Proposal Terbaru Yusuf 1-3.docx

  • Uploaded by: Yusuf nawri
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Proposal Terbaru Yusuf 1-3.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,524
  • Pages: 21
PROPOSAL PENELITIAN UJI KONSENTRASI FORMULA NANOEMULSI SERAI WANGI ( Cymbopogan nardus l ) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN JAMUR Phytophthora palmivora PENYEBAB PENYAKIT BUSUK BUAH KAKAO (Theobrema cacao Linn.) SECARA INVITRO Usulan Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Oleh M YUSUF NAWRI NASUTION 1310211029

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2017

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas pertanian dan perkebunan di Indonesia yang sampai saat ini memegang peranan yang cukup penting dalam membangun tingkat perekonomian Indonesia. Selain bermanfaat menambah sumber pendapatan, devisa negara, kakao juga berpotensi untuk menciptakan lapangan pekerjaan, mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. `

Dari potensi kakao (Theobroma cacao L.) yang mempunyai peranan yang

penting dalam meningkatkan devisa negara. Indonesia merupakan produsen kakao terbesar di dunia setelah Nigeria dan Pantai Gading. Sebagian besar kakao Indonesia berasal dari perkebunan rakyat (87%), sehingga komoditas ini mempunyai peran ekonomi dan sosial yang penting. Disamping itu banyak hambatan yang menyebabkan kualitas dan kuantitas produksi kakao sangat menurun dipengaruhi oleh tindakan kultur teknik, hama dan penyakit, kondisi tanah dan iklim serta bahan tanam yang digunakan. Berdasarkan publikasi oleh Badan Pusat Statistik Sumatera Barat terjadi fluktuasi produksi kakao di Sumatera Barat. Produksi tanaman kakao di Sumatera Barat pada tahun 2009 sebanyak 33. 430 ton dan pada tahun 2010 sebanyak 49.388 ton. Pada tahun 2011 produksi mengalami penurunan menjadi 44.613 ton. Pada tahun 2012 produksi kakao di Sumatera Barat mencapai 45.725 ton. Pada tahun 2013 produksi menjadi 48.166 ton. (Direktorat Jendral Perkebunan, 2013). Serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) hingga saat ini masih merupakan masalah utama yang membatasi produksi, terutama untuk daerahdaerah yang mempunyai iklim tropis. Sementara, penggunaan pestisida sintetik dalam mengendalikan OPT mempunyai resiko yang besar karena dapat menyebabkan reistensi, resurgensi, pencemaran lingkungan, musnahnya musuh alami, timbulnya residu pestisida dalam tanaman dan sebagainya. Pengendalian

hayati diharapkan dapat mengurangi efek samping dari penggunaan pestisida sintetik tersebut dalam mengendalikan serangan OPT. Menurut pendapat Wahyudi dan Misnawi (2007) masalah yang dihadapi kakao Indonesia adalah rendahnya produktivitas tanaman yang masih berada di bawah 900 kg/ha/thn dari rata-rata potensi sebesar 2.000 kg/ha/thn. Diantara faktor penyebab rendahnya produktivitas kakao, mayoritas disebabkan antara lain karena penggunaan bahan tanaman yang kurang optimal, umur tanaman, serta masalah hama dan penyakit Salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas tanaman

kakao

adalah serangan hama dan penyakit. Penyakit utama pada tanaman kakao salah satunya adalah penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora) yang merupakan salah satu faktor penghambat produksi tanaman kakao. Selama musim hujan, serangan P. palmivora dengan mudah meningkat 50 % kemudian menurun kembali pada musim kemarau. Selain itu, apabila buah-buah busuk tidak diambil, maka jamur patogen dapat menjalar ke bantalan bunga dan selanjutnya menyebabkan kanker batang. P. palmivora merupakan salah satu patogen yang paling serius pada kakao di seluruh dunia, dan di Asia Tenggara .Serangan patogen ini mampu menurunkan produksi kakao hingga 44%. Besarnya kerugian akibat penyakit busuk buah kakao(BBK) karena usaha pengendalian yang dilakukan seringkali memberikan hasil yang tidak menguntungkan.( Rubiyo dan Amaria W, 2013). Adapun gejala spesifik yang ditimbulkan akibat serangan penyakit busuk buah kakao ini yaitu munculnya gejala bercak hitam kecoklatan yang dimulai dari pangkal buah kemudian menyebar hampir menutupi seluruh permukaan buah dengan warna abu-abu keputih-putihan. Perkembangan bercak cukup cepat, sehingga dalam waktu beberapa hari seluruh permukaan dan isi buah menjadi busuk. Gejala busuk biasanya lebih banyak pada buah yang dewasa. Apabila buah dibuka maka akan terlihat daging buah telah membusuk dan berwarna hitam serta biji menjadi rusak. Jamur ini mempunyai miselium dan hifa yang tidak bersepta,

mempunyai cabang yang banyak dan kaku. (Dinas Pertanian Sumatera Barat 2006, cit Pajri , 2012) Sebagian besar petani dan perkebunan besar masih menggunakan pestisida sintetik sebagai alternatif pertama untuk mengendalikan penyakit busuk buah kakao. Penggunaan pestisida sintetik secara terus-menerus dikhawatirkan akan menimbulkan masalah lain yang lebih berat, contoh penggunaan bahan kimia (pestisida) terhadap tanaman tidak seluruhnya dapat dihancurkan oleh mikroorganisme dalam tanah dan dapat menyebabkan polusi terhadap aliranaliran air dan sungai sehingga dapat mempengaruhi biota air (Pelezar dan Chan, 2006). Mengingat

dampak negatif yang ditimbulkan oleh pestisida sintetik

tersebut, maka perlu dicarikan alternatif lain

untuk

menggantikan

fungsi

pestisida sintesik. Salah satu alternatif tersebut adalah dengan menggunakan pestisida dengan bahan dasarnya dari alam yaitu pestisida nabati (Yudiarti, 2010). Menurut Kardinan (2004), fungisida nabati yang bahan dasarnya dari tumbuh- tumbuhan sangat menguntungkan karena mudah dibuat, memiliki racun alami yang tinggi, mudah terurai dan tidak berbahaya bagi lingkungan oleh sebab itu baik digunakan sebagai anti jamur. Penggunaan pestisida nabati dapat menggunakan pelarut air (air perasan, air rebusan), pelarut kimia tertentu (etanol, eter, dan lain sebagainya). Batas kelayakan penggunaan tanaman dengan pelarut air yang efektif dan ekonomis dilapangan bisa 100g/l (Prijono, 2006). Salah satu tumbuhan yang bisa digunakan sebagai bahan dasar pestisida nabati adalah daun serai wangi (Cymbopogan nardus L.). Serai wangi memiliki

kandungan

kimia

yang terdiri dari saponin, flavonoid, polifenol,

(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991), alkaloid dan minyak atsiri (Leung dan Foster, 1996). Minyak atsiri serai wangi terdiri dari sitral, sitronelal, geraniol, mirsena, nerol, farsenol, metilheptenon, dipentena, eugenol metil eter, kadinen, kadinol dan limonene (Wijayakusumah, 2000). Senyawa geraniol dan sitronellal dilaporkan dapat

berfungsi

sebagai

fungisida

nabati

(

Miftakhurohmah et al, 2008). Eugenol yang terkandung dalam serai wangi mempunyai pengaruh dalam menghambat pertumbuhan dan perkembangan jamur patogen (Pitojo, 1996). Selanjutnya Oleszek, (2000) melaporkan bahwa senyawa

saponin

berinteraksi

memiliki

sifat

antimikroba

karena

kemampuannya

dengan sterol pada membran sehingga menyebabkan kebocoran

protein dan enzim-enzim tertentu. Saat ini telah banyak dikembangkan formulasi pestisida nabati jenis nanoemulsi. Nanoemulsi adalah sistem emulsi yang transparant, tembus cahaya dan merupakan dispersi minyak dan air yang distabilkan oleh lapisan film dari surfaktan atau molekul surfaktan, yang memiliki ukuran droplet berkisar 50-500 nm (Shakeel, et al., 2008). Ukuran droplet nanoemulsi yang kecil membuat nanoemulsi stabil secara kinetik sehingga mencegah terjadinya sedimentasi dan kriming selama penyimpanan (Solans, et al., 2005).Hasil penelitian Trisno et al (2016) menunjukkan bahwa pemberian formula nanoemulsi serai wangi dengan konsentrasi 1,5% dapat menekan pertumbuhan jamur yang ada pada helaian daun yang bergejala dengan efektivitas penekanan sebesar 24,14 % pada 3 HSA. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berencana melakukan penelitian dengan judul ” Uji konsentrasi formula nanoemulsi serai wangi ( Cymbopogon nardus L ) dalam menekan pertumbuhan jamur Phytophthora palmivora penyebab penyakit busuk buah kakao (Theobroma cacao Linn.)”. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan formula nanoemulsi serai wangi dalam menghambat pertumbuhan

penyakit

busuk buah yang disebabkan oleh “Phytophthora palmivora” C. Manfaat Penelitian Adapun manafaat dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang ke efektifan dari formula nanoemulsi serai wangi dalam menghambat pertumbuhan penyakit busuk buah yang disebabkan oleh “Phytophthora palmivora”.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Kakao merupakan satu-satunya dari 22 jenis marga Theobroma, suku Sterculiaceae, yang diusahakan secara komersial. Menurut Tjitrosoepomo (1988), sistematika tanaman ini sebagai berikut : Divisi

: Spermatophyta

Anak divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Anak kelas

: Dialypetalae

Bangsa

: Malvales

Suku

: Sterculiaceae

Marga

: Theobroma

Jenis

: Theobroma cacao L Beberapa sifat (penciri) dari buah dan biji digunakan sebagai dasar

klasifikasi dalam sistem taksonomi. Berdasarkan bentuk buahnya, kakao dapat dikelompokkan ke dalam empat populasi yaitu cundeamor, criollo, amelonado, angoleta. Kakao lindak (bulk) yang telah tesebar luas di daerah tropika adalah anggota sub jenis sphaerocarpum. Bentuk biji lonjong, pipih dan keping bijinya berwarna ungu gelap. Mutunya beragam tetapi lebih rendah daripada sub jenis cacao. Permukaan kulit buahnya relatif halus karena alur-alurnya dangkal (Tjitrosoepomo, 1988). Menurut Wood (1975), kakao dibagi tiga kelompok besar, yaitu criollo, forastero, dan trinitario. Sifat lain criollo adalah pertumbuhannya kurang kuat, daya hasil lebih rendah daripada forastero, relatif gampang terserang hama dan penyakit, lama fermentasi bijinya lebih singkat daripada tipe forastero, permukaan kulit buah criollo kasar, berbenjol-benjol dan alur-alurnya jelas. Kulit ini tebal tetapi lunak sehingga mudah dipecah. Kadar lemak biji lebih rendah daripada

forastero tetapi ukuran bijinya besar, bulat, dan memberikan citarasa khas yang baik. Kelompok kakao trinitario merupakan hasil hibrida criollo dengan forastero. Sifat fisiologi dan morfologinya sangat beragam,demikian juga daya mutu dan hasilnya. Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), buah yang ketika muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika sudah masak akan berwarna kuning. Sementara itu, buah yang ketika muda berwarna merah, setelah masak berwarna jingga (orange). Kulit buah memiliki 10 alur dalam dan dangkal

yang letaknya berselang-seling. Pada tipe criollo dan trinitario alur

kelihatan jelas. Kulit buahnya tebal tetapi lunak dan permukaannya kasar. Sebaliknya, pada tipe forastero, permukaan kulit buah pada umumnya halus (rata), kulitnya tipis. Pada tahun 2005 produksi kakao diperkirakan naik menjadi 2,484 juta ton dan produksi naik menjadi 2,518 juta ton. Sejalan dengan perkembangan produksi dan konsumsi tersebut harga kakao dunia diproyeksikan akan mengalami peningkatan. Kakao merupakan salah satu komoditi yang sangat penting, sebagai sumber penghidupan bagi jutaan petani produsen, bahan penyedap dan sumber lemak nabati (Sunanto, 1992). Kegunaan biji kakao tidak hanya sekedar sebagai bahan minuman, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk makanan kecil, bahan pembuat kue dan campuran aneka penganan. Jenis kakao yang diekspor tidak hanya berbentuk biji, tetapi juga dalam bentuk lain, seperti mentega kakao, kue kakao, cocoa mass, minyak kakao, kakao bubuk dan cocoa tea (Nazaruddin, 1993). Produktivitas kakao Indonesia masih tergolong rendah dan potensial untuk ditingkatkan. Upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan pembibitan yang baik sehingga dihasilkan bibit yang berkualitas. Menurut Poedjiwidodo (1996) pembibitan merupakan tahap yang sangat menentukan dalam keberhasilan penanaman dan produksi di kemudian hari. Lebih lanjut Siregar et al. (2005) menyatakan bahwa, pendukung keberhasilan dalam pengusahaan tanaman kakao

adalah dengan tersedianya bibit yang berkualitas dan mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungan di lapangan. B. Busuk Buah Phytopthora palmivora Penyakit busuk buah kakao (BBK) yang disebabkan oleh jamur Phytophthora palmivora adalah penyakit utama pada kakao. Di Indonesia, penyakit ini mengakibatkan kerugian yang besar terutama di daerah yang beriklim basah. Selama musim hujan, serangan P. palmivora dengan mudah meningkat sampai 50 % kemudian menurun kembali pada musim kemarau. Selain itu, apabila buah-buah busuk tidak diambil, jamur patogen dapat menyebar ke bantalan bunga dan selanjutnya menyababkan kanker batang (Junianto dan Sukamto, 1992 cit Fajri , 2012). Penyakit busuk buah merupakan penyakit yang sangat merugikan karena secara langsung menyerang buah, sehingga dapat menurunkan produktivitas dan sekaligus menurunkan kualitas biji yang dihasilkan. Penyakit ini bersifat kosmopolit atau terdapat hampir di seluruh areal perkebunan tanaman kakao, kerugian akan lebih besar oleh serangan penyakit ini kalau kondisi lingkungannya cocok (kondusif) untuk perkembangannya dan penanganan yang dilakukan tidak efektif.(Manti,2009) Dinas Pertanian Sumatera Barat (2006, cit Fajri , 2012) melaporkan bahwa penyakit busuk buah yang disebabkan oleh P.palmivora menunjukkan gejala serangan berupa adanya bercak hitam kecoklatan yang dimulai dari pangkal buah kemudian menyebar hampir menutupi seluruh permukaan buah dengan warna abu-abu keputih-putihan. Perkembangan bercak cukup cepat, sehingga dalam waktu beberapa hari seluruh permukaan dan isi buah menjadi busuk. Gejala busuk biasanya lebih banyak pada buah yang dewasa. Apabila buah dibuka maka akan terlihat daging buah telah membusuk dan berwarna hitam serta biji menjadi rusak. Jamur ini mempunyai miselium dan hifa yang tidak bersepta, mempunyai cabang yang banyak dan kaku. P. palmivora dapat menyerang semua organ atau bagian tanaman, seperti akar, daun, batang,ranting, bantalan bunga, dan buah pada semua tingkatan umur. Tetapi serangan pada buah paling merugikan (Opeke and Gorenz, 1974), terutama

serangan buah yang belum matang. P.palmivora dapat menginfeksi seluruh permukaan buah, namun bagian paling rentan adalah pangkal buah. Buah yang telah terinfeksi pathogen akan berwarna cokelat kehitaman pada permukaannya, menjadi busuk basah, dan selanjutnya gejala menyebar menutupi seluruh permukaan buah. Pada bagian yang menghitam akan muncul lapisan berwarna putih bertepung akan menutupi seluruh permukaan buah. Guest and Keane (2007) menjelaskan bahwa awalnya bercak pada buah berukuran kecil seperti spot-spot yang kotor, tebal dan terdapat pada setiap fase perkembangan buah, kemudian bercak berkembang dengan cepat menutupi jaringan internal dan seluruh permukaan buah, termasuk biji. Patogen menyerang jaringan internal buah dan menyebabkan biji kakao berkerut serta berubah warna, buah-buah yang sakit akhirnya menjadi hitam dan mumi. Gejala busuk buah dapat ditemukan dari ujung, pangkal, tengah, buah pentil, muda, tua, buah yang berada di bawah, di tengah, maupun di atas pohon. Bila buah kakao terserang dibelah maka nampak bijibiji dan daging buah busuk, berwarna cokelat. Pada infeksi lanjutan, biji kakao akan penyakit (Thorold, 1975). Menurut Ramlan (2010), faktor yang berperan untuk terjadinya infeksi adalah kebasahan permukaan buah kakao dan kelembaban nisbi udara (RH) yang tinggi sekitar 95 %. Hal ini didukung dari penelitian sebelumnya bahwa pelepasan, perkecambahan, dan infeksi zoospore terjadi apabila tersedia air bebas. Air bebas dapat terjadi karena ada hujan atau kondensasi uap air jenuh akibat penurunan suhu yang berlangsung secara mendadak. Menurut Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia (2004), di Indonesia, penyakit busuk buah sampai saat ini belum dapat dikendalikan terutama dikebunkebun beriklim basah yang menanam varietas atau klon rentan (tidak tahan serangan penyakit). Penanaman varietas atau klon rentan di daerah kering ataupun penanaman varietas atau klon tahan di daerah basah bisa mengurangi masalah serangan penyakit. Serangan penyakit juga bisa ditangani dengan cara sanitasi dan pemakaian fungisida racun kontak. Menurut Wahab (2007), pengendalian penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora) secara umum dilakukan melalui tiga cara yaitu : sanitasi kebun, pengendalian secara kimia dan penanaman klon resisten. Sanitasi kebun dilakukan dalam kebun kakao yang terserang penyakit busuk buah, disarankan untuk sering memanen buah sakit diatas pohon dan mengumpulkan buah yang jatuh ke tenah, kemudian dibakar. Ranting-ranting atau cabang-cabang kakao yang berserakan dibersihkan dan dikumpulkan untuk dibakar. Perbaikan drainase

dan pemangkasan pada tanaman kakao mapun tanaman pelindung dapat menurunkan kelembaban di kebun. Hasil penelitian Rubiyo et al (2008) dengan menguji isolat P. palmivora dari berbagai daerah sentra kakao di Indonesia dengan membasahi buah kakao dan daun kakao spora mampu menginfeksi, umumnya memberikan tingkat patogenisitas yang tinggi terhadap tanaman kakao di buah maupun di bibit. C. Nanoemulsi Nanoemulsi dapat didefinisikan sebagai emulsi dengan ukuran globul yang sangat kecil. Nanoemulsi dibagi menjadi 2 tipe, yaitu sistem stabil termodinamika dan metastabil. Namun, perbedaan antara nanoemulsi dengan sistemstabil termodinamika dan metastabil masih kurang begitu jelas. Berbeda dengan sistem stabil termodinamika, ke stabilan sistem metastabil bergantung pada metode pembuatan. Nanoemulsi dapat memilii stabilitas kinetik yang tinggi dan trasnparan seperti sistem stabil termodinamika (mikroemulsi). Walaupun metastabil, nanoemulsi dapat memiliki stabilitas lebih dari beberapa bulan atau bahkan lebih dari beberapa tahun karena adanya misel surfaktan sebagai penstabil (Fanun, 2010). Ukuran globul nanoemulsi lebih kecil daripada gelombang cahaya tampak, sehingga terlihat trasnparan. Ukuran rata-rata nanoemulsi memiliki kisaran 1-100 nm (Mason, Wilking, Meleson, Chang & Graves, 2006). Karena transparan dan biasanya encer, sedikit tanda ketidakstabilan dapat dengan mudah terlihat (Fanun, 2010). Ukuran globul yang sangat kecil menyebabkan penurunan gaya gravitasi yang besar dan gerak Brown yang dapat mencegah terjadinya sedimentasi atau creaming sehingga dapat meningkatkan stabilitas fisik. Nanoemulsi dapat stabil secara kinetik karena ukuran globul yang sangat kecil sehingga stabil dari sedimentasi dan creaming. Ukuran globul yang kecil pun dapat mencegah flokulasi. Nanoemulsi dapat mengahasilkan tegangan permukaan yang sangat rendah dan luas permukaan yang besar antara fase minyak dan fase air (Fanun, 2010).

D. Serai Wangi Tanaman serai dipercaya berasal dari Asia Tenggara atau Sri Lanka. Akan tetapi dapat ditanam pada berbagai kondisi tanah di daerah tropis yang lembab, cukup sinar matahari dan memiliki curah hujan relatif tinggi. Saat ini, tanaman serai dapat ditanam

meluas dalam kawasan tropika. Kebanyakan negara

menanam serai untuk menghasilkan minyak atsirinya secara komersial dan untuk pasar lokal sebagai perisa atau rempah ratus (Chooi, 2008). Di Indonesia terdapat

dua jenis tanaman serai yaitu serai dapur

(Cymbopogon citratus) dan serai wangi (Cymbopogon nardus). Tanaman serai ini banyak ditemukan di daerah

Jawa yaitu di dataran rendah

yang memiliki

ketinggian 60-140 mdpl (Armando, 2009). Tanaman serai dikenal dengan nama berbeda di setiap daerah. Daerah Jawa mengenal serai dengan nama sereh atau sere. Daerah Sumatera dikenal dengan nama serai, sorai atau sanger-sange. Kalimantan mengenal nama serai dengan nama belangkak, senggalau atau salai. Nusa Tenggara mengenal serai dengan nama see, nau sina atau bu muke. Sulawesi mengenal nama serai dengan nama tonti atau sare sedangkan di Maluku dikenal dengan nama hisa atau isa (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Tanaman serai wangi merupakan tanaman dengan habitus terna perenial dan disebut dengan suku rumput-rumputan (Tora, 2013). Tanaman serai wangi memiliki akar yang besar. Akarnya merupakan akar serabut yang berimpang pendek (Arzani dan Riyanto, 1992). Batang tanaman serai wangi bergerombol dan berumbi, lunak dan berongga. Isi batangnya merupakan pelepah umbi untuk pucuk dan berwarna putih kekuningan. Namun ada juga yang berwarna putih keunguan atau kemerahan. Batangnya bersifat kaku dan mudah patah serta tumbuh tegak lurus di atas tanah. Daun tanaman serai berwarna hijau tidak bertangkai. Daunnya kesat, panjang, runcing dan berbau khas. Daunnya memiliki tepi yang kasar dan tajam. Tulang daunnya tersusun sejajar. Panjang daunnya sekitar 50-100 cm sedangkan lebarnya kira-kira 2 cm. Daging daunnya tipis serta pada pemukaan dan di bagian bawah daun terdapat bulu halus (Arifin, 2014).

Tanaman serai mengandung minyak esensial atau minyak atsiri yang terdiri dari aldehid isovalerik, betakariofilen, dipenten, furfural, geraniol, limonene, linalool, mircen, metilheptenon, neral, nerol, sitral dan sitronellal (Chooi, 2008). Serai wangi mempunyai metabolit sekunder antara lain saponin, tanin, kuinon dan steroid. Selain itu tumbuhan ini mengandung kumarin dan minyak atsiri (Ningtyas, 2008) Senyawa aktif pada serai wangi yang umumnya diambil adalah minyak atsirinya. Minyak atsiri dari daun serai rata-rata 0,7% (sekitar 0,5% pada musim hujan dan dapat mencapai 1,2% pada musim kemarau). Minyak sulingan serai wangi berwarna kuning pucat. Bahan aktif utama yang dihasilkan adalah senyawa aldehidehid (sitronelol-C10H6O) sebesar 30-45%, senyawa alkohol (sitronelolC10H20O dan geraniol-C10H18O) sebesar 55-65% dan senyawa-senyawa lain seperti geraniol, sitral, nerol, metal, heptonon dan dipentena (Khoirotunnisa, 2008). Dari hasil penelitian yang telah kemampuan ekstrak daun

serai

wangi

dilakukan dalam

Rhizoctonia solani pada tanaman tomat lebih pemberian

Chrisnawati

(1994)

menghambat pertumbuhan

baik

dibandingkan

dengan

ekstrak daun cengkeh, cinamon, dan nilam yang kesemuanya

merupakan tanaman penghasil minyak atsiri yang mengandung eugenol. Eugenol yang dikandungnya dapat melarutkan lemak pada dinding sel sehingga dinding sel rusak dan akan mengganggu permeabilitas. Akibatnya sel jamur tersebut tidak selektif dan dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan kematian Menurut Pasya (1997), pemberian ekstrak daun serai wangi sebanyak 0,05 % dan 0,1 % dari berat kering tanah mempunyai kemampuan yang baik dalam menekan perkembangan penyakit rebah kecambah pada bibit cabai yang disebabkan oleh jamur Sclerotium rolfsii.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Fitopatologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang dan formula nanoemulsi serai wangi didapatkan dari produk yang telah dikemas dan siap pakai, akan dimulai pada bulan Maret sampai Mei 2017. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah nanoemulsi serai wangi yang siap pakai dibeli dari Bogor, biakan murni jamur P. palmivora berasal dari isolat penelitian Gilang 2015 , buah kakao yang masih sehat diambil dari Kelurahan Limau Manis, Padang, media Potato Dextrose Agar (PDA), spritus, aluminium foil, alkohol 70%, asam klorida (HCl) 2,5%, tissu, kertas Whatman No.40/ kertas saring, antibiotik (amoxicilin), dan kertas label. Alat yang digunakan adalah gelas ukur, gelas piala, batang pengaduk, petri kaca, tabung reaksi, erlenmeyer, haemocytometer, cork borer, millimeter plotting, hand sprayer, tabung reaksi, mikro pipet, gelas objek, autoclave, hot plate, ent case, jarum ose, mikroskop, lampu bunsen, pisau skapel, pisau, blender, pinset, timbangan, oven, dan alat-alat tulis. C. Metode Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6

perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuannya adalah

perbedaan konsentrasi formula nanoemulsi serai wangi sebagai berikut : A = Kontrol (akuades) B = 0,1 % C = 0,5 % D= 1% E = 1,5 % F= 2%

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5 %.

D. Pelaksanaan Penelitian 1. Perbanyakan Jamur Phytophthora palmivora Perbanyakan jamur penyebab penyakit dari busuk buah tanaman kakao dilakukan dengan menggunakan isolat. Isolat yang digunakan adalah isolat yang berasal dari penelitian Gilang 2015, isolat tersebut kemudian diperbanyak dengan menggunakan medium PDA di laboratorium Fitofatologi dengan cara meletakkan konidia P. palmivora ditengah-tengah medium PDA yang diambil menggunakan cork borer, kemudian diinkubasi selama lebih kurang 14 hari. 2. Uji Patogenesitas P. palmivora pada permukaan buah kakao disterilisasi dengan cara merendam buah dalam NaOCL 1 % selama 2 menit kemudian dibilas dengan air steril. Selanjutnya buah tersebut dilukai dengan jarum suntik steril sebanyak 3 titik pada permukaan buah. Kemudian diambil hifa jamur P. palmivora dengan diameter 0,4 cm dengan menggunakan jarum ose lalu ditempelkan pada permukaan buah tersebut. Buah yang sudah diinokulasi diletakkan pada kotak plastik dan ditutup dengan plastik transparan. Pada kotak diletakkan tisu basah untuk menjaga kelembaban, selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama lebih kurang 14 hari. 3. Pengujian Penghambatan Pada Media PDA Pengujian penghambatan pertumbuhan Phytopthora palmivora dilakukan dengan cara mencampurkan 5 ml masing-masing perlakuan dengan 5 ml media PDA cair didalam tabung reaksi dan dihomogenkan, kemudian dituangkan kedalam cawan petri, dan didinginkan. Biakan murni jamur Phytopthora palmivora dipotong dengan menggunakan cork borer berdiameter 7 mm, untuk selanjutnya diinokulasikan di tengah-tengah medium PDA yang telah diberi bahan perlakuan. Masing-masing perlakuan kemudian diinkubasi dalam suhu kamar untuk selanjutnya dilakukan pengamatan sampai cawan petri tanpa perlakuan (kontrol) telah dipenuhi oleh biakan jamur (14 hari setelah inokulasi).

E. Pengamatan 1. Gejala Penyakit Busuk Buah Pengamatan ini dilakukan setelah melakukan uji patogenesitas dengan melihat gejala busuk buah ditandai dengan warna cokelat kehitaman. 2. Luas Koloni Phytopthora palmivora Pengamatan

dilakukan

setiap

hari

dimulai dari

hari

ke-2

setelah

inokulasi sampai cawan petri kontrol dipenuhi jamur (14 hari setelah inokulasi). Luas koloni diukur dengan menggunakan kertas millimeter ploting pada tiap-tiap cawan petri dengan menggambarkan luas tersebut pada plastik kaca. Untuk menghitung efektivitas masing-masing perlakuan terhadap luas koloni dapat digunakan rumus (Prijono, 2004) :

E=

LK−LP LK

x 100 %

Keterangan : E = Efektivitas LK = Luas koloni pada kontrol LP = Luas koloni pada perlakuan

3. Pertumbuhan Koloni Phytopthora palmivora Pengamatan dilakukan pada hari setelah cawan petri tanpa perlakuan dipenuhi oleh jamur (hari ke-14) dengan melihat penyebaran koloni, warna koloni, arah pertumbuhan koloni, kerapatan miselium, struktur miselium/hifa untuk masing-masing perlakuan dan membandingkannya dengan kontrol. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel.

4. Berat Basah dan Berat Kering Koloni Phytopthora palmivora Berat basah dan berat kering koloni jamur dihitung pada hari terakhir setelah cawan petri tanpa perlakuan dipenuhi oleh jamur (hari ke-14). Untuk mengukur berat basah koloni jamur, setiap cawan petri ditambah dengan 10 ml

HCl

2,5%

menggunakan

untuk melarutkan

kertas

Whatman,

agar,

lalu

kemudian

disaring

ditimbang dengan

dengan

menggunakan

timbangan analitik. Pengukuran berat kering jamur, miselium yang dibungkus dengan kertas Whatman No.40 dikeringkan dengan oven pada suhu 60 oC selama 2 hari. Selanjutnya ditimbang dengan timbangan analitik. Efektivitas masingmasing perlakuan terhadap berat basah dihitung dengan rumus : 𝐸=

BBK − BBP X 100% BBK

Dan untuk berat kering dihitung dengan rumus : 𝐸=

BKK − BKP X 100% BKK

Keterangan : E

= Efektivitas

BBK = Berat Basah Kontrol BKK = Berat Kering Kontrol BBP = Berat Basah Perlakuan BKP = Berat Kering Perlakuan Daya Perkecambahan Konidia Phytopthora palmivora Pengamatan dilakukan 1 x 24 jam setelah suspensi konidia diteteskan pada objek glass, kemudian diamati di bawah mikroskop jumlah konidia yang berkecambah

dan

jumlah

konidia seluruhnya. Setelah itu dilakukan

penghitungan daya perkecambahan konidia dengan rumus : 𝐷𝑎𝑦𝑎 𝐾𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑛𝑖𝑑𝑖𝑎 = Untuk

menghitung

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑜𝑛𝑖𝑑𝑖𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ x 100% Jumlah Konidia yang diamati

efektivitas

masing-masing

kecambah konidia dapat digunakan rumus : 𝐸= Keterangan :

𝑑𝑘 − 𝑑𝑝 x 100% dk

perlakuan

terhadap

daya

E = Efektivitas dk = Daya kecambah konidia pada kontrol dp = Daya kecambah konidia pada perlakuan

DAFTAR PUSTAKA Arifin, M.N. 2014. Pengaruh Ekstrak n-Heksan Serai Wangi Cymbopogon nardus (L.) Randle Pada Berbagai Konsentrasi Terhadap Periode Menghisap Darah Dari Nyamuk Aedes aegypti. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Hasanuddin, Makassar. Armando, R. 2009. Memproduksi 15 Minyak Asiri Berkualitas. Niaga Swadaya, Jakarta. Halaman: 44-45. Arzani, M.N. dan Riyanto, R. 1992. Aktifitas Antimikrobia Minyak Atsiri Daun Beluntas, Daun Sirih, Biji Pala, Buah Lada, Rimpang Bangle, Rimpang Serei, Rimpang Laos, Bawang Merah dan Bawang Putih Secara In Vitro. Laporan Penelitian. Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta. Chooi, O.H. 2008. Rempah Ratus: Khasiat Makanan dan Ubatan. Prin-AD SDN.BHD, Kuala Lumpur. Halaman: 202-203. Direktorat

Jendral

Perkebunan.2013.

Statistik

Perkebunan

Kakao

di

Indonesia.Jakarta Fajri A.Y.2012. ”Inventarisasi hama dan penyakit tanaman kakao (Theobroma cacao Linn.) serta tingkat serangannya di Kota Payakumbuh”. [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas. Fanun, M. 2010. Colloids in Drug Delivery. Florida : CRC Press. Junianto, Y.D., Sukamto, S. 1992. Efektivitas H3PO3 Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butler). Pusat Penelitian Perkebunan Jember. Pelita Perkebunan, 7 (4) Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar Swadaya. Khoirotunnisa, M. 2008. Aktifitas Minyak Atsiri Daun Serai Wangi Cymbopogon nardus (L.) Randle Terhadap Pertumbuhan Malassezia Furfur Invitro dan Identifikasinya dan Sebagai Penghalau Nyamuk Aedes aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro, Semarang.

Manti, I. 2009. Jenis dan Tingkat Serangan Penyakit Busuk Buah Kakao di Kabupaten Padang Pariaman. http//sumbar.litbang.deptan.go.id/in. Mason, T.G., et al. 2006. Nanoemulsions : Formation, Structrure, and Physical Properties. Journal of Physics : Condensed Matter 18, 635-666. Miftakhurohmah. 2008. Potensi Serai Wangi Sebagai Pestisida Nabati. Dalam Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Vol. 14 Nomor 3. Desember 2008. Jakarta. Pengembangan

Pertanian.

Pusat

Badan

Penelitian

Penelitian

dan

dan Pengembangan

Perkebunan. 33 hal Nazaruddin. 1993. Seri komoditi ekspor pertanian tanaman perkebunan, rempah dan obat. Penebar Swadaya. Jakarta. Ningtyas, D.R. 2008. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Daun dan Batang Sereh Wangi Sebagai Pestisida Botani Pembasmi Larva Nyamuk Aedes aegypti. Skripsi.Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IKIP PGRI Semarang, Semarang. Oleszek WA. 2000. Saponins. Di dalam. Naidu AS, Editor. Natural food antimicrobial system. New York: CRC Press. Opeke Lk, Gorenz Am. 1974. Phytophthora pod rot ;symptoms and and economic importance. In: Gregory PH ed. Phytophthora disease of cocoa. New Poedjiwidodo, Y. 1996. Sambung Samping Kakao. Trubus Agriwidya. Ungaran. Pitojo, S. 1996. Kemangi dan Selasih. Trubus Agriwidia Ungaran. Jakarta. 48 hal Prijono, D. 2006. Prospek dan Strategi Pemanfaatan Insektisida Alami Dalam

Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu. Institut Pertanian

Bogor. 86 hal Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indoesia. 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. PT Agromedia Pustaka : Jakarta Rubiyo Dan Amaria W, 2013. Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora Palmivora Butl.) Resistance Of Cocoa To

Black Pod Disease (Phytophthora Palmivora Butl.). Perspektif 12(1) : 2336 Shakeel, F., Baboota, S., Ahuja, A., Ali, J., danShafiq, S. 2008. Celecoxib nanoemulsion: skin permeation mechanism and bioavailability assessment.Journal of drug targeting, 16(10), 733-740. Siregar, THS., S. Riyadi., dan L. Nuraeni. 2005. Budidaya, pengelolaan dan pemasaran coklat. Penebar Swadaya. Jakarta. 170 hal. Solans, C., Izquierdo, P., Nolla, J., Azemar, N., dan Garcia-Celma, M. J. 2005. Nano-emulsions. Current opinion in colloid & interface science, 10(3), 102-110. Sunanto, H. 1992. Coklat, budidaya, pengolahan hasil dan aspek ekonominya. Penerbit kanisius. Yogyakarta. Suryani, D dan Zulfebriansyah. 2008. Komoditas kakao, potret dan peluang pembiayaa. Economic review no.210 tahun 2008. 9 hlm. Syamsuhidayat SS, dan Hutapea JR. 1991. Inventaris Tanaman obat Indonesia.Jakarta: Depkes RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jakarta Tjitrosoepomo, G. 1988. Taksonomi tumbuhan (spermathopyta).

Universitas

Gajah Mada.Yogyakarta. Thorold, C. A. 1975. Disease of Cocoa. Clarendon Press, Oxford. 423 p. Trisno, J. et al., 2016. Uji Formula Nanoemulsi Serai Wangi Dalam Menekan Penyakit C. Theobromae Pada Kakao. Padang : Fakultas Pertanian Unand Tora, N. 2013. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Serai. http://www.klasifikasi tanaman serai dan klasifikasinya.com/. Diakses tanggal 17 Januari 2017. Wahyudi,

T.,

dan

Misnawi.

2007.

Fasilitasi

Perbaikan

Mutu

dan

Produktivitas Kakao Indonesia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 23(1), 32-34. Wijayakusuma HMH. 2000. Tumbuhan berkhasiat obat Indonesia: rempah, rimpang, dan umbi. Jakarta: Milenia popular

Wood, G. A. R. 1975. Cocoa tropical agriculture series. 3 Ed, London. Longmans. Yudiarti, T. 2010. Cara Peraktis dan Ekonomis Mengatasi Hama dan Penyakit Tanaman Pangan dan Hortikultura. Graha Ilmu. Yogyakarta.hal78

Related Documents

Proposal Yusuf
November 2019 17
Yusuf-1a
October 2019 33
Yusuf As.docx
May 2020 15
Yusuf Profile
October 2019 23
Cv.ell Terbaru
July 2020 10

More Documents from ""