REFERAT JUDI PATOLOGIS, ADIKSI GAME DAN GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF
Disusun oleh : Farida Citra Permatasari (1102014094)
Pembimbing : dr. Henny Riana, Sp.KJ (K)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA Tk. I R.S. SUKANTO PERIODE 16 APRIL 2018 - 19 MEI 2018
BAB I PENDAHULUAN
Kecanduan atau adiksi dapat diartikan sebagai suatu sindrom yang tidak mampu mengontrol atau tidak mempunyai kekuatan untuk mengentikan kegiatan tersebut yang dapat mengakibatkan individu menjadi lalai terhadap kegiatan lain dan merugikan tubuh. Saat ketergantungan atau kecanduan tidak saja hanya pada zat psikoaktif tetapi internet, game, judi merupakan sebuah adiksi. Adiksi non zat (non substance addiction) merupakan suatu penggunaan yang terus bertambah dan menyebabkan ketergantungan atau kecanduan dan perilaku yang bermasalah (Sigman, 2014). Kecanduan perilaku atau kecanduan non zat memiliki kemiripan dengan kecanduan substansi atau zat karena memiliki banyak kesamaan dalam riwayat atau perjalanan penyakit, fenomenologi, dan konsekuensi yang merugikan. Diagnostik dan Statistik Manual, Edisi 5 (DSM-V-TR) dipakai untuk kriteria diagnosis non substance addiction seperti judi patologis (pathological gambling), kecanduan game dan kecanduan internet. Sedangkan pada Gangguan Obsesif-kompulsif (Obsessive Compulsive Disorder, OCD) adalah gangguan kecemasan yang ditandai oleh pikiran-pikiran obsesif yang persisten dan disertai tindakan kompulsif. Kondisi dimana individu tidak mampu mengontrol dari pikiranpikirannya yang menjadi obsesi yang sebenarnya tidak diharapkannya dan mengulang beberapa kali perbuatan tertentu untuk menurunkan tingkat kecemasannya. Penderita mengetahui bahwa perbuatan dan pikirannya itu tidak masuk akal, tidak pada tempatnya atau tidak sesuai dengan keadaan, tetapi ia tidak dapat menghilangkannya dan juga tidak mengerti mengapa ia mempunyai dorongan yang begitu kuat untuk berbuat dan berpikir demikian. Bila tidak menurutinya, maka akan timbul kecemasan yang hebat. Sehingga obsesi atau kompulsi memakan waktu yang cukup mengganggu fungsi rutin normal, pekerjaan dan aktivitas sosial. Gangguan Obsesif-kompulsif membutuhkan adanya obsesi atau kompulsi yang merupakan sumber gangguan atau kerusakan yang signifikan dan bukan karena gangguan mental lainnya. Gannguan Obsesif-kompulsif diklasifikasikan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) sebagai gangguan kecemasan.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. JUDI PATOLOGIS (PATHOLOGICAL GAMBLING) A. DEFINISI Gangguan judi ditandai dengan judi maladaptif yang berulang dan menetap dan menimbulkan masalah ekonomi serta gangguan yang signifikan di dalam fungsi pribadi, sosial dan pekerjaan. Aspek perilaku maladaptif mencakup (1) preokupasi terhadap judi; (2) kebutuhan untuk berjudi dengan jumlah uang yang semakin bertambah untuk memperoleh kegairahan yang diinginkan; (3) upaya berulang yang tidak berhasil untuk mengendalikan, mengurangi atau menghentikan judi; (4) berjudi sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah; (5) berjudi untuk membalas kekalahan; (6) berbohong untuk menutupi tingkat keterlibatan dengan perjudian; (7) melakukan tindakan ilegal untuk membiayai judi; (8) membahayakan atau kehilangan hubungan baik pribadi maupun pekerjaan karena judi; dan (9) mengandalkan orang lain untuk membayar hutang (Saddock, 2010).
B. EPIDEMIOLOGI Survey pada 2.638 orang dewasa di Amerika Serikat, prevalensi judi patologis ditemukan sebanyak 1,3 sampai 1,9 persen, prevalensi lebih tinggi pada laki- laki dan dewasa muda bila dibandingkan dengan wanita dan dewasa tua. Prevalensi individu dengan judi patologis meningkat pada pengguna zat, yakni sekitar 10-18 persen. Gangguan ini lebih lazim pada lakilaki daripada perempuan, dan angkanya sangat tinggi di lokasi-lokasi yang melegalkan perjudian. Kira-kira seperempat penjudi patologis memiliki orangtua dengan masalah perjudian; baik ayah dari seorang laki-laki penjudi maupun ibu dari seorang perempuan penjudi lebih cenderung memiliki gangguan tersebut dibandingkan populasi luas (Saddock, 2010).
C. ETIOLOGI 1. Faktor Psikososial Beberapa faktor dapat menjadi predisposisi seseorang dapat mengalami gangguan ini: kehilangan orang tua karena meninggal, perpisahan, perceraian, atau ditinggalkan sebelum anak berusia 15 tahun; disiplin orangtua yang tidak tepat (tidak ada, tidak
3
konsisten, atau kasar); pajanan dan ketersediaan aktivitas perjudian untuk remaja; tekanan keluarga terhadap materi dan simbol keuangan. Teori psikoanalitik berfokus pada sejumlah kesulitan karakter inti. Freud memperkirakan bahwa penjudi impulsif memiliki keinginan yang tidak disadari untuk kalah, dan mereka berjudi untuk meredakan rasa bersalah yang tidak disadari. Perkiraan lainnya adalah bahwa penjudi merupakan orang dengan narsisme yang memiliki khayalan kebesaran serta kekuasaan yang dapat membuat mereka yakin bahwa mereka dapat mengendalikan peristiwa dan bahkan meramalkan hasilnya (Saddock, 2010). 2. Faktor Biologis Para penjudi mungkin memiliki penyebab neurobiologis yang mendasari. Teori ini berpusat pada sistem reseptor serotonergik dan noradrenergik. Penjudi patologis laki-laki dapat memiliki kadar MPHG subnormal dalam plasma, meningkatnya kadar MPHG didalam cairan serebrospinal, dan meningkatnya keluaran norepinefrin di dalam urin.Bukti juga mengaitkan disfungsi pengaturan serotonergik pada penjudi patologis. Penjudi kronis memiliki aktivitas monoamin oksidase (MAO) trombosit yang rendah, suatu penanda aktivitas serotonin, juga terkait dengan kesulitan inhibisi (Saddock, 2010). Faktor-faktor lain pendorong perilaku judi dari berbagai hasil penelitian diperoleh lima faktor yang amat berpengaruh dalam memberikan kontribusi pada perilaku berjudi. Kelima faktor tersebut antara lain: 1. Faktor Sosial dan Ekonomi Bagi masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang rendah, perjudian seringkali dianggap sebagai suatu sarana untuk meningkatkan taraf hidup mereka. 2. Faktor Situasional Situasi yang bisa dikategorikan sebagai pemicu perilaku berjudi, di antaranyaadalah tekanan dari teman-teman kelompok lingkungan untuk berpartisipasi dalam perjudian serta metode-metode pemasaran yang dilakukan oleh pengelola perjudian. 3. Faktor Belajar Faktor belajar memiliki efek yang besar terhadap perilaku berjudi, terutama menyangkut keinginan untuk terus berjudi. Apa yang pernah dipelajari menghasilkan sesuatu yang menyenangkan maka hal tersebut akan terus tersimpan dalam pikiran seseorang dan sewaktu-waktu ingin diulangi lagi. 4. Faktor Persepsi tentang Kemungkinan Kemenangan 4
Persepsi yang dimaksud di sini adalah persepsi pelaku dalam membuat evaluasi terhadap peluang menang yang akan diperolehnya jika ia melakukan perjudian. 5. Faktor Persepsi terhadap Keterampilan Penjudi yang merasa dirinya sangat terampil dalam salah satu atau beberapa jenis permainan judi akan cenderung menganggap bahwa keberhasilan/kemenangan dalam permainan judi karena keterampilan yang dimilikinya.
D. GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS Penjudi patologis sering tampak terlalu percaya diri, terkadang kasar, energik, dan boros. Mereka sering menunjukkan tanda-tanda stres diri yang jelas, cemas, dan depresi. Mereka lazim memiliki sikap bahwa uang merupakan penyebab dari dan solusi bagi semua masalah mereka. Mereka tidak melakukan upaya yang serius untuk menganggarkan atau menghemat uang. Jika sumber peminjaman mereka tertahan, mereka cenderung terlibat di dalam perilaku antisosial guna mendapatkan uang untuk berjudi. Perilaku kriminalnya secara khas tidak mengandung kekerasan, seperti pemalsuan, penggelapan, serta penipuan dan mereka secara sadar berniat untuk mengembalikan atau membayar kembali uang itu. Komplikasinya mencakup diasingkan oleh anggota keluarga dan teman, hilangnya pencapaian kehidupan, upaya bunuh diri, dan hubungan dengan kelompok pinggir dan ilegal (Saddock, 2010). Kriteria Diagnostik DSM-V-TR judi patologis A. Perilaku judi yang berulang dan menetap seperti yang ditunjukkan oleh 4 (atau lebih) hal berikut : 1) Kebutuhan untuk berjudi dengan jumlah yang yang semakin meningkat memperoleh kegairahan yang diinginkan 2) Memiliki upaya berulang yang tidak berhasil untuk mengendalikan, mengurangi atau menghentikan judi 3) Gelisah atau mudah marah ketika mencoba mengurangi atau menghentikan judi 4) Berjudi sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah atau untuk melegakan mood disforik (contoh : rasa bersalah, tidak berdaya, ansietas, depresi) 5) Setelah kehilangan uang berjudi, sering kembali esok harinya untuk membalas (“mengejar” kekalahan dirinya) 6) Berbohong terhadap anggota keluarganya, terapis, atau yang lainnya untuk menutupi sejauh mana keterlibatannya dengan perjudian
5
7) Melakukan tindakan ilegal, seperti pemalsuan, penipuan, pencurian, atau penggelapan untuk pembiayaan judi. 8) Merusak atau kehilangan hubungan, pekerjaan, pendidikan atau kesempatan karir yang bermakna karena judi 9) Mengandalkan oran lain untuk memberikan
uang guna memulihkan situasi
keuangan yang disebabkan oleh judi B. Perilaku berjudi ini sebaiknya tidak disebabkan oleh episode manik. Untuk memahami apakah perilaku berjudi termasuk perilaku yang patologis, diperlukan suatu pemahaman tentang kadar atau tingkatan penjudi tersebut. Hal ini penting mengingat bahwa perilaku berjudi termasuk dalam kategori perilaku yang memiliki kesamaan dengan pola perilaku adiksi. Pada dasarnya ada tiga tingkatan atau tipe penjudi, yaitu: 1) Social Gambler Penjudi tingkat pertama adalah para penjudi yang masuk dalam kategori "normal" atau seringkali disebut social gambler, yaitu penjudi yang sekali-sekali pernah ikut membeli lottery (kupon undian), bertaruh dalam pacuan kuda, bertaruh dalam pertandingan bola, permainan kartu atau yang lainnya. Penjudi tipe ini pada umumnya tidak memiliki efek yang negatif terhadap diri maupun komunitasnya, karena mereka pada umumnya masih dapat mengontrol dorongandorongan yang ada dalam dirinya. Perjudian bagi mereka dianggap sebagai pengisi waktu atau hiburan semata dan tidak mempertaruhkan sebagian besar pendapatan mereka ke dalam perjudian. Keterlibatan mereka dalam perjudian pun seringkali karena ingin bersosialisasi dengan teman atau keluarga. 2) Problem Gambler Penjudi tingkat kedua disebut penjudi "bermasalah" atau problem gambler, yaitu perilaku berjudi yang dapat menyebabkan terganggunya kehidupan pribadi, keluarga maupun karir, meskipun belum ada indikasi bahwa mereka mengalami suatu gangguan kejiwaan. Penjudi jenis ini seringkali melakukan perjudian sebagai cara untuk melarikan diri dari berbagai masalah kehidupan. Penjudi ini sebenarnya sangat berpotensi untuk masuk ke dalam tingkatan penjudi yang paling tinggi yang disebut penjudi patologis jika tidak segera disadari dan diambil tindakan terhadap masalah-masalah yang sebenarnya sedang dihadapi. Menurut penelitian Shaffer, Hall, dan Vanderbilt (1999) yang dimuat dalam website Harvard
6
Medical School ada 3,9% orang dewasa di Amerika Bagian Utara yang termasuk dalam kategori penjudi tingkat kedua ini dan 5% dari jumlah tersebut akhirnya menjadi penjudi patologis. 3) Pathological Gambler Penjudi tingkat ketiga disebut sebagai penjudi "patologi" atau pathological gambler atau compulsive gambler. Ciri-ciri penjudi tipe ini adalah ketidakmampuannya melepaskan diri dari dorongan-dorongan untuk berjudi. Mereka sangat terobsesi untuk berjudi dan secara terus-menerus terjadi peningkatan frekuensi berjudi dan jumlah taruhan, tanpa dapat mempertimbangkan akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh perilaku tersebut, baik terhadap dirinya sendiri, keluarga, karir, hubungan sosial atau lingkungan disekitarnya. Meskipun pola perilaku berjudi ini tidak melibatkan ketergantungan terhadap suatu zat kimia tertentu, namun perilaku berjudi yang sudah masuk dalam tingkatan ketiga dapat digolongkan sebagai suatu perilaku yang bersifat adiksi (addictive disorder). Individu yang didiagnosa mengalami gangguan perilaku jenis ini seringkali diidentifikasi sebagai orang yang sangat kompetitif, sangat memerlukan persetujuan atau pendapat orang lain dan rentan terhadap bentuk perilaku adiksi yang lain. Individu yang sudah masuk dalam kategori penjudi patologis seringkali diiringi dengan masalah-masalah kesehatan dan emosional. Masalah-masalah tersebut misalnya kecanduan obat (Napza), alkoholik, penyakit saluran pencernaan dan pernafasan, depresi, atau masalah yang berhubungan dengan fungsi seksual. Skrining Terdapat beberapa uji penapis yang sederhana dan sudah tervalidasi yang dapat digunakan untuk penegakan diagnosis judi patologis yang terdapat dalam beberapa. Seperti 2 pertanyaan cepat (Lie-Bet) untuk judi patologis yang telah direkomendasikan. Pasien dengan terapi penggunaan zat telah diketahui bahwa sering beralih adiksi selama proses pemulihan. Kebanyakan pasien judi patologis tidak datang dengan keluhan adiksi dengan judi. Penelitian menunjukkan bahwa hanya 10 % dari pasien judi patologis yang datang untuk berobat. Keluhan yang dikatakan pasien dapat bersifat samar dan seringkali ditemukan masalah seperti insomnia, stress, depresi, ansietas, atau masalah hubungan interpersonal. Dikarenakan judi patologis adalah adiksi tersembunyi yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik, uji penapis menjadi hal yang esensial.
7
Tabel 1. Uji penapis untuk menilai judi patologis Nama
Deskripsi
South Oaks Gambling
SOGS adalah pengukuran seumur hidup dari gangguan judi yang
Screen (SOGS)
telah terbukti bisa diandalkan dan valid. Uji penyaringan ini memiliki 16 pertanyaan dan membagi individu dalam 1 dari 3 kategori: tidak masalah dengan perjudian, beberapa masalah perjudian, kemungkinan penjudi patologis. SOGS dikerjakan oleh pasien
dan
membutuhkan
waktu
10
menit
untuk
menyelesaikannya. Lie-Bet questionnaire
Kuesioner ini terdiri dari 2 pertanyaan yang mengindikasi bahwa penilaian lebih lanjut dibutuhkan jika individu menjawa ‘ya’ untuk 1 atau kedua pertanyaan.
National Opinion
Kuesioner NODS berdasarkan kriteria DSM IV utnuk judi
Research Center DSM
patologis dan menilai masalah judi sepanjang hidup pasien dan
Screen (NODS)
setahun sebelum uji penapis dilakukan. Kuesioner ini berisi 34 pertanyaan yang didisain sebagai perangkat wawancara dan dapat juga diisi sendiri oleh pasien.
NODS-CLiP
Kuesioner ini adalah versi singkat dari NODS dan terdiri dari 3 pertanyaan mengenai
hilangnya kendali, berbohong, dan
preokupasi. Gamblers Anonymous
Terdiri dari 20 pertanyaan yang diisi sendiri oleh pasien. Jika
(GA-20) Questions
pasien mengisi ≥7 ‘ya’ mengindikasikan tingginya kemungkinan perilaku gangguan judi
E. DIAGNOSIS BANDING Judi sosial dibedakan dengan judi patologis dalam hal bahwa judi sosial dilakukan dengan teman-teman, pada waktu khusus dan dengan kehilangan yang dapat diterima serta ditoleransi yang telah ditentukan sebelumnya. Judi yang simptomatik pada episode manik biasanya dapat dibedakan dengan judi patologis melalui riwayat adanya perubahan mood yang nyata dan hilangnya penilaian sebelum berjudi. Perubahan mood mirip-manik lazim ditemukan pada judi patologis, tetapi selalu menyertai kemenangan dan biasanya digantikan dengan episode depresif karena kekalahan selanjutnya.
8
Orang dengan gangguan kepribadian antisosial dapat memiliki masalah dengan judi. Jika kedua gangguan ada, keduanya harus didiagnosis.
F. Perjalanan gangguan Judi patologis biasanya dimulai saat remaja untuk laki-laki dan usia lanjut untuk perempuan. Gangguan ini hilang timbul serta cenderung kronis. 4 fase ditemukan pada judi petologis (Saddock, 2010): 1. Fase kemenangan, berakhir dengan kemenangan besar, sama dengan kira-kira gaji satu tahun, yang memancing pasien. Perempuan biasanya tidak menang dalam jumlah besar tetapi menggunakan judi sebagai pelarian dari masalah mereka 2. Fase kehilangan progresif, yaitu pasien menata kehidupan mereka di seputar judi dan kemudian berganti dari penjudi hebat menjadi penjudi bodoh yang mengambil risiko besar, uang cadangan, meminjam uang, bolos kerja, dan kehilangan pekerjaan 3. Fase nekat, yaitu pasien berjudi besar-besaran dengan jumlah besar uang, tidak membayar hutang, terlibat dengan lintah darat, menulis cek yang buruk, dan mungkin menggelapkan 4. Fase putus asa, yaitu menerima bahwa kekalahan tidak akan pernah terbalaskan, tetapi judi terus berlanjut karena kegairahan dan rangsangan yang terkait. Gangguan ini dapat menghabiskan waktu 15 tahun untuk mencapai fase akhir, tetapi dalam 1 atau 2 tahun, pasien telah secara total mengalami perburukan.
G. TERAPI 1. Terapi non farmakologis o Gamblers Anonymous Penjudi jarang datang langsung secara sukarela untuk diterapi. Masalah hukum, tekanan keluarga, atau keluhan psikiatrik lainnya membawa penjudi pada terapi. Gamblers Anonymous (GA) merupakan terapi yang efektif, terjangkau. GA adalah suatu metode terapi kelompok inspirasional yang meliputi pengakuan di hadapan publik, tekanan kelompok sependeritaan, dan adanya penjudi yang telah pulih (seperti pada AA) yang siap membantu anggota untuk menolak impuls berjudi. Meskipun demikian, angka drop-out dari GA tinggi. Pada beberapa kasus, perawatan di rumah sakit dapat membantu dengan memindahkan pasien dari lingkungannya. Tilikan sebaiknya tidak dicari sampai pasien benar-benar jauh dari perjudian selama 3 bulan. Pada saat ini, pasien yang merupakan penjudi patologis dapat menjadi kandidat yang sangat baik untuk psikoterapi berorientasi 9
tilikan. Terapi kognitif perilaku (contoh, teknik relasksasi digabungkan dengan visualisasi penghindaran judi) memiliki beberapa keberhasilan. Tabel 2. 12 Langkah dari Gamblers Anonymous (GA)3 No. 1.
Deskripsi Kami mengakui bahwa kami tidak berdaya terhadap judi dan bahwa hidup kami telah menjadi tidak terurus akibatnya.
2.
Percaya bahwa terdapat ‘Kekuatan’ lebih besar dari diri kita sendiri bisa mengembalikan kita ke cara berfikir dan hidup yang normal.
3.
Membuat keputusan untuk mengubah kehendak dan kehidupan kita sampai ke perawatan dari ‘Kekuatan’ ini dan pemahaman kita sendiri.
4.
Membuat perncaharian dan moral tidak peanut dan inventaris finasian dari diri kita sendiri.
5.
Mengakui ke diri sendiri dan orang lain kesalahan kita sebenarnya.
6.
Seutuhnya siap untuk menghapus karakter yang tidak baik ini
7.
Dengan rendah hati meminta Tuhan (sesuai dengan kepercayaan) untuk menghapuskan kelemahan kita
8.
Membuat daftar semua orang yang telah kita rugikan dan bersedia untuk menebus kesalahan kepada mereka semua.
9.
Buatlah perubahan langsung kepada orang-orang semacam itu sedapat mungkin, kecuali bila melakukannya akan melukai mereka atau orang lain
10.
Terus melakukan inventarisasi pribadi dan kapan kita salah, segera mengakuinya.
11.
Berdoa dan meditasi untuk meningkatkan hubungan dengan Tuhan seiringan engan kita mengerti Dia, berdoa untuk mengetahui kehendaknya untuk kita dan kekuatan untk melaksanakannya
12.
Setelah melakukan upaya untuk mempraktikkan prinsip-prinsip ini di dalam semua hal
10
Urusan kita, kita mencoba membawa pesan ini ke penjudi kompulsif lainnya.
o Terapi Perilaku Kognitif (Cognitve Behavioral Therapy) Perawatan ini menggabungkan kognitif dan aspek perilaku dan upaya untuk mengubah kognisi dan perilaku penjudi. Pengobatan lain sering dimasukkan dalam paket kognitifperilaku meliputi pelatihan di ketegasan, pemecahan masalah, keterampilan sosial, pencegahan kambuh dan relaksasi. Beberapa percobaan terapi perilaku kognitif untuk judi patologis menunjukkan peningkatan yang signifikan pada kelompok perlakuan, termasuk bukti bahwa perbaikan tersebut dipertahankan pada tindak lanjut penilaian 6 dan 12 bulan. Penelitian lain menunjukkan hasil yang sama menggunakan terapi ini, baik pada individu maupun kelompok. Singkatnya, ada berbagai psikoterapi yang telah digunakan untuk mengobati judi patologis.
2. Terapi farmakologis Hanya sedikit yang diketahui mengenai efektivitas farmakoterapi untuk menerapi pasien dengan judi patologis. Satu studi melaporkan bahwa 7 dari 10 pasien tidak berjudi selama 8 minggu setelah mengonsumsi fluvoxamine. Juga terdapat laporan kasus mengenai keberhasilan terapi dengan lithium dan clomipramine (anafranil). Jika judi disertai gangguan depresif, mania, ansietas, atau gangguan jiwa lain, farmakoterapi dengan antidepresan, lithium, atau agen antiansietas dapat berguna.
H. KOMORDITAS Hubungan antara judi patologis dan penyalahgunaan zat tidak muncul semata-mata terkait dengan asosiasi lingkungan karena ada bukti genetik serta faktor lingkungan yang menghubungkan kedua gangguan. Komorbiditas pada individu dengan judi patologis dilaporkan sekitar 73,2% dengan komorbid pengguna alcohol dan sekitar 38,1% dengan penyalahgunaan zat. Angka gangguan pengendalian impuls lainnya, gangguan penggunaan zat, gangguan mood, gangguan defisit atensi/hiperaktivitas, serta gangguan kepribadian antisosial, ambang, dan narsistik meningkat pada orang dengan judi patologis. Gangguan terkait lainnya mencakup gangguan panik, agorafobia, gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan Tourette (Saddock, 2010). 11
II.
ADIKSI GAME
A. DEFINISI Game addiction merupakan suatu keadaan seseorang yang terikat pada kebiasaan yang sangat kuat dan tidak bisa lepas, dari waktu ke waktu akan terjadi peningkatan frekuensi, durasi atau jumlah dalam melakukan bermain game, tanpa memperdulikan konsekuensi negatif yang ada pada dirinya. Game addiction adalah salah satu bagian dari adiksi internet. Gangguan lain yang masih dikaitkan dengan adiksi internet adalah penggunaan internet yang berisiko, penggunaan teknologi yang patologis, penggunaan media sosial yang berlebihan, dan penggunaan internet untuk kebutuhan seksual atau porn addiction. Jumlah pengguna internet yang meningkat juga berpotensi meningkatkan jumlah masalah yang mungkin terkait dengan penggunaan internet, termasuk game addiction. Berdasarkan data Global Digital Snapshot, pengguna internet yang aktif di seluruh dunia telah mencapai sekitar 3.010 triliun jiwa. Sebagian besar pengguna internet di seluruh dunia berasal dari kelompok umur 16-24 tahun (National Statistics, 2014). Pengguna internet terbanyak adalah dari Asia yaitu sebesar 45,7% dari total jumlah. Indonesia adalah negara keempat terbanyak jumlah pengguna internet 143,260,000 pada 31 Desember 2017 (Internet Worlds Stats, 2018).
B. EPIDEMIOLOGI Di Amerika Serikat, dilakukan survei terhadap populasi pengguna game sesuai usia. Pada tahun 2014 didapatkan 29% pengguna game berusia kurang dari 18 tahun, 32% berusia 18-35 tahun, dan 39% berusia lebih dari 35 tahun. Dari tahun ke tahun, jumlah perempuan pengguna game makin bertambah. Di Amerika Serikat, pada tahun 2006 hanya didapatkan 38% perempuan pengguna game. Pada tahun 2014, jumlah perempuan pengguna game meningkat menjadi 48% (Statista, 2015). Sekitar 126 juta orang di Amerika Serikat bermain game dan sejumlah 10-15% mengalami adiksi. Jumlah remaja yang mengalami adiksi game di Korea, Cina, dan beberapa negara Asia lainnya juga disebut mencapai jutaan, hingga hal ini disebut sebagai suatu pandemi. Jenis kelamin laki-laki didapatkan lebih banyak mengalami game addiction dibandingkan jenis kelamin perempuan. Di sebuah studi diidentifikasi gambaran adiksi online game pada anak usia sekolah di warung internet penyedia online game di Jatinagor, Sumedang. Didapatkan sebanyak 62% mengalami game addiction dan sebanyak 38% tidak mengalami 12
game addiction. Hal ini menunjukkan bahwa game addiction dapat terjadi pada populasi usia sekolah.
C. PATOFISIOLOGI dan PSIKOPATOLOGI Game secara otomatis tidak menyebabkan suatu adiksi. Disebutkan bahwa ternyata kebanyakan orang yang terlibat dalam game tidak dapat menjaga dan kehilangan perspektif dan keseimbangan yang seharusnya dapat ia kendalikan. Misalnya dalam kehidupan pekerjaan, sekolah, keluarga, sosial, dan game yang ia mainkan. Masalah fisik dan mental yang kemudian dapat muncul akan makin memperparah ketidakseimbangan ini. Pada tingkat molekular, adiksi internet memiliki gambaran defisiensi pada sistem reward dengan menunjukkan aktivitas dopamin yang rendah pada sistem reward di mesokortikolimbik. Pada tingkat sirkuit neuron, game addiction menyebabkan neuroadaptasi dan perubahan struktural. Neuroadaptasi dilakukan untuk menyesuaikan dengan perubahan struktural. Biasanya, pada otak seorang internet atau game addiction didapatkan integrasi sensorimotor dan persepsi yang lebih baik. Perubahan struktural didapati pada serebelum, batang otak, girus singulata kanan, bilateral parahipokampus, lobus frontal kanan, girus frontal superior kiri, girus temporal inferior kanan dan superior kiri, serta girus temporal tengah. Perubahan ini menyebabkan peningkatan aktivitas pada area otak yang terkait dengan adiksi. Juga didapati jumlah area putih dan area abu-abu yang berubah di beberapa area otak. Perubahan pada volume striatum menunjukkan perubahan pada sistem reward. Perubahan pada nukleus accumbens dapat mempengaruhi fungsi kognisi, kontrol motorik, dan motivasi. Perubahan pada korteks orbitofrontal mempengaruhi pemrosesan emosi, craving, proses pengambilan keputusan yang maladaptif, dan perilaku kompulsif. Pada tingkat perilaku, seorang yang mengalami adiksi pada game atau internet akan mengalami masalah pada kontrol impuls, inhibisi perilaku, kontrol fungsi eksekutif, kemampuan atensi, dan fungsi kognitif keseluruhan. Namun di sisi lain, kemampuan membaik dalam integrasi antara informasi persepsi dan otak melalui indera, serta koordinasi yang baik antara tangan dan mata (Kuss & Griffiths, 2012).
D. GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS Sebelum suatu permainan atau game menimbulkan suatu adiksi, biasanya terdapat gambaran-gambaran yang sudah harus mulai diwaspadai pada seorang pelaku game. Harus mulai memberikan perhatian khusus ketika terdapat: (1) preokupasi dengan game; (2) 13
berbohong atau menyembunyikan kenyataan tentang game yang biasa dilakukan; (3) hilang minat dan ketertarikan terhadap kegiatan yang lain; (4) penarikan diri dari kehidupan sosial; dan (5) defensif dan mudah marah (Young, 2009). Terdapat kriteria di dalam Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder 5th Edition (DSM-5) untuk diagnosis internet gaming disorder, dalam lima hal atau lebih dari halhal berikut ini dalam jangka waktu 12 bulan: 1. Preokupasi dengan game internet. (Individu berpikir tentang aktivitas game berikutnya atau mengantisipasi game selanjutnya; bermain game di internet menjadi aktivitas dominan dalam kehidupan sehari-hari). Catatan: Gangguan ini terpisah dari internet gambling, yang termasuk di dalam gangguan judi. 2. Gejala putus ketika permainan dihentikan. (Gejala ini secara tipikal dijelaskan dengan mudah marah, cemas, atau sedih, tetapi tidak terdapat gejala fisik seperti dalam putus zat farmakologis). 3. Toleransi-kebutuhan untuk menghabiskan waktu dengan games internet makin meningkat. 4. Tidak berhasil dalam mengontrol keinginan untuk bermain. 5. Kehilangan ketertarikan pada hobi dan hal-hal yang sebelumnya menyenangkan akibat, dan kecuali, internet games. 6. Meneruskan penggunaan internet game yang berlebihan meskipun mengetahui masalah psikososial yang mungkin muncul. 7. Menipu atau berbohong kepada keluarga, terapis, atau yang lain mengenai kuantitas dari game internet. 8. Menggunakan game internet untuk melarikan diri atau memperbaiki suasana perasaan yang negatif (misalnya perasaan ketidakberdayaan, bersalah, atau kecemasan). 9. Membahayakan atau kehilangan kesempatan dalam hubungan, pekerjaan, atau pendidikan atau karir yang signifikan karena game internet. Catatan: Hanya game internet non-judi yang dimasukkan dalam gangguan ini. Penggunaan internet untuk keperluan aktivitas bisnis atau profesi tidak termasuk; juga gangguan lain yang berkaitan dengan internet seperti penggunaan internet untuk rekreasi atau sosial. Serta, penggunaan situs seksual internet juga dieksklusi. Kriteria adiksi game sama dengan jenis adiksi psikologis lain seperti adiksi internet. Goldberg adalah peneliti pertama tingkat dan potensi adiksi terhadap penggunaan internet. 14
Beliau menciptakan rating scale IAD (Internet Addictive Disorder) dengan 7 kriteria diagnostik adiksi yang diadaptasi dari DSM V yaitu: 1. Salience (pemain berpikir tentang bermain game sepanjang hari) Salience adalah salah satu kriteria adiksi bahwa bermain game menjadi aktivitas paling penting dalam hidup seseorang dan mendominasi pikiran (keasyikan), perasaan dan perilaku (penggunaan yang berlebihan). pemain selalu memikirkan dan menghabiskan waktu luangnya untuk dapat bermain game sepanjang waktu. 2. Tolerance (pemain menghabiskan waktu bermain game yang semakin meningkat) Tolerance adalah salah satu kriteria adiksi bahwa ketika waktu bermain game seorang pemain semakin bertambah dan pemain tidak dapat berhenti ketika sudah mulai bermain game. 3. Mood Modification (pemain bermain game sampai melupakan kegiatan lainnya) Mood Modification merupakan saat seorang pemain menjadi lupa dengan kegiatan lainnya dan pemain cenderung bermain game untuk menghilangkan stres atau kemarahan agar perasaannya menjadi lebih baik ketika sudah bermain game. 4. Relapse (kecenderungan pemain bermain game kembali setelah lama tidak bermain) 5. Withdrawal (pemain merasa tidak baik atau merasa buruk ketika tidak dapat bermain game) 6. Conflict (pemain bertengkar dengan orang lain karena pemain bermain game secara berlebihan) Ketika seorang pemain bertengkar dengan orang lain misalkan orang tua, teman, atau keluarga karena waktu pemain dihabiskan dengan bermain game sehingga telah mengabaikan orang lain di sekitarnya. 7. Problems (pemain mengabaikan kegiatan penting lainnya yang akhirnya menyebabkan permasalahan). Ketika seorang pemain menjadi kurang tidur karena bermain game secara berlebihan atau telah mengabaikan kegiatan penting lainnya sehingga menimbulkan masalah pada dirinya Ketujuh kriteria ini merupakan pengukuran untuk mengetahui adiksi atau tidaknya seorang pemain game yang ditetapkan pemain yang mendapatkan empat dari tujuh kriteria merupakan indikasi pemain yang mengalami adiksi game (Reza, 2016).
15
E. DIAGNOSIS BANDING Penggunaan internet atau media lain yang tidak dipakai untuk bermain game, misalnya penggunaan media sosial yang berlebihan misalnya Facebook atau melihat pornografi. Penggunaan internet untuk judi juga harus dibedakan karena termasuk dalam gangguan judi (APA, 2013).
F. PENATALAKSANAAN (TERAPI) Terapi yang diberikan harus disesuaikan dengan mengoptimalkan efek positif dan mengecilkan efek negatif sedapat mungkin. Beberapa hal yang dapat dilakukan di antaranya: 1. Pembatasan screen time atau waktu yang dihabiskan di depan layar, terutama untuk melakukan aktivitas game. Hal ini terutama perlu diberikan pada usia anak dan remaja. Screen time yang makin panjang berkaitan dengan kemungkinan masalah yang juga akan makin meningkat (Young, 2009; Sigman, 2014). 2. Salah satu hal penting adalah orang tua harus memahami bahwa game addiction adalah suatu hal yang penting untuk segera diatasi. Orang tua harus menyepakati, mendukung, dan membantu dalam proses terapi yang akan dilaksanakan. Sangat disarankan agar terdapat pengawasan dan pengarahan yang tepat dari orang tua terutama pada usia anak dan remaja untuk mengontrol penggunaan game (Young, 2009). 3. Mengistirahatkan mata dan otot perlu untuk dilakukan di sela-sela bermain game. Tiap dua puluh menit sebaiknya beristirahat dan mata diminta untuk fokus ke benda yang jauh untuk beberapa detik. Lebih baik apabila ini dilakukan juga dengan mengubah posisi menjadi berdiri dan berkeliling sejenak untuk satu atau dua menit. Selain untuk mengistirahatkan mata dan otot, ini juga dapat mengingatkan kembali bahwa ada dunia nyata di luar game (Young, 2009). 4. Untuk anak-anak, dapat dilakukan pendekatan perlahan-lahan dengan mengubah game umum (sekedar hiburan biasa) yang biasa dimainkan menjadi game lain yang lebih bersifat edukatif (Young, 2009). 5. Perlu mengalihkan aktivitas ke hal-hal yang lebih bermanfaat dan berpotensi memperoleh penghargaan sebagaimana dalam game, misalnya olah raga, bermain musik, atau permainan seperti catur (Young, 2009). 6. Memperbaiki dan meningkatkan kemampuan anak dalam hal akademis misalnya dengan bimbingan belajar. Sebagian anak lari pada game karena tidak mampu mendapatkan hasil yang baik di sekolah. Meskipun sebagian mengalami sebaliknya,
16
yaitu terpengaruh game dan menyebabkan penurunan prestasi di sekolah (Young, 2009). 7. Terapi keluarga atau family therapy dapat diberikan. Penting untuk mengedukasi seluruh anggota keluarga bahwa mereka memiliki peranan untuk menolong anggota keluarga yang mengalami game addiction. Brief Strategic Family Therapy (BSFT) dapat diberikan pada anak dan remaja usia 6 sampai 17 tahun. Bertujuan menyelesaikan fokus masalah seperti masalah adiksi dan perilaku. BSFT juga mengubah perilaku anggota keluarga yang berpotensi atau berperan menimbulkan adiksi dan yang dapat memperbaiki perilaku adiksi (Young, 2009).
G. FAKTOR RESIKO DAN PROGNOSIS Prognosis sulit ditentukan; faktor lamanya menderita adiksi, saat terapi, perilaku adiktif yang tidak berespons baik terhadap terapi, tingkat pendidikan rendah, kepribadian kurang bersahabat serta lingkungan keluarga kurang baik akan memperburuk prognosis (Reza, 2016). 1. Lingkungan Ketersediaan komputer dengan koneksi internet memudahkan akses pada game yang berhubungan erat dengan internet gaming disorder (APA, 2013). 2. Genetik dan fisiologis Remaja laki-laki nampak berisiko besar mengalami gangguan ini. Saat ini diduga bahwa lingkungan Asia yang berhubungan dengan latar belakang genetik yang dimiliki merupakan salah satu faktor risiko. Namun hal ini belum cukup bisa dijelaskan (APA, 2013). 3. Jenis Kelamin Meskipun laki-laki lebih banyak mengalami game addiction, perempuan dengan adiksi game lebih banyak mengalami depresi, gejala somatik, dan gejala psikologis lainnya. 4. Komorbiditas dengan gangguan lain Adanya komorbiditas dengan gangguan lain misalnya dengan depresi, gangguan cemas, gangguan fobik, atau gangguan yang lain dapat menjadi prediksi prognosis yang lebih buruk (Sigman, 2014). 5. Usia Disebutkan bahwa makin muda usia anak yang terpapar dengan game, makin rentan mengalami ketergantungan terhadap game (Sigman, 2014). 6. Waktu bermain game
17
Ditemukan pengaruh yang kuat dari waktu bermain game pada sebuah studi tentang game addiction yang membedakan antara bermain pada pagi dan malam hari. Salah satunya karena pada malam hari terdapat waktu yang lebih panjang untuk bermain game. Pelaku game pada malam hari ini juga lebih berpotensi untuk mengalami masalah emosi, gangguan tidur, dan masalah sekolah.
H. KOMORBIDITAS Game addiction dapat berkomorbid dengan beberapa gangguan. Gangguan dapat muncul setelah mengalami game addiction maupun sudah ada sebelum seseorang mengalami game addiction (Sigman, 2014). Gangguan-gangguan tersebut diantaranya: 1. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas atau attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Pada usia anak yang mengalami game addiction perlu dilakukan penyaringan atau screening ADHD. 2. Gangguan depresi. Gejala depresi meningkat keparahannya seiring dengan lama waktu game yang bertambah dan lebih banyak dialami oleh jenis kelamin perempuan (Wei et.al., 2012). Gangguan depresi sering didapatkan bersamaan dan menjadi faktor prediksi
yang
signifikan
untuk
game
addiction,
bersama
dengan
rasa
kesepian/loneliness. 3. Gangguan tidur. Pelaku game yang memilih untuk bermain di malam hari seringkali mengalami masalah di siang hari, misalnya mengantuk atau tidur di siang hari. Hal ini dapat mengganggu aktivitas yang seharusnya dilakukan misalnya aktivitas di sekolah atau di tempat kerja. Masalah tidur lain misalnya insomnia, mimpi buruk, dan teeth grinding. 4. Gangguan kecemasan dan gangguan fobik. Game addiction juga cukup sering berkomorbid dengan gangguan kecemasan dan gangguan fobik misalnya fobia social. 5. Gangguan obsesif-kompulsif. Game addiction dapat juga berkomorbid dengan gangguan obsesif-kompulsif (APA, 2013).
III. GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF A. DEFINISI Gangguan Obsesif-kompulsif digambarkan sebagai pikiran dan tindakan yang berulang yang menghabiskan waktu dan menyebabkan distress dan hendaya yang bermakna. Obsesi adalah aktivitas mental seperti pikiran, perasaan, ide, impuls yang berulang dan mengganggu. Kompulsi adalah suatu perilaku yang disadari dan berulang, seperti menghitung, memeriksa, 18
menghindari. Tidakan kompulsi merupakan usaha untuk meredakan kecemasan yang berhubungan dengan obsesi namun tidak selalu berhasil meredakan ketegangan, bahkan dapat meningkatkan kecemasan. Pasien dengan gangguan ini menyadari bahwa obsesi dan kompulsi tidak beralasan sehingga bersifat egodistonik. Pasien dengan OCD dapat memiliki obsesi atau kompulsi atau keduanya. (Elvira, 2013)
B. EPIDEMIOLOGI Prevalensi seumur hidup gangguan obsesif-kompulsif pada populasi umum diperkirakan adalah 2 sampai 3 persen dimana pria dan wanita memiliki resiko sama. Beberapa peneliti telah memperkirakan bahwa gangguan obsesif-kompulsif ditemukan pada sebanyak 10 persen pasien rawat jalan di klinik psikiatrik. Angka tersebut menyebabkan gangguan obsesifkompulsif sebagai diagnosis psikiatrik tersering yang keempat setelah fobia, gangguan berhubungan zat, dan gangguan depresif berat. Untuk orang dewasa, laki-laki dan wanita sama mungkin terkena; tetapi untuk remaja, laki-laki lebih sering terkena gangguan obsesif-kompulsif dibandingkan perempuan. Usia onset rata-rata adalah kira-kira 20 tahun walaupun laki-laki memiliki onset usia yang agak lebih awal (rata-rata sekitar usia 19 tahun) dibandingkan wanita (rata-rata sekitar 22 tahun). Secara keseluruhan, kira-kira duapertiga dari pasien memiliki onset gejala sebelum usia 25 tahun, dan kurang dari 15 persen pasien memiliki onset gejala setelah usia 35 tahun. Gangguan obsesifkompulsif dapat memiliki onset pada remaja atau masa anak-anak pada beberapa kasus dapat pada usia 2 tahun. Orang yang hidup sendirian lebih banyak terkena gangguan obsesifkompulsif dibandingkan orang yang menikah, walaupun temuan tersebut kemungkinan mencerminkan kesulitan yang dimiliki pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif dalam mempertahankan suatu hubungan. Gangguan obsesif-kompulsif ditemukan lebih jarang diantara golongan kulit hitam dibandingkan kulit putih. Pasien dengan gangguan obsesif kompulsif umumnya dipengaruhi oleh gangguan mental lain. Prevalensi seumur hidup untuk gangguan obsesif kompulsif adalah kira-kira 67 persen dan untuk fobia social kira-kira 25 persen. Diagnosis psikiatrik komorbid lainnya pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif adalah gangguan penggunaan alcohol, fobia spesifik, gangguan panik, gangguan makan, dan gangguan kepribadian. C. ETIOLOGI 1. Faktor Biologis a. Neurotransmiter 19
Banyak uji coba kinis yang telah dilakukan terhadap berbagai obat mendukung hipotesis bahwa suatu disregulasi serotonin adalah terlibat di dalam pembentukan gejala obsesi dan kompulsi dari gangguan. Data menunjukkan bahwa obat serotonergik lebih efektif dibandingkan obat yang mempengaruhi sistem neurotransmiter lain. Tetapi apakah serotonin terlibat di dalam penyebab gangguan obsesif-kompulsif adalah tidak jelas pada saat ini. Penelitian klinis telah mengukur konsentrasi metabolit serotonin sebagai contohnya, 5-hydroxyndoleacetic acid (5HIAA) di dalam cairan serebrospinal dan afinitas sertai jumlah tempat ikatan trombosit pada pemberian imipramine(yang berikatan dengan tempat ambilan kembali serotonin) dan telah melaporkan berbagai temuan pengukuran tersebut pada pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif. Pada satu studi, konsentrasi 5HIAA pada cairan serebrospinal menurun setelah terapi dengan clomipramine, sehingga memberikan perhatian pada sistem serotonergik. b. Genetika Penelitian kesesuaiaan pada anak kembar untuk gangguan obsesif-kompulsif telah secara konsisten menemukan adanya angka kesesuaian yang lebih tinggi secara bermakna pada kembar monozigotik dibandingkan kembar dizigotik. Penelitian keluarga pada pasien gangguan obsesif kompulsif telah menemukan bahwa 35 persen sanak saudara derajat pertama pasien gangguan obsesif-kompulsif juga menderita gangguan. 2. Faktor Perilaku Menurut ahli teori belajar, obsesi adalah stimuli yang dibiasakan. Stimulus yang relatif netral menjadi disertai dengan ketakutan atau kecemasan melalui proses pembiasaan responden dengan memasangkannya dengan peristiwa yang secara alami adalah berbahaya atau menghasilkan kecemasan. Jadi, objek dan pikiran yang sebelumnya netral menjadi stimuli yang terbiasakan yang mampu menimbulkan kecemasan atau gangguan. Kompulsi dicapai dalam cara yang berbeda. Seseorang menemukan bahwa tindakan tertentu menurunkan kecemasan yang berkaitan dengan pikiran obsesional. Jadi, strategi menghindar yang aktif dalam bentuk perilaku kompulsif atau ritualistik dikembangkan untuk mengendalikan kecemasan. Secara bertahap, karena manfaat perilaku tersebut dalam menurunkan dorongan sekunder yang menyakitkan
20
(kecemasan), strategi menghindar menjadi terfiksasi sebagai pola perilaku kompulsif yang dipelajari. 3. Faktor Psikososial a. Faktor kepribadian Gangguan obsesif-kompulsif adalah berbeda dari gangguan kepribadian obsesifkompulsif. Sebagian besar pasien gangguan obsesif-kompulsif tidak memiliki gejala kompulsif pramorbid. Dengan demikian, sifat kepribadian tersebut tidak diperlukan atau tidak cukup untuk perkembangan gangguan obsesif-kompulsif. Hanya kira-kira 15 sampai 35 persen pasien gangguan obsesif-kompulsif memiliki sifat obsesional pramorbid. b. Faktor psikodinamika Sigmund Freud asalnya mengonsepkan keadaan yang sekarang kita sebut OCD sebagai neurosis obsesif kompulsif. Ia mengganggap terdapat kemunduran defensif dalam menghadapi dorongan oedipus yang mencetuskan ansietas. Ia mendalilkan bahwa pasien dengan neurosis obsesif kompulsif mengalami regresi perkembangan psikoseksual. Tilikan psikodinamik dapat memberikan banyak bantuan dalam memahami masalah dengan kepatuha terapi, kesulitan interpersonal dan masalah kepribadian yang menyertai gangguan Aksis 1. Meskipun gejala OCD dapat didorong secara biologis, pasien dapat menjadi tertarik untuk mempertahankan simptomatologi karena adanya keuntungan sekunder. Contohnya pasien laki-laki yang ibunya tinggal di rumah untuk merawatnya, secara tidak sadar dapat ingin bertahan
pada
gejala
OCD-nya
karena
gejala
tersebut
ibunya
tetap
membperhatikannya. Kontribusi pemahaman psikodinamaik lainnya melibatkan dimensi interpesonal. Sejumlah studi menunjukkan bahwa kerabat akan mengakomodasi pasien melalui partisipasi aktif didalam ritual atau modiifikasi kegiatan rutin sehari-hari yang signifikan, yang berhubungan dengan tekanan didalam keluarga, sikap penolakan terhadap pasien dan fungsi keluarga yang buruk. Seringkali, kesulitan
interpersonal
meningkatkan
ansietas
sehingga
meningkatkan
simtomatologi pasien.
21
4. Faktor psikodinamik lainnya Pada teori psikoanalitik klasik, gangguan obsesif-kompulsif dinamakan neurosis obsesif-kompulsif. Jika pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif merasa terancam oleh kecemasan tentang pembalasan dendam atau kehilangan objek cinta yang penting, mereka mundur dari fase oedipal dan beregresi ke stadium emosional yang sangat ambivalen yang berhubungan dengan fase anal. Adanya benci dan cinta secara bersama-sama kepada orang yang sama menyebabkan pasien dilumpuhkan oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Suatu ciri yang melekat pada pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif adalah derajat dimana mereka terpaku dengan agresi atau kebersihan, baik secara jelas dalam isi gejala mereka atau dalam hubungan yang terletak di belakangnya. Dengan demikian, psikogenesis gangguan obsesif-kompulsif, mungkin terletak pada gangguan dan perkembangan pertumbuhan normal yang berhubungan dengan fase perkembangan anal-sadistik. a. Ambivalensi Ambivalensi adalah akibat langsung dari perubahan dalam karakteristik kehidupan impuls. Hal ini adalah ciri yang penting pada anak normal selama fase perkembangan anal-sadistik; yaitu anak merasakan cinta dan kebencian kepada suatu objek. Konflik emosi yang berlawanan tersebut mungkin ditemukan pada pola perilaku melakukan-tidak melakukan pada seorang pasien dan keragu-raguan yang melumpuhkan dalam berhadapan dengan pilihan. b. Pikiran magis Pikiran magis adalah regresi yang mengungkapkan cara pikiran awal, ketimbang impuls; yaitu fungsi ego, dan juga fungsi id, dipengaruhi oleh regresi. Yang melekat pada pikiran magis adalah pikiran kemahakuasaan. Orang merasa bahwa mereka dapat menyebabkan peristiwa di dunia luar terjadi tanpa tindakan fisik yang menyebabkannya, semata-mata hanya dengan berpikir tentang peristiwa tersebut. Perasaan tersebut menyebabkan memiliki suatu pikiran agresif akan menakutkan bagi pasien gangguan obsesif-kompulsif.
D. GAMBARAN KLINIS Pada umumnya obsesi dan kompulsi mempunyai gambaran tertentu seperti (Elvira, 2013) : 1. Adanya ide atau impuls yang terus-menerus menekan kedalam kesadaran seseorang. 2. Perasaan cemas atau takut akan ide atau impuls yang aneh
22
3. Obsesi dan kompulsi ego-alien, yaitu dialami sebagai suatu yang asing bagi pengalaman seseorang tentang dirinya sendiri sebagai makhluk psikologis. 4. Pasien mengenali obsesi dan kompulsi sebagai sesuatu yang aneh dan irasional. 5. Individu yang menderita obsesi kompulsi merasa adanya keinginan kuat untuk melawan.
Gangguan obsesif-kompulsif memiliki empat pola gejala yang utama (Saddock, 2010) : 1. Kontaminasi Pola yang paling sering ditemukan adalah suatu obsesi tentang kontaminasi, diikuti oleh mencuci disertai penghindaran obsesif terhadap objek yang kemungkinan terkontaminasi. Objek yang ditakuti seringkali sukar untuk dihindari, sebagai contoh feses, urin, debu atau kuman. Pasien mungkin secara terus-menerus menggosok kulit tangannya dengan mencuci tangan secara berlebihan atau mungkin tidak mampu pergi keluar rumah karena takut akan kuman. Walaupun kecemasan adalah respon emosional yang paling sering terhadap objek yang ditakuti, rasa malu dan rasa jijik yang obsesif juga sering ditemukan. Pasien dengan obsesi kontaminasi biasanya percaya bahwa kontaminasi ditularkan dari objek ke objek atau orang ke orang oleh kontak ringan. 2. Keraguan Patologis Pola kedua yang sering adalah obsesi keraguan, diikuti oleh pengecekan yang kompulsi. Obsesi seringkali melibatkan suatu bahaya kekerasan, seperti lupa mematikan kompor atau tidak mengunci pintu. Pengecekan tersebut mungkin menyebabkan pasien pulang beberapa kali ke rumah untuk memeiksa kompor. Pasien memiliki keragu-raguan terhadap diri sendiri yang obsesional, saat mereka selalu merasa bersalah karena melupakan atau melakukan sesuatu. 3. Pikiran yang Mengganggu Pola ketiga yang tersering adalah pola dengan pikiran semata-mata pikiran obsesional yang mengganggu tanpa suatu kompulsi. Obsesi tersebut biasanya berupa pikiran berulang akan suatu tindakan seksual atau agresif yang tercela bagi pasien. 4. Simetri Pola keempat yang tersering adalah kebutuhan akan simetrisitas atau ketepatan, yang dapat menyebabkan perlambatan kompulsi. Pasien secara harfiah menghabiskan waktu berjam-jam untuk makan atau mencukur wajahnya. 5. Pola yang lain 23
Obsesi religius atau keagamaan, Trichotillomania (menarik rambut kompulsif) dan menggigit kuku atau jari-jari.
E. DIAGNOSIS Kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif-kompulsif menurut DSM IV: 1. Salah satu obsesi atau kompulsi Obsesi seperti yang didefinisikan sebagai berikut: a. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan yang rekuren dan persisten yang dialami, pada suatu saat dimana selama gangguan, sebagai intrusif dan tidak sesuai, dan menyebabkan kecemasan dan penderitaan yang jelas. b. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan tidak semata-mata kekhawatiran yang berlebihan tentang masalah kehidupan yang nyata. c. Orang berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, impuls, atau bayanganbayangan tersebut untuk mentralkannya dengan pikiran atau tindakan lain. d. Orang menyadari bahwa pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan obsesional adalah keluar dari pikirannya sendiri( tidak disebabkan dari luar seperti penyisipan pikiran). Kompulsi seperti yang didefinisikan sebagai berikut: a. Perilaku (misalnya, mencuci tangan, mengurutkan, memeriksa) atau tindakan mental (misalnya berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata dalam hati) yang berulang yang dirasakannya mendorong untuk melakukannya sebagai respon terhadap suatu obsesi, atau menurut dengan aturan yang harus dipatuhi secara kaku. b. Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau menurunkan penderitaan atau mencegah suatu kejadian atau situasi yang menakutkan, tetapi perilaku atau tindakan mental tersebut tidak dihubungkan dengan cara yang realistik dengan apa mereka dianggap untuk menetralkan atau mencegah, atau jelas berlebihan. 2. Pada suatu waktu selama perjalanan gangguan, orang telah menyadari bahwa obsesi atau kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan. Catatan: ini tidak berlaku bagi anak-anak 3. Obsesi atau kompulsi menyebabkan penderitaan yang jelas, menghabiskan waktu (menghabiskan lebih dari satu jam sehari), atau secara bermakna mengganggu rutinitas normal orang, fungsi pekerjaan (atau akademik), atau aktifitas atau hubungan sosial yang biasanya. 24
4. Jika terdapat gangguan aksis I lainnya, isi obsesi atau kompulsi tidak terbatas padanya (misalnya preokupasi dengan makanan jika terdapat gangguan makan, menarik rambut jika terdapat trikotilomania, permasalahan pada penampilan jika terdapat gangguan dismorfik tubuh, preokupasi dengan obat jika terdapat suatu gangguan penggunaan zat, preokupasi dengan menderita suatu penyakit serius jika terdapat hipokondriasis, preokupasi dengan dorongan atau fanatasi seksual jika terdapat parafilia, atau perenungan bersalah jika terdapat gangguan depresif berat). 5. Tidak disebabkan oleh efek langsung suatu zat (misalnya obat yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum. Sebutkan jika : Dengan tilikan buruk : jika selama sebagian besar waktu selama episode terakhir, orang tidak menyadari bahwa obsesi dan kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan. Pedoman diagnosis menurut PPDGJ III: a. Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya dua minggu berturutturut. b. Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu aktivitas penderita. c. Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:
Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri.
Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita.
Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut di atas bukan merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud di atas)
Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive)
d. Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif, dengan depresi. penderita gangguan obsesif kompulsif seringkali juga menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya penderita gangguan depresi berulang dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesif selama episode depresifnya. Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara paralel dengan perubahan gejala obsesif. Bila 25
terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis diutamakan dari gejalagejala yang timbul lebih dahulu. Diagnosis gangguan obsesif kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada gangguan depresif pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut timbul. Bila dari keduanya tidak ada yang menonjol, maka baik menganggap depresi sebagai diagnosis yang primer. Pada gangguan menahun, maka prioritas diberikan pada gejala yang paling bertahan saat gejala yang lain menghilang. e. Gejala obsesif ”sekunder” yang terjadi pada gangguan skizofrenia, sindrom Tourette, atau gangguan mental organk, harus dianggap sebagai bagian dari kondisi tersebut.
F. KLASIFIKASI F42.0 Predominan Pikiran Obsesif atau Pengulangan Pedoman Diagnostik a. Keadaan ini dapat berupa gagasan, bayangan pikiran, atau impuls ( dorongan perbuatan), yang sifatnya mengganggu (ego alien) b. Meskipun isi pikiran tersebut berbeda-beda, umumnya hampir selalu menyebabkan penderitaan (distress). F42.1 Predominan Tindakan Kompulsif ( obsesional ritual) Pedoman Diagnostik a. Umumnya tindakan kompulsif berkaitan dengan kebersihan (khususnya mencuci tangan), memeriksa berulang untuk meyakinkan bahwa suatu situasi yang dianggap berpotensi bahaya terjadi, atau masalah kerapian dan keteraturan. Hal tersebut dilatarbelakangi perasaan takut terhadap bahaya yang mengancam dirinya atau bersumber dari dirinya, dan tindakan ritual tersebut merupakan ikhtiar simbolik dan tidak efektif untuk menghindari bahaya tersebut. b. Tindakan ritual kompulsif tersebut menyita banyak waktu sampai beberapa jam dalam sehari dan kadang-kadang berkaitan dengan ketidakmampuan mengambil keputusan dan kelambanan. F42.2 Campuran Pikiran dan Tindakan Obsesif Pedoman Diagnostik
26
a. Kebanyakn dari penderita obsesif kompulsif memperlihatkan pikiran obsesif serta tindakan kompulsif. Diagnosis ini digunakan bila mana kedua hal tersebut sama-sama menonjol, yang umumnya memang demikian. b. Apabila salah satu memang jelas lebih dominan,sebaiknya dinyatakan dalam diagnosis F42.0 atau F42.1. hal ini berkaitan dengan respon yang berbeda terhadap pengobatan. Tindakan kompulsif lebih respondif terhadap terapi perilaku. F42.8 Gangguan Obsesif Kompulsif Lainnya F42.9 Gangguan Obsesif Kompulsif YTT.
G. DIAGNOSIS BANDING 1. Kondisi medis Gangguan neurologis utama yang dipertimbangkan dalam diagnosis banding adalah gangguan Tourette, gangguan tik lainnya, epilepsi lobus temporalis, dan kadangkadang komplikasi trauma dan pascaensefalitik. Gejala karakteristik dari gangguan Tourette adalah tik motorik dan vokal yang sering dan hampir setiap hari terjadi. (Saddock, 2010) 2. Kondisi psikiatrik Pertimbangan psikiatrik utama di dalam diagnosis banding gangguan obsesifkompulsif adalah skizofrenia, gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, fobia, dan gangguan depresif. Gangguan obsesif kompulsif biasanya dapat dibedakan dari skizofrenia oleh tidak adanya gejala skizofrenik lain, oleh kurang kacaunya sifat gejala, dan oleh tilikan pasien terhadap gangguan mereka. Gangguan kepribadian obsesifkompulsif tidak memiliki derajat gangguan fungsional yang berhubungan dengan gangguan obsesif-kompulsif. Fobia dibedakan dengan tidak adanya hubungan antara pikiran obsesif dan kompulsi. Gangguan depresif berat kadang-kadang dapat disertai oleh gagasan obseisf, tetapi pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif saja tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat. Kondisi psikiatrik lain yang dapat berhubungan erat dengan gangguan obsesifkompulsif adalah hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan kemungkinan gangguan impuls lainnya, seperti kleptomania dan judi patologis. Pada semua gangguan tersebut pasien memiliki pikiran yang berulang, sebagai contoh permasalahan tentang tubuhnya, atau perilaku yang berulang sebagai contoh mencuri. (Saddock, 2010) 27
H. TERAPI 1. Farmakoterapi Data yang tersedia menyatakan bahwa semua obat yang digunakan untuk mengobati gangguan depresif atau gangguan mental lain, dapat digunakan dalam rentang dosis yang biasanya. Efek awal biasanya terlihat setelah 4 sampai 6 minggu pengobatan, walaupun biasanya diperlukan waktu 8 sampai 16 minggu untuk mendapatkan manfaat terapeutik yang maksimum. Walaupun pengobatan dengan obat antidepresan masih kontroversial, sebagian pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif yang berespon terhadap pengobatan dengan antidepresan tampaknya mengalami relaps jika terapi obat dihentikan. Pengobatan standar adalah memulai dengan obat spesifik-serotonin, contohnya clomipramine (Anafranil) atau SSRI (serotonin specific reuptake inhibitor), seperti Fluoxetine (Prozac). Indikasi Penggunaan 1) Selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari mengalami gejala-gejala obsesif kompulsif yang memiliki ciri-ciri berikut: a) Diketahui/disadari sebagai pikiran, bayangan atau impuls dari diri individu sendiri; b) Pikiran, bayangan, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan (ego-distonik); c) Melaksanakan tindakan sesuai dengan pikiran, bayangan atau impuls tersebut diatas bukan merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau ansietas); d) Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang masih tidak berhasil dilawan/dielakkan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan/dielakkan oleh penderita; 2) Gejala-gejala tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau menggangu aktivitas sehari-hari (disability) Respon penderita gangguan obsesif kompulsif terhadap farmakoterapi seringkali hanya mencapai pengurangan gejala sekitar 30%-60% dan kebanyakan masih menunjukkan gejala secara menahun. Namun demikian, umumnya penderita sudah merasa sangat tertolong. Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang lebih baik, perlu disertai dengan terapi perilaku (behavior therapy). a) Clomipramine. Clomipramine biasanya dimulai dengan dosis 25 sampai 50 mg sebelum tidur dan dapat ditingkatkan dengan peningkatan 25 mg sehari setiap dua 28
sampai tiga hari, sampai dosis maksimum 250 mg sehari atau tampak efek samping yang membatasi dosis. Karena Clopramine adalah suatu obat trisiklik, obat ini disertai dengan efek samping berupa sedasi, hipotensi, disfungsi seksual dan efek samping antikolinergik, seperti mulut kering dan konstipasi. b) SSRI. Penelitian tentang Fluoxetine dalam gangguan obsesif-kompulsif menggunakan dosis sampai 80 mg setiap hari untuk mencapai manfaat terapeutik. Walaupun SSRI mempunyai efek seperti overstimulasi, kegelisahan, nyeri kepala, insomnia, mual, ansietas dan efek samping gastrointestinal, SSRI dapat ditoleransi dengan lebih baik daripada obat trisiklik. Dengan demikian, kadang-kadang SSRI digunakan sebagai obat lini pertama dalam pengobatan gangguan obsesif kompulsif. Dapat diberikan fluoxeton (2x20 mg), atau sertraline (2x50 mg), atau esitalopram (2x10 mg), atau fluvoxamine (2x50 mg). c) Obat lain. Jika pengobatan dengan Clomipramine atau SSRI tidak berhasil, banyak ahli terapi menambahkan lithium (Eskalith), valproat (Depakene), karbamazepin (Tegretol). Obat lain yang dapat digunakan dalam pengobatan gangguan obsesif kompulsif adalah inhibitor monoamin oksidase (MAOI = monoamine oxidase inhibitor), khususnya Phenelzine (Nardil). 2. Terapi perilaku Walaupun beberapa perbandingan telah dilakukan, terapi perilaku sama efektifnya dengan farmakoterapi pada gangguan obsesif-kompulsif. Dengan demikian, banyak klinisi mempertimbangkan terapi perilaku sebagai terapi terpilih untuk gangguan obsesifkompulsif. Terapi perilaku dapat dilakukan pada situasi rawat inap maupun rawat jalan. Pendekatan perilaku utama pada gangguan obsesif-kompulsif adalah pemaparan dan pencegahan respon. Desensitisasi, menghentikan pikiran, pembanjiran, terapi implosi, dan pembiasaan tegas juga telah digunakan pada pasien gangguan obsesif kompulsif. Dalam terapi perilaku pasien harus benar-benar menjalankannya untuk mendapatkan perbaikan. 3. Psikoterapi Psikoterapi suportif jelas memiliki bagiannya, khususnya untuk pasien gangguan obsesif-kompulsif, walaupun gejalanya memiliki berbagai derajat keparahan, adalah mampu untuk bekerja dan membuat penyesuaian sosial. Dengan kontak yang kontinu dan teratur dengan tenaga yang profesional, simpatik, dan mendorong, pasien mungkin mampu untuk berfungsi berdasarkan bantuan tersebut, tanpa hal tersebut gejalanya akan menyebabkna gangguan. Kadang-kadang jika ritual dan kecemasan obsesional mencapai intensitas yang tidak dapat ditoleraansi, perlu untuk merawat pasien di rumah sakit sampai 29
tempat penampungan institusi dan menghilangkan stres lingkungan eksternal menurunkan gejala sampai tingkat yang dapat ditoleransi. Anggota keluarga pasien seringkali menjadi putus asa karena perilaku pasien. Tiap usaha psikoterapik harus termasuk perhatian pada anggota keluarga melalui dukungan emosional, penentraman, penjelasan dan nasihat tentang bagaimana menangani dan berespons terhadap pasien. 4. Terapi lain Terapi keluarga seringkali berguna dalam mendukung keluarga, membantu menurunkan percekcokan perkawinan yang disebabkan gangguan, dan membangun ikatan terapi dengan anggota keluarga untuk kebaikan pasien. Terapi kelompok berguna sebagai sistem pendukung bagi beberapa pasien. 5. Cognitive Behavior Therapy Cognitive Behavior Therapy untuk mengatasi gangguan Obsesif-Kompulsif. Mendasarkan pada perspektif kognitif dan perilaku, teknik yang umumnya diterapkan untuk mengatasi gangguan obsesif-kompulsif adalah exposure with response prevention. Pasien dihadapkan pada situasi dimana ia memiliki keyakinan bahwa ia harus melakukan tingkah laku ritual yang biasa dilakukannya namun mereka cegah untuk tidak melakukan ritual itu. Jika klien dapat mencegah untuk tidak melakukan ritual tersebut dan ternyata sesuatu yang mengerikannya tidak terjadi. Hal ini dapat membantu dalam mengubah keyakinan individu akan tingkah laku ritual. Teknik lain berupa terapi kognitif dimana mengajarkan jalan terbaik dan efektif untuk merespon pikiran obsesif tanpa perlu sampai ke kompulsif.
I. PROGNOSIS Sekitar 20-30% pasien mengalami perbaikan gejalan yang signifikan, 40-50% mengalami perbaikan sedang, dan 20-40% tetap sakit atau mengalami perburukan gejala. Sekitar sepertiga hingga separuh pasien memiliki gangguan depresif berat dan bunuh diri (Saddock, 2010).
30
BAB III PENUTUPAN
3.1 KESIMPULAN 1. Judi patologis ditandai dengan judi maladaptif yang berulang dan menetap yang
mencakup preokupasi, kebutuhan untuk berjudi; upaya berulang yang tidak berhasil untuk mengendalikan, mengurangi atau menghentikan judi; berjudi sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah; berjudi untuk membalas kekalahan; berbohong; melakukan tindakan ilegal; membahayakan atau kehilangan hubungan baik pribadi maupun pekerjaan; dan mengandalkan orang lain untuk membayar hutang. Penatalaksanaan dari gangguan judi membutuhkan perhatian penuuh dari seluruh aspek prespektif biopsikososial. Pada dasarnya judi patologis dapat diterapi dengan psikofarmaka dan non psikofarmaka seperti terapi kelompok Seperti gangguan adiktif lainnya, retensi dan komitmen dari pasien terhadap pengobatan akan meningkatkan hasil pengobatan. 2. Game addiction merupakan bagian dari gangguan yang terkait dengan pemakaian
internet. Dalam menimbulkan suatu adiksi, game mengubah keseimbangan dalam neurotransmiter otak yang berperan dalam sistem reward, yang lama kelamaan akan mengubah struktur sistem saraf secara anatomis dan berefek pada perubahan dalam pengaturan emosi, kognisi, dan psikomotor.Terdapat diagnosis gangguan akibat game dalam DSM-5 yang diusulkan dengan nama diagnosis internet gaming disorder. Terapi yang dapat dilakukan diantaranya adalah dukungan dari orang tua/keluarga, mengubah ke game yang edukatif, mengalihkan ke aktivitas yang lebih bermanfaat, family therapy. Prognosis dari game addiction dipengaruhi oleh beberapa hal misalnya lingkungan, genetik dan fisiologis, jenis kelamin, ko-morbiditas dengan gangguan lain, usia, dan pilihan waktu bermain game. 3. Obsesi adalah pikiran, perasaan, ide atau sensasi yang menganggu (intrusif). Kompulsi
adalah pikiran atau perilaku yang disadari, rekuren seperti menghitung, memeriksa dan menhindari. Etiologi yang dapat menyebabkan gangguan obsesif kompulsif yaitu faktor biologis, faktor perilaku maupun psikososial. Gangguan obsesif-kompulsif memiliki empat pola gejala yang utama. Terapi yang diberikan dapat berupa farmakologi dan non farmakologi.
31
3.2 Saran Diperlukan telaah dan studi lebih lanjut untuk lebih mendalami dan memahami mengenai judi patologis, game addiction, OCD mulai dari pemeriksaan, diagnosis, hingga penatalaksanaannya.
32
DAFTAR PUSTAKA 1. APA (American Psychiatric Association). 2013. Diagnostic and statistical manual of mental disorders: fifth edition. Arlington: American Psychiatric Association. p. 795-798. 2. Elvira, Sylvia E. dkk. Buku Ajar Psikiatri. 2010. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Jakarta. 3. Internet World Stats. 2018. Internet users in the world distribution by world regions 2018 Q2. http://www.internetworldstats.com/stats.htm. 4. Kuss, Daria J dan Griffiths, Mark D. 2012. Internet and gaming addiction: a systematic literature review of neuroimaging studies. Brain Sciences. 2; 347-374. 5. Maslim, Rusdi. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya. 6. Reza, dkk. 2016. Masalah Adiksi Game Online pada Anak. Cdk. Vol 43 no 4. 7. Sadock BJ, Sadock VA. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC 8. Sigman, Aric. 2014. Virtually addicted: why general practice must now confront screen dependency. British Journal of General Practice. Dec. p. 610-611. 9. Statista. 2015. Statistics and market data on video games and gaming. The Statistic Portal: http://www.statista.com/markets/417/topic/478/video-games-gaming/ 10. Young, Kimberly. 2009. Understanding online gaming addiction and treatment issues for adolescents. The American Journal of Family Therapy. 37:355-372.
33