REFERAT Ensefalopati Dengue
Disusun oleh : Maria Magdalena Renjaan 112016252
Dokter Pembimbing : dr. Aulia Fitri Swity, SpA (K)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN, CIDENG JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA PERIODE 14 Januari 2019 – 23 Maret 2019
Pendahuluan
Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan global. Dalam tiga dekade terakhir terjadi peningkatan angka kejadian penyakit tersebut di berbagai negara yang dapat menimbulkan kematian sekitar kurang dari 1%. Diperkirakan setiap tahun sekitar 50 juta manusia yang terinfeksi virus dengue yang 500.000 di antaranya memerlukan rawat inap, dan hampir 90% dari pasien rawat inap adalah anak-anak. Indonesia, bersama dengan Bangladesh, India, Maladewa, Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste termasuk ke dalam katagori endemik A (endemik tinggi) dimana merupakan salah satu penyebab utama kematian pada anak.1
Sejak tahun 1976, kasus dengue dihubungkan dengan keterlibatan beberapa organ vital yang mengarah ke manifestasi yang tidak lazim (unusual) atau yang tidak normal (atypical), dan sering berakibat fatal. Pengamatan terbaru menunjukkan bahwa profil klinis DBD berubah dan bahwa manifestasi neurologis lebih sering dilaporkan. Insiden yang tepat berbagai komplikasi neurologis tidak pasti. Dilaporkan insiden ensefalopati yang merupakan manifestasi neurologi paling sering terjadi pada infeksi virus dengue, didapatkan angkanya bervariasi dari 0,5-20,9% . 2 Patofisiologi gejala neurologis dalam kasus yang dilaporkan telah dikaitkan dengan edema berulang, anoksia, perdarahan, hiponatremia, kegagalan hati, perdarahan mikrokapiler, dan pelepasan zat beracun.3 Definisi Ensefalopati dengue adalah gangguan sistem saraf pusat berat yang dihubungkan dengan infeksi dengue baik pada Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Demam Dengue (DD) akibat kebocoran plasma dan sebagai komplikasi dari syok yang berkepanjangan. 2 Diagnosis ensefalopati dengue berdasarkan diagnosis klinis DBD menurut kriteria WHO (1997) dengan keterlibatan susunan saraf pusat terdiri dari onset mendadak hiperpireksia, perubahan kesadaran sementara (gelisah, iritabel atau koma), nyeri kepala, muntah, dengan atau tanpa kejang, serta profil cairan serebrospinal (CSS) normal. 2
Epidemiologi 3 Ensefalopati dengue merupakan komplikasi DBD yang perawatannya lebih rumit. Penelitian di Vietnam atas 378 pasien (228 dewasa dan 150 anak) dengan gangguan neurologi, 16 pasien (4,2%) disebabkan oleh virus dengue. Penelitian lain terhadap 1.675 pasien (1.405 anak) dengan gejala neurologi didapatkan 296 (18%) menderita DSS dan 10 (0,6%) dengan DBD derajat IV. Insidens dengue ensefalopati di India 20,9% sedangkan publikasi oleh Hendarto dan Hadinegoro tahun 1992 melaporkan insiden 6,2% di Indonesia, sedangkan menurut penelitian Rompengan dkk pada tahun 2012 menemukan insiden insiden ensefalopati dengue sebesar 2,8%. Kejadian dan angka kematian ensefalopati dengue meningkat dari 0% di tahun 2010 menjadi 33,33% di tahun 2016. Angka kematian selama periode 2010 hingga 2016 adalah 30,86%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan penelitian sebelumnya yang melaporkan angka mortalitas ensefalopati dengue pada anak 22%. Proporsi ensefalopati pada kasus infeksi dengue yang dirawat inap semakin meningkat dari tahun 2011 (0% menjadi 15,32%) di tahun 2016. Proporsi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian proporsi di Asia tenggara sebelumnya sebesar 0,55,4%. Hal ini sesuai dengan peningkatan kasus ensefalopati dengue setiap tahunnya seiring dengan makin dikenali tanda dan gejala untuk penegakan diagnosis. Ensefalopati dengue lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki (59,26%), dengan rasio laki-laki: perempuan sebesar 1,55:1. Akan tetapi, angka ini tidak berbeda secara bermakna secara statistik. Karakteristik ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada dewasa mengenai komplikasi neurologis infeksi dengue yang lebih banyak didapatkan pada pria (69,2)%. Sebagian besar kasus ensefalopati dengue berusia ≥5 tahun (71,6%). Hal tersebut dapat dikarenakan peningkatan mobilitas dan perubahan pola transmisi dengue dari rumah beralih ke fasilitas publik seperti sekolah dan tempat bermain anak.
Gejala Klinis Dalam pedoman WHO 2011, infeksi virus dengue yang simtomatik dibagi menjadi undifferentiated fever, demam dengue, demam berdarah dengue, dan expanded
dengue
syndrome
(unusual/
atypical
manifestations).
Unusual
manifestations jarang terjadi. Beberapa tahun terakhir dilaporkan kasus-kasus dengue di beberapa daerah endemis meningkat dan terjadi keterlibatan beberapa organ yang meliputi organ SSP, hati, ginjal, dan organ lainnya. Hal ini diakibatkan oleh komplikasi dari syok berat atau kondisi penyakit penyerta/ komorbiditas atau koinfeksi pada pejamu. 4 Manifestasi gejala SSP meliputi kejang, spatis, perubahan kesadaran, dan paresis sementara. Terjadinya penyakit penyerta tergantung dari saat terjadinya gejala yaitu pada saat viremia, kebocoran plasma, atau konvalesen. 4 Mayoritas tingkat kesadaran subjek penelitian saat terdiagnosis ensefalopati adalah apatis. Rerata tingkat kesadaran (Glasgow score) anak dengan ensefalopati dengue pada saat masuk rumah sakit adalah 10 (3-13), dan tingkat kesadaran tersebut bervariasi mulai dari apatis, somnolen, stupor, hingga koma. Manifestasi kejang hanya didapatkan pada sebagian kecil subjek (9,88%). Sesuai dengan penelitian Rampengan2 di tahun 2011 yang menyatakan bahwa kriteria diagnosis ensefalopati dengue WHO 1997 dapat disertai atau tanpa disertai kejang. Mayoritas anak dengan ensefalopati dengue mengalami perdarahan gastrointestinal , syok, hepatitis, gagal ginjal dan sepsis. Ensefalopati adalah gambaran klinis penurunan kesadaran, yang jarang disebabkan oleh ensefalitis tetapi lebih sering oleh karena syok hipovolemik, hipoksia otak, gangguan metabolik, hiponatremia, edema serebri, gagal hati fulminan, gagal ginjal, perdarahan intrakranial, atau penggunaan obat hepatotoksik. 4 Ensefalopati dapat terjadi pada infeksi dengue, namun sampai saat ini masih belum jelas apakah virus dengue bersifat neurotropik, tidak jelas apakah ensepalopati diakibatkan oleh karena infeksi virus dengue langsung ke SSP, atau tidak langsung melalui mekanisme lain. Secara khusus, ensefalopati hepatik juga dilaporkan pada dengue. 4
Manifestasi gejala ensefalopati dengue terjadi pada rerata demam 4,6 hari, penurunan kesadaran terjadi pada hari sakit rerata 4,3 hari, dan lama penurunan kesadaran 2,5 hari. Pada pemeriksaan laboratorium terjadi peningkatan rerata transaminase SGOT 2347 mg/dl dan SGPT 630 mg/dl, dan sebagian besar kasus terjadi pada infeksi sekunder. Antibiotik diberikan pada 16 dari 20 kasus ensefalopati dengue dan kortikosteroid diberikan pada 5 dari 20 kasus. Rerata lama rawat 6,1 hari dengan kematian 1/20 karena koagulasi intravaskular diseminata dan sepsis. Pengobatan bersifat suportif dan sebagian besar kasus ensefalopati dengue dapat sembuh. 4 Etiologi 5,6,7 Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue, yaitu suatu virus yang termasuk dalam kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviruses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm, terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dan berat molekulnya 4x106. Virus Dengue telah diketahui mempunyai karakteristik yang sama dengan flavivirus lain, genomnya dikelilingi oleh nukleokapsid ikosahedral dan ditutupi oleh amplop lipid. Diameter virion adalah sekitar 50 nm. Penyakit Demam Berdarah ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, Aedes albopictus Aedes polynesiensis dan Aedes scutellaris complex. Namun sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD adalah Aedes aegypti, karena hidupnya di dalam dan di sekitar rumah, berkembang biak di tempat lembab dan genangan air bersih. Sedangkan Aedes albopictus hidup di kebun seperti : di dalam lubang-lubang pohon dalam potongan bambu, lipatan daun sehingga lebih jarang kontak dengan manusia. Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti yaitu : berwarna hitam dengan belang-belang (loreng) putih pada seluruh tubuhnya. Hidup didalam dan disekitar rumah, juga di temukan di tempat umum, mampu terbang sampai 100 meter. Nyamuk betina aktif menggigit (menghisap) darah pada pagi hari sampai sore hari. Umur nyamuk Aedes aegypti rata-rata 2 minggu, tetapi sebagian diantaranya dapat hidup sampai 2-3 bulan. Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih
menyukai darah manusia daripada binatang (bersifat antropofilik). Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali (multiple bites) dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit. Virus Dengue di dalam tubuh manusia mengalami masa inkubasi selama 4-7 hari (viremia) yang disebut dengan masa inkubasi intrinsik. Di dalam tubuh nyamuk, virus berkembang setelah 4-7 hari kemudian nyamuk siap untuk menularkan kepada orang lain yang disebut masa inkubasi ekstrinsik. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang menghisap virus Dengue ini menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit, sebelum menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (probocis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur itulah virus Dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain. Nyamuk Aedes aegypti betina umurnya dapat mencapai 2-3 bulan. Ensefalopati adalah gambaran klinis penurunan kesadaran, yang jarang disebabkan oleh ensefalitis tetapi lebih sering oleh karena syok hipovolemik, hipoksia otak, gangguan metabolik, hiponatremia, edema serebri, gagal hati fulminan, gagal ginjal, perdarahan intrakranial, atau penggunaan obat hepatotoksik . Patofisiologi Patogenesis infeksi dengue yang terkait dengan manifestasi gangguan neurologis masih belum terungkap dengan jelas. Aspek molekul yang disebabkan oleh infeksi virus dengue dan terkait dengan jaringan saraf masih berusaha diteliti oleh berbagai ahli. Dikatakan bahwa kecurigaan utama disebabkan oleh infeksi pada salah satu neuron yang akhirnya mengakibatkan proses apoptosis. Oleh karena sumber data yang terbatas hanya pada penelitian in vitro saja, namun penelitian-penelitian ini telah dapat menjelaskan mengenai bagaimana infeksi dengue ini dapat menimbulkan suatu gejala neurologis. 8,9 Penelitian oleh Catteau dkk menunjukkan pada keempat serotipe dari virus dengue menunjukkan bahwa 9 asam amino dari ujung karboksi dari protein M memiliki sifat pro apoptosis pada sel neuron. Penelitian lain yang dilakukan oleh Cam dkk juga mendemonstrasikan kemungkinan dampak neurotropic langsung oleh virus dengue
namun juga studi ini berbasis studi in vivo. Dikatakan pada studi tersebut terjadi suatu kerusakan pada sawar darah otak yang dimediasi oleh virus dengue oleh beberapa sitokin. 8,9 Pada patogenesis ensefalopati dengue dapat disebabkan oleh syok berat akibat syok yang berkepanjangan dengan perdarahan ataupun kelebihan cairan, gangguan metabolisme seperti sindrom Reye, penggunaan obat hepatotoksik, penyakit hati yang mendasari seperti karier hepatitis B atau thalasemia, gangguan keseimbangan elektrolit seperti hiponatremia dan hipokalsemia, hipoksemia, hipoglikemia, perdarahan intrakranial, edema serebral, gagal hati, atau gagal ginjal atau keduanya. Publikasi pada studi post mortem pada pasien dengan infeksi dengue dengan disertai manifestasi pada sistem saraf pusat menunjukkan suatu lesi yang tidak spesifik, disertai edema serta kongesti vaskular serta perdarahan fokal. 8,9 Beberapa studi lain juga menegaskan sebuah teori pathogenesis yang dapat menjelaskan terjadinya komplikasi dengue yang melibatkan manifestasi neurologis. Infeksi baik yang terjadi secara primer maupun sekunder diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya neutropism dengue ini. Infeksi ini akan mengakibatkan terjadinya suatu gangguan pada berbagai target organ yang berefek sistemik. 8,9 Beberapa penelitian di Indonesia Thailand dan negara-negara Asia lainnya mendapatkan bahwa kelainan CNS terjadi pada DBD berkepanjangan dengan atau tanpa terjadinya syok. Perdarahan otak tidak disebabkan langsung oleh virus yang dapat masuk ke Blood Brain Barrier (BBB). Dikumpulkan bukti dalam bentuk isolasi virus den-3 dari cairan otak pada 4 kasus, dari 6 sisa hasil positif PCR.10 Pada penelitian Imbert et al, menyatakan bahwa virus dengue yang memiliki kemampuan menginfeksi tikus neuron luas secara in vitro, virus seperti memiliki reseptor spesifik pada permukaan neuron. Sedangkan menurut penelitian Chaturvedi dkk menemukan BBB rusak selama infeksi dengue (den-2) sehingga terjadi kebocoran protein ke otak.
10
Gubler et al mencurigai variasi genetik atau karena
perubahan virus biologis dan juga strain beberapa virus. Lum LC et al, melaporkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan ensefalopati antara lain: gangguan fungsi jantung, gangguan elektrolit, edema cerebri (disebabkan oleh perubahan permeabilitas vaskuler sehingga ekstravasasi cairan); hipoperfusi
(dihasilkan dari gangguan sirkulasi) dan ensefalitis minggu. Pada beberapa pasien ensefalitis ini diperoleh virus isolasi dari cairan otak. 10 Abnormalitas SSP pada DF / DHF sebelumnya diperkirakan karena nodular yang menyebabkan penetrasi BBB. Defisit kognitif lebih karena ensefalopati daripada ensefalitis. Meskipun MRI secara kontras menunjukkan bbb yang utuh, tetapi sebagian ahli yakin bahwa ensefalitis disebabkan oleh virus invasi langsung ke otak melalui BBB, sedangkan penulis lain berpendapat bahwa akibat terjadinya proses ensefalitis imunopatologis. 10 Syok terjadi pada sebagian besar subjek. Disfungsi sirkulasi atau syok pada infeksi dengue, disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular sehingga terjadi kebocoran plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan peritoneum, hipoproteinemia,
hemokonsentrasi,
dan
hipovolemia
yang
mengakibatkan
berkurangnya aliran balik vena, preload miokard, volume sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi organ. Syok juga menjadi perantara terjadinya ensefalopati melalui anoksia serebral. Keterlibatan ginjal dapat berupa peningkatan kadar kreatinin serum, gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut, sindrom uremikum hemolitik, proteinuria, glomerulopati, dan sindrom nefrotik. Gagal ginjal akut sering terjadi akibat kebocoran kapiler yang luas, hipotensi, dan KID yang berat yang mengakibatkan hipoksia/iskemia dan disfungsi organ multipel. Gagal ginjal akut kemungkinan merupakan komplikasi dari dengue yang berat dan berhubungan dengan hipotensi, rhabdomiolisis, atau hemolisis. Disfungsi hati sudah banyak dilaporkan dari penelitian sebelumnya. Anak-anak memiliki risiko lebih tinggi daripada dewasa untuk mengalami manifestasi keterlibatan hati. Mayoritas pasien dalam penelitian ini mengalami hepatitis ringan dengan kadar SGPT 45-300 IU/L. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT umum terjadi pada infeksi dengue. Seperti halnya hasil penelitian sebelumnya, peningkatan SGOT dan SGPT juga terlihat pada penelitian ini. Peningkatan SGOT lebih tinggi dibanding SGPT. Hal inilah yang membedakan hepatitis pada infeksi dengue dengan hepatitis virus pada umumnya. Kadar SGPT pada kasus hepatitis virus lainnya lebih tinggi atau sama dengan kadar SGOT. Kadar SGOT yang lebih tinggi dikarenakan enzim hepar ini dilepaskan oleh
miosit yang rusak. Peningkatan aminotransferase berkaitan dengan tingginya derajat keparahan penyakit dan menjadi indikator awal infeksi dengue. Aminotransferase akan kembali mencapai kadar normal setelah 1-2 minggu. Prediktor terjadinya kerusakan hati ini, antara lain, DBD, SSD, infeksi sekunder, trombositopenia, peningkatan hematokrit, jenis kelamin perempuan, dan anak-anak. Terdapat hubungan antara disfungsi hati yang berat pada anak dengan infeksi dengue dengan mortalitas. Terdapat 88% pasien yang meninggal mengalami hepatitis dan 24% di antaranya hepatitis berat. Demam dengue mengindikasikan luaran buruk termasuk kematian, apabila hati dan sistem saraf pusat terlibat secara bersamaan. Mekanisme terjadinya kerusakan hati kemungkinan akibat efek langsung virus atau respon imun pejamu terhadap sel hati. Selain itu, hipoksia, asidosis metabolik akibat hipotensi, gangguan sirkuasi, dan kebocoran vaskuler yang terlokalisasi dalam hati memperantarai terjadinya kerusakan hati. Tatalaksana 4,11 Beberapa pasien DF / DBD menunjukkan manifestasi yang tidak biasa dengan tanda dan gejala keterlibatan sistem saraf pusat (SSP), seperti kejang dan / atau koma. Ini umumnya telah terbukti sebagai ensefalopati, bukan ensefalitis, yang mungkin merupakan akibat perdarahan intrakranial atau oklusi yang terkait dengan DIC atau hiponatremia. Dalam beberapa tahun terakhir, ada peningkatan jumlah kasus yang dilaporkan dengan infeksi SSP yang didokumentasikan oleh isolasi virus dari cairan serebrospinal (CSF) atau otak. Sebagian besar pasien dengan ensefalopati melaporkan ensefalopati hepatik. Pengobatan utama ensefalopati hepatik adalah untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial (ICP). Pencitraan radiologis otak (CT scan atau MRI) direkomendasikan jika tersedia untuk menyingkirkan perdarahan intrakranial. Berikut ini adalah rekomendasi untuk terapi suportif untuk kondisi ini: 1. Pertahankan oksigenasi jalan napas yang adekuat dengan terapi oksigen. Cegah / kurangi ICP dengan langkah-langkah berikut:
Berikan cairan IV minimal untuk mempertahankan volume intravascular yang adekuat; idealnya total cairan IV tidak harus> 80% perawatan cairan. Cairan tidak diberikan dalam dosis penuh, cukup 3/4-4/5 dosis untuk
mencegah terjadinya atau memberatnya edema otak selama fase pemulihan dari syok.
Jika terdapat peningkatan hematokrit dan kebocoran plasma berat dapat diberi cairan koloid.
Menggunakan cairan kristaloid Ringer Asetat untuk menghindari metabolisme laktat oleh hepar, jika ada gangguan hepar.
Berikan diuretik jika diindikasikan pada kasus dengan tanda dan gejala kelebihan cairan.
Posisi pasien harus dengan kepala di atas 30 derajat.
Intubasi dini untuk menghindari hipercarbia dan melindungi jalan napas.
Dapat mempertimbangkan steroid untuk mengurangi ICP. Dexamethazone 0,15 mg / kg / dosis IV diberikan setiap 6-8 jam.
Kurangi produksi amoniak dengan langkah-langkah berikut:
o Berikan laktulosa 5-10 ml setiap enam jam untuk induksi diare osmotik. o Antibiotik lokal menghilangkan flora usus; tidak perlu jika antibiotik sistemik telah diberikan. 2. Mempertahankan gula darah pada kadar 80-100 mg/dL. Infus glukosa direkomendasikan 4-6 mg/kg/jam.
3. Koreksi ketidakseimbangan asam basa dan elektrolit (hipo/hipernatremia, hipo/ hiperkalemia, hipokalsemia, dan asidosis).
4. Vitamin K1 intravena 3 mg untuk <1 tahun, 5 mg <5 tahun, dan 10 mg untuk >5 tahun. 5. Dapat diberikan fenobarbital, fenitoin, dan diazepam intravena untuk mengontrol kejang.
6. Transfusi darah yang dianjurkan adalah dengan packed red cells (PRC). Transfusi trombosit, fresh frozen plasma dapat menyebabkan overload cairan dan meningkatkan TIK.
7. Terapi empiris antibiotik dapat diberikan jika ada dugaan infeksi bakteri.
8. H2-blockers atau proton pump inhibitor dapat diberikan untuk mencegah perdarahan gastrointestinal.
9. Hindari pemberian obat yang dimetabolisme di hati.
10. Pertimbangkan plasmaferesis dan hemodialisis jika mengalami perburukan. Prognosis
Kasus demam berdarah dengue disertai komorbid berupa gangguan sistem saraf pusat memiliki prognosis yang buruk.12
Daftar Pustaka
1. Hadinegoro SR, Moedjito I, Alex Chairulfatah. Pedoman diagnosis dan tata laksana infeksi virus dengue pada anak. Jakarta : UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI. 2014 2. Rampengan NH, Karyanti MR, Hadinegoro SR. Ensefalopati dengue pada anak. Sari Pediatri, Vol. 12, No. 6, April 2011 3. BV Cam, l Fonsmark, et al. Prospective case-control study of encephalopathy in children with dengue hemorrhagic fever . Am. J. Trop. Med. Hyg., 65(6), 2001, pp. 848–851. 4. Lardo, Soroy. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue dengan Penyulit. CDK208. 2013,40(9):656-660 5. Nugraha IBA, Utama IMS. Diagnosis dan penatalaksanaan ensefalopati dengue. Denpasar : 6. Buletin Jendela Epidemiologi. Pusat data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI. Jakarta : 2009.
7. Pardede SO, Djer MM et al . Tatalaksana berbagai keadaan kegawatdaruratan pada anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI:2013. 8. Rao SM, Pradeep MV, Dnyaneshawar M, Alai T. Original Article: Dengue Encephalitis-Clinical Spectrum and Outcome. Herbert Open Access Journal. 2013(1): p.1-8.
9. Sandra TJ, Justin PH, Chia PY, Morgan OS, Ngek LC. Dengue Encephalitis in st Flavivirus Enchephalitis 1 ed. Ruzek D (eds). Croatia : 2011. p. 1-19.
10. Ulfa Kholili and Nasronudin: A Patient Dengue Hemorrhagic Fever with Spasms Indonesian Journal of tropical disease Vol. 5. No. 3 September–December 2014 11. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. WHO; 2011. p. 54.
12. WHO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Denge and Dengue Haemorrhagic Fever. SEARO Technical Publication Series No. 60. 2011.