I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Keamanan pangan merupakan jaminan mutlak yang harus dimiliki semua produk
pangan
karena
menyangkut
akan
keselamatan
dan
kesehatan
konsumennya. Namun jaminan ini belum sepenuhnya didapatkan oleh konsumen karena ada kemungkinan kerusakan produk yang bukan disebabkan akibat produksi yang kurang baik melainkan perlakuan atau penanganan setelah produksi.
Kerusakan produk setelah produksi dapat terjadi selama masa
pendistribusian, penyimpanan serta penjualannya walaupun masa kadaluarsa belum terlampaui. Kesulitan dalam mengidentifikasi kerusakan produk pangan tersebut disebabkan karena produk tidak memberikan perubahan nyata pada bentuk visual, melainkan terjadinya reaksi secara kimiawi atau mikrobiologi yang menghasilkan gas, asam meupun senyawa lainnya. Bentuk kerusakan ini dapat disiasati dengan penggunaan kemasan yang dapat memberikan informasi kondisi produk dengan menghasilkan sensor kimia dan biosensor atau disebut kemasan cerdas (smart packaging). Kemasan cerdas adalah sistem melekat sebagai label, yang dimasukkan ke dalam kemasan, atau dicetak ke bahan kemasan untuk memantau kualitas produk (Kerry dan Butler, 2008). Menurut Kuswandi et al., (2011), Smart packaging merupakan sensor yang dapat memonitoring tentang kualitas dan keamanan pangan dan memiliki potensi besar dalam pengembangan sistem penginderaan baru yang terintegrasi dalam kemasan makanan. Penggunaan kemasan cerdas sudah banyak digunakan di perusahaan Amerika sebagai sensor untuk mendeteksi
penurunan produk dan membantu konsumen dalam mendapatkan informasi mengenai produk mereka hingga waktu konsumsi tetapi di Indonesia, penggunaan kemasan atau label indikator masih sangat minim dan terkendala pada harga jual yang mahal serta impor bahan baku. Oleh sebab itu perlu adanya produksi label indikator yang memanfaatkan sumber daya yang tersedia, mengingat banyaknya pigmen-pigmen alami yang terdapat pada tumbuhan yang berpotensi sebagai indikator alami. Menurut Wulandari (2016) menyatakan bahwa beberapa pigmen alami seperti klorofil, kurkumin, dan antosianin paling berpotensi untuk dikembangkan sebagai label indikator termal karena sensitifitasnya terhadap perubahan suhu. Pemanfaatan klorofil sebagai bahan indikator pada label cerdas telah dilakukan penelitian oleh beberapa peneliti yang menunjukan kelompok klorofil secara umum dapat digunakan sebagai indikator termal, cahaya dan pH, dengan stabilitas rendah hingga tinggi. Fitria, E.A (2018), melaporkan bahwa ekstrak klorofil dari beberapa jenis daun yaitu daun suji dan singkong memiliki stabilitas yang baik pada suhu rendah dan gelap, tetapi buruk pada suhu dan keasaman tinggi, serta cahaya selama penyimpanan; Hermansyah (2012) menambahkan bahwa titik netral (7-8) klorofil relatif stabil dibandingkan pada pH asam (3-5), ketidakstabilan struktur klorofil mengakibatkan terjadinya reaksi feofitinisasi yaitu reaksi pembentukan feotin yang berwarna hijau kecoklatan; kecepatan reaksi feofinitasi mempunyai korelasi dengan keasaman dari lingkungannya dan tidak mudah terjadi pada pH lebih dari 7 (Galaffu et al., 2015). Sifat warna ini dapat dimanfaatkan sebagai indikator pada kemasan produk makanan yang rentan terhadap cahaya, suhu/udara panas dan metabolis asam tinggi.
Adapun sumber klorofil yang dapat digunakan sebagai indikator pada kemasan cerdas tersebut yaitu daun suji (Pleomele angustifolia) yang banyak digunakan sebagai pewarna alami dan penghasil zat warna yang baik. Daun suji juga sangat mudah dibudidayakan dan memiliki aroma harum yang khas sehingga cocok digunakan untuk produk makanan. Menurut Yuniwati, M et.al (2012) melaporkan bahwa jumlah persentase tertinggi klorofil yang terekstrak pada daun suji sebesar 1,29% dengan kecepatan aduk 300rpm dalam pelarut etanol 96%; sedangkan ekstrak menggunakan aquades diperoleh 388.83 mg/L dengan pH 7.00 (Fitria EA, 2015). Metode ekstraksi dengan etanol 98% menghasilkan ekstrak yang pekat tetapi cara ekstraknya sangat lama karena harus dikaukan proses evaporasi setalah perendaman dan dikhawatirkan masih meninggalkan sisa alkohol yang kurang baik untuk diaplikasikan pada produk pangan (Haris M., 2015). Pemilihan aquades sebagai pelarut dalam ekstraksi zat warna dapat menggantikan fungsi larutan organik atau etanol dan lebih aman digunakan untuk produk pangan. Berdasarkan hasil pengujian oleh Haris M. (2015a), kadar ekstrak antosianin tertinggi diperoleh melalui perebusan dengan pelarut aquades sebesar 25.02mg per 100gr bahan dibandingkan ekstraksi dengan metode maserasi menggunakan etanol 98%. Menurut Aryanti, N et al (2016) menyatakan bahwa metode ekstraksi maserasi yang dimodifikasi dapat meningkatkan konsentrasi ekstrak yaitu dengan penambahan penstabil NaHCO3 3%. Semakin banyak klorofil yang terekstrak maka warna cairan semakin pekat tetapi hal ini ini cocok bila diterapkan dalam pembuatan film secara langsung. Berdasarkan hasil penelitian Fitria E A. (2018), pembuatan label indikator warna secara basah
dengan ekstrak daun singkong (konsentrasi 25%) menghasilkan film berwarna hijau terang; film dengan pewarna alami menghasilkan warna yang pucat atau pudar akibat zat warna di dalamnya rentan terhadap suhu tinggi selama pengeringan; suhu tinggi dapat mendegradasi warna alami pada film yaitu pemanasan suhu 500c selama 24 jam (Haris M., 2015b; Warsiki dan Citra D., 2012). Berdasarkan
penelitian-penelitian
terdahulu,
penulis
tertarik
ingin
membuat Kemasan cerdas indikator warna dari ekstrak klorofil daun suji dengan berbagai konsentrasi ekstrak yang ditambahkan sehingga diharapkan memperoleh film indikator dengan kualitas dan sensitivitas yang baik. Pengujian sensitivitas film diterapkan secara langsung pada produk bolu kemojo yaitu pengaruh pada penyimpanan suhu ruang selama beberapa hari. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi penambahan ekstrak daun suji terbaik dalam menghasilkan film dengan sifat fisik dan sensitifitas terbaik sebagai kemasan cerdas indikator warna. 1.3 Hipotesis H0 :
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bolu Kemojo Bolu Kemojo adalah kue khas Pekanbaru yang terbuat dari terigu, santan, telur, margarin, pewarna dari daun pandan dan daun suji, garam dan vanili. Bolu Kemaksumojo memiliki bentuk menyerupai bunga kemboja dan rasa yang manis dan legit. Menurut Juliana R (2013), bolu kemojo memiliki kemiripan dengan kue tradisional bingka asal Kalimantan yang memiliki tekstur yang lembut, aroma wangi, rasa enak, warna agak gelap dan bentuknya bagus. Penamaan bolu kemojo karena memiliki rasa yang manis dan menyerupai bentuk bunga kamboja. Gusmiayarti (2012) menambahkan, bolu kemojo memiliki tekstur bagian dalam yang lembut dan tidak berpori-pori tetapi bagian luarnya sedikit kering. Pengemas biasa yang digunakan berupa plastik bening tipis (wrap). Menurut Purwadi dan Rosnita (2014), bolu kemojo merupakan salah satu produk unggulan yang memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan karena diminati oleh masyarakat. Bolu kemojo termaksud jenis makanan yang mudah rusak dikarenakan memiliki kadar air yang sedang.
Pengemasan biasa tidak
mampu menghambat terjadi kerusakan pada bolu kemojo sehingga umur simpannya sangat p endek yaitu sekitar 3-4 hari (Putri, 2010).
2.2 Label/Kemasan Cerdas Kemasan cerdas adalah sistem melekat sebagai label, yang dimasukan ke dalam kemasan, atau dicetak ke bahan kemasan untuk memantau kualitas produk (Kerry dan Butler 2008). Menurut Lestari (2013), kemasan cerdas adalah kemasan yang dapat mengawasi dan memberikan informasi tentang kualitas
produk terkemas. Prinsip kerja dari kemasan cerdas yaitu memberikan jaminan integritas, keamanan, dan kualitas produk yang digunakan melalui indikator seperti suhu, waktu, pewarna gas, penginderaan, dan indikator pertumbuhan mikroba, sehingga dapat memberi komunikasi kepada konsumen akhir mengenai kualitas produk. Contoh dari kemasan cerdas adalah Magic Ink yaitu memberikan indikasi perubahan warna jika ada perubahan suhu yang tidak diinginkan. Perubahan warna pada kemasan cerdas menjadi parameter pemberi informasi mengenai kualitas suatu bahan pangan. Kuswandi et al. (2011) menyatakan bahwa smart packaging merupakan sebuah sensor yang dapat memonitoring tentang kualitas dan keamanan pangan dan memiliki potensi besar dalam pengembangan sistem penginderaan baru yang terintegrasi dalam kemasan makanan. Salah satu pengembangan dari smart packaging adalah Time Temperature Indicator (TTI). TTI merupakan kemasan cerdas yang dapat menginformasikan jika terjadi kesalahan suhu selama penyimpanan produk dan juga menduga sisa umur dari produk pangan. Secara umum, kemasan ini hanya berupa plastik film yang disertai dengan indikator yang bekerja atau bereaksi terhadap waktu dan suhu penyimpanan dari lingkungan sekitar kemasan yang ada (Day 2008). Keluaran dari alat TTI adalah berupa perubahan atau pergerakan warna, atau kombinasi keduanya (Kerr dan Butler, 2008). Beberapa penelitian kemasan cerdas TTI berbasis pewarna alami yang banyak dilakukan, salah satunya oleh Fitria E A (2015), pembuatan label indikator warna dari campuran PVA dan khitosan (60:40) menggunakan ekstrak daun singkong (25%) secara langsung menghasilkan film dengan ketebalan 0.22mm
dan warna hijau terang. Film yang dihasilkan juga memiliki respon yang baik terhadap perlakuan penyimpanan yang diberikan pada suhu ruang, refrigerator dan cahaya dengan perubahan warnanya yang merupakan fungsi label dalam menginformasikan produknya. Namun film indikator warna ini belum dilakukan pengujian secara langsung pada produk makanan.
2.3 Polivinil Alkohol (PVA) Polivinil alkohol merupakan polimer sintetik yang mudah diuraikan secara biologi (biodegradable) dan suatu material non toksik (Sheftel, 2000). Polivinil alkohol merupakan suatu material yang dibuat melalui proses alkoholisis dari polivinil asetat. Polivinil alkohol memiliki sifat tidak berwarna, padatan termoplastik yang tidak larut pada sebagian besar pelarut organik dan minyak, tetapi larut dalam air bila jumlah dari gugus hidroksil dari polimer tersebut cukup tinggi (Harper dan Petrie 2003). Polivinil alcohol mudah diuraikan secara biologi (biodegradable) dan tidak beracun. Pada pengembangannya, polivinil alkohol sudah diaplikasikan dalam bidang kesehatan, pelapis bahan, bahan pembuat detergen, lem, serta pengemulsi (Hodgkinson dan Taylor 2000). Polivinil Alkohol adalah plastik yang paling penting dalam pembuatan film yang dapat larut dalam air. Hal ini ditandai dengan kemampuannya dalam pembentukan film, pengemulsi, dan sifat adesifnya. Polivinil alkohol memiliki kekuatan tarik yang tinggi, fleksibilitas yang baik, dan sifat penghalang oksigen yang baik (Ogur, 2005). Polivinil alkohol memiliki kuat sobek sebesar 147-834
N.mm-1.kuat tarik sebesar 44-64 MN.m-2 serta persen pemanjangan sebesar 150400%. Dengan karakteristik tersebut dan sifatnya yang mudah larut dalam air, polivinil alkohol dapat dibentuk menjadi kemasan plastik film yang biodegradable (Hodgkinson dan Taylor, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Warsiki et al. (2013), peneliti menggunakan PVA dan khitosan sebagai bahan dasar pembuatan film untuk label cerdas, perbandingan antara PVA dan khitosan sebanyak yaitu 60% PVA dan 40% khitosan telah layak dihasilkan film dengan karakteristik yang bagus secara visual. 2.4
Khitosan Khitosan adalah hasil dari proses deasetilasi khitin yang merupakan
komponen utama eksoskeleton dari kelas krustacea. Khitosan adalah kopolimer linier yang tersusun oleh 2000-3000 monomer D-glukosamin (GlcN) dalam ikatan β (1-4) yang terdiri dari 2-asetil-2-deoksi-D-glukopiranosa dan 2-amino2-deoksi-β-D-glukopiranosa (Prashanth dan Tharanathan, 2007). Kitin merupakan polimer dari 2-asetamido-2-deoksi-β-D-glukosa yang berikatan glikosidik 1-4 membentuk polimer linier dengan rantai panjang tanpa rantai samping (Purwanti dan Yusuf, 2013). Perbedaan struktur antara khitosan dan kiti dapat dilihat pada Gambar 1 berikut (Po et al., 2007) :
Gambar 1. Perbedaan struktur kimia khitin (a) dan khitosan (b) Khitosan mempunyai gugus amino bebas polikationik, pengkelat, dan pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat. Bila khitosan dilarutkan dalam asam maka khitosan akan menjadi polimer kationik dengan struktur linear sehingga dapat digunakan dalam proses flokulasi, pembentuk film atau imobilitas dalam berbagai reagen biologi termasuk enzim (Rinaudo, 2006). Pelarut kitosan yang paling banyak digunakan hingga saat ini adalah asam asetat dan asam formiat. Kedua asam tersebut adalah monoasam (hanya memiliki satu gugus karboksil), dan hanya berfungsi sebagai donor proton dalam larutan (Po et al., 2007). Pemanfaatan kitosan sebagai pengemas makanan banyak difungsikan untuk menggantikan peran dari kemasan plastic yang tidak ramah lingkungan dan kemampuan kitosan dalam memperpanjang umur simpan serta mencegah proses oksidasi yang dikatalis oleh logam bebas pada makanan. Menurut Nieto (2009), pada pH asam terjadi protonasi gugus –NH2 menjadi –NH3+ yang dapat berasosiasi dengan polianion untuk membentuk kompleks dan mengikat sisi anionic pada permukaan sel bakteri dan fungi. Bila pH diatas 4, kitosan dapat membentuk kompeks dengan pewarna dan logam berat. 2.5 Klorofil sebagai Indikator Warna Klorofil adalah pigmen hijau tumbuhan yang paling penting dalam proses fotosintesis. Klorofil terdapat dalam kloroplas bersama-sama dengan karoten dan
xantofil pada semua makhlup hidup yang mampu berfotosintesis (Astawan, 2008). Klorofil secara umum digologkan dalam pigmen non polar atau bersifat hidrofobik. Senyawa klorofil merupakan ester dan larut dalam pelarut organik serta cukup peka terhadap perubahan cahaya, temperature, pH dan oksigen serta bekerja secara stabil pada temperature kamar sampai 1000C dan pH netral (7-8) yang ditunjukkan dengan berwarna hijau terang (Prasetyo, 2012). Menurut Koca et al., 2006) Degradasi kimia yang utama terjadi pada klorofil adalah feofinitasi, epimerisasi, dan pirolisis, serta dengan hidroksilasi, oksidasi atau fotooksidasi, jika ada pengaruh sinar Bentuk structural dari klorofil seperti Gambar 2 berikut :
Gambar 2. Struktur klorofil (Srilakshmu, 2003) Klorofil secara structural merupakan porfirin yang mengandung cincin dasar tetrapirol yang berikatan dengan ion Mg2+. Cincin dasar isosilik yang kelima berada dekat dengan cincin pirol ketiga.
Sebagian besar klorofil berada
dalam dua bentuk yaitu klorofil-a dan klorofil-b (Prasetyo, 2012).
Menurut
Hermansyah (2012), klorofil-a memiliki rumus kimia C55H72N4O5Mg, sedangkan klorofil-b rumus kimianya yaitu C55H70N4O6Mg yang keduanya terdapat pada semua tumbuhan hijau dengan perbandingan 3:1. Klorofil-a berwarna hijau tua,
bersifat kurang polar dan berperan dalam penyusunan pusat reaksi untuk menerima energy cahaya yang akan diserap oleh antena pigmen, sedangkan klorofil-b berwarna hijau muda, bersifat lebih polar dan berfungsi dalam meneruskan cahaya yang diserap dan menyiapkan energy untuk digunakan dalam reaksi terang. Menurut Sedjati et al. (2012), Klorofil termaksuk pigmen non polar dan harus diekstrak dengan pelarut organik (methanol, etanol, aseton) sengan kepolaran tertentu. Penggunaan pelarut organik cocok digunakan dalam ekstraksi klorofil namun bila diaplikasikan pada produk makanan sebaiknya diekstrak menggunakan air. Menurut Putri et al. (2012) menyatakan bahwa ekstraksi klorofil daun suji dengan larutan ekstrak alcohol 85% dan aseton 85% memiliki daya ekstraksi pigmen klorofil yang lebih besar dibandingkan dengan air sebagai larutan pengekstrak. Peningkatan ekstraksi dengan pelarut air dapat dilakukan dengan memodifikasi metode ekstraksinya, Menurut Aryanti N et al. (2016); Srilakshmi (2003), Penambahan NaHCO3 sebesar 3% dapat meningkatkan konsentrasi dan kestabilan klorofil yang dihasilkan; senyawa NaHCO3 akan bereaksi dengan klorofil dan akan menggantikan gugus phytyl dan metal dan terbentuk klorofilin yang bersifat larut air.
III.
METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Analisis Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Riau, Pekanbaru. Penelitian ini akan dilaksanakan selama 1 bulan, yaitu bulan Maret hingga April 2019. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Kitosan, Polivinil Alcohol (PVA), gliserol 1%, aquades, NaHCO3, bolu kemojo, serta sumber pewarna klorofil yaitu daun suji (Pleomele angustifolia). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender sebagai alat penghalus,
centrifuse,
spektrofotometer
UV-Vis,
chromatometer,
oven,
homogenizer, cetakan film, magnetic stirrer, lagu takar, neraca analitik, pH meter, saringan, dan micrometer, serta pisau. 3.3 Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan secara eksperimental dengan rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RALF) terdiri dari dua faktor. Faktor 1 (konsentrasi ekstrak yang ditambahkan) terdiri dari 3 taraf, sedangkan faktor 2 (sensitifitas selama penyimpanan) terdiri dari 3 taraf dengan 3 kali ulangan, sehingga diperoleh 27 unit percobaan. Adapun perlakuan seperti tabel 1 berikut :
Tabel 1. Rancangan percobaan Jenis kemasan r Penyimpanan Suhu Ruang (Konsentrasi 1 Hr 3 Hr 5 Hr ekstrak) 1 0 % (kontrol) 2 3 Subtotal 1 20 %
2 3
SubTotal 1 25 %
2 3
SubTotal
Total
30 %
1 2 3
SubTotal 3.4 Pelaksanaan Penelitian 3.4.1 Ekstraksi klofil daun suji Proses ekstraki klorofil untuk memperoleh ekstrak daun suji pada penelitian ini menggunakan 2 metode yaitu metode perebusan dan metode maserasi termodifikasi. Tahap pertama yang dilakukan adalah mempersiapkan bahan atau daun suji yang masih segar, warna hijau pekat dan tidak rusak. Kemudian dibersihkan dari kotoran dengan air mengalir dan ditiriskan. Setelah permukaan bahan kering, dilakukan proses ekstraksi sesuai dengan metode yang digunakan : i) Metode penghancuran, bahan terlebih dahulu dipotong kecil-kecil dan ditimbang.
Kemudian, penghancuran dilakukan dengan menambahkan
larutan pengekstrak yaitu aquades (1:2) dan disaring dengan kain halus (60 mesh) (Fitria E A., 2015). ii) Metode Maserasi termodifikasi, bahan terlebih dahulu diblanching untuk menginaktifan kerja enzim klorofilase. Blancing dilakukan dengan merendam daun suji selama 1 menit pada aquades bersuhu tinggi (1000C), kemudian ditiriskan dan dipotong dengan ukuran 5-10 mm lalu dihaluskan. Penghalusan dilakukan dengan menambahkan pelarut aquades pada bahan dengan rasio (2:1) dan penstabil (NaHCO3) sebanyak 3% dengan kecepatan sedang selama 1 menit. Ekstrak tersebut kemudian dibiarkan selama 3 jam
pada suhu ruang (270C), lalu disaring menggunakan kain kasa (Aryanti N et al., 2016). 3.4.2 Pembuatan kemasan atau label indikator warna Pembuatan kemasan atau lebel indikator mengacu pada prosedur kerja Fitria E A. (2015) dan Nofrida et al. (2013), pembuatan label indikator dilakukan secara langsung atau mencampurkan ekstrak klorofil kedalam larutan film. Tahap pertama pembuatan larutan PVA 3% (b/v) dan larutan kitosan 3% (b/v) dengan menggunakan pelarut aquades. Kemudian dilanjutkan pembuatan larutan label dengan mencampurkan larutan PVA dan kitosan dengan rasio (60:40) (Perlakuan terbaik) dan ditambahkan gliserol 1% sebagai pemlastis (v/v), dan dihomogenisasi pada suhu 800C dengan kecepatan 60 rpm selama 5 menit.
Saat proses
homogenisasi berlangsung, dilakukan penambahan ekstrak klorofil sebesar 20%, 25% dan 30% dari volume larutan film. Kemudian dilakukan pencetakan dengan ukuran (5 x 5cm)2 dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 500C selama 30 jam. Diagram alir dapat dilihat pada lampiran 1. 3.4.3 Pengaplikasian dan pengujian sensitivitas kemasan pada produk Aplikasi label dilakukan terhadap produk bolu kemojo dan diujikan dalam kondisi suhu ruang dengan peningkatan hari. Aplikasi label pada bolu kemojo dilakukan dengan merekatkan label indikator pada permukaan bagian dalam kemasan bolu kemojo. Label indikator direkatkan dengan posisi ditengah dan berjarak 2 cm dari permukaan produk. Kemasan bolu kemojo yang digunakan adalah plastic wrap yang biasa digunakan sebagai bahan pengemasnya. Bolu kemojo yang telah dikemas dengan label indikator, disimpan pada suhu ruang (270 - 300C) selama 1, 3, 5 hari yang tidak terkena sinar matahari.
3.5 Pengamatan 3.5.1 Karakterisasi ekstrak klorofil Ekstrak yang diperoleh, dikarakterisasi dengan mengukur pH dan kadar total klorofil. Pengukuran nilai pH menggunakan pH meter yang dilakukan sesuai standar prosedur pemakaiannya. Hasil pembacaan skala atau angka tampilan pada pH meter merupakan hasil akhirnya. Pengukuran kadar total klorofil pada ekstrak mengacu pada prosedur kerja Gross (1991). Sejumlah ekstrak (1,5 ml) dicampur dengan 8,5 aseton 99.5%, kemudian dibiarkan selama 1 malam dalam refrigerator, kemudian disentrifuse pada 3000rpm selama 10 menit. Analisis kadar total klorofil dilakukan pengukuran langsung terhadap absorbansi pada gelombang 645 dan 663 nm. Berikut perhitungan kadar klorofil dilakukan dengan rumus : Kadar klorofil total(mg/L) = 20.0 A645.0 nm + 8.02 A663.0 nm Dimana : Kadar klorofil total meliputi klorofil a dan klorofil b dengan nilai absorbasi ekstrak pada panjang gelombang 645,0 nm dan 663,0 nm. Kadar klorofil dan nilai pH yang mendekati normal akan dipilih menjadi ekstrak yang akan digunakan dalam pembuatan label indikator. 3.5.2 Uji ketebalan film Pengukuran ketebalan film berdasarkan prosedur kerja Fitria E A. (2015), mulanya buka pengunci micrometer sekrup sehingga selubung dapat bergerak, kemudian letakkan film yang akan diukur di antara rahang. Titik uji ketebalan dapat dilihat pada gambar dibawah. Kemudian putar gigi geset pada selubung pemutar sampai terdengan suara “klik”. Hentikan pemutaran, lalu kunci kembali micrometer sekrup agar skala tidak berubah.
Baca skala utama apakah
menunjukkan satuan atau tengahan satuan. Baca skala nonius yang tepat segaris dengan skala utama. Hitung hasil pengukuran dengan cara menjumlahkan skala utama dengan skala nonius, kemudian jumlahkan atau kurangi dengan ketelitian mikrometer sekrup. Setelah menguji 5 titik yang berbeda, hasil tersebut di rataratakan. 3.5.3 Kuat rengang putus (tensile strength) dan persen pemanjangan (elongation) Uji kuat rengang putus dan persen pemanjangan ini megacu pada ASTM (1989), kuat tarik ditentukan berdasarkan beban maksimal pada saat film pecah, dan persentase pemanjangan didasarkan pada pertambahan panjang saat film pecah. Perhitungan persentase pemanjangan seperti berikut: Kuat Tarik = %E =
F A
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑢𝑡𝑢𝑠−𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑤𝑎𝑙
× 100%
Keterangan : F
= Gaya tarik (MPa)
A
= Luas contoh (cm2)
%E
= Persentase pemanjangan
Kuat tarik
= MPa
3.5.4 Analisis Warna Pengukuran warna mengacu pada prosedur Haris M (2015), pengukuran dilakukan menggunakan alat Colortex Colorimeter. Nilai yang terbaca pada alat antara lain nilai L, a, dan b (tingkat kecerahan). Intensitas warna ditunjukan melalui nilai Chroma yang dihitung dengan rumus sebagai berikut : C = √𝑎2 + 𝑏 2
ºH = tan-1 (b/a)
Keterangan : C = Chroma, menunjukkn intensitas warna sampel H = ºHue, menunjukkan warna sampel L = Tingkat kecerahan
a = merupakan warna campuran merahhijau b = merupakan warna campuran kuning-biru ºHue = parameter untuk kisaran warna
LAMPIRAN
Lampiran 1. Diagram Alir Pembuatan Film Indikator Warna Persiapan
PVA 15 gr dan 500ml aguades
PVA+ kitosan (60:40)
ditambah gliserol 1%
Penambaha n ekstrak
dihomogenkan
Pendinginan
Penuangan di plat kaca
Pengeringan 50ºC (oven) selama 24 jam
Pelepasan film dari cetakan
Film indikator
kitosan 15 gr, asetat 1% dan 50% aquades.