DIFTERI Waode Amrina Wulan Saputri, Jumhari Baco A. PENDAHULUAN Penyakit difteri merupakan penyakit infeksi akut yang mudah menular disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae. Difteri merupakan masalah kesehatan sejak ribuan tahun yang lalu yang menyerang kesehatan manusia yang dapat mengakibatkan komplikasi dan kematian. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mencatat sebanyak 4,5 juta kematian 10,5 juta per tahun terjadi akibat infeksi yang bisa dicegah dengan imunisasi. Penyakit difteri dapat dicegah dengan imunisasi sesuai dengan pengembangan program imunisasi.1 Penyakit difteri pada umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun. Jumlah kasus difteri di Indonesia pada tahun 2016 sebanyak 415 kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 24 kasus sehingga presentase angka kematian difteri sebesar 5,8%. Dari jumlah tersebut, kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur dengan 209 kasus dan Jawa Barat yaitu sebanyak 113 kasus. Dari seluruh kasus difteri, sebesar 51% diantaranya tidak mendapat vaksinasi. . Terjadi peningkatan kasus yang besar di Provinsi Sumatera Barat (KLB) dibandingkan tahun 2014 yang hanya sejumlah 9 kasus. Untuk itu telah dilaksanakan Outbreak Respons Imunization (ORI). 2 B. DEFINISI Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau rongga hidung. Difteri adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari penderita. Pemeriksaan khas menunjukkan pseudomembran tampak kotor dan berwarna putih keabuan yang dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan. tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan bull neck. Membran mudah berdarah apabila dilakukan pengangkatan.3
C. ETIOLOGI Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah dengan imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium diptheriae strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi, terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada kulit.5 Infeksi difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae, yaitu bakteri gram positif berbentuk batang. Bakteri tersebut menghasilkan toksin jika mengalami lisogenisasi (terinfeksi) oleh bakteriofag (virus yang menyerang bakteri tertentu) yang mengandung informasi genetik toksin (tox C. diphtheriae).6 Dengan adanya bakteriofag (β–corynebacteriumphage) maka galur Corynebacterium diphtheriae yang tidak toksik dapat berubah menjadi toksik. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya galur Corynebacterium diphtheriae toksik dan non-toksik pada survei wabah difteri. Bukti menunjukkan
bahwa
wabah
Corynebacterium
diphtheriae
Corynebacterium
diphtheriae
lebih
sering
toksik non-toksik
disebabkan
oleh
galur
ditularkan
ke
galur
yang oleh
bakteriofag,
daripada
ditimbulkan oleh galur Corynebacterium diphtheriae baru. Hanya galur toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit yang parah. Ditemukan 3 galur bakteri difteri yaitu gravis, intermedius dan mitis, semuanya memproduksi toksin, namun tipe gravis yang paling virulen. Galur Corynebacterium diphtheriae toksigenik jarang menginfeksi kulit dan mukosa, meskipun demikian dapat menjadi sumber penularan.6 Sintesis toksin difteri diatur oleh protein yang disandi oleh gen kromosom bakteri. Toksin difteri akan dihasilkan maksimal bila konsentrasi besi dalam medium rendah. Toksin difteri dibuat dan disekresi dalam bentuk rantai polipeptida tunggal, dapat dipotong dengan enzim protease menjadi bentuk yang lebih kecil yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen A bersifat toksik akan menghambat sintesis protein sel inang sehingga menyebabkan kematian sel. Fragmen B tidak toksik tetapi berperan pada proses pelekatan
dan penetrasi ke sel inang. Tanpa penetrasi, fragmen A tidak bisa aktif.1,8 Struktur kristal toksin difteri telah diketahui dan menunjukkan 3 bagian berbeda, yaitu bagian Catalytic (C), Transmembran (T) dan Receptor-binding (R). Patogenesis difteri tergantung pada toksin difteri, namun organisme yang virulen tidak selalu berhubungan dengan galur yang produktif menghasilkan toksin.6 Manusia adalah satu-satunya reservoir Corynebacterium diptheriae. Penularan terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui alat makan, atau kontak langsung dari lesi di kulit. Tanda dan gejala berupa infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas, adanya nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi (kurang dari 38,5º C), dan ditemui adanya pseudomembrane putih/keabu-abuan/kehitaman di tonsil, faring, atau laring yang tak mudah lepas, serta berdarah apabila diangkat. Sebanyak 94 % kasus Difteri mengenai tonsil dan faring.5 D. EPIDEMIOLOGI Di Indonesia jumlah kasus difteri pada tahun 2016 sebanyak 415 kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 24 kasus sehingga presentasi angka kematian yaitu sebesar 5,8%. Dari jumlah tersebut, kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur dengan 209 kasus dan Jawa Barat yaitu sebanyak 133 kasus. Dari seluruh kasus difteri, sebesar 51% diantaranya tidak mendapatkan vaksinasi.2 Gambaran kasus menurut kelompok umur pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 59 % kasus difteri terjadi pada kelompok umur 5 – 9 tahun dan 1 – 4 tahun. Kelompok umur ≥ 15 tahun memiliki jumlah kasus yang rendah yaitu sebanyak 28 % dan 11 % kasus pada kelompok umur 10 – 14 tahun. Gambaran perkembangan difteri di Indonesia mulai tahun 20102017 tertera pada Grafik 1.
Sementara gambaran Case Fatality Rate
berdasarkan kelompok umur pada tahun 2017 tertera pada Grafik 2.2,3
Grafik 1. Perkembangan difteri di Indonesia3
Grafik 2. Case fatality rate berdasarkan kelompok umur3
E. PATOGENESIS Patogenesis infeksi bakteri meliputi langkah awal proses infeksius dan mekanisme selanjutnya yang menimbulkan perkembangan gejala penyakit. Corynebacterium
diphtheriae
memiliki
faktor
virulensi
yang
memungkinkannya untuk menginvasi sel epitel saluran pernafasan atas dan kemudian menghasilkan suatu eksotoksin. Kemampuan invasi dan virulensi basil difteri ditentukan oleh antigen K bersama-sama dengan glikolipid. Antigen K adalah suatu protein termolabil dan terdapat pada permukaan dinding sel. Antigen ini berperan penting dalam imunitas antibakteri dan hipersensitivitas, tetapi tidak ada hubungannya dengan imunitas anti toksin. Selain antigen K, basil difteri juga memiliki cord factor berupa glikolipid yang mengandung mycolic acids. Pada tikus, cord factor ini terbukti menyebabkan kerusakan mitokondria, mereduksi resprasi, mereduksi fosforilasi dan mengakibatkan kematian sel.4 Toksin menimbulkan peradangan dan destruksi epitel pada daerah yang terinfeksi, akibatnya akan terjadi nekrosis jaringan dan terbentuk membran palsu (pseudomembran). Pseudomembran diikuti dengan terjadinya edema jaringan mukosa dibawahnya. Inilah yang sering menyebabkan terjadinya obstruksi saluran nafas.7 Setelah menginvasi epitel saluran pernafasan atas, Corynebacterium diphtheriae akan membentuk koloni pada tenggorokan dan kemudian menghasilkan enzim neuraminidase yang akan memecah Nacetylneuraminic acid (NAN) pada permukaan sel untuk menghasilkan piruvat yang berperan sebagai
pemicu
pertumbuhan.
Corynebacterium
diphtheriae
juga
menghasilkan diphthine, yaitu suatu protease yang menginaktifkan IgA. Corynebacterium diphtheriae juga akan menghasilkan protein eksotoksin yang potensial, toksin difteri, yang akan memasuki aliran darah lalu didistribusikan ke jaringan-jaringan tubuh dan menyebabkan gejala difteri disertai gejala komplikasi, terutama miokarditis dan neuritis.4
Gambar 1. Kolonisasi Corynebacterium diphtheriae 4
Gambar 2. Skema patogenesis 4 F. MANIFESTASI KLINIS Tergantung pada berbagai faktor, manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai keadaan berat dan fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu, virulensi serta toksigenitas Corynebacterium diphtheriae (kemampuan kuman membentuk toksin) dan lokasi penyakit secara anatomis. Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Berikut ini adalah beberapa jenis difteri menurut lokasinya.3 a. Difteri Saluran Napas Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx kemudian hidung dan larynx. Infeksi dari nares anterior lebih sering terjadi pada bayi, menyebabkan sekret serosanguinis, purulen, dan rhinitis
erosiva dengan pembentukan membran. Ulkus dangkal dari nares eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan pharyngeal, sakit tenggorokan merupakan gejala yang pertama kali muncul. Separuh pasien memiliki gejala demam dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara serak, malaise atau sakit kepala. Injeksi pharyngeal ringan diikuti dengan pembentukan membran tonsilar baik uni maupun bilateral yang bisa meluas ke uvula (bisa mengakibatkan paralisis yang dimediasi oleh toksin), palatum molle, oropharynx posterior, hypopharynx, atau area glotis.3 b. Difteri hidung Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.3 c. Difteri Tonsil dan Faring Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang mudah perdarah, melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan dan sirkulasi, paralisi palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan,
membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.3 d. Difteri laring Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria laring gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteria laring sukar dibedakan dengan gejala sindrom croup, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal, dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.3 e. Difteri Kulit Difteri kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan ulkus superfisial, ektima, indolent dengan membran coklat kelabu di atasnya, sulit dibedakan dengan impetigo akibat Stapyllococcus/ Streptococcus dan biasanya bersamaan dengan infeksi kulit ini. Pada banyak kasus infeksi, difteri merupakan infeksi sekunder pada dermatosis, laserasi, luka bakar, tersengat atau impetigo. Ekstremitas lebih sering terkena daripada leher atau kepala. Infeksi simtomatik atau kolonisasi kuman di traktus respiratorius dengan komplikasi toksin terjadi pada sebagian kecil penderita difteria kulit.3 f. Difteri Pada Tempat Lain Corynebacterium
diphtheriae
dapat
menyebabkan
infeksi
mukokutaneus pada tempat lain, seperti di telinga (otitis eksterna), mata (purulen dan ulseratif konjungtivitis) dan traktus genitalis (purulen dan ulseratif vulvovaginitis). Tanda klinis terdapat ulserasi, pembentukan membran dan perdarahan submukosa membantu dalam membedakan
difteria dari penyebab bakteri lain dan virus.Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.3
Gambar 1. Difteri pada Tonsil10
Gambar 2. Difteri pada Bibir10
Gambar 3. Difteri pada Kulit10
Gambar 4. Bull – neck10
G. DIAGNOSIS Diagnosis difteria ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium. Ditemukan kuman difteria dengan pewarnaan Gram secara langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara flourescent antibody technique, tetapi untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi Corynebacterium diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler atau dengan media baru Amies dan Stewart dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek). Beberapa definisi yang dipakai untuk memudahkan dilapangan.3 Kasus suspek difteri adalah orang dengan gejala laryngitis, nasofaringitis atau tonsillitis ditambah pseudomembran putih keabuan yang tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring, tonsil. Kasus probable difteri adalah suspek difteri ditambah salah satu dari: a) pernah kontak dengan kasus (< 2minggu), b) berasal dari daerah endemis difteri, c) Stridor,
bullneck, perdarahan submukosa atau ptekie pada kulit, d) gagal jantung, gagal ginjal akut, miokarditis dan kelumpuhan motorik 1 s/d 6 minggu setelah awitan, e) kematian. Kasus konfirmasi difteri adalah kasus probable yang hasil isolasi ternyata positif Corynebacterium diphtheriae toksigenik (dari usap hidung, tenggorok, ulkus kulit, jaringan, konjungtiva, telinga, vagina) atau serum antitoksin meningkat 4 kali lipat atau lebih (hanya bila kedua sampel serum diperoleh sebelum pemberian toksoid difteri atau antitoksin).7 Sementara kasus karier adalah orang yang tidak menunjukan gejala klinis, tetapi hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan positif Corynebacterium diphtheriae.3 H. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding pada kasus difteri dibagi berdasarkan lokasi membran, yaitu : 1. Difteria hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital).3 2. Difteria faring, harus dibedakan dengan tonsilitis mebranosa akut yang disebabkan oleh Streptococcus (tonsilitas akut, septic sore throat), mononukleosis infeksiosa, tonsilitis membranosa nonbakterial, tonsilitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.3 3. Difteria laring, gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat menyerupai croup sindroma yang lain, yaitu spasmodic croup, angioneurotik edema pada laring, dan benda asing dalam laring. 4. Difteria kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh Streptococcus atau Stapyllococcus.3 I.
PENATALAKSANAAN Tujuan pengobatan penderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi Corynebacterium diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri.8
Umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut dengan jarak 24 jam. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu bila terjadi komplikasi miokarditis, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Dilakukan pemeriksaan jantung (EKG) dan neurologis untuk mengetahui ada/tidaknya komplikasi.8 Khusus 1. Antitoksin: Anti Diphteria Serum Antitoksin diberikan segera setelah ditegakkan diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.8 Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >10 mm. Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-100.000 KI. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya.
Demikian
pula
perlu
dimonitor
terjadinya
reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness). Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi beberapa menit setelah pemberian ADS. Reaksi demam (4%) setelah 20 menit-1 jam, serum sickness (8,8%) 7-10 hari kemudian.8
Tabel 1. Dosis ADS Berdasarkan Lokasi Membran 8 Tipe Difteri
Dosis ADS (KI)
Cara Pemberian
Difteri kulit
20.000
Intravena
Difteri Hidung
20.000
Intravena
Difteri Tonsil
40.000
Intravena
Difteri Faring
40.000
Intravena
Difteri Laring
40.000
Intravena
Difteri Nasofaringeal
40.000
Intravena
Kombinasi lokasi diatas, tanpa 80.000
Intravena
melibatkan hidung/nasal dan/atau 80.000 – 100.000
Intravena
Terlambat berobat (> 72 jam), 80.000 – 100.000
Intravena
Difteri
+
penyulit
ditemukan bullneck
lokasi dimana saja
2. Antibiotik Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 25.000 - 50.000 U/kgBB/hari (maksimum 1,2 juta U/hari) diberikan secara intramuskular (IM) selama 14 hari. Bila terdapat riwayat hipersensitivitas penisilin diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari (maksimum 2 g/hari) dibagi 4 dosis, interval 6 jam selama 14 hari.8 3. Kortikosteroid Kortikosteroid diberikan untuk kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck)
dan
bila
terdapat
penyulit
miokarditis.
Prednison
2
mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap.8 4. Trakeostomi Ditemukannya obstruksi saluran napas karena membran dan edema perifaringeal, bahkan apabila telah tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.8 5. Pengobatan Kontak Kontak erat adalah orang serumah atau orang lain yang memiliki kontak erat satu rumah, guru, petugas kesehatan yang terpapar dengan sekret nasofaring, orang-orang yang menggunakan perangkat masak atau makan minum yang sama dan pengasuh anak yang terinfeksi. Pada orang yang mengalami kontak tanpa memandang status imunisasi seyogyanya diimunisasi sampai hal-hal berikut dilakukan yaitu (a) Biakan hidung dan tenggorok (b) Gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlewati (c) Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteri, yang belum diimunisasi segera melengkapi imunisasi.8 6. Pengobatan Karier Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan tanda dan gejala difteri, tetapi pada kultur swab tenggorok ditemukan basil difteri dalam nasofaringnya. Pengobatan untuk karier adalah eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 7 hari, maksimum (1 gram/hari). Eritromisin lebih superior daripada penisilin untuk eradikasi karier difteri nasofaring. Pemantauan dilakukan sampai ada hasil kultur, jika masih positif, antibiotik diberikan lebih lama.8 J.
PENCEGAHAN Hal penting yang perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan adalah memelihara kualitas vaksin, memperkuat program imunisasi lebih lanjut dengan norma yang lebih ketat untuk dokumentasi sejarah vaksinasi, meningkatkan cakupan vaksin dan memberikan kekebalan seumur hidup dianjurkan.9 Pencegahan
secara
umum
dengan
menjaga
kebersihan
dan
memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah seorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. Imunitas pasif diperoleh secara
transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3 minggu. Imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta imuni sasi toksoid difteria. Imunisasi DPT sangat penting untuk mempertahankan kadar antibodi tetap tinggi diatas ambang pencegahan dan imunisasi ulangan sangat diperlukan agar lima kali imunisasi sebelum usia 6 tahun. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji Moloney.3
Gambar 3. Jadwal Imunisasi K. KOMPLIKASI Komplikasi difteri disebabkan efek sistemik dari absorbsi toxin difteri. Komplikasi termasuk myocarditis, gagal ginjal, shock septic yang terjadi karena toxemia difteridan paralisis nervus. Tingkat kematian 5-10% pada difteri saluran napas terjadi sedikit perubahan pada 50 tahun terkahir. Difteri pada saluran napas biasaya terbentuk dalam beberapa hari dan komplikasi dapat berlangsung bulanan.3 Myocarditis ditandai sebagai irama yang tidak normal dan dapat terjadi lebih awal dalam penyakit atau beberapa minggu kemudian dan dapat
menyebabkan gagal jantung. Jika myocarditis terjadi lebih awal, hal ini sering fatal.3 Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik. Paralisis pada palatum durum paling sering terjadi pada minggu ke-3. Paralisis otot mata, ekstremitas dan diafragma dapat terjadi setelah minggu ke-5. Pneumonia sekunder dan kelumpuhan diafragma dapat menyebabkan kegagalan napas. Komplikasi lainnya termasuk otitis media dan obstruksi napas.3
L. PROGNOSIS Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik daripada sebelumnya. Di Indonesia, pada daerah kantong yang belum di imunisasi, masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteria, adanya miokarditis dan gagal jantung, dan paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus frenikus. Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa, walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.3 Walaupun
dilakukan
pengobatan,
1
dari
10
pasien
difteri
kemungkinan meninggal. Tanpa pengobatan 1 dari 2 pasien difteri meninggal.8
DAFTAR PUSTAKA
1. Alfina R, Isfandiari MA. Faktor Yang Berhubungan dengan Peran Aktif Kader Dalam Penjaringan Kasus Probable Difteri. Jurnal Berkaala Epidemiologi. Vol. 3 No. 3. Surabaya: 2015. 2. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. 3. Hartoyo E. Difteri Pada Anak. Jurnal Sari Pediatri. Vol.19 No. 5. Banjarmasin: 2018. 4. Rusmana D et al. Mekanisme Toksigenitas Molekuler dan Potensi Medik Toksin Difteri. JKM. Vol. 5 No. 2. Februari 2006. 5. Kemenkes RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri Tahun 2017. 6. Handayani S. Deteksi Kuman Difteri dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).CDK-191. Vol. 39 No. 3. 2012. 7. Sumarno et al. Potensi Gen dtx dan dtxR Sebagai Marker Untuk Deteksi dan Pemeriksaan Toksigenitas Corynebacterium diphteriae. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol. 41 No 1. 2013. 8. IDAI.
Tatalaksana
Difteri.
Diakses
tanggal
20
Agustus
2018
http://www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/pendapat-ikatan-dokteranak-indonesia-Penatalaksanaan-difteri 9. Parande, Mahantesh V. et al. Diphtheria outbreak in rural North Karnataka. Journal of Indian Council of Medical Research. Belgaum, Karnataka, India. Published by SGM. 2014. Page 1 to 3. 10. Dinkes. Waspada Penyakit Difteri. Diakses tanggal 04 September 2018. http://dinkes.jatimprov.go.id/userfile/dokumen/PPID_DINKES_PROVJA TIM_DIFTERI.