Referat Anestesi.docx

  • Uploaded by: Devinta Bardianty
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Anestesi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,855
  • Pages: 15
REFERAT “PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID DALAM ANASTESI”

OLEH: Devinta Bardianty H1A014016

PEMBIMBING : dr. Ni Made Ayu Suria Mariati, Sp.An

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/SMF ILMU ANASTESI DAN REANIMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 2019

1

BAB I PENDAHULUAN Kortikokortikosteroid memiliki efek yang banyak dan luas, dan termasuk perubahan karbohidrat, metabolisme protein lipid; pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit; dan menjaga fungsi normal sistem kardiovaskular, sistem kekebalan, ginjal, otot rangka, sistem endokrin, dan sistem saraf. Selain itu, kortikokortikosteroid memberi organisme kemampuan untuk melawan keadaan stres seperti rangsangan berbahaya dan perubahan lingkungan.1 Kortikokortikosteroid merupakan kelas penting hormon kortikosteroid yang memengaruhi hampir setiap aspek fisiologi manusia.2 Kortikokortikosteroid alami terbentuk di korteks adrenal dan terlibat dalam berbagai efek fisiologis. Kortikokortikosteroid dapat diklasifikasikan sebagai mineralokortikoid (mis., Aldosteron), yang mengontrol fisiologi air dan elektrolit, dan glukokortikoid (misalnya, kortisol), yang mengontrol metabolisme dan inflamasi. Karena efek antiinflamasi yang kuat, molekul seperti kortikokortikosteroid telah disintesis untuk digunakan dalam terapi obat.3 Kortikokortikosteroid adalah kelompok obat yang banyak digunakan dalam praktik anestesi. Kortikosteroid memiliki efek berbeda pada jaringan yang berbeda, tergantung pada dosis. Berbagai penelitian penggunaan kortikokortikosteroid dalam perioperatif telah menunjukkan bahwa golongan obat tersebut bermanfaat dalam mencegah faktor-faktor yang menunda kesembuhan pasien post operatif. Penggunaan kortikokortikosteroid dapat menurunkan insidensi PONV (Post Operative Nausea-Vomiting) dan nyeri pasca operasi. Aasboe dkk menggunakan betamethasone 12 mg secara intramuskular, 30 menit sebelum ambulatori hemoroidektomi, didapatkan secara signifikan lebih sedikit nyeri post operasi, lebih sedikit PONV, dan kepuasan pasien yang lebih baik. 4

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kortikokortikosteroid a. Fisiologi Kortikokortikosteroid Kortikokortikosteroid merupakan kelas penting hormon kortikosteroid yang

memengaruhi

hampir

setiap

aspek

fisiologi

manusia.2

Kortikokortikosteroid dapat diklasifikasikan sebagai mineralokortikoid, yang mengontrol fisiologi air dan elektrolit, dan glukokortikoid, yang mengatur metabolisme dan inflamasi.3 Glukokortikoid adalah turunan kolesterol yang diproduksi di zona fasciculata dari korteks adrenal di bawah kendali umpan balik negatif dari hipotalamus dan kelenjar hipofisis, (aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal [HPA]). Hipotalamus menghasilkan corticotropin-releasing hormone (CRH), yang

merangsang

kelenjar

hipofisis

untuk

mensintesis

hormon

adrenokortikotropik (ACTH) untuk merangasang produksi kortisol.5 Reseptor sel untuk kortisol terdapat dalam sitoplasma sel, mencerminkan peran penting hormon dalam mempertahankan homeostasis sel dan kelangsungan

hidup

organisme.

Glukokortikoid

diperlukan

untuk

mempertahankan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein normal. Glukokortikoid meningkatkan aktivitas imun normal dan penyembuhan luka, menjaga integritas kardiovaskular dan kontraktilitas jantung, dan berbagai fungsi lainnya.5 Sintesis mineralokortikoid terjadi di zona adrenal glomerulosa ketika distimulasi oleh sistem renin-angiotensin-aldosteron atau hiperkalemia. Aldosteron, mineralokortikoid endogen utama, memfasilitasi homeostasis natrium dan kalium serta mempertahankan volume intravaskular.5 Perkiraan sekresi glukokortikoid adalah sekitar 5 mg/m2 per hari sampai 10 mg/m2 per hari kortisol (setara dengan sekitar 20-30 mg / hari hidrokortison atau 5 sampai 7 mg / hari dari prednison oral). Kadar glukokortikoid memiliki variasi diurnal dengan tingkat puncak antara jam 4 pagi dan jam 8 pagi, tergantung pada usia. Terdapat produksi minimal kortisol pada malam hari, yang berlangsung hingga pukul 02:00 hingga 04:00. Sintesis kortisol dapat

3

meningkat 5-10 kali lipat dalam kondisi stres berat, hingga tingkat maksimal sekitar 100 mg/m2 per hari.5 Stres fisiologis atau psikis akut mengaktifkan aksis hipotalamushipofisis-adrenal (HPAA). Hipotalamus menghasilkan corticotropin-releasing hormone (CRH), yang merangsang produksi hormon adrenokortikotropik (ACTH) di hipofisis anterior, yang pada gilirannya menandakan produksi kortisol di kelenjar adrenal. Produksi kortisol diatur sendiri melalui loop umpan balik negatif yang menyebabkan penurunan sekresi CRH dan ACTH. Peningkatan sekresi kortisol sementara terlihat sebagai respons terhadap stres, seperti penyakit atau pembedahan.6

b. Efek Fisiologis Glukokortikoid1 o Metabolisme. Kortisol, glukokortikoid utama adalah pengatur penting metabolisme karbohidrat, protein, lipid, dan asam nukleat. Kortisol merangsang

glukoneogenesis

oleh

hepar

sehingga

meningkatkan

konsentrasi glukosa darah. Salah satu efek utama kortisol pada sistem metabolisme tubuh adalah pengurangan simpanan protein yang penting dalam semua sel tubuh, kecuali dari hepar. Hal ini disebabkan oleh penurunan sintesis protein dan peningkatan katabolisme protein yang sudah

4

ada dalam sel. Kortisol meningkatkan mobilisasi asam lemak dari jaringan adiposa dan meningkatkan oksidasi asam lemak dalam sel. o Efek Anti-Inflamasi. Kortisol dalam jumlah besar memiliki efek antiinflamasi, dan mengurangi permeabilitas kapiler yang mencegah hilangnya protein plasma ke dalam jaringan. Ini juga dapat mengganggu aktivasi jalur komplemen dan pembentukan mediator kimia yang berasal dari asam arakidonat seperti leukotrien. o Metabolisme Tulang dan Kalsium. Fungsi osteoblas dihambat oleh glukokortikoid dan ini dianggap sebagai penjelasan untuk osteopenia dan osteoporosis yang menjadi ciri kelebihan glukokortikoid. o Kontrol Tekanan Darah. Glukokortikoid meningkatkan tekanan darah dengan berbagai mekanisme yang melibatkan aksi pada ginjal dan pembuluh darah. Pada otot polos vaskular glukokortikoid meningkatkan sensitivitas terhadap agen pressor seperti katekolamin dan angiotensin II, dan mengurangi dilatasi endotel yang dimediasi oleh oksida nitrat. o Sistem Saraf Pusat dan Mood. Pengamatan klinis pasien dengan kelebihan dan kekurangan glukokortikoid mengungkapkan bahwa otak adalah target penting untuk glukokortikoid dengan depresi, euforia, psikosis, apatis, dan letargi menjadi manifestasi penting. o Mata. Di mata, glukokortikoid berperan meningkatkan tekanan intraokular melalui peningkatan produksi humor aqueous dan pengendapan matriks dalam kerja trabecular mesh yang menghambat drainase aqueous. o Usus. Pemberian glukokortikoid jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya ulkus peptikum. o Efek Endokrin. Glukokortikoid menekan aksis tiroid, mungkin melalui aksi langsung pada sekresi thyroid stimulating hormone (TRH).

c. Farmakokinetik Kortikokortikosteroid Aksi kortikokortikosteroid dimediasi oleh interaksi hormon dengan reseptor

kortikokortikosteroid,

yang

mengatur

transkripsi

gen.

Efek

kortikokortikosteroid tetap berlangsung di dalam sel bahkan setelah tidak terdapat di sirkulasi.2

5

d. Farmakodinamik Kortikokortikosteroid Glukokortikoid yang digunakan secara sistemik diklasifikasikan sebagai short acting, intermediate acting dan long acting (Tabel 1) berdasarkan durasi

supresi

glukokortikoid

ACTH. dan

Terdapat

perbedaan

mineralokortikoid

dalam

(Tabel

2).

potensi Potensi

sebagai relatif

kortikokortikosteroid berbeda karena afinitasnya terhadap reseptor.2

2.2 Penggunaan Kortikosteroid dalam Anestesi 2.2.1 Terapi Penggantian Kortikosteroid Perioperatif Suplementasi kortikokortikosteroid harus disediakan untuk pasien yang mendapat terapi kortikosteroid baik untuk hipokortisolisme atau untuk penyakit lainnya. Hal ini didasarkan pada kekhawatiran bahwa pasien ini lebih rentan terhadap kolaps kardiovaskular karena pelepasan kortisol endogen tambahan dalam menanggapi stres pembedahan.1 Pemberian kortikosteroid diperlukan dalam periode perioperatif pada pasien yang dirawat karena hipoadrenokortisisme atau pada pasien dengan penekanan aksis HPA karena asupan kortikosteroid sebelumnya atau saat ini.

6

Peningkatan kadar kortison yang bersirkulasi dari normal 25 mg / hari menjadi 300 mg / hari pada stress pembedahan berat merupakan salah satu komponen penting dari respons stres tubuh kita. Pada periode perioperatif karena penekanan adrenal, dapat terjadi peningkatan permeabilitas vaskular, respon vasomotor yang tidak adekuat, penurunan curah jantung, dan penurunan resistensi vaskular sistemik dan indeks volume stroke ventrikel kiri yang dapat menyebabkan hipotensi berat dan kolaps kardiovaskular, depresi pernapasan, hiponatremia, hipoglikemia, hiperkalsemia, dan hemokonsentrasi.1 Durasi spesifik dan dosis kortikosteroid yang dapat menghasilkan penekanan HPA masih kontroversial. Waktu pemulihan aksis HPA normal bervariasi dari 2-5 hari hingga 9-12 bulan setelah penghentian terapi kortikosteroid.1,7

2.2.2 Penggunaan Kortikokortikosteroid pada PONV Mekanisme

antiemetik

kortikokortikosteroid

belum

diketahui.

Dexamethasone, suatu kortikokortikosteroid dengan efek antiinflamasi yang kuat, memberikan analgesia pasca operasi, mencegah mual dan muntah pada pasien yang menjalani kemoterapi, dan mengurangi mual dan muntah pasca operasi (PONV). Dexamethasone dapat menghambat sintesis prostaglandin dan berbagai mediator inflamasi lainnya, yang diketahui bekerja pada zona pemicu

kemoreseptor

dan

menyebabkan

emesis.

Studi

sebelumnya

menunjukkan bahwa penurunan pelepasan serotonin dalam sistem saraf pusat dan perubahan permeabilitas barrier cairan serebrospinal darah terhadap protein

serum

juga

dapat

berperan

dalam

efek

antiemetik

kortikokortikosteroid.1 Vlok menemukan bahwa terdapat pengurangan yang signifikan dalam mual dan muntah pasca operasi dan nyeri pasca operasi pada pemberian Dexamethason dibandingkan dengan tramadol, pethidine, magnesium sulfat. Sehavat dkk menyarankan bahwa dosis profilaksis tunggal deksametason 8 mg setelah operasi dapat mengurangi mual dan muntah pasca operasi.8

2.2.3 Penggunaan Kortikosteroid untuk Nyeri Post Operasi 7

Sejauh mekanisme inflamasi berkontribusi terhadap rasa sakit pasca operasi, pemberian steroid sebelum operasi atau intraoperatif diharapkan dapat mengurangi nyeri pasca operasi. Konsisten dengan teori ini, steroid secara perifer menghambat fosfolipase, sehingga mengurangi produk-produk yang memperburuk rasa nyeri dari jalur siklooksigenase dan lipoksigenase. Kortikosteroid juga menghambat ekspresi gen sitokin dan melepaskan enzim proinflamasi, bradikinin, dan neuropeptida dari terminal saraf yang cedera, yang semuanya juga memperburuk rasa nyeri.9 Meta-analisis

oleh

De

Oliveira

et

al.

menunjukkan

bahwa

deksametason memperbaiki nyeri pasca operasi dan mengurangi konsumsi opioid post operasi. Apakah dosis rendah (kurang dari 0,1 mg / kg) cukup masih belum jelas, tetapi dosis melebihi 0,2 mg / kg tidak diperlukan. Metaanalisis juga menunjukkan bahwa analgesia ditingkatkan ketika steroid diberikan sebelum operasi atau setidaknya segera setelah induksi.9,10

2.2.4 Penggunaan Kortikokortikosteroid Sebagai Analgetik Tambahan Efek analgesik kortikosteroid diduga dimediasi oleh efek antiinflamasi dan penekanan imun. Efek anti-inflamasinya menghasilkan penurunan produksi berbagai mediator inflamasi yang memainkan peran utama dalam memperkuat dan mempertahankan persepsi nyeri. Beberapa penelitian telah menunjukkan efek analgesik kortikokortikosteroid lokal spinal dan sistemik dalam kombinasi dengan bupivacaine. Mikrosfer Dexamethasone telah ditemukan untuk memperpanjang durasi blok pada penelitian pada hewan dan manusia, dan menambahkan metilprednisolon ke anestesi lokal meningkatkan durasi blok brakialis aksila.1 Movafegh et al. membandingkan penambahan 8 mg Dexamethason menjadi 34 ml lidokain 1,5%, dengan 1,5% lidokain. Mereka menyimpulkan bahwa durasi sensorik (242 ± 76 menit pada kelompok Dexamethason versus 98 ± 33 menit pada kelompok kontrol) dan motorik (310 ± 817 menit pada kelompok Dexamethason versus 130 ± 31 menit pada kelompok kontrol) secara signifikan lebih lama pada Dexamethason dibandingkan kelompok kontrol.1 Parasetamol, NSAID, dan glukokortikoid memiliki efek analgesik yang tinggi, tidak cukup sebagai monoterapi setelah operasi ekstensif. Karena 8

glukokortikoid bekerja pada sistem prostaglandin berbeda dari NSAID dan memiliki efek antiinflamasi lainnya, mungkin ada analgesia yang lebih baik ketika glukokortikoid ditambahkan ke NSAID.1

2.2.5 Penggunaan Kortikokortikosteroid pada Edema Laring Post Intubasi Kortikokortikosteroid biasanya diberikan setelah beberapa kali upaya intubasi untuk mencegah edema laring post operatif. Kortikokortikosteroid berdasarkan efek anti-inflamasi menyebabkan penurunan edema mukosa. Dexamethasone 0,1-0,2mg/kg iv umumnya digunakan, meskipun manfaatnya dalam pengobatan kondisi ini belum dikonfirmasi.1

2.2.6 Penggunnaan Kortikosteroid untuk Stridor Post Ekstubasi Stridor post ekstubasi biasanya terjadi pada pasien yang telah diintubasi selama beberapa hari, dengan prevalensi hingga 37% dari pasien yang diintubasi di unit perawatan intensif. Beberapa praktisi menggunakan tes cuffleak pada orang dewasa untuk memutuskan apakah akan menggunakan kortikosteroid sebelum ekstubasi. Jika ada perbedaan kecil antara volume tidal yang dihembuskan dengan manset yang dipompa versus kempes, peradangan kemungkinan ada. Dalam kasus ini, dokter sering menggunakan kortikosteroid untuk mengurangi peradangan sebelum tabung endotrakeal dikeluarkan. Tetapi karena kortikosteroid memiliki efek buruk, termasuk hipertensi dan hiperglikemia, mereka harus dihindari kecuali diperlukan.1 Farrell et al., Menemukan pengurangan reintubasi yang signifikan secara statistik untuk alasan apa pun di semua kelompok umur, termasuk populasi neonatal dan padiatrik. Efek kortikosteroid lebih jelas jika diberikan setidaknya 12 jam sebelum ekstubasi untuk pasien yang telah diintubasi selama 3 hari. Analisis ini juga menemukan pengurangan edema laring pada partisipan yang menerima kortikosteroid.1 Fan et al., Dalam penelitian mereka, menemukan bahwa beberapa dosis kortikosteroid mengurangi risiko edema dan reintubasi, sedangkan dosis tunggal hanya menunjukkan kecenderungan yang tidak signifikan terhadap efektivitas.1 Jaber et al. menyimpulkan bahwa kortikosteroid paling berguna ketika diberikan pada pasien berisiko tinggi, sebagaimana ditentukan oleh tes cuff9

leak, dan ketika kortikosteroid diberikan setidaknya 4 jam sebelum ekstubasi. Manfaatnya kurang jelas jika pasien tidak dipilih berdasarkan risiko.1

2.2.7 Penggunaan Kortikokortikosteroid pada Hiperreaktifitas Jalan Napas Kortikokortikosteroid berdasarkan efek anti-inflamasi menyebabkan penurunan edema mukosa dan pencegahan pelepasan zat bronkokonstriksi. Kortikokortikosteroid juga memiliki peran permisif untuk pengobatan bronkodilator, yaitu, meningkatkan efek bronkodilator. Kortikokortikosteroid berguna dalam penyakit hiperreaktif akut maupun kronis. Pemberian dapat secara oral, parenteral, atau dalam bentuk aerosol. Keadaan hiperreaktif yang paling sering dijumpai dalam praktik anestesi adalah pasien dengan riwayat asma, infeksi saluran pernapasan atas, dan COPD.1

2.2.8 Penggunaan Kortikokortikosteroid pada Sepsis Pasien yang mengalami sepsis berat atau syok septik ditemukan memiliki insufisiensi adrenal yang tersembunyi. Secara klinis, telah ditunjukkan bahwa pada sepsis dengan insufisiensi adrenal, suplementasi kortikosteroid dikaitkan dengan tingkat keberhasilan yang secara signifikan lebih tinggi dalam penghentian terapi vasopresor.1 Untuk pasien yang memiliki penyakit kritis seperti syok septik, Coursin dan Wood telah merekomendasikan 50-100 mg hidrokortison setiap 6-8 jam atau

0,18mg/kg/jam

sebagai

infus

berkelanjutan,

bersama

dengan

fludrokortison 0,05 mg setiap hari. Bukti saat ini tidak mendukung penggunaan dosis hidrokortison di atas 200 mg / hari. Arafah melaporkan bahwa setelah bolus hidrokortison 50 mg intravena diberikan setiap 6 jam, kadar kortisol plasma puncak lebih dari 100 μg / dL (2760 nmol / L) dan level nadir tetap meningkat pada 40-50 μg / dL (1100–1380 nmol / L).1

2.2.9 Kortikosteroid dan Anfilaksis Ahli anestesi menggunakan banyak obat selama pemberian obat bius. Banyak dari obat ini memiliki efek samping yang berhubungan dengan dosis, dan beberapa mengarah pada reaksi anafilaksis. Gejala dapat mencakup semua sistem organ dan hadir dengan bronkospasme dan kolaps kardiovaskular pada kasus yang paling parah. Penatalaksanaan anafilaksis termasuk penghentian 10

obat dugaan (atau lateks) dan anestetik, dukungan paru dan kardiovaskular yang agresif, dan epinefrin.1 Kortikosteroid dapat mengurangi edema jalan napas dan mencegah timbulnya gejala. Hidrokortison adalah steroid yang sering digunakan karena memiliki onset aksi yang cepat. Pada kasus yang sangat berat, iv methylprednisolone 125 mg, setiap 6 jam atau dosis setara, dapat digunakan.1

2.2.10 Injeksi Kortikosteroid Epidural (Epidural Kortikosteroid Injection/ESI) Injeksi kortikosteroid epidural telah digunakan untuk mengobati sakit punggung (terutama karena iritasi radiks saraf) pada pasien dengan berbagai macam patologi tulang belakang termasuk radikulopati, stenosis tulang belakang, penyempitan ruang diskus, spondylosis, spondylolisthesis, dan fraktur tulang belakang.1 Tujuan ESI adalah untuk memberikan obat langsung ke radiks saraf yang terkena, sehingga membatasi efek kortikosteroid yang diberikan secara sistemik. Regimen yang umum adalah penggunaan 25-50 mg triamcinolone atau 40–80 mg methylprednisolone dalam larutan yang mengandung lidocaine di atau dekat sela yang berhubungan dengan distribusi nyeri. Dihipotesiskan bahwa mungkin sebagian terkait dengan pengambilan kortikosteroid berulang dari vena epidural di ruang postepidural serta dari pembuluh darah di ruang subarachnoid setelah difusi pasif kortikosteroid di seluruh dura.1 Salimzadeh et al. merancang penelitian untuk perbandingan dua dosis metilprednisolon dan ditemukan bahwa dalam kasus nyeri radikuler lumbal, ESI dengan metilprednisolon dosis rendah (40mg) sama efektifnya dengan dosis tinggi (80mg) dengan hasil yang sebanding.1 Efek kortikokortikosteroid yang diberikan secara epidural berasal dari efek penghambatan sintesis prostaglandin, efek antiinflamasi, dan efek penghambatan pelepasan ektopik dari saraf sensorik yang terluka. Anestesi lokal memberikan efek analgesik dengan memblokir konduksi pada saraf melalui efeknya pada saluran Na + dan menekan generasi sinyal ektopik pada saraf yang terluka. Selain memberikan penghilang rasa sakit sementara, anestesi lokal dapat memberikan manfaat berkepanjangan dengan memutus siklus rasa sakit. Meskipun tampaknya logis bahwa dosis kortikosteroid yang lebih besar yang disuntikkan di sekitar radiks saraf yang terkena dampak akan 11

memberikan analgesia yang lebih efektif daripada dosis yang lebih kecil, namun dosis dan jenis kortikokortikosteroid yang ideal belum ditentukan.1

2.2.11 Penggunaan Kortikokortikosteroid pada Cidera Tulang belakang Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial untuk cedera tulang belakang karena perbaikannya minimal dan sulit untuk didokumentasikan. Protokol yang disarankan meliputi penggunaan metil prednisolon dosis tinggi dengan bolus IV 30 mg / Kg diikuti dengan infus 5,4mg / kg / jam selama 23 jam. Dalam kasus cedera tulang belakang, kortikosteroid harus digunakan dalam waktu 8 jam. Beberapa sindrom korda parsial telah dilaporkan merespons dengan baik dan mendorong pemeliharaan kortikosteroid melalui interval subakut selama satu minggu diikuti dengan penyapihan.1

2.2.12 Penggunaan Kortikosteroid pada Edema Serebri Steroid bermanfaat dalam pengurangan atau pencegahan edema serebral yang terkait dengan infeksi parasit atau neoplasma. Mekanisme yang digunakan steroid untuk memengaruhi edema vasogenik diduga mencakup satu atau lebih hal berikut ini.1 - Stabilisasi endotel serebral, menyebabkan penurunan filtrasi plasma. - Peningkatan aktivitas lisosom kapiler otak. - Penghambatan pelepasan zat-zat yang berpotensi beracun seperti radikal bebas, asam lemak, dan prostaglandin. - Pergeseran elektrolit yang mendukung pengeluaran cairan transkapiler. - Peningkatan penggunaan glukosa serebral lokal dan global, yang mengarah ke peningkatan fungsi saraf. Dalam manajemen pasien dengan tumor otak ganas, tidak jarang untuk subjek yang somnolen atau stupor saat masuk untuk merespon dalam beberapa jam dengan loading dosis deksametason (8–32mg) dan tampak waspada dan tanpa defisit neurologis pada hari berikutnya. Terdapat kontroversi mengenai respon terhadap penggunaan steroid pada cedera kepala tertutup. Sebagai steroid berkepanjangan dikaitkan dengan berbagai efek samping, di antaranya hiperglikemia dan peningkatan kecenderungan infeksi yang berbahaya pada

12

pasien cedera kepala. Jadi, penggunaan steroid dalam cedera otak traumatis dianggap usang.1

13

BAB III PENUTUP Kortikokortikosteroid merupakan golongan obat yang banyak digunakan dalam praktik anestesi. Kortikokortikosteroid memiliki efek yang banyak dan luas, dan termasuk perubahan karbohidrat, metabolisme protein lipid; pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit; dan menjaga fungsi normal sistem kardiovaskular, sistem kekebalan, ginjal, otot rangka, sistem endokrin, dan sistem saraf. Penggunaan kortikosteroid pada anastesi meliputi terapi penggantian perioperatif, sebagai anti-inflamasi, pencegahan PONV dan nyeri post operasi, analgetik tambahan, pencegahan edema laring post intubasi dan stridor post ekstubasi, pada reaksi anafilaksis, syok septik, reaktivitas jalan napas,dan indikasi lain seperti ESI, cidera tulang belakang, dan edema cerebri.

14

DAFTAR PUSTAKA 1. Saikh, S, et al. Applications of Steroid in Clinical Practice: A Review. International Scholarly Research Network Anesthesiology. 2012. 2. Gupta, P and Bhatia, V. Corticosteroid Physiology and Principles of Therapy. Indian Journal of Pediatrics. 2008;75:1039-1044. 3. Macmahon, PJ, Eusttace, SJ and Kavanagh, EC. Injectable Corticosteroid and Local Anesthetic Preparations. Radiology. 2009;252(3):647-661. 4. Grover, VK, Babu, R and Bedi, SPS. Steroid Therapy – Current Indications in Practice. Indian Journal of Anaesthesia 2007;51(5):389-393. 5. Coursin, DB and Wood, KE. Corticosteroid Supplementation for Adrenal Insufficiency. JAMA. 2002;287(2):236-240. 6. Liu, MM, et al. Perioperative Steroid Management Approaches Based on Current Evidence. Anesthesiology. 2017;127(1):166-172. 7. Wakim, JH and Slege, KC. Anesthetic Implications for Patients Receiving Exogenous Corticosteroids. AANA Journal. 2006;74(2):133-139. 8. Gupta, B. Role of Dexamethasone in Peri-operative Anesthesia Management: A Review of Literature. Anesthesiol Open J. 2017; 2(2): 33-39. 9. Turan, A and Sessler, DL. Steroids to Ameliorate Postoperative Pain. Anesthesiology. 2011;115(3):457-459. 10. Chen, P. et al. Perioperative Intravenous Glucocorticoids Can Decrease Postoperative Nausea and Vomiting and Pain In Total Joint Arthroplasty. Medicine. 2017;96(13):1-10.

15

Related Documents

Referat
May 2020 53
Referat Skizoid.docx
April 2020 17
Referat Carotid.docx
November 2019 20
Referat Faringitis.pptx
December 2019 28
Referat Cont.docx
December 2019 26
Referat Hnp.docx
June 2020 17

More Documents from "Nalda Nalda"