Referat Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting -nindya-.docx

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting -nindya-.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,541
  • Pages: 18
ACC TUTOR:

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA

Oleh : NINDYA HERMA WIDHIANTI G1A017006

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN 2018

I. PENDAHULUAN

I.1

Latar Belakang Indonesia memiliki masalah kesehatan serius yang berkaitan dengan kasus status gizi kurang pada anak balita. Dimana posisi anak balita merupakan sosok penerus masa depan kita dan penentu masa depan bangsa. Anak balita yang sehat akan menjadikan anak balita yang cerdas, berlaku pula sebaliknya. Anak balita adalah salah satu golongan usia yang rentan terkena penyakit apabila kekurangan asupan gizi yang cukup. Periode anak balita merupakan suatu masa yang kritis atau bisa juga disebut masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan. Oleh karena itu gizi pada masa anak balita harus diperhatikan. Gangguan gizi yang terjadi pada periode ini bersifat irreversible yang tidak dapat dipulihkan walaupun kebutuhan gizi pada periode selanjutnya terpenuhi (Depkes RI, 2007). Menurut data WHO (2011) di dunia pada tahun 2010 terdapat 171 juta anak yang mengalami stunting dan 167 juta diantaranya merupakan anak yang tinggal di negara berkembang. Sedangkan menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyatakan bahwa terdapat 37,2% anak balita yang mengalami stunting. Dimana diantaranya 19,2% anak pendek dan 18% sangat pendek. Jika dibandingkan dengan data Riskesdas tahun 2010 terdapat 35,6% anak balita dan tahun 2007 terdapat 36,8% anak balita yang mengalami stunting, persentase tersebut relatif tidak menunjukkan perbaikan (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Artinya, lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di Indonesia mengalami stunting (MCA Indonesia, 2015). Kejadian stunting di Indonesia masih menempati urutan ke-5 di dunia (Riskesdas, 2013). Menurut WHO (2011), apabila masalah stunting diatas 20% maka merupakan masalah kesehatan masyarakat. Sehingga hal tersebut dibicarakan pada saat Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas)

1

2018 bahwa stunting memasuki tiga sasaran masalah kesehatan masyarakat di Indonesia setelah TBC. Masih tingginya angka presentase anak balita yang mengalami stunting menunjukkan masalah gizi di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang kronis. Masalah kesehatan kronis tersebut berkaitan dengan berbagai aspek penyebab, mulai dari faktor penyebab tidak langsung (penyebab dasar di level masyarakat dan penyebab dasar di level keluarga) hingga faktor penyebab langsung (UNICEF, 2012). Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk membuat referat dengan judul “Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita”. Diharapkan referat ini dapat menjadi pedoman bagi masyarakat untuk menambah pengetahuan mengenai faktor- faktor yang dapat menyebabkan stunting pada balita agar dapat melakukan intervensi yang

sesuai

sehingga

tercapainya

program

pemerintah

dalam

pemberantasan stunting.

I.2

Tujuan 1. Memberi pengetahuan kepada masyarakat mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita. 2. Memberi penjelasan lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita.

2

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1

Pengertian Balita Balita adalah suatu masa yang sangat penting dalam pertumbuhan

dan perkembangan, yaitu dengan rentang usia satu sampai lima tahun (Mitayani, 2010). Menurut Soetjiningsih (2015), masa balita merupakan masa kritis yang sering disebut dengan window of opportunity. dimana masa tersebut dapat digunakan sebagai indikator apakah balita tumbuh dan berkembang secara normal atau tidak, dengan cara mengamati pola tumbuh kembang fisik, yaitu salah satunya dengan mengukur berat badan balita. Sedangkan menurut Uripi (2004), masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia yang nantinya akan menjadi penentu keberhasilan tumbuh kembang anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di masa balita merupakan masa yang berlangsung sangat pesat dan tidak akan pernah terulang (irreversible) yang sering disebut masa keemasan (golden age). Menurut Sutomo dan Anggraini (2010), balita dibagi menjadi dua istilah yaitu batita untuk usia satu sampai tiga tahun dan anak prasekolah untuk usia tiga sampai lima tahun. Sama halnya dengan pembagian istilah balita menurut Price dan Gwin (2014) bahwa balita dibagi menjadi dua yaitu batita dan balita, batita adalah anak dengan usia satu sampai tiga tahun dan balita adalah anak dengan usia tiga sampai lima tahun. Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa balita adalah anak dengan rentang usia satu sampai lima tahun yang dibagi menjadi dua istilah batita (usia 1-3 tahun) dan anak prasekolah (usia 3-5 tahun) dimana

rentang usia tersebut merupakan masa yang

berlangsung pesat dan bersifat irreversible yang digunakan sebagai indikator pertumbuhan dan perkembangan secara normal atau tidak yang nantinya akan menentukan keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya.

3

II.2

Gizi Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang

telah dikonsumsi secara normal melalui rangkaian proses pencernaan. Proses

pencernaan

tersebut

mulai

dari

penyerapan,

transportasi,

penyimpanan, metabolism, dan pengeluaran zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal organ tubuh serta untuk menghasilkan energi (Supariasa, 2013; Djoko Pekik Irianto, 2006). Salah satu penentu kualitas sumber daya manusia adalah gizi. Kekurangan gizi dapat menimbulkan beberapa dampak yang cukup serius seperti pertumbuhan dan perkembangan tidak optimal. Dampak lain yang dtimbulkan akibat gizi kurang yaitu penurunan produktifitas, menurunnya sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit yang meningkatkan resiko terkena penyakit salah satunya infeksi saluran pernafasan akut (Marimbi, 2010). Menurut WHO (2013), gizi adalah asupan makanan yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Dimana gizi yang baik adalah suatu kondisi seimbang antara asupan makanan dan aktivitas fisik. Kurang gizi dapat menyebabkan sistem imun tubuh berkurang, semakin rentan terkena penyakit, gangguan perkembangan fisik dan mental, serta mengurangi produktivitas. Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa gizi adalah kebutuhan tubuh untuk mecapai suatu kondisi seimbang antara asupan makanan dan aktivitas fisik yang digunakan untuk mempertahankan hidup, fungsi organ tubuh, dan menghasilkan energi.

A. Status Gizi Status gizi adalah suatu hasil akhir keadaan tubuh yang seimbang antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan penggunaanya (Cakrawati, 2012). Status gizi adalah jumlah asupan

4

gizi setelah mengkonsumsi makanan dan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh (Fidiantoro dan Setiadi, 2013). Menurut Suyatno (2009), status gizi adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh seimbangnya jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh tubuh. Hal tersebut nantinya dibutuhkan untuk menjalankan berbagai fungsi biologis, seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya.

B. Klasifikasi Status Gizi Klasifikasi status gizi pada balita, angka berat badan dan angka, tinggi badan dikonversikan berdasarkan Z-Score, yang merupakan kategori dan ambang batas status gizi balita untuk memantau pertumbuhan dan mengetahui status gizi balita.

Berikut tabel klasifikasi status gizi :

Klasifikasi

Status Gizi

Z-Score

Gizi Buruk

< -3 SD

Gizi Kurang

-3 SD sampai dengan < -2 SD

Gizi Baik

-2 SD sampai dengan 2 SD

Gizi Lebih

> -2 SD

Sangat Pendek

< -3 SD

Pendek

-3 SD sampai dengan < -2 SD

Normal

-2 SD sampai dengan 2 SD

Tinggi

> -2 SD

BB/TB

atau Sangat Kurus

< -3 SD

BB/PB

Kurus

-3 SD sampai dengan < -2 SD

Normal

-2 SD sampai dengan 2 SD

Gemuk

> -2 SD

BB/U

TB/U

Sumber : Kemenkes RI, 2013 5

C. Stunting 1. Definisi Stunting Stunting adalah suatu keadaan kurang gizi kronis akibat dari asupan gizi yang kurang dalam kurun waktu yang lama dikarenakan pemberian makan tidak sesuai dengan kebutuhan. Kekurangan gizi pada usia yang dini berdampak pada peningkatan angka kematian bayi dan anak, mudahnya terkena penyakit, dan postur tubuh tidak maksimal saat dewasa (MCA Indonesia, 2014). Menurut Sudiman (2008), Stunting merupakan suatu keadaan umum dari kekurangan gizi yang dapat mempengaruhi bayi sebelum dan awal setelah lahir yang berkaitan dengan gizi ibu selama kehamilan. Stunting juga merupakan cerminan dari kurang gizi kronis yang berlangsung cukup lama selama periode tumbuh kembang pada awal kehidupan yaitu pada usia 0-59 bulan. Stunting juga bisa dikatakan sebagai suatu keadaan tinggi atau panjang badan yang kurang terhadap umur.

2. Indikator Stunting Tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah suatu indikator untuk mengetahui anak stunting atau normal. Tinggi badan merupakan

ukuran

antropometri

yang

menggambarkan

pertumbuhan tulang. Pada kondisi yang normal, tinggi badan tumbuh seiring bertambahnya umur. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif dengan masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Oleh karena itu, indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lampau serta erat kaitannya dengan sosial ekonomi (Supariasa, 2013). Menurut Riset Kesehatan Dasar (2010), Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang berlansung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup sehat, dan pola asuh atau pemberian makanan pada anak yang kurang baik mulai dari awal dilahirkan yang menyebabkan anak mengalami stunting.

6

3. Klasifikasi Stunting Menurut WHO (2005), Klasifikasi status gizi anak baik laki-laki maupun perempuan sesuai dengan indikator stunting adalah seperti pada tabel berikut :

4.

Klasifikasi

Z-Score

Severely Stunted

<-3 SD

Stunted

-3 sampai dengan < -2 SD

Normal

-2 SD sampai dengan2 SD

Faktor-faktor yang menyebabkan balita stunting Faktor- faktor yang dapat menyebabkan balita stunting

terbagi atas dua macam faktor yaitu faktor secara langsung dan faktor secara tidak langsung. Faktor secara langsung meliputi asupan makanan, penyakit infeksi, berat badan lahir rendah, dan genetik.

Sedangan

faktor

secara

tidak

langsung

meliputi

pengetahuan tentang gizi, pendidikan orang tua, sosial ekonomi, pola asuh orang tua dan distribusi makanan dan besarnya jumlah anggota keluarga (Supariasa, 2013). Menurut UNICEF (2012), faktor penyebab stunting banyak ditemukan pada praktik pemberian makanan, perilaku kebersihan, dan pola asuh. Menurut WHO (2013), status nutrisi ibu pada masa kehamilan dan kurang optimalnya pemberian ASI Eksklusif dan makanan pendamping ASI (MP-ASI) juga mempengaruhi kejadian stunting pada balita. Berikut faktor faktor yang dapat mempengaruhi stunting : a. Nutrisi Masa Kehamilan Status gizi ibu selama masa kehamilan merupakan faktor penting untuk tercapainya kesehatan ibu dan janin. Status gizi ibu yang sehat akan menghasilkan anak yang

7

sehat. Sedangkan status gizi ibu yang kurang lebih berisiko untuk melahirkan bayi yang juga kekurangan gizi. Jika janin telah mengalami kurang gizi sejak dalam kandungan maka bayi tersebut memiliki risiko untuk lahir stunting (Ningrum, 2018). b. Nutrisi Masa Tumbuh Kembang Nutrisi termasuk salah satu komponen yang sangat dibutuhkan dalam proses tumbuh dan berkembang pada masa pertumbuhan. Kebutuhan zat gizi yang dibutuhkan seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air. Jika kebutuhan gizi tersebut tidak terpenuhi atau kurang terpenuhi maka akan menghambat proses tumbuh dan berkembang pada anak (Hidayat, 2009). c. ASI Eksklusif dan Makanan Pendamping ASI Bayi yang diberikan ASI Eksklusif selama 6 bulan memiliki resiko lebih rendah untuk mengalami defisit pertumbuhan berat badan atau tinggi badan dibanding dengan bayi yang diberikan ASI Eksklusif dalam waktu s34 bulan (Fikawati, 2015). Masalah gizi kurang pada bayi juga dapat terjadi pada bayi dengan usia 6 bulan ke atas. Hal ini dikarenakan ASI yang diberikan tidak lagi mencukupi kebutuhan bayi untuk tumbuh dan berkembang. Durasi pemberian ASI Eksklusif pada bayi mulai dari awal lahir sampai usia 6 bulan, setelah itu terdapat makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang diberikan sampai usia 24 bulan (Prabantini, 2010). Idealnya MP-ASI diberikan tepat pada usia 6-24 bulan karena pada usia tersebut tidak hanya sistem pencernaan bayi saja yang mulai kuat tetapi juga rentang usia tersebut rawan terjadi melnutrisi. MP-ASI yang diberikan pada bayi dengan usia yang terlalu dini akan

8

mengakibatkan penurunan konsumsi ASI bayi dan bayi dapat menghalami gangguan pencernaan atau terkena diare. Sebaliknya,

bila

MP-ASI terlambat

diberikan

akan

menyebabkan gizi kurang pada bayi bila terjadi dalam waktu lama (Khomsan, 2008). d. Kelengkapan Imunisasi Menurut WHO (2013), imunisasi adalah suatu proses untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit-penyakit menular, yaitu dengancara pemberian vaksin. Vaksin dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh guna untuk melindungi penyakit infeksi. Anak dengan imunisasi tidak lengkap mengakibatkan menurunnya sistem kekebalan tubuh sehingga anak menjadi rentan terkena penyakit dan asupa nutrisi berkurang yang mengakibatkan status gizi anak menjadi buruk. e. Penyakit Infeksi Riwayat penyakit infeksi juga dapat mempengaruhi pertumbuhan anak karena ketika anak sakit, sistem imun tubuh anak akan melemah dan anak lebih rawan terkena penyakit. Selain itu, saat anak sakit, lazimnya selera makan anak pun berkurang yang mengakibatkan asupan gizi tidak tercukupi.

Hal

ini

berakibat

pada

terhambatnya

pertumbuhan sel otak sehingga pertumbuhan mental dan fisik terganggu (MCA Indonesia, 2015). f. Pola Asuh Salah satu faktor tidak langsung yang berhubungan dengan stunting pada anak adalah pola asuh. Pola asuh berperan penting dalam pertumbuhan anak yang optimal. Untuk mendukung kualitas dan kuantitas asupan gizi yang baik

perlu

ditunjang

oleh

kemampuan

ibu

dalam

memberikan pola asuh yang baik bagi anak dalam hal

9

praktik pemberian makanan, praktik kebersihan diri dan lingkungan,

maupun

praktik

pencarian

pengobatan

(Anugraheni, 2012). Pada dasarnya ibu dengan pola asuh baik akan cenderung memiliki balita dengan status gizi yang lebih baik daripada ibu dengan pola asuh yang kurang baik (Ni’mah, 2015). g. Jumlah Anggota Keluarga Semakin banyak jumlah anggota keluarga (lebih dari 5 atau 8 anggota) cenderung akan mengalami stunting dibandingkan dengan keluarga dengan jumlah anggota keluarga sekitar 2-4 orang. Hal tersebut dikarenakan menipisnya sumber daya dan penyediaan makanan dirumah akan semakin banyak (Fikadu, 2014). h. Status Sosial Ekonomi Pendapatan keluarga adalah salah satu faktor penentu kualitas dan kuantitas pangan keluarga (Sundarsih, 2013). Semakin tinggi pendapatan keluarga maka semikin meningkat pula kecukupan gizi pada anak. Hal ini dikarenakan keluarga memiliki kemampuan untuk membeli bahan pangan semakin besar. Tetapi adanya kemampuan untuk membeli tidak menjamin untuk dapat memilih bahan makanan sesuai kualitas dan kuantitas pangan yang baik (Nasikhah, 2015). Status

ekonomi

keluarga

yang

rendah

akan

berpengaruh pada kualitas dan kuantitas bahan makanan yang mampu dikonsumsi oleh pihak keluarga. Dengan status ekonimo rendah biasanya pihak keluarga membeli makanan yang kurang bervariasi dan jumlahnya sedikit, terutama bahan pangan pokok yang berfungsi untuk pertumbuhan dan perkembangan anak seperti sumber

10

protein, vitamin, dan mineral sehingga resiko kurang gizi pada anak meningkat (Nasikhah, 2015). i. Status Pendidikan Keluarga Keluarga yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah akan sulit menerima arahan dalam pemenuhan gizi dan seringkali keluarga tidak mau tau dan tidak meyakini akan

pentingnya

pentingnya

pemenuhan

pelayanan

kebutuhan

kesehatan

yang

gizi

serta

menunjang

pertumbuhan dan perkembangan pada anak, sehingga anak berpeluang mengalami stunting (Hidayat, 2009). Selain itu tingkat pendidikan tiap anggota keluarga juga berpengaruh terhadap kejadian stunting, terutama tingkat pendidikan ibu. Hal

tersebut

dikarenakan

tingkat

pendidikan

ibu

berhubungan dengan perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, khususnya pola makan keluarganya. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin kecil terhadap kejadian stunting pada anak (Apriani, 2018). Ibu dengan tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah memahami dan menerima informasi tentang gizi khususnya

dalam

memenuhi

kebutuhan

gizi

anak.

Sebaliknya, ibu dengan tingkat pendidikan rendah akan kurang memahami dan menerima informasi penting yang diperlukan untuk memenuhi gizi anaknya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ibu dengan tingkat pendidikan rendah maka anaknya akan lebih beresiko terhadap stunting (Apriani, 2018). j. Pekerjaan Ibu Ibu yang tidak bekerja atau berada di rumah memiliki kemungkinan besar untuk memberikan ASI secara Eksklusif (Pertiwi, 2012). Namun status pekerjaan ibu tidak mempengaruhi terhadap pola makan yang berdampak pada

11

status

gizi

anak.

Ibu

yang

bekerja

tidak

selalu

menelantarkan pola makan anggota keluarganya karena kesibukan pekerjaannya. Dan ibu yang tidak bekerja tidak selalu

menjamin

pola

makan

anggola

keluarganya

tercukupi. Semua itu tergantung dari sifat dan kedasaran masing-masing individu (Apriani, 2018). k. Sanitasi Lingkungan Sanitasi lingkungan sehat secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan anak balita yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kondisi status gizi anak balita (Hidayat dan Noviati, 2011). Sedangkan keadaan sanitasi lingkungan yang tidak sehat memungkinkan terkena berbagai jenis penyakit antara lain diare, kecacingan, dan infeksi saluran pencernaan. Jika anak menderita infeksi saluran pencernaan, proses penyerapan zat gizi akan terganggu yang menyebabkan anak kekurangan gizi sehingga pada akhirnya akan mudah terserang penyakit dan mengalami

gangguan

dalam

proses

pertumbuhan

(Supariasa, 2013). Rendahnya sanitasi lingkungan dapat memicu suatu gangguan saluran pencernaan yang membuat energi teralihkan

atau

terfokus

kepada

perlawanan

tubuh

menghadapi infeksi (Schmidt dan Charles, 2014). Riset lain menemukan bahwa semakin sering seorang anak terkena penyakit diare maka semakin besar pula ancaman untuk mengalami stunting (Cairncross dan Sandy, 2013). l. Berat Badan Lahir Rendah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah suatu kondisi neonates dengan berat badan lahir pada saat kelahiran kurang dari 2500 gram (Price dan Gwin, 2014). Menurut UNICEF (2010), berat badan lahir rendah (BBLR)

12

sangat erat kaitannya dengan mortalitas dan morbiditas janin. Keadaan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)

dapat

menghambat

pertumbuhan

dan

perkembangan serta rentan terhadap penyakit kronis.

II.3

Kerangka Konsep

Dampak

Penyebab Langsung

Penyebab dasar dilevel keluarga

Penyebab dasar dilevel masyarakat

Balita Stunting

Asupan makanan tidak cukup

Tidak cukup akses pada pangan

Penyakit Infeksi

Pola asuh anak tidak memadai

Sanitasi dan pelayanan kesehatan dasar tidak memadai

Kuantitas dan Kualitas Sumberdaya Masyarakat : Pendidikan, Sosioekonomi, Organisasi, Pekerjaan dll

Sumberdaya Potensial : Lingkungan, Teknologi, Manusia

13

III. KESIMPULAN Stunting (gagal tumbuh) atau kurang gizi kronis yang kerap disebut gizi buruk telah menjadi masalah serius yang tengah dihadapi Indonesia. Terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting yaitu faktor secara langsung dan faktor secara tidak langsung. Dimana faktor secara tidak langsung terbagi menjadi dua yaitu penyebab dasar di level keluarga dan penyebab dasar di level masyarakat. Faktor Tidak Langsung : 1.

Penyebab dasar di level masyarakat meliputi sanitasi lingkungan, status sosial ekonomi, status pendidikan keluarga,

2.

Penyebab dasar di level keluarga meliputi pengetahuan keluarga, pendapatan keluarga, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan, nutrisi ibu saat masa kehamilan, ASI Eksklusif dan MP-ASI, jumlah anggota keluarga, dan kelengkapan imunisasi.

Faktor Langsung :

1.

Penyebab langsung meliputi penyakit infeksi, asupan makanan tidak adekuat atau nutrisi pada saat usia tumbuh kembang, berat badan baru lahir (BBLR) dan genetik.

Pentingnya

untuk

mengetahui

faktor

-

faktor

yang

mempengaruhi terjadinya stunting agar dapat melakukan intervensi yang sesuai sehingga tercapainya program pemerintah dalam pemberantasan stunting.

14

DAFTAR PUSTAKA Apriani, L. 2018. Hubungan Karakteristik Ibu, Pelaksanaan Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) dan Perilaku Hidup Bersih Sehat Dengan Kejadian Stunting. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-journal). Vol. 6(4): 199-205. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm. Diakses 30 Oktober 2018. Anugraheni, H. S. dan Martha, I. K. 2012. Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 12-36 Bulan di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Journal of Nutrition College. Vol. 1 (1); 30-37. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jnc. Diakses 1 September 2018 Cairncross dan Sandy. 2013. Linking Toilets to Stunting. UNICEF ROSA ‘Stop Stunting’ Conference. New Delhi. Cakrawati dan Mustika N.H., Dewi. 2012. Bahan Pangan, Gizi ,Dan Kesehatan. Bandung: Alfabeta. Depkes RI (Departemen Kesehatan Republik Indonesia). 2007. Riset Kesehatan Dasar : Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpul Data. Jakarta Djoko Pekik, Irianto. 2007. Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan. Yogyakarta : Penerbit ANDI. Fidiantoro, N. dan Setiadi T. 2013. Model Penentuan Status Gizi Balita di Puskesmas. Jurnal Sarjana Teknik Informatika. Vol. 1 (1); 367-373. Fikawati, S., Syafiq, A., dan Karima, K. 2015. Gizi Ibu dan Bayi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Fikadu, T., Assegid, S., dan Dube, L. 2014. Factors Associated with Stunting among Children of Age 24 to 59 months in Meskan District, Gurage Zone, South Ethiopia: a Case-Control Study. BMC Public Health. Vol. 14(800): 1-7. Hidayat, Abdul Alimul Aziz. 2009. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta : Salemba Medika Hidayat, T. S. dan Noviati Fuada. 2011. Hubungan Sanitasi Lingkungan, Morbiditas, dan Status Gizi Balita di Indonesia. The Journal of Nutrition and Food Research. Vol. 34 (2): 104-113. Kemenkes, RI. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia tahun 2013: Status Gizi Anak Balita. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI Khomsan A. 2008. 50 Menu Sehat untuk Tumbuh Kembang Anak Usia 6-24 Bulan. Jakarta : PT Agromedia Pustaka

15

Marimbi. 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi dan Imunisasi Dasar pada Balita. Yogyakarta : Nuha Medika MCA Indonesia (Millennium Challenge Account–Indonesia). 2014. Proyek Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat untuk Mengurangi Stunting. Editor In: Corporation MC. Jakarta. MCA Indonesia. 2015. Stunting dan Masa Depan Indonesia. Jakarta. Mitayani. 2010. Buku Saku Ilmu Gizi. Jakarta : Tim. Nasikhah, R. dan Ani Margawati. 2012. Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Balita usia 24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur. Journal of Nutrition College (online). Vol. 1 (1); 176-184. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jnc. Diakses 1 September 2018. Ni’mah, C. dan Muniroh, L. 2015. Hubungan Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengetahuan, dan Pola Asuh Ibu dengan Wasting dan Stunting pada Balita Keluarga Miskin. Media Gizi Indonesia. Vol. 10(1); 84-90. Ningrum E. W. dan Etika Dewi C. 2018. Status Gizi Prahamil Berpengaruh Terhadap Berat Badan dan Panjang Badan Bayi Lahir. Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Medisains. Vol. 16(2): 89-94 Pertiwi, P. 2012. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Kunciran Indah Tangerang. Skripsi. Universitas Indonesia. Depok. Prabantini, Dwi. 2010. A to Z Makanan Pendamping ASI. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Price, D. L. dan Gwin, J. F. 2014. Pediatric Nursing : An Introductory Text. Elsevier. Canada. Rakerkernas. 2018. Sinergisme pusat dan daerah dalam rangka mewujudkan Universal Health Coverage (UHC) melalui percepatan eliminasi tuberculosis, penurunan stunting, dan peningkatan cakupan serta mutu imunisasi. Jakarta. Riskesdas. 2007. Laporan hasil riset kesehatan dasar Indonesia tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Riskesdas. 2010. Laporan hasil riset kesehatan dasar Indonesia tahun 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Riskesdas. 2013. Laporan hasil riset kesehatan dasar Indonesia tahun 2013. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

16

Schmidt, Charles W. 2014. Beyond Malnutrition: The Role of Sanitation in Stunted Growth. Environmental Health Perspectives.Vol. 122 (11): a298 a303. Soetjiningsih dan Gde Ranuh IGN. 2015. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sudiman, Herman. 2008. Stunting atau Pendek: Awal Perubahan Patologis atau Adaptasi karena Perubahan Sosial Ekonomi yang Berkepanjangan. Media Litbang Kesehatan. Vol. 18(1): 33-43. Sundarsih, S. dan Wijayanti, P. B. 2013. Hubungan Antara Pendapatan Keluarga Dengan Status Gizi Balita Usia 36-60 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Gondang Mojokerto. Jurnal Ilmiah Kesehatan Medika Majapahit. Vol. 5(2): 1-16. Supariasa, I. D. N. 2013. Penilaian Status Gizi (Edisi Revisi). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sutomo, B dan Anggraini D. Y. 2010. Menu Sehat Alami Untuk Batita & Balita. Jakarta: DeMedia Pustaka Suyatno. 2009. Survei Konsumsi sebagai Indikator Status Gizi. Yogyakarta: Universitas Diponegoro UNICEF. 2010. Penuntun Hidup Sehat. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan– Kementerian Kesehatan RI UNICEF Indonesia. 2012. Ringkasan Kajian Gizi Ibu dan Anak. Unit for Children. Uripi, V. 2004. Menu Sehat Untuk Balita. Jakarta : Puspa Swara. WHO. 2005. Physical Status: The Use and Interpretation of Anthropometry. WHO Technical Report Series 854. Geneva WHO. 2011. WHO Child Growth Standars. Geneva. WHO. 2013. Child growth indicators and their interpretation.

17

Related Documents