REFERAT MAXILLOFACIAL FRACTURE
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Pendidikan Dokter Umum Stase Ilmu Penyakit Bedah
Disusun oleh : Lea Rahmadinia, S.Ked
(J510185096)
HALAMAN JUDUL Pembimbing : dr. Heru Iskandar, Sp. B, M. Kes
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD DR. HARJONO KABUPATEN PONOROGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018
REFERAT FRAKTUR MAKSILOFASIAL LEMBAR PENGESAHAN Disusun oleh : Lea Rahmadinia, S.Ked
(J510185096)
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing dr. Heru Iskandar, Sp. B, M. Kes
(…………………….)
Dipresentasikan dihadapan dr. Heru Iskandar, Sp. B, M. Kes
(…………………….)
Disahkan Ka. Program Pendidikan Profesi FK UMS Dr. Iin Novita Nur M, M. Sc. Sp. PD
(…………………….)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD DR. HARJONO KABUPATEN PONOROGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018
BAB I PENDAHULUAN
Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik. Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja , kecelakaan akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas. Tulang fasial secara kasar dapat dibagi menjadi 3 daerah, yaitu sepertiga bawah atau mandibula, sepertiga atas yang dibentuk oleh tulang dahi, dan sepertiga tengah daerah yang membentang dari tulang dahi menuju kepermukaan gigi geligi atas, bila pasien tidak mempunyai gigi pada alveolus atas. Fraktur yang terjadi pada daerah sepertiga tengah disebut juga fraktur rahang atas atau fraktur maksila, tetapi istilah ini tidak tepat benar oleh karena fraktur sepertiga tengah juga diikuti dengan fraktur tulang didekatnya. Fraktur yang terjadi pada sepertiga tengah dan atau mandibula, dikenal pula sebagai "maxillofascial injury". Bila dibandingkan dengan fraktur mandibula, frekuensi terjadinya fraktur maksilla lebih sedikit. Row dan Kinley (1955) dan Converse (1974), pada penelitiannya mendapatkan perbandingan fraktur mandibula dan fraktur maksila ber-banding 4 : 1. Pada penelitian terakhir, didapatkan adanya peningkatan kejadian fraktur maksila. Meskipun fraktur maksila jarang dijumpai, tetapi sering memberikan komplikasi kosmetik, fungsi penglihatan dan oral yang buruk.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu os maksila, zigimatikus, dan etmoid. Maksilla dibentuk oleh tulang maksilla dan palatum, merupakan tulang terbesar setelah mandibula. Masing-masing maksila mempunyai bagian: Corpus : yang berbentuk pyramid dengan 4 permukaan dinding Facies orbitalis yang ikut membentuk dasar cavum orbita. Facies nasalis yang ikut membentuk dinding lateral cavum nasi. Facies infra temporalis yang menghadap postero-lateral. Facies anterior. Processus, ada 4 proscessus yaitu : Proc. frontalis yang bersendi dengan os. frontale, nasal, dan lacrimale. Proc. zygomaticus yang bersendi dengan os. zygomaticus. Proc. alveolaris yang ditempati akar gigi. Proc. palatinus yang memisahkan cavum nasi dengan cavum oris.
Anatomi Fasial
Anatomi Tulang Maksilla Corpus maksilla merupakan bangunan berongga, berdinding tipis, terutama pada facies nasalis. Rongga ini disebut sinus maksilaris, yang merupakan salah satu dan yang terbesar dari ke empat sinus paranasalis yang ada. Besar sinus bervariasi tergantung usia dan perluasan ke processus. Di bawah mukosanya, pada dinding
posterior dan anterior, terdapat anyaman saraf yang dibentuk cabang n. maksilaris yang masuk sinus melalui canalis alveolaris dan canalis infra orbitalis bersama-sama dengan vasanya, untuk mensarafi gigi rahang atas. Akar gigi yang tumbuh pada proc. alveolaris maksila kadang-kadang dapat menembus sinus, yaitu akar gigi dari Ml, tetapi dapat juga akar gigi M2, M3, Pl, P2. Terdapat otot-otot kecil dan tipis yang melekat pada mak sila dan termasuk dalam golongan otot mimik yang mendapat persarafan motorik dari N.VIII. Secara mikroskopis, maksilla merupakan tulang kanselous, dimana pada fraktur akan terjadi penyebuhan primer. 2.2. Epidemiologi Fraktur pada midface seringkali terjadi akibat kecelakan kendaraan bermotor, terjatuh, kekerasan, dan akibat trauma benda tumpul lainnya. Untuk fraktur maksila sendiri, kejadiannya lebih rendah dibandingkan dengan fraktur midface lainnya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Rowe dan Killey pada tahun 1995, rasio antara fraktur mandibula dan maksila melebihi 4:1. Beberapa studi terakhir yang dilakukan pada unit trauma rumah sakit - rumah sakit di beberapa negara menunjukkan bahwa insiden fraktur maksila lebih banyak terkait dengan fraktur mandibula. Data lainnya juga dilaporkan dari trauma centre level 1, bahwa diantara 663 pasien fraktur tulang wajah, hanya 25.5% berupa fraktur maksila. Di University of Kentucky Medical Centre, dari 326 pasien wanita dewasa dengan facial trauma, sebanyak 42.6% trauma terjadi akibat kecelakan kendaraan bermotor, 21.5% akibat terjatuh, akibat kekerasan 13.8%, penyebab yang tidak ingin diungkapkan oleh pasien 10,7%, cedera saat berolahraga 7,7%, akibat kecelakaan lainnya 2,4%,dan luka tembak sebagai percobaan bunuh diri serta akibat kecelakan kerja masing-masing 0.6%. Diantara 45 pasien korban kekerasan, 19 orang diantaranya mengalami trauma wajah akibat intimate partner violence (IPV) atau kekerasan dalam rumah tangga. Disamping mekanisme yang disebutkan di atas, osteoporosis ternyata juga berpengaruh terhadap insiden fraktur maksilofasial
termasuk maksila. Hal tersebut didapatkan dari review retrospektif yang dilakukan pada 59 pasien fraktur maksilofasial yang berusia 60 tahun ke atas di sebuah trauma centre antara tahun 1989 dan 2000. Didapat bahwa semakin parah kondisi osteoporosis, semakin besar kemungkinan jumlah fraktur maksilofasial yang dialami. Oleh karena itu, benturan yang lebih ringan akibat terjatuh bisa menimbulkan fraktur maksilofasial multiple sebagaimana yang terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor jika pasien mengalami osteoporosis yang parah. 2.3. Etiologi Fraktur maxilla dapat disebabkan oleh trauma atau karena proses patologis. 1) Fraktur Traumatik Fraktur Traumatik adalah fraktur yang disebabkan oleh pukulan pada: -
Perkelahian
-
Kecelakaan
-
Tembakan
2) Fraktur Patologis Fraktur yang disebabkan oleh keadaan patologis dimana tulang dalam keadaan sakit, tulang tipis atau lemah, sehingga bila ada trauma ringan seperti berbicara, makan dan mengunyah dapat terjadi fraktur. Terjadi karena: a) Penyakit tulang setempat -
Kista
-
Tumor tulang jinak atau ganas
-
Keadaan dimana resorpsi tulang sangat besar sekali sehingga dengan atau tanpa trauma dapat terjadi fraktur, misalnya pada osteomielitis
b) Penyakit umum yang mengenai tulang sehingga tulang mudah patah. -
Osteomalacia
-
Osteoporosis
-
Atrofi tulang secara umum
2.4. Klasifikasi Fraktur Maksilla 1. Dento Alveolar Fracture Suatu fraktur di daerah processus maxillaris yang belum mencapai daerah Le Fort I dan dapat terjadi unilateral maupun bilateral. Fraktur ini meliputi processus alveolaris dan gigi-gigi. Gejala klinik: Extra oral : a. Luka pada bibir atas yang dalam dan luas. Luka laserasi pada bibir sering disertai perdarahan, kadang-kadang terdapat patahan gigi dalam bibir yang luka tersebut. b. Bibir bengkak dan edematus c. Echymosis dan hematoma pada muka Intra oral : a. Luka laserasi pada gingiva daerah fraktur dan sering disertai perdarahan. b. Adanya subluxatio pada gigi sehingga gigi tersebut bergerak, kadang-kadang berpindah tempat. c. Adanya alvulatio gigi, kadang-kadang disertai tulang alveolusnya d. Fraktur corona gigi dengan atau tanpa terbukanya pulpa 2. Le Fort I: Pada fraktur ini, garis fraktur berada di antara dasar dari sinus maxillaris dan dasar dari orbita. Pada Le Fort I ini seluruh processus alveolaris rahang atas, palatum durum, septum nasalis terlepas dari dasarnya sehingga seluruh tulang rahang dapat digerakkan ke segala arah. Karena tulang-tulang ini diikat oleh jaringan lunak saja, maka terlihat seperti tulang rahang tersebut mengapung (floating fracture). Fraktur dapat terjadi unilateral atau bilateral. Suatu tambahan fraktur pada palatal dapat terjadi, dimana terlihat sebagai suatu garis echymosis.
Fraktur Le Fort 1 Gejala Klinik Extra oral : a. Pembengkakan pada muka disertai vulnus laceratum b. Deformitas pada muka, muka terlihat asimetris c. Hematoma atau echymosis pada daerah yang terkena fraktur, kadang-kadang terdapat infraorbital echymosis dan subconjunctival echymosis d. Penderita tidak dapat menutup mulut karena gigi posterior rahang atas dan rahang bawah telah kontak lebih dulu. Intra oral : a. Echymosis pada mucobucal rahang atas b. Vulnus
laceratum,
pembengkakan
gingiva,
kadang-kadang
disertai
goyangnya gigi dan lepasnya gigi. c. Perdarahan yang berasal dari gingiva yang luka atau gigi yang luka, gigi fraktur atau lepas. d. Open bite maloklusi sehingga penderita sukar mengunyah.
3.
Le Fort II : Garis fraktur meliputi tulang maxillaris, nasalis, lacrimalis, ethmoid, sphenoid
dan sering tulang vomer dan septum nasalis terkena juga.
Fraktur Le Fort II Gejala klinik Extra oral : a. Pembengkakan hebat pada muka dan hidung, pada daerah tersebut terasa sakit. b. Dari samping muka terlihat rata karena adanya deformitas hidung. c. Bilateral circum echymosis, subconjunctival echymosis. d. Perdarahan dari hi dung yang disertai cairan cerebrospinal. Intra oral: a. Mulut sukar dibuka dan rahang bawah sulit digerakkan ke depan b. Adanya maloklusi open bite sehingga penderita sukar mengunyah. c. Palatum mole sering jatuh ke belakang sehingga dorsum lidah tertekan sehingga timbul kesukaran bernafas.
d. Terdapatnya kelainan gigi berupa fraktur, avultio,luxatio. e. Pada palpasi, seluruh bagian rahang atas dapat digerakkan, pada bagian hidung terasa adanya step atau bagian yang tajam dan terasa sakit. 4.
Le Fort III Fraktur ini membentuk garis fraktur yang meliputi tulang-tulang nasalis,
maxillaris, orbita, ethmoid, sphenoid dan zygomaticus arch. Sepertiga bagian tengah muka terdesak ke belakang sehingga terlihat muka rata yang disebut "Dish Shape Face". Displacement ini selalu disebabkan karena tarikan ke arah belakang dari M.pterygoideus dimana otot ini melekat pda sayap terbesar tulang sphenoid dan tuberositas maxillary.
Fraktur Le Fort III Gejala klinik Extra oral : a. Pembengkakan hebat pada muka dan hidung b. Perdarahan pada palatum, pharinx, sinus maxillaris, hidung dan telinga. c. Terdapat bilateral circum echymosis dan subconjunctival echymosis. d. Pergerakan bola mata terbatas dan terdapat kelainan N.opticus dan saraf motoris dari mata yang menyebabkan diplopia, kebutaan dan paralisis bola mata yang temporer. e. Deformitas hidung sehingga mata terlihat rata. f. Adanya cerebrospinal rhinorrhoea dan umumnya bercampur darah
g. paralisis N.Fasialis yang sifatnya temporer atau permanen yang menyebabkan Bell’s Palsy.
Intra oral : a. Mulut terbuka lebih lebar karena keadaan open bite yang berat. b. Rahang atas dapat lebih mudah digerakkan c. Perdarahan pada palatum dan pharynx. d. Pernafasan tersumbat karena tertekan oleh dorsum lidah. 5.
Zygomaticus Complex Fracture Tulang zygoma adalah tulang yang kokoh pada wajah dan jarang mengalami
fraktur. Namun tempat penyambungan dari lengkungnya sering fraktur. Yang paling sering mengalami fraktur adalah temporal sutura dari lengkung rahang. Fraktur garis sutura rim infra orbital, garis sutura zygomatic frontal dan zygomatic maxillaris.
Fraktur Zigoma Fraktur ini biasanya unilateral, sering bersifat multiple dan communited, tetapi karena adanya otot zygomatic dan jaringan pelindung yang tebal, jarang bersifat compound. Displacement terjadi karena trauma, bukan karena tarikan otot. Trauma/pukulan biasanya mendorong bagian-bagian yang patah ke dalam.
Gejala klinik: a. Penderita mengeluh sukar membuka rahang, merasa ada sesuatu yang menahan, waktu membuka mulut ke depan condyle seperti tertahan. b. Bila cedera sudah beberapa hari dan pembengkakan hilang, terlihat adanya depresi yang nyata sekeliling lengkung dengan lebar 1 atau 2 jari yang dapat diraba. c. Pembengkakan periobital, echymosis. d. Palpasi lunak e. Rasa nyeri f. Epistaksis, perdarahan hidung disebabkan karena cedera, tersobeknya selaput lendir antral oleh depresi fraktur zygomatic dengan perdarahan lebih lanjut ke antrum melalui ostium maxilla ke rongga hidung. g. Rasa baal di bawah mata, rasa terbakar dan paraesthesia h. Perdarahan di daerah konjungtiva i. Gangguan penglihatan diplopia, kabur. 6.
Fraktur Mandibula Fraktur mandibula dapat dibagi menjadi dua kelompok utama : 1. Fraktur tanpa terbukanya tulang dan tanpa kerusakan jaringan lunak 2. Fraktur dengan terbukanya tulang disertai dengan kerusakan yang hebat dari jaringan lunak Mandibula mudah terkena cedera karena posisinya yang menonjol, sehingga
mandibula mudah menjadi sasaran pukulan dan benturan. Fraktur mandibula sering terjadi karena trauma langsung.
Gejala Klinik: a. Perubahan posisi rahang sehingga terjadi maloklusi b. Nyeri dan krepitasi saat menggerakkan rahang c. Pasien mengalami pergerakan abnormal pada rahang d. Bengkak dapat menentukan lokasi fraktur mandibula e. Trismus, hipersalivasi, dan haloitosis karena stagnasi makanandan hilangnya efek self cleansing kerena gangguan fungsi mengunyah f. Gangguan pernafassan karena sumbatan berupa hematom, edema jaringan lunak g. Anestesi salah satu bibir karena kerusakan nervus alveolaris inferior. 2.5. Diagnosis Mobilitas dan maloklusi merupakan hallmark adanya fraktur maksila. Namun, kurang dari 10 % fraktur Le Fort dapat terjadi tanpa mobilitas maksila. Gangguan oklusal biasanya bersifat subtle, ekimosis kelopak mata bilateral biasanya merupakan satu-satunya temuan fisik. Hal ini dapat terjadi pada Le Fort II dan III dimana disrupsi periosteum tidak cukup untuk menimbulkan mobilitas maksila. a. Anamnesis Pengetahuan tentang mekanisme cedera memungkinkan dokter untuk mencurigai cedera yang terkait selain cedera primer. Waktu diantara cedera atau penemuan korban dan inisiasi treatment merupakan informasi yang amat berharga yang mempengaruhi resusitasi pasien.
b. Pemeriksaan Fisik 1) Inspeksi Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema, dan hematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan belakang mengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada pergigian posterior. 2) Palpasi Palpasi
bilateral
dapat
menunjukkan
step
deformity
pada
sutura
zygomaticomaxillary, mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior. 3) Manipulasi Digital Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang dengan kuat bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan keempat jari lainnya, sedangkan tangan yang satunya menjaga agar kepala pasien tidak bergerak. Jika maksila digerakkan maka akan terdengar suara krepitasi jika terjadi fraktur. 4) Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea Cairan serebrospinal dapat mengalami kebocoran dari fossa kranial tengah atau anterior (pneumochepalus) yang dapat dilihat pada kanal hidung ataupun telinga. Fraktur pada fossa kranial tengah atau anterior biasanya terjadi pada cedera yang parah. Hal tersebut dapat dilihat melalui pemeriksaaan fisik dan radiografi. 5) Maloklusi Gigi Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan kuat ke arah fraktur maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama pola oklusal gigi sebelumnya akan membantu diagnosis dengan tanda maloklusi ini. Pada Le Fort III pola oklusal gigi masih dipertahankan, namun jika maksila berotasi dan bergeser secara signifikan ke belakang dan bawah akan terjadi maloklusi komplit dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu sama lain. c. Pemeriksaan Radiologi Pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara klinis, pemeriksaan radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan radiologi digunakan untuk menunjang diagnosa. Untuk menegakkan diagnosa yang tepat
sebaiknya digunakan beberapa posisi pengambilan foto, karena tulang muka kedudukannya sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan kita untuk melihatnya dari satu posisi saja. Pemeriksaan Ro Foto untuk fraktur maxilla antara lain : 1. PA position 2. Waters position 3. Lateral position 4. Occipito Mental Projection 5. Zygomaticus 6. Panoramic 7. Occlusal view dari maxilla 8. Intra oral dental Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos, namun CT scan merupakan pilihan untuk pemeriksaan diagnostik. Teknik yang dipakai pada foto polos diantaranya; waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view. Jika terjadi fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin akan kita dapat dari foto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus maksila, pemisahan pada rima orbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan daerah nasofrontal. Dari film lateral dapat terlihat fraktur pada lempeng pterigoid. Diantara pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untuk menilai fraktur maksila adalah dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup baik. Adanya cairan pada sinus maksila bilateral menimbulkan kecurigaan adanya fraktur maksila. Dibawah ini merupakan foto CT scan koronal yang menunjukkan fraktur Le Fort I, II, dan III bilateral. Dimana terjadi fraktur pada buttress maksilari medial dan lateral di superior maupun inferior (perpotongan antara panah hitam dan putih). Perlu dilakukan foto CT scan aksial untuk mengkonfirmasi diagnosis dengan mengamati adanya fraktur pada zygomatic arch dan buttress pterigomaksilari.
Banyaknya komponen tulang yang terlibat dalam fraktur maksila, membuat klasifikasi ini cukup sulit untuk diterapkan. Untuk memudahkan tugas dalam mengklasifikasikan fraktur maksila, terdapat tiga langkah yang bisa diterapkan. Pertama, selalu memperhatikan prosesus pterigoid terutama pada foto CT scan potongan koronal. Fraktur pada prosesus pterigoid hampir selalu mengindikasikan bahwa fraktur maksila tersebut merupakan salah satu dari tiga fraktur Le Fort. Untuk terjadinya fraktur Le Fort, prosesus pterigoid haruslah mengalami disrupsi. Kedua, untuk mengklasifikasikan fraktur tipe Le Fort, perhatikan tiga struktur tulang yang unik untuk masing-masing tipe yaitu; margin anterolateral nasal fossa untuk Le Fort I, rima orbita inferior untuk Le Fort II, dan zygomatic arch untuk Le Fort III. Jika salah satu dari tulang ini masih utuh, maka tipe Le Fort dimana fraktur pada tulang tersebut merupakan ciri khasnya, dapat dieksklusi. Ketiga, jika salah satu tipe fraktur sudah dicurigai akibat patahnya komponen unik tipe
tersebut, maka selanjutnya lakukan konfirmasi dengan cara mengidentifikasi fraktur-fraktur komponen tulang lainnya yang seharusnya juga terjadi pada tipe itu. Fraktur fasial sekunder yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor berkecepatan tinggi biasanya berhubungan dengan fraktur servikal atau trauma jaringa saraf. Karena itu, pemeriksaan servikal harus dilakukan. Pemeriksaan pada seluruh nervus kranial juga harus dilakukan. Trauma lain yang juga biasa ditemukan adalah trauma pada mata. 2.6. Tatalaksana Prinsip penanganan fraktur maksila pada langkah awal penanganan pada hal yang bersifat kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi darah termasuk penanganan syok (circulaation), penanganan luka jaringan lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap kedua adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen fraktur. Fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi, sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak bergerak sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang selesai. a. Perawatan jalan nafas. Adanya pergeseran dan pecahan tulang akibat fraktur maksila, serta jaringan lunak, bekuan darah, gigi/patahan gigi atau benda asing lain akan menyebabkan sumbatan jalan nafas. Jalan nafas harus dipastikan bersih dari benda asing, dan di-lakukan perawatan perdarahan pada nasal dan oral. Jika terjadi edema pharing atau terjadi gangguan jalan nafas akibat per geseran struktur tulang maka harus segera dilakukan tracheostomi. b. Perawatan perdarahan. Pada umumnya fraktur maksilla akan disertai dengan laserasi mukosa oral dan kulit sehingga timbul perdarahan hebat a. palatina mayor atau a. maksilaris interna dapat mengalami ruptur akibat gaya geseran dari segmen maksila. Perdarahan dapat terjadi karena robekan mukosa nasal dan sinus maksila. Perdarahan dapat diatasi dengan melakukan penekanan, berupa tampon
pada tempat luka ataupun dengan melakukan tampon pada pharing posterior. Jika perdarahan yang terjadi tidak dapat dihentikan, dapat dilakukan ligasi a. karotis eksterna. c. Perawatan Fraktur Perawatan fraktur ditujukan pada penempatan ujung tulang yang fraktur pada hubungan yang benar sehingga ujung tulang tersebut bersentuhan dan dipertahankan pada posisi tersebut sampai penyembuhan terjadi. Reposisi/reduksi fraktur ada 2 cara 1) Close reduction Banyak terdapat cara reposisi. Cara yang mudah adalah reposisi tertutup yaitu manipulasi tulang dengan tarikan yang dilakukan di bawah kulit yang intact sampai fraktur berada pada posisi yang benar. Fraktur yang dapat dilakukan reposisi tertutup, bila garis fraktur simpel, posisi cukup baik dan terjadinya fraktur masih baru. a) Reduksi yang dilakukan pada fraktur dengan cara manipulasi. Cara ini dilakukan pada fraktur yang masih baru dan mudah dikembalikan pada tempat semula. Caranya : raba permukaan tulang yang patah melalui intra dan ekstra oral, lalu perhatikan oklusinya. Setelah kawat fiksasi dipasang, baru reduksi dikerjakan yaitu dengan manipulasi bagian-bagian tulang yang patah itu sampai kedudukannya seperti semula. b) Reduksi dengan tarikan Yang paling sering dipakai yaitu intermaxillary traction yaitu penarikan rahang bawah dan rahang atas. Cara ini dilakukan bila displacement sukar dimanipulasi pada tempat-tempat yang diinginkan yang mungkin oleh karena adanya spasmus otot dan fraktur yang sudah lama sehingga terjadi malunion yang sukar dikembalikan ke keadaan semula. 2) Open reduction (dengan cara operasi)
Cara ini dipakai jika reduksi tertutup tidak dapat dikerjakan, lebih sering dikerjakan untuk fiksasi dari pada untuk reduksi fraktur. d. Fiksasi dan Immobilisasi Pada fraktur yang dilakukan reposisi tertutup ketika tulang rahang dan gigi sudah terletak pada posisi yang tepat, maka dapat dipertahankan dengan menggunakan kawat Arch Bar, membebat gigi, pita elastic atau kawat yang menghubungkan mandibula dan maksila. Fiksasi dapat dilakukan langsung pada gigi atau otot-otot sekitar rahang, sehingga dapat dibagi menjadi: 1) Indirect dental fixation Mengikat rahang atas dan rahang bawah bersama-sama dalam keadaan oklusi dengan mempergunakan pengikat atau elastic band. Pada fiksasi harus diperhatikan oklusi gigi atas dan bawah harus baik. Ada 2 macam cara : a) Kombinasi wiring dengan intermaxillary fixaton menurut cara Gilmer atau Ivy. b) Kombinasi arch bar dengan intermaxillary fixation. c) Macam-macam arch bar : Jelenko, Erich, Winter 2) Direct Dental Fixation Immobilisasi dari fragmen-fragmen dengan menggunakan splint bar atau wire di antara dua atau lebih gigi pada daerah fraktur. Wiring merupakan cara yang paling mudah. Tekniknya : Mengelilingi dua gigi yang berdekatan kemudian menuju garis fraktur dengan sepotong kawat dengan mengikatnya kuat-kuat. Cara ini kurang stabil dan tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga jarang dipakai. 3) Indirect Skletal Fixation Yang termasuk cara ini : a) Denture atau gurting splint dengan head bandage b) Circumferential wiring c) External fixation
e. Perawatan Definitif Fraktur Maxilla 1) Fraktur Dentoalveolar Beberapa kemungkinan dapat terjadi : a) Korona gigi patah tanpa mengenai pulpa -Buat Ro foto dan tes pulpanya -Vitalitas pulpa perlu diikuti perkembangannya di kemudian hari -Kematian pulpa dapat berakibat dental granuloma atau kista radikularis di kemudian hari. b) Patah korona gigi dan mengenai pulpa -Ro foto dan perawatan endodontik -Bila giginya remuk atau patah akarnya sebaiknya dicabut. Patah akar gigi yang kurang dari 1/3 apikal dapat dicoba dipertahankan. c) Gigi yang dislokasi -Ro foto dalam keadaan reposisi dan fiksasi -Bila gigi terlepas, diadakan pengisian seluruh akar secara retrograd atau konvensional dan diadakan replantasi. Biasanya gigi ini dapat bertahan beberapa tahun meskipun akhirnya terjadi ankilosis dan resorpsi. d) Fraktur tulang alveolar -Seringkali diperlukan debridement untuk membersihkan kepingan tulang yang terlepas, jaringan nekrotik dan benda asing. -Bila sebagian tulang alveolar terlepas sarna sekali dari mukoperiosteum, sebaiknya diangkat. Bila masih melekat dapat direposisi dan fiksasi. -Umumnya fiksasi dengan Arch Bar memberikan hasil yang memuaskan, intermaxillary fixation tidak diperlukan keculai pada fraktur tulang alveolar regia molar dan premolar. Fiksasi dengan eyelet, baik jenis Ivy dan Stout's jarang memuaskan. 2) Fraktur Le Fort I, II, III
Penanganan fraktur langsung pada memposisikan kembali maxilla pada hubungan yang tepat dengan mandibula serta dengan dasar tengkorak dan mengimmobilisasikannya. Secara garis besar immobilisasi dapat dibagi dalam 2 golongan besar : a) Immobilisasi extra oral = External fixation Termasuk apa yang disebut sekarang ini sebagai modern concept merupakan suatu cara rutin dalam perawatan fraktur 1/3 tengah tulang muka. Di Barat teknik ini kurang sesuai dengan situasi di Indonesia, karena peralatan yang mahal dan laboratorium yang kurang memadai. Ditinjau dari segi stabilitas, alat ini sangat ideal tetapi secara psikologis sering tidak dapat diterima secara baik oleh penderita. Ini disebabkan bentuk alat yang menakutkan bagi penderita yang harus terus memakainya selama perawatan. Berarti dia harus tinggal di RS selama pemakaian alat tersebut. Meskipun demikian peralatan itu tetap diperlukan pada perawatan fraktur 1/3 tengah tulang muka yang parah dan rumit. Secara singkat teknik ini sebagai berikut : Maxilla yang mengalami fraktur ditahan Plaster of Paris Head Cap dengan bantuan bar penghubung (connecting bar), cap splint, dan extention rodnya. Maxilla yang dihubungkan dengan head cap disebut Craniomaxillary fixation. Bila mandibu1a yang dihubungkan dengan head cap disebut Craniomandibula fixation. Selain itu dapat diperkuat dengan menambahkan transbucal check wire. Bila cap splint pada gigi ge1igi tidak dapat dibuat dapat diganti dengan Arch Bar pada maxilla dan mandibula dan disatukan dengan IMF. Arch bar mandibula perlu diperkuat dengan circumferential wiring pada 3/3 dan dihubungkan dengan head cap melalui transbuccal check wire. Head cap dapat diganti dengan haloframe yang mempunyai fungsi sarna dengan head cap tetapi jauh lebih stabile Frame ditempatkan di sekitar cranium dengan 4 buah paku.
Supraorbital pins adalah pilihan lain dari head cap. Dua buah pin di tempatkan pada supraorbital ridge kanan dan kiri. Kedua pin ini dihubungkan dengan sebuah bar yang melengkung. Bar ini kemudian dihubungkan dengan perantaraan suatu connecting bar lurus dengan extension rod dari alat-alat fiksasi pada rahang. Immobilisasi dalam jaringan Jenis ini dapat berupa a. Fiksasi langsung dengan transosseus wiring pada garis fraktur b. Teknik suspensi dari kawat (internal wire suspension technique) Teknik fiksasi ini tidak memerlukan alat-alat yang mahal atau fasilitas laboratorium yang mutakhir. Teknik ini dapat diterima dengan baik oleh penderita karena peralatan fiksasi tidak tampak dari luar sehingga penderita dapat meninggalkan RS lebih cepat. Pada teknik ini maksila ditahan dengan kawat pada bagian tulang muka yang tidak mengalami cedera yang berada di a tas garis fraktur. Kawat suspensi ini dihubungkan dengan kawat fiksasi/arch bar pada mandibula. Untuk memperkuat arch bar mandibula terhadap tarikan kawat suspensi, dianjurkan pemakaian circumferential wiring pada 3/3. Dengan demikian maksila terjepit di antara mandibula dan bagian tulang muka yang stabil. Teknik suspensi dengan kawat ini dapat berupa: a) Circumzygomatic Kawat penggantung/penahan melalui atau meliputi arcus zygomaticus b) Zygomatic-mandibula Kawat melalui lubang pada tulang zygoma c) Inferior orbital border-mandibula Kawat melalui lubang pada lower orbital rim
d) Fronto-mandibular Kawat melalui lubang pada zygomatic processus pada tulang frontal e) Pyriform fossa mandibular Kawat me1alui lubang pada fossa pyriformis. Ini hanya untuk perawatan Le Fort I dan sangat kurang stabil. f) Nasal septum-mandibular Fiksasi ini sangat tidak stabil. Pada beberapa keadaan, suspensi langsung terhadap maksila dapat dilakukan yaitu apabila artikulasi gigi geligi yang tepat tidak mutlak diperlukan , misalnya pada : a) Salah satu rahang tidak bergigi b) Immobilisasi mandibula tidak diperlukan c) Suatu keadaan dimana immobilisasi mandibula merupakan kontraindikasi, misalnya pada obstruksi nasal yang berat. 3) Fraktur zygomatic komplex Cara ekstra oral a. Teknik Gillies lnsisi dibuat di daerah temporal sepanjang 2 cm di antara bifurkasi V. temporalis superfisialis membentuk sudut kira-kira 45° dengan bidang oklusal. Fascia temporalis diexposed, diinsisi dan Bristow's Elevator dimasukkan untuk mengungkit tulang zygoma pada kedudukan yang normal. b. External incision langsung dilakukan di antara fraktur. Sebuah hook khusus dimasukkan ke bawah tulang dan diungkit ke posisi yang normal. Cara intra oral :
Insisi dibuat pada sulcus bucalis, lalu sebuah elevator dimasukkan untuk mengungkit bagian-bagian fraktur ke posisi semula. Fraktur yang tidak stabil diperlukan transusseus wiring langsung pada daerah yang patah tersebut. Intermaxillary fixation biasanya tidak diperlukan. Fraktur pada daerah arcus zygomaticus biasanya tidak memerlukan fiksasi karena keseimbangan otot-otot antara M.maseter di bawah dan fascia temporalis di atasnya. 4) Fraktur mandibula Indikasi reduksi secara tertutup (close reduction) digunakan pada kondisikondisi sebagai berikut: a. Fracture non displace (fraktur menguntungkan tanpa adanya pergeseran tempat) b. Fraktur kommunitif yang sangat nyata c. Edentulous fraktur (menggunakan prosthesis mandibula) d. Fraktur pada anak dalam masa pertumbuhan gigi Indikasi reduksi secara terbuka: a. Fraktur yang tidak menguntungkan (displaced unfavorable) pada angulus, body, atau fraktur parasimfisis b. Terjadinya kegagalan pada metode tertutup Fraktur yang membutuhkan tindakan osteotomy (malunion) c. Fraktur yang membutuhkan bone graft d. Multiple fraktur e. Fraktur condilar bilateral f. Fraktur pada edentulous mandibula Prosedur penanganan fraktur mandibula:
Fraktur yang tidak terdisplace dapat ditangani dengan jalan reduksi tertutup dan fiksasi intermaxilla. Namun pada prakteknya, reduksi terbuka lebih disukai pada kebanyakan fraktur. Fraktur dikembalikan ke posisi yang sebenarnya dengan jalan reduksi tetutupdan arch bar dipasang ke mandibula dan maksila. Kawat dapat dipasang pada gigi di kedua sisi fraktur untuk menyatukan fraktur. Fraktur yang hanya ditangani dengan jalan reduksi tertutup dipertahankanselama 4-6 minggu dalam posisi fiksasi intermaksila. Kepada pasien dapat tidak dilakukan fiksasi intermaksila apabila dilakukanreduksi terbuka kemudian dipasangkan plat and screw. f. Perawatan Pasca bedah 1) Perawatan segera setelah operasi Setelah operasi, ahli anestesi akan mengangkat endotrakeal tube, bila reflek batuk sudah pulih. Bila keadaan jalan nafas penderita mengkhawatirkan, nasopharingeal tube dapat dipertahankan sampai 24 jam, ini dapat kita diskusikan dengan ahli anestesi. Alat penyedot dan alat pemotong kawat harus selalu tersedia bilamana diperlukan. Seharusnya seorang perawat yang berpengalaman mengawasi di sisi pasien sampai pasien sadar betul. 2) Antibiotika dan analgetik Pemberian antibiotik sangat perlu sekali bagi setiap fraktur rahang, apalagi setelah dilakukan tindakan reposisi dan fiksasi. Pemberian dalam bentuk kapsul atau tablet adalah sulit karena adanya IMF. Obat dalam bentuk cairan lebih baik bagi penderita. Pemberian secara parenteral pun dapat dilakukan. Bila fiksasi baik analgetik biasanya tidak mutlak diberikan. 3) Pemberian makanan Makanan umumnya dalam bentuk cairan atau setengah cairan. Makan dapat diberikan melalui celah yang ada antara gigi atau pada fossa retromolar. 4) Kebersihan mulut
Pembersihan gigi dan kawat fiksasi adalah sangat penting untuk mengurangi terjadinya infeksi. 5) Pemberian vitamin A, D, B compleks, mineral Ca, fosfat. 2.7. Komplikasi Adapun komplikasi setelah perawatan fraktur antara lain: 1) Infeksi 2) Delayed Union Sebab : -
Reduksi kurang baik
-
Adanya interposisi dari serat-serat otot, fragmen
-
tulang yang keci1-kecil atau adanya gigi pada garis fraktur
-
Adanya fokal infeksi
-
Reaksi penyembuhan dari tubuh yang rendah
-
Penyakit -penyakit sistemik seperti sifilis, TBC, dan
-
lain-lain.
-
Fiksasi dan imobilisasi yang tidak baik
Perawatan terhadap delayed union -
Hilangkan semua faktor penyebab
-
Bila perlu lakukan operasi ulang
3) Malunion Sebab : -
Reduksi yang tidak tepat
-
Alat fiksasi dan immobilisasi yang tidak baik Perawatan malunion :
-
Refracturing, kemudian ulangi reduksi, immobilisasi dan fiksasi
-
Bila union sudah kuat, perlu tindakan osteotomi melalui garis fraktur semula
4) Non union Sebab : -
Menangguhkan perawatan yang terlalu lama
-
Reduksi yang buruk
-
Fiksasi dan immobilisasi yang tidak baik
-
Alat fiksasi terlalu cepat dibuka
-
Adanya benda asing di garis fraktur
5) Kerusakan saraf Dapat terjadi paraesthesia karena kerusakan n.alveolaris inferior pada RB, kerusakan n.infra orbitalis, n.alveolaris superior serta cabang-cabangnya pada RA. 6) Trismus Penderita sukar membuka mulut. Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya komplikasi fraktur: 1) Besarnya trauma yang terjadi Bila trauma yang terjadi begitu besar sehingga selain kerusakan tulang juga terjadi kerusakan jaringan. 2) Daerah fraktur yang terbuka Pada fraktur kemungkinan terjadi sebagian daerah fraktur yang terbuka, yang memudahkan terjadinya infeksi. Dengan adanya infeksi kemungkinan terjadinya kerusakan jaringan makin lebih besar. 3) Fraktur tidak dirawat atau perawatan yang tidak sempurna Pada fraktur yang tidak dirawat dapat terjadi komplikasi seperti malunion, delayed union dan keadaan yang lebih berat. Demikian juga pada perawatan yang tidak sempurna, keadaan yang lebih berat dapat terjadi dengan timbulnya infeksi akibat komplikasi yang terjadi dan ini berpengaruh pada penyembuhan yang diharapkan. 4) Keadaan gigi-geligi Keadaan gigi yang kurang baik seperti anatomi gigi, posisi gigi yang kurang baik dan adanya gigi yang gangren dapat mernpermudah tirnbulnya komplikasi bila terjadi fraktur di regio tersebut. 2.8.
Prognosis Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah satu yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan
sesegera mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah akibat fraktur dapat kita eliminasi. Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini dapat membatasi pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan belakang, sehingga elongasi dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan fraktur yang baru akan ditangani setelah beberapa minggu kejadian, dimana sudah mengalami penyembuhan secara parsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full open reduction, bahkan kalaupun dilakukan tetap sulit untuk direduksi.
BAB III KESIMPULAN Fraktur maksila merupakan salah satu bentuk trauma pada wajah yang cukup sering terjadi dimana kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama. Penanganan fraktur maksila tidak hanya mempertimbangkan masalah fungsional tapi juga estetika. Pola fraktur yang terjadi tidak selalu mengikuti pola Le Fort I, II, maupun III secara teoritis, namun lebih sering merupakan kombinasi klasifikasi tersebut. Adapun beberapa hal mendasar mengenai fraktur maksila diantaranya ; 1. Untuk terjadinya fraktur maksila baik itu Le Fort I, II, maupun III, prosesus pterigoid harus mengalami disrupsi. 2. Adanya mobilitas dan maloklusi pada pemeriksaan fisik merupakan hallmark dari fraktur maksila walaupun tidak semua fraktur maksila menimbulkan mobilitas. 3. Pemerikasaan radiologi baik itu foto polos maupun CT scan diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis, namun CT scan merupakan pilihan utama. 4. Fraktur maksila umumnya memiliki prognosis yang cukup baik apabila penanganan dilakukan dengan cepat dan tepat, namun dapat timbul komplikasi yang dapat menimbulkan kecacatan maupun kematian apabila tidak tertangani dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Banks P : Fraktur sepertiga tengah skeleton fasial, terjemahan, ed 4, 2013, Gajah Mada University Press.. 2. Vibha Singh, et al, 2012, The Maxillofacial Injuries, Departments of Oral and Maxillofacial Surgery, Anaesthesia, K.G. Medical University, Lucknow, India, National Journal of Maxillofacial Surgery Vol 3. 3. Anne, Margareth, et al, 2015, Risk factors associated with facial fractures, Department of Dentistry, School of Biological and Health Sciences, Federal University of Jequitinhonha and Mucuri Valleys, Diamantina, MG, Brazil. 4. Converse JP! : Reconstructive Plastic Surgery, Vol 2,Ed 2 WB Saunders company, London. 2009. 5. Dingman RO, Natvig P : Surgery of facial fractures, WB Saunders Company, London, 2014 : 111-266. 6. Tizziano, T, 2008, Maxillary Sinus Surgery And Alternatives In Treatment, Journal Of Maxillary Sinus Surgery And Alternatives In Treatment.
7. Chetan B. Raval and Mohd. Rashiduddin, Airway management in patients with maxillofacial trauma – A retrospective study of 177 cases, Saudi J Anaesth. 2016 Jan-Mar; 5(1): 9–14.