TUGAS TEMATIK KEANEKARAGAMAN DI INDONESIA
Di susun Oleh: Raffansya Tetra Pratama Kelas 5A
SD Labschool UPI Bandung 2019
PROVINSI PAPUA Papua adalah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur wilayah Papua milik Indonesia. Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini. Provinsi Papua sebelumnya bernama Irian Jaya yang mencakup seluruh wilayah Papua Bagian barat. Sejak tahun 2003, dibagi menjadi dua provinsi dengan bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya memakai nama Papua Barat. Papua memiliki luas 808.105 km persegi dan merupakan pulau terbesar kedua di dunia dan terbesar pertama di Indonesia. Provinsi Papua memiliki luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua berada di ujung timur dari wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan strategis, dan telah mendorong bangsa – bangsa asing untuk menguasai pulau Papua. Kabupaten Puncak Jaya merupakan kota tertinggi di pulau Papua, sedangkan kota yang terendah adalah kota Merauke. Sebagai daerah tropis dan wilayah kepulauan, pulau Papua memiliki kelembaban udara relative lebih tinggi berkisar antara 80-89% kondisi geografis yang bervariasi ini mempengaruhi kondisi penyebaran penduduk yang tidak merata. Pada tahun 1990 penduduk di pulau Papua berjumlah 1.648.708 jiwa dan meningkat menjadi sekitar 2,8 juta jiwa pada tahun 2006. Dengan ketinggian 4.884 m, Puncak Jaya merupakan puncak tertinggi di Indonesia sekaligus di Oseania. Luas wilayah
Luas
420.540 km²
Iklim
Curah hujan
1.800 – 3.000 mm
Suhu udara
19-28°C
Kelembapan 80%
Batas Wilayah Utara
Samudera Pasifik
Selatan Samudera Hindia, Laut Arafuru, Teluk Carpentaria, Australia
Barat
Papua Barat, Kepulauan Maluku
Timur
Papua Nugini
Latar belakang Papua adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah utara Australia dan merupakan bagian dari wilayah timur Indonesia. Sebagian besar daratan Papua masih berupa hutan belantara. Papua merupakan pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Sekitar 47% wilayah pulau Papua merupakan bagian dari Indonesia, yaitu yang dikenal sebagai Netherland New Guinea, Irian Barat, West Irian, serta Irian Jaya, dan akhir-akhir ini dikenal sebagai Papua. Sebagian lainnya dari wilayah pulau ini adalah wilayah negara Papua New Guinea (Papua Nugini), yaitu bekas koloni Inggris. Populasi penduduk di antara kedua negara sebetulnya memiliki kekerabatan etnis, tetapi kemudian dipisahkan oleh sebuah garis perbatasan. Papua memiliki luas area sekitar 421.981 kilometer persegi dengan jumlah populasi penduduk hanya sekitar 2,3 juta. Lebih dari 71% wilayah Papua merupakan hamparan hutan hujan tropis yang sulit ditembus karena terdiri atas lembah-lembah yang curam dan pegunungan tinggi, dan sebagian dari pegunungan tersebut diliputi oleh salju. Perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini ditandai dengan 141 garis Bujur Timur yang memotong pulau Papua dari utara ke selatan. Seperti juga sebagian besar pulau-pulau di Pasifik Selatan lainnya, penduduk Papua berasal dari daratan Asia yang bermigrasi dengan menggunakan kapal laut. Migrasi itu dimulai sejak 30.000 hingga 50.000 tahun yang lalu, dan mengakibatkan mereka berada di luar peradaban Indonesia yang modern, karena mereka tidak mungkin untuk melakukan pelayaran ke pulau-pulau lainnya yang lebih jauh. Para penjelajah Eropa yang pertama kali datang ke Papua, menyebut penduduk setempat sebagai orang Melanesia. Asal kata Melanesia berasal dari kata Yunani, ‘Mela’ yang artinya ‘hitam’, karena kulit mereka berwarna gelap. Kemudian bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan juga bangsa Portugis yang berinteraksi secara dekat dengan penduduk Papua, menyebut mereka sebagai orang Papua. Papua sendiri menggambarkan sejarah masa lalu Indonesia, karena tercatat bahwa selama abad ke-18 Masehi, para penguasa dari kerajaan Sriwijaya, yang berpusat di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Palembang, Sumatera Selatan, mengirimkan persembahan kepada kerajaan Tiongkok. Di dalam persembahan itu terdapat beberapa ekor burung Cenderawasih, yang dipercaya sebagai burung dari taman surga yang merupakan hewan asli dari Papua, yang pada waktu itu dikenal sebagai ‘Janggi’. Dalam catatan yang tertulis di dalam kitab Nagarakretagama, Papua juga termasuk kedalam wilayah kerajaan Majapahit (1293–1520). Selain tertulis dalam kitab yang merupakan himpunan sejarah yang dibuat oleh pemerintahan Kerajaan Majapahit tersebut, masuknya Papua kedalam wilayah kekuasaan Majapahit juga tercantum di dalam kitab Prapanca yang disusun pada tahun 1365. Walaupun terdapat kontroversi seputar catatan sejarah tersebut, hal itu menegaskan bahwa Papua adalah sebagai bagian yang tidak terlepas dari jaringan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang berada di bawah kontrol kekuasaan kerajaan Majapahit. Selama berabad-abad dalam paruh pertama milenium kedua, telah terjalin hubungan yang intensif antara Papua dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia, yang hubungan tersebut bukan hanya sekadar kontak perdagangan yang bersifat sporadis antara penduduk Papua dengan orang-orang yang berasal dari pulau-pulau terdekat. Selama kurun waktu tersebut, orang-orang dari pulau terdekat yang kemudian datang dan menjadi bagian dari Indonesia yang modern, menyatukan berbagai keragaman yang terserak di dalam kawasan Papua. Hal ini tentunya membutuhkan interaksi yang cukup intens dan waktu yang tidak sebentar agar para penduduk di Papua bisa belajar bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, apalagi mengingat keanekaragaman bahasa yang mereka miliki. Pada tahun 1963, dari sekitar 700.000 populasi penduduk yang ada, 500.000 di antara mereka berbicara dalam 200 macam bahasa yang berbeda dan tidak dipahami antara satu dengan yang lainnya. Sekarang ini bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa pengantar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan merupakan bahasa di dalam melakukan berbagai transaksi. Bahasa Indonesia sendiri berasal dari bahasa melayu, versi pasar.
Sejarah Papua berada di wilayah paling timur negara Indonesia. Ia merupakan pulau terbesar kedua setelah Pulau Greenland di Denmark. Luasnya mencapai 890.000 Km² (ini jika digabung dengan Papua New Guinea). Besarnya diperkirakan hampir lima kali luas pulau Jawa. Pada sekitar tahun 200 M, ahli geografi bernama Klaudius Ptolemaeus (Ptolamy) menyebut pulau Papua dengan nama Labadios. Sampai saat ini tak ada yang tahu, kenapa pulau Papua diberi nama Labadios. Sekitar akhir tahun 500 M, oleh bangsa China diberi nama Tungki. Hal ini dapat diketahui setelah mereka menemukan sebuah catatan harian seorang pengarang Tiangkok, Ghau Yu Kuan yang menggambarkan bahwa asal rempah-rempah yang mereka peroleh berasal dari Tungki, nama yang digunakan oleh para pedagang China saat itu untuk Papua. Selanjutnya, pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan menggunakan nama Janggi. Dalam buku Kertagama 1365 yang dikarang Pujangga Mpu Prapanca “Tugki” atau “Janggi” sesungguhnya adalah salah eja diperoleh dari pihak ketiga yaitu Pedagang Cina Chun Tjok Kwan yang dalam perjalanan dagangnya sempat menyinggahi beberapa tempat di Tidore dan Papua. Di awal tahun 700 M, pedagang Persia dan Gujarat mulai berdatangan ke Papua, juga termasuk pedangan dari India. Tujuan mereka untuk mencari rempah-rempah di wilayah ini setelah melihat kesuksesan pedangang asal China. Para pedagang ini sebut nama Papua dengan Dwi Panta dan juga Samudranta, yang artinya Ujung Samudra dan Ujung Lautan. Pada akhir tahun 1300, Kerajaan Majapahit menggunakan dua nama, yakni Wanin dan Sram. Nama Wanin, tentu tidak lain dari semenanjung Onin di daerah Fak-Fak dan Sram, ialah pulau Seram di Maluku. Ada kemungkinan, budak yang dibawa dan dipersembahkan kepada Majapahit berasal dari Onin dan yang membawanya ke sana adalah orang Seram dari Maluku, sehingga dua nama ini disebut. Sekitar tahun 1646, Kerajaan Tidore memberi nama untuk pulau ini dan penduduknya sebagai Papa-Ua, yang sudah berubah dalam sebutan menjadi Papua. Dalam bahasa Tidore artinya tidak bergabung atau tidak bersatu (not integrated). Dalam bahasa melayu berarti berambut keriting. Memiliki pengertian lain, bahwa di pulau ini tidak terdapat seorang raja yang memerintah. Ada juga yang memakai nama Papua sebagai bentuk ejekan terhadap warga setempat—penduduk primitif, tertinggal, bodoh— yang merupakan slogan yang tidak mempunyai arti apapun dengan nama Papua. Respon penduduk terhadap nama Papua cukup baik. Alasannya, sebab nama tersebut benar mencerminkan identitas diri mereka sebagai manusia hitam, keriting, yang sangat berbeda dengan penduduk Melayu juga kerajaan Tidore. Tapi, tentu mereka tak terima dengan ejekan yang selalu dilontarkan warga pendatang. Pada tahun 1511, Antonio d’Arbau pelaut asal Portugis menyebut wilayah Papua dengan nama “Os Papuas” atau juga llha de Papo. Don Jorge de Menetes, pelaut asal Spanyol juga sempat mampir di Papua beberapa tahun kemudian (1526–1527), ia tetap menggunakan nama Papua. Ia sendiri mengetahui nama Papua dalam catatan harian Antonio Figafetta, juru tulis pelayaran Magelhaens yang mengelilingi dunia menyebut dengan nama Papua. Nama Papua ini diketahui Figafetta saat ia singgah di pulau Tidore. Berikutnya, pada tahun 1528, Alvaro de Savedra, seorang pimpinan armada laut Spanyol beri nama pulau Papua Isla de Oro atau Island of Gold yang artinya Pulau Emas. Ia juga merupakan satu-satunya pelaut yang berhasil menancapkan jangkar kapalnya di pantai utara kepulauan Papua. Dengan penyebutan Isla Del Oro membuat tidak sedikit pula para pelaut Eropa yang datang berbondong-bondong untuk mencari emas yang terdapat di pulau emas tersebut. Pada tahun 1545, pelaut asal spanyol Inigo Ortiz de Retes memberi nama Nueva Guinee. Dalam bahasa Inggris disebut New Guinea. Ia awalnya menyusuri pantai utara pulau ini dan karena melihat ciri-ciri manusianya yang berkulit hitam dan berambut keriting sama seperti manusia yang ia lihat di belahan bumi Afrika bernama Guinea, maka diberi nama pulau ini Nueva Guinee/Pulau Guinea Baru. Nama Papua dan Nueva Guinea dipertahankan hampir dua abad lamanya, baru kemudian muncul nama Nieuw Guinea dari Belanda, dan kedua nama tersebut terkenal secara luas diseluruh dunia, terutama pada abad ke-19. Penduduk nusantara mengenal dengan nama Papua dan sementara nama Nieuw
Guinea mulai terkenal sejak abad ke-16 setelah nama tersebut tampak pada peta dunia sehingga dipakai oleh dunia luar, terutama di negara-negara Eropa. Pada tahun 1956, Belanda kembali mengubah nama Papua dari Nieuw Guinea menjadi Nederlands Nieuw Guinea. Perubahan nama tersebut lebih bersifat politis karena Belanda tak ingin kehilangan pulau Papua dari Indonesia pada zaman itu. Pada tahun 1950-an oleh Residen JP Van Eechoud dibentuklah sekolah Bestuur. Di sana ia menganjurkan dan memerintahkan Admoprasojo selaku Direktur Sekolah Bestuur tersebut untuk membentuk dewan suku-suku. Di dalam kegiatan dewan ini salah satunya adalah mengkaji sejarah dan budaya Papua, termasuk mengganti nama pulau Papua dengan sebuah nama lainnya. Tindak lanjutnya, berlangsung pertemuan di Tobati, Jayapura. Di dalam turut dibicarakan ide penggantian nama tersebut, juga dibentuk dalam sebuah panitia yang nantinya akan bertugas untuk menelusuri sebuah nama yang berasal dari daerah Papua dan dapat diterima oleh seluruh suku yang ada. Frans Kaisepo selaku ketua Panitia kemudian mengambil sebuah nama dari sebuah mitos Manseren Koreri, sebuah legenda yang termahsyur dan dikenal luas oleh masyarakat luas Biak, yaitu Irian. Dalam bahasa Biak Numfor “Iri” artinya tanah, "an" artinya panas. Dengan demikian nama Irian artinya tanah panas. Pada perkembangan selanjutnya, setelah diselidiki ternyata terdapat beberapa pengertian yang sama di tempat seperti Serui dan Merauke. Dalam bahasa Serui, "Iri" artinya tanah, "an" artinya bangsa, jadi Irian artinya Tanah bangsa, sementara dalam bahasa Merauke, "Iri" artinya ditempatkan atau diangkat tinggi, "an" artinya bangsa, jadi Irian adalah bangsa yang diangkat tinggi. Secara resmi, pada tanggal 16 Juli 1946, Frans Kaisepo yang mewakili Nieuw Guinea dalam konferensi di Malino-Ujung Pandang, melalui pidatonya yang berpengaruh terhadap penyiaran radio nasional, mengganti nama Papua dan Nieuw Guinea dengan nama Irian. Nama Irian adalah satu nama yang mengandung arti politik. Frans Kaisepo pernah mengatakan “Perubahan nama Papua menjadi Irian, kecuali mempunyai arti historis, juga mengandung semangat perjuangan: IRIAN artinya Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”. (Buku PEPERA 1969 terbitan tahun 1972, hal. 107-108). Setelah Indonesia merdeka pada 1945, dan semakin terpojoknya Belanda oleh dunia internasional dalam rangka mempertahankan Papua dalam wilayah jajahannya, pada 1 Desember 1961, Belanda membentuk negara boneka Papua. Pada tanggal tersebut Belanda memerintahkan masyarakat Papua untuk mengibarkan bendera nasional baru yang dinamakan Bintang Kejora. Mereka menetapkan nama Papua sebagai Papua Barat. Sedangkan United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), sebuah badan khusus yang dibentuk PBB untuk menyiapkan act free choice di Papua pada tahun 1969 menggunakan dua nama untuk Papua, West New Guinea/West Irian. Berikutnya, nama Irian diganti menjadi Irian Barat secara resmi sejak 1 Mei 1963 saat wilayah ini dikembalikan dari Kerajaan Belanda ke dalam pangkuan Negara republik Indonesia. Pada tahun 1967, kontrak kerja sama PT Freeport Mc Morran dengan pemerintah Indonesia dilangsungkan. Dalam kontrak ini Freeport gunakan nama Irian Barat, padahal secara resmi Papua belum resmi jadi bagian Indonesia. Dunia internasional mengakui secara sah bahwa Papua adalah bagian Negara Indonesia setelah dilakukannya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969. Dan kemudian pada tanggal 1 Maret 1973 sesuai dengan peraturan Nomor 5 tahun 1973 nama Irian Barat resmi diganti oleh Presiden Soeharto menjadi nama Irian Jaya. Memasuki era reformasi sebagian masyarakat menuntut penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Presiden Abdurrahman Wahid memenuhi permintaan sebagian masyarakat tersebut. Dalam acara kunjungan resmi kenegaraan Presiden, sekaligus menyambut pergantian tahun baru 1999 ke 2000, pagi hari tanggal 1 Januari 2000, dia memaklumkaan bahwa nama Irian Jaya saat itu diubah namanya menjadi Papua seperti yang diberikan oleh Kerajaan Tidore pada tahun 1800-an.
Rumah Adat Papua
NAMA RUMAH ADAT PAPUA, baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat, keduanya sama-sama disebut Honai. Secara morfologis, honai berasal dari dua kata, yaitu “Hun” yang artinya pria dewasa dan “Ai” yang artinya rumah. Secara harfiah, honai berarti rumah laki-laki dewasa. Namun bukan hanya dihuni oleh laki-laki dewasa, kaum perempuan juga mempunyai honai hanya saja dalam pengistilahannya berbeda. Untuk kaum wanita, hanoi disebut “Ebeai”. Seperti halnya honai, Ebeai terdiri dari dua kata, yakni “Ebe” atau tubuh dalam pengertian kehadiran tubuh dan “Ai” yang berarti rumah. Walaupun rumah adat antara Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua Timur sama-sama disebut Honai, namun ada juga suku Arfak di Papua Barat yang mendirikan Mod Aki Aksa, artinya rumah kaki seribu. Rumah yang terdiri dari satu lantai kayu dengan atap yang dibuat dari daun-daun sagu atau jerami ini memiliki ciri khas yaitu memiliki desain berbentuk kerucut serta memiliki atap yang terbuat dari jerami dan memiliki pintu yang kecil serta lantainya disangga oleh tiang pilar penyangga. Rumah ini dibuat tertutup dengan model tanpa dan hanya memiliki dua buah pintu yaitu depan dan belakang. Disebut rumah kaki seribu karena memiliki tiang penyangga di bagian bawah rumah yang banyak.
Rumah Adat Papua Rumah Kaki Seribu
Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Honai sengaja dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela yang bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua. Honai biasanya dibangun setinggi 2,5 meter dan pada bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu : 1. untuk kaum laki-laki (disebut Honai) 2. wanita (disebut Ebei), 3. dan kandang babi (disebut Wamai). Bagi suku Dani dan beberapa suku yang mendiami wilayah pegunungan tengah Papua, Honai dikenal sudah sejak lama di Kabupaten Jayawijaya. Artinya, honai memang didesain khusus sebagai rumah yang melindungi dari hawa dingin. Sampai saat ini, honai secara turun-temurun masih dibangun sesuai dengan tradisi dan kondisi setempat. Dalam merumuskan perang dan pesta adat, masyarakat papua biasa melakukannya di honai laki-laki dewasa, tepatnya di ruang bawah. Diskusi, berdemokrasi,berdialog dan berdebat mengenai kehidupan ekonomi, keamanan daerah, membagi pengalaman dan memikirkan tentang kesinambungan hidup biasanya juga didialogkan. Honai bagain bawah digunakan pula untuk tempat penyimpan harta. Bagi suku Dani, bagian bawah honai kerap digunakan untuk menyimpan mumi. Adapun kamar tidur terdapat di bagian atas honai dan ebeai. Menariknya, honai dan ebeai juga merupakan tempat pendidikan khusus. Honai laki-laki dewasa khusus untuk laki-laki dewasa dan yang beranjak dewasa. Di sana mereka laki-laki yang beranjak dewasa diajarkan mengenai banyak hal untuk mempersiapkan hidupnya ketika menginjak usia dewasa. Honai laki-laki dewasa tidak boleh ditinggali oleh perempuan. Bagi ebeai atau honai bagi kaum perempuan, honai berfungsi untuk melakukan proses pendidikan bagi kaum perempuan yang beranjak dewasa. Di sana tinggal anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki, serta para kaum ibu. Di dalam honai atau ebeai tersebut para ibu mengajarkan hal-hal yang akan dihadapi anak-anak perempuan setelah tiba saatnya untuk menikah atau kawin. Bagi anak laki-laki, tinggalnya mereka di honai wanita hanya bersifat sementara. Ketika mereka beranjak dewasa mereka akan pindah ke honai laki-laki dewasa.
Atap Rumah Adat Papua Honai berbentuk bulat. Atap honai berbentuk kerucut atau kubah (dome). Material yang digunakan untuk membangun atap, yaitu menggunakan alang-alang atau jerami. Ukuran honai biasanya 5 meter sampai 7 meter. Honai yang dihuni oleh kaum wanita biasanya lebih pendek. Rotan, tali hutan (akar), alang-alang, belahan kayu atau papan, dan kayu untuk tiang.
Fungsi Rumah Honai - Rumah Adat Papua 1. Tempat penyimpanan Rumah Honai selain sebagai tempat tinggal juga digunakan untuk tempat menyimpan peralatan berburu dan juga perang. Selain itu, rumah adat asal Papua ini juga dijadikan tempat menyimpan beberapa barang yang merupakan simbol berharga secara suku dan adat. Itulah kenapa rumah ini sangat berharga bagi Suku Dani. Bahkan semua peralatan pun masih tersimpan dengan baik. 2. Tempat pengglembengan Anak laki-laki memiliki peran penting dalam Suku Dani. Itulah kenapa rumah adat Honai digunakan sebagai tempat penggemblengan anak laki-laki hingga mereka bisa menjadi laki-laki dewasa yang bisa melindungi dan memimpin suku. Pembelajaran tentang berperang dan berburu pun juga penting, agar kelompok sukunya bisa senantiasa bertahan hidup dan sejahtera. 3. Tempat penyusunan strategi Tak pelak lagi jika beberapa suku yang tidak sependapat atau memiliki aturan masingmasing bisa saling bertikai dan berperang. Rumah adat Papua ini adalah tempat terbaik bagi suatu suku untuk menyusun strategi perang yang efektif. Penyusunannya lebih melibatkan kaum laki-laki yang tentunya sudah siap secara fisik dan mental untuk berperang dalam keadaan siap ataupun terdesak. Kita sudah mengenali beberapa fungsi Rumah Honai sebagi sebuah tempat dengan berbagai macam manfaat bagi Suku Dani. Di bawah ini kita akan berdiskusi lebih lanjut tentang filosofi yang dianut oleh Suku Dani, terutama berkaitan dengan bentuk rumah adatnya. Mari kita simak.
Filosofi Rumah Rumah Honai - Rumah Adat Papua 1. Pemersatu kelompok Rumah Honai dengan bentuknya yang bulat dan melingkar adalah sebuah bentuk yang menjadikan Suku Dani dapat bersatu satu sama lain. 2. Lambang kesatuan Selain rasa persatuan, Rumah Honai juga menjadi dasar untuk Suku Dani agar senantiasa sehati, setujuan, dan juga satu pemikiran dalam pekerjaan sehari-hari. 3. Status harga diri Martabat dan harga diri juga merupaka suatu hal yang penting dalam Suku Dani. Dan Rumah Honailah yang menampilkan dan memperlihatkan seperti apa martanbat kaum mereka.
Contoh Gambar Desain Rumah Adat Papua, Rumah Honai
Nama-Nama Suku Bangsa di Provinsi Papua 1. Kota Jayapura: Kayu Batu/Kayu Pulau, Tobati/Enggros, Nafri, Skouw, dan Sentani. 2. Kabupaten Jayapura: Demta, Gresi, Foya, Yansu, Kapori, Kaureh, Kemtuk, Kawamsu, Mekwei, Narau, Sentani, Nimboran, Oria, Ormu, Bauwi, Sauso, Tabia, Tarpia, Taworta, Tofamna, Yamna, dan Kendate. 3. Kabupaten Keerom: Awyi, Abra, Dera, Dubu, Emumu, Janggu, Manem, Molof, Sangke, Senggi, Taikat, Sowei, Usku, Waina, Waris, dan Yafi. 4. Kabupaten Sarmi: Akwaikai, Airoran, Anus, Baburiwa, Bagusa, Bapu, Baso, Bausi, Berik, Betaf, Bonerif, Bonggo, Babe, Dabra, Foau, Lairawa, Itik, Kabera, Kapitiauw, Kauweraweo, Keder, Kwerba, Kwesten, Liki, Mander, Maremgi, Masimasi, Massep, Mawesi, Nopuk, Papasena, Podena, Samarokena, Sobei, Tauraf, Wakde, Marembori, Wares, Warotai, dan Yarsun. 5. Kabupaten Biak Numfor: Biak 6. Kabupaten Kepulauan Yapen: Ambai, Ansus, Busami, Karema, Kurudu, Marau, Munggui, Nisa, Papuma, Pom, Ami, Wei, Anate, dan Nakabui. 7. Kabupaten Waropen: Borapasi, Bonefa, Kofei, Sauri, Siromi, Tafaro, Waropen, Wairata, Burate, Sedasi, Otodema, Demisa, dan Demba. 8. Kabupaten Mimika: Komoro, Sempan, dan Damal. 9. Kabupaten Jayawijaya: Nduga, Walak, dan Hugula. 10. Kabupaten Yakuhimo: Hmanggona, Hupla, Inlom, Korupun, Sela, Kosare, Momuna, Nipsan, Ngalik, dan Lani Lembah. 11. Kabupaten Tolikara: Eiponek, Taori, Kwerisa, Toarikei, dan Turui. 12. Kabupaten Pegunungan Bintang: Yali, Ngalum, Biksi, Ketangban, Tyu, Sukubatong, dan Una. 13. Kabupaten Paniai: Mae, Dou, dan Wodam. 14. Kabupaten Puncak Jaya: Lani Barat, Dem, Duvle, Fayu, Kiri-Kiri, Mani, Tause, dan Wano. 15. Kabupaten Nabire: Iresim, Mor, Tunggare, dan Yaur. 16. Kabupaten Merauke: Bian Marind, Kanum, Kimaghama, Maklew, Marin, Mombum, Moraori, Yey, dan Sota. 17. Kabupaten Asmat: Asmat, Citak, Pisa, Sawi, Tamnim, Warkai, dan Biplim. 18. Kabupaten Mappi: Airo, Awyu, Kayagar, Siagha, Tamagario, Yaghay, Yaninu, dan Sumaghaghe. 19. Kabupaten Boven Digul: Aghul, Iwur, Katik, Kauwoi, Kombai, Korowai, Kotogut, Yanggon, Okparimen, Ninggerum, Wambon, Wanggom, dan Yair.
Pakaian Adat Papua
adatindonesia.com
Untuk nama pakaian adat Papua sendiri juga dibedakan menjadi dua pakaian yakni pakaian adat untuk pria dan juga pakaian adat untuk wanita. Di mana perbedaan yang ada sebetulnya tidak terlalu banyak Cuma ada pada bagian bawah pakaiannya saja. Pakaian adat tersebut juga memiliki ciri khas yang terdapat pada bagian kepala dengan adanya penutup. Bagian tersebut terbuat dari bahan dasar daun sagu yang telah di rajut dengan sangat rapih. Kemudian bagian atas dari penutup kepala terdapat bulu burung kasuari. Bagaimana unik kan? Selain itu juga ada tiga baju adat yang berbeda dari bahan dasarnya. Berikut ini merupakan beberapa pakaian adat Papua Barat.
Pakaian Sali
Pakaian Sali ini adalah pakaian khusus yang pakai untuk perempuan yang masih lajang atau pun belum menikah. Untuk pakaian tersebut mempunyai bahan dasar yang sangat menarik yaitu dari kulit pohon. Dengan warna yang dihasilkan dari kulit pohon tersebut akan menimbulkan warna coklat. Sehingga untuk perempuan yang telah mempunyai ikatan atau yang telah menikah tidak layak lagi untuk memakai pakaian adat tersebut. Biasanya untuk pakaian adat orang yang telah menikah juga tersedia.
Pakaian holim
qlapa.com
Pakaian holim tersebut dipakai untuk para lelaki. Pakaian tersebut berasal dari suku Dani di Papua. Pakaian adat holim tersebut juga memiliki nama lain yaitu koteka. Seperti yang telah diketahui bahwa koteka tersebut sudah sangat terkenal namanya di masyarakat Indonesia sebagai pakaian adat dari Papua serta sebagai penutup kemaluan. Pakaian holim tersebut bisa digunakan untuk kegiatan apa saja dalam kehidupan sehari-harinya. Koteka dipakai dengan cara diikat ke pinggang memakai seutas tali sehingga ujung koteka tersebut mengacung ke atas. Untuk koteka yang dipakai saat acara adat, koteka yang dipakai biasanya berukuran panjang dan dilengkapi dengan ukiran etnik. Sedangkan untuk yang dipakai saat bekerja dan juga aktivitas sehari-hari adalah koteka yang ukurannya lebih pendek. Suku Papua mempunyai bentuk koteka yang berbeda-beda. Misalnya saja, ada suku tion yang memakai dua buah labu air sekaligus sebagai koteka atau pada suku lain yang memakai hanya satu labu air saja. Cara membuat koteka tersebut yaitu dengan bahan buah labu air tua yang dikeringkan dan kemudian bagian dalamnya atau biji serta daging buah akan dibuang. Labu air yang dipilih yaitu labu air tua sebab cenderung lebih keras dan juga akan lebih awet jika dibandingkan dengan labu air muda. Setelah itu dilakukan proses pengeringan. Pengeringan tersebut dilakukan supaya koteka tidak cepat membusuk.
Pakaian yokal
adatindonesia.com
Pakaian adat Papua berikutnya yaitu pakaian yokal, di mana pakaian tersebut hanya ada di daerah Papua barat dan sekitarnya. Pakaian tersebut juga hanya boleh dipakai oleh perempuan yang telah memiliki keluarga atau yang telah menikah. Pakaian tersebut juga hanya dapat dijumpai di pedalaman Papua. Untuk warna dari pakaian tersebut adalah warna coklat yang sedikit kemerahan. Pakaian tersebut tidak untuk dijual atau pun di beli sebab pakaian tersebut merupakan suatu simbolis masyarakat Papua yang menggambarkan kedekatan nya dengan alam semesta.
Pakaian Ewer
bajutradisionals.com
Selain dari ketiga pakaian di atas masih ada beberapa aksesoris yang dipakai seperti rok rumbai yang terbuat dari susunan daun sagu yang kering yang dipakai untuk menutupi tubuh bagian bawah. Rok rumbai tersebut tidak hanya dipakai oleh para wanita saja tetapi juga dipakai oleh pria. Biasanya jika memakai rok rumbai tersebut maka dilengkapi juga dengan hiasan lainnya seperti hiasan kepala dari bahan ijuk, bulu burung kasuari, atau juga anyaman daun sagu. Selain itu juga ada perlengkapan yang lain seperti manik-manik dari kerang, taring babi yang di letakkan di antara lubang hidung, gigi anjing yang dikalungkan di leher, tas noken yang terbuat dari anyaman kulit kayu sebagai wadah umbi-umbian atau sayuran yang dipakai di kepala. Kemudian tidak lupa juga alat tradisional yang di pakai seperti tombak Papua, panah, dan juga sumpit.
Tari Tradisional 1. Tari Musyoh
Tari Musyoh adalah tari tradisional Papua yang merupakan tarian sakral suku adat yang ada di Papua yang bertujuan untuk menenangkan arwah suku adat papua yang meninggal karena kecelakaan. Suku adat Papua tersebut mempercayai bahwa apabila ada yang meninggal karena kecelakaan, maka arwahnya tidak tenang, sehingga dilakukanlah tarian skral ini (Tari Musyoh) untuk menenangkan arwah orang yang kecelakaan tersebut. Tari tradisional Musyoh ini diiringi oleh alat musik tradisional Papua yaitu Tifa. Alat musik Tifa ini juga digunakan pada beberapa tarian dari Suku Adat Papua lainnya.
2. Tari Sajojo
Tari Sajojo adalah merupakan tarian pergaulan berbagai suku adat di Papua. Tarian ini sudah cukup terkenal sebagai tarian penyambut tamu yang sering dipertunjukan dalam acara penyambutan tamu maupun acara lainnya. Para penari sajojo menari dengan cara melompat dan menghentak-hentakkan kakinya. Berbagai alat musik tradisional Papua seperti tifa juga dipergunakan untuk mengiringi tari sajojo ini. Tari Sajojo ini mulai terkenal sekitar tahun 1990an. Bahkan sejak saat itu, tarian ini banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Tarian yang dinamis ini memang bisa dilakukan oleh semua orang. Dalam perkembangannya musik pengiring tari sajojo ini makin berkembang bahkan diantaranya sudah menggunakan musik modern yang banyak dikenal masyarakat. Tarian ini kerap diiringi lagu daerah Papua, Sajojo. Lagu Sajojo ini menceritakan tentang gadis cantik papua yang menjadi idola di kampungnya.
3. Tari Yospan
Tari Yospan merupakan tarian pergaulan muda-mudi di Papua. Tarian ini muncul sekitar tahun 1960 dan bahkan pernah populer dan dipergunakan sebagai gerak pada senam kesehatan jasmani. Kata Yospan sendiri merupakan akronim dari Yosim Pancar yang merupakan nama tarian tersendiri. Tari yospan ini memang merupakan penggabungan dari 2 tarian tradisional suku Papua. Yosim merupakan tarian dari daerah Teluk Sairei, sedangkan tari Pancar berasal dari daerah Biak, Numfor dan Manokwari. Tarian Yospan ini biasanya dilakukan oleh 2 Grup terdiri dari grup penari dan musisi. Alat musik pengiring tarian yospan antara lain tifa, gitar, ukulele dan bas bersenar 3. Tidak ada patokan khusus pada Pakaian yang dikenakan penari dan musisi dalam tarian yospan. Setiap grup Yospan memiliki pakaian tersendiri namun masih mencirikan pakaian Papua. Senjata Tradisional
Papua memiliki senjata tradisional yang digunakan untuk melawan musuh. Seperti pisau belati papua yang terbuat dari tulang kaki burung kasuari dan bulu burung tersebut yang menghiasi pinggiran belati tersebut. Namun ada senjata lain yang biasanya di gunakan yaitu busur dan panah serta lembing yang digunakan untuk berburu
Upacara Adat Daerah Papua Seperti halnya di provinsi daerah lain, dalam tradisi masyarakat Papua juga berkembang berbagai upacara tradisional (adat). Setiap suku bangsa memiliki jenis upacara yang berbeda sesuai dengan keyakinan suku bangsa tersebut. Upacara-upacara adat Provinsi Papua dikategorikan menjadi dua, yakni upacara adat yang berhubungan dengan daur hidup dan upacara adat lainnya. Upacara adat daur hidup meliputi masa kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Berikut ini contoh upacara daur hidup yang terdapat dalam budaya masyarakat suku bangsa Asmat.
UPACARA KEHAMILAN DAN KELAHIRAN Selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung atau ibu. Ketika bayi lahir disambut dengan upacara selamatan secara sederhana. Pada prosesi itu dilaksanakan upacara pemotongan tali pusar menggunakan sembilu. Bayi disusui oleh ibu selama 2-3 tahun.
UPACARA PERNIKAHAN Proses ini berlaku bagi seorang anak laki-laki dan perempuan yang berumur 17 tahun. Pernikahan dilakukan oleh pihak laki-laki setelah terjadi kesepakatan dengan pihak perempuan. Biasanya didahului dengan upacara uji keberanian yaitu membeli mempelai perempuan dengan mas kawin piring antik. Nilai mas kawinnya ini berdasarkan nilai uang kesepakatan perahu Johnson (merek motor penggerak perahu suku bangsa Asmat).
UPACARA KEMATIAN Apabila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini. Sebaliknya, apabila yang meninggal warga biasa jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang ditinggalkan. Orang Asmat juga melakukan upacara selamatan yang disebut emaketsjem. Tradisi potong jari juga dikenal dalam tradisi suku-suku bangsa yang menghuni Lembah Baliem.
Sedikit berbeda dengan tradisi suku bangsa Marind di Kabupaten Merauke, dalam rangkaian upacara kematiannya ada upacara tanam sasi (sejenis kayu). Sasi ditanam 40 hari setelah hari kematian dan dicabut kembali setelah 1.000 hari. Sementara itu, pada tradisi suku-suku bangsa di Lembah Baliem diikuti dengan upacara bakar batu. Namun begitu, upacara bakar batu tidak hanya dilakukan ketika ada kematian.
Upacara bakar batu bagi suku bangsa penghuni Lembah Baliem bermakna luas dan sangat mendalam. Hampir semua upacara adat di Lembah Baliem melaksanakan tradisi bakar batu. Mulai dari upacara kelahiran, pernikahan, kematian, menyambut prajurit pulang dari perang, upacara perdamaian antar suku, sampai dengan menyambut tamu. Bahkan, pada masa sekarang, upacara peresmian pun diikuti dengan tradisi bakar batu. Upacara bakar batu menjadi tradisi semua suku bangsa di Provinsi Papua.
Sasuai namanya, upacara bakar batu menggunakan batu panas membara sebagai unsur utamanya. Batu panas dipersiapkan dengan membakar batu-batuan menggunakan kayu kering. Perlengkapan lainnya berupa daging babi, ubi, talas, buah merah, dan berbagai macam sayuran. Setelah batu panas membara, diambil dan dikumpulkan pada tanah yang sudah dilubangi. Di atasnya disusun berbagai perlengkapan itu secara berlapis, mulai dari daging babi, ubi, talas, dan buah merah. Sebagai pelapisnya digunakan berbagai macam sayuran. Terakhir pada bagian atas dilapisi sayuran dan dedaunan sebagai penutup. Sekitar dua jam kemudian masakan telah matang dan dibongkar. Daging babi, ubi, talas, buah merah, dan sayuran dibagikan kepada seluruh warga masyarakat yang hadir di lokasi upacara.
Upacara adat lainnya biasanya berhubungan dengan kegiatan sehari-hari dan berhubungan dengan lingkungan alam. Sebagai gambaran, orang Asmat akan membuat patung setiap kali ada keluarganya yang meninggal. Upacara ini disebut bis dan dipimpin oleh seorang dewen (dukun). Begitu pula ketika akan mendirikan bangunan, orang Asmat menyelenggarakan upacara joai. Upacara yang lebih meriah dan sakral adalah saat upacara penobatan kepala perang yang dinamakan mambri babo. Upacara ini didahului dengan berbagai pertandingan keterampilan berperang seperti memanah dan menombak. Dari sinilah dipilih seorang yang mahir berperang.
Lagu Daerah Papua 1. Sajojo Sajojo, sajojo Yumanampo misa papa Samuna muna muna keke Samuna muna muna keke Sajojo, sajojo Yumanampo misa papa Samuna muna muna keke Samuna muna muna keke Kuserai, kusaserai rai rai rai rai Kuserai, kusaserai rai rai rai rai Inamgo mikim ye pia sore, piasa sore ye ye Inamgo mikim ye pia sore, piasa sore ye ye
2. Yamko Rambe Yamko Hee yamko rambe yamko aronawa kombe Hee yamko rambe yamko aronawa kombe Teemi nokibe kubano ko bombe ko Yuma no bungo awe ade Teemi nokibe kubano ko bombe ko Yuma no bungo awe ade Hongke hongke hongke riro Hongke jombe jombe riro Hongke hongke hongke riro Hongke jombe jombe riro
3. Apuse Apuse kokon dao Yarabe soren doreri Wuf lenso bani nema baki pase Apuse kokon dao Yarabe soren doreri Wuf lenso bani nema baki pase Arafabye aswarakwar Arafabye aswarakwar
BAHASA DAERAH PAPUA
Rumpun Bahasa Papua Kelompok-kelompok bahasa di Nusantara yang tidak termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia adalah rumpun bahasa Papua yang terdapat di Pulau Irian (Papua), bahasa di Halmahera Utara, bahasa di Pulau Ternate, dan bahasa di Pulau Tidore. Bahasa-bahasa Papua tersebut tidak mempunyai hubungan linguistik dengan bahasa-bahasa di luar Papua dan Papua Nugini kecuali dengan bahasa di Pulau Timor, Alor, dan Pantar. Jenis-jenis bahasa Papua menurut Stephen Wurm terbagi dalam 10 golongan besar bahasa (filum), antara lain 1. Filum Papua Barat 2. Filum Kepala Burung Timur 3. Filum Teluk Geelvink 4. Filum SKO 5. Filum Kwomtari 6. Filum Sepik Ramu 7. Filum Trans Nugini 8. Filum Papua Timur 9. Filum Papua Timur Pinggiran 10. Filum Trans Nugini Pinggiran Menurut penelitian Raymond Gordon, jumlah bahasa di Provinsi Papua adalah 271 buah. Jumlah pemakai bahasa terbesar adalah bahasa Biak Numfor yang dipakai oleh suku terbesar di Papua, yaitu suku Biak Numfor dan jumlah pemakai bahasa terkecil adalah bahasa Woria yang hanya dipakai oleh 5 orang anggota suku Woria. Pada saat ini Papua tidak memiliki bahasa lokal yang dapat dipahami oleh 312 suku sehingga muncul gagasan menjadikan bahasa Biak Numfor sebagai bahasa lokal Papua. Hal ini disebabkan suku Biak Numfor adalah suku yang terbesar di Papua dengan jumlah penduduk mencapai 280.000 orang. Selain itu, jangkauan pemakai bahasa Biak Numfor sudah meluas di sebagian besar wilayah Papua. Upaya mengangkat bahasa Biak Numfor sebagai bahasa lokal di Papua tersebut merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya Papua.