BAB I PENDAHULUAN Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE/GERD) merupakan kelainan saluran cerna bagian atas yang disebabkan oleh refluks gastroesofagus patologik atau refluks yang terjadi berulang sehingga timbul gejala berupa heartburn dan/ regurgitasi dan menyebabkan komplikasi. Refluks gastroesofagus adalah peristiwa masuknya isi lambung ke dalam esofagus.1,6,7 Faktor risiko terjadinya GERD yaitu alkohol, hernia hiatus, obesitas, kehamilan, scleroderma, rokok, obat-obatan seperti antikolinergik, beta blocker, bronkodilator, calcium channel blocker, progestin, antidepresi trisiklik, usia tua/lansia, pria, ada riwayat keluarga dengan GERD, status ekonomi yang tinggi.3,4 GERD umum ditemukan pada populasi di negara-negara Barat dan insidennya relatif lebih rendah di negara-negara Asia-Afrika. Prevalensi GERD menurut Map of Digestive Disorders & Diseases tahun 2008 di Amerika Serikat, United Kingdom, Australia, Cina, Jepang, Malaysia, dan Singapura adalah 15%, 21%, 10,4%, 7,28%, 6,60%, 3,8%, dan 1,6%. Di Indonesia belum ada data mengenai penyakit ini, namun keluhan serupa GERD cukup banyak ditemukan dalam praktik sehari-hari. Berdasarkan data dari Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia.1,2 Pada GERD organ yang ikut terlibat yaitu saluran cerna dari mulut sampai gaster.9 Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadi aliran antegrad saat menelan atau aliran retrograde pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus terjadi jika tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg). Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme yaitu, refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, aliran retrogard sebelum kembalinya tonus LES setelah menelan, meningkatnya tekanan intra abdomen.1 Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esophagus bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah sehingga isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus.7 Gejala klinis yang khas berupa nyeri/epigastrium yang dideskripikan sebagai rasa
1
terbakar, kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia atau sulit menelan makanan, mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah.1
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN CERNA Pada gastroenterologi akan dipelajari organ saluran cerna dari mulut, saluran cerna bagian atas, tengah dan bawah sampai anus beserta organ pelengkap yaitu kelenjar ludah, hepar, sistem bilier dan pancreas. Pada GERD organ yang ikut terlibat yaitu saluran cerna dari mulut sampai gaster.9
Mulut Mulut terdiri atas gigi, lidah dan kelenjar saliva serta rongga mulut sendiri. Fungsi mulut adalah melumatkan makanan sekaligus menyatukan menjadi homogen dengan bantuan saliva, sehingga terbentuk substansi setengah cair yang mudah ditelan. Saliva disekresi sewaktu mengunyah makanan dan mempunyai dampak secara mekanis seperti diperas. Pada rongga mulut sudah terjadi proses digesti/pencernaan makanan terhadap karbohidrat yaitu molekul amilum dicerna menjadi disakarida lalu kemudian menjadi glukosa melalui enzim ptyalin.9 Pada rongga mulut terdapat 3 jenis kelenjar saliva, yaitu kelenjar parotis, submandibularis dan sublingualis. Lidah, salah satu organ esensial pada rongga mulut berfungsi membalikkan makanan sekaligus untuk merasakan makanan. Proses merasakan makanan menjadi daya tarik agar semangat dalam mengunyah, sedangkan reseptor pahit pada bagian posterior lidah berfungsi untuk mendorong lidah memuntahkan makanan kembali sehingga proses pengunyahan makanan dapat menjadi efektif. Daerah mulut dipersyarafi oleh nervus fascialis dan nervus trigeminus sedangkan bagian yang otonom melalui berbagai saraf seperti nervs fascialis, nervus glosopharyngeus, dan nervus vagus.9
Orofagus Fungsi orofagus berkaitan dengan proses menelan. Proses menelan merupakan pemicu gerakan peristaltik di esofagus.9
3
Esofagus Antara orofaring dan esofagus terdapat sfingter esofagus bagian atas. Fungsi esofagus adalah melanjutkan makanan halus ke gaster, esofagus bagian tengah ada pada rongga thorax sedangkan beberapa sentimeter ada pada rongga abdomen. Antara esofagus dan gaster terdapat sfingter bagian bawah. Mukosa esofagus terdiri dari epitel
skuamosa
seperti
kulit
tetapi
tanpa
keratinisasi.
Mukosa
esofagus
mensekresikan cairan dan semacam lendir untuk melumaskan permukaan esofagus sehingga bolus makanan turun dengan lancar ke gaster. Fungsi esofagus semata-mata untuk melanjutkan makanan ke gaster. Proses peristaltik bermula dari proses menelan.Mukosa esofagus yang skuamosa beralih ke sel epitel toraks pada suatu batas yang disebut z-line berbentuk garis zig-zag naik turun, dimana terletak sfingter esofagus bagian bawah.9
Gaster Gaster secara anatomis merupakan sebuah kantung dibawah diafragma. Berbagai fungsi gaster yaitu menampung makanan, melumatkan dan mencerna makanan, melanjutkan makanan, pertahanan terhadap mikroorganisme berbahaya melalui sekresi asam lambung dan fungsi endokrin. Fungsi pencernaan dilakukan dengan mengaduk, melumatkan makanan agar menjadi homogen dari bentuk lunak hingga menjadi cair. Fungsinya agar bolus makanan mudah dilanjutkan melalui sfingter pylorus, mudah dicerna oleh usus kecil dan agar zat nutrient serta air mudah diabsorbsi. Fungsi menampung/reservoir dan melumatkan kemudian melanjutkan makanan menimbulkan konsep waktu pengosongan lambung. Konsep ini berkaitan dengan gangguan motilitas dan retensi makanan pada gaster.9 Pengosongan gaster berlangsung atas kontraksi gaster yang pada garis besarnya terdiri dari 2 jenis kontraksi yaitu pertama berasal dari lanjutan peristaltik esofagus, kedua berasal dari pacemaker kontraksi gaster yang berada pada fundus. Tentang adanya pacemaker intrinsic pada gaster ini masih belum ada kesepakatan atau masih berupa hipotesis. Sebagai dasar adanya hipotesis pacemaker gaster adalah adanya kontraksi tanpa ada proses menelan, misalnya saat tidur.9 Waktu pengosongan gaster untuk makanan padat disepakati sekitar 4-6 jam, untuk makanan lunak/semi solid sekitar 2,5 jam, sedangkan air gula, asam, air tawar sekitar 2 jam. Sebagai contoh pasien hipoglikemia dengan cepat dalam beberapa menit sudah hilang gejalanya setelah minum air gula. Waktu pengosongan gaster juga 4
tergantung pada volume cairan. Air 300 cc dan 750 cc akan berbeda masa pengosongannya di gaster. Hal ini penting untuk mempertimbangkan pemberian obat pada saat perut kosong atau sesudah makan. Apabila diperlukan kadar yang tinggi dengan cepat lebih baik diberikan pada saat perut kosong dengan 250 cc air atau satu gelas, seperti obat-obatan TB yaitu rifampisin, isoniazid dan ethambutol.9 Mukosa asam lambung terdapat berbagai jenis sel yang memiliki fungi spesifik disebut functional cells. Pada gambar dapat terlihat adanya sel spesifik dengan fungsi spesifik. Mayoritas permukaan gaster terdiri atas sel epitel toraks yang mensekresi air dan musin yang berfungsi sebagai mekanisme defensif, selain sel epitel toraks terdapat pula sel parietal yang berfungsi mensekresi asam lambung (HCl).9
Gambar 1 . Sel dalam lambung dengan fungsi spesifik9
Regulasi sekresi asam lambung Asam lambung memiliki berbagai fungsi, pertama fungsi digesti, kedua fungsi detoksikasi alkaloid yang toksik dan ketiga sebagai pertahanan membunuh bakteri yang masuk bersama makanan. Terdapat 3 fase sekresi asam lambung yaitu, fase cephalic, sekresi ini melalui jalur neurogenik yaitu dengan melihat makanan yang disukai, kemudian informasi dilanjutkan dari otak ke lokus dan kemudian memberikan sinyal ke sistem limbic dan hipotalamus lalu diteruskan ke nucleus nervus vagus dan kemudian ke sel parietal.9 Kedua fase gastrik, saat makanan masuk kegaster, terjadi inisiasi fase gastrik dari sekresi asam lambung. Biasanya fase ini dibagi menjadi dua komponen, komponen fisik yang disebabkan oleh distensi gaster dan komponen kimiawi dimana efektor kimiawi berinteraksi dengan sel-sel gastrik. Respon sekretorik asam terhadap distensi dihasilkan oleh adanya reseptor regangan pada jaringan gaster. Makanan juga berinteraksi dengan mukosa gaster menyebabkan sekresi asam lambung, yang 5
independen terhadap regangan oleh bolus makanan. Terdapat 4 konstituen makanan yang menyebabkan efek stimulatorik ini, yakni peptide hasil pencernaan protein, etanol, kopi dan ion Ca2+. Protein utuh merupakan stimulus yang buruk terhadap sekresi asam lambung, namun hasil pemecahan peptide dari protein yang sama merupakan stimulator yang efektif. Gastrin dalam sirkulasi merupakan mediator utama dari sekresi asam lambung postprandial.9 Ketiga fase intestinal dimana asam lambung (HCl) yang masuk ke duodenum dan
intestine
menimbulkan
sinyal
terbentuknya
hormone
nonsekretin
dan
kolesistokinin juga somatostatin yang berfungsi menghambat sekresi asam lambung, ketiga hormone ini juga disebut sebagai hormone anti gastrin.9
Regulasi tingkat seluler Pada gambar dapat dilihat beberapa farmakologi obat yang daoat menghambat sekresi asam lambung yaitu simetidin, famotidine, ranitidine, dan proton pump inhibitor (PPI).9
Gambar 2 . Regulasi sekresi H+ pada lambung9
Volume dan Komposisi Cairan Lambung Dalam keadaan normal, gaster mensekresi cairan sekitar 100 cc, ditambah dengan cairan saliva sebesar 100-500 cc, di luar air minum terdapat 250 cc cairan. Hal ini penting apabila ada pasien dengan obstruksi pylorus maka harus diingat jumlah cairan yang diperlukan sebagai pengganti, dan juga pada kasus lain misalnya menentukan dosis pengganti kalium pada kasus obstruksi usus tingkat tinggi.9
6
2.2 DEFINISI Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE/GERD) merupakan kelainan saluran cerna bagian atas yang disebabkan oleh refluks gastroesofagus patologik. Refluks gastroesofagus adalah peristiwa masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada setiap orang, terutama setelah makan.1,6,7 Refluks yang terjadi tanpa menimbulkan gejala dan perubahan histologik mukosa esofagus, disebut refluks gastroesofagus fisiologik. Bila refluks terjadi berulang-ulang, sehingga timbul gejala dan komplikasi, disebut refluks gastroesofagus patologik atau penyakit refluks gastroesofagus, suatu istilah yang meliputi refluks esofagitis dan refluks simptomatis. Pada refluks esofagitis terjadi perubahan histologik, sedangkan refluks simptomatis menimbulkan gejala tanpa perubahan histologik dinding esofagus.6,7
2.3 ETIOLOGI Faktor risiko terjadinya GERD yaitu alkohol, hernia hiatus, obesitas, kehamilan, scleroderma, rokok, obat-obatan seperti antikolinergik, beta blocker, bronkodilator, calcium channel blocker, progestin, antidepresi trisiklik, usia tua/lansia, pria, ada riwayat keluarga dengan GERD, status ekonomi yang tinggi.3,4
2.4 EPIDEMIOLOGI GERD umum ditemukan pada populasi di negara-negara Barat dan insidennya relatif lebih rendah di negara-negara Asia-Afrika. Di Amerika dilaporkan satu dari lima orang dewasa mengalami heartburn dan/atau regurgitasi sekali dalam seminggu dan lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan.1 Prevalensi GERD menurut Map of Digestive Disorders & Diseases tahun 2008 di Amerika Serikat, United Kingdom, Australia, Cina, Jepang, Malaysia, dan Singapura adalah 15%, 21%, 10,4%, 7,28%, 6,60%, 3,8%, dan 1,6%. Tingginya angka kejadian pada populasi di negara-negara Barat disebabkan karena faktor diet dan tingginya angka obesitas dibandingkan dinegara Asia.1,2 Di Indonesia belum ada data mengenai penyakit ini, namun keluhan serupa GERD cukup banyak ditemukan dalam praktik sehari-hari. Berdasarkan data dari Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto
7
Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia.1,2 2.5 KLASIFIKASI GERD 4,2 a. Erosive esophagitis/ERD, dimana terdapat kerusakan pada mukosa esofagus yang dapat terlihat pada pemeriksaan endoskopi. b. Non erosive reflux disease/NERD, dimana pada pemeriksaan endoskopi tidak didapatkan kerusakan pada mukosa esofagus.
Berdasarkan lokalisasi gejalanya, GERD dibagi menjadi dua, yaitu sindrom esofageal dan esktraesofageal. Sindrom esofageal merupakan refluks esofageal yang disertai dengan atau tanpa adanya lesi struktural. Gejala klinis sindrom esofageal tanpa lesi struktural berupa heartburn dan/atau regurgitasi, serta nyeri dada non-kardiak. Sedangkan pada sindrom esofageal disertai lesi struktural, berupa refluks esofagitis, striktur refluks, Barret’s esophagus (keadaan epitel skuamosa esophagus digantikan oleh metaplasia kolumnar), adenokarsinoma esofagus.2 Sindrom ekstraesofageal biasanya terjadi akibat refluks gastroesofageal jangka panjang, seperti timbul batuk, asma, laringitis, erosi dental, baik melalui kontak langsung berupa pajanan asam lambung pada esofagus, laring dan mulut atau melalui refleks neural.2
2.6 PATOGENESIS Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadi aliran antegrad saat menelan atau aliran retrograde pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus terjadi jika tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg). Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : 1 1) Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat 2) Aliran retrogard sebelum kembalinya tonus LES setelah menelan 3) Meningkatnya tekanan intra abdomen
8
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esophagus bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi
lambung
tersebut
tetap
berada
di
esofagus
dan
peristaltik
akan
mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring. Secara ringkas dapat dilihat pada skema di bawah ini : 7
Gambar 3. Skema terjadinya GERD 7
2.7 MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis yang khas berupa nyeri/rasa tidak enak pada epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripikan sebagai rasa terbakar, kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia atau sulit menelan makanan, mual 9
atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Kadang dapat muncul rasa tidak nyaman pada retrosternal yang mirip dengan angina pektoris.1
2.8 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING a. Anamnesis Dari anamnesis dapat ditemukan keluhan yang paling sering berupa merasa adanya makanan yang menyumbat di dada, nyeri seperti rasa terbakar di dada yang meningkat dengan membungkukkan badan, tiduran dan makan, rasa nyeri tersebut menghilang dengan pemberian antasida, terdapat non cardiac chest pain. Keluhan lainnya yang jarang ditemukan berupa batuk atau asma, kesulitan menelan, hiccups, suara serak atau perubahan suara, nyeri tenggorokan, bronchitis. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan riwayat penggunaan obatobatan.1
GERD Questionnaire (GERD-Q) GERD-Q merupakan kuesioner yang digunakan untuk mendiagnosis GERD dengan tingkat sensitivitas 65% dan spesifisitas 71% serta digunakan untuk mengevaluasi dampak relative pada kehidupan pasien dengan GERD serta untuk membantu memilih terapi.4 Tabel 1. Kuesioner GERD-Q untuk membantu mendiagnosis GERD 4
10
b. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik tidak ada yang khas untuk GERD. Pada pemeriksaan laring dapat ditemukan inflamasi yang mengindikasikan GERD.3,4
c. Pemeriksaan Penunjang Jika keluhan tidak berat maka pemeriksaan penunjang jarang dilakukan. Pemeriksaan penunjang dilakukan apabila keluhan pasien berat atau timbul kembali setelah diterapi.3,4
Esophagogastroduodenoscopy (EGD) untuk melihat adanya kerusakan pada esofagus, gaster dan duodenum.
Barium meal/barium esophagography untuk mlihat stenosis esofagus dan hiatus hernia.
Continuous esophageal pH monitoring untuk mengevaluasi pasien GERD yang tidak respon dengan proton pump inhibitor (PPI), kemudian untuk mengevaluasi pasien-pasien dengan gejala ekstraesophageal sebelum terapi dengan proton pump inhibitor (PPI), dan untuk memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti refluks atau mengevaluasi non erosive reflux disease (NERD) berulang setelah operasi anti refluks.
Manometri esofagus untuk mengevaluasi pengobatan pasien NERD dan untuk tujuan penelitian.
Stool occult blood test untuk melihat adanya perdarhan dari iritasi pada esofagus, gaster atau usus.
Pemeriksaan histopatologis untuk menentukan adanya metaplasia, displasia atau keganasan.
Impedance test, dilakukan melalui resistensi yang berubah terhadap arus listrik antara dua elektroda saat cairan dan/atau gas yang diberikan kepada pasien bergerak diantara dua elektroda tersebut. Biasanya tes ini digunakan untuk mengevaluasi pasien NERD yang tidak memberikan respon terhadap terapi PPI.
Bilitect test, untuk melihat adanya refluks gastroesophageal dengan menilai kadar bilirubin optikal, biasanya digunakan pada pasien dengan gejala persisten dengan hasil normal pada pemeriksaan pH-metry.
Bernstein test, untuk menilai sensitivitas mukosa esofagus dengan memasukan nasal kateter dan memasukan HCl 0,1 N pada distal esofagus selama kurang lebih 11
1 jam. Biasanya digunakan pada pasien dengan gejala atipikal dan untuk tujuan penelitian.
Upper gastrointestinal endoscopy (UGIE) merupakan gold standard untuk mendiagnosis GERD dengan erosive esophagitis, biasanya UGIE dilakukan pada pasien dengan gejala seperti disfagia progresif, odinofagia, penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya, anemia akut, hematemesis dan/atau melena, riwayat keluarga dengan malignansi gaster dan/atau esophagus, penggunaan NSAID jangka panjang, usia lebih dari 40 tahun, dan pada pasien yang tidak memberikan respon dengan pengobatan PPI dua kali sehari. Hingga saat ini belum ada gold standard untuk mendiagnosis NERD. Kriteria yang dapat digunakan untuk mendiagnosis NERD yaitu tidak ditemukan kerusakan mukosa pada pemeriksaan UGIE, pada tes pH esofagus didapatkan hasilnya positif, serta pemberian PPI dua kali sehari memberikan respon positif.
Diagnosis Banding 3 Dispepsia Ulkus peptikum Esophagitis Colic bilier Gangguan motilitas esophagus Eosinophilic esophagitis Penyakit jantung koroner
2.9 TATALAKSANA Prinsip dari penatalaksaan GERD adalah modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi bedah bila tidak ada respon setelah pengobatan medikamentosa ataupun telah terjadi komplikasi. Target penatalaksanaan GERD yaitu; 1 1) Menyembuhkan lesi esofagus 2) Menghilangkan gejala atau keluhan 3) Mencegah kekambuhan 4) Memperbaiki kualitas hidup 5) Mencegah timbulnya komplikasi 12
Gambar 4. Alur penatalaksanaan GERD di Indonesia menurut Konsensus Nasional 2004 1
Non Medikamentosa Terapi ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan dengan cara melakukan modifikasi gaya hidup atau pengaturan pola hidup seperti berikut : 1,2 a) Menurunkan berat badan bila pasien mengalami obesitas atau menjaga berat badan sesuai dengan IMT ideal (18,5-22,9) menurut kriteria Asia Pasifik dan menghindari memakai pakaian yang ketat untuk mencegah peningkatan tekanan intra abdomen. b) Meninggikan posisi kepala pada saat tidur atau berbaring ± 15-20 cm serta menghindari makan sebelum tidur (makan malam paling lambat 2-3 jam sebelum tidur) yang bertujuan meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esofagus. c) Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena dapat menurunkan tonus LES d) Mengurangi konsumsi lemak dan makan dalam jumlah banyak sekaligus untuk mencegah terjadinya distensi lambung. e) Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, kopi, peppermint dan minuman bersoda yang dapat meningkatkan sekresi asam. f) Jika memungkinkan hindari obat-obatan yang dapat menurunkan tonus LES seperti; antikolinergik,teofilin,antagonis kalsium, agonis beta adrenergik, diazepam, opiat dan progesteron.
13
Medikamentosa Alur pendekatan terapi medikamentosa GERD dengan dua metode yakni, step up dan step down. Pada pendekatan step up dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2 atau prokinetik) bila gagal, baru diberikan Penghambat Pompa Proton (PPI). Sedangkan pada pendektan step down pengobatan dimulai dengan terapi PPI lalu dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau antasid.1 Menurut Genval Statement (1999) dan Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati terapi lini pertama untuk GERD adalah obat golongan PPI dan digunakan pendekatan step down. Umumnya pengobatan PPI diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) lalu dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan (maintenance) selama 4 minggu biasanya dikombinasikan dengan Antagonis reseptor H2/ prokinetik/antasid atau bila perlu diberikan terapi on demand dengan PPI yang diberikan bila pasien mengalami gejala saja, diberikan sekali sehari selama 5-14 hari.1,2
Penghambat Pompa Proton Golongan ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K-ATPase. Sangat efektif menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus.1 Terapi standar PPI diberikan sekali sehari selama 4 minggu dengan dosis standar (Omeprazole 1 x 20 mg; Lansoprazole 1 x 30 mg; Pantoprazole 1 x 40 mg; Rabeprazole 1 x 10 mg; Esomeprazole 1 x 40 mg). Bila pasien belum menunjukan perbaikan terapi dapat dilanjutkan hingga 8 minggu. Dosis PPI diberikan dua kali dosis standar bila pasien mengalami gejala refluks yang mengganggu pada malam hari atau tidak ada perbaikan setelah diberikan terapi selama 8 minggu.1,2
Antagonis reseptor H2 Golongan obat ini membantu mengurangi gejala refluks dan penyembuhan esophagitis, tetapi hanya efektif untuk pengobatan esophagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis efektif untuk GERD adalah dua kali dosis standar (Simetidin 2x 800 mg; Ranitidin 4 x 150 mg; Famotidin 2 x 20 mg; Nizatidin 2 x 150 mg).1 14
Prokinetik Golongan ini diberikan untuk memperbaiki gangguan motilitas,agen yang dapat digunakan Metoklopramid 3 x 10 mg (efektivitasnya rendah kecuali diberikan kombinasi dengan PPI atau antagonis reseptor H2), Domperidon 3 x 10 mg (efektivitasnya rendah, namun dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung), Cispride 3 x 10 mg ( efektivitasnya lebih baik dibandingkan domperidone dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi).1
Antasida Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esophagitis, namun dapat meningkatkan tonus LES. Dosis yang diberikan 4 x 1 sendok makan. Penggunaannya perlu diperhatikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.1 Tabel 2. Efektivitas terapi obat untuk GERD 2
Terapi bedah Merupakan terapi alternatif yang dilakukan jika terapi medikamentosa gagal atau pada pasien dengan striktur berulang. Teknik pembedahan yang umum dilakukan adalah fundoplikasi (Nissen, Dor, dan Taupet). 1
Gambar 5. Teknik fundoplikasi 6 15
Terapi endoskopi Walaupun laporannya masih terbatas, akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu dengan : 1 1) Penggunaan energi radiofrekuensi 2) Plikasi gastrik endoluminal 3) Implantasi endoskopi, dengan menyuntikkan zat implant di bawah mukosa esofagus bagian distal, sehingga lumen esofagus bagian distal menjadi lebih kecil.
2.10 KOMPLIKASI Komplikasi yang bisa terjadi pada GERD : 5 1. Striktur esofagus 2. Perdarahan 3. Esophagitis ulseratif 4. Esofagus Barrett Perubahan mukosa esofagus dari skuamosa menjadi epitel kolumnar metaplastik
2.11 PROGNOSIS Prognosis sangat baik pada sebagian besar pasien, namun kekambuhan sering terjadi dan membutuhkan terapi pemeliharaan jangka Panjang atau prosedur bedah. Pasien dengan komplikasi struktural yang menjalani operasi bedah memilih prognosis sangat baik. Pada pasien dengan adenokarsinoma memiliki prognosis yang buruk.1,4
16
BAB II KESIMPULAN Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE/GERD) merupakan kelainan saluran cerna bagian atas yang disebabkan oleh refluks gastroesofagus patologik atau refluks yang terjadi berulang sehingga timbul gejala berupa heartburn dan/ regurgitasi dan menyebabkan komplikasi. Refluks gastroesofagus adalah peristiwa masuknya isi lambung ke dalam esofagus.1,6,7 Faktor risiko terjadinya GERD yaitu alkohol, hernia hiatus, obesitas, kehamilan, scleroderma, rokok, obat-obatan seperti antikolinergik, beta blocker, bronkodilator, calcium channel blocker, progestin, antidepresi trisiklik, usia tua/lansia, pria, ada riwayat keluarga dengan GERD, status ekonomi yang tinggi.3,4 GERD umum ditemukan pada populasi di negara-negara Barat dan insidennya relatif lebih rendah di negara-negara Asia-Afrika. Di Indonesia belum ada data mengenai penyakit ini, namun keluhan serupa GERD cukup banyak ditemukan dalam praktik sehari-hari. Berdasarkan data dari Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIRSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia.1,2 Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah sehingga isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus.7 Gejala klinis yang khas berupa nyeri/rasa tidak enak pada epigastrium. Rasa nyeri biasanya dideskripikan sebagai rasa terbakar, kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia atau sulit menelan makanan, mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah.1 Diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik saja, pemeriksaan penunjang seperti endoskopi dilakukan untuk menunjang diagnosis dan melihat adanya komplikasi. Penatalaksanaan GERD dilakukan dengan non medikamentosa berupa modifikasi gaya hidup dan medikamentosa dengan alur step down, PPI merupakan drug of choice untuk mengurangi gejala serta menyembuhkan lesi esofagus pada GERD. Prognosis GERD sangat baik kecuali sudah terjadi komplikasi berupa adenokarsinoma, maka prognosisnya sangat buruk.1,2,4
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B & Syam AF. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid II. Interna Publishing: Jakarta.
2. Saputera,
M.D
dan
Budianto,
Widi.
2017.
Diagnosis
dan
Tatalaksana
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer. CDK-252/ Vol.44;No.5;pp 329- 332. 3. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J & Tahapary DL. 2017. Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis. Interna Publishing: Jakarta. 4. The Indonesian Society of Gastroenterology. 2014. National Consensus on the Management of Gastroesophageal Reflux Disease in Indonesia. Acta Med IndonesIndones J Intern Med 46 (3): 263-271. 5. Asroel A Harry.2002. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Fakultas Kedokteran Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga Universitas Sumatera Utara. Diakses melalui http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary.pdf pada 24/11/2018; 10.52. 6. Mariana Y. 2001. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Balai Penerbit FK UI : Jakarta. 7. Putnam PE. 1996. Gastroesophageal Reflux. In : Bluestone CD, et al. Pediatric Otolaryngology, Vol.2, 3rd ed., pp 1144-56. Philadelphia : WB Saunders Co.. 8. Heartburn
Surgery.
Diakses
melalui
https://www.webmd.com/heartburn-
gerd/guide/heartburn-surgery#1 pada 24/11/2018; 11.40. 9. Rani A, Simadibrata M & Syam AF. 2011. Buku Ajar Gatroenterologi. Edisi I. InternaPublishing: Jakarta.
18