BAB I PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia; diperkirakan terdapat pada 43% anak-anak usia kurang dari 4 tahun. Survei Nasional di Indonesia (1992) mendapatkan bahwa 56% anak di bawah umur 5 tahun menderita anemia, pada survei tahun 1995 ditemukan 41% anak di bawah 5 tahun dan 24-35% dari anak sekolah menderita anemia. Gejala yang samar pada anemia ringan hingga sedang menyulitkan deteksi sehingga sering terlambat ditanggulangi. Keadaan ini berkaitan erat dengan meningkatnya risiko kematian pada anak. (Hendry Irawan, 2013) Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit atau konsentrasi hemoglobin. Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan dapat disebabkan oleh bermacam-macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut ke keadaan anemia berat dengan gejala-gejala keletihan, takipnea, napas pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal jantung. (Hendry Irawan, 2013) Defisiensi besi merupakan penyebab anemia di seluruh dunia. Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih kurang 500-600 juta menderita anemia defisiensi besi. Prevalensi yang tinggi terjadi di negara yang sedang berkembang, disebabkan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani yang rendah, dan investasi parasit. (Dedy Gunadi, 2009, 2009) Besi
merupakan
bagian
dari
molekul
Hemoglobin,
dengan
berkurangnya besi maka sintesa hemoglobin akan berkurang dan mengakibatkan
kadar hemoglobin akan turun. Hemoglobin merupakan unsur yang sangat vital bagi tubuh manusia, karena kadar hemoglobin yang rendah mempengaruhi kemampuan menghantarkan O2 yang sangat dibutuhkan oleh seluruh jaringan tubuh. (Pradiyadnya dan Suryani, 2017)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
I.
DEFINISI Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin. Menurut Dallman, anemia defisiensi besi ialah anemia akibat kekurangan zat besi sehingga konsentrasi hemoglobin menurun di bawah 95% dari nilai hemoglobin rata-rata pada umur dan jenis kelamin yang sama. Defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan respon imun sehingga rentan terhadap infeksi, gangguan gastrointestinal, gangguan kemampuan kerja fisik, gangguan kognitif dan tingkah laku, bahkan dapat terjadi sebelum timbul gejala anemia. Selain gangguan perkembangan, defisiensi besi juga dapat menyebabkan kelainan neurologis. (Dedy Gunadi, 2009) Tabel 2.1 Anemia berdasarkan ukuran eritrosit Mikrositik Defisiensi besi
Normositik Anemia hemolitik kongenital
Makrositik Sumsum tulang megaloblastik
Thalasemia
Hemoglobin mutan
Defisiensi vitamin B12
Keracunan timbal kronis
Defek enzim eritrosit
Defisiensi asam folat
Anemia sideroblastik
Gangguan pada membran
Tanpa sumsum tulang
eritrosit
megaloblastik
Inflamasi kronis
Anemia hemolitik didapat
Anemia aplastik
Autoimun
Hipotiroid
Anemia hemolitik
Diamond-Blackfan
mikroangiopatik
syndrome
Sekunder oleh infeksi
Penyakit hati
akut
Infiltrasi sumsum tulang
Kehilangan darah akut
Anemia diseritropoetik
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur dan jenis kelamin dengan melihat jumlah hemoglobin, hematokrit, dan ukuran eritrosit. Selain itu dengan dasar ukuran eritrosit (mean corpuscular volume/MCV) dan kemudian dibagi lebih dalam berdasarkan morfologi eritrositnya. Pada klasifikasi jenis ini, anemia dibagi menjadi anemia mikrositik, normositik dan makrositik. Klasifikasi anemia dapat berubah sesuai penyebab klinis dan patologis. (Hendry irawan, 2013) Tabel 2.2 Batasan anemia berdasarkan umur dan jenis kelamin Hemoglobin (g/dL) Umur Mean
Batas bawah
Hematokrit Mean
Batas bawah
MCV Mean
Batas bawah
0.5-1.9
12.5
11
37
33
77
70
2-4
12.5
11
38
34
79
73
5-7
13
11.5
39
35
81
75
8-11
13.5
12
40
36
83
76
Pria
13.5
12
41
36
85
78
Wanita
14
12.5
43
37
84
77
Pria
14
12
41
36
87
79
Wanita
15
13
46
38
86
78
12-14
15-17
II.
ETIOLOGI Penyebab anemia secara garis besar dibagi menjadi dua kategori yaitu gangguan produksi eritrosit yaitu kecepatan pembentukan eritrosit menurun atau terjadi gangguan maturasi eritrosit dan perusakan eritrosit yang lebih cepat. Kedua kategori tersebut tidak berdiri sendiri, lebih dari satu mekanisme dapat terjadi. (Hendry irawan, 2013) Penyebab Anemia Defisiensi Menurut Umur: (Maria abdulsallam, 2002)
1.
Bayi di bawah umur 1 tahun
Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah atau lahir kembar.
2. Anak berumur 1-2 tahun
Masukan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat makanan tambahan (hanya minum susu)
Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
Malabsorbsi
Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan divertikulum Meckeli.
3. Anak berumur 2-5 tahun
Masukan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe-heme
Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun.
Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan divertikulum Meckeli.
4. Anak berumur 5 tahun – masa remaja
Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan poliposis.
5. Usia remaja – dewasa
Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan.
III.
PATOFISIOLOGI Seorang anak yang mula-mula berada di dalam keseimbangan besi kemudian menuju ke keadaan anemia defisiensi besi akan melalui 3 stadium yaitu: (Pradiyadnya dan Suryani, 2017) Stadium I: Hanya ditandai oleh kekurangan persediaan besi di dalam depot. Keadaan ini dinamakan stadium deplesi besi. Pada stadium ini baik kadar besi di dalam serum maupun kadar hemoglobin masih normal. Kadar besi di dalam depot dapat ditentukan dengan pemeriksaan sitokimia jaringan hati atau sumsum tulang. Disamping itu kadar feritin/saturasi transferin di dalam serumpun dapat mencerminkan kadar besi di dalam depot. Stadium II: Mulai timbul bila persediaan besi hampir habis. Kadar besi di dalam serum mulai menurun tetapi kadar hemoglobin di dalam darah masih normal. Keadaan ini disebut stadium defisiensi besi. Stadium III: Keadaan ini disebut anemia defisiensi besi. Stadium ini ditandai oleh penurunan kadar hemoglobin MCV, MCH, MCHC disamping penurunan kadar feritin dan kadar besi di dalam serum
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan dalam usus. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorpsi. Absorpsi besi paling banyak terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal, disebabkan oleh struktur epitel usus yang memungkinkan untuk itu. Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase : (Pradiyadnya dan Suryani, 2017) a. Fase luminal : besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap di duodenum b. Fase mukosal : proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu proses yang aktif.
c.
Fase korporeal : meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan serta penyimpanan besi (storage) . Bahan yang tergolong sebagai pemacu absorpsi besi adalah “meat
factors” dan vitamin C, sedangkan yang tergolong sebagai bahan penghambat ialah tanat, phytat, dan serat (fibre). Dalam lambung karena pengaruh asam lambung maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri ke fero yang siap untuk diserap. (Pradiyadnya dan Suryani, 2017)
IV.
EPIDEMIOLOGI Anemia defisiensi besi adalah anemia akibat kekurangan zat besi untuk sintesis hemoglobin, dan merupakan defisiensi nutrisi yang paling banyak pada anak dan menyebabkan masalah kesehatan yang paling besar di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Komplikasi anemia defisiensi besi akibat jumlah total besi tubuh yang rendah dan gangguan pembentukan hemoglobin (Hb) dihubungkan dengan fungsi kognitif, perubahan tingkah laku, tumbuh kembang yang terlambat, dan gangguan fungsi imun pada anak.(IDAI, 2009) Prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi, awal masa anak, anak sekolah, dan masa remaja karena adanya percepatan tumbuh pada masa tersebut disertai asupan besi yang rendah, penggunaan susu sapi dengan kadar besi yang kurang sehingga dapat menyebabkan exudative enteropathy dan kehilangan darah akibat menstruasi. (IDAI, 2009)
V. PATOGENESIS Keadaan anemia defisiensi besi ditandai dengan saturasi transferin menurun, dan kadar feritin atau hemosiderin sumsum tulang berkurang. Menurut Walmsley et al. Secara berurutan perubahan laboratoris pada defisiensi
besi sebagai berikut: (1) penurunan simpanan besi, (2) penurunan feritin serum, (3) penurunan besi serum disertai meningkatnya transferin serum, (4) peningkatan Red cell Distribution Width (RDW), (5) penurunan Mean Corpuscular Volume (MCV), dan terakhir (6) penurunan hemoglobin. Didasari keadaan cadangan besi, akan timbul defisiensi besi yang terdiri atas tiga tahap, dimulai dari tahap yang paling ringan yaitu tahap pralaten (iron depletion), kemudian tahap laten (iron deficienterythropoesis) dan tahap anemia defisiensi besi (irondeficiency anemia). (Muhammad, A. 2005). Pada tahap pertama terjadi penurunan feritin serum kurang dari 12μg/L dan besi di sumsum tulang kosong atau positif satu, sedangkan komponen yang lain seperti kapasitas ikat besi total/total iron binding capacity (TIBC), besi serum/serum iron (SI), saturasitransferin, RDW, MCV, hemoglobin dan morfologi sel darah masih dalam batas normal, dan disebut tahapdeplesi besi. (Muhammad, A. 2005). Pada tahap kedua terjadi penurunanferitin serum, besi serum, saturasi transferin danbesi di sumsum tulang yang kosong, tetapi TIBCmeningkat >390 μg/dl. Komponen lainnya masihnormal, dan disebut eritropoesis defisiensi besi. (Muhammad, A. 2005). Tahap ketiga disebut anemia defisiensi besi. Anemiadefisiensi besi ialah tahap defisiensi besi yang beratdari dan ditandai selain kadar feritin serum sertahemoglobin yang turun. Semua komponen lainjuga akan mengalami perubahan seperti gambaranmorfologi sel darah mikrositik hipokromik, sedangkanRDW dan TIBC meningkat >410 μg/dl. (Muhammad, A. 2005).
VI.
MANIFESTASI KLINIS Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan pucat tanpa tanda-tanda perdarahan (petekie, ekimosis, atau hematoma) maupun hepatomegali. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin yang rendah. Jumlah leukosit, hitung jenis, dan trombosit normal, kecuali apabila disertai infeksi. (dedy gunandi, 2009) Ada beberapa manifestasi yang dapat ditanyakan pada poin anamnesis pada kasus anemia defisiensi besi yaitu: (IDAI, 2009) Pucat yang berlangsung lama tanpa manifestasi perdarahan Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu makan, daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun,serta gangguan perilaku dan prestasi belajar Gemar memakan makanan yang tidak biasa (pica) seperti es batu, kertas, tanah, rambut Memakan bahan makanan yang kurang mengandung zat besi, bahan makanan yang menghambat penyerapan zat besi seperti kalsium dan fitat (beras, gandum), serta konsumsi susu sebagai sumber energy utama sejak bayi sampai usia 2 tahun (milkaholics) Infeksi malaria, infestasi parasit seperti ankylostoma dan schistosoma.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui pemeriksaan kadar besi atau feritin serum yang rendah dan pewarnaan besi jaringan sumsum tulang. Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi menurut WHO adalah (1) Kadar hemoglobin kurang dari normal sesuai usia, (2) Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata <31% (nilai normal:32%-35%), (3) Kadar Fe serum <50 µg/dL (nilai
normal:80-180µg/dL), dan (4) Saturasi transferin <15% (nilai normal: 20%25% ). (dedy gunandi, 2009) Cara lain untuk menentukan anemia defisiensi besi dapat juga dilakukan uji percobaan pemberian preparat besi. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 3-6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar hemoglobin 1-2 g/dL maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita anemia defisiensi besi. (dedy gunandi, 2009) Tindakan primer yaitu dengan melakukan pemeriksaan hitung darah lengkap dan apusan darah tepi. Ketika hitung darah lengkap dinilai baik, akan dapat memberikan banyak petunjuk dalam mendiagnosis berbagai penyakit pada anak-anak. Dalam hitung darah lengkap, harus diperiksa apakah kadar hemoglobin dan hematokrit normal untuk usia dan jenis kelamin pasien (jika anemia ada). Batas bawah normal dengan usia dan jenis kelamin yang ditentukan oleh WHO dapat digunakan, karena praktis dan nilai lebih rendah dari batas-batas ini dapat dianggap anemia (Tabel 3). Pada bayi yang lebih muda dari 6 bulan, nilai-nilai yang lebih rendah diamati karena anemia fisiologis, namun hemoglobin diperkirakan tidak lebih rendah dari 9 g / dL pada anemia fisiologis pada bayi jika tidak ada faktor lain yang menyertainya. Eritrosit tampak pucat dan lebih kecil dari normal ketika jumlah hemoglobin didalam berkurang. Hal ini ditunjukan dengan berkurangnya mean erythrocyte volume (MCV) dan berkurangnya mean eryhtrocyte hemoglobin (MCH) pada hitung darah lengkap. Pada hapusan darah perifer, eritrosit nampak mikrositik dan hipokromik. MCV dan MCH sejajar satu sama lain; ini berarti bahwa eritrosit nampak mikrositik dan hipokromik pada waktu yang sama. Jika MCH di bawah 27 pg, adalah rendah. Nilai normal MCV berkisar antara 80 dan 99 fL, tetapi nilai normal berdasarkan usia harus dipertimbangkan pada anak-anak. Terdapat rumus yang dapat digunakan untuk praktik klinik. Pada tabel ini, penting untuk menggunakan rumus batas bawah untuk anak-anak kurang dari
10 tahun, karena batas bawah 80 fL pada anak-anak yang lebih dari 10 tahun seperti pada orang dewasa. (Ozdemir.N, 2015)
VII. TATALAKSANA Mengetahui faktor penyebab : riwayat nutrisi dan kelahiran, adanya perdarahan yang abnormal, pasca pembedahan.(IDAI, 2009) Preparat besi Preparat yang tersedia ferrous sulfat, ferrous glukonat, ferrous fumarat, dan ferrous suksinat. Dosis besi elemental 4 – 6 mg/kgBB/hari. Respons terapi dengan menilai kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu bulan, yaitu kenaikan kadar Hb sebesar 2 g/dL atau lebih. Bila respons ditemukan, terapi dilanjutkan sampai 2-3 bulan. Komposisi besi elemental: Ferous fumarat 33% merupakan besi elemental Ferous glukonas 11,6% merupakan besi elemental Ferous sulfat 20% merupakan besi elemental
Usia (tahun)
Dosis besi elemental
Lama pemberian
BBLR <2500 g
3 mg/KgBB/hari
Usia 1 – 24 bulan
Cukup bulan
2 mg/KgBB/hari
usia 4 – 24 bulan
2–5
1 mg/KgBB/hari
2x/minggu selama 3 bulan
Bayi:
berturut-turut setiap tahun 6 – 12
1 mg/KgBB/hari
2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun
12 – 18
60 mg/hari
2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun
Transfusi darah Jarang diperlukan, hanya diberi pada keadaan anemia yang sangat berat dengan kadar Hb <4 g/dL. Komponen darah yang diberikan PRC.
VIII. PENCEGAHAN Usaha sederhana mencegah ADB adalah dengan mengonsumsi makanan yang kaya akan zat besi. Usahakan bayi mendapat air susu ibu eksklusif. Setelah usia 6 bulan apabila tidak mendapat air susu ibu sebaiknya diberi susu formula yang difortifikasi zat besi. Pemberian tambahan zat besi dianjurkan pula sejak bayi sampai usia remaja, diberikan sebagai usaha pencegahan terhadap anemis. (Endang.W, 2013) Banyak bahan makanan di sekitar kita yang kaya kandungan zat besi. Sayuran berdaun hijau seperti selada air, kangkung, brokoli, bayam hijau, buncis dan kacang-kacangan kaya akan zat besi. Bahan makanan hewani seperti daging merah dan kuning telur juga kaya zat besi dan lebih mudah diserap oleh tubuh dibandingkan sumber nabati. Dalam proses pengolahan bahan makanan, sangat perlu diperhatikan pengolahan yang baik dan benar sehingga kandungan zat makanan misalkan zat besi tidak berkurang dari bahan makanan tersebut. Usahakan anak banyak mengonsumsi makanan yang kaya zat besi untuk mencegah ADB. (Endang.W, 2013)
IX.
KOMPLIKASI Anemia defisiensi besi dapat menyebabkan kematian pada bayi prematuritas,
dan BBLR, ADB juga dapat mempengaruhi respon tubuh. Komplikasi lainnya berupa gangguan fungsi kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh kembang yang terlambat, penurunan aktivitas, dan perubahan tingkah laku. Anemia defisiensi besi menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan berkurangnya sel
limfosit T yang penting untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi. Perilaku yang aneh berupa pika, yaitu gemar makan atau mengunyah benda tertentu antara lain kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan lain lain, timbul sebagai akibat adanya rasa kurang nyaman di mulut. Rasa kurang nyaman ini disebabkan karena enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada mukosa mulut yang mengandung besi berkurang. Dampak kekurangan besi tampak pula pada kuku berupa permukaan yang kasar, mudah terkelupas dan mudah patah. Bentuk kuku seperti sendok (spoon-shaped nails) yang juga disebut sebagai kolonikia terdapat pada 5,5 % kasus ADB. Pada saluran pencernaan, kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan dalam proses epitialisasi. Papil lidah mengalami atropi. Pada keadaan ADB berat, lidah akan memperlihatkan permukaan yang rata karena hilangnya papil lidah. Mulut memperlihatkan stomatitis angularis dan ditemui gastritis pada 75 % kasus ADB. (Maria abdulsallam, 2002)
BAB III PENUTUP
I. KESIMPULAN Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin. Menurut Dallman, anemia defisiensi besi ialah anemia akibat kekurangan zat besi sehingga konsentrasi hemoglobin menurun di bawah 95% dari nilai hemoglobin rata-rata pada umur dan jenis kelamin yang sama. Defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan respon imun sehingga rentan terhadap infeksi, gangguan gastrointestinal, gangguan kemampuan kerja fisik, gangguan kognitif dan tingkah laku, bahkan dapat terjadi sebelum timbul gejala anemia. Selain gangguan perkembangan, defisiensi besi juga dapat menyebabkan kelainan neurologis. Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Usaha sederhana mencegah ADB adalah dengan mengonsumsi makanan yang kaya akan zat besi. Usahakan bayi mendapat air susu ibu eksklusif. Setelah usia 6 bulan apabila tidak mendapat air susu ibu sebaiknya diberi susu formula yang difortifikasi zat besi. Pemberian tambahan zat besi dianjurkan pula sejak bayi sampai usia remaja, diberikan sebagai usaha pencegahan terhadap anemis
DAFTAR PUSTAKA
1. Hendry Irawan. 2013. Pendekatan diagnosis anemia pada anak. CDK205, 40 (6) 2. Dedy Gunadi. 2009. Terapi dan suplementasi besi pada anak. Sari pediatric, 11 (3) 3. Maria Abdulsalam. 2002. Diagnosis, pengobatan, dan pencegahan anemia defisiensi besi. Sari pediatric, 4(2) 4. Pradiyadnya dan Suryani. 2017. Anemia defisiensi besi. Bali : Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 5. [IDAI]. 2011. Rekomendasi ikatan dokter anak Indonesia: suplementasi besi untuk anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 6. Muhammad, A. (2005). penentuan defisiensi besi anemia penyakit kronis menggunakan peran indeks stfr-f ( Determination of iron deficiency in chronic disease anemia by the role of sTfR-F index ). Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 2(1), 9–15. 7. Özdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children. Turk Pediatri Arsivi, 50 (1), 11–9. 8. Endang, W. (2013). idai - anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. Retrieved February 28, 2016, from http://idai.or.id/artikel/seputarkesehatan-anak/anemia-defisiensi-besi-pada-bayi-dan-anak 9. [IDAI]. 2009. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia.