REFERAT Hipertensi Dalam kehamilan
Oleh : Hilda Habibah 2017204010111666
Pembimbing : dr. Adi Nugroho, Sp.OG
SMF/BAG ILMU OBSTETRI GYNEKOLOGY RSUD KABUPATEN JOMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2018 1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masih cukup tinggi. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007 angka kematian ibu adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup, dan pada tahun 2012 angka kematian ibu mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang pengelolaan hipertensi dalam kehamilan harus benar-benar dipahami oleh semua tenaga medik baik di pusat maupun di daerah. Menurut World Health Organization (WHO), salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin adalah pre-eklampsia (PE), angka kejadiannya berkisar antara 0,51%-38,4%. Di negara maju angka kejadian preeklampsia berkisar 6-7% dan eklampsia 0,1-0,7%. Sedangkan angka kematian ibu yang diakibatkan pre-eklampsia dan eklampsia di negara berkembang masih tinggi. Beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi pada kehamilan antara lain: kekurangan cairan plasma akibat gangguan pembuluh darah, gangguan ginjal, gangguan hematologis, gangguan kardiovaskuler, gangguan hati, sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, low platelet count), serta gangguan pada janin seperti pertumbuhan terhambat, prematuritas hingga kematian dalam rahim. Hipertensi pada kehamilan juga dapat berlanjut menjadi preeklampsia dan eklampsia yang dapat menyebabkan kematian pada ibu dan janin.
2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Preeklampsia Preeklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria akibat dari kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. (Cunningham, 2010) Edema,
dahulu
edema
tungkai,
dipakai
sebagai
tanda-tanda
preeklampsia, tetapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali edema generalisata (anasarka). Perlu dipertimbangkan faktor resiko timbulnya
hipertensi
dalam
kehamilan,
bila
didapatkan
edema
generalisata, atau kenaikan berat badan > 0,57 kg/ minggu (Prawirohardjo, 2010). 2.2
Klasifikasi Berdasarkan tingkat keparahannya, preeklamsia dibagi menjadi dua, yaitu
preeklamsia dan preeklamsia berat. a.
Pre-eklampsia ringan, adalah suatu keadaan pada ibu hamil disertai kenaikan tekanan darah sistolik 140/90 mmHg atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal dan adanya proteinuria >3 gr per liter atau kuantitatif 1+ atau 2+ pada urin kateter atau midstream.
b.
Pre-eklampsia berat, adalah suatu keadaan pada ibu hamil bila disertai kenaikan tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih, adanya proteinuria 5 gr atau lebih per liter dalam 24 jam atau kuantitatif 3+ atau kuantitatif 4+, adanya oliguria (jumlah urin kurang dari 500cc per jam), adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, rasa nyeri di epigastrium, adanya tanda sianosis, edema paru,
3
trombositopeni, gangguan fungsi hati, serta yang terakhir adalah pertumbuhan janin terhambat. c.
Eklampsia merupakan preeklampsia yang disertai kejang dan disusul dengan koma. (ACOG, 2002)
2.3 Etiologi Preeklampsia Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas.Banyak teori telah dikemukakan, namun tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah : a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta. Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata memberi cabang arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang arteria spiralis. Pada hamil normal dengan sebab yang belum jelas terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan remodelling arteri spiralis. Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis
4
relatif vasokonstriksi dan terjadi kegagalan remodelling arteri spiralis sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan perubahanperubahan yang dapat menjelaskan patogenesis Hipertensi dalam kehamilan selanjutnya. Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron, sedangkan pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali darah ke utero plasenta (Prawirohardjo, 2010).
Gambar 2.1 Perbandingan antara kehamilan normal dengan preeklampsia b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel. 1. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi throphoblast, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri spirales“, dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidant (disebut juga Radikal bebas). Oksidant atau radikal bebas adalah: senyawa penerima elektron atau atom/molekul yang
mempuinyai elektron
yang tidak berpasangan. Salah satu oksidant penting yang dihasilkan 5
plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membrane sel endothel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidant pada manusia adalah proses normal, karena dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya bahan toxin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut “toxaemia”. Radikal hidroksil akan merusak membrane sel,yang mengandung banyak asam lemak
tidak jenuh menjadi
peroksida lemak.Peroksida lemak selain akan merusak membran sel,juga akan merusak nucleus,dan protein sel endothel. Produksi oksidant (Radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produksi antioksidant. Anti oksidant dibagi menjadi :
Antioksidan
pencegah
terbentuknya
oksidant
atau
antioksidant enzymatic: misalnya : transferin, seruloplasmin, katalase, peroksidase glutation.
Antioksidant pemutus rantai oksidant atau antioksidant non enzymatic
misalnya : vitamin E, vitamin C, dan (beta)
karotin. 2.
Peroksida lemak sebagai oksidant pada HDK Pada Hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar
oksidan,
khususnya
peroksida
lemak
meningkat,
sedangkan
antioksidan misal vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap
6
oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak. 3. Disfungsi sel endotel Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak maka akan terjadi kerusakan sel endotel yang kerusakannya dimulai dari membran
sel
endotel.
Kerusakan
membran
sel
endotel
mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut disfungsi endotel. Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi:
Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin, suatu vasodilator kuat.
Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal perbandingan prostasiklin dan tromboksan lebih tinggi prostasiklin. Pada preeklampsia tromboksan lebih tinggi
dibanding
prostasiklin
sehingga
terjadi
vasokonstriksi, terjadi kenaikan tekanan darah.
Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus.
Peningkatan permeabilitas kapiler.
Peningkatan produksi bahan-bahan vasopressor yaitu endotelin. Kadar NO menurun sedangkan endotelin meningkat.
7
c.
Peningkatan faktor koagulasi.
Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin. Dugaan
bahwa
imunologik
berperan
terhadap
terjadinya
Hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut:
Primigravida mempunyai resiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida.
Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai resiko lebih besar terjadinya HDK jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.
Seks oral mempunyai resiko lebih rendah terjadinya Hipertensi dalam kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin lama periode ini makin kecil terjadinya Hipertensi dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan oleh human leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh NK sel ibu. Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, disamping untuk menghadapi NK sel ibu. Pada plasenta HDK terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLAG juga merangsang produksi sitokin sehingga memudahkan terjadinya 8
reaksi inflamasi. Kemungkinan terjadi immune maladaptation pada preeklampsia. Pada awal trisemester kedua kehamilan perempuan
yang
mempunyai kecenderungan terjadi preeklampsia ternyata mempunyai proporsi Helper sel yang lebih rendah dibanding pada normotensif (Prawirohardjo, 2010). d. Teori adaptasi kardiovaskular genetik Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan vasopressor. Refrakter berati pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan vasopressor atau dibutuhkan kadar vasopressor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan normal terjadinya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya refrakter terhadap bahan vasopressor akan hilang bila diberi prostaglandin sintesis inhibitor. Prostaglandin ini ternyata dikemudian hari adalah prostasiklin. Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopressor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopressor hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopressor.
Banyak peneliti telah
membuktikan, bahwa peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopressor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi pada trimester I (pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi HDK, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya HDK (Prawirohardjo, 2010). e. Teori genetik Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu lebih menetukan terjadinya HDKsecara familial jika
9
dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia (Prawirohardjo, 2010). f. Teori defisiensi gizi Penelitian yang pernah dilakukan di Inggris ialah tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden Hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan, bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk minyak hati halibut dapat mengurangi risiko preeklampsia. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang : -
menghambat produksi thromboxane
-
menghambat aktivasi thrombocyte
-
mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan uji klinik untuk memakai konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam lemak tak jenuh dalam
mencegah preeklampsia.Hasil
sementara
menunjukkan bahwa penelitian ini berhasil baik dan mungkin dapat dipakai sebagai alternative pemberian aspirin. Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi calcium pada diet wanita hamil mengakibatkan resiko terjadinya preeklampsia / eklampsia.Penelitian di Negara Equador Andes dengan metode uji klinik, ganda tersamar, dengan membandingkan pemberian calcium dan placebo.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen kalsium cukup, kasus yang mengalami preeklampsia adalah 14% sedang yang diberi glukosa 17% (Prawirohardjo, 2010). g. Teori inflamasi
10
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stress oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda dengan proses apotosis pada preeklampsia, dimana pada preeklampsia terjadi peningkatan stres oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda maka pada reaksi stress oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan mengaktifkan sel endotel, dan sel-sel makrofag/ granulosit, yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu (Prawirohardjo, 2010).
11
Kegagalan invasi throphoblast ke dalam arteri spiralis
Vasokonstriksi arteri spiralis
Iskemia plasenta Produksi radikal bebas (oksidant) : radikal hidroksil OH-
Oksidasi asam lemak tidak jenuh pada membran sel endothel Menghasilkan peroksida lemak (radikal bebas : oksidant)
Disfungsi endothel dengan segala akibatnya
Prostacyclin turun
agregasi trombosit
Thromboxane meningkat
ekstravasasi
thromboxane meningkat
Peningkatan kepekaan vaskuler terhadap bahan vasoaktif
Vasokonstriksi lumen pembuluh darah
Hipovolemia
Aliran darah ke regional menurun
Gambar 2.2 Garis besar patogenesis preeklampsia berdasar teori preeklampsia
12
2.4 Faktor resiko Faktor resiko pre eklampsia, antara lain :
Ibu hamil yang mengalami pre eklampsia pada kehamilan saat ini memiliki resiko pre eklampsi kembali pada kehamilan berikutnya
Riwayat keluarga dengan pre eklampsia meningkatkan resiko pre eklampsia
Wanita yang menderita pre eklampsia namun tidak memiliki riwayat keluarga menderita pre eklampsia meningkatkan resiko 4 kali lipat untuk terjadi severe pre eklampsia
Kondisi medis lain seperti hipertensi kronis, diabetes melitus, penyakit ginjal, sindroma metabolik
Ibu hamil yang terlalu muda
gemeli, molahidatidosa
2.5 Perubahan pada Sistem Tubuh dan Organ a. Otak Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi. Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan penguat endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan petekie atau perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri. Dilaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam batas normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia. Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak, sehingga menimbulkan vasogenik edema. Penyebab kejang eklamptik belum diketahui dengan
13
jelas. Faktor-faktor yang menimbulkan kejang eklamptik ialah edem serebri, vasospasme serebri dan iskemia serebri. Perdarahan intrakranial meskipun jarang, dapat terjadi pada preeklampsia berat dan eklampsia (Cunningham, 2010; Prawirohardjo, 2010).
b. Mata Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Pada preeklampsia dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan edema intraokuler dan merupakan indikasi untuk dilakukannya terminasi kehamilan. Ablasio retina ini biasanya disertai kehilangan penglihatan. Selama periode 14 tahun, ditemukan 15 wanita dengan preeklampsia berat dan eklampsia yang mengalami kebutaan yang dikemukakan oleh Cunningham (1995). Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina (Cunningham, 2010).
c.
Paru Penderita preeklampsia berat mempunyai resiko besar terjadinya edema paru. Edema paru dapat disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapiler paru dan menurunnya diuresis (Cunningham, 2010). Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa diakibatkan oleh kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada beberapa kasus terjadinya edema paru berhubungan dengan adanya peningkatan cairan yang sangat banyak. Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan tekanan onkotik koloid
14
plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati (Prawirohardjo, 2010).
d. Kardiovaskular Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload akibat hipertensi dan penurunan cardiac preload akibat hipovolemia (Prawirohardjo, 2010).
e. Hati Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta. Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk (1994), dengan menggunakan sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika. Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul hepar dan membentuk hematom subkapsular (Cunningham, 2010). Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia dan perdarahan. Bila terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini dapat meluas hingga di bawah kapsula hepar dan disebut subkapsular hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan nyeri di daerah epigastrium dan menimbulkan rasa nyeri di daerah epigastrium dan dapat menimbulkan ruptur hepar, sehingga perlu pembedahan (Prawirohardjo, 2010).
15
f. Ginjal Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia, glomeruloendoteliosis, adalah pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat. Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnyavolume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl. Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan retensi garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan juga retensi air. Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat proteinuria. Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita mungkin sudah melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994) menekankan bahwa yang diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka mendapatkan bahwa proteinuria +1 atau lebih dengan dipstick memperkirakan minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam pada 92% kasus. Sebaliknya, proteinuria yang samar (trace) atau negatif memiliki nilai prediktif negatif hanya 34% pada wanita hipertensif. Kadar dipstick
16
urin +3 atau +4 hanya bersifat prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36% kasus. Seperti
pada
glomerulopati
lainnya,
terjadi
peningkatan
permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi Filtrasi yang menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun, bahkan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria. Lee (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel normal pada tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria dan menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal. Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin, globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin (Cunningham, 2010). Perubahan fungsi ginjal disebabkan oleh hal-hal berikut :
Menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia sehingga terjadi oliguria bahkan anuria.
Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan protenuria. Proteinuria terjadi jauh pada akhir kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria, karena janin lebih dulu lahir.
Terjadi glomerular capillary endotheliosis akibat sel endotel glomerular membengkak disertai deposit fibril.
Gagal ginjal akut terjadi akibat nekrosis tubulus ginjal. Bila sebagian besar kedua korteks ginjal mengalami nekrosis, maka terjadi nekrosis
korteks
ginjal
yang bersifat
ireversibel.
Dapat terjadi kerusakan intrinsik jaringan ginjal akibat vasospasme
pembuluh
17
darah.
Dapat
diatasi
dengan
pemberian dopamin agar terjadi vasodilatasi pembuluh darah ginjal. Bila proteinuria timbul :
Sebelum hipertensi, umumnya merupakan gejala penyakit ginjal.
Tanpa hipertensi maka dapat dipertimbangkan sebagai penyulit kehamilan.
Tanpa kenaikan tekanan darah diastolik ≥90 mmHg umumnya ditemukan pada infeksi saluran kencing atau anemia. Jarang ditemukan proteinuria pada tekanan diastolik <90 mmHg.
Proteinuria merupakan syarat untuk diagnosis preeklampsia, teapi proteinuria umumnya timbul jauh pada akhir kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria karena janin sudah lahir lebih dulu.
Pengukuran proteinuria dapat dilakukan dengan urin dipstick: 100 mg/l atau +1, sekurang-kurangnya diperiksa 2 kali urin acak selang 6 jam dan pengumpulan proteinuria dalam 24 jam. Dianggap patologis bila besaran proteinuria ≥300 mg/ 24 jam. Asam urat serum umumnya meningkat ≥5mg/cc. Hal ini
dapat
disebabkan
oleh
hipovolemia
yang
menimbulkan
menurunnya aliran darah ginjal dan mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus, sehingga menurunnya sekresi asam urat. Peningkatan asam urat dapat terjadi juga akibat iskemia jaringan . Sama halnya dengan kadar asam urat serum, kadar kreatinin plasma pada preeklampsia juga meningkat. Hal ini disebabkan oleh hipovolemia, maka aliran darah ginjal menurun, mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus, sehingga menurunnya sekresi kreatinin, disertai peningkatan kreatinin plasma. Dapat mencapai kadar kreatinin plasma ≥1mg/cc dan biasanya terjadi pada preeklampsia berat dengan penyulit pada ginjal.
18
Oliguria dan anuria terjadi karena hipovolemia sehingga aliran darah ke ginjal menurun yang mengakibatkan produksi urin menurun (oliguria), bahkan dapat terjadi anuria. Berat ringannya oliguria menggambarkan berat ringannya hipovolemia. Hal ini berarti menggambarkan pula berat ringannya preeklampsia (Prawirohardjo, 2010).
g. Darah Perubahan hematologik disebabkan oleh hipovolemia akibat vasospasme. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan hematokrit akibat hipovolemia, peningkatan viskositas darah, trombositopenia dan gejala hemolisis mikroangiopatik. Disebut trombositopenia bila trombosit <100.000 sel/ml. Hemolisis dapat menimbulkan destruksi eritrosit. Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/μl yang ditemukan pada 15-20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada pasien preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Pada hamil normal volume plasma meningkat dengan bermakna (hipervolemia),
guna
memenuhi
kebutuhan
pertumbuhan
janin.
Peningkatan tertinggi volume plasma pada hamil normal terjadi pada umur kehamilan 32-24 minggu. Sebaliknya oleh sebab yang tidak jelas pada preeklampsia terjadi penurunan volume plasma antara 30%-40% dibanding hamil normal, disebut hipovolemia. Hipovolemia diimbangi dengan vasokonstriksi sehingga terjadi hipertensi. Volume plasma yang menurun memberi dampak yang luas pada organ-organ penting. Preeklampsia sangat peka terhadap pemberian cairan intravena yang terlalu cepat dan banyak. Demikian sebaliknya preeklampsia sangat peka terhadap kehilangan darah waktu persalinan. Oleh karena itu observasi cairan masuk ataupun keluar harus ketat. Viskositas darah ditentukan oleh volume darah, molekul makro: fibrinogen dan hematokrit. Pada preeklampsia viskositas darah
19
meningkat,
mengakibatkan
meningkatnya
resistensi
perifer
dan
menurunnya aliran darah ke organ. Pada hamil normal hematokrit menurun karena hipervolemia, kemudian meningkat lagi pada trisemester III akibat peningkatan produksi urin. Pada preeklampsia hematokrit meningkat karena hipovolemia
yang
menggambarkan
beratnya
preeklampsia
(Prawirohardjo, 2010). Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa menetap selama seminggu (Cunningham, 2010).
h. Sistem Endokrin dan Metabolism Air dan Elektrolit Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang sehingga proses penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar aldosteron dalam darah. Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida natriuretik atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya resistensi vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia. Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum diketahui penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan
20
kenaikan hematokrit, peningkatan protein serum, edema yang dapat menyebabkan berkurangnya volume plasma, viskositas darah meningkat dan waktu peredaran darah tepi meningkat. Hal tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang dan terjadi hipoksia. Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak dibandingkan pada ibu
hamil normal. Penderita
preeklampsia tidak dapat mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal tidak mengalami perubahan. Kadar elektrolit total menurun pada waktu hamil normal. Pada preeklampsia kadar elektrolit total sama seperti hamil normal, kecuali bila diuretikum banyak, restriksi konsumsi garam atau pemberian cairan oksitosin yang bersifat antidiuretik. Preeklampsia berat yang mengalami hipoksia dapat menimbulkan gangguan keseimbangan asam basa. Pada waktu terjadi kejang eklampsia kadar bikarbonat menurun, disebabkan timbulnya asidosis laktat dan akibat kompensasi hilangnya karbondioksida. Kadar natrium dan kalium pada preeklampsia sama dengan kadar hamil normal, yaitu sesuai dengan proporsi jumlah air dalam tubuh. Karena kadar kalium dan natrium tidak berubah pada preeklampsia, maka tidak terjadi retensi natrium yang berlebihan. Ini berarti pada preeklampsia tidak diperlukan restriksi konsumsi garam (Cunningham, 2010).
i. Janin Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat kurangnya oksigenisasi untuk janin (Cunningham, 2010). Preeklampsia dan eklampsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin yang disebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta,
21
hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta. Dampak preeklampsia dan eklampsia pada janin adalah :
IUGR dan oligohidramnion
Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak langsung akibat
intrauterine
growth
restriction,
prematuritas,
oligohidramnion dan solusio plasenta (Prawirohardjo, 2010).
2.6 Diagnosa Kriteria diagnosis untuk hipertensi dalam kehamilan: 1. Hipertensi Gestasional: Tekanan darah ≥140/90mmHg setelah 20 minggu kehamilan tanpa riwayat hipertensi sebelumnya. 2. Hipertensi-preeklampsia: a. Proteinuria: i. ≥300mg/24 jam, atau ii. Protein: rasio kreatinin ≥0.3 atau iii. Dipstick +1 persisten b. Trombositopenia: Platelet < 100,000/µL c. Insufisiensi ginjal: Kreatinin > 1.1mg/dL atau peningkatan dua kali lipat dari batas awal. d. Keterlibatan liver: Serum transaminase dua kali lipat normal. e. Gejala serebral: Nyeri kepala, gangguan penglihatan, kejang. f. Edema pulmonum. Indikator keparahan dari kelainan hipertensi gestasional: Abnormalitas
Non-severe
Severe
Diastol
< 110 mmHg
≥ 110 mmHg
Sistol
< 160 mmHg
≥160 mmHg
Proteinuria
(-) hingga (+)
(-) hingga (+)
Nyeri kepala
(-)
(+)
Gangguan penglihatan
(-)
(+)
Nyeri epigastrik
(-)
(+)
22
Oliguria
(-)
(+)
Konvulsi
(-)
(+)
Serum kreatinin
Normal
Meningkat
(-)
(+)
Serum transaminase↑
Minimal
Bermakna
Hambatani pertumbuhan
(-)
Jelas
(-)
(+)
Trombositopenia (<100,000/µL)
janin Edema pulmonum
Pembagian preeklampsia berat. Dibagi menjadi (a) preeklampsia berat tanpa impending eclampsia dan (b) preeklampsia berat dengan impending eclampsia. Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala
23
subyektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.
2.7 Penatalaksanaan Preeklampsia Perawatan dan pengobatan preeklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. 1. Pemberian obat anti kejang a. MgSO4 (Magnesium sulfat), cara pemberiannya: -
Loading dose: initial dose, yaitu: 4 gram MgSO4 20% intravena diencerkan dalam 100 cc PZ, selama 15 menit kemudian dilanjutkan MgSO4 40 % 10gr yang dilarutkan dalam 500 cc PZ/RD5 selama 6 jam.
-
Maintenance dose yaitu 10 gram MgSO4 40% intravena yang dilarutkan dalam 500 cc PZ/RD5 selama 12 jam.
Syarat-syarat pemberian: 1) Harus tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi yaitu Kalsium Glukonas 10% = 1 g (10% dalam 10cc) diberikan intravena 3 menit. 2) Reflek patella (+) 3) Respirasi > 16x/menit 4) Urine >150cc/6 jam atau >500cc/24 jam. 5) DJJ dalam batas normal (120-160 x/menit) 6) MgSO4 dihentikan bila ada tanda-tanda intoksikasi atau setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang berakhir. b. Diazepam atau dapat juga digunakan Fenitoin. Fenitoin sodium mempunyai khasiat stabilisasi membran neuron, cepat masuk jaringan otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg BB dengan pemberian intravena 50 mg/menit.
24
2. Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru, payah jantung kongestif atau edema anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah Furosemida. 3. Pemberian antihipertensi Batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg dan atau tekanan diastolik ≥110 mmHg. Tekanan diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai <160/105 atau MAP <125 4. Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindroma HELLP.
2.8 Pengobatan Preeklampsia Pada perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia ringan, maka dibagi menjadi dua unsur : a) Sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat-obatan atau terapi medisinalis. b) Sikap terhadap kehamilannya i.
Konservatif : memberi pengobatan kehamilan ditunggu sampai aterm
ii.
Aktif : manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika stabil.
A. Sikap terhadap penyakitnya (pengobatan medikamentosa) 1.
Segera masuk rumah sakit untuk rawat inap.
2.
Tirah baring miring ke satu sisi (kiri)
3.
Pengelolaan cairan a. Pemberian cairan intravena : 1) Cairan yang diberikan adalah 5 % Ringer-dectrose atau cairan garam faali, jumlah tetesan :< 125 cc/jam.
25
2) Atau Infuse Dextrose 5%. Yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus Ringer lactate (60-125 cc/jam) 500 cc. 3) Dipasang Foley Catheter : untuk mengukur output urine Oliguria terjadi bila produksi urine <30 cc/jam dalam 2-3 jam atau <500 cc/ 24jam. 4. Antasida: untuk menetralisir asam lambung, bila mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. 5. Diet : cukup protein; rendah karbohidrat, lemak dan garam. 6. Pemberian obat anti kejang :
MgSO4 Cara Pemberian MgSO4 : Loading dose : 4 gram MgSO4 20% intravena diencerkan dalam 100 cc PZ, selama 15 menit kemudian dilanjutkan MgSO4 40 % 10gr yang dilarutkan dalam 500 cc PZ/RD5 selama 6 jam. Maintenance dose : 10 gram MgSO4 40% intravena yang dilarutkan dalam 500 cc PZ/RD5 selama 12 jam. Syarat pemberian o Reflek patella (+) o Frekuensi nafas > 16 kali per menit o Diuresis lebih dari 150 ml dalam 6 jam sebelumnya o Harus tersedia calcium gluconas 1gr 10% (antidotum MgSO4)
7.
Obat –obatan lain : Diazepam atau Fenitoin
Diuretikum tidak diberikan; kecuali bila ada :edema paru-paru, payah jantung kongestip, dan anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah Furosemida. Pemberian diuretikum memberi kerugian :memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi dan menimbulkan dehidrasi pada janin, penurunan berat janin.
8. Anti hipertensi diberikan bila : Tekanan sistolik ≥ 180 mmHg, Tekanan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap :
26
a.
penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik
b.
tekanan darah diturunkan mencapai : -
< 160/105 -
MAP< 125
Antihipertensi lini pertama Nifedipin. Dosis 10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit; maksimum 120 mg dalam 24 jam.
Antihipertensi lini kedua Sodium nitroprusside : 0,25 g i.v./ kg / menit, infus; ditingkatkan 0,25 g/ kg/ 5 menit, Diazokside : 30-60 mg i.v./5 menit; atau i.v infus 10 mg/ menit / dititrasi.
9.
Edema paru. Pada preeklampsia berat dapat terjadi akibat kardiogenik (payah jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non-kardiogenik (akibat kerusakan sel endothel pembuluh darah kapiler paru). Prognosis preeklampsia berat menjadi buruk bila edema paru disertai oliguria.
10. Lain-lain a.
Obat-obat antipiretika, diberikan bila suhu rectal diatas 38.5O C. Dapat dibantu dengan pemberian kompres dingin atau alkohol
b.
Antibiotika : diberikan atas indikasi
c.
Anti nyeri, bila penderita kesakitan/gelisah; karena konstraksi rahim dapat diberikan pethidin HCL 50–75 mg. Sekali saja (selambatlambatnya 2 jam sebelum janin lahir).
11. Glukokortikoid. Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin, tidak merugikan ibu. Glukokortikoid diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, selama 2 kali 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP.
B. Sikap terhadap kehamilannya Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan; maka perawatan dibagi menjadi :
27
1. Aktif (aggressive management) berarti : kehamilan segera diakhiri / diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan medicinal. 2. Konservatif (ekspektatif) berarti : kehamilan tetap dipertahankan bersamaan memberi pengobatan medikamentosa. Perawatan Aktif -
Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan satu / lebih keadaan dibawah ini : - Ibu : o Umur kehamilan 37 minggu. o Adanya
tanda-tanda/
gejala-gejala
impending
eclampsia. o Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan laboratorik memburuk. o Diduga terjadi solusio plasenta. o Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan. - Janin : o Adanya tanda-tanda fetal distress. o Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction. o NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal. o Terjadinya oligohidramnion. - Laboratorik : o Adanya tanda-tanda “Sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit dengan cepat.
- Cara mengakhiri kehamilan dilakukan berdasarkan keadaan obstetric , apakah sudah inpartu atau belum.
28
Belum inpartu : 1) Induksi persalinan (biasanya dengan oxytocin drip bila PS ≥5) bila NST baik, atau 2) Bila PS ≤5, diberikan misoprostol 25-50 mg/vag/6 jam, maksimal 24 jam dari pemberian pertama.
PELVIC SCORE
Gambar 2.3 Pelvic Score 3) Sectio Caesarea, bila NST jelek atau syarat induksi tidak dipenuhi atau adanya kontra indikasi oxytocin drip atau oxytocin drip gagal.
Sudah Inpartu : 1) Kala I diikuti sesuai dengan grafik Friedman, dan manajemennya bila terjadi kelainan-kelainan grafik Friedman, atau dengan partograf WHO. 2) Pada persalinan pervaginam, maka kala II diselesaikan dengan partus buatan (ibu tidak boleh mengejan).
29
Perawatan Konservatif Pada kehamilan kurang dari 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik, dilakukan penanganan konservatif. Pengobatan medikamentosa sama dengan penanganan aktif. MgSO4 diberikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan, selambatnya dalam waktu 24 jam. Bila sesudah 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan dan harus segera dilakukan terminasi. Penderita boleh pulang jika penderita kembali ke gejala – gejala atau tanda – tanda preeklampsia ringan. Perawatan konservatif dianggap gagal jika :
Ada tanda – tanda impending eklampsia
Kenaikan progresif tekanan darah
Ada sindroma HELPP
Ada kelainan fungsi ginjal
Penilaian kesejahteraan janin jelek (Prawirohardjo, 2010).
30
31
2.9 Komplikasi Preeklampsia 1. Penyulit ibu a. Sistem saraf pusat: perdarahan intrakranial, trombosis vena sentral, hipertensi ensefalopati, edema serebri, edema retina, macular atau retina detachment dan kebutaan korteks, eklampsia. b. Gastrointestinal-hepatik: subskapular hematoma hepar, rupture kapsul hepar. c. Ginjal: gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut. d. Hematologik: trombositopenia dan hematoma luka operasi. e. Kardiopulmonar: edema paru kardiogenik atau non kardiogenik, depresi atau arrest pernapasan, cardiac arrest, iskemia miokardium. f. Lain-lain: asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendalikan 2. Penyulit janin Penyulit yang dapat terjadi pada janin ialah intrauterine fetal growth restriction, solusio plasenta, prematuritas, sindroma distress napas, kematian
janin
intrauterine,
kematian
neonatal
intraventrikular,
necrotizing, sepsis, cerebral palsy
2.10 Prevensi Pemberian antiplatelet agent Telah
ada
hipotesis
bahwa
perubahan
sistemik
keseimbangan
prostasiklin-tromboksan berkontribusi pada preeklampsia. Lebih lanjut, inflamasi meningkat pada preeklampsia. Aspirin dosis-rendah (81 mg atau kurang), sebuah agen anti-inflamasi dapat memblok produksi tromboksan. Dalam sebuah studi, pada wanita dengan resiko tinggi preeklampsia, percobaan awal menunjukkan efek perlindungan yang signifikan. Aspirin dosis-rendah cenderung aman tanpa efek samping besar atau bukti peningkatan perdarahan atau abruptio placentae. Jika digunakan, harus dimulai pada akhir trimester pertama. Intervensi nutrisi. Modifikasi gaya hidup.
32
Latihan rutin telah menjadi hipotesis untuk mencegah preeklampsia dengan cara meningkatkan fungsi vaskular. Pada wanita tidak hamil, latihan sedang dapat menurunkan hipertensi dan penyakit kardiovaskular (ACOG, 2013).
33
DAFTAR PUSTAKA
1. ACOG, 2002. Practice Bulletin : Diagnosis and Management of Preeclampsia and Eclampsia. 33 http://www.pqcnc.org/documents/cmop/cmopresources/PQCNCCMOPAG OGBulletin33.pdf 2. ACOG, 2013. Task Force on Hypertension in Pregnancy. https://www.acog.org/~/media/Task%20Force%20and%20Work%20Grou p%20Reports/public/HypertensioninPregnancy.pdf
3. Angsar, M. Dikman, 2014. Hipertensi dalam Kehamilan dalam Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo editor Abdul Bari Saifuddin, Jakarta: YBPSP
4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL et al. 2010. Williams Obstetri 23rd. Jakarta: EGC 5. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL et al. 2014. Williams Obstretri 24th. McGrawhills education
6. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP. SP
34