Definisi Gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat badan menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan seperti itu termasuk mikrojasad, parasit (seperti cacing), sel kanker, dan malah pencangkokan organ dan jaringan. Bahan yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen. Antigen adalah molekul yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel (seperti bakteri, virus, atau sel kanker). Beberapa antigen ada pada jaringan sendiri tetapi biasanya, sistem imunitas bereaksi hanya terhadap antigen dari bahan asing atau berbahaya, tidak terhadap antigen sendiri. Sistem
munitas kadang-kadang rusak, menterjemahkan
jaringan tubuh sendiri sebagai antigen asing dan menghasilkan antibodi (disebut autoantibodi) atau sel imunitas menargetkan dan menyerang jaringan tubuh sendiri. Respon ini disebut reaksi autoimun. Hal tersebut menghasilkan radang dan kerusakan jaringan. Efek seperti itu mungkin merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang menghasilkan jumlah yang begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan autoimun tidak terjadi. Sistem kekebalan pada keadaan tertentu tidak mampu bereaksi terhadap antigen yang lazimnya berpotensi menimbulkan respon imun. Keadaan tersebut disebut toleransi kekebalan (immunological tolerance) dan terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu :
1. Deleksi klonal, yaitu eliminasi klon (kelompok sel yang berasal dari satu sel) limfosit, terutama limfosit T dan sebagian kecil lmfosit B, selama proses pematangan; 2. Anergi klon, yaitu ketidakmampuan klon limfosit menampilkan fungsinya; 3. Supresi klon, yaitu pengendalian fungsi “pembantu” limfosit T.
Pada umumnya, sistem kekebalan dapat membedakan antar antigen diri (self antigen) dan antigen asing atau bukan diri (non-self antigen). Dalam hal ini terjadi toleransi imunologik terhadap antigen diri (self tolerance). Apabila sistem kekebalan gagal membedakan antara antigen self dan non-self, maka terjadi pembentukan limfosit T dan B yang auto reaktif dan mengembangkan reaksi terhadap antigen diri (reaksi auto imun).
Penyakit Autoimmune (rhematoid-arthritis)
Penyakit autoimun terdiri dari dua golongan, yaitu : 1. Khas organ (organ specific) dengan pembentukan antibodi yang khas organ 2.
Bukan khas organ (non-organ specific), dengan pembentukan auto antibodi yang tidak terbatas pada satu organ.
II.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada perkembangan penyakit autoimun Penyakit autoimun timbul akibat patahnya toleransi kekebalan diri dan dipengaruhi oleh berbagai faktor (multi faktor). Faktor-faktor yang bersifat predisposisi dan/atau bersifat kontributif adalah:
1.
Genetik, yaitu haplotipe HLA tertentu meningkatkan risiko penyakit autoimun. Reaksi autoimun dijumpai .
2. Kelamin (gender), yaitu wanita lebih sering daripada pria. 3.
Infeksi, yaitu virus Epstein-Barr, mikoplasma, streptokok, Klebsiella, malaria, dll, berhubungan dengan beberapa penyakit autoimun;
4. Sifat autoantigen, yaitu enzim dan protein (heat shock protein) sering sebagai antigen sasaran dan mungkin bereaksi silang dengan antigen mikroba; 5. Obat-obatan, yaitu obat tertentu dapat menginduksi penyakit autoimun; 6. Umur, yaitu sebagian besar penyakit autoimun terjadi pada usia dewasa.
III.
Penyebab
Reaksi autoimun dapat dicetuskan oleh beberapa hal :
Senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu (disembunyikan dari sistem kekebalan tubuh) dilepaskan ke dalam aliran darah. Misalnya, pukulan ke mata bisa membuat cairan di bola mata dilepaskan ke dalam aliran darah. Cairan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali mata sebagai benda asing dan menyerangnya.
Senyawa normal di tubuh berubah, misalnya, oleh virus, obat, sinar matahari, atau radiasi. Bahan senyawa yang berubah mungkin kelihatannya asing bagi sistem kekebalan
tubuh. Misalnya, virus bisa menulari dan demikian mengubah sel di badan. Sel yang ditulari oleh virus merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menyerangnya.
Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin memasuki badan. Sistem kekebalan tubuh dengan kurang hati-hati dapat menjadikan senyawa badan mirip seperti bahan asing sebagai sasaran. Misalnya, bakteri penyebab sakit kerongkongan mempunyai beberapa antigen yang mirip dengan sel jantung manusia. Jarang terjadi, sistem kekebalan tubuh dapat menyerang jantung orang sesudah sakit kerongkongan (reaksi ini bagian dari demam rheumatik).
Sel yang mengontrol produksi antibodi misalnya, limfosit B (salah satu sel darah putih) mungkin rusak dan menghasilkan antibodi abnormal yang menyerang beberapa sel badan. Keturunan mungkin terlibat pada beberapa kekacauan autoimun. Kerentanan kekacauan, daripada kekacauan itu sendiri, mungkin diwarisi. Pada orang yang rentan, satu pemicu, seperti infeks virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat kekacauan berkembang. Faktor hormonal juga mungkin dilibatkan, karena banyak kekacauan autoimun lebih sering terjadi pada wanita.
IV.
Gejala Gangguan autoimun dapat menyebabkan demam. Gejala bervariasi bergantung pada gangguan dan bagian badan yang terkena. Beberapa gangguan autoimun mempengaruhi jenis tertentu jaringan di seluruh badan misalnya, pembuluh darah, tulang rawan atau kulit. Gangguan autoimun lainnya mempengaruhi organ khusus. Sebenarnya organ yang mana pun, termasuk ginjal, paru-paru, jantung dan otak bisa dipengaruhi. Hasil dari peradangan dan kerusakan jaringan bisa menyebabkan rasa sakit, merusak bentuk sendi, kelemahan, penyakit kuning, gatal, kesukaran pernafasan, penumpukan cairan (edema), demam, bahkan kematian.
V.
Diagnosa Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga sebagai gangguan autoimun. Misalnya, pengendapan laju eritrosit (ESR) seringkali meningkat, karena protein yang dihasilkan dalam merespon radang mengganggu kemampuan sel darah merah (eritrosit) untuk tetap ada di darah. Sering, jumlah sel darah merah berkurang
(anemia) karena radang mengurangi produksi mereka. Tetapi radang mempunyai banyak sebab, banyak di antaranya yang bukan autoimun. Dengan begitu, dokter sering mendapatkan pemeriksaan darah untuk mengetahui antibodi yang berbeda yang bisa terjadi pada orang yang mempunyai gangguan autoimun khusus. Contoh antibodi ini ialah antibodi antinuclear, yang biasanya ada di lupus erythematosus sistemik, dan faktor rheumatoid atau anti-cyclic citrullinated peptide (anti-CCP) antibodi, yang biasanya ada di radang sendi rheumatoid. Antibodi ini pun kadang-kadang mungkin terjadi pada orang yang tidak mempunyai gangguan autoimun, oleh sebab itu dokter biasanya menggunakan kombinasi hasil tes dan tanda dan gejala orang untuk mengambil keputusan apakah ada gangguan autoimun.
VI.
Pengobatan Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimun dengan menekan sistem kekebalan tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimun juga mengganggu kemampuan badan
untuk
berjuang
melawan
penyakit,
terutama
infeksi.
Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti azathioprine, chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine, mycophenolate, dan methotrexate, sering digunakan, biasanya secara oral dan seringkali dalam jangka panjang. Obat ini menekan bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga kemampuan badan untuk membela diri terhadap senyawa asing, termasuk mikro-jasad penyebab infeksi dan sel kanker. Konsekwensinya,
risiko
infeksi
tertentu
dan
kanker
meningkat.
Sering kortikosteroid seperti prednison diberikan secara oral. Obat ini mengurangi radang sebaik menekan sistem kekebalan tubuh. Kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang memiliki banyak efek samping. Kalau mungkin kortikosteroid dipakai untuk waktu yang pendek sewaktu gangguan mulai atau sewaktu gejala memburuk. Tetapi kadang-kadang harus dipakai untuk jangka waktu tidak terbatas. Gangguan autoimun tertentu (seperti multipel sklerosis dan gangguan tiroid) juga diobati dengan obat lain daripada imunosupresan dan kortikosteroid. Pengobatan untuk mengurangi gejala juga mungkin diperlukan.
Etanercept, infliximab, dan adalimumab menghalangi aksi faktor tumor necrosis (TNF), bahan yang bisa menyebabkan radang di badan. Obat ini sangat efektif dalam mengobati radang sendi rheumatoid, tetapi mereka mungkin berbahaya jika digunakan untuk mengobati gangguan autoimun tertentu lainnya, seperti multipel sklerosis. Obat ini juga bisa menambah risiko infeksi dan kanker tertentu. Obat baru tertentu secara khusus membidik sel darah putih. Sel darah putih menolong pertahanan tubuh melawan infeksi tetapi juga berpartisipasi pada reaksi autoimun. Abatacept menghalangi pengaktifan salah satu sel darah putih (sel T) dan dipakai pada radang sendi rheumatoid. Rituximab, terlebih dulu dipakai melawan kanker sel darah putih tertentu, bekerja dengan menghabiskan sel darah putih tertentu (B lymphocytes) dari tubuh. Efektif pada radang sendi rheumatoid dan dalam penelitain untuk berbagai gangguan autoimun lainnya. Obat lain yang ditujukan melawan sel darah putih sedang dikembangkan.
Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun. Darah dialirkan dan disaring untuk menyingkirkan antibodi abnormal. Lalu darah yang disaring dikembalikan kepada pasien. Beberapa gangguan autoimun terjadi tak dapat dipahami sewaktu mereka mulai. Tetapi kebanyakan gangguan autoimun kronis. Obat sering diperlukan sepanjang hidup untuk mengontrol gejala. Prognosis bervariasi bergantung pada gangguan.
1.
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Penyakit ini tergolong penyakit autoimun non organ specific. Penderita umumnya adalah wanita dengan perbandingan wanita terhadap pria 9:1; kebanyakan menjangkiti usia reproduktif, namun dapat juga terjadi pada masa kanak-kanak. Gejala kliniknya dapat sangat bervariasi dari yang tidak khas sampai kepada yang khas, begitu juga dengan intensitasnya dari yang ringan sampai yang berat. Gejala klinik :
Ruam kulit pada pipi dan hidung yang menyerupai gambar kupu-kupu (butterfly rash), arthritis, demam, pleuritis dan fotosensitif. Demam yang tak diketahui sebabnya,
Arthritis yang menyerupai arthritis rheumatoid atau demam reuma, Rambut rontok, anemia/ kelainan hematologik lainnya, Peradangan mukosa, kelainan ginjal, Gejala neurologik berupa kejang bahkan psikosis, dan serositis.
Lupus Beberapa faktor etiologi yang dianggap berperan dalam timbulnya penyakit ini adalah : # Genetik Faktor ini dibuktikan perannya melalui adanya fakta di mana kejadian penyakit serupa pada kembar monozigotik sebanyak kira-kira 20% dibandingkan dengan pada kembar dizogotik yang hanya 3%. Kemudian juga ditemukan fakta bahwa anggota keluarga yang tidak manifes secara klinik, ternyata menunjukkan adanya autoantibodi di serum. Fenomena terakhir ini juga merupakan indikasi bahwa manifestasi klinik penyakit autoimun ditentukan juga oleh faktor pencetus lainnya, misalnya faktor lingkungan / nongenetik. Selanjutnya, jenis HLA tertentu yang dulu dianggap merupakan predisposisi terhadap penyakit autoimun, ternyata berkaitan dengan pembentukan autoantibodi tertentu seperti anti ds-DNA, anti Sm dan antifosfolipid. # Non-genetik Obat-obatan seperti hidralazin, procainamid dan D-penicillamin dapat mencetuskan lupus eritematosus pada manusia. Sinar matahari, khususnya ultraviolet juga berefek serupa karena akan memacu keratinosit membentuk IL-1. Hal lainnya adalah virus serta hormon seksual. Eksaserbasi yang terjadi seiring dengan daur haid merupakan petunjuk peran hormon seks ini. Imunologik Kelainan fungsi sistem imun diduga mendasari proses terjadinya lupus. Letak kelainan masih kontroversial, semula diduga sebagai akibat sel B yang hperaktif pada perangsangan poliklonal, namun belakangan ini ditemukan indikasi bahwa letak kelainan adalah pada sel T penolong. Mekanisme imunologik yang mendasari kerusakan jaringan pada umumnya adalah hipersensitifitas tipe III.
3.
Sindroma Syögren Penyakit ini ditandai dengan keluhan kekeringan pada mata (xerophtalmia) dan
mulut (xerostomia). Kelenjar eksokrin lain dapat juga terlibat antara lain di saluran pernapasan, saluran cerna serta reproduksi. Pada kelenjar liur dan kelenjar air mata dijumpai disebukan limfosit padat disertai atrofi asinus atau duktus. Sebagian besar sel limfosit adalah sel T penolong dan sebagian kecil adalah sel B serta sel plasma. Diduga sel T sitotoksik dan Ig (autoantibodi) yang melakukan destruksi terhadap asinus dan duktus. Hal yang menarik adalah dtemukannya monoklonalitas pada populasi sel B di jaringan kelenjar; dan memang pada sebagian kasus, di kemudian hari ternyata berkembang menjadi limfoma malignum. Gejala klinik dapat berupa penglihatan yang kabur, mata gatal bahkan ulserasi kornea; sariawan-fisura mulut, kesulitan menelan, penurunan daya pengecap, pembengkakan parotis. Dapat juga terjadi gangguan pada hidung berupa epistaksis, kering dan ulserasi septum; bronkitis, pneumonitis dan lain-lain.
PATOGENESIS a. Faktor genetik Hubungan faktor genetik dengan penyakit autoimun adalah yang paling jelas serta dengan pengaruh MHC. Karena penyakti autoimun adalah penyakit yang bergantung pada sel T sedangkan seluruh repon imun diperantarai oleh sel T yang bergantung pada MHC. Ada beberapa hal tertentu yang kemungkinan pewarisan sekuen-sekuen MHC tertentu dengan penyakit autoimun yaitu : 1) Struktur molekul MHC dapat menentukan klon limfosit yang mana seleksi negatif selama maturasi. 2) Mulekul MHC kelas II dapat mempngarui aktivitas sel T regulator yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas. 3) Gen yang diasosiasikan dengan penyakit tertentu mungkin saja bukan alel HLA tetapi suatu gen yang terletak dalam kompleks HLA. 4) Kemiripan antara antign mikroa dengan moleul self-MHC dapat mengakibatkan reaksi autoimunitas setelah infeksi mikroba bersangkutan. (Boediana,Siti.2001.) b. Infeksi dan kemiripan molekuler Banyak infeksi menunjukkan hubungan penyakit autoimun tertentu. Bberapa bakteri memiliki epitop yang sama dengan antigen sel sendiri. Respon imun timbul terhadapbakteri tersebut bermula pada rangsangan terhadap sel T yang selanjutnya merangsang pula sel B untuk membentuk autoantibodi.
c.Sequested antigen Sequested antigen adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sistem imun. Pada keadaan normla,sequested antigen tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomik seperti inflamasi dapat memajankan sequested antigen denga sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan normal.contohnya sperma dan protein intraokular. d.Kegagalan autoregulasi Regulasi imun berfungsi untuk mempertahankan homeostasis. Gangguan dapt terjadi pada presentasi antigen infeksi yang meningkatkan respn MHC,kadar sitokin rendah dan gangguan respon terhadap IL2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts dan Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka sel Th dapt dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas. e. Aktifasi sel B poliklonal Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus, LPS dan parasit malaria yang dapt merangsang sel B secara langsung yang menimbulkan autoimunitas. Antibodi yang terbentuk terdiri dari berbagai autoantibodi. f. Obat - obatan Antigen asing dapat diikat oleh permukaan sel dan mnimbulkan reaksi kimiadengan antigen permukaan sel tersebut yang dapt mengubah imunogenitasnya. Misalnya trombospenia dan anemia merupajkan contoh penyakit utoimun yang disebabkan oleh obat.
1.2 Etiologi Senyawa yang ada dibadan dan normalnya dibatasi di area tertentu (dan disembunyikan dari sistim kekebalan tubuh) kemudian dilepaskan pada aliran darah. Misalnya: pukulan kemata bisa membuat cairan bola mata dilepas pada aliran darah. Cairan merangsang sistem kekebalan darah untuk mengenali mata sebagai benda asing, dan menyerangnya. Senyawa normal di tubuh berubah, misalnya oleh virus, obat, sinar matahari atau radiasi. Sel tubuh yang diserang oleh tubuh atau bakteri akan merangsang kekebalan tubuh untuk menyerangnya. Senyawa asing yang menyerupai senyawa alami tubuh mungkin memasuki tubuh. Sistem kekebalan tubuh yang kurang hati-hati dapat mengakibatkan senyawa mirip tubuh sebagai
sasaran. Misalnya: Bakteri penyebab penyakit kerongkongan mempunyai beberapa antigen, yang mirip dengan antigen sel jantung manusia. Sel yang mengontrol produksi anti bodi misalnya limfosit B, mungkin rusak dan menghasilkan antibodi abnormal yang menyerang beberapa sel badan. Keturunan mungkin terlibat dalam beberapa kerancauan autoimun. Pada orang yang rentan, satu pemicu, seperti infeksi virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat kekacauan berkembang. I. PENYAKIT AUTOIMUN SPESIFIK ORGAN Beberapa penyakit autoimun endokrin merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam penyakit autoimun spesifik organ. Pada autoimunitas endokrin ini, proses diduga diawali dengan proses inflamasi dalam kelenjar endokrin. Sel-sel inflamasi menghasilkan berbagai sitokin yang merangsang ekspresi MHC kelas II pada permukaan sel endokrin. Kesalahan dalam ekspresi ini atau pengenalan kompleks MHC dengan antigen menyebabkan autoantigen dianggap sel asing sehingga sel-sel endokrin dihancurkan secara oksidatif dan enzimatik. Hal ini menyebabkan antigen-antigen kelenjar endokrin semakin banyak yang dilepas dan berinteraksi dengan sel-sel imun. Keberadaan autoantibodi akan menunjang diagnosis penyakit. Penyakit-penyakit yang akan dibahas berikutnya adalah tiroiditis Hashimoto, Grave’s disease, dan diabetes melitus tipe I. a. Tiroiditis Hashimoto
Pada penyakit ini, terjadi apoptosis yang mengakibatkan kehancuran sel-sel tiroid. Dalam prosesnya, respons imun selular berperan utama dalam menimbulkan keadaan patologik, meskipun autoantibodi juga dapat ditemukan dalam tiroiditis Hashimoto. Diduga sitotoksisitas yang terjadi adalah sitotoksisitas dengan bantuan antibodi (ADCC), karena di sini limofist T sendiri tidak bersifat sitotoksik terhadap sel kelenjar. Manifestasi klinis dapat berupa kelainan fungsi dan perbesaran kelenjar. b. Graves’ Disease atau Tirotoksikosis Grave
T irotoksikosis adalah peristiwa berlebihnya hormon tiroid pada tubuh yang biasa diakibatkan oleh hipertiroidisme atau hiperaktivitas tiroid. Graves’ disease merupakan penyebab hipertiroidisme yang paling umum. Penyakit ini timbul akibat produksi antibodi yang merangsang tiroid. Antibodi yang menstimulasi tiroid disebut juga thyroid-stimulating immunoglobulin (TSI) atau
long-acting thyroid stimulator (LATS). Target dari antibodi tersebut adalah reseptor TSH pada sel tiroid. TSI kemudian menstimulasi sekresi dan pertumbuhan tiroid seperti halnya hormon TSH. Akan tetapi, TSI tidak dapat diberikan negative-feedback sehingga pertumbuhan tiroid tersebut tidak terkontrol. Terkadang TSI juga dapat memblok produksi hormon tiroid sehingga menimbulkan gejala yang kompleks. c. Diabetes Melitus Tipe I
Diabetes melitus tipe I dahulu biasa disebut sebagai diabetes melitus yang bergantung insulin (insulin-dependent diabetes mellitus). Diabetes tipe ini adalah penyakit metabolik multisistem. Dasar penyakit ini adalah hancurnya sel-sel B pankreas yang memproduksi insulin oleh proses autoimun yang spesifik sel B sehingga produksi insulin terganggu. Hancurnya sel B dapat terjadi karena beberapa mekanisme, misalnya lisis oleh sel T sitotoksik, inflamasi yang dimediasi sel TH1 yang reaktif, produksi sitokin yang menghancurkan sel, dan autoantibodi. Gejala-gejala penyakit ini adalah hiperglikemia dan ketoasidosis. Ateroskerosis progresif dapat terjadi pada komplikasi kronis. Gejala ini dapat berujung pada nekrosis iskemik pada organ internal dan alat gerak. Saraf perifer, glomerulus, dan retina juga dapat rusak akibat obstruksi mikrovaskular. II. PENYAKIT AUTOIMUN NONSPESIFIK ORGAN Contoh penyakit autoimun nonspesifik organ yang paling sering dijumpai adalah lupus eritematosus sistemik (SLE) dan artritis reumatoid, tetapi ada juga penyakit lain seperti sklerosis sistemik, spondiloartropati seronegatif, dan Sindrom Sjörgen. Yang akan dibahas dalam LTM ini hanyalah SLE dan artritis reumatoid. a. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) SLE adalah penyakit autoimun kronis multisistemik yang umumnya terjadi pada wanita, dengan perbandingan insidens wanita banding pria 10:1. Faktor risiko SLE bergantung pada faktor genetik dan lingkungan. Gejala-gejala umum pada SLE adalah ruam, artritis, glomerulonefritis. SLE merupakan penyakit yang diakibatkan endapan kompleks imun. Pertama-tama, agregat kompleks imun akan disaring di ginjal sehingga mengendap di membran basal glomerulus. Kompleks lainnya dapat mengaktifkan komplemen sehingga terjadi proses inflamasi. Gejala yang bersifat sistemik pada SLE melibatkan berbagai organ, seperti sendi, sistem saraf pusat, jantung, dan ginjal. Akan tetapi, kematian oleh SLE umumnya disebabkan kerusakan pada ginjal.
Mekanisme pembentukan endapan kompleks imun pada SLE adalah hasil ikatan autoantibodi dengan berbagai sel sehingga menimbulkan artritis, glomerulonefritis, dan vaskulitis.Gejala-gejala seperti trombositopenia, anemia hemolitik, dan keterlibatan sistem saraf pusat juga umum ditemukan. Pembentukan kompleks imun oleh autoantibodi dengan eritrosit menghasilkan anemia hemolitik sedangkan autoantibodi dengan platelet menghasilkan trombositopenia. b. Artritis Reumatoid Artritis reumatoid (RA) adalah penyakit kelainan sendi yang terjadi akibat tulang dan tulang rawan yang rusak. Sendi-sendi yang rusak termasuk sendi pada jari, bahu, siku, lutut, dan pergelangan kaki. Respons imun seluler dan humoral sama-sama berperan dalam inflamasi pada sinovial. Seperti penyakit autoimun yang lain, faktor lingkungan dan genetik berpengaruh dalam menimbulkan penyakit ini. Dalam satu model mengenai ide patogenesis RA, faktor lingkungan seperti infeksi dan rokok merangsang pembentukan epitop antigen baru sehingga sel T dan antibodi individu-individu yang rentan gagal melakukan toleransi.
LO.2 PENYAKIT AUTOIMUN YANG BERMANIFESTASI PADA RONGGA MULUT 1. Stomatitis Aphtosa Rekuren (SAR) Banyak teori etiologi telah diusulkan untuk Stomatitis Aphtosa Rekuren (SAR) tidak ada faktor tunggal yang teridentifikasi. Defisiensi hematinik disertai berkurangnya kadar besi, asam folat, atau vitamin B12 diketemukan pada sebagian kecil pasien SAR dan koreksinya bias membuat gejala hilang. Secara klinis, SAR dikelompokkan menjadi tiga subkelompok, yaitu minor, mayor, dan herpetiform. Ketiga subtipe tersebut memberikan tanda klinis yang sama yakni ulser yang sakit berbentuk bulat atau oval dan teratur dengan batas eritematus yang kambuhan.
2. Oral Lichen Planus Penyebab lichen planus tidak diketahui walaupun diduga diperantarai imunologi dan dalam banyak hal mirip suatu reaksi hipersensitivitas terhadap antigen yang tidak dikenal. Kerusakan pada basal keratinosit dan hiperkeratinisasi menghasilkan lesi klinis yang khas. Lichen planus mempunyai gambaran khas sebagai bercak putih. Namun, bentuk atropi dan erosi akan menghasilkan lesi eritematosus dengan atau tanpa garis putih.
3. Anemia Pernisiosa Disebabkan oleh defisiensi vitamin B12. Penyebab primer adalaha utoimun yang mengakibatkan destruksi sel parietal gastrik yang memproduksi faktor intrinsik. Gejala klinisnya seperti anemia, yaitu lemah, lesu, sesak napas, dan pucat. Di dalam rongga mulut dorsum lidah eritema sakit dan depapilasi yang disebut “Hunter’s Glossitis” / “Moeller’s Glossitis”, keilitis angularis juga tampak pada anemia pernisiosa.
4. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Suatu penyakit inflamasi kronik yang idiopatik. Gambaran klinisnya mempunyai bercak bersisik yang bulat, meninggi, eritematus dan plak pada kulit yang terpapar sinar matahari yang berkembang menjadi jaringan parut atropik yang hipopigmentasi. Lesi oral juga menunjukan bercak yang berstria, keratotik dan eritematus yang mirip dengan lichen planus.
5. Pemfigmoid Membran Mukosa
Penyakit vesikolobulus autoimun yang dapat mengenai mukosa oral. Gambaran klinisnya dicirikan oleh pembentukan bula subpitel. Ada dua tipe pemfigmoid yang dibedakan secara klinis berdasar lokasinya yang berbeda. Pada pemfigmoidbulosa, keterlibatan mukosa sangat jarang dan lesikutan dominan, sedangkan pada pemfigmoid membrane mukosa keterlibatan kulit sangat jarang. Presentasi oral bervariasi tetapi sering terlihat sebagai daerah ulserasi mukosa yang nyeri atau gingivitis deskuamatif. Vesikel dan bula yang mungkin berisi darah jarang terlihat karna sudah pecah. Pasien umumnya mengatakan tepian mulutnya mengelupas.
6. Sindrom Sjogren Henrick Sjögren pertama kali mengemukakan hubungan antara mulut kering dengan mata kering pada tahun 1933. Sejak saat itu beberapa penelitian mengungkapkan keterlibatan kelainan jaringan ikat dan penyakit autoimun. Sekarang dikenal ada dua macam sindrom Sjögren. Sindrom sjögren primer sebelumnya disebut sindrom sicca yang terdiri dari mulut kering dan mata kering. Pada sindrom sjögren sekunder pasien mempunyai kelainan jaringan ikat selain mulut kering dan mata kering. Sindrom sjögren merupakan kondisi yang relatif umum dan diduga mengenai kira-kira 15% pasien dengan rematoid artritis. Pasien dengan sindrom sjögren sekunder cenderung menunjukkan manifestasi ekstraoral artritis rematoid. Pada kasus sindrom sjögren primer, tanda dan gejala terbatas pada mulut dan mata. Pembengkakan kelenjar saliva parotis terjadi pada kira-kira sepertiga kasus sindrom sjögren.
LO.3 PATOGENESIS AUTOIMUN Bahwa kehilangan atau gangguan self tolerance menyebabkan sistem imun dapat merusak sel atau jaringan tubuh sendiri dan menyebabkan kerusakan berbagai organ yang dikenal sebagai autoimun. Karena penyebab dan mekanisme kehilangan self-tolerance seperti yang disebut di atas bermacam-acam maka patogenesis berbagai penyakit autoimun juga bervariasi. Tetapi pada hakikatnya mekanisme kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sistem imun untuk memghancurkan mikroorganisme yang menginvasi tubuh dengan berbagai cara, antara lain:
1. Melalui mekanisme yang terjadi pada hipersensitifitas tipe II yang dimediasi antibodi. Dalam hal ini autoantibodi langsung mengikat autoantigen yang terdapat atau diekpresikan pada sel dan berakibat kerusakan sel. 2. Melalui mekanisme yang terjadi pada hipersensitifitas tipe III yang dimediasi oleh kompleks imun. Dalam hal ini autoantibodi mengikat autoantigen dan mengaktifkan komponen yang diikuti rekrutmen sel-sel inflamatorik dan berakibat kerusakan jaringan. 3. Kerusakan jaringan dapat juga terjadi langsung oleh sel T baik melalui reaksi hipersensitifitas tipe lambat (delayed type hypersensitivity, DTH) maupun pengrusakan sel atau jaringan secara langsung oleh sel sitotoksik (CTL). Kerusakan terjadi karena sel T mensekresikan berbagai sitokin khususnya IFN dan TNF yang mengaktifkan makrofag yang kemudian mensekresikan reactive oxygen spesies (ROS) dan menginduksi inflamasi. Selain itu CTL dapat langsung merusak sel sasaran (sitolisis) dengan mengeluarkan perforin / granzyme atau melalui mekanisme apoptosis. 4. Kadang-kadang antibodi terhadap reseptor merangsang atau menghambat fungsi sel tanpa merusaknya. Pengikatan autoantibodi terhadap reseptor spesifik mengakibatkan rangangan yang menyerupai rangsangan oleh hormone atau faktor pertumbuhan sehingga terjadi aktivasi. Hal ini terjadi antara lain oleh autoantibodi terhadap reseptor hormone TSH (TSH-R stimulating antibody) yang menimbulkan rangsangan pada kelenjar tiroid sehingga terjadi hipertiroidi seperti tampak penyakit Grave’s. Di lain pihak autoantibodi terhadap reseptor TSH juga dapat memblokir reseptor sehingga tidak berfungsi dan berakibat hipotiroidi seperti terjadi pada tiroiditis Hashimoto.