Psiko & Budaya Isi Kel 7.docx

  • Uploaded by: ridhwan arif
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Psiko & Budaya Isi Kel 7.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,084
  • Pages: 25
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang

sifatnya

unik

bagi

setiap

individual

dalam

pengalaman

hidup

seseorang.Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau disekitarnya. Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari bentuan kepada orang lain. Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi kondisi yang demikian.

Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam

memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004). Pandangan berbagai suku mengenai kehilangan kematian dan berduka seperti, suku dayak jika salah satu atau bagian dari keluarganya ada yang meninggal sebagai penghormatan terakhir mereka melakukan ritual nanjan, suku melayu dalam menghadapi berduka lebih ikhlas mencoba menerima kenyataan,suku jawa dalam menghadapi kehilangan ikhlas dan yakin Sesutu yang hilang pasti ada hikmahnya. Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka

1

2

dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius. Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005). B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep kematian? 2. Bagaimana konsep kehilangan? 3. Bagaimana konsep berduka? 4. Apa faktor yang mempengaruhi kehilangan? C. Tujuan 1. Umum Untuk

mengetahui

pandangan

setiap

budaya

kematian,kehilangan dan berduka 2. Khusus a. Untuk mengetahui Konsep kehilangan b. Untuk mengetahui gambaran konsep kehilangan c. Fase atau tahapan kehilangan d. Untuk mengetahui factor yang mempengauhi kehilangan e. Untuk mengetahui bentuk bentuk kehilangan f. Untuk mengetahui sifat kehilangan g. Untuk mengetahui tipe kehilangan

terhadap

konsep

3

h. Untuk mengetahui lima kategori kehilangan i. Untuk menegtahui konsep berduka j. Untuk mengetahui konsep kematian k. Untuk menegtahui perkembangan tentang pandangan hidup dalam proses kematian l. Untuk menegetahui fungsi kematian m. Untuk mengetahui sikap menghadapi kematian n. Untuk menegetahui perawata pendamping terhadap pasien kehlangan,berduka,dan kematian

D. Manfaat Agar mahasiswa/I dapat menegetahui pandangan konsep setiap budaya terhadap kematian,kehilangan dan berduka

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Konsep Kehilangan Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Kehilangan adalah penarikan sesuatu atau seseorang atau situasi yang berharga atau bernilai, baik sebagai pemisahan yang nyata maupun yang diantisipasi. Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang membutuhkan adaptasi melalui proses berduka. Kehilangan terjadi apabila sesuatu atau seseorang tidak dapat lagi ditemui, diraba, diketahui atau dipahami. Tipe dari kehilangan memengaruhi tingkat distress. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan distress yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Namun demikian, setiap individu berespon terhadap kehilangan secara berbeda. Kematian seorang anggota keluarga mungkin menyebabkan distress lebih besar dibanding dengan saudaranya yang sudah tidak lagi bertemu selama bertahun-tahun. Tipe kehilangan penting artinya untuk proses berduka. Namun perawat harus mengenali bahwa setiap interpretasi seseorang tentang kehilangan sangat bersifat individualis. Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan berduka. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan berduka. Ketika merawat klien dan keluarga, perawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-keluarga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi memengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter dan Perry, 2005). Kehilangan 4

5

adalah situasi actual dan potensial ketika sesuatu (orang atau objek) yang dihargai telah berubah, tidak lagi ada atau menghilang. Seseorang dapat kehilangan citra tubuh, orang terdekat, perasaan sejahtera, pekerjaan, barang milik pribadi, keyakinan atau sense of self- baik sebagian maupun keseluruhan. Peristiwa kehilangan dapat terjadi secara tiba-tiba atau bertahap sebagai sebuah pengalaman traumatic. Kehilangan sendiri dianggap sebagai kondisi kritis, baik kritis situasional ataupun kritis perkembangan. Dalam hal ini persepsi individu, tahap perkembangan, mekanisme koping dan sistem pendukungnya sangatlah berpengaruh terhadap respon individu dalam mengahdapi proses kehilangan tersebut. Apabila proses kehilangan tidak dibarengi dengan koping yang positif atau penanganan yang baik, pada akhirnya akan berpengaruh pada perkembangan individu atau port of being maturnya. Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatic, diantisiapsi atau tidak diharapkan atau diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali. Menurut Lambert dan Lambert (1985) Kehilangan adalah suatu individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan dapat bersifat actual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah didentifikasi, misalnya seorang anak yang teman supermainannya pindah rumah atau seorang dewasa yang kehilangan pasangan akibat bercerai. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat disalah artikan, seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise. Makin dalam makna kata yang hilang, maka makin besar rasa kehilangan tersebut.

5

6

1. Gambaran Konsep Kehilangan

2. Fase Atau Tahapan Kehilangan Adapun fase atau tahapan kehilangan antara lain : a. Pengingkaran (denial) Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjdi, dengan mengatakan “tidak, aku tidak percaya itu terjadi” atau “itu tidak mungkin terjadi”. Bagi individu atau keluarga yang didiagnosis dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi padda fase ini adalah letih, lemah, pucat, diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam bebrapa menit atau beberapa tahun. b. Fase Marah (anger) Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering di proyeksikan kepada orang lain atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menolak pengobatan, menuduh perawat atau doketr yang tidak becus. Respon fisik yang sering 6

7

terjadi antara lain : muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur dan tangan mengepal. c. Fase Tawar-Menawar (bargaining) Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju pada fase tawar menawar dengan memohon kemurahan pada tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata “kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah “kalau saja yang sakit, bukan anak saya”. d. Fase Depresi (depression) Individu pada fase ini sering menunjukkan sifat menarik diri, kadang sebagai klien sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan untuk bunuh diri dan sebagainya. Gajala fisik yang ditunjukkan antara lain menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun. e. Fase Penerimaan (acceptance) Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat kepada objek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang objek atau orang yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Fase ini biasanya dinyatakan dengan “saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini tampak manis” atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat sembuh?”. Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan perasaan damai, maka dia akan mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas. Akan tetapi bila tidak dapat menerima fase ini maka ia akan memengaruhi

kemampuannya

dalam

selanjutnya.

7

mengatasi

perasaan

kehilangan

8

3. Faktor yang Mempengaruhi Kehilangan Ada beberapa faktor yang memengaruhi kehilangan antara lain sebagai berikut : a. Perkembangan. Misal anak-anak, belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan, belum menghambat perkembangan, bisa mengalami regresi. Sementara orang dewasa, kehilangan bisa membuat orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan hidup, menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dihindari. b. Keluarga. Keluarga memengaruhi respons dan ekspresi kesedihan. Anak terbesar biasanya menunjukkan sikap kuat, tidak menunjukkan sikap sedih secara terbuka. c. Faktor sosial ekonomi. Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi keluarga, berarti kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi. Hal ini mengganggu kelangsungan hidup. d. Pengaruh Kultural. Kultur memengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur “barat” menganggap kesedihan adalah sesuatu yang bersifat pribadi sehingga hanya diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain menganggap bahwa mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak dan menangis keras-keras. e. Agama Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman. Menyadarkan bahwa kematian sudah ada di konsep dasar agama. Akan tetapi ada juga yang menyalahkan tuhan akan kematian. f. Penyebab Kematian. Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tibatiba akan menyebabkan syok dan tahapan kehilangan yang lebih lama. Ada yang menganggap bahwa kematian akibat kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan.

8

9

4. Bentuk-Bentuk Kehilangan Adapun bentuk-bentuk dari kehilangan, sebagai berikut : a. Fisik atau actual. Jenis ini sifatnya nyata dan dapat dikenali oleh orang lain. Dengan kata lain, orang lain dapat juga merasakan apa yang terjadi pada orang tersebut. b. Psikologis. Jenis kehilangan ini sifatnya abstrak dan tidak dapat dilihat oleh orang lain, hanya yang mengalaminya yang bisa merasakannya. Bebannya beban yang dirasakan bergantung pada beratnya kehilangan atau berartinya objek yang hilang. 5. Sifat Kehilangan Adapun sifat-sifat kehilangan, sebagai berikut : a. Tiba-tiba (tidak dapat diramalkan) Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan berduka yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima. b. Berangsur-angsur (dapat diramalkan) Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan dan menyebabkan yang ditinggalkan mengalami keletihan emosional. Klien yang mengalami sakit selama enam bulan atau kurang mempunyai kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain, mengisolasi diri mereka lebih banyak dan mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan. Kemampuan untuk menyelesaikan proses berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan memengaruhi apakah yang berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan memengaruhi dukungan yang diterima. Durasi perubahan (missal apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen) memengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrum fisik, psikologis dan sosial.

9

10

6. Tipe Kehilangan Adapun tipe-tipe kehilangan, sebagai berikut : a. Actual loss. Kehilangan yang dapat dikenal atau didentifikasi oleh orang lain, sama dengan individu yang mengalami kehilangan. b. Perceived loss (psikologis). Perasaan individual, tetapi menyangkut hal-hal yang tidak dapat diraba atau dinyatakan secara jelas. c. Anticipatory loss. Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi. Individu memperlihatkan perilaku kehilangan atau berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien atau anggota yang menderita sakit terminal. 7. Lima Kategori Kehilangan Lima kategori tersebut antara lain: a. Kehilangan objek eksternal Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menajdi using, berpindah tempat, dicuri atau dirusak karena bencana alam. Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Bagi seorang anak benda tersebut mungkin berupa boneka atau selimut, bagi seorang dewasa mungkin berupa perhiasan atau aksesori pakaian. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap benda yang dimilikinya dan kegunaan dari benda tersebut. b. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau bergantian secara permanen. Contohnya termasuk ke kota baru, atau perawatan di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang dikenal dapat terjadi melalui situasi maturasional, misalnya ketika seseorang lansia pindah ke ruang perawatan, atau situasi situasional,

10

11

contohnya kehilangan rumah akibat bencana alam atau mengalami cedera atau penyakit. c. Kehilangan orang terdekat atau orang yang dicintai Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tipe kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang. Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yng dicintai. Oleh karena keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada, kamtian pasangan suami istri atau anak biasanya membawa dampak emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi. Orang terdekat mencakup orang tua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, pendeta, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet yang terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset telah menunjukkan bahwa banyak orang yang menganggap hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan, pindah, melarikan diri, promosi di tempat kerja dan kematian. d. Kehilangan aspek diri (loss of self) Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keaktifan, diri sendiri, kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau komplet. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh. Kehilangan aspek diri dapat mencakup anggota gerak, mata, rambut, gigi, payudara. Kehilangan fungsi fisiologis mencakup kehilangan control kandung kemih atau usus, mobilitas, kekuatan atau fungsi sensoris. Kehilangan fungsi psikologis termasuk kehilangan ingatan, rasa humor, harga diri, percaya diri, kekuatan, respek atau cinta, perkembangan atau situasi. Kehilangan seperti ini

11

12

dapat menurunkan kesejahteraan individu. Porang tersebut tidak hanya mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri. e. Kehilangan hidup Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian. Doak (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup kedalam empat fase. Fase prediagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala klien atau faktor resiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnosis.. klien dihadapkan pada serangkaian keputusan, termasuk medis interpersonal, psikologis seperti halnya cara menghadapi awal krisis penyakit. Dalam fase kronis klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya, yang sering melibatkan serangkaian krisis yang diakibatkannya. Akhirnya terjadilah pemulihan. Klien yang mengalami fase terminal ketika kematian bukan lagi halnya kemungkinan, tetapi itu sudah pasti terjadi. Pada setiap hal dari penyakit ini klien dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang beragam dan terus berubah.

B. Konsep Berduka Berduka adalah reaksi emosional individu terhadap peristiwa kehilangan, biasanya akibat perpisahan yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku, perasaan dan pikiran. Respons klien selama fase berduka meliputi : 1. Perilaku bersedih, yaitu respons subjektif dalam masa berduka yang biasanya dapat menimbulkan masalah kesehatan. 2. Berkabung, yaitu periode penerimaan terhadap peristiwa kehilangan dan berduka serta dapat dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya dan kebiasaan. Berduka adalah proses mengalami reaksi psikologis, sosial dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan (Rando, 1997). Respon ini termasuk keputusan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa bersalah dan marah. Berduka adalah 12

13

respons emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak napas, susah tidur, dll. NANDA merumuskan dua tipe dari berduka yaitu, berduka diantisipasi dan berduka disfungsional. Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespons kehilangan yang actual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan atau kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal. Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesarkan-besarkan saat individu kehilangan secara actual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, kesalahan atau kekacauan. Tujuan berduka adalah untuk mencapai fungsi yang lebih efektif dengan mengintegrasikan kehilangan kedalam pengalaman hidup klien. Pencapaian ini membutuhkan waktu dan upaya. Istilah “upaya melewati berduka” berasal dari seorang Erich Lindemann (1965) yang menggambarkan tugas dan proses yang harus diselesaikan dengan berhasil agar berduka terselesaikan. Orang yang mengalami berduka mencoba berbagai strategi untuk menghadapinya. Worden (1982) menggarisbawahi empat tugas berduka yang memudahkan penyesuaian yang sehat terhadap kehilangan. Herper (1987) merancang tugas dalam akronim “TEAR” sebagai berikut : 1. T- untuk menerima realita dari kehilangan. 2. E- mengalami kepedihan akibat kehilangan 3. A- menyesuaikan lingkungan yang tidak lagi mencakup orang, benda atau aspek diri yang hilang. 4. R- memberdayakan kembalienergi emosional kedalam hubungan yang baru. Tugas ini tidak terjadi lagi dalam urutan yang khusus, pada kenyataannya orang yang berduka mungkin melewati keempat tugas tersebut secara bersamaan atau hanya satu atau dua yang menjadi prioritas.

13

14

1. Engel’s Theoryi Menurut engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplikasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal. a) Fase I (shock dan tidak percaya): seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas atau pergi tanpa tujuan. Mencoba untu membutakan perasaan, mungkin karena orang tersebut tidak menyadari implikasi dari kehilangan. Biasanya seseorang dapat menerima secara intelektual, tetapi menolak secara emosional. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaphoresis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bias istirahat, insomnia, dan kelelahan. b) Fase II (berkembangnya kesadaran): seseorang mulai merasakan kehilangan secara nyata/actual dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tibatiba terjadi. Marah biasanya akan ditujukan kepada rumah sakit, perawat, dan lain-lain. Menyalahkan diri sendiri dan menangis adalah cara yang tipikal sebagai individu yang terikat dengan kehilangan. Menangis sepertinya mencakup baik pengetahuan tentang kehilangan sebagai suatu regresi yang tidak tertolong atau seperti seorang anak. c) Fase III (restitusi/resolving the loss): seseorang dengan keinginannya untuk menghargai akan seseorang yang meninggalkannya, berupaya untuk juga mengikuti ritual berkabung, misalnya pemakaman. Berusaha mencoba untuk sepakat/berdamai dengan perasaan yang hampa atau kosong, karena kehilangan. Masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang ynag bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang. d) Fase IV: menciptakan kesan orang meninggal yang hamper tidak memiliki harapan dimasa yang akan datang. Menekan seluruh perasaan yang negative dan permusuhan terhadap almarhum. Bias merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurangnya perhatiannya dan perilakunya yang tidak mengenakkan dimasa lalu terhadap almarhum. 14

15

e) Fase V: kehilangan yang tidak dapat dihindari harus mulai diketahui atau disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat meneriam kondisinya. Kemarahan atau depresi tidak lagi diperlukan. Kehilangan jelas terjadi pada seseorang, yang mulai mengatur kehidupannya kembali dengan meyakini fase ini, seseorang bergerak dari level terendah ke yang lebih tinggi tentang integrasi empati dan intelektual. Kesadaran baru telah berkembang. 2. Fase berduka menurut Martocchio (1985) Meskipun proses kesedihan memiliki rangkaian yang dapat diprediksi dan mempunyai gejala-gejala yang khusus, tidak ada dua orang yang mengalami kemajuan melaluinya dalam jangka waktu yang sama dan metode yang sama. Seseorang mengalami kemajuan kemudian kemunduran sampai akhirnya kehilangan itu terselesaikan kembali.Martocchio (1985). Menggambarkan 5 phase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan berfariasi dan bergantung pada factor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri.Reaksi yang terus-menerus dari kesedihan biasanya reda dalam waktu 6-16 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3 hingga 5 tahun.Peri bahasa mengatakan

“sekali

berduka,

selamanya

berduka”

masih

dianggap

benar.Untuk mengharapkan klien untuk bias membuat kemajuan waktu yang ditetapkan adalah salah, tidak tepat dan mungkin membahayakan. 3. Teori Rando Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 kategori: a. Penghindaran (shock, menyangkal dan tidak percaya) b. Konfrontasi (luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulangulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut. c. Akomodasi (terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan social dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka. 15

16

3. Duka Cita yang Tidak Teratasi a. Duka cita yang berkepanjangan:duka cita berkembang menjadi depresi kronis atau depresi subsindromal yang dapat berlangsung selama lebih dari 1 tahun sebanyak 30%. Harga diri yang rendah dan rasa bersalah cenderung menonjol. b. Duka cita yang tertunda: pasien yang tidak berduka ketika kehilangan itu terjadi berisiko mengalami depresi di kemudian hari, penarikan diri secara social, gangguan cemas, serangan panic, perilaku merusak diri yang nyata maupun samar, alkoholisme dan sindrom-sindrom psikofisiologik. Kemarahan kronis dan hostilitas, hambatan emosional yang jelas, atau hubungan interpersonal yang terganggu, juga dapat muncul. Duka cita yang tidak teratasi mungkin merupakan penyebab tidak terduga dari gangguan psikiatrik pada banyak kasus- karenanya perlu selalu menanyakan riwayat masa lalu tentang kehilangan-kehilangan yang bermakna. c. Dukacita yang mengalami gangguan: reaksi yang berlebihan (aneh, histerikal, euforik dan gejala seperti psikosis) muncul pada sebagian kecil pasien sebagaiakibat tertundanya proses duka cita yang normal. Secara bergantian, pasien menunjukkan keluhan fisik (seperti myeri atau “perilaku penyakiy kronis”) dan mungkin dapat dikelirukan dengan masalah medis pimer.

C. Konsep Kematian Secara etimologi yaitu keadaan mati atau kematian. Sementara secara definitive. Kematian adalah terhentinya fungsi jantung dan paru-paru secara menetap, atau terhentinya kerja otak secara permanen. Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia. Pemahaman akan kematian memengaruhi sikap dan tingkah laku seorang terhadap kematian. Beberapa konsep tentang kematian sebagai berikut : 16

17

1. Mati sebagai terhentinya darah yang mengalir. Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa terhentinya jantung. Dalam PP Nomor 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru. Namun criteria ini sudah ketinggalan zaman. Dalam pengalaman kedokteran, tekhnologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-paru yang semula terhenti dapat dipulihkan kembali. 2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-akan dapat ditarik kembali. 3. Hilangnya

kemampuan

tubuh

secara

permanen.

Konsep

inipun

dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi, konsep ini menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi. 4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi sosial. Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan mengingat, mengambil keputusan dan sebagainya, maka penggerak dari otak, baik secara fisik maupun sosial, makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terletak dalam bidang otak. Oleh karena itu, jika batang otak telah mati, dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan sosial telah mati. Dalam keadaan sperti ini, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi, DNR (do not resusciation). Dying dan death (menjelang ajal dan mati), dua istilah yang sulit untuk dipisahkan satu dan yang lain, serta merupakan suatu fenomena tersendiri. Dying lebih kearah suatu proses. Sedangkan death merupakan akhir dari hidup.Terdapat kontroversi kecil tentang arti dari death. Kebanyakan orang lebih menerima bahwa berhentinya pernapasan dan denyut jantung serta ketidak mampuan reflex corneal merupakan data/tanda yang cukup bagi 17

18

death. Tetapi tidak selamanya demikian.Sekarang lebih mungkin untuk memperhatikan respirasi dan sirkulasi seseorang dengan menggunakan obatobatan, mesin, organ tiruan, dan transplantasi. 1. Perkembangan Tentang Pandangan Hidup dalam Proses Kematian Pandangan hidup seseorang pasien dan lingkungannya dapat terjadi suatu pengaruh cukup besar terhadap cara individu menghadapi kematian. Dari beberapa penelitian ditunjukkan bahwa beragama atau tidak beragama tidak berpengaruh terhadap ketakutan yang dihadapi oleh seseorang yang akan mati. Terdapat

beberapa

alasan,

mengapa

seseorang

mengalami

ketakutan

sebelum/menjelang kematian: a. Orang berpendapat bahwa hidup hanya sampai disitu saja, terlalu pendek dan masih

banyak

yang

harus

dilakukannya

sebelum

kehidupan

ini

“berakhir/selesai”. b. Sebelumnya orang tidak memikirkan kematian yang dihadapinya. Jadi ada ketakutan menghadapi kematian.\ c. Orang takut harus meninggalkan segalanya, manusia, binatang, lingkungan yang telah dipercayainya. d. Orang dapat merasa takut berdasarkan suatu pengalaman hidup terhadap penghakiman tuhan atas jalan kehidupan yang telah dilaluinya. Orang takut bahwa hidupnya masih terlalu singkat disbanding sesamanya, dan terhadap tuhan. Misalnya, orang takut masuk neraka setelah ia mati. Pendapat lain tentang proses berduka adalah dari Sporken dan Michels yang terdapat dalam bukunya “De Laatsthe Levensfase. Sterversbege Leiding En Euthanaise”.Terdapat tujuh fase dalam proses-proses kematian.Ketujuh fase tersebut dalam proses-proses kematian. Ketujuh fase tersebut secara berturut-turut adalah: a. Ketidak tahuan Tidak adanya kejelasan bagi seorang klien bahwa akhir kehidupannya sudah semakin dekat.Selain itu, ketidak tahuan tentang prognosa penyakit dan juga seberapa berat penyakitnya. Klien yng berada pada fase ini seharusnya 18

19

diberikan support dengan selalu mendampingi. Hal ini penting untuk meletakkan dasar kepercayaan yang kuat bahwa ia mendapatkan dukungan dari siapapun dalam masalah ini. b. Ketidak pastian Suatu kondisi dimana individu tidak mendapatkan gambaran yang jelas tentang bagimana masalahnya. Individu akan mencoba mencari-cari alasan supaya masalah tersebut segera berakhir. Klien yang berada pada fase ini akan lebih mudah melaluinya bila ia memiliki pengharapan / harapan. Sehingga klien dapat bertahan untuk selanjutnya masuk ke fase berikutnya. c. Penyangkalan Sebagai salah satu upaya pertahanan diri, akibat ketidakmampuan seseorang untuk menerima situasi yang harus dihadapinya. Pada umumnya reaksi seseorang dalam fase ini adalah tidak menerima keseriusan dari situasi yang dihadapinya, dan seolah olah sama sekali tidak mengerti. Kondisi ini perlu dipahami oleh perawat, sehingga perlu member waktu merenungkan untuk kemudian menyadari.Selain itu jangan terus-menerus mengkonfrontasi dengan situasi serius dari masalahnya. d. Perlawanan Merupakan akibat logis dari fase sebelumnya dan mulai mengembangkan kesadaran bahwa ajal sudah dekat.Wujud dari fase ini adalah dengan agresi dan biasanya disebut juga fase yang penuh kemarahan dan agresi.Perlawanan ini lebih ditujukan kepada system pelayanan yang diterimanya. Sehingga individu ini akan mencari-cari jalan penyelesaian sendiri yang bertujuan untuk menolong

dirinya

diinginkannya

sendiri

adalah

ataupun

keamanan

keutuhannya. dan

Hal

perlindungan

yang

paling

diri.Implikasi

keperawatannya adalah perawat menyediakan diri untuk mendengarkan dan menemani melewati perjalanan menuju akhir kehidupannya.

19

20

e. Penyelesaian(perundingan) Bila individu merasakan ketidak bergunaan penyangkalan dan kemarahan maka ia akan merundingkan penyelesaian dengan orang-orang yang memiliki pengaruh dengan sisa hidupnya. Reaksi yang dimunculkan biasanya dengan menyampaikan janji-janji bila nanti kematiannya dapat ditunda.Implikasi perawatannya adalah memberikan dukungan dan selalu dekat dengan klien.Jangan mengoreksi, rahasiakan setiap pembicaraan dengan nya.Beriakan kasih saying untuk menunjukkan empati. f. Depresi Individu akan mengalami kesedihan yang amat dalam, kesendirian dan ketakutan. Sedih atas apapun yang akan ditinggalkannya. Belum siap dengan kesendiriannya, karena meninggal berarti seorang diri. g. Penerimaan Tidak

setiap

individu

mampu

mencapainya.

Respon

yang

diperlihatkan oleh individu adalah sikap yang tenang, karena ia sadar bahwa ia tidak dapat mengatasi perjuangan ini. Tujuan dari perawatannya adalah untuk member kesempatan padanya untuk memenuhi permintaan dan keinginan pribadinya, selama sisa hidupnya. 2. Fungsi Kematian Adakah fungsi kematian? Bila jawabannya didasarkan atas akal tentu sulit menjawabnya.Fungsi kematian ada apabila jawabannya bersumber dari ajaranajaran agama.Ajaran agama tidak memandang semata-mata sebagai kematian fisik, tetapi berfungsi rohaniah, yaitu untuk memberikan pembalasan kepada manusia sesuai dengan amal perbuatannya sewaktu hidup. Orang yang mengikuti ajaran agama dengan sebenarnya dan sebaik-baiknya akan dijamin masuk surga, dan sebaliknya, orang yang tidak mengikuti ajaran agama akan masuk neraka. Kalau demikian kematian itu dapat merupakan bencana atau nikmat.Fungsi kematian adalah untuk menghentikan budi daya, prestasi dan sumbangan seluruh

20

21

potensi kemanusiaannya. Maka kematian itu bukan akibat kesalahannya atau dosanya kepada orang lain, atau tumbal, melainkan karena takdir. 3. Sikap Menghadapi Kematian Sikap menghadapi kematian adalah kecenderungan perbuatan manusia dalam menghadapi kematian yang diyakininya bakal terjadi.Sikapnya bermacammacam sesuai dengan keyakinannya dan kesadarannya. a. Orang yang menyiapkan dirinya dengan amal perbuatan yang baik karena menyadari bahwa kematian bakal datang dan mempunyai makna rohaniah b. Orang yang mengabaikan peristiwa kematian, yang menganggap kematian sebagai peristiwa alamiah yang tidak ada makna rohaniahnya. c. Orang yang merasa takut atau keberatan untuk mati karena terpukau oleh dunia materi d. Orang yang ingin melarikan diri dari kematian karena menganggap bahwa kematian itu merupakan bencana yang merugikan, mungkin karena banyak dosa, hidup tanpa norma, atau beratnya menghadapi keharusan menyiapkan diri untuk mati. D. Perawatan Pendampingan Terhadap Pasien Kehilangan, Berduka Dan Kematian Pada tahap yang terdapat dalam fase atau tahap kehilangan, peran perawat didalamnya berbeda-beda, yaitu : 1. fase

megingkari

:

memberikan

kesempatan

kepada

pasien

untuk

mengungkapkan perasaannya secara verbal, tidak membantah pengingkaran pasien, duduk intens bersama pasien, menggunakan teknik komunikasi, sentuhan serta memperhatikan kebutuhan dasar pasien. 2. Fase marah : mendorong dan memberikan waktu pada pasien untuk mengungkapkan kemarahan secara verbal tanpa melawan dengan kemarahan, memfasilitasi

kebutuhan

pasien

akibat

reaksi

kemarahannya,

serta

memberikan pemahaman kepada keluarga bahwa marah merupakan sebuah proses yang normal. 21

22

3. Fase tawar-menawar : membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan takutnya dengan memberkan perhatian penuh dan tulus, mengajak pasien berbicara untuk mengurangi rasa bersalah serta memberikan dukungan spiritual. 4. Fase depresi : mengidentifikasi tingkat depresi dan membantu mengurangi rasa bersalah dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan

kesedihannya,

memberikan

dukungan

non

verbal,

membahas pikiran negatif dan melatih mengidentifikasi hal negatif tersebut. 5. Fase penerimaan : membantu pasien mengidentifikasi rencana kegiatan yang akan dilakukan dan membantu keluarga untuk bisa mengerti penyebab rasa kehilangan. (Putri, Rosiana, 2013)

22

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatic, diantisiapsi atau tidak diharapkan atau diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali. Kematian adalah terhentinya fungsi jantung dan paru-paru secara menetap, atau terhentinya kerja otak secara permanen. individu

terhadap

peristiwa

kehilangan,

Berduka adalah reaksi emosional

biasanya

akibat

perpisahan

yang

dimanifestasikan dalam bentuk perilaku, perasaan dan pikiran. Ketika hal tersebut merupakan peristiwa yang suatu saat akan terjadi pada makhluk hidup seperti kita manusia. Kesimpulan kelompok: 1. Dyah Wuni : menurut saya mengenai kehilangan,berduka dan kematian adalah tiga hal yang pasti terjadi dalam kehidupan kita,memang bukan lah hal yang mudah dalam menerima tiga hal itu tapi dengan hal itu kita bias lebih menghargai hal hal yang ada disekeliling kita dan mengingatkan kita akan kematian 2. Ega Puji Rahayu : menurut saya mengenai kehilangan,kematian dan berduka itu adalah hal yang pasti terjadi tetapi kita tidak tau pasti kapan itu akan terjadi jadi kita harus mempersiapkan diri kita akan hal itu. 3. Muhammad Arif : dalam berduka Kita harus ikhlas karena dengan ikhlas arwa yang pergi akan tenang dan bagaimana pun mencoba iklas adalah hal terbaik 4. Misbah : rezeki, jodoh,kematian itu sudah ada yang mengatur kalau saya pribadi lebih meneriman dan mengiklaskan mungkin menurut tuhan itu adalah hal yang terbaik bagi kita walaupun sulit sekali untuk kita menerimanya,berpikir positif 23

saja dengan hal hal yang kita pikir sangat sulit untuk menerimanya dan mersasa semua itu tidak adil. B. Saran Kehilangan, kematian dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Kita sebagai seorang perawat dapat bekerjasama dengan klien yang mengalami hal tersebut. Perawat dapat memberikan pemahaman agar klien dapat menerima dan memahami kehilangan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarganya yang mengalami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, perawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-keluarga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau bahkan kematian.

24

DAFTAR PUSTAKA

Fitri Fariani, Fiky Fendi, Farico Misyaf P, Edwita Kuswaris. 2007. Konsep Kehilangan, Berduka, dan Kematian. Bangkalan. Terakir dokunjungi pada pukul

09.08

1

Oktober

2018.

Konsep-kehilangan-berduka-dan-

kematian.html Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan, Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto. Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC. Rando, T.A. 1997. Grief, Dying, and Death: Clinical Interventions for Caregivers. USA: Research Press Company. http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/ibda/article/download/659/586/ http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB%20II. pdf

25

Related Documents

Psiko 1
December 2019 13
Isi Isbd Kel 2.docx
November 2019 25
Isi Kel 3 Semi Solid.docx
October 2019 13
Psiko Gan Baby
May 2020 3
Budaya
July 2020 31

More Documents from ""