Refarat Antibiotik Revisi.docx

  • Uploaded by: Arrum
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Refarat Antibiotik Revisi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,663
  • Pages: 29
Referat

ANTIBIOTIK

Disusun oleh: Arrum Anggraeni 406172124

Pembimbing: dr. Ernie Setyawati, Sp.A, M.Kes

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso Periode 19 Maret – 26 Mei 2018 Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 2018

HALAMAN PENGESAHAN

Penyusun

: Arrum Anggraeni (406172124)

Perguruan Tinggi

: Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Bagian

: Ilmu Kesehatan Anak

Periode

: 19 Juli - 26 Mei 2018

Judul

: Antibiotik

Pembimbing

: dr. Ernie Setyawati, Sp.A, M.Kes

Telah diperiksa dan disetujui tanggal :

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSPI Prof Dr Sulianti Saroso Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Mengetahui, Pembimbing Referat

dr. Ernie Setyawati, Sp.A, M.Kes

KATA PENGANTAR Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih, karunia, dan rahmat-Nya, Penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Antibiotik” dengan baik serta tepat pada waktunya. Adapun referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas akhir Kepaniteraan Klinik Ilmu Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di RSPI Prof Dr Sulianti Saroso periode 19 Maret – 26 Mei 2018 dan juga bertujuan untuk menambah informasi bagi Penulis dan pembaca tentang Antibiotik. Penulis sangat bersyukur atas terselesaikannya tugas ini. Pada kesempatan ini penulis ingin berterimakasih kepada : 1. Direktur RSPI Prof Dr Sulianti Saroso yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjalankan Kepaniteraan Klinik Ilmu Anak di RSPI Prof Dr Sulianti Saroso. 2. dr. Dyani K, Sp.A selaku direktur medis di RSPI Prof Dr Sulianti Saroso. 3. dr. Ernie S, Sp. A selaku ketua Diklat, pembimbing refarat dan pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Anak di RSPI Prof Dr Sulianti Saroso. 4. dr. Desrinawati, Sp. A selaku kepala SMF, dan pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Anak di RSPI Prof Dr Sulianti Saroso. 5. dr. Dedet, Sp. A selaku koordinator mahasiswa dan pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Anak di RSPI Prof Dr Sulianti Saroso. 6. Dokter, staf, dan perawat RSPI Prof Dr Sulianti Saroso. 7. Rekan-rekan anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Kepaniteraan Klinik Ilmu Anak di RSPI Prof Dr Sulianti Saroso. Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga referat ini dapat memberikan manfaat.

Jakarta, 25 April 2018

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................

ii

KATA PENGANTAR .............................................................................................

iii

DAFTAR ISI ............................................................................................................

iv

BAB 1 : PENDAHULUAN ...................................................................................

1

BAB 2 :TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................

2

2.1. Definisi ............................................................................................. 2.2. Klasifikasi antibiotik......................................................................... 2.2.1 Berdasarkan mekanisme kerjanya ........................................... 2.2.2 Berdasarkan aktivitasnya ......................................................... 2.3. Aspek Farmakologi antibiotik .......................................................... 2.3.1 Farmakokinetik ........................................................................ 2.3.2.Farmakodinamik ...................................................................... 2.4. Efek samping .................................................................................... 2.5.Cara Pembuatan Antibiotik ............................................................... 2.6. Resistensi ......................................................................................... 2.7. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik ................................................. 2.8. Pemilihan terapi antibiotik................................................................ BAB 3 : KESIMPULAN ....................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

Antibiotik pertama kali ditemukan oleh sarjana Inggris dr. Alexander Fleming (Penisilin) pada tahun 1928. Tetapi penemuan ini baru dikembangkan dan digunakan dalam terapi di tahun 1941 oleh dr.Florey. Kemudian banyak zat dengan khasiat antibiotik diisolir oleh penyelidik-penyelidik lain di seluruh dunia, namun toksisitasnya hanya beberapa saja yang dapat digunakan sebagai obat. Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik. Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi.1 Sudah menjadi kewajiban seorang dokter untuk dapat menguasai bagaimana penggunaan antibiotik yang tepat. Dimulai dengan mengetahui macam-macam dari antibiotik, kemudian mengetahui mekanisme dan farmakologi dari obat-obat antibiotik tersebut dan dapat mengetahui indikasi yang tepat dari obat antibiotik tersebut. Yang mana hal ini bertujuan agar dapat mengoptimalkan penggunaan antibiotik yang tepat dan efektif dalam mengobati sebuah penyakit sekaligus dapat mengurangi tingkat resistensi. A. TUJUAN Tujuan dari referat ini adalah : 1. Dapat mengetahui macam-macam antibiotik 2. Dapat mengetahui cara kerja antibiotik 3. Dapat mengethahui cara pembuatan antibiotik 4. Dapat mengetahui mekanisme resistensi terhadap obat-obat antibiotik 5. Dapat mengetahui penggunaan antibiotik secara rasional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI Antimikroba ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan manusia. Berasal dari zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam praktek sehari-hari, Antibiotik sintetik yang tidak diturunkan dari produk mikroba (misalnya sulfonamid dan kuinolon) juga sering digolongkan sebagai antibiotik.2 Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab inleksi pada manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes. Sifat toksisitas selektif yang absolut belum atau mungkin juga tidak akan diperoleh. Berdasarkan silat toksisitas selektif, ada antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal dengna bakteriostatik dan atau yang bersifat membunuh mikroba dikenal sebagai aktivitas bakterisid. Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagaikadar hambat minimal(KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik meniadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM. 2

2.2 KLASIFIKASI ANTIBIOTIK

2.2.1

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi dalam lima

kelompok: 1, 2

Gambar 2.1 Mekanisme kerja antibiotik.

(1) Bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel mikroba Bakteri memiliki dinding sel yang berperan dalam menjaga bentuk maupun ukuran mikroorganisme. Dinding sel mengandung polimer kompleks peptidoglikan yang terdiri dari polisakarida dan polipetida lintas terkait. Lapisan peptidoglikan ini lebih tebal pada bakteri gram positif dibandingkan gram

negatif.

Penghambatan

sintesis

peptidoglikan

maupun

enzim

transpeptidase yang penting untuk pembentukan dinding sel, yang selanjutnya dapat mengakibatkan rusaknya dinding sel mengakibatkan sel menjadi lisis. Contoh antibiotik Beta-laktam (Penisilin, Sefalosporin, Carbapanem, Monobactam). Cara kedua yakni dengan menghambat sintesis peptidoglikan. Obat non Beta Laktam (bacitracin, vancomycyin) digunakan untuk cara ini. (2) Mengganggu permeabilitas membran sel mikroba Membran sel memiliki fungsi sebagai barrier yang selektif, berperan dalam transport aktif yang erat berkaitan dengan komposisi internal sel. Jika fungsi membran sel tersebut terganggu, ion-ion maupun makromolekul dapat keluar dari sel dan menyababkan kerusakan pada sel maupun kematian sel. 3 Agen yang menimbulkan kerusakan pada dinding sel (surface-active agents) bekerja melalui perubahan tegangan permukaan seperti pada antiseptik, sehingga terjadi kerusakan pada permeabilitas selektif dari membran sel mikroba. Contoh obat ini ialah polimiksin, polines, imidazol.

(3) Menghambat sintesis protein sel mikroba Sintesis protein berlangusung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Bakteri memiliki 2 subunit ribosom 30S dan 50S, subunit tersebut kemudian bergabung pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70S, sedangkan pada sel mamalia memiliki 80S ribososom.3 Setiap subunit ribosom memiliki komposis kimia dan fungsi yang berbeda. Hal ini menjelaskan mengapa antimikroba dapat menghambat sintesa protein pada ribosom bekteri tanpa memiliki efek pada ribosom mamalia.3 Perlekatan antimikroba pada subunit ribosom 30S maupun 50S dapat mengganggu proses sintesa protein, sehingga pengkodean mRNA salah dibaca oleh tRNA akibatnya terbentuk protein abnormal dan nonfungsional untuk bakteri, gagalnya proses pemanjang rantai polipeptida akibat terganggunya proses translokasi kompleks tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke lokasi peptida. Contoh obat ini ialah Tetrasiklin, aminoflikosida, makrolide, kloramfenikol.

(4) Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba Mekanisme kerja lainnya yakni menghambat sintesis asam nukleat, dengan cara berikatan pada DNA-Dependent RNA polimerase pada bakteri, sehinnga sintesa RNA dapat terhambat. Penghambatan sintesa DNA juga terjadi jika DNA gyrase, enzim topoisomerase yang berperan pada replikasi mapun perbaikan. Contoh obat yang menghambat replikasi DNA ialah quinole dan netroimidazole. Obat yeng menghambat polimerase rNA ialah rifamycin. 3

(5) Berkerja dengan cara mengganggu metabolisme sel mikroba Gangguan pada sintesa asam folat melalui mekanisme perebutan tempat aktif pada PABA (p-aminobenzoic acid), maupun sintesa purin melalui inhibisi enzim reduktase asam dihidrofolik. Gangguan sintesa pada asam folat juga dapat menghambat metabolisme sel mikroba, bakteri membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya, karena mikroba mensintesis sendiri asam folatnya, tidak seperti mamalia yang mendapat asam folat dari luar.3 contoh obat ini adalah sulfonamid dan trimethropim

2.2.2 Penggolongan antibiotika berdasarkan gugus kimianya sebagai berikut:1,4

a. Senyawa Beta-laktam dan Penghambat Sintesis Dinding Sel Lainnya Mekanisme aksi penisilin dan antibiotika yang mempunyai struktur mirip dengan β-laktam adalah menghambat pertumbuhan bakteri melalui pengaruhnya terhadap sintesis dinding sel. dengan menghambat langkah terakhir

dalam

sintesis

peptidoglikan,

yaitu

heteropolimer

yang

memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri. Obat-obat antibiotik beta-laktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap organisme Gram -positif dan negatif. antara lain: golongan penisilin, sefalosporin dan sefamisin serta betalaktam lainnya. b. Tetrasiklin khasiatnya bersifat bakteriostatis, hanya melalui injeksi intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid lemah. Mekanisme kerjanya dengan cara mengaganggu sintesa protein kuman. Spektrum antibakterinya luas dan meliputi banyak cocci gram positif dan gram negatif serta kebanyakan bacilli. Tidak efektif Pseudomonas dan Proteus, tetapi aktif terhadap mikroba khusus Chlamydia trachomatis (penyebab penyakit mata trachoma dan penyakit kelamin), dan beberapa protozoa (amuba) lainnya. Contohnya tetrasiklin, doksisiklin, dan monosiklin. c. Makrolida Bekerja secara bakteriostatis terutama terhadap bakteri gram-positif. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga menghambat sintesa protein kuman. Bila digunakan terlalu lama atau sering dapat menyebabkan resistensi. d. Linkomisin Dihasilkan oleh srteptomyces lincolnensis (AS 1960). Khasiatnya bakteriostatis dengan spektrum kerja lebih sempit daripada makrolida terutama terhadap kuman gram positif dan anaerob. Berhubung efek sampingnya hebat kini hanya digunakan bila terdapat resistensi terhadap antibiotika lain. Contohnya linkomisin.

e. Aminoglikosida aminoglikosida dihasilkan oleh jenis jenis fungi Streptomyces dan Micromonospora.

Semua

senyawa

dan

turunan

semi-sintesisnya

mengandung dua atau tiga gula-amino di dalam molekulnya, yang saling terikat secara glukosidis. Spektrum kerjanya luas dan meliputi terutama banyak bacilli gram-negatif. Obat ini juga aktif terhadap gonococci dan sejumlah kuman gram-positif. Aktifitasnya adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel.Golongan Aminoglikosida yakni streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomisin, etilmisin, dll. f. Kuinolon senyawa-senyawa kuinolon berkhasiat bakterisid pada fase pertumbuhan kuman, berdasarkan inhibisi terhadap enzim DNA-gyrase kuman, sehingga sintesis DNAnya dihindarkan. Golongan ini hanya dapat digunakan pada infeksi saluran kemih (ISK) tanpa komplikasi. g. Kloramfenikol kloramfenikol mempunyai spectrum luas. Berkhasiat bakteriostatis terhadap hampir semua kuman gram positif dan sejumlah kuman gram negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesa polipeptida kuman. Contohnya kloramfenikol. 2.2.3 Berdasarkan aktivitasnya, antibiotika dibagi menjadi dua golongan besar: 5

a. Antibiotika kerja luas (broad spectrum) agen yang dapat menghambat pertumbuhan dan mematikan bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Golongan ini diharapkan dapat menghambat pertumbuhan dan mematikan sebagian besar bakteri. Yang termasuk golongan ini adalah tetrasiklin dan derivatnya, kloramfenikol, ampisilin, sefalosporin, carbapenem dan lain-lain. b. Antibiotika kerja sempit (narrow spectrum) adalah golongan ini hanya aktif terhadap beberapa bakteri saja. Yang termasuk golongan ini adalah penisilin, streptomisin, neomisin, basitrasin.

2.3 Aspek Farmakologi antibiotik 2.3.1 Farmakokinetik Farmakokinetik merupakan aspek yang menjelaskan mengenai perjalanan dan apa yang terjadi pada obat saat berada di dalam tubuh. Di antaranya termasuk absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.12 Proses absorpsi umumnya dikaitkan dengan penyerapan obat di saluran cerna pada pemberian oral. Setelah mencapai kadar puncak dalam darah, konsentrasi obat akan menurun secara cepat dalam fase yang disebut dengan fase alfa (α). Pada fase selanjutnya yaitu fase beta (β) maka konsentrasi antibiotik akan menurun secara perlahan dan stabil. Pada fase beta ini yang menentukan waktu paruh (t1/2) dari suatu antibiotik. Pada proses absorpsi ini, tidak semua obat akan mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh atau aktif. Jumlah persentase obat yang mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh atau aktif disebut bioavailabilitas. Sedangkan kesetaraan jumlah obat dalam sediaan dengan kadar obat dalam darah atau jaringan disebut bioekuivalensi. 12 Setelah diabsorpsi, obat akan berkaitan dengan albumin sebagai protein dominan dalam serum dan kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Persentase antibiotik yang terikat secara reversibel terhadap albumin serum digambarkan dengan istilah protein binding. Obat kemudian akan melepaskan diri dari ikatannya dengan albumin, dan menembus beberapa membran sel sesuai dengan gradien konsentrasi dan mencapai tempat infeksi lalu berikatan dengan protein jaringan. Distribusi obat antara lain dipengaruhi oleh aliran darah, pH, protein binding, dan volume distribusi. Pasca distribusi obat, obat kemudian akan mengalami metabolisme oleh berbagai enzim dan yang terpenting di antaranya adalah enzim sitokrom P450, sehingga pemberian obat obatan yang dapat meningkatkan atau menghambat kerja enzim ini dapat mempengaruhi aktivitas antibiotik.12 Obat yang dalam keadaan aktif akan ditingkatkan kelarutannya sehingga lebih mudah diekskresikan, dan umumnya obat menjadi inaktif.

Sedangkan untuk obat dalam bentuk prodrug, enzim akan mengaktivaasi obat tersebut menjadi bentuk yang aktif. Antibiotik umumnya dieliminasi melalui ginjal dan diekskresikan melalui urin dalam bentuk metabolit aktif dan inaktif. Antibiotik juga dapat dieliminasi melalui empedu dan diekskresikan ke dalam usus. Dari dalam usus sebagian obat akan dibuang melalui feses, dan sebagian akan kembali diserap dan dibuang melalui ginjal. Sebagian kecil obat juga diekskresikan melalui keringat, liur, air mata, dan air susu. 12 Parameter-parameter farmakokinetik menghitung perjalanan kadar serum antibiotik. Terdapat 3 parameter farmakokinetik yang paling penting untuk mengevaluasi efikasi antibiotik, yaitu kadar puncak serum (Cmax), kadar minimum (Cmin), dan area under curve (AUC) pada kurva kadar

serum

vs

waktu.

Walaupun

parameter-parameter

ini

mengkuantifikasi perjalanan kadar serum, parameter-parameter teresebut tidak mendeskripsikan aktivitas bakterisid suatu antibiotik.1

Gambar. Parameter Farmakokinetik dan Farmakodinamik.

2.3.2

Farmakodinamik Farmakodinamik menggambarkan efek kerja suatu obat. Secara umum, aktivitas antibiotik dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bakteriostatik (menghambat pertumbuhan mikroba) dan bakterisidal (membunuh mikroba). Contoh antibiotik yang bersifat bakterisidal antara lain aminoglycoside, beta-lactam, metronidazole, kuinolon, rifampicin,

pirazinamide,

vancomycin,

isoniazide,

dan

bacitracin.

Sedangkan

antibiotic yang memiliki sifat bakteriostatik antara lain chloramphenicol, clindamycin, ethambutol, macrolide, sulfonamide, tetracycline dan trimethoprim. Namun sifat bakteriostatik dan bakterisid dari antimikroba tidak mutlak karena antibiotic dengan sifat bakteriostatik dapat pula bersifat bakterisid bila kadarnya ditingkatkan. Kadar antibiotik minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dikenal dengan istilah kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Fungsi antibiotik terhadap KHM dapat dibagi menjadi fungsi terhadap konsentrasinya (concentration dependent) dan terhadap waktu (time dependent). Pada antibiotik golongan concentration dependent maka semakin tinggi kadar obat dalam darah maka semakin tinggi pula daya kerjanya sehingga kecepatan dan efektivitas kerjanya dapat ditingkatkan dengan menaikkan kadar obat dalam darah hingga jauh di atas KHM. Sedangkan pada antibiotik jenis time dependent, selama kadarnya dapat dipertahankan sedikit di atas KHM sepanjang masa kerjanya kecepatan dan efektivitas kerja obat tersebut akan mencapai nilai maksimal. Contoh antibiotik golongan concentration dependent adalah quionolone dan aminoglycoside. Sedangkan contoh antibiotik golongan time dependent adalah beta-lactam. Beberapa golongan antibiotik masih dapat menunjukkan aktifitas dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme meskipun kadarnya lebih rendah dari KHM. Fenomena ini disebut post-antibiotic effect. Efek ini dipengaruhi oleh jenis antibiotik dan mikrooragnismenya sendiri, contohnya quionolone dan aminoglycoside yang memiliki post-antibiotic effect yang cukup lama terhadap kuman gram negatif. 12

2.4 EFEK SAMPING

Efek samping penggunaan AM dapat dikelompokkan menurut reaksi alergi, reaksi idiosinkrasi, reaksi toksik, serta perubahan biologik dan metabolik pada hospes.

REAKSI ALERGI. Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan system imun tubuh hospes; terjadinya tidak bergantung pada besarnya dosis obat. Manifestasi gejala dan derajat beratnya reaksi dapat bervariasi. Prognosis reaksi seringkali sukar diramalkan walaupun didasarkan atas riwayat reaksi alergi pasien. Orang yang pernah mengalami reaksi alergi, umpamanya oleh penisilin, tidak selalu mengalami reaksi itu kembali ketika diberikan obat yang sama.2 Sebaliknya orang tanpa riwayat alergi dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan ulang penisilin, Reaksi alergi pada kulit akibat penggunaan penisilin dapat menghilang sendiri, walaupun terapinya diteruskan. Peristiwa ini rnungkin berdasarkan pada desensitisasi. Tetapi pada kejadian reaksi alergi yang lebih berat daripada eksantem kulit, tidaklah bijaksana untuk meneruskan terapi; sebab makin berat silat reaksi pertama makin besar kemungkinan timbulnya reaksi yang lebih berat pada pemberian ulang, berupa analilaksis, dermatitis eksfoliativa, angioudema, dan lain-lain. 2 REAKSI IDIOSINKRASI. Gejala ini merupakan reaksi abnormal yang turunkan secara genetic terhadap pemberian antimikroba tartentu. Sebagai conloh, 10% pria berkulit hitam akan rnengalami anemia hemolitik berat bila rnendapat primakuin. ini disebabkan mereka kekurangan enzim G6PD. 2 REAKSI TOKSIK. AM pada umumnya bersilattoksik-selektif, tetapi silat ini relatit. Efek toksik pada hospes dapal ditimbulkan oleh semua jenis AM. Yang mungkin dapat dianggap relatil tidak toksik sampai kini ialah golongan penisilin. Dalam menimbulkan elek toksik, masing-masing AM dapat memiliki predileksi terhadap organ atau sistem tertentu pada tubuh hospes. Golongan aminoglikosida pada umumnya bersifatat toksik terutama terhadap N. VIII

Golongan tetrasiklin cukup terkenal dalam mengganggu pertumbuhan jaringan tulang, termasuk gigi, akibat deposisi kompleks tetrasiklin kalsium-ortolosfat. Dalam dosis besar obat ini bersifat hepatotoksik, terutama pada pasien pielonelritis dan pada wanita hamil. Di samping faktor jenis obat, berbagai factor dalam tubuh dapat turut menentukan terjadinya reaksi toksik; antara lain lungsi organ/sistem tertentu sehubungan dengan biotranslormasi dan ekskresi obal. PERUBAHAN BIOLOGIK DAN METABOLIK. Pada tubuh hospes, baik yang sehat maupun yang menderita inleksi, terdapat populasi mikrollora normal. Dengan keseimbangan ekologik, populasi rnikroflora tersebut biasanya tidak menunjukkan sifat patogen. Penggunaan AM, terutama yang berspektrum lebar, dapal mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora sehingga jenis mikroba yang meningkat jumlah populasinya dapat menjadi patogen. Gangguan keseimbangan ekologik flora normal tubuh dapal terjadi di saluran cerna, napas dan kelamin, dan pada kulit. Pada beberapa keadaan perubahan ini dapat menimbulkan superinfeksi yaitu suatu inleksi baru yang terjadi akibat terapi inleksi primer dengan suatu AM. Mikroba penyebab superinfeksi biasanya ialah jenis mikroba yang menjadi dominan pertumbuhannya akibat penggunaan AM, umpamanya kandidiasis sering timbul sebagai akibat penggunaan antibiotik berspektrum lebar, khususnya tetrasiklin. Pada pasien yang lemah, superinleksi potensialdapat sangat berbahaya, sebab kebanyakan mikroba penyebab superinfeksi biasanya ialbh kuman gram-negatif dan stalilokok yang multi-resisten terhadap obat, Candida serta tungus sejati. Keadaan superinleksi secara khusus dapat menimbulkan kesulitan di rumah sakit. Kejadian resislensi galur kuman yang tadinya sensitil terhadap suatu AM, di rumah sakit terus meningkat, sehingga bila superinleksi terjadi dengan mikroba yang telah menjadi resisten, terapi akan sangat sukar berhasil.

2.5 CARA PEMBUATAN ANTIBIOTIK Produksi antibiotik secara komersial dimulai dari idenitifikasi organisme, yang dapat menghasilkan komponen antibiotik. Kemudian dilakukan pengujian

organisme tersebut terhadap bakteri lain yang telah diketahui bersifat infeksius. Jika didapatkan hasil yang diinginkan, organisme yang berpotensi sebagai antibiotik tersebut di biakan dalam skala besar, sehingga komponen yang memiliki efek antibiotik dapat diisolasi.

Beberapa antibiotik diproduksi secara alami oleh jamur. Cephalosporin diproduksi oleh Acremonium chrysogenum. Erithromisin diproduksi oleh Streptomyces erythreus

dan

sekarang

dikenal

sebagai

Saccharopolyspora

erythraea.

Streptomisin diproduksi oleh Streptomyces griseus. Tetracycline diproduksi oleh Streptomyces aureofaciens. Vancomycin diproduksi oleh Streptomyces orientalis, sekarang dikenal sebagai Amycolatopsis orientali. 7-10

Meskipun tingginya jumlah antibiotik yang diketahui, hanya sedikit yang diproduksi dengan cara fermentasi. Selain itu, beberapa antibiotik semisintetik lainnya diproduksi dari awal produk mikroba, dan akhirnya beberapa dari mereka diproduksi dengan cara yang benar-benar sintetis, misalnya koramfenikol, fosfomisin.10

2.6 RESISTENSI Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antimikroba. Sifat ini dapat merupakan suatu mekanisme alamiah untuk bertahan hidup. Pembahasan resistensi dibagi dalam kelompok resistensi genetik, resistensi nongenetik dan resistensi silang, serta mekanisme peristiwa resistensi.2 a. Resistensi Genetik i. Mutasi Spontan Dengan mutasi spontan gen mikroba berubah, sehingga mikroba yang sensitif

Terhadap suatu antimikroba menjadi resisten. Kejadian ini

dinamakan mutasi Spontan karena terjadi tanpa pengaruh ada tidaknya antimikroba tersebut. ii. Resistensi di pindahkan

Mikroba dapat berubah menjadi resisten akibat memperoleh suatu elemen pembawa laktor resisten. Faktor ini mungkin didapat dengan cara transformasi, transdulsi atau konyugasi. Dengan transformasi, mikroba menginkorporasi faktor resistensi langsung dari media sekitarnya (lingkungannya). pada trainsduksi, faktor

resistensi dipindahkan dari

suatu mikroba resisten ke mikroba sensitif dengan perantaraan bakteriofag.. Dengan konyugasi terbentuklah hubungan langsung ('saluran,) antara isi sel kuman yang saling berkonyugasi, sehingga memungkinkan perpindahan berbaiai komponen antar kuman khususnya komponen pembawa faktor resistensi. Faktor resistensi yang dipindahkan terdapat dalam dua bentuk, plasmid dan episom. a.

Resisitensi Non Genetik

Bakteri datam keadaan istirahat (inaktivitas metabolik) biasanya tidak dipengaruhi oleh antimikroba. Keadaan ini dikenal sebagai resistensi nongenetik. Mikroba tersebut dikenal sebagai persisters. Bila berubah menjadi aktif kembali, mikroba kembali bersifat sensitif, dan keturunannya juga tetap bersifat sensitif terhadap antimikroba seperti semula. lni merupakan masalah pada pengobatan lepra dan tuberkulosis.m b. Resistensi Silang Resistensi sitang, ialah keadaan resistensi terhadap antimikrobl tertentu yang juga memperlihatkan sifat resistensi terhadap antimikroba yang lain. Resistensi silang biasanya terjadi antara antimikroba dengan struktur kimia yang hampir sama, umpamnya antara berbagai derivat tetrasiklin, atau antara antimikroba dengan struktur kimia yang agak berbeda tetapi mekanisme kerjanya hampir sama. Misalnya linkomisin dan eritromisin. Ada lima mekanisme resistensi mikroba, yakni: 13 (1 ) Perubahan tempat kerja (target site) obat pada mikroba Interaksi antara antibiotik dan molekul target memiliki peranan penting pada mekanisme kerja antibotik menghambat pertumbuhan bakteri. Perubahan molekul target dapat berakibat pada efisiensi interaksi ini, yang berakibat pada resisntensi. Vancomycin menghambat sintesis dinding sel bakteri Gram positif dengan cara

berikatan dengan C-terminal acyl-D-alanyl-D-alanine (acylD-Ala-D-Ala) dari prekursor peptidoglikan. Resistensi dapat terjadi dengan perubahan D-Ala-D-Ala menjadi D-alanyl-D-lactate (D-AlaD-Lac) atau D-alanyl-D-serine (D-Ala-D-Ser). (2) Mengubah Outer Membran sel Bakteri Gram negatif memiliki OM yang terdiri dari fosfolipid di bagian dalam dan lipid A di bagian luar. Komposisi OM bakteri berpengaruh terhadap masukan dan transportasi antibiotik ke dalam sel. Molekul antibiotik dapat masuk ke dalam sel bakteri dengan tiga cara, yaitu: difusi melalui porin, difusi melalui billayer, dan self-promoted uptake. Antibiotik yang memimiliki struktrur kecil dapat masuk ke dalam sel melalui porin. Resistensi pada P.aureginosa salah satunya disebabkan oleh menurunnya permiabilitas diakibatkan perubahan pada porin.

(3) Sistem Pompa Aktif dari Dalam Keluar Sel (Efflux Pump) Sistem pompa aktif adalah suatau mekanisme yang bertangggung jawab terhadap perpindahan bahan toksik, termasuk antibiotik, dari dalam keluar sel. Banyak sistem pompa aktif yang sudah diidentifikasi berperan mengeluarkan antibiotik keluar sel bakteri. Sistem pompa dapat spesifik untuk antibiotik tertentu, namun demikian yang umum terjadi adalah multidrug transporter. Seperti pada bakteri S.aureus yang memiliki sistim pompa MepA terhadap antibiotik tetracycline, ciprofloxacin, norfloxacin, dll.

(4) Meningkatkan produksi enzim yang dihambat oleh antimikroba. Antibiotik di nonaktifkan oleh sel bakteri dengan cara hidrolisis oleh enzim. Bakteri mensistesis enzim Beta-laktamase untuk menonaktifkan antibiotik yang memiliki cincin Beta laktam seperti golongan penicilin dan sefalosporin. Hidrolisis menyebabkan perubahan struktur kimia yang berakibat tidak berfungsinya antibiotik.

Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal) atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar terendah antibiotik

(µg/mL) yang mampu menghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai KHM menggambarkan tahap awal menuju resisten.2 Beberapa penyebab dari resistensi antibiotik adalah:11 1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional): terlalu singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnosa awal yang salah, dalam potensi yang tidak adekuat. 2. Faktor yang berhubungan dengan pasien. Pasien dengan pengetahuan yang salah akan cenderung menganggap wajib diberikan antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun disebabkan oleh virus, misalnya flu, batukpilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat. Pasien dengan kemampuan finansial yang baik akan meminta diberikan terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan. Bahkan pasien membeli antibiotika sendiri tanpa peresepan dari dokter (self medication). Sedangkan pasien dengan kemampuan finansial yang rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi. 3. Peresepan: dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan meningkat ketika diagnose awal belum pasti. Klinisi sering kesulitan dalam menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya. 4. Penggunaan monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi. 5. Perilaku hidup sehat: terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan dipakai untuk memeriksa pasien. 6. Penggunaan di rumah sakit: adanya infeksi endemik atau epidemik memicu penggunaan antibiotika yang lebih massif pada bangsal-bangsal rawat inap terutama di intensive care unit. Kombinasi antara pemakaian antibiotik yang lebih intensif dan lebih lama dengan adanya pasien yang sangat peka terhadap infeksi, memudahkan terjadinya infeksi nosokomial.

7. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak: antibiotik juga dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi. 8. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi serta didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran barang sehingga jumlah antibiotika yang beredar semakin luas. Hal ini memudahkan akses masyarakat luas terhadap antibiotika. 9.

Penelitian: kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan antibiotika baru

10. Pengawasan:lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan pemakaian antibiotika.Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi

MRSA

Staphylococcus aureus (S.aureus) merupakan penyebab infeksi bakteri yang cukup sering baik di negara maju maupun negara berkembang. Bakteri ini mudah beradaptasi, menyebabkan berbagai infeksi dengan berbagai tingkat keparahan yang mempengaruhi kulit, jaringan lunak, sistem pernapasan, tulang, sendi dan jaringan endovaskular. S.aureus juga hidup sebagai bakteri komensal, yang berkoloni di bagian anterior nares pada satu pertiga populasi yang sehat. Bakteri ini banyak yang sudah mengalami resistensi terhadap beberapa golongan antibiotik , terutama golongan β-laktam. S.aureus yang mengalami resistensi terhadap banyak antibiotik ini

juga disebut MRSA (Methicillin resistant

Staphylococcus aureus). Selain tahan terhadap antibiotik β-laktam, MRSA juga tahan

terhadap

antibiotik

kelas

lainnya

seperti

fluorokuinolon, aminoglikosida dan linkosamid. 13

tetrasiklin,

makrolida,

Terdapat dua jenis MRSA berdasarkan tempat terjadinya infeksi pertama kali, yaitu

Hospital Associated Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (HA-

MRSA) yang menginfeksi orang-orang di tempat pelayanan kesehatan, serta Community Associated Methicillin Staphylococcus aureus (CA-MRSA) yang menginfeksi komunitas dan tidak berkaitan dengan tempat pelayanan kesehatan. Telah dilaporkan bahwa HA-MRSA banyak yang mengalami mengalami MDR (Multi Drug Resistence). Sedangkan CA-MRSA dilaporkan masih suseptible terhadap antibiotik golongan non-beta laktam. 14 Untuk mengidentifikasi MRSA dapat dilakukan kultur bakteri, spesimen dapat diambil darah, urin, sputum, atau sampel cairan tubuh lainnya, dan dalam jumlah yang cukup untuk melakukan tes konfirmasi sejak awal. Namun, karena tidak ada metode cepat dan mudah untuk mendiagnosis MRSA, pengobatan awal infeksi sering didasarkan pada 'kecurigaan kuat' dan teknik oleh dokter yang merawat; ini termasuk prosedur PCR kuantitatif, yang digunakan di laboratorium klinis untuk mendeteksi secara cepat dan mengidentifikasi strain MRSA. 16,17 CA-MRSA-terkait infeksi kulit dan jaringan lunak

diobati dengan

antibiotik oral termasuk doxycycline, minocycline, clindamycin, trimethoprimsulfamethoxazole, rifampisin, dan asam fusidat. Vankomisin merupakan pengobatan intravena lini pertama pada infeksi CA-MRSA dan HA-MRSA. Namun tingginya angka kegagalan pada klinis, serta neftrotoksikitas dan munculnya strain nonsusceptible, telah mengurangi efektifitas dari obat ini. Linezolid oral digunakan untuk mengobati infeksi MRSA yang serius. Golongan glikopeptida seperti telavancin, dalbavancin serta sefalosporin genenersi kedua seperti ceftobipirole dan ceftaroline juga efektif terhadap pengobatan infeksi MRSA.

2.7 RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK Penggunaan obat rasional termasuk antibiotika adalah pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai

dengan kebutuhannya, dalam satu kurun waktu yang adekuat dan harga terendah baginya dan masyarakat sekitarnya. Kriteria pemakaian obat yang rasional. Penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria: 1

1. Tepat diagnosis Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. 2. Tepat indikasi penyakit Antibiotik tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited). 3. Tepat pemilihan obat Pepmilihan jenis antibiotik harus berdasarkan pada: a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman terhadap antibiotik. b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi. c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik. d. Melakukan

de-eskalasi

setelah

mempertimbangkan

hasil

mikrobiologi dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat. e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman. 4. Tepat dosis Pemberian dosis yang berlebihan, khusunya untuk obat yang memiliki rentang terapi sempit, sangat beresiko timbul efek samping. Sebaliknya apabila dosis terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan. 5. Tepat cara pemberian, interval waktu pemberian, lama pemberian 6. waspada terhadap efek samping

Pemberian antibiotik secara bersamaan dengan antibiotik lain, obat lain atau makanan dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Efek dari interaksi yang dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang ringan seperti penurunan absorpsi obat atau penundaan absorpsi hingga meningkatkan efek toksik obat lainnya. Sebagai contoh pemberian siprofloksasin bersama dengan teofilin dapat meningkatkan kadar teofilin dan dapat berisiko terjadinya henti jantung atau kerusakan otak permanen. 7. Tepat penilaian kondisi pasien Respons individu terhadap efek obat sangat beragam. 8. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin serta tersedia setiap saat dengan harga terjangkau. Antibiotik yang tersedia di Indonesia bisa dalam bentuk obat generik, obat merek dagang, obat originator atau obat yang masih dalam lindungan hak paten (obat paten). Harga antibiotik pun sangat beragam. Peresepan antibiotik yang mahal, dengan harga di luar batas kemampuan keuangan pasien akan berdampak pada tidak terbelinya antibiotik oleh pasien, sehingga mengakibatkan terjadinya kegagalan terapi. Setepat apa pun antibiotik yang diresepkan apabila jauh dari tingkat kemampuan keuangan pasien tentu tidak akan bermanfaat.

2.8 PEMILIHAN TERAPI ANTIBIOTIK Berdasarkan penggunaannya, antibiotik dibagi menjadi dua yaitu antibiotik terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi digunakan pada pasien dengan kasus infeksi dan penggunaannya dapat bersifat empiris atau definitif. 1 1. Antibiotik Terapi Empiris a.

Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. 1

b.

Indikasi: ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi. 1) Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat. 2) Kondisi klinis pasien. 3) Ketersediaan antibiotik. 4) Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan/organ yang terinfeksi. 5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan antibiotik kombinasi.

c.

Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral 1

d.

Lama pemberian: antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 4872 jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya.

e.

Evaluasi penggunaan antibiotik empiris dapat dilakukan seperti pada tabel berikut. 1

2. Antibiotik untuk Terapi Definitif a. Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri

yang

menjadi

penyebab

infeksi,

berdasarkan

hasil

pemeriksaan mikrobiologi. 1 b. Indikasi: sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi. c. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik: 1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik. 2) Sensitivitas.

3) Biaya. 4) Kondisi klinis pasien. 5) Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit. 6) Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit). 7) Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang terkini. 8) Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten. d. Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera diganti dengan antibiotik per oral. e. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk

eradikasi

bakteri

sesuai

diagnosis

awal

yang

telah

dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya.

3. Antibiotik untuk Terapi Profilaksis Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat operasi antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri . Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung1

4. Penggunaan Antibiotik Kombinasi 1. Antibiotik kombinasi adalah pemberian antibiotik lebih dari satu jenis untuk mengatasi infeksi. 1 2. Tujuan pemberian antibiotik kombinasi adalah: 1

a. Meningkatkan aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik (efek sinergis). b. Memperlambat dan mengurangi risiko timbulnya bakteri resisten. 3. Indikasi penggunaan antibotik kombinasi a. Infeksi disebabkan oleh lebih dari satu bakteri (polibakteri). b.

Abses intraabdominal, hepatik, otak dan saluran genital (infeksi campuran aerob dan anaerob).

c. Terapi empiris pada infeksi berat. 1 4. Hal-hal yang perlu perhatian a. Kombinasi antibiotik yang bekerja pada target yang berbeda dapat meningkatkan atau mengganggu keseluruhan aktivitas antibiotik. b. Suatu kombinasi antibiotik dapat memiliki toksisitas yang bersifat aditif atau superaditif. Contoh: Vankomisin secara tunggal memiliki efek nefrotoksik minimal, tetapi pemberian bersama aminoglikosida dapat meningkatkan toksisitasnya. c. Diperlukan pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi dan antibiotik untuk mendapatkan kombinasi rasional dengan hasil efektif. d. Hindari penggunaan kombinasi antibiotik untuk terapi empiris jangka lama. e. Pertimbangkan peningkatan biaya pengobatan pasien1

BAB 3 KESIMPULAN

Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Penggunaan antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Antimikroba (AM) ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan manusia. Berasal dari zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain Berdasarkan penggunaannya, antibiotik dibagi menjadi dua yaitu antibiotik terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi digunakan pada pasien dengan kasus infeksi dan penggunaannya dapat bersifat empiris atau definitif. Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antimikroba. Sifat ini dapat merupakan suatu mekanisme alamiah untuk bertahan hidup. Penggunaan obat rasional termasuk antibiotika adalah pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhannya, dalam satu kurun waktu yang adekuat dan harga terendah baginya dan masyarakat sekitarnya

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. Pedoman umum penggunaan antibiotik. Jakarta: PB Perkeni. 2015. 2. Syarif A, Estuningtyas A, Setiawati A, Muchtar A, Arif A, Bahry B et. al. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FK UI; 2012. 3. Carroll KC, Hobden JA, Miller S, Morse SA, Mietzner TA, Detrick B et al. Jawetz,Melnick & Adelbergs’s medical microbiology. 27 ed. United state: The McGraw-Hill education; 2016 4. Tjay, T. H., dan Rahardja, K. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan,

dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 2007. p193. 5. Lüllmann, H., H. Mohr, L. Hein and D. Bieger. Color Atlas of

Pharmacology 2nd ed, 2000. 6. Najafpour G. Biochmeical engineering and biotechnology. Elsevier: Newyork. 2007. p 263-79 7. Clardy J,

Fischbach

M,

Currie

C.

The

antibiotics". Current Biology. 19 (11): p437–41.

natural

history of

8.

Carolina C. Penicillin and cephalosporin production: A historical perspective" . Revista Latinoamericana de Microbiologia. 49. 3-4: 88–98.

9. Wu, Jiequn; Zhang, Qinglin; Deng, Wei; Qian, Jiangchao; Zhang, Siliang; Liu, Wen ."Toward Improvement of Erythromycin A Production in an Industrial Saccharopolyspora erythraea Strain via Facilitation of Genetic Manipulation

with

an

Recombination". Applied

Artificial and

attB

Environmental

Site

for

Specific

Microbiology. 77 (21):

7508–16. 10. Crueger,

W. Biotechnology:

A

Textbook

of

Industrial

Microbiology. Sunderland: Sinauer Associates, Inc., 1989 11. Utami RE. Antibiotika, Resistensi, Dan Rasionalitas. El-Hayah. 2011 [accessed

Apr

24

2018];

1(4)

Available

from:

https://www.researchgate.net/publication/265579606_ANTIBIOTIKA_RE SISTENSI_DAN_RASIONALITAS_TERAPI 12. Amin ZL. Pemilihan antibiotic rasional. Medicinus . 2014 (cited 23 April 2018): 27(03). Available from: http://www.dexamedica.com/sites/default/files/Medicinus%20Desember%202014.pdf 13. Wibawa T. Mechanism og Antibiotic Resistance in Bacteria. Libmed UGM. 2015 (Cited 7 mei 2018); available from: libmed.ugm.ac.id/download.php?file=psd^pdf^134^13351920161109

Related Documents

Antibiotik Lo.docx
December 2019 32
Refarat Insomnia.docx
November 2019 23
Refarat Hifema.docx
May 2020 21
Antibiotik Diare.pdf
May 2020 18
Refarat Oa.docx
April 2020 27

More Documents from "Gerard"