Refarat Fix.docx

  • Uploaded by: Rahma Daris
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Refarat Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,015
  • Pages: 13
REFARAT

Juli, 2018

“INSECT BITE REACTION”

Disusun Oleh:

NAMA

: RISWANDHA

NIM

: N 111 17 070

PEMBIMBING KLINIK dr. Diany Nurdin, Sp. KK, M.KES

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2018

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Reaksi gigitan serangga (insect bite reaction) adalah reaksi hipersensitivitas atau alergi pada kulit akibat gigitan (bukan terhadap sengatan/stings), dan kontak dengan serangga. Gigitan hewan serangga, misalnya oleh nyamuk, lalat, bugs, dan kutu, yang dapat menimbulkan reaksi peradangan yang bersifat lokal sampai sistemik.1 Data yang dikumpulkan Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) pada tahun 2002, dari Bagian IP. Kulit dan Kelamin di 7 Rumah Sakit di Indonesia didapatkan sejumlah 214 kasus yang didiagnosis sebagai insect bites. Sebagai perbandingan, penyakit kulit pada anak di Queen Sirikit Hospital Bangkok termasuk ke-2 terbanyak, yaitu 1131 (16%) dari 7000 pasien. Di Indonesia belum ada laporan kematian akibat gigitan atau sengatan serangga, hal ini berbeda dengan di luar negeri.2 Penyakit ini ditandai dengan Reaksi hipersensitivitas yang dapat dimanifestasikan sebagian besar lesi pada kulit berupa papul, dan kadangkadang seperti vesikel, melepuh atau luka mengering. Kadang, sebagai hasil dari gigitan, pasien dengan rasa gatal yang menetap dapat menghasilkan pigmen yang hipo atau hiperkromik di kulit, infeksi berat dan jaringan parut.3

2. Tujuan Tujuan dari penulisan Refarat ini untuk menguraikan mengenai definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang dan pengobatan terhadap reaksi gigitan serangga atau biasa dikenal dengan insect bite reaction.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gigitan serangga atau Insect bite Adalah kelainan akibat gigitan atau tusukan serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin atau alergen yang dikeluarkan artropoda penyerang.4 Reaksi kulit terhadap gigitan arthropoda adalah reaksi inflamasi dan atau alergi, ditandai dengan erupsi yang sangat gatal di lokasi gigitan beberapa jam hingga hari setelah gigitan, dimanifestasikan seperti papul urtikariayang soliter atau berkelompok, papul, vesikel, dan / atau bula yang menetap beberapa hari sampai berminggu-minggu.

pasien sering tidak

menyadari telah digigit. Dalam beberapa kasus, gejala sistemik dapat terjadi, mulai dari ringan hingga berat, dengan kematian yang terjadi akibat syok anafilaktik.5

2.2 Epidemiologi Insidens sesungguhnya sukar diketahui, namun cenderung terjadi peningkatan pada musim semi dan panas di negara 4 musim dan di musim panas di negara 2 musim, termasuk di iklim tropis, antara lain di Indonesia. Laki-laki dan perempuan dapat terkena papular urtikaria, namun pada ras tertentu seperti Asian dan Nigeria, terdapat kecenderungan lebih sering terjadi pada perempuan. Juga terdapat kecenderungan lebih sering pada anak-anak dibandingkan orang dewasa. Lesi kulit biasanya swasirna (self-limited).2 Data yang dikumpulkan Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) pada tahun 2002, dari Bagian IP. Kulit dan Kelamin di 7 Rumah Sakit di Indonesia didapatkan sejumlah 214 kasus yang didiagnosis sebagai insect bites. Sebagai perbandingan, penyakit kulit pada anak di Queen Sirikit Hospital Bangkok termasuk ke-2 terbanyak, yaitu 1131 (16%) dari 7000 pasien. Di Indonesia belum ada laporan kematian akibat gigitan atau sengatan serangga, hal ini berbeda dengan di luar negeri.2

2.3 Etiologi Lima dari sembilan

jenis arthropoda menyebabkan reaksi lokal dan

sistemik terkait dengan gigitan mereka: Arachnida, Chilopoda, Diplopoda, Crustacea, Insecta.5 I. Arachnida

(empat pasang kaki): tungau, caplak, laba-laba,

kalajengking A. Acarina 1. Tungau: Sarcoptes 2. Kutu. B. Araneae: laba-laba. C. Scorpionida II. Chilopoda dan Diplopoda: lipan. III. Insecta (tiga pasang kaki) A. Anoplura: kutu (Phthirius dan Pediculus). B. Coleoptera: kumbang. C. Diptera: nyamuk, lalat hitam. D. Hemiptera: kutu, kissing bug. E. Hymenoptera: semut, lebah, tawon. F. Lepidoptera: ulat, kupu-kupu, ngengat.

2.4 Patogenesis Pada bayi, anak atau dewasa, usia muda umumnya jarang atau tidak terjadi reaksi alergik sehingga tidak menimbulkan eritema, pruritus atau pun papul. Pada individu normal gigitan serangga meninggalkan bekas kemerahan atau purpura (bintik perdarahan) di kulit yang akan menghilang dalam beberapa jam atau hari. Pada individu tertentu (hipersensitif), atau gigitan yang disebabkan jenis insekta tertentu, gigitan/ sengatan dapat menyebabkan sensitisasi dan menimbulkan reaksi alergik. Sengat berhubungan dengan kantong venom. Venom biasanya mengandung histamin, serotonin, mast cell

degranulating peptide, wasp kinin, phospholipase A2 dan B, hyaluronidase, dan fosfatase.2 Imunisasi atau desensitisasi (kekebalan atau hiposensitisasi) alamiah dapat terjadi setelah gigitan serangga berulang selama beberapa waktu atau beberapa tahun. Hal tersebut disimpulkan karena pada umumnya setelah pasien berusia 7 tahun atau dewasa, reaksi alergi terhadap gigitan serangga tersebut menjadi berkurang dan menghilang. Terjadinya reaksi alergi terhadap gigitan serangga berlangsung 3 tahap, yaitu tidak terjadi reaksi karena belum tersensitisasi, setelah terjadi sensitisasi akan timbul reaksi alergik, kemudian setelah beberapa tahun hipersensitivitas dapat diikuti dengan hiposensitivitas. Reaksi yang terjadi dapat merupakan reaksi tipe cepat dan lambat bergantung pada derajat sensitisasi dan status imun seseorang.2

2.5 Manifestasi klinis Serangga jika mengigit atau menyengat, memasukkan secret air liur atau racun sengat yang dapat menimbulkan reaksi alergis. Jenis reaksi yang ditimbulkan akibat gigitan atau sangatan serangga bagi penderita tertentu sangat bergantung kepada spesies serangga dan macam alergan. Tanda-tanda dan gejala klinis reaksi alergis akibat gigitan atau sengatan serangan dapat berupa gatal-gatal, pembengkakan, bintik-bintik merah, gantal-gantal dan bintik-bintik merah, urtikaria, pembentukan makula, papula, bula vesikula, muntah-muntah, diare dan syok anafilaktik.6

Gambar 1. A. Gigitan kutu babi. Tampak papul dikelilingi oleh papulpapul Kecil, B. Gigitan tawon. Tampak edema palpebra dan bagian tengah yang Nekrosis4

. Gambar 2. Gigitan agas. Tampak papul-papul eritematosa4

Gambar 3. A. Gigitan serangga, B. Tampak papula-papula Dan bekas garukan.4

2.6 Diagnosis 1. Anamnesis Pada kasus dugaan gigitan serangga perlu dicari sumber atau sarang serangga tersebut, mungkin di karpet, kasur, kursi duduk yang bertilam kain, atau pohon-pohon di kebun. Perlu ditanyakan di mana anak bemain

atau menghabiskan waktu sehari-hari, apakah di kebun, atau bemain dengan binatang peliharaan. selain itu mungkin pula pada anak atau orang yang sering bepergian/wisata dari daerah tertentu.2 2. pemeriksaan fisik Pada

pemeriksaan

kulit

didapatkan

efloresensinya

adalah

Berupaeritema morbiliformis atau bula yang dikelilingi eritema dan iskemia, kemudian terjadi nekrosis luas dan gangren. Kadang-kadang berupa pustula miliar sampai lentikular menyeluruh atau pada sebagian tubuh.4 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia sedang (15%-40%) didapatkan pada penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan obat, keganasan, dan defisiensi imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan (50%-90%) ditemukan pada migrasi larva.7 Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen hirup, alergen di tempat kerja, dan alergen makanan. Lokasi terbaik adalah daerah volar lengan bawah dengan jarak minimal 2 cm dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkit ke atas dengan jarum khusus untuk uji tusuk. Hasil positif bila wheal yang terbentuk >2 mm. Preparat antihistamin, efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan β-agonis dapat mengurangi reaktivitas kulit, sehingga harus dihentikan sebelum uji kulit. 7

2.7 Diagnosis Banding 1. Prurigo Hebra Prurigo yang sudah dikenal sejak tahun 1832, merupakan erupsi papular kronik dan residif. Terdapat berbagai macam prurigo, yang sering terlihat di Indonesia ialah prurigo Hebra karena itu akan dibicarakan secara luas. Disusul oleh prurigo nodularis. Sedangkan yang lain karena jarang

dijumpai akan dibicarakan secara singkat. Di masyarakat prurigo Hebra lebih sering dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas kulit terhadap gigitan serangga (nyamuk, agas, kutu loncat, kutu busuk atau kepinding). Prurigo Hebra lebih merupakan penyakit yang diturunkan secara multifaktor (banyak faktor), yaitu yang disebabkan oleh faktor intrinsik dari tubuh (gen atau banyak gen) dan berbagai faktor ekstrinsik (lingkungan).2 Prurigo nodularis

Tampak gambaran seperti menggaruk berulang.

Nodul-nodul merah atau coklat, keras, dengan permukaan halus, berkerak, atau seperti kutil; berdiameter 1 hingga 2 cm.8

Gambar 4. Prurigo hebra4

2. Urtikaria Urtikaria adalah suatu penyakit kulit yang ditandai dengan adanya urtika berbatas tegas, dikelilingi oleh daerah berwarna kemerahan, dan terasa gatal. Urtikaria dapat terjadi dengan atau tanpa angioedema.9 Urtikaria ditandai dengan timbulnya peninggian pad kulit dan/atau angioedema secara mendadak. Peninggian kulit pada urtikaria harus memenuhi kriteria di bawah ini:10 1. Ditemukan edema sentral dengan ukuran bervariasi, dan bisa disertai eritema di sekitarnya

2. Terasa gatal atau kadang-kadang sensasi terbakar 3. Umumnya dapat hilang dalam 1-24 jam, ada yang < 1 jam.

Gambar 5. Urtikaria4 3. Dermatofibroma Dermatofibroma adalah tumor jinak yang berupa nodula yang rata, dengan perabaan keras diatas permukaan

kulit. Penyebabnya adalah hiperplasia

jaringan dan pembuluh darah. Penyakit sering menyerang pada orang dewasa. Lebih banyak pada wanita. Faktor yang dapat menimbulkan penyakit yaitu trauma seperti luka tusuk, garukkan atau gigitan serangga. Secara objektif terlihat berupa tonjolan/nodula yang bulat atau lonjong, solitar atau multipel dengan konsistensi keras, warna mulai dari coklat sampai kekuning kuningan.4

Gambar 6. Dermatofibroma. Tampak sebagai baru mulai tumbuh.4

2.8 Penatalaksanaan 1. Non medikamentosa Upaya preventif menghindari serangga dengan memakai pakaian yang menutupi badan dan ekstremitas serta menggunakan insect repellent (penangkis serangga). Insect repellent pada umumnya mengandung minyak sereh, dimetil fitalat, dietil toluamida, indalon, rutgers 612, benzil benzoat. Pada anak terutama dietil toluamida,

hendaknya berhati-hati

karena dapat menimbulkan efek toksik. Cara lain adalah membasmi serangga

dengan

menyemprotkan

insektisida

yang

mengandung

diethyltoluamide. Binatang peliharaan dimandikan dengan sampo yang mengandung insektisida, debu disedot dengan vacuum cleaner dari karpet, kursi, dan alat rumah tangga yang diperkirakan menjadi sarang insektisida. Penggunaan insect repellent harus berhati-hati, terutama pada anak karena bersifat neurotoksik.2

2. Medikamentosa Umumnya terapi bersifat simtomatik, dapat diberikan kortikosteroid topikal, analgesik, dan antihistamin (sedatif atau nonsedatif) per oral. Terapi topikal ditujukan untuk mengurangi rasa gatal (obat oles mengandung kamfer atau mentol) dan mengurangi reaksi alergi, misalnya kortikosteroid golongan sedang atau kuat. Bila terjadi infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik topikal maupun sistemik.2 Kortikosteroid

mempunyai

kemampuan

menekan

inflamasi/peradangan dengan cara menghambat fosfolipase A dan menekan IL-1α. Sebagai obat imunosupresan, kortikosteroid dapat menghambat kemotaksis neutrofi l, menurunkan jumlah sel Langerhans dan menekan pengeluaran sitokin, menekan reaksi alergi-imunologi, serta menekan proliferasi/ antimitotik. KT juga menyebabkan vasokonstriksi dan efek ini sejalan dengan daya antiinflamasi.11 Penatalaksanaan juga bisa di bagi menjadi dua yaitu:4



Topikal: Jika reaksi lokal ringan, dikompres dengan larutan asam borat , atau kortikosteroid topikal seperti krim hidrokortison . Jlka reaksi berat dengan gejala sistemik, lakukan pemasangan torniket proksimal dari tempat gigitan dan diberi obat sistemik.



Sistemik: Injeksi antihistamin seperti klorfeniramin 10 mg atau difenhidramin 50 mg. Adrenalin 1% 0,3-0,5 ml subkutan. Kortikosteroid sistemik diberikan pada penderita yang tak tertolong dengan antihistamin atau adrenalin

2.9

Prognosis Sebagian besar insect bites meninggalkan bercak kehitaman yang cenderung menetap. Infeksi sekunder dapat meninggalkan sikatriks.2

BAB III PENUTUP

3.1

Kesimpulan a. Gigitan serangga atau Insect bite Adalah kelainan akibat gigitan atau tusukan serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin atau alergen yang dikeluarkan artropoda penyerang. b. Insidens sesungguhnya sukar diketahui, namun cenderung terjadi peningkatan pada musim semi dan panas di negara 4 musim dan di musim panas di negara 2 musim, termasuk di iklim tropis, antara lain di Indonesia. Laki-laki dan perempuan dapat terkena papular urtikaria, namun pada ras tertentu seperti Asian dan Nigeria, terdapat kecenderungan lebih sering terjadi pada perempuan. Juga terdapat kecenderungan lebih sering pada anak-anak dibandingkan orang dewasa. Lesi kulit biasanya swasirna (self-limited). c. Lima dari sembilan kelas arthropoda menyebabkan reaksi lokal dan sistemik yang terkait dengan gigitan mereka: Arachnida, Chilopoda, Diplopoda, Crustacea, Insecta. d. Umumnya terapi bersifat simtomatik, dapat diberikan kortikosteroid topikal, analgesik, dan antihistamin (sedatif atau nonsedatif) per oral. Terapi topikal ditujukan untuk mengurangi rasa gatal (obat oles mengandung kamfer atau mentol) dan mengurangi reaksi alergi, misalnya kortikosteroid golongan sedang atau kuat. Bila terjadi infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik topikal maupun sistemik.

DAFTAR PUSTAKA 1. IDI. Panduan Praktek Klinik bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer ed 1. 2013. 2. Menaldi SL,. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FK Universitas Indonesia, 2016. 3. Helpert E, Borrero E, et al. Prevalence of papular urticaria caused by flea bites and associated factors in children 1–6 years of age in Bogotá, D.C. World Allergy Organization Journal. 2017; Vol. 10 No. 36: pp 1-8. 4. Siregar R. S,. Atlast Berwarna Saripati Penyakit Kulit Ed. 2. EGC. 2004. 5. Fitzpatrick. Color Atlas & Synopsis Of clinical Dermatology ed 5. MC Graw Hill. 2007. 6. Hoedojo. Insect And Allergic Reactions. J kedokter.2000; vol. 19 No. 2: pp 75-81. 7. Sudewi N. P. Dkk. Berbagai Teknik Pemeriksaan Untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi. Saripediatri. 2009; Vol. 11, No. 3: pp 174- 178. 8. Habif T, P. Clinical Dermatology ed 4. Mosby. 2004 9. Widaty S,. Panduan Praktik klinis. Perdoski. Jakarta. 2017 10. Siannoto M,. Diagnosis dan Tatalaksana Urtikaria. CDK. 2017. Vol. 44 No. 3. Pp 190-194. 11. Johan R,. Penggunaan Kortikosteroid Topikal yang tepat. CDK. 2015; Vol. 42 No. 4: pp 308-3012.

Related Documents

Refarat Insomnia.docx
November 2019 23
Refarat Hifema.docx
May 2020 21
Refarat Oa.docx
April 2020 27
Refarat Dhea.docx
November 2019 33
Refarat Pyelonefritis.docx
October 2019 27
Refarat Filariasis.docx
November 2019 21

More Documents from "des"