalam pars petrosa ossis temporalis. Auris media terdiri dari cavitas tymphanica, yakni rongga yang terletak langsung di sebelah dalam membrana tymphanica, dan recessuss epitymphanicus. Ke depan auris media berhubungan dengan nasopharynx melalui tuba auditiva. Ke arah poterosuperior cavitas tympanica berhubungan dengan cellulae mastoidea melalui antrum mastoideum. Cavitas tympanica dilapisi membran mukosa yang bersinambungan dengan membran mukosa pelapis tuba auditiva, cellulae mastoidea, dan antrum mastoideum. Di dalam auris media terdapat : •
Ossicula auditoris (malleus, incus, stapes)
•
Musculus stapedius dan musculus tensor tympani
•
Chorda tympani, cabang nervus cranialis VII
•
Plexus tympanicus pada promontorium
Dinding-dinding Auris Media (Cavum Tympanica) Auris media yang berbentuk seperti kotak sempit, memiliki sebuah atap, sebuah dasar, dan empat dinding. Atapnya (dinding tegmental) dibentuk oleh selembar tulang yang tipis, yaitu tegmen tympani, yang memisahkan cavum tympanica dari dura pada dasar fossa cranii media. Dasarnya (dinding jugular) dibentuk oleh selapis tulang yang memisahkan cavum tympanica dari bulbus superior vena jugularis interna. Dinding lateral (bagian berupa selaput) 6
dibentuk hampir seluruhnya oleh membrana tympanica; di sebelah superior, dinding ini dibentuk oleh dinding lateral recessus epitympanicus (manubrium
yang
berupa
tulang
mallei
terbaur
dalam
membrana tympanica, dan caput mallei menonjol ke dalam recessus epitympanicus). Dinding
medial
atau
dinding
labirintal memisahkan cavitas tympanica dari auris interna. Dinding anterior (dinding karotid) memisahkan cavitas tympanica dari Gambar 2. Kavum Tympani
canalis carotis, pada bagian superior dinding ini terdapat ostium pharyngeum tubae auditoriae dan terusan musculus tensor
tympani. Dinding posterior (dinding mastoid) dihubungkan dengan antrum mastoid melalui aditus dan selanjutnya dengan cellulae mastoideus; ke arah anteroinferior antrum mastoideum berhubungan dengan canalis facialis. Tuba Auditiva (tuba Eustachius) Tuba auditiva menghubungkan cavitas tympanica dengan nasopharynx; muaranya disini terdapat di bagian belakang meatus nasalis inferior pada cavum nasi. Bagian sepertiga posterior tuba auditiva terdiri dari tulang dan sisanya berupa tulang rawan. Tuba auditiva dilapisi membran mukosa yang ke posterior sinambung dengan membran mukosa nasopharynx. Tuba auditiva berfungsi sebagai pemerata tekanan dalam auris media dan tekanan udara lingkungan, dan dengan demikian menjamin bahwa membran tympani dapat bergerak secara bebas. Dengan memungkinkan udara memasuki dan meninggalkan cavum tympani, tekanan di kedua sisi membran tympani disamakan. Ossicula Auditoria Ossicula auditoria (malleus, incus, dan stapes) membentuk sebuah rangkaian tulang yang teratur melintang di dalam cavitas tympanica, dari membranan tympanica ke fenestra vestibuli. Malleus melekat pada membran tympani, dan stapes menempati fenestra vestibuli. Incus terdapat di antara dua tulang tersebut dan bersendi dengan keduanya. Ossicula auditoria dilapisi membran mukosa yang juga melapisi cavum tympani. Bagian superior malleus yang agak membulat, yakni caput mallei, terletak di dalam recessus epitympanicus. Collum mallei terdapat pada bagian membran tympani yang kendur, 7
dan manubrium mallei tertanam di dalam membran tympani dan bergerak bersamanya. Caput mallei bersendi dengan incus, dan tendo musculus tensor tympani berinsersi pada manubrium mallei. Chorda tympani menyilang permukaan medial collum mallei. Corpus incudis yang besar, terletak di dalam recessus epitympanicus dan disini bersendi dengan caput mallei. Crus longum incudis bersendi dengan stapes, dan crus breve incudis berhubungan dengan dinding posterior cavum tympani melalui sebuah ligamentum. Basis stapedis, tulang pendengar terkecil, menempati fenestra vestibuli pada dinding medial cavum tympani. Capur stapedis yang mengarah ke lateral, bersendi dengan incus. Malleus berfungsi sebagai pengungkit yang lengan panjangnya melekat pada membran tympani. Basis stapedis berukuran jauh lebih kecil daripada membran tympani. Akibatnya ialah bahwa gaya getar stapes 10 kali gaya getar membran tympani. Maka, ossicula auditoris meningkatkan gaya getaran, tetapi menurunkan amplitudi getaran yang disalurkan dari membran tympani. Terdapat dua otot menggerakkan ossicula auditoris dan dengan demikian mempengaruhi membran tympani, yaitu : musculus tensor tympani dan musculus stapedius. Musculus tensor tympani berinsersi di manubrium mallei dipersarafi oleh nervus mandibullaris, menarik manubrium mallei ke medial, menegangkan membran tympani, dan mempersempit amplitudo getarannya. Ini cenderung mencegah terjadinya kerusakan pada auris interna sewaktu harus menerima bunyi yang keras. Musculus stapedius berinsersi di collum stapedis dipersarafi oleh nervus cranialis VII, menarik stapes ke posterior dan menjungkitkan basis stapedis pada fenestra vestibuli, dan dengan demikian menarik ketat ligamentum annulare stapediale dan memperkecil amplitudo getaran. Otot ini juga mencegah terjadinya gerak stapes yang berlebih. Bab III KOLESTEATOMA Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma bertambah besar. Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johannes Muller pada tahun 1838 karena disangka kolesteatoma merupakan suatu tumor, yang kemudian ternyata bukan. Beberapa istilah lain yang diperkenalkan oleh para ahli antara lain : keratoma (Schucknecht), squamos eipteliosis (Birrel, 1958), kolesteatosis (Birrel, 1958), epidermoid kolesteatoma (Friedman, 1959), kista epidermoid (Ferlito, 1970), epidermosis (Sumarkin, 1988).3 8
Kolesteatoma terdiri dari epitel skuamosa yang terperangkap di dalam basis cranii. Epitel skuamosa yang terperangkap di dalam tulang temporal, telinga tengah, atau tulang mastoid hanya dapat memperluas diri dengan mengorbankan tulang yang mengelilinginya. Akibatnya, komplikasi yang terkait dengan semakin membesarnya kolesteatoma adalah termasuk cedera dari struktur-struktur yang terdapat di dalam tulang temporal. Kadangkadang, kolesteatomas juga dapat keluar dari batas-batas tulang temporal dan basis cranii. Komplikasi ekstrarempotal dapat terjadi di leher, sistem saraf pusat, atau keduanya. Kolesteatomas kadang-kadang menjadi cukup besar untuk mendistorsi otak normal dan menghasilkan disfungsi otak akibat desakan massa.1 Erosi tulang terjadi oleh dua mekanisme utama. Pertama, efek tekanan yang menyebabkan remodelling tulang, seperti yang biasa terjadi di seluruh kerangka apabila mendapat tekanan (desakan) secara konsisten dari waktu ke waktu. Kedua, aktivitas enzim pada kolesteatoma dapat meningkatkan proses osteoklastik pada tulang, yang nantinya akan meningkatkan kecepatan resorpsi tulang. Kerja enzim osteolitik ini tampaknya meningkat apabila kolesteatoma terinfeksi. Epidemiologi Insiden kolesteatoma tidak diketahui, tetapi kolesteatoma merupakan indikasi yang relatif sering pada pembedahan otologi (kira-kira setiap minggu di praktek otologi tersier). Kematian akibat komplikasi intrakranial dari kolesteatoma sekarang jarang terjadi, yang berkaitan dengan diagnosis dini, intervensi bedah tepat waktu, dan terapi antibiotik yang adekuat. Akan tetapi kolesteatomas tetap menjadi penyebab umum relatif tuli konduktif sedang pada anak-anak dan orang dewasa.1 Patogenesis dan Klasifikasi Banyak teori dikemukakan oleh para ahli tentang patogenesis kolesteatoma, antara lain adalah : teori invaginasi, teori migrasi, teori metaplasi dan teori implantasi. Teori tersebut akan lebih mudah dipahami bila diperhatikan definisi kolesteatoma menurut Gray (1964) yang mengatakan : kolesteatoma adalah epitel kulit yang berada pada tempat yang salah. Epitel kulit liang telinga merupakan suatu daerah cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat di liang telinga dalam waktu yang lama, maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.3 Kolesteatoma dapat dibagi atas dua jenis menurut etiologinya : 1. Kolesteatoma kongenital1,3
Kolesteatoma kongenital terbentuk sebagai akibat dari epitel skuamosa terperangkap di dalam tulang temporal selama embriogenesis, ditemukan pada telinga 9
dengan membran tympani utuh tanpa ada tanda-tanda infeksi. Lokasi kolesteatoma biasanya di mesotimpanum anterior, daerah petrosus mastoid atau di cerebellopontin angle. Kolesteatoma di cerebellopontin angle sering ditemukan secara tidak sengaja oleh ahli bedah saraf. Penderita sering tidak memiliki riwayat otitis media supuratif kronis yang berulang, riwayat pembedahan otologi sebelumnya, atau perforasi membran timpani. Kolesteatoma kongenital paling sering diidentifikasi pada anak usia dini (6 bulan – 5 tahun). Saat Gambar 3. Kolesteatoma kongenital. Tampak massa putih di belakang membran tympani yang intak
berkembang, kolesteatom dapat menghalangi tuba estachius dan menyebabkan cairan telinga tengah kronis dan gangguan pendengaran konduktif. Kolesteatom juga dapat meluas ke posterior hingga meliputi tulang-tulang pendengaran dan, dengan mekanisme ini,
menyebabkan tuli
konduktif. 2. Kolesteatoma akuisital, jenis ini terbagi dua : a. Kolesteatoma akuisital primer Kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membrana tymphani. Kolesteatoma timbul akibat proses invaginasi dari membran tymphani pars flaksida karena adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba (Teori Invaginasi). Kolesteatoma
akuisital
primer
timbul sebagai akibat dari retraksi membran timpani. Kolesteatoma akuisital primer klasik berawal dari retraksi pars flaksida di bagian medial membran timpani yang terlalu dalam sehingga mencapai epitimpanum. Saat proses ini berlanjut, dinding lateral dari epitympanum (disebut juga skutum) secara perlahan terkikis, menghasilkan defek pada dinding lateral epitympanum yang perlahan meluas. Membran timpani terus yang mengalami retraksi di bagian medial sampai melewati pangkal dari tulang-tulang pendengaran hingga ke epitympanum posterior. Destruksi tulang-tulang pendengaran umum terjadi. 10
Jika kolesteatoma meluas ke posterior sampai ke aditus ad antrum dan tulang mastoid itu sendiri, erosi
Gambar 4. Kolesteatoma pada daerah atik. Merupakan kolesteatoma akuisital primer pada stadium paling awal
tegmen mastoid dengan eksposur dura
dan/atau
erosi
kanalis
semisirkularis lateralis dapat terjadi dan
mengakibatkan
ketulian
dan
vertigo. Kolesteatoma akuisital primer tipe kedua terjadi apabila kuadran posterior dari membran timpani mengalami retraksi ke bagian posterior telinga tengah. Apabila retraksi meluas ke medial dan posterior, epitel skuamosa akan menyelubungi bangunan-atas stapes dan membran tympani terteraik hingga ke dalam sinus timpani. Kolesteatoma primer
yang berasal dari membran
timpani posterior cenderung mengakibatkan eksposur saraf wajah (dan kadang-kadang kelumpuhan) dan kehancuran struktur stapes. b. Kolesteatoma akuisital sekunder3,4
Merupakan kolesteatoma yang terbentuk setelah adanya perforasi membran tympani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran tympani ke telinga tengah (Teori Migrasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum tymphani karena iritasi infeksi yang berlangsung lama ( Teori Implantasi). Kolesteatoma akuisital sekunder terjadi sebagai akibat langsung dari beberapa jenis cedera pada membran timpani. Cedera ini dapat berupa perforasi yang timbul sebagai akibat dari otitis media akut atau trauma, atau mungkin karena manipulasi bedah pada gendang telinga. Suatu prosedur yang sederhana seperti insersi tympanostomy tube dapat mengimplan epitel skuamosa ke telinga tengah, yang akhirnya menghasilkan kolesteatoma. Perforasi marginal di bagian posterior adalah yang paling mungkin menyebabkan pembentukan kolesteatoma. Retraksi yang mendalam dapat menghasilkan pembentukan kolesteatoma jika retraksi menjadi cukup dalam sehingga menjebak epitel deskuamasi.
11
Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan kuman (infeksi), yang paling sering adalah Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Sebaliknya infeksi dapat memicu respons imun lokal yang mengakibatkan produksi berbagai mediator inflamasi dan berbagai sitokin. Sitokin yang diidentifikasi terdapat pada matriks kolesteatoma adalah interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor-α (TNF-α), tumor growth factor (TGF). Zat-zat ini dapat menstimulasi sel-sel keratinosit matriks kolesteatoma bersifat hiperproliferatif, destruktif, dan mampu berangiogenesis. Tabel 1. Distribusi kuman dari kavum tympani pada Otitis Media Supuratif Kronis dengan Kolesteatoma5
Jenis Kuman Pseudomonas aeruginosa Proteus mirabilis Difteroid Streptococcus β-hemolyticus Enterobacter sp.
Jumlah temuan 9 17 1 1 1
31,5% 58,5% 3,3% 3,3% 3,3%
Massa kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ di sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang diperhebat oleh karena pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirintitis, meningitis, dan abses otak.
Granuloma Kolesterol9 Granuloma kolesterol adalah kista jinak yang terdapat pada ujung pars petrosus, yang merupakan bagian dari tulang tengkorak dan berdekatan dengan telinga tengah. Granuloma ini merupakan massa yang berisi cairan, lipid, dan kristal-kristal kolesterol yang dikelilingi oleh lapisan fibrosa. Didalam tulang tengkorak, terdapat banyak ruang-ruang yang berisi udara yang disebut juga air cells. Selama ini dipercaya bahwa granuloma kolesterol terbentuk apabila air cells yang terdapat di pars petrosus mengalami obstruksi. Obstruksi akan membentuk suatu ruangan yang hampa udara sehingga menyebabkan darah akan mengalir ke dalam air cells tersebut. Sel-sel darah merah ini akan memecah, sehingga kolesterol yang terkandung di dalam hemoglobin akan terbebas. Sistem imun tubuh akan bereaksi terhadap kolesterol ini sebagai benda asing, sehingga menimbulkan reaksi inflamasi. Pembuluh-pembuluh darah kecil disekitarnya akan mengalami ruptur sebagai akibat dari reaksi inflamasi. Perdarahan yang berulang akan menyebabkan massa granuloma semakin mudah meluas. 12
Granuloma dapat terbentuk dimana saja di dalam tubuh kita apabila ada reaksi terhadap benda asing, dan pada sebagian besar kasus biasanya tidak menimbulkan gejala ataupun efek yang serius. Meskipun begitu, granuloma kolesterol pada pars petrosus berbahaya karena kedekatannya dengan telinga dan beberapa saraf kranial. Apabila massa ini dibiarkan tanpa diterapi dan semakin meluas, tuli permanen dan/atau kerusakan saraf dapat terjadi, begitu juga destruksi tulang. Faktor Risiko Granuloma kolesterol timbul sekunder dari kondisi-kondisi yang menyebabkan obstruksi dari air cells. Beberapa kondisi tersebut termasuk infeksi telinga kronis, kolesteatoma, atau trauma kepala yang menyebabkan perdarahan pada area apex pars petrosus. Gejala klinis Gejala klinis dari granuloma kolesterol antara lain gangguan pendengaran unilateral, tinnitus, facial twitching, vertigo, dan facial numbness. Diagnosis Pada pemeriksaan telinga dengan otoskop, ditemukan membran tympani berwarna kebiruan atau terdapat bayangan kecoklatan di belakangnya. Pemeriksaan pencitraan (MRI , CT) dapat membantu membedakan granuloma kolesterol dengan lesi lainnya, khususnya dengan kolesteatoma. Audiogram digunakan untuk mengevaluasi gangguan pendengaran.
Presentasi Klinis1,3,4,6 Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri, yang terus-menerus atau sering berulang. Ketika kolesteatoma terinfeksi, kemungkinan besar infeksi tersebut sulit dihilangkan. Karena kolesteatoma tidak memiliki suplai darah (vaskularisasi), maka antibiotik sistemik tidak dapat sampai ke pusat infeksi pada kolesteatoma. Antibiotik topikal biasanya dapat diletakkan mengelilingi kolesteatoma sehingga menekan infeksi dan menembus beberapa milimeter menuju pusatnya, akan tetapi, pada kolestatoma terinfeksi yang besar biasanya resisten terhadap semua jenis terapi antimikroba. Akibatnya, otorrhea akan tetap timbul ataupun berulang meskipun dengan pengobatan antibiotik yang agresif. Gangguan pendengaran juga merupakan gejala yang umum pada kolesteatoma. Kolesteatoma yang besar akan mengisi ruang telinga tengah dengan epitel deskuamasi dengan atau tanpa sekret mukopurulen sehingga menyebabkan kerusakan osikular yang akhirnya menyebabkan terjadinya tuli konduktif yang berat. 13
Pusing adalah gejala umum relatif pada kolesteatoma, tetapi tidak akan terjadi apabila tidak ada fistula labirin akibat erosi tulang atau jika kolesteatoma mendesak langsung pada stapes footplate. Pusing adalah gejala yang mengkhawatirkan karena merupakan pertanda dari perkembangan komplikasi yang lebih serius. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang paling umum dari kolesteatoma adalah drainase dan jaringan granulasi di liang telinga dan telinga tengah tidak responsif terhadap terapi antimikroba. Suatu perforasi membran timpani ditemukan pada lebih dari 90% kasus. Kolesteatoma kongenital merupakan pengecualian, karena seringkali gendang telinga tetap utuh sampai komponen telinga tengah cukup besar. Kolesteatoma yang berasal dari implantasi epitel skuamosa kadangkala bermanifestasi sebelum adanya gangguan pada membran tympani. Akan tetapi, pada kasus-kasus seperti ini, (kolesteatoma kongenital, kolesteatoma implantasi) pada akhirnya kolesteatoma tetap saja akan menyebabkan perforasi pada membran tympani. Seringkali satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik adalah sebuah kanalis akustikus eksternus yang penuh terisi pus mukopurulen dan jaringan granulasi. Kadangkala menghilangkan infeksi dan perbaikan jaringan granulasi baik dengan antibiotik sistemik maupun tetes antibiotik ototopikal sangat sulit dilakukan. Apabila terapi ototopikal berhasil, maka akan tampak retraksi pada membran tympani pada pars flaksida atau kuadaran posterior. Pada kasus yang amat jarang, kolesteatoma diidentifikasi berdasarkan salah satu komlikasinya, hal ini kadangkala ditemukan pada anak-anak. Infeksi yang terkait dengan kolesteatoma dapat menembus korteks mastoid inferior dan bermanifestasi sebagai abses di leher. Kadangkala, kolesteatoma bermanifestasi pertama kali dengan tanda-tanda dan gejala komplikasi pada susunan saraf pusat, yaitu : trombosis sinus sigmoid, abses epidural, atau meningitis. Indikasi Pembedahan1 Hampir semua kolesteatoma harus dibersihkan. Kadangkala dilakukan pengecualian apabial keadaan umum pasien sangat buruk sehingga membuat prosedur pembedahan terlalu berisiko. Beberapa pasien yang memiliki kolesteatoma di satu-satunya telinga yang dapat mendengar, dengan alasan yang rasional, enggan untuk menjalani operasi. Risiko kehilangan pendengaran akibat dari operasi pengangkatan umumnya lebih kecil daripada risiko yang berhubungan dengan membiarkan kolesteatoma in situ. Kontraindikasi Pembedahan1
14
Gangguan pendengaran di telinga kontralateral adalah kontraindikasi relatif untuk pembedahan. Seringkali, kolesteatoma menyebabkan risiko lebih besar untuk sisa pendengaran daripada pembedahan itu sendiri, dan, lebih sering daripada tidak, operasi pengangkatan adalah pilihan yang baik bahkan ketika kolesteatoma berada di satu-satunya telinga yang dapat mendengar. Pemeriksaan Pencitraan CT scan merupakan modalitas pencitraan pilihan karena CT scan dapat mendeteksi cacat tulang yang halus sekalipun. Namun, CT scan tidak selalu bisa membedakan antara jaringan granulasi dan kolesteatoma. Densitas kolesteatoma dengan cairan serebrospinal hampir sama, yaitu kurang-lebih -2 sampai +10 Hounsfield Unit, sehingga efek dari desakan massa itu sendirilah yang lebih penting dalam mendiagnosis kolesteatoma.7 Gaurano (2004) telah menunjukkan bahwa perluasan antrum mastoid dapat dilihat pada 92% dari kolesteatoma telinga tengah dan 92% pulalah hasil CT scan yang membuktikan erosi halus tulang-tulang pendengaran. Defek yang dapat dideteksi dengan menggunakan CT scan adalah sebagai berikut4: a. erosi skutum b. fistula labirin c. cacat di tegmen
d. keterlibatan tulang-tulang pendengaran e. erosi tulang-tulang pendengaran atau diskontinuitas f.
anomali atau invasi dari saluran tuba
Gambar 5. CT scan yang menggambarkan erosi tulang dan kolesteatoma
15
MRI digunakan apabila ada masalah sangat spesifik yang diperkiraka dapat melibatkan jaringan lunak sekitarnya. Masalah-masalah ini termasuk yang berikut: a. keterlibatan atau invasi dural b. abses epidural atau subdural c. Herniasi otak ke rongga mastoid d. Peradangan pada labirin membran atau saraf fasialis
e. trombosis sinus sigmoid Penatalaksanaan Terapi Medis Terapi medis bukanlah pengobatan yang sesuai untuk kolesteatoma. Pasien yang menolak pembedahan atau karena kondisi medis yang tidak memungkinkan untuk anestesi umum harus membersihkan telinga mereka secara teratur. Pembersihan secara teratur dapat membantu mengontrol infeksi dan dapat memperlambat pertumbuhan kolesteatom, tapi tidak dapat menghentikan ekspansi lebih lanjut dan tidak menghilangkan risiko komplikasi. Terapi antimikroba yang utama adalah terapi topikal, akan tetapi terapi sistemik juga dapat membantu sebagai terapi tambahan.4,7 Antibiotik oral bersama pembersihan telinga atau bersama dengan tetes telinga lebih baik hasilnya daripada masing-masing diberikan tersendiri. Diperlukan antibiotik pada setiap fase aktif dan dapat disesuaikan dengan kuman penyebab. Antibiotik sistemik pertama dapat langsung dipilih yang sesuai dengan keadaan klinis, penampilan sekret yang keluar serta riwayat pengobatan sebelumnya. Sekret hijau kebiruan menandakan Pseudomonas , sekret kuning pekat seringkali disebabkan oleh Staphylococcus, sekret berbau busuk seringkali disebabkan oleh golongan anaerob.5 Kotrimokasazol, Siprofloksasin atau ampisilin-sulbaktam dapat dipakai apabila curiga Pseudomonas sebagai kuman penyebab. Bila ada kecurigaan terhadap kuman anaerob, dapat dipakai metronidazol, klindamisin, atau kloramfenikol. Bila sukar mentukan kuman penyebab, dapat dipakai campuran trimetoprim-sulfametoksazol atau amoksisillin-klavulanat. Antibitotik topikal yang aman dipakai adalah golongan quinolon. Karena efek samping terhadap pertumbuhan tulang usia anak belum dapat disingkirkan, penggunaan ofloksasin harus sangat hati-hati pada anak kurang dari 12 tahun.5 Pembersihan liang telinga dapat menggunakan larutan antiseptik seperti Asam Asetat 1-2%, hidrogen peroksisa 3%, povidon-iodine 5%, atau larutan garam fisiologis. Larutan
16
harus dihangatkan dulu sesuai dengan suhu tubuh agar tidak mengiritasi labirin setelah itu dikeringkan dengan lidi kapas.5 Terapi Pembedahan Terapi pembedahan bertujuan untuk mengeluarkan kolesteatoma. Dalam keadaan tertentu, ahli bedah dapat membuat keputusan untuk menggunakan teknik canal wall up atau canal wall down. Jika pasien memiliki beberapa episode kekambuhan dari kolesteatoma dan keinginan
untuk
menghindari
operasi masa depan, teknik canal wall down adalah yang paling sesuai. Beberapa pasien tidak dapat menerima
tindakan
canal-wall
down.Pasien tersebut dapat diobati dengan tertutup (canal wall-up), asalkan mereka memahami bahwa penyakit lebih mungkin kambuh dan mereka mungkin membutuhkan beberapa
serial
prosedur
pembedahan.8 Meskipun semua kelebihan dan
kekurangan
kedua
teknik
operasi itu menjadi relatif di tangan ahli bedah yang berpengalaman, tiap ahli bedah telinga mempunyai alasan sendiri mengapa memilih satu teknik dari teknik yang lain. Hal yang jelas berbeda adalah bahwa timpanoplasti dinding utuh (canal wall-up) berusaha maksimal mempertahankan bentuk fisiologis liang telinga dan telinga tengah.5 Mastoidektomi radikal dengan timpanoplasti dinding runtuh Mastoidektomi radikal klasik adalah tindakan membuang seluruh sel-sel mastoid di rongga mastoid, meruntuhkan seluruh dinding kanalis akustikus eksternus posterior, pembersihan total sel-sel mastoid yang memiliki drainase ke kavum timpani. Inkus dan malleus dibuang, hanya stapes yang dipertahankan. Begitu pula seluruh mukosa kavum tympani. Timpanoplasti dinding runtuh merupakan modifikasi dari mastoidektomi radikal, bedanya adalah mukosa kavum timpani dan sisa tulang-tulang pendengaran dipertahankan 17
setelah proses patologis dibersihkan. Tuba eustachius tetap dipertahankan dan dibersihkan agar terbuka. Kemudian kavitas operasi ditutup dengan fasia m.temporalis baik berupa free fascia graft maupun berupa jabir fasia m.temporalis, dilakukan juga rekonstruksi tulangtulang pendengaran. Tabel 2. Keunggulan dan kelemahan timpanoplasti dinding utuh dan dinding runtuh5
Teknik Operasi Timpanoplasti Fisiologik Residivitas Kesulitan Komplikasi (iatrogenik) Perbaikan pendengaran Keperluan operasi kedua Pembersihan spontan rongga ooperasi (self cleansing) Hearing aid
Dinding Utuh Lebih fisiologik Lebih tinggi Lebih tinggi Lebih tinggi Lebih tinggi Ya Lebih baik Lebih mudah
Dinding Runtuh Kurang fisiologik Lebih rendah Lebih rendah Lebih rendah Lebih rendah Tidak Memerlukan lebih kontrol Sukar
Komplikasi5 Komplikasi operasi pada mastoidektomi dan timpanoplasti dibagi berdasarkan komplikasi segera dan komplikasi lambat. Komplikasi segera termasuk parese nervus fasialis, kerusakan korda timpani, tuli saraf, gangguan keseimbangan, fistel labirin, trauma pada sinus sigmoid, bulbus jugularis, likuor serebrospinal. Infeksi pasca-operasi juga dapat dimasukkan sebagai komplikasi segera. Komplikasi lambat termasuk kolesteatoma rekuren, reperforasi, lateralisasi tandur, stenosis liangg telinga luar, displasi atau lepasnya prostesis tulang pendengaran yang dipasang. Pada kebanyakan, kasus trauma nervus fasialis tidak disadari pada waktu operasi. Trauma nervus fasialis yang paling sering terjadi adalah pada pars vertikalis waktu melakukan mastoidektomi, bisa juga terjadi pada pars horizontal waktu manipulasi daerah di dekat stapes atau mengorek daerah bawah inkus baik dari arah mastoid ataupun dari arah kavum timpani. Trauma dapat lebih mudah terjadi bila tpografi daerah sekitarnya sudah tidak dikenali dengan baik, misalnya pada kelainan letak kongenital, jaringan parut karena operasi sebelumnya, destruksi kanalis fasialis karean kolesteatoma. Derajat parese harus ditentukan, paling sederhana adalah menurut klasifikasi HouseBregmann. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan EMG untuk melihat derajat kerusakan pada saraf dan menentukan prognosis penyembuhan spontan. Trauma operasi terhadap labirin sukar diketahui dengan segera, sebab vertigo pascaoperasi dapat terjadi hanya karena iritasi selam operasi, belum tentu karena cedera operasi. Trauma terhadap labirin bisa menyebabkan tuli saraf total. Manipulasi di daerah aditus ad 18
sering
antrum dan sekitarnya pada lapangan operasi yang ditutupi oleh jaringa kolesteatoma dan matriks koleteatoma dapat menyebabkan fistel labirin. Trauma terhadap tulang pendengaran diperkirakan akan memperbuuk sistem konduksi telinga tengah sedapat mungkin langsung rekonstruksi. Trauma terhadap dinding sinus dan duramater sehingga terjadi perdarahan dan bocornya cairan otak, bila tidak luas dapat ditungggu sebentar dan langsung ditutup dengan tandu komposit sampai kebocoran berhenti. Trauma pada sinus lateralis, sinus sigmoid, bulbus jugularis, dan vena emissari dapat menyebabkan perdarahan besar. Prognosis1,4,7 Mengeliminasi kolesteatoma hampir selalu berhasil, namun mungkin memerlukan beberapa kali pembedahan. Karena pada umumnya pembedahan berhasil, komplikasi dari pertumbuhan tidak terkendali dari kolesteatoma sekarang ini jarang terjadi. Timpanoplasti dinding runtuh menjanjikan tingkat kekambuhan yang sangat rendah dari kolesteatoma. Pembedahan ulang pada kolesteatoma terjadi pada 5% kasus, yang cukup menguntungkan bila dibandingkan tingkat kekambuhan timpanoplasti dinding utuh yang 2040%. Meskipun demikian, karena rantai osikular dan/atau membran tympani tidak selalu dapat sepenuhnya direstorasi kembali normal, maka kolesteatoma tetaplah menjadi penyebab umum relatif tuli konduktif permanen.
BAB IV KESIMPULAN Dari semua penjabaran mengenai kolesteatom pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : •
Bahwa meskipun banyak teori yang berusaha menjelaskan mengenai terbentuknya kolesteatoma, patogenesis dari terbentuknya kolesteatoma sebenarnya masih belum pasti hingga saat ini.
•
Sangat penting untuk memiliki pengetahuan dasar yang memadai mengenai karkteristik
anatomi
dan
fungsional
dari
telinga
tengah
untuk
mencapai
penatalaksanaan yang memuaskan untuk kolesteatoma •
Kunci dari didapatkannya diagnosis dini dan penatalaksanaan segera yang tepat untuk kolestatoma adalah evaluai yang hati-hati dan menyeluruh mengenai presentasi klinis hingga ke pencitraannya. 19
•
Penatalaksanaan yang paling sesuai adalah pembedahan dengan tujuan untuk mengeradikasi penyakit dan untuk mencapai kondisi telinga yang kering dan aman dari infeksi berulang.
•
Pendekatan secara bedah harus disesuaikan pada masing-masing pasien sesuai dengan keadaan umum dan luasnya penyebaran kolesteatoma itu sendiri.
•
Ahli bedah harus sangat waspada terhadap komplikasi pasca-pembedahan yang mengancam nyawa ataupun menyebabkan kondisi serius terhadap pasien seperti cedera nervus fasialis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Emedicine. June 29, 2009 (cited August 25, 2009). Available at http://emedicine.medscape.com/article/860080-overview. 2. Moore K, Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Edisi Pertama. Jakarta : Penerbit Hipokrates; 2002 3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2008 4. Waizel S. Temporal Bone, Aquired Cholesteatoma. Emedicine. May 1, 2007 (cited
August 27, 2009). Available at http://emedicine.medscape.com/article/384879overview 5. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005
20
6. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997 7. DeSouza CE, Menezes CO, DeSouza RA, Ogale SB, Morris MM, Desai AP. Profile
of congenital cholesteatomas of the petrous apex. J Postgrad Med [serial online] 1989 [cited 2009 Sep 5];35:93. Available from: http://www.jpgmonline.com/text.asp?1989/35/2/93/5702 8. Makishima T, Hauptman G. Cholesteatoma. University of Texas Medical Branch Department of Otolaryngology. January 25, 2006 (cited August 25, 2009). Available at www.utmb.edu/otoref/grnds/Cholest.../Cholest-slides-060125.pdf 9. Cholesterol Granuloma. March 16, 2006 (cited September 7, 2009). Available at http://www.upmc.com/Services/minc/conditionstreatments/Pages/cholesterolgranuloma.aspx
21