1
BAB I PENDAHULUAN
Diabetes melitus dalam kehamilan dapat dibagi menjadi diabetes melitus gestasional dan diabetes melitus pregestasional. Diabetes melitus gestasional ( DMG ) adalah intoleransi glukosa pada waktu kehamilan pada wanita normal atau yang mempunyai gangguan toleransi glukosa setelah terminasi kehamilan. Diabetes melitus pregestasional merupakan suatu keadaan intoleransi glukosa yang terjadi sebelum masa kehamilan.1 Di dunia sebanyak 135.000 wanita hamil atau sekitar 3-5% wanita hamil mengalami Diabetes melitus pregestasional setiap tahunnya. Prevalensi DMG di Indonesia tanpa riwayat diabetes di keluarga adalah sebesar 1,9% - 3,6%. Adanya riwayat diabetes di keluarga ikut mempengaruhi resiko mengalami Diabetes melitus pregestasional. Prevalensi Diabetes melitus pregestasional di Indonesia dengan riwayat diabetes di keluarga adalah sebesar 5,1%. Sekitar 17 – 63 % wanita yang pernah mengalami Diabetes melitus pregestasional pada observasi lanjut pasca persalinan akan mengalami diabetes melitus tipe 2 dalam waktu 5 – 16 tahun ke depan. Sedangkan anak-anak akan mengalami peningkatan resiko dan intoleransi glukosa di kemudian hari. 2,3 Pada wanita hamil, sampai saat ini pemeriksaan yang terbaik adalah dengan test tantangan glukosa yaitu dengan pembebanan 50 gram glukosa dan kadar glikosa darah diukur 1 jam kemudian. Jika kadar glukosa darah setelah 1 jam pembebanan melebihi 140 mg% maka dilanjutkan dengan pemeriksaan test tolesansi glukosa oral. Gangguan DM terjadi 2 % dari semua wanita hamil, kejadian meningkat sejalan dengan umur kehamilan, tetapi tidak merupakan kecenderungan orang dengan gangguan toleransi glokusa,25%kemungkinan akan berkembang menjadi DM gestasional.3 Diabetes Gestational merupakan komplikasi medis yang paling umum terjadi selama kehamilan tetapi dapat juga berlanjut meski sudah tidak hamil lagi. Pengendalian kadar glukosa darah adalah hal penting selama kehamilan. Menurut penelitian sekitar 40-60 persen ibu yang mengalami diabetes mellitus pada kehamilan dapat berlanjut mengidap diabetes mellitus setelah persalinan. Disarankan agar setelah persalinan pemeriksaan gula darah diulang secara berkala misalnya setiap enam bulan sekali.4
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. 1
Definisi Diabetes melitus gestasional adalah intoleransi glukosa pada waktu kehamilan pada
wanita normal atau yang mempunyai gangguan toleransi glukosa setelah terminasi kehamilan Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) didefinisikan sebagai gangguan toleransi glukosa. Suatu Intoleransi karbohidrat ringan ( toleransi glukosa terganggu ) maupun berat yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan berlangsung.1,5
2.2
Cara Penularan Infeksi terjadi melalui penderita TB yang menular. Penderita TB yang menular adalah
penderita dengan basil TB di dalam dahaknya, dan bila mengadakan ekspirasi paksa berupa batuk atau bersin akan menghembus keluar percikan dahak halus (droplet nuclei) yang berukuran kurang dari 5 mikron dan yang akan melayang di udara.7 Droplet nuclei ini mengandung basil TB yang akan melayang-layang di udara, jika droplet nuclei ini hinggap di saluran penapasan yang besar, misalnya trakea dan bronkus, droplet nuclei akan segera dikeluarkan oleh gerakan silia selaput lendir saluran pernapasan, tetapi bila droplet nuclei ini berhasil masuk sampai ke dalam alveolus ataupun menempel pada mukosa bronkiolus, droplet nuclei akan menetap dan basil TB akan mendapat kesempatan untuk berkembang biak.9 Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh jumlah kuman yang dikeluarkan dari paru. Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Faktor endogen seperti daya tahan tubuh, usia, dan penyakit penyerta (infeksi HIV, limfoma, leukemia,
3
malnutrisi, gagal ginjal, diabetes melitus dan terapi imunosupresif) juga mempengaruhi kerentanan seseorang tertular kuman TB.2
Gambar 1 Faktor Risiko Kejadian TB.1
2.3
Etiologi TB
disebabkan
oleh
M.
tuberculosis
yang
termasuk
ke
dalam
familie
Mycobacteriaceae. M. tuberculosis yang paling berbahaya bagi manusia adalah tipe humanus dan tipe bovinus. Basil TB mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam. Basil TB memerlukan waktu 12 sampai 24 jam untuk bermitosis.7 Kuman ini berbentuk batang, bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 800C, dan 20 menit pada suhu 600C). Basil TB sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa menit saja akan mati. Basil TB tahan hidup pada suhu kamar dan ruangan yang lembab.9
2. 4
Patogenesis
2.4.1 TB Primer
4
TB primer merupakan sindrom yang disebabkan oleh infeksi M. tuberculosis pada pasien nonsensitif yaitu mereka yang belum pernah terinfeksi. Terdapat respon radang ringan pada tempat infeksi (subpleura pada bagian tengah paru, dalam faring, atau di ileum terminal), diikuti penyebaran ke kelenjar getah bening regional (hilus, servikal dan mesenterika). Satu atau dua minggu setelah infeksi, dengan onset sensitivitas tuberkulin, terjadi perubahan reaksi jaringan baik pada fokus dan pada kelenjar getah bening, menjadi bentuk granuloma kaseosa yang khas. Kombinasi fokus dan keterlibatan kelenjar getah bening regional disebut kompleks primer.8 Kompleks ini mengalami penyembuhan dengan fibrosis, dan seringkali timbul kalsifikasi tanpa pemberian terapi. Kelenjar getah bening yang membesar bisa tampak jelas di leher atau menyebabkan obstruksi bronkus yang mengakibatkan kolaps. Penyebaran organ secara hematogen jarang terjadi dari kompleks primer.10 Kompleks primer tersebut selanjutnya dapat menjadi:2 1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus dan 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant. 3. Berkomplikasi dan menyebar secara: a. Menyebar kesekitarnya (perkontinuitatum) b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman ini juga tertelan bersama sputum dan ludah dan menyebar ke usus. c. Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya d. Secara limfogen.
2.4.2 TB Sekunder
5
TB sekunder merupakan sindrom yang disebabkan oleh infeksi M. tuberculosis pada orang yang pernah terinfeksi dan pasien sensitif terhadap tuberkulin. TB sekunder akan muncul bertahun-tahun setelah tuberkulosis primer. TB sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, konsumsi alkohol, penyakit keganasan, diabetes, AIDS dan gagal ginjal.2,9 TB sekunder ini dimulai dari sarang dini yang berlokasi di regio atas paru. Invasi ke daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel histiosit dan sel Datia-Langhans yang dikelilingi oleh sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.2,9 Sarang dini pada TB sekunder ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:2 1. Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat. 2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan serbukan jaringan fibrosis. Kemudian akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar. 3. Sarang tersebut meluas, membentuk jaringan keju. Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindinganya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik). 4. Ruptur ke dalam bronkus dan menyebabkan bronkopneumonia TB 5. Menyebar melalui darah dan menyebabkan TB milier pada hati, limfa, paru, tulang dan meningen.
2.5
Diagnosis
6
2.5 1 Manifestasi Klinis a. Demam. Demam biasanya subfebril menyerupai influenza, tapi kadang dapat mencapai 4041oC. Serangan demam dapat sembuh, dan biasanya dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, berat ringan infeksi, dan jumlah kuman yang masuk.2,5 b. Batuk. Gejala ini banyak ditemukan, yang disebabkan karena iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk mula-mula kering dan setelah timbul peradangan menjadi produktif, pada keadaan lanjut akan timbul batuk darah karena pecahnya pembuluh darah.2,6 c. Sesak nafas. Sesak ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.6 d. Nyeri dada. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga Menimbulkan pleuritis.5 e.
Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang menahun, gejala malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia, berat badan turun, sakit kepala, nyeri otot dan keringat malam. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.2 Gejala diatas dapat juga dijumpai pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis,
bronkitis kronis, asma dan kanker paru.1,2
7 Tabel 1. Gejala Tuberkulosis Aktif pada Wanita.11 Gejala Batuk
Tidak Hamil 50%
Hamil 70%
30%
30%
25%
20%
40%
30%
30%
30%
10%
10%
Demam Batuk darah Penurunan BB Lesu, lemas Keringat malam
2.5.2 Pemeriksaan Fisik Tempat kelainan yang paling sering pada bagian apeks paru, bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas yang bronkial, ronki basah kasar nyaring, jika diikuti dengan penebalan pleura maka suara nafas vesikuler akan melemah. Bila ada kavitas yang cukup besar maka perkusi memberikan suara hipersonor dan auskultasi suara amforik.6,7 2.5.3 Pemeriksaan Laboratorium Diagnosis pasti TB dapat ditegakkan dengan ditemukannya Basil Tahan Asam (BTA) pada pemeriksaan sputum. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif jika sedikitnya dua dari tiga spesimen sputum Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) hasilnya positif. Jika hanya satu spesimen yang positif perlu dilakukan pemeriksaan rontgen toraks atau pemeriksaan sputum ulang. Jika hasil rontgen toraks mendukung kearah TB, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Jika rontgen toraks tidak mendukung kearah TB maka pemeriksaan sputum harus diulang.10 Jika gejala klinis mengarah TB tetapi hasil pemeriksaan ketiga sputum SPS negatif, maka diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya golongan sefalosporin) selama 1-2 minggu. Bila tidak terdapat perubahan, namun secara klinis masih mencurigakan TB, perlu
8
dilakukan pemeriksaan sputum SPS ulang. Jika hasil SPS positif, maka didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Jika hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan rontgen toraks untuk mendukung diagnosis TB. Jika hasil rontgen toraks mendukung TB, maka didiagnosis sebagai TB BTA negatif rontgen positif. Jika rontgen tidak mendukung TB, maka penderita tersebut bukan TB.10
2.5.4 Tes Tuberkulin Alasan alternatif dilakukan tes tuberkulin adalah untuk wanita hamil dengan resiko tinggi, dan lebih baik digunakan PPD (purified protein derivative) berkekuatan 5 TU (intermediate strength) yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin 5 TU intrakutan.3,4 Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi seluler dan antigen tuberkulin dipengaruhi oleh antibodi humoral, pada ibu hamil makin besar pengaruh antibodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.6,7 Biasanya hampir seluruh penderita tuberkulosis memberikan hasil mantoux yang positif (99,8%). Sisa dari tes ini dapat positif seumur hidup pada 96-97% pasien. Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi Mycobacterium lain.6,7 2.5.5 Pemeriksaan Radiologis Rontgen foto dada sering diperlukan bila pasien tidak dapat mengeluarkan sputum, atau hasil pemeriksaan BTA langsung memberikan nilai negatif (tidak ditemukan BTA).11 Pemeriksaan radiologis foto thorax tidak dilakukan secara rutin pada kehamilan karena sangat beresiko terhadap janin. Dengan pelindung, pemeriksaan radiologis dapat dilakukan pada penderita yang tes tuberkulinnya positif menyusul setelah tes awal negatif dan
9
pada penderita dengan riwayat dan pemeriksaan fisik yang mengarah ke arah tuberkulosis walaupun tes tuberkulin awal negatif.6,8
Gambar 2. Alur Diagnosis TB Paru1
Kehamilan tidak akan menurunkan respons uji tuberkulin. Untuk mengetahui gambaran TB pada trimester pertama, foto toraks dengan pelindung di perut bisa dilakukan, terutama jika hasil BTA negatif.6
2.6
Perjalanan TB pada Kehamilan
10
Banyak diantara penderita TB yang mengalami infertilitas. Sistem genitalia dapat terjadi fokus primer dari TB paru, dan sistem genital yang sering terkena dalam tuba fallopi, dengan bagian distal yang terkena lebih dahulu. Infeksi dapat menyebar ke bagian proksimal dari tuba fallopi dan akhirnya ke uterus. Jika kuman sudah menyerang organ reproduksi wanita tersebut dapat mengalami kesulitan untuk hamil karena uterus tidak siap menerima hasil konsepsi 6 Menurut Oster (2007) bahwa TB paru (baik laten maupun aktif) tidak akan memengaruhi fertilitas seorang wanita di kemudian hari. Namun, jika kuman menginfeksi endometrium dapat menyebabkan gangguan kesuburan. Kesempatan untuk memiliki anak menjadi tidak tertutup sama sekali, kemungkinan untuk hamil masih ada. Idealnya, sebelum memutuskan untuk hamil, wanita pengidap TB mengobati TB-nya terlebih dulu.11
2.6.1 Pengaruh Tuberkulosis pada Kehamilan Efek TB pada kehamilan tergantung pada beberapa faktor antara lain tipe, letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), status nutrisi, penyakit penyerta, status imunitas, dan kemudahan mendapatkan fasilitas diagnosis dan OAT.7,8 Pada awal tahun 1957 sampai 1972, Schefer dkk (1975) melaporkan dari ibu yang menderita tuberkulosis aktif diobati dan melahirkan bayi yang sehat. Angka reaktivasi TB paru kira-kira 5-10% dan tidak ada perbedaan antara mereka yang hamil maupun tidak hamil. Tetapi kehamilan bisa meningkatkan risiko TB inaktif menjadi aktif terutama periode post partum.6 Jana dkk (1994) melaporkan tuberkulosis paru aktif menyebabkan komplikasi dari 79 kehamilan di India. Bayi dari wanita yang menderita tuberkulosis mempunyai berat badan lahir rendah, dua kali lipat meningkatkan persalinan prematur, kecil masa kehamilan, dan
11
meningkatkan kematian perinatal enam kali lipat. Mungkin ini dianggap berhubungan dengan terlambatnya diagnosis, pengobatan yang tidak lengkap dan teratur, dan luasnya kelainan pada paru. Tidak ada bukti bahwa tuberkulosis paru meningkatkan angka abortus spontan, kelainan kongenital, persalinan dan kelahiran prematur pada penderita yang mendapatkan pengobatan obat anti tuberkulosis yang adekuat. Pengaruh tidak langsung tuberkulosis terhadap kehamilan ialah efek teratogenik terhadap janin karena obat anti tuberkulosis yang diberikan kepada sang ibu. Efek samping pasien yang mendapat terapi anti tuberkulosis yang adekuat adalah gangguan pada traktus genitalis dimana traktus genitalis terinfeksi dari fokus primer TB paru. Tuba falopii biasanya merupakan tempat pertama yang terinfeksi terutama tuba falopii bagian distal. bila infeksinya menyebar maka tuba falopii bagian proximal dan bahkan uterus dapat terinfeksi. Infeksi jarang mengenai cervix atau tractus genitalia bagian bawah. Tidak seperti TB paru, infeksi pada genital biasanya tidak menunjukkan gejala yang berarti, memerlukan beberapa tahun bisa menimbulkan kerusakan yang besar dan terjadinya perlengketan pada rongga pelvis, walaupun pasien dengan TB pelvis biasanya steril, tetapi kadang-kadang dapat terjadi konsepsi tetapi implantasinya lebih sering terjadi pada tuba daripada intra uterin.6,11 Menurut Oster (2007), jika kuman TB hanya menyerang paru, maka akan ada risiko terhadap janin seperti abortus, terhambatnya pertumbuhan janin, kelahiran prematur dan terjadinya penularan TB dari ibu ke janin melalui aspirasi cairan amnion (disebut TB kongenital).6 2.6.2 Tuberkulosis Kongenital Fetus dapat terinfeksi tuberkulosis melalui tali pusat. Meskipun demikian hal ini jarang terjadi, kurang lebih 300 kasus pernah dilaporkan. Tuberkulosis kongenital yang terjadi secara hematogen yang disebabkan oleh infeksi pada plasenta yang didapat dari ibu yang menderita tuberkulosis paru. Mycobacterium tuberculosis dapat diidentifikasi dari
12
amnion, desidua, dan vili chorionic. Walaupun infeksi fetal yang didapat secara langsung dari darah ibu tanpa pembentukan lesi caseosa pada plasenta yang pernah dilaporkan pada binatang percobaan, tetapi ini tidak jelas terjadi pada manusia. Bila tuberkulosis menyebar melalui plasenta dari peredaran darah ibu ke peredaran darah janin, infeksi dapat terjadi. Bayi juga dapat terinfeksi selama atau segera setelah kelahiran dari terhirupnya bahan yang terinfeksi, atau dari penolong persalinan atau orang lain yang menderita tuberkulosis paru aktif dengan sputum positif. Bila seorang anak terinfeksi sebelum lahir, ibunya pasti menderita tuberkulosis selama kehamilan. Kuman tuberkulosis telah mencapai janin melalui darah ibunya.11 Selama infeksi primer yang baru, seringkali ada suatu periode dimana kuman akan mencapai aliran darah. Kuman melalui plasenta memasuki peredaran darah janin. Setelah itu kuman terbawa melalui vena umbilikalis ke hati. Kebanyakan anak tampak sehat pada saat lahir, tetapi pada usia sekitar 3 minggu, berat badan bayi tersebut tidak naik dan bayi tersebut menjadi ikterik dengan tinja berwarna dempul dan air seni berwarna gelap. Hati dan limfa membesar. Bayi tersebut menderita ikterus obtruktif akibat adanya fokus primer pada hati dan kelenjar getah bening yang membesar dan menghalangi aliran empedu ke porta hepatis.11 Gejala yang ditimbulkan tidak spesifik, meliputi: demam, kegagalan pertumbuhan, limfadenopathi, hepatomegali & splenomegali. Tuberkulosis kongenital jarang terjadi bila ibu mendapat pengobatan yang efektif pada saat kehamilan.11
2.7
Penatalaksanaan
2.7.1 Pengobatan TB pada Kehamilan Pengobatan TB aktif pada kehamilan hanya berbeda sedikit dengan penderita yang tidak hamil. Obat primer antituberkulosis berupa isoniazid, rifampisin, etambutol dan streptomisin. Sedangkan obat sekunder yang sering digunakan dalam kasus resisten obat atau
13
intoleransi terhadap obat, yaitu p-aminosalisylic acid, sikloserin, ethionamid, kanamisin, viomisin, dan kapreomisin. Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO) adalah :
Tabel.2 Jenis OAT yang Digunakan Di Indonesia Lini I
Lini II Kanamisin
Isoniazid (H)
Kapreomisin
Rifampisin (R)
Etionamide
Pirazinamid (Z)
Sikloserin
Streptomisin (S)
Moksfiloksasin
Etambutol (E)
Viomisin p-Aminosalisylic Acid
1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR) Diberikan pada pasien dengan TB paru BTA +, BTA - dengan lesi luas, TB di luar paru. 2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/5(HR)3E Diberikan pada kasus kambuh atau gagal pegobatan kategori 1
The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan pengobatan oral untuk wanita hamil sebagai berikut:3 -
Isoniazid 5 mg/kgBB dan tidak lebih 300 mg per hari bersama dengan piridoksin 50 mg per hari.
-
Rifampisin 10 mg/kgBB, tidak lebih 600 mg sehari.
14
-
Etambutol 5-25 mg/kgBB, dan tidak lebih dari 2,5 gram per hari (biasanyya 25 mg/kgBB selama 6 minggu kemudian diturunkan 15 mg/kgBB) Pengobatan ini diberikan selama minimum 9 bulan. Jika resisten terhadap obat ini,
dapat dipertimbangkan pengobatan dengan pirazinamid. Selain itu pirazinamid 50 mg/hari harus diberikan untuk mencegah neuritis perifer yang disebabkan oleh isoniazid.6 Pada tuberkulosis aktif dapat diberikan 2 kombinasi obat, biasanya digunakan isoniazid 5 mg/kg/hr (tidak lebih 300 mg/hr) dan etambutol 15 mg/kg/hr, pengobatan dilanjutkan sekurang-kurangnya 17 bulan untuk mencegah relaps. Jika dibutuhkan pengobatan dengan 3 obat atau lebih dapat ditambahkan rifampisin, tetapi streptomisin tidak dianjurkan karena berefek ototoksik.6 Pengobatan selama setahun dengan isoniazid diberikan kepada mereka yang tes tuberkulin positif dengan gambaran radiologi atau gejala tidak menunjukkan gejala aktif. Pengobatan ini mungkin dapat ditunda dan mulai diberikan pada post partum. Walaupun beberapa penelitian tidak menunjukkan efek teratogenik dari isoniazid pada wanita post partum, beberapa merekomendasikan menunda pengobatan ini 3 - 6 bulan post partum.6 Isoniazid termasuk kategori obat C dan ini perlu dipertimbangkan keamanannya selama kehamilan. Alternatif lain dengan menunda pengobatan sampai 12 minggu pada penderita asimptomatis. Karena banyak terjadi resistensi pada pemakaian obat tunggal maka The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) sekarang merekomendasikan cara pengobatan dengan menggunakan kombinasi 4 obat untuk penderita yang hamil dengan gejala tuberkulosi. Sedangkan kontranindkasi pemberian OAT pada wanita hamil meliputi streptomycin, kanamicyn, amikacin, capreomicin dan fluoroquinolones.6,12 Beberapa antituberkulosis utama tidak tampak pengaruh buruk terhadap janin. Kecuali streptomisin, yang dapat menyebabkan ketulian kongenital sehingga sama sekali tidak boleh dipakai selama kehamilan.
15 Tabel 2. Cara Pemberian Terapi OAT
Pada pengobatan kasus baru dipertimbangkan pemberian obat yang bersifat bakterisid, sterilisator dan dapat mencegah terjadinya resistensi. Biasanya yang dipakai adalah 2HRZ/4HR. pengobatan awal selama 2 bulan pertama menggunakan paduan obat isoniazid, rifampisin dan pirazinamid dilanjutkan dengan pengobatan isoniazid dan rifampisin pada 4 bulan berikutnya, total pemberian selama 6 bulan dan obat diberikan untuk dikonsumsi setiap hari.6 Evaluasi Pengobatan a. KLINIS. Biasanya penderita dikontrol setiap minggu selama 2 minggu, selanjutnya setiap 2 minggu selama satu bulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan dari keluhan-keluhan penderita seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah.3 b. BAKTERIOLOGIS. Biasanya setelah 2 - 3 minggu pengobatan, sputum BTA mulai menjadi negatif.pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. Bila sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksa sampai 3 kali berturut-turut bebas kuman. Sewaktu-waktu mungkin terjadi silent bacterial shedding, dimana sputum BTA positif dan tanpa keluhan yang relevant pada kasus-kasus yang memperoleh kesembuhan. Bila ini terjadi, yakni BTA 3 kali positif pada pemeriksaan biakan (3
16
bulan), berarti penderita mulai kambuh lagi. Bila bakteriologis ada perbaikan tetapi tidak pada klinis dan radiologis, berarti harus dicurigai adanya penyakit lain. Bila klinis, bakteriologis dan radiologis tidak ada perbaikan padahal penderita sudah diobati dengan dosis adekuat serta teratur, perlu dipikirkan adanya gangguan imunologis pada penderita tersebut.3
Kegagalan Pengobatan Pada Kehamilan a. Obat 1) Paduan obat tidak adekuat 2) Dosis obat tidak cukup 3) Minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan yang dianjurkan 4) Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya 5) Terjadinya resistensi obat b. Drop out 1) Kekurangan biaya pengobatan 2) Merasa sudah sembuh 3) Malas berobat/ kurang motivasi c. Penyakit 1) Lesi paru yang terlalu luas/ sakit berat 2) Penyakit lain yang menyertai tuberkulosis 3) Adanya gangguan imunologis pada kehamilan Penanggulangan terhadap kasus-kasus yang gagal pada kehamilan, antara lain: 1) Terhadap penderita yang sudah berobat secara teratur: -
Menilai kembali apakah paduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara pemberiannya.
-
Lakukan tes resistensi kuman terhadap obat.
17
-
Bila sudah dicoba dengan obat tetapi gagal maka pertimbangkan pengobatan dengan pembedahan terutama pada penderita dengan kavitas.
2) Terhadap penderita dengan riwayat pengobatan yang tidak teratur: -
Teruskan pengobatan selama lebih 3 bulan dengan evaluasi bakteriologis tiap bulan.
-
Nilai kembali tes resistensi kuman terhadap obat.
-
Bila ternyata terdapat resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang masih sensitif.
2.7.2 Penanganan Bayi Baru Lahir Dari Ibu yang Menderita Tuberkulosis Pemberian nutrisi pada bayi baru lahir dari ibu yang menderita tuberkulosis harus adekuat, bayi tersebut harus dipisahkan oleh ibunya segera setelah lahir dan minimal 2 minggu pemberian terapi TB pada ibu, namun ASI tetap dapat diberikan sampai pemeriksaan bakteriologis ibu negatif dan bayi sudah mempunyai daya tahan tubuh yang cukup. Kandungan OAT di dalam ASI pada ibu yang mendapat terapi TB hanya dalam jumlah yang kecil dan tidak berpotensi menimbulkan infeksi pada bayi. Selain itu pemantauan peningkatan berat badan, tanda vital, dan keluhan lain harus dilakukan dengan ketat.13 Sebanyak 50% bayi baru lahir dari ibu yang menderita tuberkulosis aktif menderita tuberkulosis pada tahun pertamanya, maka profilaksisnya dengan memberikan isoniazid 10 mg/kgBB/hari selama 1 tahun. Sebaiknya bayi baru lahir dilakukan pemeriksaan foto thorax dan tes tuberkulin. Apabila hasil negatif, pada usia 6 minggu dilakukan vaksinasi Bacil Calmatte Geurine (BCG).11 Vaksi BCG merupakan termasuk golongan kuman hidup yang dilemahkan dari Mycobacterium bovis yang telah dikembangkan 50 tahun yang lalu. Semua bayi yang baru lahir harus divaksinasi pada hari pertama kelahiran dengan dosis 0,1 ml intrakutan pada regio
18
deltoid. Setelah 6 bulan, papul merah tadi dapat mengecil, berlekuk dengan jaringan parut seumur hidup.1,11 2.8
Prognosis Tuberkulosis tidak mempengaruhi kehamilan dan kehamilan tidak mempengaruhi
manifestasi klinis dan progresivitas penyakit bila diterapi dengan regimen yang tepat dan adekuat. Pemberian regimen yang tepat dan adekuat ini akan memperbaiki kualitas hidup ibu, mengurangi efek samping obat-obat tuberkulosis terhadap janin dan mencegah infeksi yang terjadi pada bayi yang baru lahir. Pada wanita hamil dengan tuberkulosis aktif yang diobati secara adekuat, secara umum tuberkulosis tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap kehamilan. Prognosis pada wanita hamil sama dengan prognosis wanita yang tidak hamil 6. Prognosis TB kongenital biasanya lebih buruk dari TB didapat pasca natal. Komplikasi TB pada neonatus adalah koagulasi intravascular diseminata, meningitis, gagal napas, perforasi usus dan syok sepsis. Hampir 50% dari kasus TB kongenital dilaporkan meninggal, meskipun dengan penanganan yang intensif. Hal ini disebabkan karena keterlambatan diagnosis dan komplikasi. Oleh karena itu deteksi dini ibu dan neonatus dengan TB serta penanganan yang baik pada neonatus sangat penting untuk memperkecil angka kematian TB pada neonatus.13
BAB III KESIMPULAN
Tuberkulosis tidak mempengaruhi kehamilan dan kehamilan tidak mempengaruhi manifestasi klinis dan progesivitas penyakit bila diterapi dengan regimen yang tepat dan adekuat. Pemberian regimen yang tepat dan adekuat ini akan memperbaiki kualitas hidup ibu,
19
mengurangi efek samping obat-obat tuberkulosis terhadap janin dan mencegah infeksi yang terjadi pada bayi yang baru lahir. Bayi baru lahir yang sehat dari ibu yang menderita tuberkulosis harus dipisahkan segera setelah lahir dan minimal selama 2 minggu pemberian terapi TB pada ibu. Pemberian nutrisi harus adekuat, ASI tetap dapat diberikan sampai pemeriksaan bakteriologis ibu negatif dan bayi sudah mempunyai daya tahan tubuh yang cukup. Sebaiknya bayi baru lahir dilakukan pemeriksaan foto thorax dan tes tuberkulin. Apabila hasil negatif, pada usia 6 minggu dilakukan vaksinasi Bacil Calmatte Geurine (BCG). Obat anti tuberkulosis yang diberikan dibagi dalam 2 golongan yaitu obat lini pertama dan lini kedua. Obat lini pertama, kecuali Streptomisin dapat digunakan pada tuberkulosis pada kehamilan. Penggunaan streptomisin dan obat lini kedua (kanamisin, etionamid, kapreomisin) sebaiknya dihindari pada wanita hamil karena efek samping yang akan terjadi pada janin, kecuali dalam keadaan resistensi beberapa obat. Pada wanita hamil dengan tuberkulosis aktif yang diobati secara adekuat, secara umum tuberkulosis tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap kehamilan. Prognosis pada wanita hamil sama dengan prognosis wanita yang tidak hamil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. 2. Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. 988-993
20
3. Aditama TY, et al. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. 4. Alsagaff H, Mukty A. Tuberkulosis Paru. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Airlangga, 2002. 73-108 5. Arora VK, Gupta R. Tuberculosis and Pregnancy. Ind J Tub. Vol. 50 (13): 13-16, 2003. 6. Cunningham et al. Penyakit Paru. Dalam: Obstetri Williams. Jakarta: EGC, 2005. 1387-1389 7. Ravligion MC, O’brien RJ. Tuberculosis. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Ed. USA: Mc-Graw-Hill, 2005. 8. Danusantoso H. Ilmu Penyakit paru. Jakarta: Hipokrates; 2000. 9. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Edisi 6. Jakarta: Erlangga; 2007. 10. Hopewell PC. Tuberculosis and Other Mycobacterial Disease. In: Textbook of Respiratory Medicine. 4th Ed. USA: Saunders, 2005. 979-1043 11. Warouw NN, Suryawan A. Manajemen TBC Dalam Kehamilan Vol. (6): 2007 12. Centers for Disease Control and Prevention. Tuberculosis and Pregnancy http://www.cdc.gov/tb/publications/factsheets/specpop/pregnancy.htm 13. Dharmaawan BS, Rinaawaty R. Diagnosis dan Tata Laksana Neonatus dari Ibu Hamil Tuberkulosis Aktif. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 2. 2004: 85-90 https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/download/899/832