Psikologi Abnormal-1.docx

  • Uploaded by: Delvira Suci Ramadhani
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Psikologi Abnormal-1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,599
  • Pages: 17
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, gangguan tingkah laku adalah pola tingkah laku anak atau remaja yang berulang dan menetap dimana terjadi pelanggaran norma-norma sosial dan peraturan utama setempat. Gangguan tingkah laku tersebut mencakup perusakan benda, pencurian, berbohong berulang-ulang, pelanggaran serius terhadap peraturan, dan kekerasan terhadap hewan atau orang lain. Etiologi gangguan tingkah laku meliputi psikodinamika, factor social, dinamika keluarga.,pengelolaan jasmaniah yang tidak wajar dan biologis. Sebelum mengklasifikasikan adanya gangguan perilaku pada usia anak-anak atau remaja, hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengetahui apa yang dianggap normal pada usia tersebut. Untuk menentukan apa yang normal dan apa yang terganggu, khusus pada anak dan remaja yang perlu ditambahkan selain kriteria umum yang telah kita ketahui adalah faktor usia anak dan latar belakang budaya. Banyak masalah yang pertama kali teridentifikasi pada saat anak masuk sekolah. Masalah tersebut mungkin sudah muncul lebih awal tetapi masih ditoleransi, atau tidak dianggap sebagai masalah ketika di rumah. Kadang-kadang stres karena pertama kali masuk sekolah ikut mempengaruhi kemunculannya (onset). Namun, perlu diingat bahwa apa yang secara sosial dapat diterima pada usia tertentu, menjadi tidak dapat diterima di usia yg lebih besar. Banyak pola prilaku yang mungkin diangganp abnormal pada masa dwasa, dianggap normal pada usia tertentu. Gangguan pada anak-anak ini seringkali dikelompokkan

dalam

dua

kelompok

yaitu

eksternalisasi

dan

internalisasi.

Gangguan eksternalisasi ditandai dengan perilaku yang diarahkan ke luar diri, seperti

agresivitas,

ketidakpatuhan,

overaktivitas,

dan

impulsivitas.

Gangguan

internalisasi ditandai dengan pengalaman dan perilaku yang lebih terfokus kedalam diri seperti depresi, menarik diri dari pengalam dari pergaulan social, dan

kecemasan

termasuk

anak-anak.

juga

anxietas

dan

mood

dimasa

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ) – III, gangguan tingkah laku (F.91) digolongkan dalam Gangguan Perilaku dan Emosional dengan Onset biasanya pada masa kanak dan remaja, yang merupakan salah satu gangguan yang dapat terjadi pada masa kanak, remaja, dan perkembangan. Sedangkan

1

berdasarkan DSM-IV, gangguan tingkah laku tergolongkan gangguan eksternalisasi yang termasuk dalam kategori DSM-IV-TR bersama dengan Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) dan gangguan sikap menentang (GSM).

B. Rumusan Masalah a. Apa itu prilaku abnormal? b. Apa itu perspekti? c. Apa saja penggolongan prilaku abnormal? d. Apa cirri-ciri DSM? e. Apa saja criteria yang menentukan abnormalitas? f. Apa saja factor-faktor penyebab abnormalitas? g. Apa factor-faktor etnik dan sosiokultural dalam assement perilaku abnormal? h. Pengukuran fisiologis C. Tujuan 1. Untuk mengetahui lebih luas tentang perilaku abnormal 2. Untuk memperoleh informasi tentang perilaku Abnormal 3. Untuk mengetahui ciri-ciri tanda dan gejala Abnormal

D. Manfaat 1.

Psikologi abnormal dipelajari dengan harapan dapat diperoleh pengetahuan dan

pemahaman tentang seluk beluk kelainan jiwa (jenis, gejala, penyebab, cara mencegah dan menanganinya, dst.). Pengetahuan dan pemahaman mengenai hal tersebut diperlukan dalam bidang psikiatri dan bingan dan konseling.

2. Khusus untuk konselor, dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai seluk beluk kelainan jiwa diharapkan dapat bermanfaat bagi upaya pencegahan dan penanganan gangguan jiwa yang mungkin terjadi pada peserta didik.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. PERILAKU ABNORMAL Perilaku Abnormal adalah kondisi emosional seperti kecemasan dan depresi yang tidak sesuai dengan situasinya. Perilaku Abnormal terdiri dari dua kata yaitu Perilaku dan Abnormal, Perilaku menurut kamus bahasa Indonesia adalah tingkah laku seorang manusia/ sikap seorang manusia, sedangkan Abnormal dapat didefinisikan sebagai hal yang jarang terjadi (seperti kidal) atau penyimpangan dari kondisi rata-rata (seperti tinggi badan yang ekstrem). Abnormalitas umumnya ditentukan berdasarkan munculnya beberapa karakteristik sekaligus dan definisi terbaik untuk ini menggunakan beberapa kareakteristik Kejarangan statistik, Pelanggaran norma, distress pribadi, ketidakmampuan atau disfungi,

dan

repons

yang

tidak

diharapkan

(unexpectedness).

Sumber lain mengatakan Perilaku abnormal adalah perilaku yang menyimpang dari norma sosial. Karena setiap masyarakat mempunyai patokan atau norma tertentu, untuk perilaku yang sesuai dengan norma maka dapat diterima, sedangkan perilaku yang menyimpang secara mencolok dari norma ini dianggap abnormal. sehingga perilaku yang dianggap normal oleh suatu masyarakat mungkin dianggap tidak normal oleh masyarakat lain, jadi gagasan tentang kenormalan atau keabnormalan berbeda dari satu masyarakat lain dari waktu ke waktu dalam masyarakat yang sama. Perilaku Abnormal yang terjadi pada kondisi emosional biasa terjadi kapan saja dalam kehidupan manusia, Mereka kadang-kadang bisa terjadi dan sudah terjadi dalam kehidupan orang lain.Sebuah masalah emosional dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan secara mental dan fisik.

3

B. PERSPEKTIF Perspektif-perspektif kontemporer yang utama tentang perilaku abnormal, yaitu: 1. Perspektif Biologis Model medis mewakili perspektif biologis tentang perilaku abnormal, mengacu pada pendekatan yang menekankan peran faktor biologis dalam menjelaskan perilaku abnormal dan penerapan penanganan yang berbasis biologis, dalam menangani gangguan psikologis. Sebagai contoh, pola-pola perilaku tertentu (rasa malu) mungkin memiliki komponen genetis yang kuat, namun tidak dapat dianggap “simtom-simtom” dari “gangguan” yang mendasarinya. Ketidakteraturan dalam kerja sistem neurotransmitterdi otak berkaitan erat dengan pola-pola perilaku abnormal.Contoh, depresi berkaitan dengan disfungsi

yang

melibatkan

neurotransmiter

norepinefrin

dan

serotonin.Ketidakteraturan serotonin juga berpengaruh pada gangguan makan. Penyakit Alzheimer (Alzheimer’s disease), penyakit otak dimana terdapat kehilangan ingatan dan fungsi kognitif secara progresif, karena neurotransmitter asetikolin di otak. Ketidakteraturan yang melibatkan neurotransmiter dopamine tampaknya terlibat dalam skizofrenia.Orang-orang yang mengalami skizofrenia mungkin menggunakan lebih banyak dopamine yang tersedia di otak, dari pada orang-orang lain yang tidak mengalami skizofrenia.Hasilnya mungkin adalah halusinasi, pembicaraan yang tidak koheren, dan pemikiran delusional.Obat-obat antipsikotik yang digunakan untuk menangani skizofrenia, bekerja dengan memblok reseptor dopamine di otak. Neurotransmitter Asetikolin (Ach)

Perilaku Bila kurang terjadi Alzheimer

Dopamin

Fungsi Mengendalikan kontraksi otot dan pembentukan ingatan Mengatur kontraksi otot dan proses-proses mental yang meliputi belajar, ingatan, dan emosi.

Norepinefrin

Proses-proses mental

Ketidakseimbangannya

Penggunaan berlebih dari dopamine di otak mungkin berperan dalam perkembangan skizofrenia

4

Serotonin Contohnya: Aprazolam (SANAX)

yang terlibat dalam belajar dan ingatan Pengatur kondisi mood, kepuasan, dan tidur

dikaitkan dengan gangguan mood, seperti depresi Ketidakteraturan mungkin berperan dalam depresi dan gangguan makanan

Namun demikian, untuk berbagi gangguan lain, penyebab yang tepat tetap tidak diketahui.Pada kasus-kasus lain seperti skizofrenia, faktor-faktor biologis, terutama genetis, tampaknya berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan pembuat stress dalam perkembangan gangguan. Pengaruh genetis dapat terjadi pada ranah yang luas dari gangguan psikologis, termasuk skizofrenia, gangguan bipolar (maniak depresi), depresi mayor, alkholisme, autism, demensia akibat penyakit Alzheimer, gangguan kecemasan, disleksia, dan gangguan kepribadian antisosial. Ketika faktor genetis memainkan peran, faktor tersebut melibatkan interaksi yang kompleks dari berbagai gen. kita belum menemukan gangguan kesehatan mental spesifik yang dapat dijelaskan oleh cacat atau variasi dari satu gen tunggal, belum ditemukan bahwa faktor genetis sajayang menjadi penyebab gangguan kesehatan mental tertentu, faktor lingkungan juga memainkan peran yang penting. 2. Perspektif Psikologis Model-model psikologis utama tentang perilaku abnormal dipengaruhi oleh perspektif psikodinamika, mencerminkan pandangan-pandangan Freud dan para pengikutnya, yang meyakini bahwa perilaku abnormal berasal dari penyebabpenyebab psikologis berdasarkan kekuatan-kekuatan psikis mendasar, dalam kepribadian. Para teoritikus belajar mengemukakan bahwa , penting untuk memahami hambatan-hambatan yang dihadapi orang ketika mereka berjuang untuk memperoleh aktualisasi dan keautentikan. Para teoritikus kognitif memfokus pada peran dari pikiran-pikiran yang terdistorsi dan menipu diri sendiri dalam menjelaskan perilaku abnormal.

5

Untuk menambah pengetahuan tentang gejala-gejala dan tanda-tanda psikologis yang timbul karena fase-fase perkembangan yang tidak sempurna, berikut adalah gejala-gejalanya: a. Fase Oral, problemnya: Depression, narcissism, dependence b. Fase Anal, problemnya: Obsessive-compulsive disorder, sadomasochism c. Fase Phallic, problemnya: Gender identity problems, antisocial personality d. Fase Latent, problemnya: Over or lack self control e. Fase Genital, problemnya: Genital identity diffusion

3. Perspektif Sosiokultural Para teoritikus sosiokultural meyakini bahwa, kita butuh memperluas pandangan kita tentang perilaku abnormal dengan mengikutsertakan peran dari penyakit-penyakit social dalam masyarakat, termasuk kemiskinan, rasisme, dan kekurangan kesempatan, dalam berkembangnya pola-pola perilaku abnormal. 4. Perspektif Biopsikososial Adalah perspektif yang mencari pemahaman perilaku abnormal berdasarkan hubungan antara faktor-faktor biologis, osikologis, dan sosiokultural dalam perilaku abnormal.

C. PENGGOLONGAN PERILAKU ABNORMAL Penggolongan

perilaku

abnormal

sudah

ada

sejak

dahulu

kala.Hippocrates menggolongkan perilaku abnormal atas dasar teorinya tentang cairan tubuh. Walaupun teorinya terbukti cacat, ia sampai pada sejumlah kategori diagnostic yang umumnya sesuai dengan yang ada dalam sistem diagnostic modern. Sepanjang Abad Pertengahan, pihak otoritas atau yang berwenang menggolongkan perilaku abnormal disebabkan karena kerasukan setan dan sebabsebab alamiah. Psikiater Jerman abad ke-19, Emil Kraepelin, adalah orang yang dianggap sebagai teoritikus modern pertama yang mengembangkan model penggolongan yang komprehensif berdasarkan pada karakteristik-karakteristik

6

pembeda, atau simtom, yang dikaitkan dengan pola perilaku abnormal. Sistem klasifikasi yang paling umum digunakan saat ini, sebagian besar adalah pengembangan dan perluasan dari karya Kraepelin. Penggolongan

penting

karena

penggolongan

adalah

inti

ilmu

pengetahuan. Tanpa pemberian label dan pengorganisasian pola perilaku abnormal, peneliti tidak bisa mengkomunikasikan penemuan mereka kepada yang lain, dan kemajuan kearah pemahaman gangguan akan terhenti. Lebih dari itu, keputusan penting dibuat dengan didasarkan pada penggolongan.Gangguan psikologis tertentu memberi respons yang lebih baik pada suatu terapi, disbanding pada terapi lainnya atau berespons lebih baik terhadap suatu pengobatan disbanding pengobatan lainnya. Penggolongan juga membantu kilinis meramalkan perilaku.Beberapa pola perilaku abnormal, seperti skizofrenia, boleh dikatakan mengikuti rangkaian perkembangan yang dapat diramalkan.Penggolongan juga membantu para peneliti mengidentifikasi populasi dengan pola perilaku abnormal yang serupa.Dengan menggolongkan sekelompok orang sebagai penderita depresi, peneliti mungkin mampu mengidentifikasi faktor-faktor umum yang membantu menjelaskan timbulnya depresi itu. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders(DSM), yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association menggolongkan pola perilaku abnormal sebagai gangguan mental atas dasar kriteria diagnostic yang spesifik.DSM pertama kali diperkenalkan pada tahun 1952. Di dalam DSM, pola perilaku abnormal digolongkan sebagai “gangguan mental”.Gangguan mental mencakup distress emosional (secara khusus depresi atau kecemasan) dan impairment yang disignifikan pada fungsi psikologis.Fungsi yang rusak melibatkan berbagai kesulitan dalam memenuhi tanggung jawab di tempat kerja, dalam keluarga, atau dalam masyarakat luas.Hal tersebut mencakup pula perilaku yang menempatkan seseorang pada risiko mengalami penderitaan pribadi, sakit, atau kematian. Diagnosis gangguan mental dalam DSM mensyaraktkan bahwa pola perilaku tersebut mewakili suatu respons yang sesuai secara budaya atau diduga

7

muncul pada peristiwa stress berat, seperti kehilangan orang tercinta. Orang-orang yang menunjukkan tanda-tanda kedukaan setelah kematian orang yang dicinta tidak dianggap terganggu, sekalipun perilaku mereka mengalami perubahan secara signifikan setelah satu periode waktu yang cukup lama, diagnosis gangguan mental mungkin menjadi sesuai. Kriteria gangguan kecemasan menyeluruh antara lain: 1. Timbulnya kecemasan yang berlebihan dan kekhawatiran pada hampir setiap hari, selama masa enam bulan atau lebih. 2. Kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada satu atau beberapa hal atau peristiwa 3. Kesukaran mengendalikan perasaan khawatir 4. Kehadiran sejumlah ciri-ciri yang diasosiakan dengan kecemasan dan kekhawatiran, seperti mengalami kegelisahan atau perasaan resah, menjadi mudah lelah, mempunyai kesukaran berkonsentrasi atau memiliki pikiran yang kosong, perasaan mudah marah, mengalami ketegangan otot, mengalami kesukaran tidur atau tetap tertidur atau mengalami tidur yang gelisah dan tidur yang tidak memuaskan.

D. CIRI-CIRI DSM DSM bersifat deskriptif, namun tidak bersifat menjelaskan.DSM menguraikan ciri-ciri diagnostic atau dalam istilah medis simtom-sistom dari perilaku abnormal dan bukan berusaha menjelaskan penyebabnya. 1.

Menggunakan kriteria diagnostic yang spesifik. Klinisi sampai paada suatu diagnosis dengan cara mencocokkan perilaku klien dengan kriteria yang menggambarkan pola perilaku abnormal (gangguan mental) tertentu. Kategori diagnostic di deskripsikan melalui ciri-ciri esensial (kriteria yang harus ada, supaya diagnosis dapat ditegakkan) dan ciri-ciri asosiatif (kriteria yang sering diasosiasikan dengan gangguan tetapi tidak esensial dalam penegakkan diagnosis)

2.

Pola perilaku abnormal yang mempunyai ciri-ciri klinis yang sama dikelompokkan menjadi satu. Pola perilaku abnormal dikategorisasi menurut

8

ciri-ciri klinis yang sama-sama dimiliki, bukan spekulasi teoritis tentang penyebabnya. 3.

Sistem bersifat multiaksial. DSM memakai suatu sistem assessment yang multiaksial atau multidimensional yang menyediakan jangkauan informasi yang luas tentang fungsi individu, tidak hanya suatu diagnosis saja.

Ada tiga pendekatan utama untuk menunjukkan reliabilitas teknik assessment, yaitu: 1. Konsistensi Internal Teknik-teknik korelasional digunakan untuk menunjukkan apakah bagian atau item-item yang berbeda dari suatu instrumen assessment, seperti tes atau skala kepribadian, memberi hasil yang konsisten satu sama lain dan pada instrumen secara keseluruhan. Konsistensi internal (internal consistency) krusial untuk tes yang bertujuan mengukur trail tunggal atau dimensi konstruk. Ketika bangun atau item-item individual dari suatu tes memiliki korelasi tinggi, kita dapat mengasumsikan bahwa mereka mengukur trait atau konstruk yang sama. 2. Stabilitas Temporal Metode

assessmentyang reliable juga mempunyai stabilitas temporal

(temporal stability), yaitu stabilitas dari waktu ke waktu. Mereka memberi hasil yang serupa pada kesempatan-kesempatan berbeda.Setiap kali kita menimbang badan, kecuali kita makan secara rakus atau melaparkan diri sebelum menimbang badan lagi. Prinsip yang sama berlaku bagi metode-metode assessment psikologis. Stabilitas temporal diukur melalui reliabilitas tes-tes ulang (test-retest reliability), yang memperlihatkan korelasi antara dua administrasi tes yang dipisahkan oleh periode waktu.Makin tinggi korelasi, semakin besar stabilitas temporal reliabilitas tes ulang-tes. 3. Reliabilitas Antarpenilai (interrater reliability) Reliabilitas antarpenilaian disebut interjudge reliability, biasanya menjadi sangat penting pada pembuatan keputusan diagnostic dan untuk pengukuran yang menuntut penilaian atas perilaku. Suatu sistem diagnostik tidak

9

dapat dipercaya kecuali, jika para ahli penilai mencapai persetujuan dengan diagnosis mereka yang dibuat atas dasar sistem tersebut. 4. Validitas Validitas dari alat ukur atau teknik assessment, mengacu sampai pada derajat mana instrument tersebut mengukur apa yang ingin diukur. Ada berbagai jenis validitas, seperti validitas isi (content), kriteria (criterion), dan konstruk (construct)

D. KRITERIA YANG MENENTUKAN ABNORMALITAS 1. Perilaku yang tidak biasa Perilaku yang tidak biasa disebut abnormal . Hanya sedikit dari kita yang menyatakan melihat atau mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Hal seperti itu hamper dikatakan abnormal dalam budaya kita. 2. Perilaku yang tidak dapat diterima secara social atau melanggar norma sosial. Setiap masyarakat memiliki norma – norma / standar yang menentukan jenis perilaku yang dapat diterima dalam beragam konteks tertentu. Perilaku yang dianggap normal dalam satu budaya mungkin dianggap abnormal dalam budaya lain. Satu implikasi dari mendasarkan definisi dari perilaku abnormal pada norma social adalah bahwa norma – norma tersebut merefleksikan standar yang relative bukan kebenaran universal. 3. Persepsi atau tingkah laku yang salah terhadap realitas Biasanya sistem sensori dan proses kognitif memungkinkan kita untuk membentuk representasi mental yang akurat tentang lingkungan sekitar. 4. Orang – orang tersebut berada dalam stress personal yang signifikan Kondisi stress personal yang diakibatkan oleh gangguan emosi seperti kecemasan, ketakutan atau depresi. Namun terkadang kecemasan dan depresi merupakan respon yang sesuai dengan situasi tertentu.

5. Perilaku maladaptive

10

Perilaku

yang

menimbulkan

ketidakbahagiaan

dan

membatasi

kemampuan kita untuk berfungsi dalam peran yang diharapkan. 6. Perilaku Berbahaya Perilaku yang menimbulkan bahaya bagi orang itu sendiri atau orang lain.

E.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ABNOMORMALITAS

1.

Menurut Tahap Berfungsinya a. Penyebab Primer ( Primary Cause ) Penyebab primer adalah kondisi yang tanpa kehadirannya suatu gangguan yang tidak akan muncul. Misalnya infeksi sifilis yang menyarang sistem saraf pada kasus paresis general yaitusejenis psikosis yang disertai paralysis atau kelumpuhan yang bersifat progresif atau berkembang secara bertahap sampai akhirnya penderita mengalami kelumpuhan total. b. Penyebab yang Menyiapkan ( Predisposing Cause ) Kondisi yang mendahului dan membuka jalan bagi kemungkinan terjadinya gangguan tertentu dalam kondisi tertentu dimasa yang akan datang. Misalnya anak yang di tolak oleh orang tuanya ( rejected child ) mungkin menjadi lebih rentan dengan tekanan hidup sesudah dewasa dibandingkan dengan orang yang memiliki dasar rasa aman yang lebih baik. c. Penyebab Pencetus ( Preciptating Cause ) Penyebab pencetus adalah setiap kondisi yang tidak tertahankan bagi individu dan mencetuskan gangguan. Misalnya seorang wanita muda yang menjadi tertanggu sesudah mengalami kekecewaan berat ditinggalkan oelh tunangannya. d. Penyebab yang Menguatkan ( Reirfoncing Cause ) Kondisi yang cenderung mempertahankan atau memperteguh tingkah laku maladaftif yang sudah terjadi. Misalnya perhatian yang berlebihan pada seoarang gadis yang “sedang sakit justru dapat menyebabkan yang bersangkutan kurang bertangggung jawab atas dirinya dan menunda kesembuhan.

2.

Menurut Sumber Asalnya 11

a. Faktor Biologis Faktor biologis adalah berbagai keadaan biologis atau jasmani yang dapat menghambat perkembangan ataupun pribadi dalam kehidupan sehari hari seperti kelainan gen, kurang gizi, dan lain lain. Pengaruh factor biologis biasanya menyeluruh artinya mempengaruhi seluruh aspek tingkah laku, muali dari kecerdasan sampai daya tahan terhadap stress. b. Faktor faktor Psikososisal 1. Trauma di masa kanak kanak Trauma psikologis adalah pengalaman yang menghancurkan rasa aman, rasa mampu, dan harga diri sehingga menimbulkan loka psikologis ynag sulit disembuhkan sepenuhnya. Trauma psikologis yang di alami masa kanak kanak cenderung akan terus dibawah sampai kemasa dewasa. 2. Deprivasi Parental 3. Tiada kesempatan untuk mendapatkan rangsangan emosi dan orang tua, berupa kehangatan, kontak fisik, rangsangan intelektual, emosional dan sosial. Misalnya dipisahkan orang tua dan dititipkan dipanti asuhan, kurangnya perhatian dari ihak orang tua. 4. Hubungan Orang Tua yang Patogenik 5. Hubungan patogenik adalah hubungan yang tidak serasi, dalam hal ini hubungan antara orang tua dan anak anak kan berakibat menimbulkan masalah atau gangguan tetentu pada anak. 6. Struktur Keluarga yang Patogenik 7. Struktur keluarga yang kurang serasi akan melahirkan pola komunikasi yang kurang sehat dan selanjutnya muncul pola gangguan prilaku pada sebagian anggotanya 8. Stress Berat Stress adalah keadaan yang menekan khususnya secara psikologis. Keadaan ini muncul oleh berbagai sebab yaitu :  Frustasi yang menyebabkan hilangnya harga diri  Konflik nilai  Tekanan kehiduapn modern c. Faktor factor Sosiokultural Meliputi keadaan obyektif dalam masyarakat atau tuntutan dari masyarakat yang dapat berakibat menimbulkan teakanan dalam individu dan selanjutnya melahirkan berbagai bentuk gangguan :  Suasana perang dan suasana kehidupan yang diliputi oleh kekerasan.

12

 Terpaksa menjalaniperang sosial yang berpotensi menimbulkan gangguan, seperti menjadi tentara yang dalm perperangan harus membunuh.  Menjadi korban prasangka dan diskriminasi penggolongan tertentu seperti berdasarkan agama, ras, suku, dan lain lain. F. FAKTOR-FAKTOR ETNIK DAN SOSIOKULTURAL DALAM ASSESMENT PERILAKU ABNORMAL Teknik-teknik assessment mungkin valid dan reliable di dalam satu budaya, tetapi tidak di dalam budaya yang lain, bahkan bila alat ukur tersebut diterjemahkan dengan tepat.Di dalam suatu studi, Chan (1991) menggunakan versi bahasa Cina dari Beck Depression Inventory (BDI), suatu inventori depresi yang digunakan secara luas di Amerika Serikat, untuk suatu kelompok mahasiswa Cina dan pasien psikiatri di Hong Kong.BDI Cina memenuhi ujian reliabilitas, sebagaimana dinilai melalui konsistensi internal, dan validitas. Namun, para penyelidik lain menemukan bahwa orang-orang Cina baik di Hong Kong maupun di Republil Rakyat Cina, cenderung untuk mencapai skor lebih tinggi pada suatu subskala MMPI Cina, yang mensugestikan respons yang menyimpang. Skor yang lebih tinggi ini tampaknya mencerminkan perbedaan budaya, bukan psikopatologi yang lebih parah. 1. Metode-Metode Assesment Suatu assessment yang teliti memberi sangat banyak informasi tetnang kepribadian klien dan fungsi kognitifnya.Informasi ini membantu klinisi memperoleh suatu pemahaman yang lebih luas tentang permasalahan klien mereka, dan merekomendasikan bentuk pengobatan yang sesuai.

2. Wawancara Klinis Wawancara klinis adalah sarana assessment yang paling banyak digunakan.Wawancara digunakan oleh semua ahli dan asisten ahli yang berperan membantu.Wawancara tersebut biasanya merupakan kontak tatap muka pertama

13

antara klien dengan klinisi. Klinisi sering kali memulai dengan meminta klien untuk menguraikan keluhan yang ada dengan kata-kata mereka sendiri. Mereka

mungkin

mengatakan

sesuatu

seperti,

dapatkah

anda

menceritakan kepada saya permasalahan yang anda hadapi belakangan ini?Kemudian klinisi biasanya bertanya lebih mendalam tentang aspek-aspek keluhan, seperti abnormalitas perilaku dan perasaan tak nyaman, peristiwa disekitar munculnya masalah, riwayat peristiwa lampau, dan bagaimana masalah tersebut memengaruhi berfungsinya klien sehari-hari. Ada tiga jenis umum dari wawancara klinis, yaitu wawancara terstruktur (bebas) semiterstruktur, dan terstruktur. Pada wawancara tidak terstruktur (unstructured interview) ,klinisi mengadopsi gaya bertanya sendiri, tidak mengikuti bentuk standar. Pada wawancara semi-terstruktur (semi-structured interview), klinisi mengikuti suatu garis besar pertanyaan umum yang dirancang untuk mengumpulkan informasi penting, tetapi bebas untuk bertanya dengan urutan apa saja dan pindah ke arah lain dalam rangka mengikuti informasi yang penting secara klinis. Pada suatu wawancara terstruktur (structured interview), wawancara mengikuti serangkaian pertanyaan yang ditetapkan lebih dulu dan dengan urutan tertentu. Klinisi mungkn menjajaki peristiwa yang mungkin menjadi faktor pencetus, seperti perubahan keadaan kehidupan, hubungan social, pekerjaan, atau pendidikan.Pewawancara mendorong klien unutk menguraikan maslah dengan kata-katanya sendiri dalam rangka memahaminya dari sudut pandang klien. Walaupunformat proses wawancara pertama mungkin berbeda-beda dari klinisi satu ke klinisi lainnya, kebanyakan wawancara meliputi topic seperti ini: a. Data identifikasi. Informasi mengenai karakteristik sosio-demografi klien. Meliputi alamat dan nomor telepon, status perkawinan, umur, jenis kelamin, karakteristik ras/etnik, agama, pekerjaan, susunan keluarga,dan seterusnya. b. Deskripsi permasalahan yang ada. Bagaimana klien mempersepsi permasalahan? Perilaku, pikiran, atau perasaan yang mengganggu?

14

Bagaimana hal itu memengaruhi berfungsinya klien? Kapan hal itu dimulai? c. Riwayat psikososial. Informasi tentang riwayat perkembangan klien. Misalnya bidang pendidikan, sosial, dan riwayat pekerjaan, hubungan keluarga pada masa kanak-kanak d. Riwayat medis psikiater. Riwayat perawatan psikiater dan medis serta hospitalisasi. Apakah problem saat ini adalah suatu episode terulang dari problem sebelumnya? Bagaimana ditanganinyna di masa lalu? Apakah pengobatan berhasil? Mengapa ya, mengapa tidak? e. Problem-problem medis pengobatan. Deskripsi tentang problem medis dan pengobatan yang ada sekarang, termasuk obat-obatnya. Klinisi waspada tentang kemungkinan pengaruh masalah medis terhadap masalah psikologis yang sekarang ada. Sebagai contoh, obat untuk kondisi-kondisi medis tertentu dapat memngaruhi mood dan level umum dari keterangsangan seseorang.

G. PENGUKURAN FISIOLOGIS Perilaku abnormal dapat dipelajari dengan respons fisiologis seseorang. Ketika seseorang dalam kondisi cemas, maka diiringi reaksi kimia di dalam tubuh, berupa peningkatan tekanan darah, disertai gugup jantung cepat. Secara fisik terlihat wajah memerah, gelisah, berkeringat,dan sejejnisnya. Di balik keluarnya keringat, ternyata keringat dapat digunakan sebagai respons elektrodermal atau galvanic skin response (GSR). Dari hasil GSR, menilai jumlah listrik melalui dua titik kulit.

15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku abnormal itu adalah perilaku yang jarang ditemukan, melanggar norma sosial, menciptakan tekanan bagi yang mengalaminya, yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk hidup normal, dan menjadi respons yang tidak diharapkan oleh lingkungan. Oleh karena itu, suatu perilaku yang dianggap abnormal adalah perilaku yang sesuai dengan criteria diatas. Dimana harus terdapat semua criteria yang sesuai agar dapat digolongkan sebagai perilaku abnormal. Sebab tidak semua perilaku abnormal yang sesuai dengan satu criteria, juga akan sesuai untuk kriteria yang lainnya.

B. Saran Kita perlu memahami perilaku abnormal seseorang, sebab “Orang Berperilaku Abnormal” biasanya tampak di dalam kelas dan bahkan dia menampakkan perilaku bermasalah itu di dalam keseluruhan interaksi dengan lingkungannya. Manusia merupakan individu yang khas, penghampiran terhadap permasalahan individu memerlukan penanganan yang berbeda. Teknik-teknik membantu mahasiswa berperilaku abnormal memberikan wawasan dalam memberikan bantuan terhadap murid bermasalah. Jadi sebagai sesama manusia, kita harus mengetahui mengapa itu bisa terjadi dan seorang mahasiswa yang baik harus bisa mengerti apa yang dialami oleh teman sekitarnya dengan baik dan solusi yang tepat agar orang yang berprilaku abnormal dapat keluar dari masalah yang dihadapi.

16

DAFTAR PUSTAKA Nevid, Jeffrey S., dkk. 2005. Psikologi Abnormal, Edisi ke 5. Jakarta: PT. Gramedia King, Laura A., 2010. Psikologi Dasar, Jakarta : Salemba Humanika Donsu, Jenita Doli Tine. 2017. Psikologi Keperawatan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press. https://nikelestari499.wordpress.com/2014/04/29/makalah-abnormal/

17

Related Documents

Psikologi
May 2020 39
Psikologi
April 2020 48
Psikologi
May 2020 36
Psikologi
May 2020 33
Psikologi
June 2020 36

More Documents from ""