1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Indonesia adalah Negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga petani merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam kesejahteraan kehidupan penduduk Indonesia (Dewi, 2011). Pestisida adalah bahan yanag digunakan untuk mengendalikan, menolak, memikat atau menganggu organisme penganggu. Tidak bisa dipungkiri bahwa pestisida adalah salah satu hasil teknologi modern dan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Penggunaan pestisida dengan cara tepat dan aman adalah hal mutlak yang harus dilakukan karena pestisida termasuk salah satu bahan beracun (Setiyobudi dkk, 2011). Penggunaan
pestisida
secara
berlebihan
dan
tidak
terkendali
seringkali memberikan resiko keracunan pestisida bagi petani khususnya sayuran ( Prihadi, 2007). Hal ini berkaitan dengan keterlibatan dalam aktivitas
dibidang
perlengkapan
untuk
pertanian,
seperti
menyemprot,
menyemprot,
mencampur
menyiapkan
pestisida,
mencuci
peralatan atau pakaian yang digunakan untuk menyemprot, membuang rumput tanaman, menyiram tanaman dan memanen (Purba, 2010). Racun
1
2
ini bisa melalui kulit, mata, dan mulut, serta pernapasan. Dampak pestisida yang sering ditemui antara lain muntah-muntah, ludah terasa lebih banyak, mencret. Gejala ini dianggap oleh petani sebagai sakit biasa. Beberapa efek akibat dari keracunan pestisida adalah berat badan menurun, anoreksia, anemia, tremor, pusing, gelisah, gangguan psikologis, sakit dada dan lekas marah (Afriyanto, 2008). Dampak paparan pestisida dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti kanker pankreas, kanker prostat, kanker rahim serta gangguan fungsi hati (Ntow et al, 2009). Paparan yang disebabkan oleh pestisida bertindak sebagai Asetil cholinesterase yang akan menurunkan aktivitas enzim cholinesterase aktif dalam plasma darah dan sel darah merah yang berperan dalam menjaga keseimbangan sistem syaraf. Aktivitas cholinesterase darah ini dapat digunakan sebagai indikator keracunan pestisida golongan organofosfat (Ntow et al, 2009). Asetil cholinesterase adalah enzim yang berfungsi sebagai katalisator pada hidrolisa asetilkolin menjadi kolin dan asetat ( Extoxnet, 1993 dalam Afriyanto 2008). Penelitian Rubban, et al. (2012), menyatakan bahwa petani yang melakukan pemeriksaan cholinesterase darah pada tahun 2006 sebanyak 50 orang dan pada tahun 2008 sebanyak 44 orang sedangkan pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling dengan pertimbangan petani yang memiliki nama yang sama pada pemeriksaan cholinesterase darah pada tahun 2006 dan 2008
3
maka diperoleh sampel sebanyak 35 orang. Hasil penelitian yang telah dianalisis
secara
deskriptif
menunjukkan
bahwa
ada
peningkatan
keracunan terutama keracunan berat (0% - 25%) pada tahun 2006 tidak ada yang keracunan berat (0%), tahun 2008 sebanyak 4 orang (11%) dan pada Tahun 2010 sebanyak 8 orang (23%). Posisi penyemprotan pestisida yang mengikuti arah angin 15 orang (43%) tidak mengikuti arah angin 20 orang
(57%). Penggunaan APD yang memenuhi syarat tidak ada,
penggunaan APD yang tidak memenuhi syarat 35 orang (100%). Peningkatan jumlah keracunan disebabkan karena tidak mengikuti arah angin
saat
melakukan
penyemprotan,
tidak
adanya
petani
yang
menggunakan alat pelindung diri yang memenuhi syarat serta lamanya kontak > 5 jam perhari. Menurut penelitian Tampudu, et al, (2010) penelitian yang dilakukan pada petani penyemprot pestisida di Desa Minasa Baji Kabupaten Maros Sulawesi Selatan memperoleh hasil penelitian yang dilakukan pada 60 responden didapatkan 51 orang atau 85% responden yang kadar cholinesterase darahnya tidak normal. 6 orang (35,3 %) yang memenuhi syarat dalam melakukan formulasi (Pencampuran), dan terdapat 3 orang (6,9%) yang tidak memenuhi syarat dalam melakukan pencampuran pestisida sesuai dengan konsentrasi.
4
Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas maka peneliti bermaksud hendak meneliti aktivitas cholinesterase darah penyemprot tebu pengguna pestisida yang dapat dijadikan sebagai indikator terjadinya keracunan akibat paparan pestisida pada petugas penyemprot tebu di pabrik gula Takalar.
B. Rumusan masalah Adapun rumusan masalah adalah bagaimana gambaran kadar enzim cholinesterase pada petugas penyemprot tebu di pabrik gula Takalar ?
C. Tujuan 1. Tujuan umum Untuk mengetahui gambaran kadar enzim cholinesterase pada petugas penyemprot tebu di pabrik gula Takalar. 2. Tujuan khusus Untuk menentukan hasil pemeriksaan kadar enzim cholinesterase pada petugas penyemprot tebu di pabrik gula Takalar. 3. Manfaat penelitian a. Sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya dalam pemeriksaan enzim cholinesterase
5
b. Sebagai informasi bagi masyarakat, khususnya bagi petugas penyemprot tebu di pabrik gula takalar agar lebih memperhatikan kesehatan dan berhati – hati dalam menggunakan pestisida. c. Sebagai pengalaman berharga dan dapat memperluas wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam mata kuliah kimia klinik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Petani 1. Defenisi Petani Djojosumarto (2008) mendefinisikan petani sebagai pengolah tanah di pedesaan. Di Indonesia, kelompok masyarakat ini adalah salah satu kelompok masyarakat yang rata – rata berada di bawah garis kemiskinan. Dengan luasan lahan dan pendapatan rata – rata yang relative kecil dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Penguasaan lahan pertanian didefinisikan oleh BPS (2014) sebagai lahan milik sendiri di tambah lahan yang berasal dari pihak lain, dikurangi lahan yang berada di pihak lain yang pernah dan sedang diusahakan untuk pertanian selama setahun terakhir. 2. Klasifikasi Petani Menurut klasifikasinya, petani dibagi menjadi 3 macam jenis yang dapat disebutkan: a. Petani tradisional atau petani modern b. Petani sawah atau petani darat c. Petani spesialis atau petani diversifikasi
6
7
Menurut jenis usahanya adalah, petani dibagi menjadi 3 macam jenis yang dapat disebut: a. Petani palawija, petani yang menanam padi, jagung, kedele b. Petani holtikultura, petani yang menanam sayuran dan buahbuahan c. Petani perkebunan, petani yang menanam tanaman musiman seperti tebuh, cengkeh dan kopi d. Petani
peternak,
petani
yang
melakukan
usaha
pengembangbiakan dan penggemukan hewan ternak seperti sapi, ayam dan kambing, serta hasil olahan produk dari hewan ternak seperti susu sapi e. Petani nelayan, petani yang obyek kegiatannya ada di air laut dan juga air payau. B. Pestisida 1. Pengertian pestisida Pestisida adalah subtansi yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest yang berarti
hama dan cida yang berarti pembunuh. Jadi secara
sederhana pestisida diartikan sebagai pembunuh hama yaitu tungau, tumbuhan penganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi,
8
bakteri, virus, siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan (Wudianto, 2011). Menurut Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1973, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk: a. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian b. Memberantas rerumputan c. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan d. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagianbagian tanaman tidak termasuk pupuk e. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak f. Memberantas atau mencegah hama-hama air g. Memberantaslam atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tanggan, bangunan, dan dalam alat-alat pengangkutan h. Memberantas
atau
mencegah
binatang-binatang
yang
dapat
menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.
9
2. Penggolongan pestisida Menurut Priyanto (2009) pestisida digolongkan berdasarkan: a. Penggolongan berdasarkan kegunaannya 1) Insektisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh serangga 2) Larvasida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh larva serangga 3) Fungisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh jamur (mould) 4) Mitisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh “mitest” 5) Rodentisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh hewan pengarat 6) Herbisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh semak-semak dan tanaman penganggu 7) Molusida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh keong Pestisida dapat membunuh organisme diatas dengan cara menimbulkan keracunan (sebagai senyawa beracun), oleh karena itu kemungkinan juga beracun atau toksik pada manusia. Pada manusia, pestisida dapat sangat toksik atau bahkan dapat menyebabkan
10
kematian. Beberapa pestisida yang relatif tidak toksik dapat mengiritasi kulit, mata, hidung dan mulut. b. Jenis pestisida menurut bentuk formulasi 1) Formulasi cairan Formulasi pestisida bentuk cair biasanya terdiri dari pekatnya yang dapat diemulsikan, pekatan yang larut dalam air, pekatan dalam minyak, aerosol. 2) Formulasi padat Formulasi pestisida bentuk padat biasanya terdiri dari tepung yang dapat disuspensikan (dilarutkan), butiran, pekatan, debu, tablet. c. Penggolongan berdasarkan struktur kimianya 1) Golongan Organoklorin Organoklorin atau disebut Chorinated hydrocarbon terdiri dari beberapa
kelompok
yang
diklasifikasikan
menurut
struktur
kimianya. Yang paling popular dan pertama kali disentesis adalah Dikloro Difenil Trikloroetan atau DDT. 2) Golongan Organosposfat Organosphosphat disintesis pertama kali di Jerman pada awal perang dunia ke II. Bahan tersebut digunakan untuk gas saraf dan
11
sebagai insektisida. Pada awal sintesisnya diproduksi senyawa Tetrathyl pyrophosphate (TEPP) Parathion, dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi juga cukup toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang terus dan ditemukan komponen yang potensial toksik terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap manusia, misalnya malation. 3) Golongan Karbamat Insektisida karbamat berkembang setelah organosfat. Insektisida ini toksitasnya lebih rendah terhadap mamalia jika dibandingkan dengan organosfat, tetapi sangat efektif untuk membunuh insekta. Struktur karbamat seperti fisostigmin, ditemukan secara alamiah dalam kacang Calabar. Karbaril telah secara luas dipakai sebagai insektisida dengan komponen aktifnya adalah sevin. 4) Golongan insektisida dari tanaman Contoh dari golongan ini adalah nikotin, rotenone, dan pyrethrum. Nikotin diperoleh dari tanaman Nicotiana tobacum
alkaloid
bebasnya diabsorpsi dengan cepat pada permukaan mukosa dan melalui permukaan kulit. Rotenone diperoleh dari tumbuhan Darris elleptica,
Darris
mallacenssis,
Lanchocappus
utilis
dan
12
Lanchocappus
urucu.
Ingesti
oral
terhadap
insektisida
ini
menyebabkan
gastrointestinal iritasi, konjungtivis, dermatitis,
faringitis, dan rhinitis ( Priyanto, 2010 ). 5) Herbisida Secara kimiawi herbisida terdiri dari 2 golongan, yaitu: a) Senyawa
klorofenoksi,
misalnya2,4-D
(2,4
asam
diklorofenoksiasetat) dan 2,4,5-T (2,4,5-asam triklorofenoksi asetat). Senyawa-senyawa ini bekerja pada tumbuhan sebagai hormone pertumbuhan. Toksitasnya pada hewan relatif rendah. Tetapi
klorakne,
mempunyai
efek
toksik
pada
manusia
disebabkan oleh pencemar 2,3,7,8-tetraklorobenzo-p-dioksin. b) Herbisida
biperidil, misalnya
parakuat dan dikuat,
telah
dipergunakan secara luas. Toksitas zat ini dilakukan lewat pembentukan radikal bebas. Toksitas parakuat ditandai oleh efek paru-paru melalui paparan inhalasi dan oral.keracunan kronis pestisida parakuat dan dikuat bersifat karsinogenik 6) Herbisida
lainnya
seperti
dinitro-o-kresol
(DNOC),
amitrol
(aminotriazol), karbamat profam dan kloroprofam dan beberapa zat kimia lain
13
7) Fumigan dan Rodentisida Ada beberapa zat yang tergolong dalam fumigant dan rodentisida, yaitu sianida, warfarin, strihnin, dan thallium (Lu,2010). 3. Jalur masuk pestisida Menurut Runia (2008) pestisida dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui berbagai rute, yakni: a. Penetrasi lewat kulit Pestisida yang menempel dipermukaan kulit dapat meresap kedalam tubuh dan menimbulkan keracunan. Kejadian kontaminasi pestisida lewat kulit merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi. Pekerjaan yang menimbulkan resiko tinggi kontaminasi lewat kulit adalah: 1. Penyemprot dan aplikasi lainnya, termasuk pemaparan langsung oleh droplet atau drift pestisida dan menyeka wajah dengan tangan, lengan baju, atau sarung tangan yang terkontaminasi pestisida. 2. Pencampuran pestisida 3. Mencuci alat aplikasi.
14
b. Terhisap melalui pernapasan Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap lewat hidung merupakan terbanyak kedua setelah kulit. Gas dan partikel semprotan yang sangat halus (kurang dari 10 mikron) dapat masuk ke paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar (lebih dari 50 mikron) akan menempel diselaput lendir atau kerongkongan. c. Masuk melalui saluran pencernaan Pestisida keracunan lewat mulut sebenarnya tidak sering terjadi dibandingkan dengan kontaminasi lewat kulit. Keracunan lewat mulut dapat terjadi karena: 1) Makan dan minum saat bekerja dengan pestisida 2) Pestisida terbawa angin masuk ke mulut 3) Makanan terkontaminasi pestisida d. Keracunan pestisida Keracunan pestisida adalah masuknya bahan-bahan kimia kedalam tubuh manusia melalui kontak langsung, inhilasi, ingesti dan absorpsi
sehingga
(Tampudu et al,2010).
menimbulkan
dampak
negatif
bagi
tubuh
15
Penggunaan pestisida dapat mengontaminasi pengguna secara langsung sehingga mengakibatkan keracunan. Dalam hal ini keracunan dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu: 1) Keracunan akut ringan, menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa sakit dan diare 2) Keracunan akut berat, menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut, sulit bernafas, keluar air liur, pupil mata mengecil, dan denyut nadi meningkat, pingsan. e. Keracunan kronis, lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan penggunaan pestisida diantaranya: iritasi mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada bayi, serta gangguan saraf, hati, ginjal, dan pernafasan. C. Kolinesterase Asetikolinesterase adalah suatu enzim, terdapat pada banyak jaringan yang menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat. Sel darah merah dapat mensintesis asetilkolin dan bahwa kolin asetilase dan asetilkolinesterase keduanya terdapat dalam sel darah merah. Kolin asetilase juga ditemukan tidak hanya di dalam otak tetapi juga dalam otot rangka, limpa dan jaringan plasenta. Adanya enzim ini dalam jaringan seperti plasenta atau eritrosit yang tidak mempunyai persyaratan
16
menunjukkan fungsi yang lebih umum bagi asetilkolin dari pada fungsi dalam syaraf saja. Pembentukan dan pemecahan asetilkolin dapat dihubungkan dengan permeabilitas sel. Perhatian lebih diarahkan pada sel darah merah, telah dicatat bahwa enzim kolin asetilase tidak aktif baik karena penghambatan oleh obat-obatan maupun Karena kekurangan subtrat, sel akan kehilangan permeabilitas selektifnya dan mengalami hemolisis (Prijanto,2009). Menurut Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan
Departemen
Kesehatan
(1989),
asetilkolinesterase adalah suatu enzim, suatu bentuk dari katalis biologi yang dalam jaringan tubuh berperan agar otot-otot, kelenjar-kelenjar dan sel-sel syaraf bekerja secara terorganisir dan harmonis. Jika aktivitas asetilkolinesterase turun atau berkurang karena adanya pestisida dalam darah yang akan membentuk senyawa phosphorilated cholinesterase, sehingga enzim tersebut tidak dapat berfungsi lagi. Akibatnya kadar yang aktif dari enzim Asetilkolinesterase akan berkurang. Oleh karena itu pengukuran enzim tersebut di dalam darah dapat digunakan untuk mendiagnosa kemungkinan kasus keracunan pestisida. Aktivitas asetilkolinesterase dalam darah seseorang yang di uji dinyatakan sebagai persentase dari aktivitas enzim asetilkolinesterase
17
dalam darah normal. Berdasarkan hasil pada pembacaan yang didapat, menentukan tingkat keracunan adalah sebagai berikut: 1. 75% - 100% dari normal Kelompok ini termasuk dalam kategori normal. Tidak ada tindakan, tetapi perlu di uji ulang dalam waktu dekat 2. >50% - <75% dari normal Pada kelompok ini telah terjadi keracunan. Jika penderita lemah agar dianjurkan istirahat (tidak kontak) dengan pestisida selama 2 minggu, kemudian diuji ulang sampai aktivitas acetil cholinesterase kembali normal. Kelompok ini termasuk kategori keracunan ringan 3. >25% - 50% dari normal Kelompok ini sangat serius dan perlu dilakukan pengujian ulangn. Jika hasilnya tetap sama maka orang tersebut perlu di istirahatkan dari semua pekerjaan yang berhubungan dengan pestisida. Kelompok ini termasuk kategori keracunan sedang. 4. 0% - 25% dari normal Tingkat pemaparan yang sangat berbahaya, perlu diuji ulang dan yang bersangkutan harus diistirahatkan dari semua pekerjaan dan perlu
18
dirujuk kepada pemeriksaan medis. Kelompok ini termasuk dalam kategori keracunan berat. (Depkes RI, 1992). Masalah utama yang berkaitan dengan keracunan pestisida adalah bahwa gejala dan tanda khususnya dari golongan organofosfat umumnya tidak spesifik bahkan cenderung menyerupai gejala penyakit biasa seperti pusing, mual, dan lemah sehingga oleh masyarakat dianggap sebagai suatu penyakit yang tidak memerlukan pengobatan khusus. Gejala klinis baru akan timbul bila aktvitas acetil cholinesterase 50% dari normal atau rendah. Akan tetapi gejala dan tanda keracunan organofosfat
juga
tidak
selamanya
spesifik
bahkan
cenderung
menyerupai gejala penyakit biasa. Pemulihan kembali aktivitas enzim acetil cholinesterase pada keadaan normal memerlukan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 1-2 bulan (Depkes RI,1984 dalam Purba 2009). Batas normal asetilkolinesterase dalam serum darah manusia berkisar antara 11,4-3,5u/l. batasan ini tidak memberikan dampak negative berupa gejala keracunan yang lebih fatal akibat pemaparan pestisida. Walaupun gejala keracunan akut dapat dilihat setelah 12 jam pemakaian pestisida yang tidak aman (Knedel, 1998 dalam Purba 2009). Keracunan akut terjadi bila efek-efek keracunan pestisida dirasakan langsung pada saat itu. Efek akut dibagi menjadi dua bagian, yakni efek akut lokal yaitu bila efeknya hanya mempengaruhi bagian
19
tubuh yang terkena kontak langsung dengan pestisida, biasanya berupa iritasi, seperti mata kering, kemerahan dan gatal di mata, hidung, tenggorokan dan kulit, mata berair dan batuk. Efek yang kedua yaitu efek akut sistemik. Efek ini muncul bila pestisida masuk kedalam tubuh dan mempengaruhi seluruh bagian dari tubuh dan mempengaruhi mata, jantung, paru-paru, hati, otot, usus, otak, dan syaraf (Knedel, 2000 dalam Purba 2009). D. Faktor Resiko Keracunan Pestisida Hasil pemeriksaan aktivitas cholinesterase darah dapat digunakan sebagain
penegas (konfirmasi) terjadinya keracunan pestisida pada
seseorang. Sehingga dengan demikian dapat dinyatakan pula bahwa faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya ativitas cholinesterase darah. Menurut Afriyanto (2008), faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dari luar tubuh (eksternal). Faktor-faktor tersebut adalah: 1. Faktor di dalam tubuh (internal) antara lain: a. Usia Usia merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka usiapun akan bertambah. Seseorang dengan bertambah usia
20
maka kadar rata-rata cholinesterase dalam darah akan semakin rendah sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida b. Jenis kelamin Kadar kolinesterse bebas dalam plasma darah laki-laki normal ratarata
4,4ug/ml.
analisis
dilakukan
selama
beberapa
bulan
menunjukkan bahwa tiap-tiap individu mempertahankan kadarnya dalam plasma hingga relative konstan dan kadar ini tidak meningkat setelah makan atau pemberian oral sejumlah besar kholin. c. Tingkat pendidikan Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan tambahan pengetahuan bagi individu tersebu, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya juga lebih baik jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi akan lebih baik. d. Pengetahuan Sikap dan praktek (tindakan), seseorang telah setuju terhadap obyek, maka akan terbentuk pula sikap positif terhadap obyek yang sama. Apabila sikap positif terhadap suatu program atau obyek telah
21
terbentuk, maka diharapkan terbentuk niat untuk melakukan program tersebut. Niat untuk melakukan tindakan misalnya menggunakan alat pelindung diri dengan baik dan benar pada saat melakukan penyemprotan pestisida, seharusnya sudah tersedia dan praktis sehingga petani mau menggunakannya. 2. Faktor di luar tubuh (eksternal) Menurut Afryanto (2008), factor dari luar tubuh, faktor-faktor tersebut adalah: a. Dosis Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakin mempermudah
terjadinya
keracunan
pada
petani
pengguna
pestisida. b. Masa kerja Semakin lama bekerja sebagai petani akan semakin sering kontak dengan pestisida sehingga resiko keracunan pestisida semakin tinggi. Penurunan aktivitas cholinesterase dalam plasma darah karena keracuanan pestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar hingga 2 minggu setelah melakukan penyemprotan.
22
c. Tindakan penyemprotan pada arah angin Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat melakukan penyemprotan. Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah angin dengan kecepatan tidak boleh melebihi 750 m per menit. Petani pada saat menyemprot yang melawan arah angin akan mempunyai resiko lebih besar bila dibanding dengan petani yang yang menyemprot tanaman searah dengan arah angin. d. Waktu penyemprotan Perlu diperhatikan dalam melakukan penyemprotan pestisida, hal ini berkaitan dengan suhu lingkungan yang dapat menyebabkan keluarnya keringat lebih banyak terutama pada siang hari. e. Frekuensi penyemprotan Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi pula resiko keracunannya. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai dengan ketentuan. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat kontak dengan pestisida maksimal 5 jam perhari. f. Penggunaan alat pelindung diri Penggunaan
alat pelindung diri dalam melakukan
pekerjaan
bertujuan untuk melindungi dirinya dari sumber bahaya tertentu, baik
23
yang berasal dari pekerjaan maupun lingkungan kerja. Pestisida umumnya adalah racun bersifat kontak, oleh sebab itu penggunaan alat pelindung diri pada petani waktu menyemprot sangat penting untuk menghindari kontak langsung dengan pestisida. E. Kerangka Konseptual , internal : Factor 1. Umur 2. Pendidikan 3. Pengetahuan
Kolinesterase dalam darah
Factor eksternal : 1. Masa kerja 2. Tindakan cara penyeprotan 3. Frekuensi penyemprotan 4. APD
1. Dosis 2. Waktu penyemprotan
keracunan
24
Keterangan : : Diteliti : Tidak Diteliti