MAKALAH GERAKAN ISLAMISASI DI NUSANTARA Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Islam & Kemuhammadiyahan III
DISUSUN OLEH :
Ainur Rosyidin Alvin Farhan Nugraha Rahmat H. Abubakar
201610120311034 201610340311004 201610340311095
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG TAHUN 2018
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Sejarah Islam di Asia Tenggara, khususnya pada masa awal, luar biasa “rumit”. dan kerumitan itu bukan hanya disebabkan oleh kompleksitas di sekitar slam itu sendiri sebagaimana direfleksikan oleh kaum muslimin di kawasan ini, baik melalui historiografi maupun dalam praktek kehidupan sehari-hari, melainkan juga karena pengkajian-pengkajian sejarah Islam dengan berbagai aspeknya di Asia Tenggara ─baik yang dilakukan kalangan sejarawan asing maupun pribumi─ hingga kini belum mampu merumuskan suatu paradigma historis yang dapat dijadikan pegangan bersama. Terdapat perbedaan-perbedaan dasar di kalangan para ahli dalam mengkaji Islam di Asia Tenggara, yang kadang-kadang sulit dipertemukan satu sama lain (Azyumardi Azra, 1999: 27). Perbedaan-perbedaan yang ada mengenai sejarah Islamisasi di nusantara ini memiliki banyak permasalahan yang rumit di antaranya adalah ketersediaan data yang sangat terbatas tentang kedatangan Islam, sebagaimana yang disampaikan Snouck Hurgronje dalam orasi ilmiahnya di Leiden dalam tahun 1907 M (Drewes, 1968: 434; Berg, 1955: 112; Munandar dkk: 65). Selain itu perbedaan-perbedaan mengenai awal sejarah Islam itu sendiri karena banyak ketidaksepakatan di antara para sarjana dan peneliti mengenai makna “Islam” yang sesungguhnya, maka sebagai konsekuensinya juga tidak ada kesepakatan tentang penetrasinya ke Nusantara (Azra: 17) Islamisasi merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Islam di Indonesia yaitu sejarah tentang berdirinya kekuasaan sosio politik Islam di bumi Nusantara.
B. RUMUSAN MASALAH 1.
Apa saja teori-teori Islamisasi di Nusantara?
2.
Apa saja saluran yang menjadi media penyebaran Islam di Nusantara?
3.
Bagaimana tahapan-tahapan penyebaran Islam di Nusantara?
4.
Bagaimana corak Islam di Nusantara serta apa pengaruhnya?
BAB II PEMBAHASAN
A. TEORI ISLAMISASI DI NUSANTARA Kepastian kapan dan dari mana Islam masuk di Nusantara memang tidak ada kejelasan. Setidaknya ada empat teori yang mencoba menjelaskan tentang itu. Yaitu: Teori Gujarat, Teori Makkah, Teori Persia, dan Teori Cina. Munculnya tiga teori yang berbeda ini, disinyalir oleh Ahmad Mansur Suryanegara, akibat dari kurangnya informasi yang bersumber dari fakta peninggalan agama Islam di Nusantara. Inskripsi tertua tentang Islam tidak menjelaskan tentang kapan masuknya Islam di Nusantara. Pada inskripsi tertua itu hanya membicarakan tentang adanya kekuasaan politik Islam, Samudera Pasai pada abad ke-13 Masehi. Selain itu karena sulitnya memastikan kapan masuknya Islam di Nusantara dihadapkan pada luasnya wilayah kepulauan Nusantara (Suryanegara, 1995:73). Ketiga teori tersebut berbeda pendapat mengenai: waktu masuknya Islam, asal negara yang menjadi perantara atau sumber tempat pengambilan ajaran agama Islam, dan pelaku penyebar atau pembawa Islam ke Nusantara.
1.
Teori Gujarat. Teori yang mengatakan bahwa Islam di nusantara datang dari India pertama kali
dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo, dan Ibnu Batutah, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermadzhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Dia mendukung teorinya ini dengan menyatakan bahwa, melalui perdagangan, amat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah ini, ditambah lagi dengan umumnya istilah-istilah Persia yang dibawa dari India, digunakan oleh masyarakat kota-kota pelabuhan Nusantara. Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Snouk Hurgronje, seorang orientalis terkemuka Belanda yang melihat para pedagang kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah nusantara. Teori Snock Hurgronje ini lebih lanjut dikembangkan oleh Morrison pada 1951. Dengan menunjuk tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari sanalah Islam datang ke nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang muslim dalam pelayaran mereka menuju nusantara.
Makam Sultan Malik As-Saleh Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912) yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut di impor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syaf’i yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.
2.
Teori Makkah Teori lama, teori Gujarat, sejak 1958 mendapatkan koreksi dan kritik dari Hamka
yang melahirkan teori baru yakni Teori Makkah. Koreksinya ini disampaikan dalam pidatonya pada Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta, pada 1958. Sejak dari pidatonya di atas, kemudian dikuatkan dalam sanggahannya dalam seminar Sejarah Masuknya agma Islam Ke Indonesia, di Medan, 17-20 Maret 1963, Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan pandangannya pada peranan bangsa arab sebagai pembawa agama islam ke Indonesia. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, dan Makkah sebagai pusat,atau mesir sebagai tempat pengambilan ajaran islam.
Bahan argumentasi yang dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah sumber lokal Indonesia dan sumber Arab. Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nila-nilai ekonomi, melainkan di dorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh masehi. Selain itu, Hamka menolak pendapat yang menyatakan bahwa agama islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13, karena di Nusantara abad ke-13 telah berdiri kekuasaan politik islam. Jadi masuknya agama islam ke Nusantara terjadi jauh sebelumnya yakni pada abad ke-7. Dalam hal ini, teori HAMKA merupakan sanggahan terhadap Teori Gujarat yang banyak kelemahan. Ia malah curiga terhadap prasangka-prasangka penulis orientalis Barat yang cenderung memojokkan Islam di Indonesia. Penulis Barat, kata HAMKA, melakukan upaya yang sangat sistematik untuk menghilangkan keyakinan negeri-negeri Melayu tentang hubungan rohani yang mesra antara mereka dengan tanah Arab sebagai sumber utama Islam di Indonesia dalam menimba ilmu agama. Dalam pandangan HAMKA, orang-orang Islam di Indonesia mendapatkan Islam dari orang-orang pertama (orang Arab), bukan dari hanya sekadar perdagangan. Pandangan HAMKA ini hampir sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh A.H. Johns yang mengatakan bahwa para musafirlah (kaum pengembara) yang telah melakukan islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendirikan kumpulan atau perguruan tarekat. Menurut Arnold, bahwa untuk menetapkan masuknya agama Islam ke Indonesia dengan tepat tidaklah mungkin. Ada kemungkinan dibawa ke Indonesia oleh pedagangpedagang Arab pada permulaan abad tahun hijriah, lama sebelum ada tulisan-tulisan sejarah tentang perkembangan Islam itu. Pendapat yang demikian itu berdasarkan pengertian kita tentang ramainya perdagangan dengan dunia Timur yang sejak dahulu dilakukan oleh orang Arab. Pada abad ke 2 sebelum masehi perdagangan dengan Ceylon seluruhnya ada di tangan mereka. Pada permulaan abad ke 7, perdagangan dengan Tiongkok melalui Ceylon sangat ramai sehingga pada pertengahan abad ke 8 banyak kita jumpai pedagang Arab di Canton, sedang antara abad 10 dan 15 sampai datangnya orang Portugis, mereka telah menguasai perdagangan di Timur. Diperkirakan bahwa mereka sejak lama telah mendirikan tempattempat perdagangan pada beberapa kepulauan di Indonesia, sebagaimana halnya pada tempat-tempat lainnya, meskipun tentang kepulauan itu tidak disebut-sebut oleh ahli ilmu bumi Arab sebelum abad ke 9, menurut berita Tiongkok tahun 674 masehi ada kabar tentang
seorang pembesar Arab yang menjadi kepala daerah pendudukan bangsa Arab di pantai Barat Sumatera. Sebagian besar dari pedagang Arab yang berlayar ke kawasan Indonesia datang dari Yaman, Hadramaut dan Oman di bagian Selatan dan Tenggara semenanjung tanah Arab. Kawasan Yaman telah memeluk Islam semenjak tahun 630-631 hijriyah tepatnya pada zaman Ali bin Abi Thalib. Pengislaman Yaman ini mempunyai implikasi yang besar terhadap proses Islamisasi Asia Tenggara karena pelaut dan pedagang Yaman menyebarkan agama Islam di sekitar pelabuhan tempat mereka singgah di Asia Tenggara. Sedangkan Sayed Alwi bin Tahir al-Haddad, mufti kerajaan Johor Malaysia berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dalam abad ke 7 masehi atau dengan kata lain agama Islam masuk ke pulau Sumatera pada tahun 650 masehi. Alasannya adalah karena Sulaiman as-Sirafi, pedagang dari pelabuhan Siraf di teluk Persia yang pernah mengunjungi Timur jauh berkata bahwa di Sala (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu yaitu kira-kira pada akhir abad ke 2 hijriyah. Hal ini dapat dipastikan dan tidak perlu dijelaskan lagi karena pedagang rempah dan wangi-wangian yang terdapat di Maluku sangat menarik pedagang-pedagang muslimin untuk berkunjung ke Maluku dan tempattempat yang berdekatan dengan kepulauan itu. Teori masuknya Islam di Indonesia ini didukung beberapa 3 bukti utama. Pertama, pada abad ke 7 Masehi, di Pantai Timur Sumatera memang telah terdapat perkampungan Islam khas dinasti Ummayyah, Arab. Lalu, madzhab yang populer kala itu khususnya di Samudera Passai adalah madzhab Syafii yang juga populer di Arab dan Mesir. Dan yang ketiga, adanya penggunaan gelar Al Malik pada raja-raja Samudera Pasai yang hanya lazim ditemui pada budaya Islam di Mesir. Hingga kini, teori Arab dianggap sebagai teori yang paling kuat. Kelemahannya hanya terletak pada kurangnya fakta dan bukti pendukung yang menjelaskan peran Bangsa Arab dalam proses penyebaran Islam di Indonesia
3.
Teori Persia. Teori keempat tentang kedatangan Islam di nusantara adalah teori Persia. Pembangun
teori ini di Indonesia adalah Hoesein Djayadiningrat. Fokus pandangan teori ini tentang masukkanya agama Islam ke nusantara berbeda dengan teori India dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Madzhab Syafii-nya. Teori Persia lebih
menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.
Prosesi Acara Tabuik Kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain : Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syiah atas kematian syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husain. Di Sumatera Tengah sebelah Barat, disebut bulat Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husain untuk dilemparkan ke sungai atau ke dalam perairan lainnya. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa Arab. Kedua, adanya kesamaan ajaran antara ajaran syaikh Siti Jenar dengan ajaran sufi al-Hallaj, sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310 H/922 M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya. Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian al-quran tingkat awal. Dalam bahasa Persi Fathah ditulis jabar-zabar, kasrah ditulis jer-zeer, dhammah ditulis p’es-py’es. Huruf sin yang tidak bergigi berasal dari Persia, sedangkan sin bergigi berasal dari Arab. Keempat, nisan pada makam Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat. Tetapi sangat berbeda jauh dengan pandangan CE Morisson. Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap madzhab Syafi’i sebagai madzhab yang paling utama di daerah Malabar. Dalam masalah madzhab Syafi’i, Hoesein Djayadiningrat mempunyai kesamaan dengan GE Morrison, tetapi berbeda dengan teori Makkah yang dikemukakan oleh Hamka.
Hoesein Djayadiningrat di satu pihak melihat salah satu budaya Islam Indonesia kemudian dikaitkan dengan kebudayaan Persia, tetapi dalam memandang madzhab Syafii terhenti ke Malabar, tidak berlanjut dihubungkan dengan pusat madzhab Syafii di Makkah.
4.
Teori Cina Teori Cina mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di
Jawa) berasal dari para perantau Cina. Orang Cina telah berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha, etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia—terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7 M, masa di mana agama ini baru berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut kronik masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam. Salah satu pandangan ini juga dibahas oleh SQ Fatimi. Beliau mendasarkan teorinya ini kepada perpindahan orang-orang Islam dari Canton ke Asia tenggara sekitar tahun 876. Perpindahan ini dikarenakan adanya pemberontakan yang mengorbankan hingga 150.000 muslim. Menurut Syed Naquib Alatas, tumpuan mereka adalah ke Kedah dan Palembang. Hijrahnya mereka ke Asia Tenggara telah membantu perkembangan Islam di kawasan ini. Selain Palembang dan Kedah, sebagian mereka juga menetap di Campa, Brunei, pesisir timur tanah melayu (Patani, Kelantan, Terengganu dan Pahang) serta Jawa Timur. Bukti-bukti yang menunjukan bahwa penyebaran Islam dimulai dari Cina adalah ditemukannya : batu nisan syekh Abdul Kadir bin Husin syah Alam di Langgar, Kedah bertarikh 903 M, batu bertulis Phan-rang di Kamboja bertahun 1025 M, batu nisan di pecan Pahang bertahun 1028 M, batu nisan puteri Islam Brunei bertahun 1048 M, batu bersurat Trengganu bertahun 1303 M dan batu nisan Fathimah binti Maimun di Jawa Timur bertarik 1082 M Teori Cina ini bila dilihat dari beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun lokal (babad dan hikayat), dapat diterima. Bahkan menurut sejumlah sumber lokat tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal dari Campa, Cina bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Berdasarkan Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak beserta leluhurnya ditulis dengan menggunakan istilah Cina, seperti “Cek Ko
Po”, “Jin Bun”, “Cek Ban Cun”, “Cun Ceh”, serta “Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel” ditafsirkan merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara Cina yang berbatasan dengan Rusia. Bukti-bukti lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Tiongkok yang didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa. Pelabuhan penting sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang Cina. Walaupun dari analisa perbandingan di atas keempat teori tersebut lebih menampakkan tajamnya perbedaan dari pada persamaan, namun ada titik temu yang bisa disimpulkan yakni, bahwa pertama, Islam masuk dan berkembang di Nusantara melalui jalan damai (infiltrasi kultural), dan kedua, Islam tidak mengenal adanya missi sebagaimana yang dijalankan oleh kalangan Kristen dan Katolik.
B. SALURAN – SALURAN MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang berkembang ada enam, yaitu: 1. Saluran Perdagangan Pada taraf permulaan, saluran islamisasi adalah perdagangan. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M. membuat pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan Timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan
saluran
Islamisasi
melalui
perdagangan
ini
di
pesisir
Pulau
Jawa,
Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang Muslim banyak yang bermukim di pesisir pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya. Di beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa, yang menjabat sebagai bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan hanya karena factor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi terutama karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang Muslim.
2. Saluran Perkawinan Dari sudut ekonomi, para pedagnang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik dari pada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri para saudagar itu. Sebelum melaksanakan perkawinan, mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya, timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan Muslim. Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita Muslim yang dikawani oleh keturunan bangsawan. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati, karena hal tersebut turut mempercepat proses Islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Nyai Kawunganten, Brawijaya dengan putri Campa yang menurunkan Raden Patah (raja pertama Demak) dan lain-lain.
3. Saluran Tasawuf Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Di antara mereka ada juga yang mengawini putri-putri bangsawan setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persaman dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syeikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke19 bahkan di abad ke-20 M ini.
4. Saluran Pendidikan Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, dan ulama-ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama, dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampong masing-masing kemudian berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.
5. Saluran Kesenian Saluran Islamisasi melaui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.
6. Saluran Politik Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya masuk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat berpengaruh tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian Timur, demi kempentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara poltik banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.
C. TAHAP – TAHAP PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
Secara umum tahapan perkembangan Islam di Indonesia dari abad ke-13 sampai dengan awal abad ke-20 dapat dikelompokkan menjadi lima fese, yaitu : a. Tahap pertama, yaitu dimulai pada abad 13 M -15 M. Fase ini merupakan tahapan kepemelukan Islam secara formal. Fase ini yang ditekankan adalah pengenalan dasar-dasar kosmopolitanisasi Islam, ketentuan dasar-dasar syariat dan fiqih. b. Tahap kedua, yaitu dimulai pada abad 15 M - 16 M. Periode inimerupakan proses Islamisasi kepulauan Melayu dan berbagai pelosok Nusantara. Tradisi intelektualisme mulai terbentuk, seperti penulisan buku-buku agama dengan menggunakan bahasa Melayu. Dalam fase ini pengaru Tasyawuf sangat dominan. c. Tahap ketiga, yaitu dimulai pada abad 17 M - akhir abad 17 M. Adalah tahapan penyempurnaan pemahaman ajaran Islam dan berkembangnya tradisi intelektual. Pada masa ini kita menyaksikan berkembangnya penulisan sastra-sastra dan buku-buku keagamaan dengan menggunakan bahasa Melayu. Pokok-pokok yang dibahas meliputi : fiqih ibadah, muamalah, fiqih duali (ketatat Negaraan), syariah, ushuluddin, ilmu kalam, Tasyawuf, akhlaq, filsafat, tafsir Al-Qur'an, Al-Hadits, ensiklopedia, tata bahasa (nahwu shorof), dll.
d. Tahap keempat, yaitu mulai abad ke 18 M - 19 M. Periode ini terjadi penekanan (ortodoksi) terhadap syariah. Hal ini mendorong berkembangnya ajaran tarikat. Permurnian ajaran Islam sangat efektif sebagai sarana intergratif atau pemersatu bangsa. e. Tahap kelima, yaitu dimulai pada awal abad ke-20 M, fase ini dinamakan masa perkembangan (tajdidi). Pada periode ini gerakan keagamaan tumbuh menjadi gerakan kebangsaan.
Selain itu, tahapan ini juga berpengaruh pada tahapan perkembangan yang lain, seperti 1. Kehadiran para pedagang Muslim (7 - 12 M) Fase ini diyakini sebagai fase permulaan dari proses sosialisasi Islam di kawasan Asia Tenggara, yang dimulai dengan kontak sosial budaya antara pendatang Muslim dengan penduduk setempat. Pada fase pertama ini, tidak ditemukan data mengenai masuknya penduduk asli ke dalam Islam. Bukti yang cukup jelas mengenai hal ini baru diperoleh jauh kemudian, yakni pada permulaan abad ke-13 M / 7 H. Sangat mungkin dalam kurun abad ke 1 sampai 4 H terdapat hubungan perkawinan antara pedagang Muslim dengan penduduk setempat, hingga menjadikan mereka beralih menjadi Muslim. Tetapi ini baru pada tahap dugaan. Walaupun di Leran - Gresik, terdapat sebuah batu nisan bertuliskan Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H / 1082 M. Namun dari bentuknya, nisan itu menunjukkan pola gaya hias makam dari abad ke-16 M seperti yang ditemukan di Campa, yakni berisi tulisan yang berupa do'a-do'a kepada Allah. Sehingga ada yang berpendapat bahwa penulis nisan itu adalah seorang Syi'ah. Ini diketahui karena mereka adalah Muslim pendatang yang sebelumnya bermukim di Timur Jauh.
2. Terbentuknya kerajaan Islam (13-16M) Pada fase kedua ini, Islam semakin tersosialisasi dalam masyarakat Nusantara dengan mulai terbentuknya pusat kekuasaan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Bukti paling kuat yang menjelaskan tentang itu adalah ditemukannya makam Malik al-Shaleh yang terletak di kecamatan Samudera di Aceh Utara. Makam tersebut menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat pada bulan Ramadhan 696 H/ 1297 M. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, dua teks Melayu tertua, Malik al-Shaleh digambarkan sebagai penguasa pertama kerajaan Samudera Pasai.
Pada akhir abad ke-13 kerajaan Samudera Pasai merebut jalur perdagangan di Selat Malaka yang sebelumnya dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya. Hal ini terus berlanjut hingga pada permulaan abad ke-14 berdiri kerajaan Malaka di Semenanjung Malaysia Sultan Mansyur Syah (w. 1477 M) adalah sultan keenam Kerajaan Malaka yang membuat Islam sangat berkembang di Pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaka. Di bagian lain, di Jawa saat itu sudah memperlihatkan bukti kuatnya peranan kelompok Masyarakat Muslim, terutama di pesisir utara. Kehadiran makam-makam kuno di Troloyo dekat Trowulan, dengan angka tahun tertua yang tertulis adalah 1290 caka 1368-1369M telah menarik perhatian tentang kemungkinan adanya masyarakat Muslim di dekat pusat kerajaan Majapahit. Dan sejak akhir abad ke-15 pusat-pusat perdagangan di pesisir utara, yakni Gresik, Demak, Cirebon dan Banten telah menunjukkan kegiatan keagamaan oleh para wali di Jawa. Kegiatan itu mulai tampak sebagai kekuatan politik di pertengahan abad ke-16 ketika kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa berhasil merebut ibukota Majapahit. Sejak itu perkembangan Islam di Jawa telah dapat berperan secara politik, di mana para wali dengan bantuan kerajaan Demak, kemudian Pajang dan Mataram dapat meluaskan perkembangan Islam tidak saja ke seluruh daerah-daerah penting di Jawa, tetapi juga di luar Jawa, khususnya oleh para mubaligh (da'i) di Gresik dan Demak. Mereka bahkan berhasil meluaskan pengaruh Islam ke Banjarmasin, Hitu, Ternate dan Tidore serta Lombok.
3. Pelembagaan Islam Pada fase ini sosialisasi Islam semakin tak terbendung lagi masuk ke pusat-pusat kekuasaan, merembes terus sampai hampir ke seluruh wilayah Nusantara. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peranan para penyebar dan pengajar Islam. Mereka menduduki berbagai jabatan dalam struktur birokrasi kerajaan, dan banyak diantara mereka melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi. Dengan kata lain, Islam dikukuhkan di pusat-pusat kekuasaan di Nusantara melalui jalur perdagangan, perkawinan dengan elit birokrasi dan ekonomi, di samping dengan sosialisasi langsung pada masyarakat bawah. Pengaruh islamisasi yang pada awalnya hanya berpusat di Pasai telah jauh meluas ke Aceh di Pesisir Sumatera, semenanjung Malaka, Demak, Gresik, Banjarmasin, lombok, dsb. Ini terbukti dengan ditemukannya bentuk-bentuk makam di semenanjung Malaka, terutama batu nisannya, yang menyerupai bentuk-bentuk batu nisan di Aceh. Di komplek pemakaman Sultan Suriansyah (Raden Samudra) yang terletak di Kuwin, Banjarmasin, terdapat batu nisan yang mempunyai tipologi sama dengan bentuk nisan Demak dan Gresik. Begitu pula di
komplek pemakaman kuno Seloparang -menurut tradisi setempat diislamkan Sunan Prapen dari Giri- ditemukan sebuah batu nisan yang memiliki gaya Jawa Timur. Untuk daerah Sulawesi, walaupun beberapa tempat seperti Buton dan Selayar berdasarkan tradisi setempat telah menerima pengaruh Islam dari Ternate pada pertengahan abad ke-16, namun bukti yang lebih nyata menunjukkan bahwa hal itu terjadi ketika Raja Gowa pertama yang bernama I Mallingkaeng Daeng Njonri Karaeng Katangka masuk Islam pada hari Jum'at Jumadil Awal 1014 H/ 22 September 1605 M, yang disusul dua tahun kemudian rakyat Gowa dan Tallo diislamkan, seperti terbukti dengan dilakukannya shalat Jum'at bersama di Tallo pada 19 Rajab 1068 H/ Nopember 1607 M. Kejadian ini dapat dianggap sebagai titik penting dalam perkembangan Islam di Sulawesi. Penyebar agama Islam di daerah ini ialah seorang ulama asal Minangkabau, bernama Abdul Ma'mur Chatib Tunggal (lebih terkenal dengan Dato ri Bandang) dan dua temannya Chatib Sulaiman (bergelar Dato ri Pattimang) untuk daerah Luwu, dan Chatib Bungsu untuk daerah Tiro. Daerah Lombok dan Sumbawa mendapat pengaruh islamisasi dari dua arah. Pada tahap awal, sekitar abad ke-16 M, pengaruh itu berasal dari Jawa dengan tokoh penyebarnya Sunan Prapen, dan selanjutnya pada abad ke-17 dari daerah Gowa. Ini terbukti pada makam kuno di Bima terlihat adanya pengaruh bentuk nisan dan jirat seperti makam-makam kuno di Tallo atau di Tamalatte (Gowa), dan di Seloparang terlihat adanya bentuk Jawa Timur dan Bugis-Makasar. Di Kalimantan, daerah yang nampaknya pertama kali menyambut kehadiran Islam adalah Banjarmasin (sekitar 1550 M). Hal ini tidak bisa dilepaskan dari hubungan ekonomi yang sejak pra-Islam telah terjalin antara daerah ini dengan daerah utara Jawa, terutama dengan kerajaan Demak. Di Kalimantan Timur, daerah yang pertama mendapat pengaruh Islam adalah Kutai, dengan tokoh penyebarnya Dato ri Bandang dan temannya Tuan Tunggang Parangan setelah keduanya berhasil mengislamkan Raja Mahkota dari kerajaan Kutai sekitar tahun 1575 M. Di Kalimantan Barat Islam tampaknya menyebar kemudian. Kota Waringin misalnya, menerima Islam setelah Banjarmasin, sedangkan daerah lebih ke barat seperti Sambas, Pontianak dan sebagainya tidak ada keterangan yang jelas kapan Islam masuk daerah ini. Proses islamisasi di Nusantara, terutama pada fase ketiga ini, diwarnai oleh pergulatan antar imperium di satu sisi -di mana Raja yang telah terislamkan mempunyai peran yang signifikan dalam mengislamkan rakyatnya- dengan aktivitas komunikasi yang dibangun oleh para penyebar Islam -pedagang, musafir, ulama, dan kaum sufi- di sisi yang lain, yang berdampak semakin diakuinya peranan mereka dalam struktur komunitas pribumi. Bahkan dari naskah-naskah kuno abad 17-19 disebutkan bahwa ulama,
wali dan penyebar Islam berfungsi sebagai pendukung legitimasi kekuasaan Raja. Legitimasi tersebut antara lain dilakukan melalui isyarat-isyarat geneologis maupun kesinambungan keturunan. Ini diperlukan agar transformasi Islam tidak menimbulkan chaos dan disharmoni. Contoh legitimasi itu seperti yang dituturkan dalam Babad Tanah Jawi, yakni peristiwa ketika Sunan Giri memerintahkan Sunan Prapen untuk hadir dalam pentasbihan Sultan Pajang yang kemudian bergelar Sultan Prabu Adiwijaya. Hal yang sama juga terefleksikan dalam kehadiran Wijil Adilangu (Demak) pada pelantikan Pangeran Puger sebagai Paku Buwana I di Semarang (1970). Dari penjelasan di atas, bisa dikatakan bahwa sampai permulaan abad ke-17 Islam sudah merata diterima hampir di seluruh wilayah Nusantara. Fenomena lain yang cukup menarik adalah, pada fase awal yakni abad ke-1-5 H, Islam berkembang dengan kekuatan para musafir dari Arab, Persia, Gujarat dan lainnya. Pada sekitar abad ke-5 diantara penyebar Islam itu terdapat para ulama dan sufi. Pada abad ke 14 dan sesudahnya Islam disebarkan oleh para mubaligh atau ulama pribumi seperti Sunan Prapen, Chatib Dayan, Dato ri Bandang dan Dato Sulaiman. Juga dalam perkembangannya di Nusantara, Islam telah diterima dengan jalan damai. Hampir tidak pernah ada ekspedisi militer untuk islamisasi ini.
D. CORAK ISLAM DI NUSANTARA Islam di Indonesia pada dasarnya memiliki corak dan karakter yang beragam, baik dari sisi pemikiran maupun gerakan. Keragaman ini tercermin dari jumlah organisasi keislaman dan kelompok kepentingan atas nama Islam yang dari waktu ke waktu semakin bervariasi Dari sisi gerakan dan organisasi massa, kita mengenal ada Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, al Washliyyah, al-Irsyad, Nahdlatul Wathan, Perti, DDI, al-Khairat, Ijabi, dan lain-lain. Dalam organisasi kepemudaan, ada HMI, IMM, PMII, Hima Persis, PII, KAMMI dan sejenisnya. Sedangkan dalam kelompok kepentingan, ada Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jama’ah (pimpinan Ja’far Umar Thalib), DDII, FPI, Hizbut Tahrir, KISDI, Lasykar Jihad, PPMI, Ikhwanul Muslimin, Majlis Mujahidin, dan lain-lain. Dalam partai politik ada PBB, PNU, PKNU, PKS, PPP, PSI, PMB, PAN, PKB, dan lain-lain Sedangkan dari sisi pemikiran, kita mengenal ada sejumlah kategori yang biasa dilekatkan dalam pemikiran Islam di Indonesia, yakni Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam neo-tradisionalis, Islam neo-modernis, Islam liberal, Islam post-tradisionalis, Islam radikal, Islam ekstrim, Islam moderat, Islam fundamentalis, Islam kanan, Islam kiri, dan sebagainya. Semua varian yang disebutkan di atas dalam sejarah keindonesiaan tidak jarang satu sama lain mengalami benturan, ketegangan, pergeseran, dan persaingan yang sangat dinamis.
Dinamika itu didorog oleh banyak faktor. Di antara faktor yang dominan adalah perebutan kekuasaan (akses) politik dan ekonomi. Relasi antar organisasi ini juga tidak simetris atau pararel, tetapi seperti laba-laba yang satu titik dengan titik lain bisa saling berhubungan. Jaring laba-laba ini bukan untuk memperkuat atau melemahkan, melainkan semata-mata untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing. Perubahan kultur dan orientasi keagamaan terjadi cukup signifikan di negara-negara yang berpenduduk Muslim, terutama setelah terjadinya perubahan geopolitik dunia pasca kolonialisme. Usai perang dunia ke-2, umpamanya, dunia Islam, atau tepatnya negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim, mulai melepaskan diri dari kolonialisme negaranegara Eropa dan kemudian menjadi negara yang mandiri. Namun, seiring dengan semakin kuatnya ‘independensi’ politik tersebut, sebagiann besar dunia Islam justru semakin memperkuat sistem sosial-politik yang mereka miliki dengan cara mengadopsi sistem yang telah eksis di negara-negara Barat. Dalam konteks respons mereka terhadap modernisasi inilah, di satu sisi, dan upaya untuk tetap menampilkan identitas tradisi mereka, di sisi lain, varian baru muncul di kalangan Muslim. Varian-varian baru Muslim yang muncul sebagai akibat dari respons yang berbeda terhadap modernisasi terssebut muncul di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kasus di Indonesia boleh dibilang unik. Meski dianggap Islam peripheral, Indonesia menyandang predikat negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Sebagai negara yang sudah “mandiri” secara politik, Indonesia, seperti halnya beberapa negara berpenduduk muslim lainnya yang pernah menjadi negara-negara Eropa, telah mengadopsi dan mereformulasi sistem sosial-politik yang berkembang di Barat, dan pada saat yang sama In donesia mengadopsi sistem nilai berbasis agama dan moral-tradisi lokal. Tak pelak, Indonesia acap disebut bukan negara sekular dan bukan pula “negara agama”. Posisinya yang seperti itu jelas memberi peluang lebih besar untuk terjadinya pergulatan di kalangan Muslim dalam mendefinisikan universalisme agama dan mengimplementasikannya dalam ruang publik. Apalagi fakta menunjukkan bahwa Indonesia juga adalah negara yang sangat plural dan multikultural.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN Dari analisa perbandingan di atas keempat teori tersebut lebih menampakkan tajamnya perbedaan dari pada persamaan, namun ada titik temu yang bisa disimpulkan yakni, bahwa pertama, Islam masuk dan berkembang di Nusantara melalui jalan damai (infiltrasi kultural), dan kedua, Islam tidak mengenal adanya missi sebagaimana yang dijalankan oleh kalangan Kristen dan Katolik. Proses Islamisasi berkembang melalui enam saluran, yaitu melalui proses perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik. Setiap proses Islamisasi juga berevolusi mengikuti kebutuhan zaman atau keadaan Islam di Indonesia pada dasarnya memiliki corak dan karakter yang beragam, baik dari sisi pemikiran maupun gerakan. Keragaman ini tercermin dari jumlah organisasi keislaman dan kelompok kepentingan atas nama Islam yang dari waktu ke waktu semakin bervariasi. Variasi ini terkadang mengalami benturan, namun benturan itu menunjukkan jamaknya pandangan terhadap Islam di Indonesia
B. SARAN Semoga dengan dibuatnya makalah ini, membuat kita menjadi lebih bersyukur.
Daftar Pustaka Amien, Saiful; Boy, Pradana, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan III Aqidah dan IbadahKemuhammadiyahan, Malang: UMM Press 2017
http://kangrifqil.blogspot.com/2015/10/makalah-teori-masuknya-islam-di.html http://anwarmyla.blogspot.com/2013/10/teori-teori-masuknya-islam-di-indonesia.html http://nasrull-samawa.blogspot.com/2014/09/memahami-perkembangan-islamisasi-di.html