Referat Analgetika Icha.docx

  • Uploaded by: Aldo Yunatan
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Analgetika Icha.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,539
  • Pages: 30
1

BAB 1 PENDAHULUAN Analgetika adalah zat yang bisa mengurangi rasa nyeri tanpa mengurangi kesadaran(1). Berdasarkan International Association for the Study of Pain, nyeri adalah rasa tidak nyaman secara sensorik dan emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan(2).

Rasa nyeri dapat disebabkan oleh rangsang mekanis, kimiawi, kalor atau listrik, yang dapat merusak jaringan dan melepaskan zat mediator nyeri. Zat ini merangsang reseptor nyeri yang letaknya di ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan lain. Rangsangan akan di dialirkan melalui saraf sensoris ke Susunan Saraf Pusat (SSP), melewati sumsum tulang belakang ke thalamus kemudian ke pusat nyeri yang berada di dalam otak besar, dimana rangsangan terasa sebagai nyeri(2). Jalur nyeri di bagi menjadi beberapa tipe menurut kecepatan hantar rangsanganya, yaitu jalur nyeri cepat melalui serabut A dan jalur nyeri lambat melalui serabut C. Rangsangan terdeteksi oleh nosiseptor yang merupakan ujung-ujung saraf bebas. Rangsangan akan dibawa sebagai impuls saraf melalui serabut 2A delta yang bermielin, serabut ini memiliki kecepatan hantar yang tinggi yaitu 30m/detik dan bertanggung jawab terhadap nyeri yang cepat, tajam dan terlokalisasi dengan jelas (jalur nyeri cepat). Serabut C yang tidak bermielin memiliki kecepatan lambat untuk menghantarkan saraf yaitu 12m/detik dan bertanggung jawab atas nyeri yang tumpul dan tidak terlokalisasi dengan jelas (jalur nyeri lambat). Nyeri dirasakan pertama kali biasanya berupa sentakan tajam yang kemudian disusul dengan nyeri yang lebih difus(3). Nyeri yang disebabkan oleh nosiseptor mekanis dan panas spesifik akan disalurkan melalui jalur nyeri cepat. Nyeri yang dirasakan sebagai sensasi tertusuk benda tajam yang dapat dengan mudah diketahui lokasinya. Nyeri yang disalurkan melalui jalur nyeri lambat biasanya menetap dalam waktu yang lebih lama disertai rasa yang tidak nyaman. Sensasi ini diikuti oleh sensasi pegal tumpul dan tidak terlokalisasi dengan jelas. Jalur nyeri lambat diaktifkan oleh bahan – bahan kimia terutama bradikinin. Bradikinin adalah suatu bahan inaktif yang kemudian menjadi aktif akibat enzim – enzim yang dikeluarkan ke dalam CES dan jaringan yang rusak. Senyawa ini tidak hanya memicu nyeri tetapi juga merangsang noniseptor polimedal dan juga merangsang peradangan yang cedera(3).

2

Nyeri bisa diatasi dengan menggunakan berbagai macam obat analgesik. Mekanisme analgesik di dalam tubuh yaitu dengan cara menghalangi pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri, saraf sensoris, dan sistem saraf pusat. Analgesik yang termasuk dalam golongan AINS bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase yang akan mengubah asam 3arakidonat menjadi prostaglandin di mana prostaglandin adalah mediator nyeri, sedangkan analgesik golongan opioid bekerja di sentral menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis yang menjaga pelepasan transmiter dan rangsang nyeri sehingga terjadi penghambatan rasa nyeri. Analgesik yang sering digunakan masyarakat adalah yang memiliki kandungan parasetamol, ibuprofen, asam mefenamat, dan lain-lain, namun obatobatan kimia tersebut memilik efek samping yang kurang baik bagi tubuh kita apabila di gunakan dalam jangka waktu panjang. Opioid akan menimbulkan adiksi dan golongan AINS dapat menimbulkan gastritis yang apabila telah parah menyebabkan perdarahan pada saluran cerna, gangguan asam-basa, menghambat ekskresi asam urat, agranulositosis dan gangguan fungsi trombosit(2,4).

3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, dan tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan. Baik nyeri akut maupun kronis merupakan fungsi pertahanan (survival function), yaitu dengan cara mengarahkan tubuh untuk memberikan refleks dan sikap protektif terhadap jaringan yang rusak sehingga sembuh (2,3) Penyebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan kimiawi, mekanis, kalor dan listrik, yang dapat mengakibatkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan mediator-mediator nyeri. Mediator-mediator penting yang terlibat pada proses terjadinya nyeri adalah histamin, serotonin (5-HT), plasmakinin (antara lain bradikinin) dan prostaglandin. Senyawa-senyawa ini kemudian akan merangsang reseptor nyeri (nosiseptor) yang terletak pada ujung-ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir, dan jaringan-jaringan (organ-organ) lain(1). Ada 4 tahap terjadinya nyeri, yaitu : (5) a. Stimulasi Sensasi nyeri dimulai dari perangsangan reseptor nyeri oleh rangsangan mekanis, panas, dan kimia. Adanya rangsangan tersebut (noxious stimuli) akan merangsang pelepasan mediatormediator nyeri antara lain bradikinin, leukotrien, serotonin, histamin, prostaglandin, K ,dan substansi P. Pelepasan satu atau lebih mediator-mediator tersebut tidak hanya akan merangsang ujung saraf nyeri kemosensitif tetapi juga sangat menurunkan ambang untuk stimulasi reseptor nyeri mekanosensitif dan termosensitif. Ambang rasa nyeri adalah intensitas rangsang terkecil yang akan menimbulkan sensasi nyeri bila rangsang tersebut dikenakan untuk waktu yang lama. b. Transmisi Adanya mediator-mediator nyeri akan mengubah permeabilitas membran neuronal, menyebabkan influks natrium dan efluks (mengeluarkan) kalium, sehingga terjadi depolarisasi membran. Impuls elektrik tersebut kemudian ditransmisikan ke medula spinalis melalui dua macam serabut saraf yaitu serabut A bermielin dan serabut C tidak bermielin. Serabut saraf A bermielin sering terlibat dalam impuls elektrik yang disebabkan oleh rangsang mekanis dan panas. Impuls akan ditransmisikan dari medula spinalis ke bagian dorsal horn. Serabut A akan melepaskan neurotransmiter berupa asam amino seperti glutamat, yang akan mengaktifkan

4

reseptor a-amino-3-hidroksi-5-metilisoxazo-1,4-asam propionat (AMPA) yang berada di dalam medula spinalis. Transmisi pada serabut ini kemudian menghasilkan sensasi nyeri yang tajam dan akan memberi sinyal terhadap adanya bahaya atau luka. Respon dari sinyal ini berupa reflek seperti menarik tangan atau kaki untuk menghindari luka yang lebih parah. Serabut C tidak bermielin dan ukurannya lebih kecil daripada A. Serabut C sering berperan dalam proses menghantarkan impuls rangsang mekanis, panas dan kimia. Serabut C juga berakhir di dorsal horn, melepaskan neurotransmiter berupa asam amino glutamat dan aspartat. Selain itu serabut C ini juga melepaskan peptida lain yaitu substansi P, neurokin A, somatostatin, galakin dan calcitonin gene-related peptide (CGRP). Transmisi impuls melalui serabut C akan menghasilkan nyeri lemah, aching, rasa seperti terbakar dan lokasi nyeri susah ditentukan. Jenis nyeri ini dikenal sebagai nyeri kedua karena muncul setelah nyeri pertama. Setelah dorsal horn teraktivasi, kemudian impuls diteruskan ke talamus lalu ke bagian korteks otak dan daerah otak lain untuk diproses. c. Persepsi Nyeri Merupakan persepsi terhadap transmisi impuls nyeri. Pada tahap ini sesorang akan merasakan nyeri atau sakit. Otak mungkin hanya menerjemahkan beberapa jenis signal nyeri, namun perlu diingat bahwa persepsi nyeri tidak hanya melibatkan proses nociceptive tetapi juga proses emosional dan psikologis. d. Modulasi Modulasi informasi nyeri terjadi sangat cepat. Neuron dari talamus dan otak akan melepaskan neurotransmiter inhibitori, seperti norepinefrin, serotonin, GABA, glisin, endorfin, dan enkefalin, yang akan mengeblok neurotransmiter eksitatori seperti substansi P. Untuk mengatasi nyeri dengan obat, terdapat beberapa jalur yang kemungkinan dapat ditempuh antara lain sebagai berikut: 1) Mencegah stabilisasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis prostaglandin dengan analgetika yang bekerja secara perifer. 2) Mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai anestesi permukaan atau anestesi infiltasi. 3) Menghambat penghantaran rangsang dalam serabut saraf sensorik dengan anestesi konduksi.

5

4) Meringankan atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf pusat atau dengan obat narkosis. 5) Mempengaruhi pengalaman nyeri dengan psikofarmaka (transkuilisia, neuroleptika, antidepresan).

2.2 Definisi Analgetika Analgetika atau obat penghilang rasa nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran(1). 2.3 Klasifikasi Analgetika dibedakan menjadi 2 golongan yaitu golongan Opioid (Narkotika) dan NonOpioid (Non Narkotika) 2.3.1 Analgetik Opioid Senyawa-senyawa golongan ini memiliki daya analgetik yang kuat sekali dengan titik kerja di susunan saraf pusat. Analgetik jenis ini umumnya mengurangi kesadaran (sifat yang meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia), mengakibatkan toleransi dan habituasi, ketergantungan fisik dan psikis dengan gejala-gejala abstinensi bila penggunaan

dihentikan.

Analgetik

opioid

sering

digunakan

dalam

anastesia

untuk

mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Contohnya morfin, petidin, dan fentanil. Berdasarkan mekanisme kerjanya, analgetika narkotik dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu: 1) Agonis opiat, dapat menghilangkan rasa nyeri dengan cara mengikat reseptor opioid pada sistem saraf. Contoh: morfin, kodein, heroin, metadon, petidin, dan tramadol. 2) Antagonis opiat, bekerja dengan menduduki salah satu reseptor opioid pada sistem saraf. Contoh: nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin dan nalbufin. 3) Kombinasi, berkerja dengan mengikat reseptor opioid, tetapi tidak mengaktivasi kerjanya dengan sempurna.

6

Berdasarkan struktur kimia analgetik opioid dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu: 1) Alkaloid opium (natural) : morfin, kodein, pavaperin, dan tebain 2) Semisintetik : heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate tebain 3) Sintetik : petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil, pentatozin, fenazosin dan siklasozin, lavorvanol, metadon, tramadol Obat-obatan Golongan Analgetik Opioid 1.

Morfin dan Alkaloid Opium(6,7) Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah dikeringkan.

Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan: Golongan fenantren (mis: Morfin dan Kodein) dan Golongan benizilisonkinolin (mis: Noskapin dan Papaverin). a.

Farmakodinamik Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Morfin dosis

kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah dan pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri. Beberapa individu, terutama wanita dapat mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang mendahului depresi, tetapi delirium dan konvulsi jarang timbul. Kodein tidak menyebabkan depresi progresif bila dosisnya dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi. Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor µ dan κ menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulmotor. Miosis ini dapat dilawan oleh atropin dan skopolamin. Pada dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi napas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan morfin hampir selalu disebabkan oleh depresi napas.

7

Morfin juga berefek di beberapa organ saluran cerna. Di lambung, morfin menghambat sekresi HCl, menyebabkan bagian antrum

pergerakan

lambung berkurang, tonus

meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus

berkontraksi, akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat. Di usus halus, morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Di usus besar, morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras. Pada sistem

kardiovaskular,

pemberian

morfin

dosis

terapi

tidak

mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung. Perubahan baru akan terjadi pada pemberian toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia pada

stadium

akhir

intoksikasi morfin. Morfin dan opioid lain menurunkan

kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi terhadap perubahan sikap. Pada otot

polos, morfin

menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta

kontraksi ureter dan kandung kemih. Morfin merendahkan tonus uterus pada masa haid dan menyebabkan uterus lebih tahan terhadap regangan. Mungkin atas dasar ini morfin mengurangi nyeri dismenore. Pada kulit, dosis terapi morfin menyebabkan vasodilatasi kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas. Dalam proses metabolisme, morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi, hiperglikemia timbul tidak tetap akibat pelepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Morfin membuat volume urin berkurang akibat merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan pelepasan ADH. b.

Farmakokinetik Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui kulit

luka. Morfin juga dapat menembus mukosa, dan juga dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah dibanding secara parenteral.

8

Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi ditemukan dalam empedu, sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung. Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2, yang kemudian dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-demetilasi. Urin mengandung bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari kodein, norkodein dan morfin. c.

Indikasi Morfin dan opioid

lain

terutama

diindikasikan

untuk

meredakan

atau

menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik nonopioid. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai infark miokard, neoplasma, kolik renal, oklusio akut vaskular perifer, pulmonal, perikarditis akut, dan nyeri akibat trauma misalnya luka bakar dan pascabedah. Penggunaan analgesik opioid dewasa ini telah banyak digunakan untuk menghambat refleks batuk yang tidak produktif dan hanya iritatif sehingga menyebabkan pasien tidak dapat beristirahat dan mungkin sekali disertai dengan nyeri. Terhadap edema paru akut, morfin IV dapat dengan jelas mengurangi atau menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri. Alkaloid morfin

berguna untuk

menghentikan diare

berdasarkan efek

langsung terhadap otot polos usus. Pada pengobatan diare yang disebabkan oleh intoksikasi

makanan

atau

intoksikasi

akut

obat,

pemberian

morfin

harus

didahului oleh pemberian garam katartik untuk mengeluarkan penyebab. d.

Efek Samping Morfin

dapat

menyebabkan mual

dan

muntah terutama pada

wanita

berdasarkan idiosinkrasi. Berdasarkan reaksi alergik dapat timbul gejala seperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.

9

Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau pada takar lajak. Pasien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat. e.

Toleransi Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap efek

eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara morfin, dihidromorfinon, metopon, kodein dan heroin. Toleransi timbul setelah 2-3 minggu. Timbul

toleransi

terhadap

efek

analgesik,

tetapi

tidak

terhadap

efek

konstipasi. Potensi penyalahgunaan tinggi. Penghentian menyebabkan insomnia, nyeri, peningkatan aktivitas saluran cerna, kegelisahan. f.

Interaksi Obat Interaksi morfin dapat meningkatkan kerja depresan SSP lain. Selain itu,

meningkatkan depresi pernapasan yang diinduksi oleh loker neuromuskular. Dan morfin bersifat aditif dengan obat yang menyebabkan hipotensi. g. Sediaan dan Posologi Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yang diperlukan. Dosis : 10-20 mg. Diberikan 20 menit sebelum anestesi agar peak of respiratory depression terlampaui sebelum induksi. 2. Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin lain(6,8–11) Farmakodinamik Pada SSP, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia, depresi napas dan efek sentral lain. Efek analgetik meperidin mulai timbul 15 menit setelah PO dan mencapai puncak dalam 2 jam. Pemberian meperidin kepada pasien yang menderita nyeri atau cemas, akan menimbulkan euforia. Di saluran napas, meperidin dalam dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi napas sama kuat

10

dengan morfin. Pemberian meperidin secara sistemik menimbulkan anestesia kornea, dengan akibat menghilangnya refleks kornea. Pemberian

dosis

terapi

meperidin

pada

pasien

yang

berbaring

tidak

mempengaruhi sistem kardiovaskular, tidak menghambat kontraksi miokard dan tidak mengubah gambaran EKG. Efek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus kecil lebih lemah daripada morfin. Meperidin menimbulkan spasme saluran empedu. Meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh histamin dan metakolin, dapat menyebabkan peristaltik ureter berkurang, dan sedikit merangsang uterus dewasa yang tidak hamil. a.

Farmakokinetik Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik, akan

tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Setelah PO, sekitar 50% obat mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar maks dalam plasma tercapai dalam 1-2 jam. Metabolisme

meperidin

terutama

berlangsung

di

hati.

Pada

manusia,

meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat Ndemetilasi. b. Indikasi Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin. Misalnya untuk tindakan diagnostik. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat praanestetik. Untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang menyebabkan depresi napas pada janin.

11

c.

Efek Samping Efek Samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa

pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual, muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi. d.

Kontraindikasi Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat harus dikurangi karena

terjadinya perubahan pada disposisi obat. Selain itu dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan bersama antipsikosis, hipnotik sedatif dan obat-obat lain penekan SSP. Pada pasien yang sedang mendapat MAO inhibitor pemberian meperidin dapat menimbulkan kegelisahan, gejala eksitasi dan demam. e.

Toleransi Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih lambat dibanding

dengan morfin. Timbulnya toleransi lambat bila interval pemberian lebih dari 34 jam. Toleransi tidak terjadi terhadap efek stimulasi dan efek mirip atropin. f.

Interaksi Obat Pada pasien yang sedang mendapat MAO inhibitor, pemberian meperidin

dapat menyebabkan eksitasi SSP berat

(delirium, hiperpireksia, kejang), depresi

pernapasan, atau hipotensi. g. Dosis dan sediaan Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB. Petidin dapat diberikan IV atau IM, mula kerja 15-30 menit berakhir setelah 2 jam -

Premedikasi : 25-100 mg

-

Analgesic pasca operasi: 50-100 mg secara IM/PO Sedangkan untuk obat Fentanyl

-

Dosis anestesi : 25-100µg (0.7-2 µg/kgBB)

-

Induksi : 5 - 40µg/kgBB secara IV

12

3.

Metadon dan Opioid Lainnya 3.1 Metadon(6) a. Farmakodinamik Di SSP, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan efek 10 mg morfin. Setelah pemerian metadon beulang kali timbul efek sedasi yang jelas, mungkin karena adanya akumulasi. Dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi napas yang sama kuat seperti morfin dan dapat bertahan lebih dari 24 jam setelah dosis tunggal. Metadon juga berefek antitusif, menimbulkan hiperglikemia, hipotemia, dan pelepasan ADH. Di

otot

polos,

metadon

menimbulkan

relaksasi

sediaan

usus

dan

menghambat efek spasmogenik asetilkolin atau histamin. Metadon juga menimbulkan spasme saluran empedu pada manusia dan hewan coba. Ureter mengalami relaksasi, mungkin karena telah terjadi antidiuresis. Pecandu metadon timbul toleransi efek miosis yang cukup kuat. Pada sistem kardiovaskular, metadon menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga dapat menimbulkan hipotensi ortostatik. Pemberian metadon tidak mengubah gambaran EKG tetapi kadang-kadang timbul sinus bradikardia. Obat ini merendahkan kepekaan tubuh terhadap CO2 sehingga timbul retensi CO2 yang dapat menimbulkan vasodilatasi serebral dan kenaikan tekanan cairan serebrospinal. b. Farmakokinetik Setelah suntikan metadon SC ditemukan kadar dalam plasma yang tinggi selama 10 menit pertama. Sekitar 90% metadon terikat protein plasma. Metadon diabsorbsi baik oleh usus dan dapat ditemukan dalam plasma darah setelah 30 menit PO; kadar puncak dicapai setelah 4 jam. Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk dalam paru, hati, ginjal, dan limpa; hanya sebagian kecil yang masuk otak. Kadar maksimal metadon dalam otak dicapai dalam 1-2 jam setelah pemberian parenteral. Biotransformasi metadon terutama berlangsung di hati. Salah satu reaksi penting ialah dengan cara N-demetilasi. Sebagian besar metadon yang diberikan akan ditemukan dalam urin dan tinja sebagai hasil biotransformasi

13

yaitu pirolidin dan pirolin. Kurang dari 10% mengalami ekskresi bersama empedu. c. Indikasi Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri yang dapat dipengaruhi morfin, tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat daripada morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit setelah pemberian parenteral atau 30-60 menit setelah PO. Obat ini menyebabkan depresi napas pada janin sehingga tidak dianjurkan sebagai analgesik pada persalinan. Metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif 1,5-2 mg/oral sesuai dengan 15-20 mg kodein, tetapi kemungkinan timbulkan adiksi pada metadon jauh lebih besar daripada kodein. d. Efek Samping Metadon menyebabkan efek samping erupa perasaan ringan, pusing, kantuk, fingsi mental terganggu, berkeringat, pruritus, mual, dan muntah. Efek samping ini lebih sering timbulpada pemberian oral

daripada pemberian

parenteral dan lebih sering timbul pada pasien berobat jalan. Efek samping yang jarang timbul ialah delirium, halusinasi selintas dan urtikaria hemoragik. Bahaya utama pada takar lajak metadon ialah berkurangnya ventilasi pulmonal. Terapi intoksikasi akut metadon sama dengan terapi intoksikasi akut morfin. e. Toleransi Toleransi metadon dapat timbul terhadap efek analgetik, mual, anoreksia, miotik, sedasi, depresi napas dan efek kardiovaskular, tetapi tidak timbul terhadap konstipasi. Toleransi ini lebih lambat daripada toleransi terhadap morfin. Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian metadon secara kronik dapat dibuktikan dengan cara menghentikan obat atau dengan memberikan nalorfin. Kemungkinan timbulnya adiksi ini lebih kecil daripada bahaya adiksi morfin. f. Sediaan dan posologi Metadon tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg serta dalam ampul atau vial dengan kadar 10 mg/mL. Dosis analgetik oral untuk dewasa berkisar antara

14

2.5-15 mg, sedangkan untuk parenteral ialah 2.5-10 mg. 3.2 Propoksifen a.

Farmakodinamik Propoksifen

terutama

berefek analgesik

terikat

pada

reseptor

karena

kerja

sentralnya.

Propoksifen

µ meskipun kurang selektif dibandingkan

morfin. Propoksifen 65-100 mg secara oral memberikan efek yang sama kuat dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg propoksifen parenteral menimbulkan analgesia

yang

sama

kuat dengan 50 mg meperidin parenteral. Tetapi

propoksifen menimbulkan perasaan panas dan iritasi di tempat suntikan. Kombinasi propoksifen dengan asetosal berefek analgesik yang jauh lebih baik daripada jika masing-masing obat diberikan tersendiri. Obat ini tidak berefek antitusif. b.

Farmakokinetik Propoksifen

Efektivitas

diabsorpsi

setelah

pemberian

oral

maupun

parenteral.

jauh berkurang jika propoksifen diberikan PO. Biotransformasi

propoksifen dengan

cara

N-demetilasi

yang

terjadi

dalam

hati.

Dimetabolisme separuh pada lintasan pertama. Waktu paruh 15 jam. c.

Indikasi Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga

sedang,

yang

propoksifen

tidak

cukup

baik

diredakan

oleh asetosal. Kombinasi

bersama asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi kodein

bersama asetosal. Dosis propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4 kali 65 mg sehari, dengan atau tanpa asetosal. d.

Efek Samping Pada dosis terapi propoksifen tidak banyak mempengaruhi sistem

kardiovaskular. Pemberian 130 mg propoksifen PO pada orang dewasa sehat tidak banyak mengubah reaksi terhadap CO2. Dengan dosis ekuianalgetik insiden efek samping propoksifen seperti mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk kurang lebih sama dengan kodein. Dosis toksik biasanya

15

menimbulkan depresi SSP dan depresi napas, tetapi jika dosis lebih besar lagi timbul konvulsi. e.

Adiksi Timbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih kecil kemungkinannya

daripada

terhadap

kodein.

Penghentian

tiba-tiba

pada

terapi

dengan

propoksifen akan menimbulkan gejala putus obat ringan. Dosis

oral

propoksifen yang besar (300-600 mg) menimbulkan efek subyektif yang menyenangkan, tetapi tidak serupa dengan efek morfin. Obat ini cukup iritatif pada pemberian SC, sehingga tidak digunakan secara parenteral Antagonis Opioid dan Agonis Parsial(6) 1.

Antagonis Opioid Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan banyak

efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila opioid endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stress atau syok. Nalokson merupakan prototip antagonis opioid yang relatif murni, demikian pula naltrekson yang dapat diberikan PO dan memperlihatkan masa kerja yang lebih lama daripada nalokson. Dalam dosis besar keduanya memperlihatkan beberapa efek agonis, tetapi efek ini tidak berarti secara klinis. Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya di samping memperlihatkan efek antagonis, menimbulkan efek otomik, endokrin, analgetik dan depresi napas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin. Obat-obat ini merupakan antagonis kompetitif reseptor µ, tetapi juga memperlihatkan efek agonis pada reseptor-reseptor lain. a.

Farmakodinamik Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa Nalokson menurunkan ambang

nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya tinggi; mengantagonis efek analgetik plasebo; mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum akupuntur. Namun, masih perlu pembuktian lebih lanjut efek nalokson ini sebab banyak faktor fisiologi yang berperan dalam analgesia di atas. Dugaan yang sama juga timul tentang efek nalokson terhadap hipotensi pada hewan dalam keadaan syok, dan efeknya dalam mencegah overating dan obesitas pada tikus-tikus yang diberi stres berat.

16

Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg morfin menimbulkan analgesia sama kuat pada pasien dengan nyeri pascabedah. Pada beberapa pasien timbul reaksi yang tidak menyenangkan, misalnya rasa cemas, perasaan yang aneh, sampai timbulnya day dreams yang mengganggu, atau lebih berat lagi timbul halusinasi, paling sering halusinasi visual. Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi napas yang diduga karena kerjanya pada reseptor κ. Berbeda dengan morfin, depresi napas tidak bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini, terutama levalorfan memperberat depresi napas oleh morfin dosis kecil, tetapi mengantagonis depresi napas akibat morfin dosis besar. Frekuensi napas meningkat dalam 1-2 menit setelah pemberian nalokso pada pasien dengan depresi napas akibat agonis opioid; efek sedatif dan efek terhadap tekanan darah juga segera dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson juga menyebabkan kebalikan efek dari efek psikotomimetik dan disforia akibat agonis-antagonis. Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik terhadap morfin, dosis kecil nalokson SC akan menyebabkan gejala putus obat yang dapat berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat penghentian

tiba-tiba pemberian morfin, hanya

timbulnya beberapa menit setelah penyuntikan terakhir setelah 2 jam. Berat dan lama berlangsungnya sindrom ini tergantung dari dosis antagonis dan beratnya ketergantungan. Hal yang sama terjadi pada orang dengan ketergantungan fisik terhadap agonis parsial, tetapi diperlukan dosis lebih besar. b.

Farmakokinetik Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat setelah

penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap, tetapi karena hampir seluruhnya mengalami metabolisme lintas pertama maka harus diberikan parenteral. Obat ini dimetabolisme di hati, terutama dengan glukoronidasi. Waktu paruhnya kira-kira 1 jam dengan masa kerja 1-4 jam. Naltrekson efektif setelah pemberian PO, kadar puncaknya dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam, waktu paruhnya sekitar 3 jam dan masa kerjanya mendekati 24 jam. Metabolitnya, 6-naltreksol, merupakan antagonis opioid yang lemah dan masa kerjanya panjang.

17

c. Indikasi Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akibat takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat opioid sewaktu persalinan; atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid; dalam hal ini nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik terhadap opioid. d.

Toleransi Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat agonis, jadi

hanya timbul pada efek subyektif, sedatif dan psikotomimetik dari nalorfin. Penghentian tiba-tiba pemberian nalorfin kronis dosis tinggi menyebabkan gejala putus obat yang khas tetapi lebih ringan daripada gejala putus obat morfin. Nalokson, nalorfin, dan levalorfan kecil kemungkinannya untuk disalahgunakan sebab tidak menyebabkan ketergantungan fisik; tidak menyokong ketergantungan fisik morfin; dan dari segi subyektif dianggap sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi para pecandu. e. Dosis dan posologi Nalorfin HCL tersedia untuk penggunaan parenteral, maing-masing mengandung 0.2 mg nalorfin/mL untuk anak dan 5 mg nalorfin/mL untuk orang dewasa.

2.

Agonis Parsial 2.1 Pentazosin a.

Farmakodinamik Efeknya

terhadap

SSP

mirip dengan efek opioid yaitu menyebabkan

analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia yang timbul agaknya karena efeknya pada reseptor κ, karena sifatnya berbeda dengan analgesia akibat morfin. Analgesia timbul lebih dini dan hilang lebih cepat daripada morfin. Pada dosis 60-90 mg obat ini menyebabkan disforia dan efek psikotomimetik mirip nalorfin yang hanya dapat di antagonis oleh nalokson. Diduga timbulnya disforia dan efek psikotomimetik karena kerjanya pada reseptor δ. Efeknya pada saluran cerna mirip efek opioid, efeknya mirip efek

sedangkan pada uterus

meperidin. Respons kardiovaskular terhadap pentazosin

18

berbeda dengan respons terhadap opioid morfin, yaitu dalam dosis tinggi menyebabkan peningkatan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Gejala putus obat yang terjadi diantaranya mirip gejala putus obat morfin. Penyuntikan berulang pada tempat yang sama dapat menyebabkan abses steril, ulserasi dan jaringan perut. b.

Farmakokinetik Pentazosin

diserap baik melalui cara pemberian apa saja, tetapi karena

mengalami metabolisme lintas pertama, bioavailabilitas PO cukup bervariasi. Obat ini dimetabolisme secara intensif di hati untuk kemudian diekskresi sebagai metabolit melalui urin. Pada pasien sirosis hepatis klirensnya sangat berkurang. c.

Indikasi Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang, tetapi kurang efektif

dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat ini juga digunakan untuk medikasi praanestesik. Bila digunakan untuk analgesia obstetrik, pentazosin dapat mengakibatkan depresi napas yang sebanding meperidin. d.

Toleransi Toleransi dapat timbul terhadap efek analgetik dan efek subyektif pada

pemberian berulang. Ketergantungan fisik dan psikis dapat pula terjadi, tetapi kemungkinannya jauh lebih kecil. e. Sediaan dan posologi Dosis yang dianjurkan pada orang dewasa adalah 30 mg IV/IM yang dapat diulang tiap 3-4 jam bila perlu dengan dosis total 360 mg/ hari. Setiap kali penyuntikan dianjurkan dosis tidak melebihi 30 mg IV atau 60 mg IM. Sedapat mungkin pemberian SK dihindarkan. Untuk analgesia obstetric diberikan dosis tunggal 20 atau 30 mg secara IM. Bila kontraksi uterus menjadi teratur, dapat diberikan 30 mg iv dan dapat diulangi 20 atau 30 mg secara IV dan dapat diulang 2 atau 3 kali dengan interval 2-3 jam bila diperlukan. Untuk penggunaan ini tersedia larutan 30 mg/mL dalam vial 1, 1.5, 2 dan 10 mL.

19

2.2 Butorfanol a.

Farmakodinamik Pada

pasien

pascabedah,

suntikan 2-3 mg

butorfanol menimbulkan

analgesia dan depresi napas menyerupai efek suntikan 10 mg morfin atau 80 mg meperidin. Dosis analgetik butorfanol juga meningkatkan tekanan arteri pulmonal dan kerja jantung. b. Farmakokinetik Butorfanol

mirip

dengan

morfin

dalam

hal

mula

kerja,

waktu

tercapainya kadar puncak dan masa kerja, sedangkan waktu paruhnya kirakira 3 jam. c. Indikasi Butorfanol efektif untuk mengatasi nyeri akut pascabedah sebanding dengan morfin, meperidin atau pentazosin. Butorfanol efektif untuk medikasi praanestetik. Obat ini tidak dianjurkan digunakan untuk nyeri yang menyertai infark miokard akut. Dosis butorfanol yang dianjurkan untuk dewasa adalah dosis 1-4 mg IM atau 0,5-2 mg IV dan dapat diulang 3-4 jam. d. Efek Samping Efek samping utama butorfanol adalah kantuk, rasa lemah, berkeringat, rasa mengambang dan mual. Sedangkan efek psikotomimetik lebih kecil dibanding pentazosin pada dosis

ekuianalgetik.

Kadang-kadang

terjadi

gangguan kardiovaskular yaitu palpitasi dan gangguan kulit rash. 2.3 Buprenorfin a.

Farmakodinamik Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain pada SSP seperti

morfin. Buprenorfin dapat mengantagonis depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh dosis anestesik fentanil sama baiknya dengan nalokson. Depresi pernapasan dan efek lain yang ditimbulkan buprenorfin dapat dicegah oleh penggunaan nalokson sebelumnya, akan tetapi nalokson dosis tinggipun

sulit

untuk

mengatasi

efek

yang

sudah

ditimbulkan

oleh

20

buprenorfin. Buprenorfin dapat menimbulkan ketergantungan fisik dengan gejala dan tanda-tanda putus obat seperti morfin, tetapi tidak terlalu berat. b.

Farmakokinetik Buprenorfin diabsorpsi relatif baik. Buprenorfin 0,4-0,8 mg sublingual

menimbulkan analgesia yang baik pada pasien pascabedah. Kadar puncak alam darah dicapai dalam 5 menit setelah suntikan IM dan dalam 1-2 jam setelah penggunaan secara oral atau sublingual. Masa paruh dalam plasma sekitar 3 jam. c.

Indikasi Selain sebagai analgesik, buprenorfin juga bermanfaat untuk terapi

penunjang pasien ketergantungan opioid, dan pengobatan adiksi heroin. d. Dosis Dosis untuk menimbulkan analgesia 0.3 mg IM atau IV tiap 6 jam, atau 0.40.8 mg sublingual. Untuk terapi penunjang pasien ketergantungan opioid dosis 6-8 mg kurang lebih sama dengan 60 mg metadon. 2.4 Tramadol(6,12) a.

Farmakodinamik Tramadol efektif untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri

berat atau kronik lebih lemah. Untuk nyeri persalinan, tramadol sama efektif dengan meperidin dan kurang menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus. b.

Farmakokinetik Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral 68% dan

100% bila digunakan secara IM. Tramadol mengalami metabolisme di hati dan diekskresi oleh ginjal, dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan 7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam setelah penggunaan secara oral, dan mencapai puncak dalam 2-3 jam. Lama analgesia sekitar 6 jam. DM per hari yang dianjurkan 400 mg.

21

c.

Efek Samping Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut kering, sedasi,

dan sakit kepala. Depresi pernapasan nampaknya kurang dibandingkan dengan dosis ekuianalgetik morfin, dan derajat konstipasinya kurang daripada dosis ekuivalen kodein. d. Dosis Oral, 50-100 mg tidak boleh lebih sering dari 4 jam; total pemakaian lebih dari 400 mg per hari tidak selalu dibutuhkan. Anak-anak tidak direkomendasikan. Intramuskular atau intravena (lebih dari 2-3 menit) atau infus intravena, 50-100 mg setiap 4-6 jam. Nyeri pasca bedah, dosis awal 100 mg kemudian 50 mg tiap 10-20 menit, jika diperlukan selama 1 jam pertama hingga total maksimum 250 mg (termasuk dosis awal) pada 1 jam pertama, kemudian 50-100 mg tiap 4-6 jam, maksimum 600 mg per hari. Anak-anak tidak direkomendasikan. 2.3.2 Analgetik Non-Opioid(6,13) Analgesik non opioid dibedakan menjadi 2 golongan yaitu: -

Non asam, antipiretik analgesik seperti pirazolon (metamizol) dan derivat aniline (paracetamol).

-

Non steroidal antiinflammatory drugs (NSAID) seperti, salisilat (asam asetilsalisilat), derivat asam propionik (ibuprofen, naproxen), asam asetat (indometacin, diklofenak), asam enolik (piroxicam, meloxicam), dan asam antranil (mefenamin). Farmakodinamik Secara umum, mekanisme kerja analgesik non-opioid dengan menghambat enzim

siklooksigenase (COX). Terdapat 2 jenis enzim ini, yaitu, COX-1 dan COX-2. Mekanisme tersebut melibatkan blokade dari produksi prostaglandin dengan menghambat enzim siklooksigenase pada jaringan yang terluka di perifer. Sehingga menurunkan mediator-mediator nyeri di sistem saraf perifer. Enzim COX mengkatalisis produksi prostaglandin dari asam arakhidonat. Reseptor COX-1 tersebar di seluruh tubuh termasuk di usus dan platelet. Sebaliknya, COX-2 hanya di produksi bila terdapat inflamasi.

22

COX-2 dapat berikatan dengan molekul yang besar dibandingkan dengan COX-1. Obatobatan yang menghambat COX non tidak selektif, seperti aspirin, dapat mengatasi demam, inflamasi, nyeri atau sakit, dan thrombosis. Obat-obatan selektif COX-2, seperti acetominofen (paracetamol), celecoxib, dan etoricoxib, dapat digunakan pada perioperatif. Obat-obatan penghambat COX-1 menurunkan thrombosis, penghambat selektif COX-2 meningkatkan risiko serangan jantung, thrombosis, dan stroke. Inhibisi enzim ini oleh obat-obatan NSAID dapat menyebabkan ulserasi lambung dan kerusakan pada ginjal. Inhibisi dari COX tidak bekerja secara langsung terhadap sistem kardiovaskular. Secara klinis, obat-obat penghambat COX tidak memberikan efek terhadap respirasi atau fungsi paru. Namun, pemberian aspirin dengan dosis berlebih dapat menimbulkan efek samping pada respirasi dan ketidakseimbangan asam basa. Komplikasi gastrointestinal merupakan komplikasi umum yang timbul pada obat-obatan penghambat COX-1 seperti perdarahan gastrointestinal bagian atas. Komplikasi tersebut akibat efek langsung obat. Pemakaian acetominofen berlebih dapat menyebabkan kegagalan fungsi hepar. Farmakokinetik -

Absorpsi Semua penghambat COX diabsorpsi setelah pemberian oral dan mencapai konsentrasi

tertinggi di darah kurang dari 3 jam. Beberapa obat penghambat COX dapat diberikan secara topikal. -

Distribusi Setelah di absorpsi, obat-obatan ini berikatan dengan protein plasma terutama albumin.

Sifat dari obat-obat penghambat COX adalah larut dalam lemak sehingga dapat melewati blood brain barrier untuk memberikan analgesik secara sentral, antipiretik, dan berpenetrasi ke ruang sendi untuk memproduksi efek antiinflamasi. -

Biotransformasi Hampir semua obat penghambat COX mengalami biotransformasi di hati.

-

Ekskresi Obat-obat penghambat COX di ekskresikan melalui urin.

23

a. Asam salisilat -

Farmakokinetik Aspirin merupakan asam organik dan sebagai obat pertama mengatasi nyeri. Aspirin

dan golongan asam salisilat lainnya di absorpsi secara cepat melalui oral di usus halus. Aspirin dapat mencapai konsentrasi tertinggi di plasma dalam waktu 1 hingga 2 jam setelah pemberian oral. Aspirin di hidrolisa oleh esterase di lambung menjadi acetat dan asam salisilat di liver. Asam salisilat adalah glucuronidase, berkonjugasi dengan glisin membentuk asam salisilurik (jalur utama metabolisme), di oksidasi bebas menjadi asam salisilat yang di sekresikan ke tubulus proksimal ginjal. Asam salisilat berikatan dengan protein plasma mencapai 80% terutama albumin. Secara pasif, salisilat berdifusi ke semua jaringan, termasuk ASI, jaringan fetal, dan sistem saraf sentral. -

Farmakodinamik Aspirin dan asam salisilat lainnya menghambat sintesis prostaglandin di perifer dan di

tingkat yang lebih rendah mensintesis tromboksan (agregasi platelet). Aspirin sebagai tatalaksana primer untuk nyeri ringan hingga sedang yang berhubungan dengan sakit kepala, nyeri pada sendi dan otot, dan dismenorea. Dosis tinggi efektif sebagai analgesik pada rheumatoid arthritis. Obat ini menurunkan prostaglandin dimana memicu terjadinya demam sebagai respon dari pirogen dan menurunkan modulator inflamasi seperti IL-1 di hipotalamus sebagai pengontrol suhu tubuh. Apabila terjadi penurunan suhu dari hipotalamus, terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan demam akan turun. Penggunaan lain aspirin yaitu menginhibisi agregasi platelet melalui inhibisi tromboksan sehingga terjadi penurunan pembekuan darah, myocardial infarction, dan transient ischemic attacks. Penggunaan dosis berlebih pada aspirin dapat mempengaruhi pusat pernapasan di medulla yang akan menyebabkan hiperventilasi. Salisilat mengalami proses oksidatif yang akan menyebabkan peningkatan produksi karbon dioksida dan asidosis metabolisme apabila tidak ditangani setelah 1 jam mengonsumsi aspirin. Beberapa pasien mengalami hipersensitivitas terhadap aspirin yang akan menimbulkan tinnitus, vertigo, dan bronkospasme (terutama pada asma bronkial). Dapat terjadi sindrom Reye yaitu, ditandai dengan kerusakan hati dan ensefalopati apabila diberikan pada anak-anak yang sedang

24

mendapat infeksi varicella atau influenza. Selain itu, aspirin tidak boleh diberikan pada penyakit hati kronik. -

Dosis Kondisi

Dosis

Antipiretik dan analgesic

325 - 650 mg setiap 4 - 6 jam sekali, tergantung kondisi. Maksimal 4 g/hari.

Demam rematik akut

5-8 g/hari, diberikan 1 g perkali. Untuk anak 100-125 mg/kgBB/hari diberikan tiap 4-6 jam, selama seminggu.

Rheumatoid arthritis

4-6 g/hari, tetapi dosis 3 g perhari cukup memuaskan.

b. Derivat p-Aminofenol - Farmakokinetik Asetominofen atau paracetamol dengan pH asam 9,5, di absorpsi dengan cepat di saluran cerna melalui oral dan mencapai kadar tertinggi di plasma selama 30 menit hingga 2 jam. Asetominofen tidak berikatan kuat dengan protein plasma dibandingkan dengan salisilat. Dosis terapetik normal asetominofen, akan mengalami konjugasi dengan sulfat atau glukuronidase dan di ekskresikan di ginjal. Metabolisme asetominofen oleh enzim P450 di hepar. - Farmakodinamik Penghambat perifer COX. Efek analgesik dengan menghambat sintesis prostanoid di sistem saraf pusat dan digunakan untuk nyeri ringan hingga sedang. Efek antipiretik mirip dengan aspirin yaitu, di level hipotalamus sebagai pengatur suhu tubuh dengan menghambat sintesis prostaglandin. Asetominofen hanya miliki efek antiinflamasi yang rendah sehingga tidak digunakan pada pasien dengan arthritis atau penyakit inflamasi lainnya. Selain itu, asetominofen tidak menimbulkan ulserasi gaster dan dapat diberikan pada pasien yang sensitif terhadap salisilat.

25

- Efek samping 1) Reaksi alergi jarang terjadi. 2) Hepatotoksik pada pemberian dosis tunggal 10-15 gram (200-250 mg/kgBB) - Dosis Oral, 0,5–1 gram setiap 4–6 jam hingga maksimum 4 gram per hari; anak–anak umur 2 bulan 60 mg untuk pasca imunisasi pireksia, sebaliknya di bawah umur 3 bulan (hanya dengan saran dokter) 10 mg/kg bb (5 mg/kg bb jika jaundice), 3 bulan–1 tahun 60 mg–120 mg, 1-5 tahun 120–250 mg, 6–12 tahun 250– 500 mg, dosis ini dapat diulangi setiap 4–6 jam jika diperlukan (maksimum 4 kali dosisdalam 24 jam), infus intravena lebih dari 15 menit, dewasa dan anak–anak dengan berat badan lebih dari 50 kg, 1 gram setiap 4–6 jam, maksimum 4 gram per hari, dewasa dan anak–anak dengan berat badan 10 -50 kg, 15 mg/kg bb setiap 4–6 jam, maksimum 60 mg/kgBB per hari. c. Indoles (indometasin) -

Farmakodinamik Indometasin (Indocin) adalah asam asetat yang merupakan derivat dari sulindak

(clinoril). Obat-obat ini di metabolisme di liver dan di ekskresikan melalui empedu dan ginjal. Golongan obat ini penghambat poten COX dan efektif sebagai obat-obatan antiinflamasi. - Farmakokinetik Absorpsi peroral baik, kadar puncak mencapai 2 jam, dan 90% terikat dengan protein plasma. - Efek samping dan interaksi obat Semua obat-obatan ini memiliki efek analgesik, antipiretik, dan efek antiinflamasi. Dapat terjadi iritasi gaster, sakit kepala, mual, termasuk efek hematologi dan vasokonstriksi koroner, maka obat-obatan ini tidak dapat digunakan sebagai tatalaksana primer untuk nyeri. Indometasin sangat berguna dalam penatalaksanaan gout akut, osteoarthritis, ankylosing spondylitis. Kontraindikasi indometasin pada kehamilan, asma, dan pada penderita ulserasi gaster atau ulserasi pada saluran pencernaan lainnya. - Dosis Dosis lazim : 2-4 kali 25 mg sehari

26

d. Fenamat Meklofen amat (meclomen) dan asam mefenamat (ponstel) merupakan penghambat yang poten COX. Kedua obat ini memiliki efek samping yang serius, duration of action (DOA) yang pendek, absorpsi melalui oral, dan tidak aman untuk anak-anak. Golongan obat ini bersifat analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi yang diindikasikan untuk nyeri ringan sampai sedang. Selain itu, digunakan untuk rheumatoid arthritis, dismenorhoe, dan osteoarthritis. Obat-obatan ini di metabolisme melalui glukuronidasi di hepar dan di ekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, golongan fenamat membutuhkan fungsi liver dan ginjal yang normal dan kontraindikasi diberikan kepada pasien dengan gagal ginjal atau liver. Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dyspepsia, diare sampai diare berdarah, dan gejala iritasi pada mukosa lambung. Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari e. Derivat asam propionat Ibuprofen, flurbiprofen, fenoprofen, ketoprofen, dan naproxen adalah obat-obatan derivat asam propionat yang menghasilkan efek analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Obat-obatan ini memblok produksi prostaglandin melalui inhibisi COX. Golongan obat ini lebih poten dibandingkan dengan aspirin serta efek samping yang ditimbulkan seperti iritasi gaster lebih rendah. Ketoprofen menghambat lipoxygenase dan COX sehingga menurunkan produksi dari leukotrien dan prostaglandin. Selain itu, menurunkan pengeluaran enzim lisosom akibat proses inflamasi. Naproxen memiliki masa paruh yang panjang yaitu 14 jam, sedangkan fenoprofen, ibuprofen, dan ketoprofen memiliki masa paruh yang pendek yaitu 2 jam. Golongan obat ini di metabolisme di liver dan di ekskresikan di ginjal. Obat-obatan golongan ini bervariasi dalam berikatan dengan protein plasma. Namun, dapat mengganggu obat lain saat berikatan dengan protein plasma kecuali ketoprofen. Asam propionat baik untuk tatalaksana rheumatoid arthritis dan osteoarthritis untuk mengurangi nyeri ringan hingga sedang, demam serta dismenorhea. Penggunaan ibuprofen dapat terjadi hipersensitivitas akut pada pasien lupus. Apabila penggunaan ibuprofen dengan aspirin dapat mengurangi efek antiinflamasi pada kedua obat tersebut. Ibuprofen kontraindikasi

27

diberikan pada pasien dengan sensitif aspirin karena dapat menyebabkan konstriksi bronkial dan angioedema. Fungsi ginjal dan liver harus normal saat mengkonsumsi obat-obatan NSAID. Efek samping yang dapat terjadi adalah gangguan saluran cerna, dapat pula terjadi gangguan SSP terutama Naproksen berupa sakit kepala, pusing, rasa lelah dan ototoksik. Dosis ibuprofen adalah 4 kali 400 mg sehari, Ketoprofen 2 kali 100 mg sehari, Naproksen untuk rheumatoid arthritis dan osteoarthritis 2 kali 250-375 mg sehari, bila perlu dapat diberikan 2 kali 500 mg sehari. f. Derivat pirazolon Fenilbutazon (butazolidin) dimetabolisme menjadi oxyphenbutazone (phlogistol) dan kedua obat ini memiliki aktivitas yang berhubungan dengan obat-obatan NSAID. Namun, obatobatan ini memiliki efek samping yang serius, seperti anemia, nephritis, gagal ginjal atau nekrosis, dan kerusakan liver. Oleh karena itu, hanya dberikan untuk tatalaksana nyeri pada gout atau phlebitis. Kontraindikasi untuk diberikan kepada anak-anak dan orang tua dengan gangguan fungsi ginjal. Konsekuensi pada pemakaian dosis berlebih yaitu kerusakan fungsi liver, gagal ginjal, dan shock. Tidak ada antidotum untuk dosis berlebih. Dosis awal fenilbutazon 200 mg 2-3 kali sehari selama 2 hari, dengan atau setelah makan, kemudian kurangi hingga dosis efektif minimum, biasanya 100 mg 2-3 kali sehari; ANAK berusia di bawah 14 tahun tidak dianjurkan. g. Derivat oksikam Piroksikam merupakan contoh obat derivat oksikam. Obat-obatan ini memiliki efek analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Masa paruh piroksikam adalah 45 jam, di absorpsi sempurna peroral, dan 99% terikat dengan protein plasma. Obat ini mengalami siklus enterohepatik dan 5% di ekskresikan dalam bentuk utuh melalui urin. Konsentrasi terutama di plasma dan cairan sinovial. Efek samping yang dapat timbul, seperti obat NSAID yang lainnya yaitu tinnitus, sakit kepala, dan gastritis. Piroksikam di indikasikan untuk inflamasi oleh karena rheumatoid arthritis. Dosis : 10-20 mg sehari. h. Derivat asam asetat Diklofenak (voltaren) adalah derivate asam fenilasetat yang poten dalam menghambat COX dan memiliki efek analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik. Indikasi pemakaian obat ini adalah rheumatoid arthritis, osteoarthritis, dan inflamasi pada mata. Efek samping obat ini adalah

28

mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama seperti semua obat AINS. Dosis 100-150 mg, 2-3 kali sehari. Ketorolak (toradol) adalah NSAID dengan efek antipiretik dan antiinflamasi yang ringan. Obat ini paten digunakan sebagai analgesik pasca operasi. Biasanya, ketorolak dikombinasikan dengan opioid untuk mengurangi dosis dan efek samping dari opioid. Selain itu, dapat diberikan pada pasien yang sensitif terhadap opioid. Mekanisme kerja dari ketorolak adalah menghambat COX dan menurunkan prostaglandin. Obat ini di absorpsi secara cepat melalui oral atau intramuscular dimana seluruhnya terikat dengan protein plasma, dan ekskresinya 90 % melalui urin dan 60 % dalam keadaan utuh. Ketorolak IM sebagai analgetik pasca bedah memperlihatkan efektivitas yang sebanding dengan morfin/ meperidin dosis umum. Dosis IM 30-60 mg; IV 15-30 mg dan oral 5-30 mg. Efek sampingnya berupa nyeri di tempat suntikan, gangguan saluran cerna, kantuk, pusing dan sakit kepala. Obat ini dianjurkan tidak dipakai lebih dari 5 hari karena dapat menyebabkan tukak lambung dan iritasi lambung. i. COX-2 inhibitor Contoh obat COX-2 inhibitor adalah celecoxib (Celebrex) dan rofecoxib (vioxx). Kedua obat ini selektif menghambat COX-2. Selain berperan pada inflamasi di perifer, COX-2 juga berperan pada sistem saraf pusat. Sehingga, mekanisme kerja dari penghambat COX-2 meliputi otak, medulla spinalis, seperti pada jaringan lainnya yang mengalami cedera. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa enzim COX-2 berperan dalam penyakit kanker kolon. Golongan obat ini diindikasikan untuk terapi osteoarthritis dan rheumatoid arthritis, dan rofecoxib juga untuk terapi osteoarthritis, nyeri akut, dan dismenorhea. Insiden terjadinya ulkus peptikum berkurang dibandingkan dengan golongan non selektif NSAID lainnya. Celecoxib dan rofecoxib dapat memperlambat proses penyembuhan luka dan memperpanjang waktu regenerasi jaringan. Oleh karena itu, pasien dengan riwayat ulkus peptikum diberikan obat pengganti antiinflamasi lainnya. Kontraindikasi pemberian celecoxib pada kehamilan karena COX-2 mempertahankan ovulasi dan waktu persalinan. Selain itu, COX-2 terlibat dalam regulasi sistem renin-angiotensin sehingga dapat menimbulkan retensi sodium.

29

BAB 3 KESIMPULAN Analgesik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri. Obat-obat analgesik dibagi menjadi 2 yaitu, non-opioid (non-narkotik), bekerja di perifer, sifatnya ringan, dan antipiretik dan opioid (narkotik), bekerja di sentral, dan analgetik yang kuat. Secara umum, penatalaksanaan awal pada nyeri dengan analgesik non-opioid walaupun kurang efektif dibandingkan dengan opiod untuk mengatasi nyeri. Tatalaksana nyeri terutama pada keadaan akut dapat diberikan melalui oral, transdermal, intravena, dan intramuskular. Analgesik non opioid dibedakan menjadi 2 golongan, 1) non asam, antipiretik analgesik seperti pirazolon (metamizol) dan derivat aniline (paracetamol), 2) non steroidal antiinflammatory drugs (NSAID) seperti, salisilat (asam asetilsalisilat), derivat asam propionik (ibuprofen, naproxen), asam asetat (indometacin, diklofenak), asam enolik (piroxicam, meloxicam), asam antranil (mefenamin). Mekanisme kerja analgesik non-opioid dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX). Terdapat 2 jenis enzim ini, yaitu, COX-1 dan COX-2. Mekanisme tersebut melibatkan blokade dari produksi prostaglandin dengan menghambat enzim siklooksigenase pada jaringan yang terluka di perifer. Sehingga menurunkan mediator-mediator nyeri di sistem saraf perifer. Enzim COX mengkatalisis produksi prostaglandin dari asam arakhidonat. Efek samping yang paling sering terjadi adalah gangguan gastrointestinal, perdarahan, dan kerusakan pada hepar dan ginjal.

30

DAFTAR PUSTAKA 1. 2.

3. 4. 5. 6. 7.

8.

9.

10.

11. 12.

13.

Tan HT, Rahadja K. Obat-Obat Penting. 7th ed. Jakarta: Elex Media Komputindo; 2015. Breivik H. International Association for the Study of Pain : Update on WHO-IASP Activities IASP and WHO in the Age of the World. J Pain Symptom Manage. 2002;24(2):97–101. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. 6th ed. Yesdelita N, editor. Jakarta: EGC; 2012. Aruna V, Abdul A, Gv A, Gayathri R. An Innovative Product for Pain Management : Proof from Clinical Trial. J Pain Manag Med. 2017;3(1):1–5. Guyton AC. Guyton Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. 3rd ed. Andrianto P, editor. Jakarta: EGC; 2013. Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Setiabudy R, Nafrialdi, editors. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. 694-700 p. Setiawan I, Oktaliansah E, Boom CE. Perbandingan Pemulian Bising Usus Pasien Pasca Operasi Histerektomi per Laparotomi Menggunakan Analgetika Kombinasi KetaminMorfin dengan Morfin Intravena. J Anestesi Perioper. 2014;2(1):55–62. Utomo suryadi budi, Sanubari F, Nurhayati nanik dwi. Analysis of a Quantitative Relationship Between the Structure and Analgesic Activity of Meperidin Derivatives Using Semi-Empirical AM1 Method. J Kim dan Pendidik Kim. 2018;(March):158–68. Anderson C, Mackay M. Stability of Fentanyl Citrate, Hydromorphone Hydrochloride, Ketamine Hydrochloride, Midazolam, Morphine Sulfate, and Pentobarbital Sodium in Polypropylene Syringes. Pharmacy. 2015;3:379–85. Seo DK, Lee CJ, Kim JS. A Comparison of Oxycodone and Fentanyl in the Management of Early Postoperative Pain and For Patient-Controlled Analgesia After Total Abdominal Hysterectomy. Clin Res. 2016;176–81. Hwang B, Kwon J, Kim E, Lee D, Kim T, Kim H. Oxycodone vs . Fentanyl PatientControlled Analgesia after Laparoscopic Cholecystectomy. Int J Med Sci. 2014;11:8–12. Dewi GP, Nugroho TE. Pengaruh pemberian analgesik kombinasi parasetamol dan tramadol terhadap kadar kreatinin serum tikus wistar. J Kedokt Diponegoro [Internet]. 2016;5(4):917–25. Available from: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico Zahra AP, Carolia N. Obat Anti-inflamasi Non-steroid ( OAINS ): Gastroprotektif vs Kardiotoksik Non-steroidal Anti-inflammatory Drugs ( NSAIDs ): Gastroprotective vs Cardiotoxic. Majority. 2017;6:153–8.

Related Documents

Referat
May 2020 53
Referat Skizoid.docx
April 2020 17
Referat Carotid.docx
November 2019 20
Referat Faringitis.pptx
December 2019 28
Referat Cont.docx
December 2019 26

More Documents from ""