BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Organ hidung merupakan salah satu indera manusia yang berfungsi sebagai organ penciuman. Hidung secara faal juga sebagai pintu gerbang saluran pernapasan yang berfungsi sebagai proteksi jalan napas. Gejala yang muncul pada penyakit hidung dapat berupa lokal maupun sistemik. Gejala gejala lokal dapat berupa rinorrhea, kongestif, perdarahan, nyeri, anosmia atau perubahan penghidu lain serta sekret post-nasal. Penyakit sistemik dapat bermanifestasi dengan gejala dan perubahan jaringan hidung yang nyata. Secara fisiologi hidung dan sinus paranasal memiliki fungsi diantaranya; fungsi respirasi, penghidu, fonetik serta fungsi statik dan mekanik dan refleks nasal. Fungsi tersebut dapat mengalami gangguan apabila terjadi kerusakan atau ada sumbatan pada hidung. Rinorrhea bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu gejala yang ditimbulkan dari penyakit tertentu. Rinnorhea dapat terjadi pada satu maupun kedua rongga hidung dengan konsistensi cair atau kental dan berwarna jernih, kehijauan atau bercampur darah. Ada beberapa penyakit yang memiliki gejala berupa rinorrhea atau keluarnya cairan dari dalam hidung, yaitu akibat peradangan, adanya massa, trauma dan lainnya. I.2. Tujuan Tujuan penulisan laporan ini yaitu : 1. Sebagai pra-syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di SMF RSUP Persahabatan Jakarta. 2. Menambah ilmu dan wawasan serta membuka pikiran tentang ilmu kesehatan telinga hidung dan tenggorok khususnya cairan atau sekret yang keluar dari hidung, meliputi definisi, etiologi, tanda dan gejala, penegakkan diagnosis, dan penatalaksanaan
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Anatomi Hidung2,3 Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu : 1. Paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan 2. Di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan 3. Paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan. Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung.
Gambar 1. Anatomi Hidung Luar
2
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.
Gambar 2. Anatomi Hidung Dalam
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konka superior, konka media dan konka inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema
3
biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya
menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus
zigomatikus os maksilla.
Gambar 3. Sinus Paranasal
4
Pendarahan hidung Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu: 1. Arteri Etmoidalis anterior 2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika 3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.
Gambar 4. Pendarahan Hidung
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus.
5
Persarafan hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatina,
selain
memberi
persarafan
sensoris,
juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media. Fungsi penghidu berasal dari nervus Olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. II.2. Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, evolusioner dan fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1. Respirasi Untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaringg udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal. 2. Penghidu Terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu.
6
3. Fonetik Untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. 4. Statik dan mekanik Untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas 5. Refleks nasal Fungsi Respirasi Udara inspirasi masuk hidung menuju sistem respirasi melalu nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat celcius. Fungsi pengaturan suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh: 1. Rambut (vibrissae) 2. Silia 3. Palut lendir Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang lebih besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Fungsi Penghidu Bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
7
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecapan adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti. Juga untuk membedakan rasa asam. Fungsi Fonetik Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara. Refleks Nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas. II.3. Mukosa Hidung Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (respiratori) dan mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang bersilia dan diantaranya terdapat selsel goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan selreseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal, mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Di
8
bawah epitel terdapat tunika propria yang mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pda anyaman kapiler periglanduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar dan dindingnya dilapisi oleh aringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya, sinusoid memiliki otot sfingter. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom. II.4. Sistem Transpor Mukosilier Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersamau udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut lendir dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa submukosa. Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian dari permukaannya terdiri dari mukus yang lebih elastik dan banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease dan IgA sekretorik. Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedagkan IgG beraksi dalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri. Pada sinus maksila, sistem transport mukosilier menggerakkan sekret sepanang dinding anterior, medial, posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setingi ostium, sekret akan lebih kental tetapi drainasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak
9
akan menghentikan atau mengubah transport dan sekret akan melewati mukosa yang yang rusak tersebut. Jika sekret lebih kental, sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek. Gerakan sistem mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral. Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian ke atap, dinding lateral dan bagian inferior dari dinding anterior dan posterior menuju resesus frontal. Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan pada sinus etmoid terjadi gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah satu dindingnya. Terdapat dua rute besar transport mukosilier pada dinding lateral: 1. Merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Sekretnya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalan menuju tepi prosesus unsinatus, dan sepanjangn dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati bagian anterior orifisium tuba eustachius. Transport aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan skuamosa di nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan. 2. Merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior orifisium tuba eustachius. Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba eustachius. Sekret dari septum akan berjalan vertikal ke arah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba eustachius. II.5. Rhinorrhea Berasal dari kombinasi bahasa Yunani ‘rhinos’ yang berarti hidung dan ‘rrhea’ yang berarti aliran atau pembuangan atau pengeluaran. Rinorrhea dapat didefinisikan sebagai keluarnya cairan dari hidung atau sering disebut pilek. Sering muncul dari alergi atau penyakit tertentu dan menjadi gejala umum dalam demam atau common cold. Hal ini dapat menjadi suatu efek dari menangis, paparan suhu dingin, penyalahgunaan obat seperti opioid.
10
II.5.1 Tanda dan Gejala Meskipun pilek itu sendiri merupakan gejala penyakit infeksi, alergi, iritasi atau jenis peradangan hidung, namun masih ada beberapa gejala lain selain pilek itu sendiri. Selain keluarnya cairan dari mukosa hidung yang bisa saja berwarna jernih, kekuningan, kehijauan atau kecoklatan yang dapat menjadi salah satu pertanda dari suatu penyakit. Biasanya pilek juga disertai dengan kongesti di mukosa hidung sinusitis, bersin, sakit kepala, menggigil, hilang kesadaran, sakit tenggorokan, demam, epistaksis, gangguan pernapasan. Bisa juga menderita batuk ataupun malaise. II.5.2 Etiologi Rhinorrhea adalah suatu kondisi yang tidak bisa dihubungkan hanya dengan satu penyebab tapi berbagai penyebab. a. Alergi Dipicu oleh alergen atau suatu benda asing yang masuk ke dalam hidung melalui udara dan debu. b. Infeksi Infeksi virus maupun bakteri dapat memicu rhinorrhea. Agen tersebut yang bertanggung jawab dalam ISPA. c. Bahan Iritan Bahan iritan seperti penghilang cat kuku, cat, sampah, asap dan debu. d. Makanan pedas Makanan yang pedas atau kaya akan rasa pedas di dalamnya terdapat sebuah senyawa kimia capsaicin atau sejenisnya dapat menyebabkan inflamasi jaringan hidung yang menyebabkan keluarnya cairan mukosa yang cair. e. Cedera kepala Cedera yang mengenai kepala atau otak juga dapat menyebabkan Rinnorhea. Sebagai contohnya pada fraktur basis cranii yang menjadi alasan utama penyebab cerebrospinal rhinorrhea. II.5.3 Patofisiologi Secara histologis, mukosa hidung dilapisi dengan epitel kolumnar yang bersilia dan mengandung sel goblet serta kelenjar serosa dan mukosa. Apabila
11
terjadi peradangan, akan terjadi hipersekresi dan kerja silia terganggu. Pada fraktur basis cranii akan terjadi bocornya cairan serebrospinal yang akan mengalir ke hidung. II.5.4 Diagnosis Dalam diagnosis penyakit dengan gejala rinore dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik serta penunjang agar tatalaksana dapat dilakukan secara adekuat. Gejala pilek adalah awal atau sumber indikasi dari suatu penyakit. Sekret hidung dari satu atau kedua rongga hidung, konsistensinya sekret, encer, bening seperti air, kental, nanah atau bercampur darah. Sekret ini keluar hanya pada pagi hari atau pada waktu-waktu tertentu saja karena sangat penting untuk menentukan diagnosa dan penatalaksanaannya. Sekret hidung yang disebabkan karena infeksi hidung biasanya jernih hingga purulen. Sekret yang jernih seperti air dan banyak jumlahnya khas untuk alergi hidung. Bila sekret berwarna kuning kehijauan biasanya berasal dari sinusitis dan hidung dan bila bercampur darah hanya satu sisi patut dicurigai adanya suatu massa atau tumor hidung. Sekret dari hidung yang turun ke tenggorok disebut dengan post nasal drip yang kemungkinan berasal dari sinus paranasal. Anamnesa yang baik perlu menanyakan onset, progresifitas, karakteristik cairan, faktor yang memperbaiki dan memperburuk, riwayat trauma, tanda peradangan, riwayat alergi, pekerjaan, serta riwayat pengobatan. Pemeriksaan fisik dari rhinorrhea terdiri dari pemeriksaan bagian wajah dan hidung terutama di daerah sinus maksilaris dan frontalis. Sifat dan warna mukosa hidung juga dinilai. Periksa hidung, cek aliran udara dari kedua rongga hidung. Evaluasi ukuran, warna dan kondisi dari mukosa hidung. Apabila mukosa berwarna merah atau berwarna pucat, biru atau abu-abu maka periksa juga area di bawah masing-masing turbinate. Pemeriksaan penunjang seperti smear eosinophil dan prick test yang tepat serta stain Gram dan kultur bakteri dan jamur, dan foto rongent dari sinus pada kasus yang dicurigai rhinosinusitis dapat membantu diagnosis pada kasus rhinorrhea yang menetap.
12
II.6 Rhinitis Alergi II.6.1 Definisi Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai IgE.8 II.6.2 Etiologi Rinitis alergika adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.8 II.6.3 Patogenesis Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari "non-self" yang berpasangan dengan ”memory”. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh melibatkan limfosit T dan limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin yang bertindak di dalam dan di luar sistem kekebalan tubuh untuk mempengaruhi sistem tersebut dan
juga beraneka ragam mediator. Gell dan Coombs
menggambarkan empat jenis reaksi hipersensitivitas: langsung, sitotoksik, komplek imun, dan tertunda. Lainnya menyarankan penambahan dua jenis lagi (rangsangan antibodi dan antibodi-dependent, sitotoksisitas dimediasi sel). Namun, rhinitis alergi melibatkan terutama jenis ,Gell dan Coombs, reaksi hipersensitif tipe I. Karena berbagai terapi modalitas bekerja di berbagai titik dalam reaksi ini, penting bagi dokter untuk memiliki pemahaman umum tentang hal tersebut.9 Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.10
13
Gambar 5. Reaksi Alergi
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. 10 Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. 10 IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
14
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 10 Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. 10 II.6.4 Gambaran histopatologik Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
10
Gambaran yang
ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi
15
proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.10 Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: 1 - Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan. Misalnya: tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta jamur. - Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan. Misalnya: susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacangkacangan. - Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan Misalnya: penisilin dan sengatan lebah. - Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa. Misalnya: bahan kosmetik, perhiasan. Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member gejala asma bronchial dan rhinitis alergi. 10 Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari: 10 - Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. - Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier. - Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
16
II.6.5 Klasifikasi Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : - Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi). - Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial) Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus,tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan
pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan
perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan. Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 10 - Intermiten (kadang-kadang) Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. - Persisten/menetap Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 10 - Ringan : Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
17
- Sedang-berat : Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas. II.6.6 Faktor resiko Faktor resiko rhinitis alergika antara lain.11 : 1. Riwayat keluarga yang atopi 2. Serum IgE > 100 IU/mL sebelum usia 6 tahun 3. Sosioekonomi menengah keatas 4. Paparan terhadap alergen dalam ruangan (binatang dan debu) 5. Skin prick test positif II.6.7 Diagnosis 1. Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu.
Hal
ini
merupakan
mekanisme
fisiologik,
yaitu
proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.
10
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadangkadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.10 Gejala klinis lainnya dapat berupa ‘popping of the ears’, berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang dikeluhkan.12 2. Pemerksaan fisik Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
18
dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.10
Gambar 6. Allergic shiner Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute.10
Gambar 7. Allergic salute Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease.10
19
Gambar 8. Allergic crease Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi yang disebut facies adenoid.10
Gambar 9. facies adenoid
Dinding posterior faring tampak granuler dan edema, serta dinding lateral faring menebal,yang disebut Cobblestone appearance. 10
Gambar 10. Cobblestone appearance
20
Lidah tampak seperti gambar peta, yang disebut Geographic tongue.10
Gambar 11. Geographic tongue 3. Pemeriksaan penunjang In vitro : Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergika juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RATS (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.10 In vivo : Alergen dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini dilakukan adalah Intracutaneus provocative Dilutional Food Test (IPDFT),
21
namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.10 II.6.8 Diagnosis banding Diagnosa banding dari rhinitis alergi adalah sebagai berikut:10,13 1. Rhinitis Non-alergik Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung yang disebabkan oleh selain alergi. Keadaan ini tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum). Kelainan ini dapat bermacam-macam bergantung dari penyebabnya, antara lain: - rhinitis vasomotor - rhinitis gustator - rhinitis medikamentosa - rhinitis hormonal 2. Immotile cilia syndrome (ciliary dyskinesis) Diskinesia Silia Primer (PCD, juga disebut sindrom immotile-silia) ditandai oleh penurunan nilai bawaan dari clearance mukosiliar (PKS). Manifestasi klinis termasuk batuk kronis, rinitis kronis, dan sinusitis kronis. Otitis dan otosalpingitis yang umum di masa kanak-kanak, seperti juga poliposis hidung dan agenesis sinus frontalis.14 II.6.9 Penatalaksanaan - Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 10 - Medikamentosa Antihistamin Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
22
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.1 Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah
difenhidramin,
klorfeniramin,
prometasin,
siproheptadin,
sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.10 Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.10 Tabel Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi
23
Tabel Efek samping sedasi dari antihistamin
Dekongestan Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Onset obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu lama.12 Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini yang paling sering adalah insomnia dan iritabilitas. Antikolinergik Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.10 Kortikosteroid Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas
24
limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.10 Lainnya Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, membuktikan bahwa pseudoephedrine dan montelukast memiliki efek yang serupa dalam mengatasi gejala dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Operatif Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.10 Imunoterapi Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.10 II.6.10 Komplikasi Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah:10 1. Polip hidung. Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. 2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. 3. Sinusitis paranasal.
25
II.6.11 Prognosis Gejala rhinitis alergi dapat ditangani dengan baik. Pada beberapa kasus (terutama pada anak-anak) seiring dengan pertumbuhan, sistem imun menjadi kurang sensitive terhadap alergen. Meskipun, umumnya suatu substansi yang menyebabkan alergi pada seseorang, dapat terus mempengaruhi dalam waktuyang lama. Beberapa kasus rhinitis alergi yang parah membutuhkan imunoterapy atau tindakan operatif untuk pada jaringan di dalam hidung atau sinus. II.7 Rhinosinusitis13 II.7.1 definisi Inflamasi pada hidung dan sinus paranasal dicirikan dengan dua atau lebih gejala, satu diantaranya haruslah blokade nasal/obstruksi/kongesti maupun adanya cairan yang keluar dari nasal (anterior/posterior nasal drip) : - ± nyeri wajah/tekanan - ± penurunan atau hilangnya kemampuan menghindu Atau pun tanda dari endoskopi, yakni : - Polip nasal dan atau - Cairan mukopurulen utamanya dari meatus media dan atau - Edema/obstruksi mukosa yang berasal dari meatus media Dan atau Perubahan pada CT : - Perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau sinus Rhinosinusitis Akut pada Dewasa didefinisikan sebagai berikut : Onset mendadak dari dua atau lebih gejala : - Blokade hidung/obstruksi/kongesti - Atau cairan dari nasal (anterior/posterior drip) - ± nyeri wajah/tekanan - ± penurunan atau hilangnya kemampuan menghindu Selama <12 minggu, Dengan interval bebas gejala jika masalahnya berulang; dengan validasi melalui telepon atau wawancara langsung pada pasien.
26
II.7.2 Penatalaksanaan
27
II.8 Rhinorrhea akibat cairan serebrospinal Rinorea Cairan Serebrospinal (RCS) adalah suatu keadaan adanya hubungan yang tidak normal antara ruang subarachnoid dengan rongga hidung. Hal ini disebabkan oleh karena rusaknya semua pertahanan yang memisahkan antara ruang subarachnoid dengan rongga hidung, yang ditandai dengan adanya pembukaan pada arachnoid, dura dan tulang, yang merupakan jalan keluar cairan serebrospinal (CSS) ke rongga hidung Anamnesis yang lengkap merupakan langkah pertama dalam membuat diagnosis kebocoran CSS. Gejala utama rinore CSS adalah adanya cairan bening yang mengalir dari hidung. Pada kasus trauma, lebih kurang 55 % kasus rinore CSS muncul dalam 48 jam setelah trauma, menjadi 70% pada akhir minggu pertama ketika edema yang menghambat aliran kebocoran CSS menghilang. Hiposmia atau anosmia merupakan keluhan tambahan lainnya yang terjadi pada 60% - 80% kasus rinore CSS sebagai akibat kerusakan saraf olfaktori akibat fraktur fossa kribriformis. Terapi Penatalaksanaan konservatif pada rinore CSS dapat berupa istirahat di tempat tidur dengan meninggikan kepala 15-30 derajat, sehingga mengurangi jumlah cairan CSS yang keluar. Mencegah timbulnya batuk, bersin, nasal blowing dan mengejan. Pencahar diberikan untuk mencegah mengejan. Disamping itu juga diberikan antitusif dan antiemetik. Apabila tidak terdapat perbaikan dalam 72 jam, drainase lumbal kontinu berulang dilakukan untuk empat hari berikutnya untuk mengeluarkan CSS 150 ml/hari Tindakan operasi pada rinore CSS dapat dibedakan atas pendekatan intrakranial dan ekstrakranial, dengan kelebihan dan kekurangannya masingmasing. Pemilihan pendekatan tergantung pada penyebab kebocoran, lokasi kebocoran, adanya peningkatan tekanan intrakranial dan adanya ensefalokel. Pendekatan intrakranial memerlukan kraniotomi dapat berupa kraniotomi frontal atau kraniotomi fossa media. Pendekatan ini cenderung dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi serta perawatan yang lebih lama. Di samping itu anosmia merupakan komplikasi yang sering pada tindakan kraniotomi akibat cedera terhadap saraf olfaktori yang tidak dapat dihindari. Kelebihan pendekatan
28
ini adalah dapat melakukan penutupan defek pada dura secara rapat dan penutupan kebocoran multipel. Pendekatan intrakranial selanjutnya dibedakan atas ekstradural dan intradural. Pada pendekatan ekstradural otak terhindar dari regangan saat tindakan, berbeda dengan pendekatan intradural, meskipun memberikan lapangan pandang yang lebih baik, namun tindakan ini menyebabkan otak terpapar sehingga risiko terjadinya infeksi lebih tinggi. Pada kedua tindakan ini dilakukan pengeluaran CSS melalui drain lumbal untuk beberapa hari pasca operasi sampai diperkirakan edema otak menghilang.
29
II.9 Klasifikasi dan Penatalaksanaan Tabel 1. Perbedaan Rhinitis
Rhinitis Alergi Definisi
Rhinitis Vasomotor
Rhinitis Medikamentosa
Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
Keadaan Idiopatik yang
Kelainan hidung berupa
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi
didiagnosa tanpa adanya infeksi, gangguan respon normal
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
alergi, eosinofilia, perubahan
vasomotor yang diakibatkan
mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan
hormonal, dan pajanan obat.
pemakaian vasokonstriktor
alergen tersebut.
topikal jangka lama dan
Menurut WHO
berlebihan menyebabkan
Kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
sumbatan hidung menetap.
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE Penyebab
Kontak dengan allergen
Etiologi dan patofisiologi belum
Penggunaan obat
Klasifikasi WHO (Initiative ARIA)
diketahui dengan pasti namun
vasokonstriktor topikal jangka
Berdasarkan sifatnya :
ada hipotesis:
lama dan berlebihan
1. Intermitten Gejala < 4 hari/minggu atau < 4 minggu 2. Persisten Gejala > 4 hari/minggu dan > 4 minggu
1. Neurogenik 2. Neuropeptida 3. Nitrit Oksida 4. Trauma
30
Derajat: 1. Ringan Tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, olahraga, bekerja, belajar dan hal lain yang mengganggu 2. Sedang-Berat Terdapat satu atau lebih gangguan diatas Diagnosis
Anamnesa :
Anamnesa :
Bersin berulang (terutama pagi hari)
Hidung tersumbat,
Kontak dengan debu
bergantian kanan dan kiri
Rinore encer dan banyak
Rinore mukoid/serosa
Hidung tersumbat
Gejala memburuk pagi hari
Hidung dan mata gatal (dapat disertai lakrimasi)
waktu bangun tidur
Pemeriksaan Fisik :
Bersin
Rinoskopi anterior
Pencetus: rangsangan non
Mukosa edema
spesifik (asap, bau
Basah
menyengat, makanan pedas,
Berwarna pucat
udara dingin)
Anamnesa : Hidung tersumbat terus menerus dan berair Pemeriksaan : Konka hipertrofi/edema Sekret hidung berlebihan Pemberian tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang
31
Sekret encer yang banyak
Pemeriksaan:
Persisten : mukosa inferior tampak hipertrofi
Mukosa hidung edema
Allergic Shinner
Konka berwarna merah
Allergic Salute
gelap/merah tua
Allergic Crease
Permukaan konka
Mulut sering terbuka dengan lengkung langitlangit tinggi: gangguang pertumbuhan gigi geligi Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
licin/hipertrofi Rongga hidung terdapat sekret mukoid sedikit/serosa banyak
Dinding lateral faring menebal
Penunjang:
Geographic Tongue
Eosinofil jumlah sedikit
Pemeriksaan Penunjang:
Uji Kulit Negatif
Eosinofil meningkat
IgE normal
Serum IgE meningkat (tes RAST atau ELISA) Sitologi: Eosinofil banyak (alergi inhalan), basofil > 5 sel/lap (alergi makanan), sel PMN (infeksi bakteri Uji Kulit: SET untuk alergi inhalan, IPDFT untuk alergi makanan.
32
Terapi
1. Menghindari kontak dengan alergen
1. Hindari stimulus
2. Medikamentosa :
2. Medikamentosa:
obat tetes/semprot
Antihistamin -> AH1
dekongestan oral
vasokonstriksi hidung
Dekongestan
obat cuci hidung
2. Kortikosteroid jangka
Kortikosteroid
kauterisasi konka AgNO3
3. Operatif
25%
Konkotomi parsial
Kortikosteroid
Konkoplasti
3. Operasi:
4. Immunoterapi
Bedah beku
IgG blocking antibody dan penurunan IgE
1. Menghentikan pemakaian
pendek dan dosis Tappering off 3. Dekongestan oral
elektrokauter konkotomi parsial konka inferior
Tabel 2. Perbedaan Rhinitis (Lanjutan)
Penyebab Rhinitis Simpleks
Virus
Diagnosis
Terapi
Hidung kering, panas dan gatal
1. Istirahat
Bersing berulang
2. Analgetik
Hidung tersumbat
3. Antipiretik
33
Ingus encer → kental bila infeksi sekunder oleh
4. Dekongestan
bakteri Demam Nyeri kepala Rhinitis
Infeksi Berulang di
Sumbatan hidung
1. Sesuai penyebab
Hipertrofi
hidung/sinus
Sekret banyak (mukopurulen)
2. Kauterisasi konka
Lanjutan rinitis
Nyeri kepala
alergi/vasomotor
Konka hipertrofi, permukaan berbenjol-benjol karena mukosa hipertrofi
Rhinitis
infeksi hidung yang kronik
Bau napas Ingus kental berwarna hijau
Atrofi
Krusta hijau Gangguan penghidu
1. pemberian antibiotik spektrum luas 2. obat cuci hidung Operatif FESS
Sakit kepala Hidung tersumbat Rongga hidung lapang Konka inferior dan media bisa hipertrofi atau atrofi Rhinitis Difteri
Corynebacterium Difetria
Demam, toksikemia, limfadenitis, pralisi
1. Isolasi
Ingus bercampur darah
2. ADS
34
Pseudomembran putih, krusta coklat di nares dan cavum nasi Rhinitis
M. Tuberculosis
TB
3. Penisilin lokal dan intramuskuler
Hidung tersumbat
1. OAT
Sekret mukopurulen
2. Obat cuci hidung
BTA (+) Rhinitis
Treponema pallidum
Sifilis
Sama dengan rinitis akut lain
1. Penisilin
Bercak pada mukosa (gumma/ulkus)
2. Obat cuci hidung
Sekret mukopurulen berbau + krusta, perforasi septum/hidung pelana Rhinitis
Dapat terjadi bersama dengan
Jamur
sinusitis dan bersifat invasif atau non-invasif (Aspergillus, Candida, Histoplasma, Fussarium dan Mucor)
Non - invasif menyerupai rinolit (gumpalan jamur) dengan inflamasi mukosa yang lebih berat tidak terjadi destruksi kartilago dan tulang Invasif
Non – invasive angkat seluruh gumpalan jamur Invasif 1. eradikasi penyebab dengan anti jamur oral dan topikal
ditemukannya hifa jamur di lamina propria
2. cuci hidung
perforasi septum atau hidung pelana
3. dioles dengan gentian violet
sekret mukopurulen
4. debridement seluruh jaringan yang nekrotik
35
ulkus atau perforasi pada septum dan disertai dengan jaringan nekrotik berwarna kehitaman (Black Eschar)
Tabel 3. Perbedaan Sinusitis
Sinusitis Akut
Sub Akut
Kronik
Waktu
0 - 4 minggu
4 minggu – 3 bulan
> 3 bulan
Patologi
Penyumbatan kompleks
Sama dengan sinusitis akut
Silia rusak → Perubahan mukosa
Anamnesis
osteomeatal oleh infeksi, obstruksi
hidung → ireversibel, kerusakan
mekanis, alergi mukosa reversibel
silia
hidung tersumbat
Sama dengan sinusitis akut tapi tanda radang
Sekret di hidung
nyeri daerah sinus
akutnya mereda
Post nasal drip
nyeri alih → maksila: kelopak mata, gigi, dahi, depan telinga etmoid: pangkal hidung, bola mata, pelipis
Rasa tidak nyaman, gatal di tenggorok Pendengaran terganggu Nyeri kepala Gangguan di mata
36
frontal: dahi, kepala
Batuk
sfenoid: verteks, oksipital,
Gejala saluran cerna akibat
belakang bola mata, mastoid
mukopus tertelan
demam, lesu Ingus kental, berbau Pemeriksaan
bengkak daerah muka/pipi/kelopak mata
Sama dengan sinusitis akut tapi tanda radang akutnya mereda
Tidak seberat sinusitis akut bengkak wajah (-)
mukosa konka edema
sekret kental purulen
hiperemis
post nasal drip
post nasal drip transluminasi (+) air fluid level Terapi
1. Antibiotik
1. Antibiotik spektrum luas
1. Antibiotik
2. Dekongestan lokal tetes hidung 2. Dekongestan lokal tetes hidung
2. Dekongestan lokal
3. Analgetik
3. Analgetik
3. Analgetik
4. Antihistamin
4. Diatermi
5. Mukolitik
5. Pungsi dan irigasi sinus
6. diatermi
6. Operasi radikal
7. Pungsi irigasi
CWL, BSEF
37
BAB III KESIMPULAN
Rhinorrhea merupakan cairan atau sekret yang keluar dari hidung. Sekret atau cairan yang keluar bisa bersifat serosa, mukopurulen, ataupun darah. Rhinorrhea sendiri bukan merupakan suatu penyakit melainkan gejala dari suatu penyakit. Oleh karena itu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang cermat dan teliti penting dilakukan guna membantu menegakkan diagnosa kelainan yang mendasari rhinorrhea. Terapi yang adekuat juga diperlukan guna menurunkan angka kekambuhan yang disebabkan oleh penyakit-penyakit yang mendasari rhinorrhea serta komplikasinya.
38
DAFTAR PUSTAKA
1.
Adams, GL. 1997. BOIES : Buku Ajar Penyakit THT / George L. Adams, Lawrence R. Boies, Peter H. Higler; alih bahasa, Caroline Wijaya ; editor, Harjanto Efendi. Ed 6. Jakarta: EGC.
2.
Akshay. 2011. Rhinorrhea – Definition, Symptoms, Causes, Diagnosis and Treatment.
cited
from:
http://www.primehealthchannel.com/rhinorrhea-
definition-symptoms-causes-diagnosis-and-treatment.html. 3.
Hall J. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed 11. Jakarta: EGC Moore. Anatomi Klinis
4.
Soepardi EA. Et. Al. 2012. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
5.
Ballenger JJ. The technical anatomy and physiology of the nose and accessory sinuses. In Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head, & Neck. Fourteenth edition Ed. Ballenger JJ. Lea & Febiger. Philadelphia, London, 1991: p.3-8
6.
Soepardi EA, et al. Buku ajar ilmu kesehatan : telinga hidung tenggorok kepala & leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007
7.
East C. Examination of the Nose. In : Mackay IS, Bull TR (Eds). ScottBrowns’s Otolaryngology Sixth ed London: Butterworth, 1997: p.4/1/1-8 th
8.
Effendi H, editor. Buku Ajar Penyakit THT. 6 ed. Jakarta: EGC ; 1997 ; p.135
9.
Irawati N, Poerbonegoro NL, Kasakeyan E. Rinitis vasomotor. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher.
Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007:135-37 10. Druce HM. Allergic and nonallergic rhinitis. Dalam : Middleton E jr, Ellis EF, Yunginger JW, Reed CE, Adkinson NF, Busse WW,edisi Allergy principles and practices. Edisi ke 5. St.Louis:Mosby. 1998:1005-16 11. Garay G. Mechanism of vasomotor rhinitis. France: Journal of Allergy. 2004:4-1 12. Junizaf MH. Benda asing di saluran nafas. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Editor: Soepardi
39
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007: 259-265 13.
EPOS
2012,
guideline
pocket,
available
on
:
www.southernstatesrhinology.org/files/2013.../EPOSpocketguide2012.pdf
40