Psikologi Pendidikan

  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Psikologi Pendidikan as PDF for free.

More details

  • Words: 2,367
  • Pages: 8
Rosi  Selasa, 2008 April 29 Tugas I Membuat pertanyaan 1. Apa motif dan motivasi siswa dalam belajar? 2. Bagaimana potensi bwaan siswa dalam meraih kesuksesan dan kebahagiaan hidupnya? 3. Apa yang dapat mempengaruhi terhadap lingkungan belajar siswa? 4. Sebutkan contoh keunikan pribadi siswa? Tugas II 1. Teori Belajar Behaviorisme

Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon). Teori Behavioristik: 1. Mementingkan faktor lingkungan 2. Menekankan pada faktor bagian 3. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.

4. Sifatnya mekanis 5. Mementingkan masa lalu 2. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai

rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation” Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah : 1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak. 2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya. 3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing. 4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya. 5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

3. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan ( umpan balik. 4. Teori Belajar Gestalt

Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu : 1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu

2. 3. 4. 5.

6.

menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.

Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu: 1. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”. 2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis). 3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu. 4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.

Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain : 1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting

2.

3.

4.

dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsurunsur dalam suatu obyek atau peristiwa. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsurunsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.

Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya. 5. Teori Belajar Konstruktivisme Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri (Von Glaserfeld). Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut. Jika behaviorisme menekankan ketrampilan atau tingkah laku sebagai tujuan pendidikan, sedangkan maturasionisme menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan usia, sementara konstruktivisme menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang

mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya. Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secaca kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalamanpengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang. Proses tersebut meliputi: 1. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang. 2. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci. 3. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi. 4. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi. Diposting oleh Rosi Sastra di 05:18 0 komentar Maret 2008 Halaman Muka Berlangganan: Posting (Atom)

LINK BLOG BI-4-UIN JAKARTA • • • • • • • • •

01. DARSANA SETIAWAN 02. DARSANA. S 03. EDUKASIPRESS 1. AHMAD FAUZIE 13. HENA KHAERUNNISA 14. IFALANI 27. PUJI RAHAYU 28. RATU NURRAH 29. RINI MARYANI

• • • • • • • • •

30. ROSADIAN SUNDARI 31. RUSLAH 33. SITI AISYAH 34. SITI ROMLAH 38. VEVI HERMAYANTI 44. BAYU LESMANA PRADIPTA 6. ANI SEPTIANI 7. DEWI ASTUTI 8. DEWI PRABAWATI

Arsip Blog •

▼ 2008 (4) o ▼ April (1)  Tugas I Membuat pertanyaan 1. Apa motif dan motiv... o ► Maret (3)  Psikologi Perkembangan Remaja  silabus bimbingan konseling SMP  Perkembangan masa remaja Masalah rem...

Mengenai Saya Rosi Sastra Melihat profil lengkap saya

http://people.morehead-st.edu/fs/w.willis/fourtheories.html PROGRESSIVISM (John Dewey, William H. Kilpatrick, John Childs) 1. Education should be life itself, not a preparation for living. 2. Learning should be directly related to the interests of the child. 3. Learning through problem solving should take precedence over the inculcating of subject matter. 4. The teacher's role is not to direct but to advise. 5. The school should encourage cooperation rather than competition. 6. Only democracy permits - indeed encourages - the free interplay of ideas and personalities that is a necessary condition of true growth. o

www.erzwiss.uni-hamburg.de/sonstiges/dewey/Webb97.htm

For Brameld, progressivism's relativism is "... so sterile that it refuses to consider any long-term social goals whatever." (Kneller, 36) "Progressivism ... fails to postulate any clear-cut ends for social action, partly because it is fascinated by the process rather then ends of thought and partly because it believes that the universality of change invalidates any firm commitment to specific long-term goals. Fundamentally ... progressivism would have the school cultivate the individual intelligence. Although progressives insist on the need to use this intelligence cooperatively, they specify no ends for which men should cooperate. Progressivism ... misconceives society to be an aggregate of individuals. It overlooks the supra-individual nature of many forces and institutions, such as socio-economic classes, mass media, pressure groups, and other centers of power in society. It understresses the persistence and recurrence of cultural patterns and therefore, overemphasizes the novelty of history, the opportunities for unplanned change and the inevitability of progress. It does not see that broad social changes must be planned rationally well in advance and executed with all available resources." (Kneller, 87) ) Progressive education is the negation of what are felt to be the undesirable aspects of the usual, traditional manner in which schools are run. One of the general criticisms of the progressive approach to education that I tended to accept was that in its negation of the traditional approach to education it went to some kind of opposite extreme. Related to a "misunderstanding" of Dewey and the central ideas of progressive education, it tended to "tip over" into a practice that was equally as

undesirable as that of the traditional approach with regard to such things as conceptions of the child and his role in school and community, conceptions of the teacher and his role, conceptions of the school and its role in the school community and society. The nature of the pitfalls (a hidden or not easily recognized danger or difficulty) into which it fell could be characterized in terms which are indications of being mutually exclusive contradictions of the pitfalls of traditional approaches to education: - as a form of child-centeredness which gave the child license to do what it wanted (vs. a cultural or societal centeredness); - a laissez-faire climate / atmosphere (vs. autocratic or authoritarian) in the learning situation; - the task of the school and teacher as providing conditions for the natural growth of the child (vs. transmission of the cultural heritage); etc. Avoidance of the pitfalls of these two extreme forms requires a shift to a third approach to education which in some way or other is between these two extremes and avoids their pitfalls. This shift to a "middle" position might - with afterthought - be characterized as a move to a synthesis of some kind between a thesis and an antithesis. This seemed to involve among other things at least some kind of balancing or integration of two kinds of concerns - concern about the well-being of the individual and concern about the wellbeing of the social collectives, and how the two kinds or levels of well-being are related to each other. And in fact, there were in reality - as reported here - two kinds of "balancings" that emerged - the approaches of the Reconstructionists and that of the adherents of the Community School. Which of them wins the day is at least in part dependent on a more general contemporary political climate.

Related Documents

Psikologi Pendidikan
May 2020 17
Psikologi Pendidikan
December 2019 26
Psikologi Pendidikan
October 2019 29
Pendidikan Psikologi
June 2020 18
Psikologi Pendidikan
April 2020 26
Psikologi Pendidikan
May 2020 25