Pruritus- Khory Aurora Berty- G1a116029.docx

  • Uploaded by: Khory Aurora Berty
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pruritus- Khory Aurora Berty- G1a116029.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,554
  • Pages: 9
FARMAKOTERAPI PRURITUS Khory Aurora Berty G1A116029 Pruritus, atau gatal, adalah sensasi yang menimbulkan keinginan kuat untuk melakukan penggarukan. Gatal dicetuskan oleh senyawa tertentu yang menjadi mediator gatal. Senyawa terpenting adalah histamin. Histamin merupakan produk degranulasi sel mast dan basofil, selain dapat dihasilkan oleh makrofag dan limfosit. Jenis histamin H1 ditemukan menyebabkan gatal. Histamin banyak dilepaskan setelah terjadi cidera yang melibatkan dermal. Sementara itu, reseptor H3 terlibat dalam modulasi gatal, dan bekerja antagonis dengan H1. H4 juga dapat menyebabkan gatal. Serotonin terutama terlibat dalam gatal pusat, dan mungkin berperan dalam gatal neurogenik pada pasien uremia (gagal ginjal). Keduanya merupakan golongan amina. 1 Asetilkolin, bekerja melalui reseptor muskarinik, menyebabkan gatal di individu atopik; dan sensasi terbakar di individu non-atopik. Pada penderita dermatitis atopik, ACh yang dihasilkan oleh keratinosit akibat inflamasi dapat mencetuskan rasa gatal.1 Eikosanoid dilepaskan oleh infiltrat leukosit dan sel mast, dan bekerja dengan mengaktifkan TRPV1 dan TRPV4. Prostaglandin mengurangi ambang letup gatal akibat eikosanoid (memudahkan tiimbulnya gatal). Sebagai contoh, endovanniloid mengaktifkan TRPV1 dengan memengaruhi kanal ion kalsium terutama di sel neuron dan non-neuronal (termasuk keratinosit), sehingga meningkatkan kecenderungan untuk gatal. Aktivasi TRPV1 keratinosit menyebabkan pelepasan mediator pruritogenik. Penggunaan vanniloid topikal (seperti capsaicin) mendesensitisasi TRPV1 baik neuronal maupun non-neuronal, sehingga melawan aktivitas pruritogenik dan mencegah timbulnya gatal. 1 Sitokin, seperti IL-2 dan IL-31 terlibat dalam pruritus. IL-2 terutama adalah penginduksi yang poten, sementara IL-31 ditemukan menyebabkan pruritus di individu atopik yang overekspresi IL-31. 1 Neuropeptida yang terpenting adalah substansi P (SP) yang dihasilkan akibat aktivasi serabut saraf C (disebut dengan refleks aksonal), selain juga akan melepaskan mediator eikosanoid inflamasi dan histamin. Substansi P akan meningkat jumlahnya apabila terjadi inflamasi, sehingga zat ini adalah salah satu mediator terpenting yang berperan dalam gatal akibat inflamasi. Substansi P secara selektif menyebabkan pelepasan histamin oleh sel mast. Aktivitasnya menurun akibat stress, serta meningkat akibat penuaan dan keadaan malam. CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide) juga neurotransmiter golongan péptida utama, disamping neuropeptida lain seperti VIP (Vasoactive intestinal peptide), endothelin, neurotensin, dan neurotrophin, serta neurokinin A (NKA). Neurotrophin, seperti NGF bekerja dengan menurunkan ambang gatal, meningkatkan regulasi reseptor vanilloid, serta meningkatkan produksi substansi P. Berperan terutama pada gatl akibat dermatitis atopik.1

Apabila gatal bersifat terlokalisasi, penggunaan capsaicin secara topikal dapat meredakan gatal. Selain itu, penggunaan terapi dengan transepidermal electrical nerve stimulation (TENS) sangatlah efektif. 1 Farmakoterapi dengan obat-obatan dapat dilakukan untuk menekan pruritus. Antihistamin memiliki efek yang kurang baik, kecuali pada pruritus yang dicetuskan terutama akibat aksi histamin. Contohnya adalah urtikaria. Sementara itu, kortikosteroid baik secara topikal maupun sistemik cenderung tidak menimbulkan efek antipruritus dan jika efek antipruritus terlihat, maka ini lebih disebabkan penekanan efek inflamasi. 1 Antagonis opioid, seperti naltrexone dapat sangat efektif di beberapa pasien, terutama gatal akibat kolestasis. Namun perlu diingat bahwa obat-obatan antagonis opioid banyak memiliki kontraindikasi, terutama bagi pasien dengan penyakit hati. Selain itu, analgesik opioid menimbulkan efek ketergantungan (withdrawal symptoms). Butorfanol, kombinasi antagonis miu dan kappa diberikan sebagai semprotan (nasal spray). 1 Secara ringkas, obat-obat yang bekerja secara perifer antara lain antagonis H1, agonis H3, antagonis SP, antagonis TRPV1, agonis CB1, antagonis PAR-2. Sementara yang bekerja secara sentral adalah gabapentin (untuk gatal neuropati), talidomit (mensupresi persarafan), mirtazapin, inhibitor uptake serotonin, dan opioid miu antagonis atau agonis kappa.1 1. Antagonis histamin H1 Pada urtikaria, dengan histamin adalah mediator utama, antagonis H1 merupakan obat pilihan dan sering cukup efektif jika diberikan sebelum pajanan. Namun, pada asma bronkus, yang melibatkan beberapa mediator, antagonis H1 umumnya kurang efektif. Angioedema dapat dipicu oleh pelepasan histamin tetapi tampaknya dipertahankan oleh peptida kinin yang tidak terpengaruh oleh obat antihistamin. Untuk dermatitis atopik, obat antihistamin seperti difenhidramin digunakan terutama karena efek samping sedatifnya, yang mengurangi perasaan gatal.2 Farmakokinetik : Antagonis h1 biasanya dibagi menjadi obat generasi pertama dan generasi kedua. Keduanya dibedakan oleh efek sedatif yang relatif kuat pada sebagian besar obat generasi pertama. Obat generasi pertama juga lebih besar kemungkinan menghambat reseptor autonom. Penghambat h1 generasi ke 2 kurang sedatif, karena distribusinya yang lebih sedikit pada susunan saraf pusat.2 Obat obat ini cepat diserap setelah pemberian oral, dengan konsentrasi puncak pada 1-2 jam. Mereka tersebar luas pada tubuh, dan obat geberasi pertama cepat masuk ke susunan saraf pusat. Sebagian dari mereka mengalami metabolissasi ekstensif, terutama oleh sistem mikrosom di hati. Beberapa dari obat generasi ke 2 dimetabolisasi oleh sistem CYP3A4 dan karenanya dapat berinteraksi dengan obat lain (misalnya katekonazol) yang menghambat subtipe enzim P450 ini. Sebagian besar obat memiliki masa kerja efektif 4-6 jam setelah satu dosis, tetapi meklizine dan beberapa obat generasi kedua bekerja lebih lama, dengan masa kerja 12-24 jam. Obat-obat yang lebih baru jauh kurang larut dalam lemak dibandingakn obat generasi

pertama serta merupakan substrat dari prngangkut glikoprotein P di sawar darah otak, akibatnya mereka sulit atau sama sekali tidak dapat masuk ke susunan saraf pusat. Banyak antagonis h1 memiliki metabolit aktif. 2 Farmakodinamik : Antagonis H1 mengurangi atau menghambat kerja histamin dengan secara reversibel dan kompetitif mengikat reseptor h1. Obat-obat ini hampir tidak berefek pada reseptor h2 dan sedikit pada reseptor h3. Sebgai contoh, kontraksi otot polos bronkiolus atau saluran cerna akibat histamin dapat dihambat secara total oleh obatobat ini tetapi efek terhadap asam lambung dan jantung tidak terpengaruh.2 Antagonis reseptor h1 generasi pertama memiliki efek selain blokade histamin. Sejumlah besar dari efek ini mungkin terjadi karena kemiripan struktur umum dengan struktur obat yang memilliki efek pada kolinoseptor muskarinik, adrenoreseptor alfa, serotonin, dan reseptor anestetik lokal. Sebagian efek ini memiliki nilai terapeutik dan sebagian tidak diinginkan.2 Toksisitas : Spektrum efek nonantihistamin yang luas dari antihistamin H1 telah dijelaskan. Beberapa dari efek ini (mengantuk, efek antimuskarinik) telah digunakan untuk tujuan terapeutik, khususnya dalam sediaan obat tanpa resep. Bagaimanapun, kedua efek ini merupakan efek yang paling tidak disukai ketika obat-obat ini digunakan untuk menghambat reseptor histamin. Efek toksik pemakaian sistemik yang lebih jarang adalah eksitasi dan kejang pada anak, hipotensi postural, dan respons alergik. Alergi obat relatif sering setelah pemakaian topikal antagonis H1. Efek kelebihan dosis sistemik obat lama yang parah mirip dengan kelebihan dosis atropin dan diterapi dengan cara yang sama. Kelebihan dosis astemizol atau terfenadin dapat menyebabkan aritmia jantung; efek yang sama dapat timbul pada dosis sama akibat interaksi dengan inhibitor enzim. 2 Preparat yang sering digunakan :2

Dosis : 3

Pediatric dan geriatric : Antihistamin generasi kedua direkomendasikan pada geriatri (>65th) terutama mereka yang memiliki gangguan fungsi kognitif, karena efek sedatif dan antikolinergeik yang dimiliki oleh generasi pertama. Terapi harus yang pendekatan yang hati hati, pertimbagkan penurunan dosis karena besar kemungkinan adanya penurunan fungsi hepar dan ginjal pada pasien yang dapat menurunkan eliminasi obat.3 Antihistamin generasi pertama tidak direkomendasikan pada anak anak karena efek sedatifnya dapat mengganggu proses belajar dan kinerja sekolahnya.Generasi kedua; loratadine, desloratadine, fexofenadine, cetirizine, levocetirizine dan azelastine telah di setujui oleh FDA untuk digunakan pada anak-anak dan tersedia dengan formulasi dosis rendah.Penggunaan yang berlebihan obat batuk dan demam ( campuran antihistamin, dekongestan, antitusif, eskpektoran) pada anak-anak dapat mengakibkan efek samping yang serius hingga kematian. Pada tahun 2008 FDA menyatakan bahwa obat obat tersebut tidak boleh diberikan pada anak <2th.Keracunan AH1 pada anak, terjadi karena kecelakaan. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak.3

Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya . pada anak kecil efek yang dominan adalah peangsangan dengan manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atenosis dan kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai tremor dan pergerakan atenoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol. Gejala lain mirip gejala keracunan atropin misalnya midriasis, kenerahan dimuka dan sering juga timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps kardiorespi yang disusul kematioan dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa, manifestasi keracunan biasanya berupa depresi pada permulaan, kemudian eksitasi dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut. 3 2. Antagonis serotonin Siproheptadin mirip dengan obat antihistamin fenotiazin dalam struktur kimianya serta memiliki efek menghambat reseptor H1 dan reseptor 5-HT2. Efek siproheptadin dapat diperkirakan dari afinitasnya terhadap reseptor histamin H1 dan 5-HT. Obat ini mencegah efek kedua amina pada otot polos, tetapi tidak berefek pada sekresi lambung yang dirangsang oleh histamin. Obat ini juga memiliki efek antimuskarinik yang signifikan clan menyebabkan sedasi.2 Aplikasi klinis utama siproheptadin adalah dalam mengobati manifestasi otot polos tumor karsinoid dan pada urtikaria imbasdingin. Dosis lazim pada dewasa adalah 12-16 mg/hari dalam tiga atau empat dosis. Obat ini berguna pada sindrom serotonin, tetapi karena hanya tersedia dalam bentuk tablet, siproheptadin harus digerus dan diberikan melalui selang lambung pada pasien yang tidak sadar.2 3. Kortikosteroid Glukokortikoid secara drastis mengurangi manifestasi peradangan. Hal ini terutama disebabkan oleh efek mereka yang nyata pada konsentrasi, distribusi, dan fungsi leukosit perifer dan pada efek supresif mereka pada berbagai sitokin dan kemokin inflamatorik serta mediator peradangan lainnya. Peradangan, apa pun sebabnya, ditandai oleh ekstravasasi dan serbukan leukosit ke jaringan yang meradang. Proses-proses ini diperantarai oleh serangkaian kompleks interaksi molekul-molekul perekat sel darah putih dengan molekulmolekul di sel endotel serta dihambat oleh glukokortikoid. Setelah satu dosis glukokortikoid kerja-singkat, konsentrasi neutrofil dalam sirkulasi meningkat sementara limfosit (sel T dan B), monosit, eosinofil, dan basofil menurun. Perubahan-perubahan ini maksimal pada 6 jam dan mereda dalam 24 jam. Meningkatnya neutrofil disebabkan oleh meningkatnya influks ke dalam darah dari sumsum tulang dan berkurangnya migrasi dari pembuluh darah sehingga jumlah sel di tempat peradangan berkurang. Berkurangnya limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil dalam sirkulasi terutama disebabkan oleh perpindahan mereka dari jaringan vaskular ke dalam jaringan limfoid.2 Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyaji antigen lainnya. Kemampuan sel-sel ini untuk berespons terhadap antigen dan mitogen berkurang. Efek pada makrofag sangatlah nyata dan membatasi kemampuan

sel ini untuk memfagosit dan mematikan mikroorganisme serta menghasilkan tumornecrosis factor-α, interleukin-I, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen. Baik makrofag maupun limfosit lebih sedikit menghasilkan interleukin-12 dan interferon-γ, yaitu penginduksi penting aktivitas sel THl dan imunitas selular. Selain efek pada fungsi leukosit, glukokortikoid juga memengaruhi respons peradangan dengan mengurangi produksi prostaglandin, leukotrien, dan platelet-activating factor yang terjadi karena pengaktifan fosfolipase A2. Yang terakhir, glukokortikoid mengurangi ekspresi siklo oksigenase-2, bentuk enzim ini yang dapat diinduksi, di sel-sel radang sehingga jumlah enzim yang tersedia untuk menghasilkan prostaglandin berkurang.2 Glukokortikoid menyebabkan vasokonstriksi jika dioleskan langsung ke kulit, mungkin dengan menekan degranulasi sel mast. Zat ini juga menurunkan permeabilitas kapiler dengan mengurangi jumlah histamin yang dikeluarkan oleh basofil dan sel mas. Efek anti-inflamasi dan imunosupresif glukokortikoid terutama disebabkan oleh efek-efek yang diuraikan sebelumnya. Pada manusia, pengaktifan komplemen tidak terpengaruh, tetapi efeknya terhambat. Produksi antibodi mungkin berkurang oleh pemberian steroid dalam jumlah besar, meskipun hal ini tidak terpengaruh oleh dosis sedang (mis. prednison 20 mg/hari).2 Farmakokinetika : Kortikosteroid sintetik umumnya cepat dan tuntas diserap jika diberikan per oral. Meskipun steroid sintetik diangkut dan dimetabolisasi seperti steroid endogen, terdapat beberapa perbedaan penting. Glukokortikoid juga diabsopsi secara sistemik dari tempat pemberian local seperti ruang synovial, sacus konjuctiva, kulit dan traktus respiratori.Stelah diabsorpsi, 90% dari kortisol terikat dengan protein plasma, hanya fraksi bebas yang menjadi metabolit aktif dan dapat memasuki sel. Dua protein plasma yang berperan adalah CBG ( corticosteroid binding globulin) dan albumin.2,3 Setelah aplikasi ke kulit normal, kortikosteroid hanya sedikit yang terserap; sebagai contoh, hanya sekitar 1% dosis larutan hidrokortison yang dioleskan ke bagian ventral lengan bawah yang terserap. Oklusi jangka-panjang dengan film taktembus, seperti Jembaran plastik merupakan suatu metode yang efektif untuk meningkatkan penetrasinya, yaitu menyebabkan peningkatan penyerapan sepuluh kali lipat. Terdapat variasi anatomik regional yang mencolok dalam penetrasi kortikosteroid. Dibandingkan dengan penyerapan dari lengan bawah, hidrokortison diserap 0, 14 kali lipat melalui lengkung telapak kaki, 0,83 kali lipat melalui telapak tangan, 3.5 kali lipat melalui kulit kepala, 6 kali lipat melaluidahi, 9 kali lipat melalui kulit vulva, dan 42 kali lipat melalui kulit skrotum. Penetrasinya meningkat beberapa kali lipat pada kulit meradang dermatitis atopik; dan pada penyakit eksfoliativa berat, misalnya psoriasis eritroderma, tampaknya sawar terhadap penetrasi sangat kecil.2 Studi-studi eksperimental penyerapan perkutis hidrokortison gagal memperlihatkan adanya peningkatan signifikan penyerapan jika aplikasi dilakukan berulang-ulang dan aplikasi sekali sehari mungkin efektif untuk sebagian besar penyakit. Kortikosteroid bentuk salep cenderung menghasilkan aktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan vehikulum krim atau losio. Peningkatan konsentrasi suatu kortikosteroid meningkatkan penetrasinya tetapi tidak secara proporsional. Sebagai contoh, sekitar 1% larutan hidrokortison 0,25% diserap dari tengan bawah.

Peningkatan konsentrasi sepuluh kali lipat hanya meningkatkan penyerapan empat kati lipat. Ketarutan kortikosteroid datam vehikulum merupakan penentu penting penyerapan perkutis steroid topikal. Peningkatan nyata dalam efikasi dijumpai jika digunakan vehikulum optimal, seperti dibuktikan oleh sediaan-sediaan baru betametason dipropionat dan diflorason diasetat.2 Farmakodinamika : Sebagian besar dari efek glukokortikoid yang diketahui diperantarai oleh reseptor glukokortikoid yang tersebar luas. Protein-protein ini adalah anggota dari superfamili reseptor. nukleus, yang mencakup reseptor steroid, sterol (vitamin D),tiroid,asam retinoat, dan banyak reseptor lain yang ligannya belum diketahui atau tidak ada (reseptor yatim,orphan receptor). Semua reseptor ini berinteraksi dengan promotor dan mengatur transkripsi gen-gen sasaran. Tanpa adanya homon sebagai ligan reseptor glukokortikoid terutama berada di sitoplasma, membentuk kompleks oligomerik dengan heat-shock protein (hsp). Yang terpenting dari protein-protein ini adalah dua molekul hsp90, meskipun protein-protein lain jelas berperan.2 Harmon bebas dari plasma dan cairan interstisium masuk ke sel dan berikatan dengan reseptor, memicu perubahan konformasi yang memungkinkannya terlepas dari heat shock protein. Kompleks reseptor yang mengikat ligan kemudian secara aktif diangkut ke dalam nukleus, tempat ia berinteraksi dengan DNA dan proteinprotein inti. Sebagai suatu homodimer, kompleks berikatan dengan elemen respons glukokortikoid (glucoc-orticoid response elements, GRE) di promotor gen-gen responsif. GRE terdiri dari dua sekuens palindromik yang berikatan dengan dimer reseptor hormon. 2 Selain mengikat GRE, reseptor yang terikat ke ligan juga membentuk kompleks dengan, dan memengaruhi fungsi, faktor transkripsi lain, misalnya APl dan NF-κB, yang bekerja pada promotor yang tidak mengandung GRE, untuk ikut serta dalam regulasi transkripsi gen-gen responsif mereka. Faktor-faktor transkripsi ini memiliki efek luas pada regulasi faktor pertumbuhan, sitokin proinflamasi, dsb, serta banyak memerantarai efek anti pertumbuhan, anti-inflamasi, dan imunosupresif glukokortikoid.2 Dosis :2

Efikasi relatif beberapa kortikosteroid topikal dalam berbagai sediaan:2

Toksisitas : Dua kategori efek toksik penguanaan terapeutik kortikosteroid adalah hasil dari ‘withdrawal effect’ dan penggunaan dosis tinggi dalam waktu yang lama.2,3 Efek samping : Efek samping lokal kortikosteroid topikal antara lain adalah atrofi, yang mungkin bermanifestasi sebagai kulit yang mencekung, berkilap, sering mengeriput seperti "kertas rokok" disertai telangiektasis yang mencolok dan kecenderungan mengalami purpura dan ekimosis; rosasea kortikosteroid, dengan eritema persisten, telangiektasia pembuluh, pustul, dan papul di bagian tengah wajah; dermatitis

perioral, akne steroid, perubahan infeksi kulit, hipopigmentasi, hipertrikosis; meningkatnya tekanan intraokular; dan dermatitis kontak alergik. Dermatitis kontak alergik dapat dikonfirmasi dengan uji tempel menggunakan kortikosteroid konsentrasi tinggi, yaitu 1% dalam vaselin, karena kortikosteroid topikal tidak mengiritasi. Pemeriksaan penyaring untuk kemungkinan dermatitis kontak alergik dilakukan dengan tiksokortol pivalat, budesonid, dan hidrokortison valerat atau butirat. Kortikosteroid topikal dikontraindikasikan pada orang yang memperlihatkan hipersensitivitas terhadap obat-obat tersebut. Beberapa orang yang sensitif mengalami kekambuhan generalisata ketika diberikan hormon adrenokortikotropik atau prednison oral.2 Pediatric dan geriatric : Dapat terjadi sindrom Cushing iatrogenik akibat pemakaian berkepanjangan kortikosteroid topikal dalam jumlah yang besar. Pemakaian kortikosteroid poten pada daerah yang luas di tubuh, dengan atau tanpa oklusi, meningkatkan kemungkinan efek sistemik. Pada anak, faktor yang diperlukan untuk menghasilkan efek samping sistemik lebih sedikit, dan retardasi pertumbuhan adalah hal yang dikhawatirkan pada pasien kelompok usia anak.2 Efek samping glukokortikoid antara lain diabetes dan osteoporosis, yang berbahaya, terutama pada lanjut usia, dapat terjadi fraktur osteoporotik pada tulang pinggul dan tulang belakang. Selain itu, pemberian dosis tinggi dapat mengakibatkan nekrosis avaskular pada kepala femur.2

DAFTAR PUSTAKA 1. Regar,Evan. Mekanisme pruritus. Diunduh melalui https://www.academia.edu/14692416/45790104-Mekanisme-Gatal-Pruritus pada 29 maret 2019. 2. Katzung B, Masters S, Trevor AJ. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi 12. McGrawHill Companies ;2012. 3. Goodman & Gilman.,Dasar Farmakologi Terapi. Edisi 10. Editor Joel. G. Hardman & Lee E. Limbird. Konsultan Editor Alfred Goodman Gilman. Diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. 2012

Related Documents

Pruritus Patofis.docx
December 2019 6
~aurora~
November 2019 33
Aurora
November 2019 23
Aurora Formatted.docx
April 2020 9

More Documents from "George Kariuki"