BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus hepatits B (HBV). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula menyebabkan radang, gagal ginjal, sirosis hati, dan kematian. Penyakit hepatitis adalah peradangan hati yang akut kerana suatu infeksi atau keracunan.1 Virus hepatitis B ini dapat menyebabkan kerusakan pada fungsi organ hati bahkan sampai menimbulkan bahaya resiko pada kanker hati. Penyebaran dan penularan virus hepatitis B ini dapat melalui kontak langsung dengan darah, hubungan seksual, seorang yang sedang dalam masa kehamilan yang sudah teridentifikasi memiliki hepatitis B.1 Di benua Amerika bagian utara, memiliki darerah yang beresiko relatif rendah dibanding wilayah pada bagian negara Amerika selatan dan benua Afrika yang memiliki resiko lebih tinggi, ada sekitar 140.000-320.000 orang per tahunnya yang terinfeksi virus hepatitis B dan hanya 70.000-160.000 orang yang terinfeksi simtomatik. Mereka yang terinfeksi virus hepatitis B ini mendapat rawatan inap hingga mencapai 8.400-19.000 orang per tahunnya dan hanya 140320 orang atau sekitar 0,2 % yang meninggal akibat virus hepatitis B ini.1, Di Indonesia penderita hepatitis cenderung lebih rendah dibanding di Amerika Serikat, meski di Indonesia masih memiliki resiko yang cukup tinggi terjangkit virus hepatitis yang didukung oleh keadaan iklim yang tidak menentu, masih banyaknya pergaulan bebas dan penyalah gunaan obat-obatan terlarang, namun masih ada yang peduli dengan kebersihan diri dan lingkungan sehingga masih dapat memperkecil memungkinkan Indonesia terjangkit virus hepattiis B dengan tingkat resiko lebih rendah.1,
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium. 2.2 Epidemiologi Penyebab dan bentuk penularan bervariasi di setiap negara di dunia, sekitar 45% penduduk yang hidup di dunia memiliki resiko lebih tinggi, yang dikelompokkan dimana 8% dari total penduduk di dunia memiliki hasil positif terhadap HBsAg (antigen utama pada permukaan HBV dari amplop virus). Selain itu 43 % lainnya dari total penduduk di dunia memiliki tingkat resiko yang lebih sedang yakni 2-7% dari total penduduk yang memiliki HBsAg positif. Kemudian ada 12 % dari total penduduk di dunia yang memiliki tingkat resiko lebih rendah yakni kurang dari 2 % dari total populasi HBsAg positif.1 Mereka yang memiliki resiko tertular hepatitis B seperti: para pengguna obat-obatan terlarang, heteroseksual yang aktif secara seksual, homoseksual, bayi atau anak-anak yang tinggal di daerah yang memiliki resiko tertular hepatitis, bayi yang baru lahir dari rahim ibu yang memiliki riwayat penyakit hepatitis, penderita hemofilia, para pekerja yang bekerja di bidang atau lembaga kesehatan seperti pendonor, mereka yang memiliki lebih dari 1 pasangan dsb.1 Di benua Amerika bagian utara, memiliki darerah yang beresiko relatif rendah dibanding wilayah pada bagian negara Amerika selatan dan benua Afrika yang memiliki resiko lebih tinggi, ada sekitar 140.000-320.000 orang per tahunnya yang terinfeksi virus hepatitis B dan hanya 70.000-160.000 orang yang terinfeksi simtomatik. Mereka yang terinfeksi virus hepatitis B ini mendapat
2
rawatan inap hingga mencapai 8.400-19.000 orang per tahunnya dan hanya 140320 orang atau sekitar 0,2 % yang meninggal akibat virus hepatitis B ini.1,2 Dari data tersebut di dapat sebuah kesimpulan sekitar 8.000-32.000 orang atau setara dengan 6-10 % yang menjadi pembawa virus hepatitis kronis ini dan diperkirakan ada 5.000-6.000 orang yang meninggal per tahunnya akibat dari komplikasi yang disebabkan oleh infeksi HBV kronis. Secara keseluruhan ada sekitar 1-1.250.000 orang yang terinfeksi khususnya di wilayah Amerika Serikat.2,3 Di Indonesia penderita hepatitis cenderung lebih rendah dibanding di Amerika Serikat, meski di Indonesia masih memiliki resiko yang cukup tinggi terjangkit virus hepatitis yang didukung oleh keadaan iklim yang tidak menentu, masih banyaknya pergaulan bebas dan penyalah gunaan obat-obatan terlarang, namun masih ada yang peduli dengan kebersihan diri dan lingkungan sehingga masih dapat memperkecil memungkinkan Indonesia terjangkit virus hepattiis B dengan tingkat resiko lebih rendah.1,2 2.3 Etiologi Hepatitis B Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil berasal dari genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-42 nm. Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari. Bagian luar dari virus ini adalah protein envelope lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core . Genom VHB merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda parsial dengan 3200 nukleotida. Genom berbentuk sirkuler dan memiliki empat Open Reading Frame (ORF) yang saling tumpang tindih secara parsial protein envelope yang dikenal sebagai selubung HBsAg seperti large HBs (LHBs), medium HBs (MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen S, yang merupakan target utama respon imun host, dengan lokasi utama pada asam amino 100-160 . HBsAg dapat
3
mengandung satu dari sejumlah subtipe antigen spesifik, disebut d atau y, w atau r. Subtipe HBsAg ini menyediakan penanda epidemiologik tambahan.
2.4 Patogenesis Infeksi Hepatitis B kronik Interferon juga akan mengaktifkan enzim seluler termasuk 2-5 oligoadenilat sintetase, endonuklease dan protein kinase. Enzim-enzim tersebut akan menghambat sintesis protein virus dengan cara degradasi mRNA atau menghambat proses translasi. Perubahan-perubahan akibat interferon ini akan menimbulkan suatu status antiviral pada hepatosit yang tidak terinfeksi, dan mencegah reinfeksi selama proses lisis hepatosit yang terinfeksi. Hepatitis virus B yang berlanjut menjadi kronik menunjukkan bahwa respons imunologis selular terhadap infeksi virus tidak baik. Jika respons imunologis buruk, lisis hepatosit yang terinfeksi tidak akan terjadi, atau berlangsung ringan saja. Virus terus berproliferasi sedangkan faal hati tetap normal. Kasus demikian disebut pengidap sehat. Di sini ditemukan kadar HbsAg serum tinggi dan hati mengandung sejumlah besar HbsAg tanpa adanya nekrosis hepatosit.4 Pasien dengan respons imunologis yang lebih baik menunjukkan nekrosis hepatosit yang terus berlangsung, tetapi respons ini tidak cukup efektif untuk eliminasi virus dan terjadilah hepatitis kronik. Gangguan respons imunologis ini penting terutama pada pasien leukemia, gangguan ginjal atau transplantasi organ, penerima obat imunosupresif, homoseksual, pasien AIDS dan neonatus.4,5 Kegagalan lisis hepatosit yang terinfeksi virus oleh limfosit T dapat terjadi akibat berbagai mekanisme: 1. Fungsi sel T supresor yang meningkat 2. Gangguan fungsi sel T sitotoksik 3. Adanya antibodi yang menghambat pada permukaan hepatosit 4. Kegagalan pengenalan ekspresi antigen virus atau HLA class I pada permukaan hepatosit. Kapasitas produksi atau respons terhadap interferon endogen yang kurang akan menyebabkan gangguan ekspresi HLA class I tersebut sehingga tidak akan dikenal oleh sel limfosit T.4,5
4
Terdapat 6 tahap dalam siklus replikasi VHB dalam hati, yaitu : 1. Attachment Virus menempel pada reseptor permukaan sel. Penempelan terjadi dengan perantaran protein pre-S1, protein pre-S2, dan poly-HSA (polymerized Human Serum Albumin) serta dengan perantaraan SHBs (small hepatitis B antigen surface). 2. Penetration Virus masuk secara endositosis ke dalam hepatosit. Membran virus menyatu dengan membran sel pejamu (host) dan kemudian memasukkan partikel core yang terdiri dari HBcAg, enzim polimerase dan DNA VHB ke dalam sitoplasma sel pejamu. Partikel core selanjutnya ditransportasikan menuju nukleus hepatosit. 3. Uncoating VHB bereplikasi dengan menggunakan RNA. VHB berbentuk partially double stranded DNA yang harus diubah menjadi fully double stranded DNA terlebih dahulu, dan membentuk covalently closed circular DNA (cccDNA). cccDNA inilah yang akan menjadi template transkripsi untuk empat mRNA. 4. Replication Pregenom RNA dan mRNA akan keluar dari nukleus. Translasi akan menggunakan mRNA yang terbesar sebagai kopi material genetik dan menghasilkan protein core, HBeAg, dan enzim polimerase. Translasi mRNA lainnya akan membentuk komponen protein HBsAg. 5. Assembly Enkapsidasi pregenom RNA, HBcAg dan enzim polimerase menjadi partikel core di sitoplasma. Dengan proses tersebut, virion-virion akan terbentuk dan masuk kembali ke dalam nukleus. 6. Release DNA kemudian disintesis melalui reverse transcriptase. Kemudian terjadi proses coating partikel core yang telah mengalami proses maturasi genom oleh protein HBsAg di dalam retikulum endoplasmik. Virus baru akan dikeluarkan ke sitoplasma, kemudian dilepaskan dari membran sel.
5
2.4 Gambaran Klinis Hepatitis B Gambaran klinis Hepatitis B Kronis sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati hasilnya masih dalam batas normal. Pada sebagian pasien juga didapatkan hepatomegali atau bahkan splenomegali atau tanda-tanda penyakit kronis lainnya, misalnya:4 1. Eritema palmaris 2. Spider naevi 3. kenaikan ALT pada pemeriksaan LAB 4. Kadar bilurubin yang cenderung normal 5. Kadar albumin yang juga masih tetap normal kecuali pada kasus-kasus yang sudah parah. Perjalanan hepatitis B kronik dibagi menjadi tiga fase penting yaitu : 1. Fase Imunotoleransi Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus tinggi dalam darah, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Virus Hepatitis B berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi. 2. Fase Imunoaktif (Clearance) Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat
terjadinya
replikasi
virus
yang
berkepanjangan,
terjadi
proses
nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Fase clearance menandakan pasien sudah mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. 3. Fase Residual Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Fase residual ditandai dengan titer HBsAg rendah, HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif, serta konsentrasi ALT normal.
6
Gambar 1. Gambaran Serologi dari Hepatitis B Akut Sumber: (Kasper H, dkk, 2005)
Teori lainnya Gejala hepatitis virus akut terbagi dalam 4 tahap: 9 1. Fase Inkubasi Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus. Fase ini berbeda - beda lamanya untuk tiap virus hepatitis. Panjang fase ini tergantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan jalur penularan, makin besar dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini. 2. Fase Prodormal (pra ikterik) Fase diantara timbulnya keluhan keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau insidious, ditandai dengan malaise umum, mialgia, atralgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Mual, muntah dan anoreksia berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Serum sicknessdapat muncul pada hepatitis B akut pada awal infeksi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigatrium, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolesistisis.
7
3. Fase Ikterus Fase ini muncul setelah 5 –10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodormal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata. 4. Fase konvalesen Diawali
dengan
menghilangnya
ikterus
dan
keluhan
lain,
tetapi
hepatomegali dna abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul persaaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan.keadaan akt biasanya akan membaik dalam 2 –3 minggu. Pada B perbaikan klinis dan laboratorium lengkap terjadi dalam 16 minggu .Pada 5 –10 % kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya < 1 % yang menjadi fulminan. Hepatitis kronis ditandai dengan peradangan hati dan nekrosis yang berlanjut selama6 bulan atau lebih. Hepatitis kronik yang parah ditandai dengan terbentuknya jaringan parutdan reorganisasi struktural yang pada akhirnya akan menyebabkan sirosis hati. Gambaran klinis hepatitis B kronik pada banyak kasus tidak didapatkan keluhan maupungejala, bahkan pada pemeriksaan tes faal hati hasilnya adalah normal. Tetapi pada sebagianorang ditemukan hepatomegali, splenomegali, eritema palmaris, spider nevi, rasa lelah yangterus-menerus atau intermiten, ikterus, malaise dan anoreksia yang intermiten, rasa lelah yangmemburuk, eksaserbasi dapat terjadi secara spontan yang menimbulkan sirosis hati sehinggadapat menyebabkan dekompensasi hati.
8
Manifestasi klinis hepatitis B kronik dikelompokkan menjadi 2 yaitu; 1. Hepatitis B kronik aktif, dengan tanda dan gejala penyakit hati kronik. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan HBsAg positif dengan DNA H BV lebih dari2000 IU/ml, peningkatan ALT. Pada biopsi hati ditemukan gambaran peradanganyang aktif. 2. Carrier HBV Inaktif, pada pemeriksaan laboratorium didapatkan HBsAg positifdengan titer DNA HBV kurang dari 2000 IU/ml, konsentrasi ALT normal dan tidakterdapat keluhan. 2.5 Patofisiologi Hepatitis B akut VHB bersifat non-sitopatik, dengan demikian kelainan sel hati pada infeksi VHB disebabkan oleh reaksi imun tubuh terhadap hepatosit yang terinfeksi VHB. Pada kasus hepatitis B akut, respon imun tersebut berhasil mengeliminasi sel hepar yang terkena infeksi VHB, sehingga terjadi nekrosis pada sel yang mengandung VHB dan muncul gejala klinik yang kemudian diikuti kesembuhan. Pada sebagian penderita, respon imun tidak berhasil menghancurkan sel hati yang terinfeksi sehingga VHB terus menjalani replikasi. Pada infeksi primer, proses awal respon imun terhadap virus sebagian besar belum dapat dijelaskan. Diduga, awal respon tersebut berhubungan dengan imunitas innate pada liver mengingat respon imun ini dapat terangsang dalam waktu pendek, yakni beberapa menit sampai beberapa jam. Terjadi pengenalan sel hepatosit yang terinfeksi oleh natural killer cell (sel NK) pada hepatosit maupun natural killer sel T (sel NK-T) yang kemudian memicu teraktivasinya sel-sel tersebut dan menginduksi sitokin-sitokin antivirus, termasuk diantaranya interferon (terutama IFN-α). Kenaikan kadar IFN-α menyebabkan gejala panas badan dan malaise. Proses eliminasi innate ini terjadi tanpa restriksi HLA, melainkan dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T yang terangsang oleh adanya IFN-α. Dalam Textbook of Gastroenterology, juga disebutkan peran imunitas innate dalam mengaktivasi imunitas adaptif yang terdiri dari respon humoral dan seluler. Respon humoral bersama-sama dengan antibodi akan mencegah penyebaran virus dan mengeliminasi virus yang sudah bersirkulasi. Terdapat
9
eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan pada sel hati dengan mekanisme nonsitolitik yang diperantarai aktivitas sitokin. Antibodi IgM akan terdeteksi pertama kali dan menjadi marker pada infeksi akut. fase awal infeksi viral ditandai dengan adanya produksi sitokin, interferon tipe 1 (IFN)-α/β dan aktivasi sel natural-killer. Studi tersebut juga menemukan munculnya sel T CD8+ cenderung tidak langsung membunuh hepatosit yang terinfeksi, melainkan mengontrol replikasi virus melalui mekanisme IFN-γ dependen. Untuk proses eradikasi lebih lanjut, dibutuhkan respon imun spesifik yaitu aktivasi sel limfosit T dan B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding Antigen Presenting Cell (APC) dengan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa berupa nekrosis sel hati yang dapat meningkatkan kadar ALT. Respon imun yang pertama terjadi sekitar 10 hari sebelum terjadi kerusakan sel hati. Respon imun tersebut muncul terhadap antigen pre-S, disusul respon terhadap HBcAg sekitar 10 hari kemudian. Respon yang terkuat adalah respon terhadap antigen S yang terjadi 10 hari sebelum kerusakan sel hati. Petanda serologik pada hepatitis akut sebagai berikut: HBsAg (+) 6 minggu setelah infeksi dan (-) 3 bulan setelah awal gejala. Bila (+) lebih dari 6 bulan, infeksi VHB akan menetap. dan menetap.
Anti HBs (+) 3 bulan setelah awal gejala
HBeAg (+) dalam waktu pendek, kalau (+) lebih dari 10 minggu
akan terjadi kronisitas
Anti-HBc (+) sembuh sempurna
IgM anti-HBc (+)
titer tinggi pada hepatitis akut, namun bila (+) dalam waktu lama bisa terjadi hepatitis kronik
IgG anti-HBc (+) titer tinggi tanpa anti-HBs menunjukkan
adanya persistensi infeksi VHB Pada infeksi akut hepatitis B dapat terjadi peningkatan respon imun seluler yang spesifik dan signifikan, sedangkan pada infeksi kronis individu yang
10
terinfeksi memiliki respon anti-HBV yang rendah. Sel efektor yang predominan menginfiltrasi hepatoseluler adalah makrofag. Imunitas cell-mediated dapat mencetuskan peningkatan respon imun yang bertujuan menghilangkan virus, namun di satu sisi respon imun yang tidak adekuat dapat menyebabkan jejas hepatoseluler yang kronis. Limfosit T sitotoksik akan berinteraksi dengan target utama melalui reseptor HBV-specific T-cell dan molekul antigen presenting HLA class I pada hepatosit dan menyebabkan apoptosis hepatosit. Dengan mensekresi sitokin (termasuk diantaranya interferon), limfosit T sitotoksik akan menginduksi berbagai sel antigen-nonspecific inflammatory ke dalam liver, dan menghasilkan jejas nekroinflamasi pada liver. Berikut mekanisme inflamasi pada hepatitis B. 2.6 Patofisiologi hepatitis B kronik Pada hepatitis B akut, tubuh berusaha mengeliminasi VHB baik dengan mekanisme innate maupun spesifik, serta non-sitolitik seperti yang telah dijelaskan di atas. Eliminasi virus melalui respon spesifik akan menunculkan produksi antibodi seperti anti-HBs, anti-HBc, dan anti-HBe. Fungsi anti-HBs adalah menetralkan partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Infeksi kronis VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Persistensi infeksi VHB disebabkan oleh adanya respon imun yang tidak efisien oleh faktor viral maupun pejamu. Studi yang dilakukan oleh Busca dan Kumar juga menemukan keadaan aktivasi sel T sitotoksik yang menurun akan menstimulasi tipe-tipe sel lain secara terus- menerus, hal ini dapat menjelaskan terjadinya inflamasi kronis yang persisten pada infeksi hepatitis B kronis. Persistensi infeksi VHB juga dapat disebabkan adanya mutasi pada daerah precore DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HBeAg, sehingga menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB. Interaksi antara VHB dan respon imun tubuh terhadap VHP sangat berperan dalam derajat keparahan hepatitis. Makin besar respon imun tubuh terhadap virus, makin besar pula kerusakan jaringan hati dan sebaliknya. Pada masa anak-anak maupun dewasa muda, sistem imun tubuh dapat toleran terhadap VHB, sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya namun
11
tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan ini VHB berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA VHB tinggi dan kadar ALT relatif normal. Fase ini disebut sebagai fase imunotoleran dimana pada fase ini jarang terjadi serokonversi HBeAg secara spontan dan terapi untuk menginduksi serokonversi juga tidak efektif. Setelah mengalami persistensi yang berkepanjangan terjadilah proses nekroinflamasi dimana pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap virus ditandai dengan adanya peningkatan pada kadar ALT. Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Fase ini disebut fase immune clearance (imunoeliminasi). Pada fase ini, baik dengan bantuan pengobatan maupun spontan, 70% individu dapat menghilangkan sebagai besar partikel VHB tanpa disertai kerusakan sel hati yang berarti (serokonversi HBeAg). Bila titer HBsAg rendah dengan HBeAg negatif dan anti-HBe positif secara spontan, disertai kadar ALT yang normal, pasien sudah berada dalam fase residual (non-replikatif). Namun dapat terjadi reaktivasi pada 20-30% pasien dalam fase ini. Pada sebagian pasien kekambuhan, terjadi fibrosis setelah nekrosis yang berulang-ulang. Dalam fase ini replikasi sudah mencapai titik minimal, namun resiko pasien untuk terjadi karsinoma hepatoseluler mungkin meningkat. Hal ini diduga disebabkan adanya integrasi genom VHB ke dalam genom sel hati.
12
Kerangka patofisiologi hepatitis B
Virus hepatitis melekat pada reseptor spesifik di sel hepar
Penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar
Virus melepaskan nukleokapsid
Nukleokapsid akan menembus ke dinding sel hati yang akan mengeluarkan asam nukleat VHB dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi pada DNA tersebut
17 DNA VHB memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru
VHB dilepaskan ke peredaran darah terjadi mekanisme kerusakan hati yang kronis di sebabkan respon imunologik penderita terhadap infeksi 13
2.7 Penularan Hepatitis B Cara utama penularan VHB adalah melalui parenteral dan menembus membran mukosa, terutama berhubungan seksual (Price & Wilson, 2012). Penanda HBsAg telah diidentifikasi pada hampir setiap cairan tubuh dari orang yang terinfeksi yaitu saliva, air mata, cairan seminal, cairan serebrospinal, asites, dan air susu ibu. Beberapa cairan tubuh ini (terutama semen dan saliva) telah diketahui infeksius Jalur penularan infeksi VHB di Indonesia yang terbanyak adalah secara parenteral yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau horisontal (kontak antar individu yang sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik, penggunaan jarum suntik bersama). Virus Hepatitis B dapat dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi pada serum. 2.8 Diagnosis Menurut algoritma dari Gastroenterological Society of Australia (GESA) dan Digestive Health Foundation (DHF), diagnosis hepatitis B kronis dapat ditegakkan dengan cara berikut:3, 6, 7.
Ada tanda-tanda gejala hepatitis B
HBsAg positif
Evaluasi awal
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Hasil laboratorium
-
Tes fungsi hati, pemeriksaan darah lengkap, INR.
-
HBeAg atau anti-HBe, HBV DNA (jumlah kuantitatif virus)
-
Tes genotype HBV.
-
Antibody HCV, antibodi dan antigen hepatitis D, antibodi HIV.
-
Antibody total kepada hepatitis A. Jika tiada imunitas, vaksinasi.
-
Alpha-foetoprotein (AFP) serta USG abdomen untuk skrining HCC.
Pertimbangkan tindakan gastroskopi untuk mencari varises esophagus 14jika secara klinis, laboratorium atau pemeriksaan radiologis menggambarkan terjadinya sirosis hati.
2.6 Penatalaksanaan
Gambar 1 Algoritma Penatalaksanaan Infeksi Hepatitis B (Konsensus PPHI 2006)
15
Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis virus akut yang khas. Pembatasan aktivitas fisik seperti tirah baring dapat membuat pasien merasa lebih baik. Diperlukan diet tinggi kalori dan hendaknya asupan kalori utama diberikan pada pagi hari karena banyak pasien mengalami nausea ketika malam hari
Untuk penatalaksanaan hepatitis B kronis, obyektifnya adalah untuk supresi kadar replikasi virus HBV. Obyektif lain antaranya ialah:3, 6, 7. 1. Supresi HBV DNA (< 2,000 IU/mL; lebih baik tidak terdeteksi PCR, < 50 IU/mL) 2. ALT (SGOT, SGPT) dalam kadar normal. 3. Perbaikkan histologis hati. 4. HBsAg Clearance ( antigen pada permukaan virus yang utuh dan pada serum sebagai partikel bebas. HBsAg tak terdeteksi atau serokonersi ke anti-HBs. 5. HBeAge Clearence HBeAg tak terdeteksi atau serokonersi ke anti-HBe (antigen yang di produksi selama masa pembelahan).
Sehingga kini terdapat 5 jenis obat yang digunakan untuk mengobati hepatitis B kronis, yaitu: 1. Interferon Obat pertama yang diakui untuk pengobatan obat hepatitis B kronis. Obat ini biasanya digunakan pada pasien imunokompeten dewasa, dengan status hepatitis B kronis (HBeAg reaktif, biasanya jumlah HBV-DNA tinggi yaitu >105 – 106 virion/mL) serta terbukti menderita hepatitis B kronis melalui biopsi hati.1
16
Pengobatan menggunakan IFN-α selama 16 minggu. IFN-α
dapat diberikan
melalui dua cara yaitu: -
Diberikan secara subkutan, dosis diberikan 5 juta unit per hari.
-
Diberikan sebanyak 3 kali selama satu minggu dengan dosis 10 juta unit.
Hasil yang diharapkan dari pengobatan ini adalah hilangnya HbeAg dan hilangnya hybridization-detectable HBV DNA (reduksi sehingga HBV DNA kurang dari 105 – 106 virion/mL). Hasil ini didapatkan pada 30% serta terdapat perbaikkan pada struktur histologist hati. Pasien yang menggunakan obat ini, 20% terjadi serokonversi daripada HBeAg kepada anti-HBeAg dan pada percobaan awal, kira-kira 8% pasien hilang HBsAg.5 Komplikasi yang biasanya didapatkan pada pasien dengan pengobatan menggunakan interferon adalah ‘flu-like’ symptoms, supresi sumsum tulang, emosi yang labil seperti depresi, reaksi autoimun; tiroiditis autoimun, alopesia, gatal dan diare. Semua efek samping adalah bersifat reversibel dengan mengurangkan dosis obat atau menghentikan terapi kecuali pada kasus tiroiditis autoimun.1 2. Lamivudin (Dideoxynucleoside lamivudine) Obat ini merupakan sejenis analog nucleoside. Diberikan per oral. Mekanisme kerja obat ini adalah dengan menginhibisi aktifitas reverse transcriptase virus HIV dan HBV. Lamivudin adalah agen yang poten untuk pasien dengan hepatitis B kronis.5 Dalam satu percobaan klinik, 40% pasien dengan status hepatitis B kronis HBeAg-reactive, diberikan terapi lamivudin 100mg per hari, selama 48 – 52 minggu. Hasil yang didapatkan adalah terjadi supresi HBV-DNA sehingga separuh atau 5,5 log10 copies/mL sehingga kepada kadar yang tidak dideteksi oleh tes PCR.5 Pada pasien yang diberikan Lamivudin, yang biasanya didapatkan: -
Hilangnya HBeAg pada 32 – 33% pasien.
17
-
Serokonversi HBeAg (HBeAg-reactive kepada anti-HBeAg-reactive) pada 16 – 21% pasien.
-
Kadar ALT (SGPT) yang normal pada 40 – 75% pasien.
-
Perbaikkan histologist struktur hati pada 50 – 60% pasien.
-
Menghentikkan proses fibrosis di hati pada 20 – 30%.
-
Pencegahan hepatitis kronis berkembang ke sirosis hati.
Pasien yang resisten (kadar HBV-DNA yang tinggi) dengan terapi IFN-α biasanya member respon yang baik dengan terapi menggunakan lamivudin. Selain itu, dengan terapi lamivudin, pasien dengan kadar ALT 5 kali lebih daripada normal, terjadi serokonversi 50 – 60% setelah diterapi selama satu tahun. Secara umum, status serokonversi diberikan pasien dengan supresi HBV-DNA kurang daripada 104 genome/mL.3,5. Pada pasien yang tidak memberikan respon pada terapi lamivudin, tindakan standar adalah meneruskan terapi sehinggalah terjadinya respon HBeAg yaitu terjadinya penurunan. Walau bagaimanapun, hal ini mungkin memerlukan terapi jangka panjang yang lama untuk memastikan terjadinya supresi replikasi dan dalam pada masa yang sama meminimalkan kerosakkan pada hati.3,5. Lamivudin tersedia dalam bentuk tablet dan cairan dan dipakai secara oral. Lamivudin (Epivir) biasanya diminum setiap 12 jam yaitu 2 kali dalam satu hari. 3. Adefovir dipivoxil Sebelumnya dikenala dengan sebagai bis-POM PMEA. Contoh obat adalah seperti Hepsera dan Preveon. Sejenis obat oral yang merupakan analog nucleotide reverse transcriptase inhibitor (ntRTI) dan digunakan untuk perawatan hepatitis B kronis.5
18
4. Pegylated interferon (PEG IFN) Obat ini sudah pernah digunakan untuk pengobatan hepatitis C dan terbukti efektif. Setelah itu, PEG IFN dicoba pada pengobatan hepatitis B kronis. Percobaan dengan pemberian PEG IFN satu kali per minggu lebih efektif berbanding pemberian yang sering (standar IFN).3,6. Berdasarkan beberapa eksperimen yang dilakukan, beberapa pihak menyimpulkan bahawa monoterapi PEG IFN harus menjadi lini pilihan pertama pengobatan pada pasien hepatitis B HBeAg-reaktif yang kronis. 5. Entecavir Entecavir (Baraclude) adalag analog cyclopentyl guanosine yang digunakan secara oral. Obat ini digunakan untuk terapi virus hepatitis B kronis dengan replikasi virus yang aktif atau enzim aminotransferase yang meningkat secara persisten atau secara histologi aktif. Entacavir efektif pada pasien yang resisten dengan obat lamividin.1 Contoh Entecavir adalah Baraclude, tersedia dalam bentuk tablet (sama ada 0,5 mg atau 1 mg) atau dalam bentuk cairan oranye. Dosis standar entecavir adalah 0,5 mg per hari selama satu tahun. Dianjurkan untuk diambil dengan perut yang kosong yaitu dua jam sebelum atau selepas makan.5 Kemungkinan efek samping pada penggunaan obat ini adalah keletihan, sukar tidur, gatal-gatal, muntah dan diare.
19
Rekomendasi terapi Terapi didasarkan dengan memperhatikan empat indikator serologis yaitu status HBeAg, manifestasi klinis, HBV DNA, dan ALT. Rekomendasi terapi adalah seperti di bawah.Pertamanya, ditentukan status HBeAg pasien. Status HBeAg dipastikan sama ada HBeAg-reactive atau HBeAg-negative.5 Pada pasien dengan status HBeAg-reactive:
Klinis
HBV
DNA ALT
Rekomendasi terapi
(copies/mL) Penyakit hati <105
Normal (≤2x Tiada terapi. Monitor.
ringan sampai
batas normal)
inaktif secara klinis Hepatitis
≥105
Normal (≤2x Tiada terapi.
kronis Hepatitis
batas normal) ≥105
Meningkat
kronis
(>2x
Obat oral (oral agent) seperti
batas lamivudin, adefovir, entecavir
normal)
bisa digunakan sebagai lini pertama. Pemberian obat oral per hari sekurang-kurangnya selama 1 tahun dan diteruskan pada jangka waktu yang tidak ditetapkan
atau
kurangnya
sekurangserokonversi
HBeAg selama 6 bulan. Sirosis
Positif
atau Normal atau Diterapi dengan menggunakan
terkompensasi tidak terdeteksi.
meningkat.
oral adalah
agent opsi
atau pada
monitor pasien
dengan HBV DNA <104 atau
20
<105 copies/mL. Sirosis
Positif
atau Normal atau Diterapi dengan oral agent.
dikompensasi
tidak terdeteksi.
meningkat
Rujuk
pasien
untuk
transplantasi hati.
Pasien dengan status HBeAg-negative: Penyakit hati <104 atau <105
Normal
ringan sampai
(≤2x
inaktif secara
normal)
Carrier inaktif. Terapi tidak batas diperlukan.
klinis Hepatitis
≥104 atau ≥105
Normal
kronis
Pertimbangkan Diterapi
jika
biopsi
hati.
hasilnya
abnormal. Hepatitis
≥104 atau ≥105 Meningkat
Objektif terapi adalah untuk
kronis
(>2x
menekan kadar HBV DNA dan
batas
normal)
memastikan kadar ALT dalam batas normal.
Sirosis
Positif
atau Meningkat
terkompensasi
tidak terdeteksi.
Sirosis
Positif
dikompensasi
tidak terdeteksi.
atau normal
atau Meningkat atau normal
Diterapi
menggunakan
oral
menggunakan
oral
agent. Diterapi agent.
21
1.7 Komplikasi 1. Perdarahan gastrointestinal Hipertensi portal menimbulkan varises oesopagus, dimana suatu saat akan pecah sehingga timbul perdarahan yang masif. 2. Sirosis hati Adalah sekelompok penyakit hati kronik yang mengakibatkan kerusakan sel hati dan sel tersebut digantikan oleh jaringan parut sehingga terjadi penurunan jumlah jaringan normal. Peningkatan jaringan parut akan menimbulkan distorsi struktur hati yang normal, sehingga dapat terjadi ganggua aliran darah melalui hati dan gangguan fungsi hati. Respon hati terhadap nekrosis sel hati sangat terbatas, dapat terjadi kolaps lobulus hati, pembentukan fibrous septa dan regenerasi noduler. Fibrosis terjadi setelah timbulnya nekrosis hepatoseluler yang diikuti pembentukan jembatan fibrosis portal dimana-mana. Kematian sel hati akan diikuti oleh pembentukan nodul yang merusak arsitektur hati 3.
Karsinoma hepatoseluler (HCC) Hepatokarsinogenesis dapat terjadi dengan adanya ikatan kovalen antara karsinogen dan DNA. Pada infeksi VHB kronis, diduga terjadi integrasi genom VHB dan genom hepatosit atau adanya delesi/translokasi sekuen DNA tertentu yang dapat mengubah sifat-sifat asli sel hati dan memunculkan transformasi keganasan. Sel hati yang sudah terintegrasi antarah genom VHB dan DNA sel hati akan menjadi kebal terhadap respon imun. Kemudian terjadi proses nekrosis dan kematian sel yang diikuti regenerasi berulang kali dan diikuti replikasi lebih lanjut oleh selsel hati yang telah mengalami transformasi keganasan
22
4. Infeksi Misalnya pada peritonitis, pneumonia, bronkopneumonia, TB paru, glomerulonefritis kronis, pielonefritis, sistitis, peritonitis dan endokarditis. 1.8 Prognosis Virus hepatitis B menyebabkan hepatitis akut dengan pemulihan dan hilangnya virus, hepatitis kronis nonprogresif, penyakit kronis progresif yang berakhir dengan sirosis, hepatitis fulminan dengan nekrosis hati masif, keadaan pembawa asimtomatik, dengan atau tanpa penyakit subklinis progresif. Virus ini juga berperan penting dalam terjadinya karsinoma hepatoselular (Kumat et al, 2012). Setiap tahun, lebih dari 600.000 orang meninggal diakibatkan penyakit hati kronik oleh VHB belanjut ke sirosis, kegagalan hati dan hepatocellular carcinoma.
23
BAB III PENUTUP 1.1 Penutup Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium. Hepatitis B kronik dapat berlanjut menjadi sirosis hepatis yang merupakan komplikasi paling banyak, dan merupakan perjalanan klinis akhir akibat nekrotik sel – sel hepatosit. Hepatitis B kronik merupakan masalah kesehatan yang besar, terutama dengan banyaknya penderita hepatitis B kronik tidak bergejala. Makin dini terinfeksi VHB risiko menetapnya infeksi hepatitis B makin besar. Diagnosis, evaluasi dan keputusan pemberian terapi anti virus didasarkan pada pemeriksaan serologi, virologi, kadar ALT dan pemeriksaan biopsi hati. Pasien hepatitis B kronis yang belum mendapatkan terapi HBeAg positif dan HBV DNA > 105 copies/ml dan kadar ALT normal) dan pasien carrier HBsAg inaktif perlu di evaluasi secara berkala. Saat ini ada 4 jenis obat yang direkomendasikan untuk terapi hepatitis B kronis, yaitu : interferon alfa-, timosin alfa , lamivudin, adefovir dipivoxil. . Hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan pilihan obat adalah keamanan jangka panjang, efikasi dan biaya.
24
DAFTAR PUSTAKA 1. Penatalaksanaan Hepatitis B Kronik, Kiah Hilman, Syarif H.Djajadiredja, Edhiwan Prasetya, Meilianau Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha.
2. Symptoms and signs of chronic viral hepatitis by stage of disease, HIV, Viral Hepatitis and STIS: A Guide For Primary Care. 3. Dienstag, Jules L. Viral Hepatitis. Kasper, Braunwald, Fauci, et all. In Harrison’s :Principles of Internal Medicine : 1822-37. McGraw-Hill, Medical PublishingDivision, 2012.
4. Sudoyo, Aru W, Dkk. 2013. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV Volume I. Chapter 99. Halaman 435-439. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakti dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 5. Chronic hepatitis, 1955-1962, 17th Edition Harrison’s: Principles Of Internal Medicine. Volume II. Fauci. Braunwald. Kasper. Hauser. Longo. Jameson. Loscalzo.
6. Diagnosis and Evaluation, Australian and New Zealand Chronic Hepatitis B (CHB) Recommendations,2013, 2nd Edition Summary & Algorithm Digestive Health Foundation.
7. Recommendations for Identification and Public Health Management of Persons with Chronic Hepatitis B Virus Infection, Center for Disease Control and Prevention (CDC).
8. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC; 2012.
25
9. Aru W. Sudoyo. Hepatitis Virus Akut dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jilid I.2014. Jakarta: FKUI
10. Lesmana, Laurentius A. Prof. Ph.D, SpPD-KGEH, FACP, FACG., 2014., Konsensus PPHI Tentang Panduan Tatalaksana Hepatitis B Kronik 26 Agustus
26