Proposal Skripsi.docx

  • Uploaded by: Ricky Boy
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Proposal Skripsi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,740
  • Pages: 45
HUBUNGAN LAMA MENDERITA DM DAN TINDAKAN PERAWATAN KAKI TERHADAP NILAI ANKLE BRACHIAL INDEX PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT Dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH DIDI SAPUTRA NIM PO.62.20.1.15.119

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALANGKA RAYA JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN 2019

1

2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (Ndraha, 2014). Diabetes melitus merupakan salah satu masalah kesehatan utama pada masyarakat yang mempunyai komplikasi jangka panjang dan pendek (Rahmaningsih, 2016). Diabetes tipe II ini adalah penyakit yang lama dan tenang dalam mengeluarkan tanda dan gejalanya sehingga banyak orang yang baru mengetahui dirinya terdiagnosa diabetes pada usia lebih dari 40 tahun (Novitasari, 2012). DM adalah penyakit kelompok gangguan metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah yang disebabkan oleh kurangnya insulin, ketidakmampuan insulin dalam bekerja atau keduanya. Klasifikasi DM dibagi dalam beberapa bagian yaitu DM tipe 1 (IDDM = Insulin Dependen Diabetes Melitus), DM tipe 2 (NIDDM = Non Insulin Dependen Diabetes Melitus), DM kehamilan dan DM yang berhubungan dengan kondisi lainnya. Diantara klasifikasi DM, DM tipe 2 paling banyak ditemui sekitar 90-95% dari pasien DM (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,2010). Menurut International Diabetes Federation (IDF), prevalensi diabetes melitus adalah 1,9% dan telah menjadikan DM sebagai penyakit penyebab kematian nomor tujuh di dunia. Pada tahun 2012 angka kejadian DM di dunia adalah 371 juta jiwa dimana proporsi DM tipe 2 adalah 95%.

3

Angka kejadian DM meningkat menjadi 382 juta jiwa pada tahun 2013 dan pada tahun 2035 diperkirakan meningkat menjadi 592 juta orang. Dari 382 juta orang tersebut, 175 juta orang belum terdiagnosis sehingga penyakitnya berkembang progresif dan terancam menjadi komplikasi tanpa disadari dan tanpa pencegahan (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Pada tahun 2015, Indonesia menempati peringkat ketujuh dunia untuk pravelansi penderitaa diabetes tertinggi di dunia bersama dengan China, India, Amerika Serikat, Brazil, Rusia dan Meksiko dengan jumlah estimasi orang dengan diabetes sebesar 10 juta (WHO 2016). Menurut data riskesdes 2018 angka kejadian Diabetes Melitus di Kalimantan Tengah yang di diagnosa oleh dokter memiliki prevalensi sebesar 1,6 % nilai ini meningkat jika dibandingkan pravelansi diabetes pada tahun 2013, yaitu sebesar 1,2 %. Kalimantan tengah berada diurutan ke 21 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia (Riskesdes 2018). Dikota Palangka Raya penyandang diabetesi yang datang dan berobat ke puskesmas meningkat cukup tajam dalam 6 tahun terakhir, jika pada tahun 2016 sebanyak 1.372 penderita dan pada tahun 2017 meningkat tajam sebanyak 3.228 (Profil Kesehatan Kota Palangka Raya 2017). Data yang diperoleh dari ruang rawat inap rumah sakit dr. Doris Sylvanus diruang Aster dan Bougenville tahun 2018 terdapat pasien penderita diabetes melitus yang melakukan rawat inap sebanyak 420 pasien, ruang Aster berjumlah 138 pasien dan di ruang bougenville 282 pasien (RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, 2018).

4

Lama sakit DM berhubungan dengan usia pertama kali penderita terdiagnosa Diabetes Melitus, semakin muda usia penderita terdiagnosa Diabetes Melitus maka semakin lama penderita akan menanggung sakit (Bertalina & Purnama, 2016). Price & Wilson (2005) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara lama menderita DM dan gangguan sirkulasi perifer,kadar gula di dalam darah yang tinggi secara terus menerus dapat merubah dan merusak jaringan pembuluh darah. Lama seseorang yang menderita diabetes melitus lebih dari 20 tahun dapat mempengaruhi nilai ABI yaitu <0,9 dengan nilai OR=1,54 yang berarti lama seseorang menderita diabetes melitus dapat berpengaruh terhadap nilai ABI sebesar 1,54 kali, dengan tingkat kepercayaan 95% (Escobedo et al, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Le Mone et al (2011) menyatakan bahwa semakin lama seseorang mengalami diabetes maka semakin besar risiko terjadinya komplikasi. Salah satu komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah diabetic foot ulcer yang merupakan manifestasi akhir timbulnya kelainan dari neuropati perifer, kelainan vaskular (Peripheral Arterial Disease) ataupun gabungan keduanya (Prompers et al., 2008). Penelitian yang dilakukan Permana (2016) didapatkan bahwa komplikasi muncul setelah penyakit berjalan 10-15 tahun karena lama menderita DM tipe 2 menyebabkan penumpukan glukosa dalam darah secara terus menerus yang mengakibatkan komplikasi. Lama menderita DM akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi vaskular (Mostaza et al., 2008).

5

Perawatan kaki merupakan upaya pencegahan primer terjadinya luka pada kaki diabetik. Tindakan yang harus dilakukan pada perawatan kaki untuk mengetahui adanya kelainan kaki secara dini, memotong kuku yang benar, pemakaian alas kaki yang baik, menjaga kebersihan kaki dan senam kaki. Hal yang tidak boleh dilakukan adalah mengatasi sendiri bila ada masalah pada kaki atau dengan penggunaan alat-alat atau benda yang tajam. Pasien perlu mengetahui perawatan kaki diabetik dengan baik sehingga kejadian ulkus gangren dan amputasi dapat dihindarkan (Tambunan, 2011). Perawatan kaki merupakan hal yang paling penting untuk pencegahan terjadinya ulkus kaki. Strategi pencegahan akan mengurangi terjadinya masalah pada kaki pasien yang menderita diabetes. Praktek perawatan kaki yang dapat mencegah kaki ulkus adalah dengan menjaga kebersihan kaki, melakukan perawatan pada kuku, perawatan kulit, pemeriksaan kaki dan penggunaan alas kaki (Begum et al., 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sihombing, Nursiswati, & Prawesti (2008) menyimpulkan bahwa perawatan kaki wajib dilakukan oleh setiap orang khususnya pada pasien DM karena sangat rentan dan membutuhkan waktu yang lama dalam proses penyembuhan apabila sudah terkena neuropati yang mengakibatkan ulkus pada kaki. Melakukan perawatan kaki secara teratur dapat mengurangi penyakit kaki diabetik sebesar 50-60%. Untuk meningkatkan vaskularisasi perawatan kaki dapat juga dilakukan dengan gerakan-gerakan kaki yang dikenal sebagai senam kaki diabetes (Black & Hawks, 2009;Smeltzer et al., 2010; Lewiset al., 2011).

6

Wahyuni, Arisfa (2016) pernah meneliti senam kaki diabetik efektif meningkatkan ankle brachial index pasien diabetes melitus tipe 2. Dari penelitian yang mereka lakukan disimpulkan bahwa pelaksanaan senam kaki diabetik dapat meningkatkan ABI pada pasien DM tipe 2. Dewi, (2016) pernah meneliti tentang hubungan aspek perawatan kaki dengan kejadian ulkus kaki diabetes di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, dan didapatkan hasil yang bermakna (p=0,02-0,03). Penelitian yang dilakukan Dewi, (2016) ini hanya melihat hubungan aspek perawatan kaki dengan kejadian ulkus (yang sudah menderita ulkus dan belum ulkus) dengan menggunakan kuesioner dan observasi apakah terdapat ulkus diabetes. Ankle brachial index adalah rasio tekanan darah sistolik pada pergelangan kaki dengan lengan. Pemeriksaan ini diukur dengan

posisi

terlentang

menggunakan

doppler

pada pasien

vaskuler

dan

sphygmomanometer. Tekanan sistolik diukur pada kedua lengan dari arteri brachialis dan di arteri tibialis posterior dan dorsalis pedis pada bagian tungkai kaki masing-masing (Al-Qaisi etal, 2009; Potier et al, 2011; Aboyans et al, 2008). Pemeriksaan ABI bertujuan menilai fungsi sirkulasi pada arteri kaki. Pemeriksaan ABI direkomendasikan oleh American Heart Association (AHA) untuk mengetahui proses aterosklerosis khususnya pada orang dengan risiko gangguan vaskuler yang berusia 40-75 tahun (Aboyans et al, 2012). Semakin rendah nilai ABI maka akan meningkatkan risiko tinggi penyakit vaskular. Nilai ABI diukur dengan cara mengukur rasio dari tekanan sistolik di lengan dengan tekanan sistolik kaki bagian bawah.

7

Tekanan darah tungkai akan lebih rendah dibandingkan dengan tekanan darah lengan pada pasien yang mengalami gangguan vaskular. Pasien dengan nilai ABI 0,41 sampai 0,90 diindikasikan berisiko tinggi luka di kaki dan perlu perawatan lanjut. Pasien yang diindikasikan mengalami kaki nekrotik, gangren, ulkus, dan borok akan didapatkan skor ABI ≤0,4 (Kirsner, 2010). Berdasarkan uraian latar belakang diatas peneliti akan melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan lama menderita DM dan tindakan perawatan kaki terhadap nilai Ankle Brachial Index pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 di RSUD dr.Doris Sylvanus. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat ”Hubungan Lama Menderita DM dan Tindakan Perawatan Kaki Terhadap Nilai Ankle Brachial Index (ABI) Pada Pasien Diabetes Melitus di Ruang Aster dan Bougenvile di rumah sakit dr. Doris Sylvanus Palangka Raya”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan lama menderita DM dan tindakan perawatan kaki terhadap nilai Ankle Brachial Index (ABI) pada

8

pasien diabetes melitus di ruang Aster dan Bougenvile di rumah sakit dr. Doris Sylvanus kota Palangka Raya. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui karakteristik responden berdasarkan usia dan jenis kelamin. b. Mengetahui karakteristik lama menderita DM. c. Mengetahui karakteristik tindakan perawatan kaki DM. d. Mengetahui karakteristik nilai ABI. e. Mengetahui hubungan lama menderita DM dengan nilai ABI. f. Mengetahui hubungan tindakan perawatan kaki dengan nilai ABI. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta menambah wawasan terkait Hubungan Lama Menderita DM dan Tindakan Perawatan Kaki Terhadap Nilai Ankle Brachial Index (ABI). 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Bagi

peneliti

diharapkan

mampu

menambah

pengalaman,

pengetahuan dan mampu mengaplikasikannya mengenai penelitian di bidang Keparawatan.

9

b. Bagi Pasien Bagi pasien diharapkan sebagai deteksi awal apakah pasien tersebut beresiko terjadi komplikasi pada kaki sehingga pasien dapat melakukan perawatan sehingga tidak terjadi komplikasi. c. Bagi Instiusi Kesehatan Dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dengan mengetahui apakah terdapat hubungan lama menderita DM dan tindakan perawatan kaki terhadap nilai ABI. d. Bagi Ilmu Pengetahuan Memberikan informasi ilmiah mengenai hubungan lama menderita DM

dan

perilaku

perawatan

kaki

terhadap

nilai

ABI.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus 1. Definisi Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (Ndraha, 2014). Diabetes melitus merupakan salah satu masalah kesehatan utama pada masyarakat yang mempunyai komplikasi jangka panjang dan pendek (Rahmaningsih, 2016). Diabetes tipe II ini adalah penyakit yang lama dan tenang dalam mengeluarkan tanda dan gejalanya sehingga banyak orang yang baru mengetahui dirinya terdiagnosa diabetes pada usia lebih dari 40 tahun (Novitasari, 2012). Menurut American Diabetes Asosiation (ADA) (2017), Diabetes melitus merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metaboli dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-dua nya (ADA, 2005 dalam Sidartawan, dkk 2009:19).

10

11

2. Klasifikasi Ada beberapa tipe DM yang berbeda, penyakit ini dibedakan berdasarkan penyebab, perjalanan klinis dan terapinya. Klasifikasi DM menurut (Guyton & Hall 2007), adalah : a) Diabetes Melitus Tipe 1 Insulin dependen diabetes melitus (IDDM) terjadi karena insulin yang diproduksi oleh sel pankreas (sel beta) mengalami kerusakan. Penderita DM tipe I memproduksi insulin sedikit sekali dan bahkan hampir tidak ada sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel-sel tubuh untuk digunakan sebagai energi. Infeksi virus atau kelainan autoimun dapat menyebabkan kerusakan sel beta pankreas pada banyak pasien diabetes tipe I, meskipun faktor herediter berperan penting untuk menentukan kerentanan sel-sel beta terhadap gangguan - gangguan tersebut (Guyton & Hall 2007). b) Diabetes Melitus Tipe 2 Non insulin dependen diabetes melitus (NIDDM) atau diabetes melitus tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin padadiabetes melitus tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Diabetes tipe II lebih sering dijumpai daripada tipe I, dan kira-kira ditemukan sebanyak 90% dari

12

kasus diabetes mellitus pada umumnya. Pada kebanyakan kasus onset diabetes melitus tipe II terjadi diatas umur 30 tahun, seringkali diantara usia 50 dan 60 tahun, dan penyakit ini timbul secara perlahanperlahan. Oleh karena itu sindrom ini sering disebut sebagai diabetes onset dewasa. Akan tetapi akhir-akhir ini dijumpai peningkatan kasus yang terjadi pada individu yang lebih muda, sebagian berusia kurang dari 20 tahun dengan diabetes melitus tipe II. Tren tersebut agaknya berkaitan terutama dengan peningkatan prevalensi obesitas, yaitu faktor risiko terpenting untuk diabetes melitus tipe II pada anak- anak dan dewasa (Guyton & Hall 2007) c) Gestasional Diabetes Melitus (GDM) Diabetes Gestasional terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap diabetes. Sekitat 50% pengidap kelainan ini akan kembali ke status non diabetes setelah kehamilan berakhir. Penyebab diabetes gestasional dianggap berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energi dan kader estrogen, hormon pertumbuhan yang terus menerus tinggi selama kehamilan. Hormon pertumbuhan dan estrogen merangsang pengeluaran insulin dan dapat menyebabkan gambaran sekresi berlebihan insulin seperti diabetes melitus tipe II yang akhirnya menyebabkan penurunan responsivitas sel. Hormon pertumbuhan memiliki beberapa efek anti insulin, misalnya perangsangan glikogenolisis (penguraian glikogen) dan penguraian jaringan lemak, semua faktor ini mungkin berperan menimbulkan hiperglikemia pada diabetes gestasional (Guyton & Hall 2007).

13

d) Diabetes Melitus karena penyebab lain 1. Sindrom diabetes monogenik, seperti neonatal diabetes, dan maturity-onset diabetes of the young (MODY). 2. Penyakit eksokrin pankreas, seperti fibrosis kistik. 3. Karena pengaruh obat atau zat kimia, seperti dalam penggunaan glukokortikoid, pengobatan HIV/AIDS atau paska transplantasi organ. 3. Etiologi a. Diabetes Tipe 1 Genetik Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetik ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya (Potter, 2005). Imunologi Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun, respon ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing (Potter, 2005). Lingkungan Lingkungan salah satu faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta.

14

b. Diabetes Melitus Tipe 2 Usia Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 30 atau 40 tahun (Corwin, 2001). Pola Makan Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh tubuh dapat memicu timbulnya DM tipe II, hal ini pankreas mempunyai kapasitas disebabkan jumlah/kadar insulin oleh sel maksimum untuk disekresikan. Oleh karena itu, mengkonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak diimbangi oleh sekresi insulin dalam jumlah memadai dapat menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat dan menyebabkan DM (Corwin, 2001). Faktor Genetik Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM orang tua. Biasanya, seseorang yang menderita DM mempunyai anggota keluarga yang juga terkena penyakit tersebut. Jika kedua orang tua menderita diabetes, insiden diabetes pada anak - anaknya meningkat (Corwin, 2001). 4. Manifestasi Klinis Menurut Brunner & Suddart (2005), tanda dan gejala atau manifestasi klinik yang muncul pada penderita DM diantaranya adalah: a. Poliuria Poliuria merupakan peningkatan pengeluaran urin dikarenakan ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,

15

mengakibatkan glukosuria yang disertai cairan dan elektrolit yang berlebihan (brunner, 2005). b. Polidipsia Polidipsia merupakan peningkatan rasa haus akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi eksternal. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otit danm ketidak mampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. Gangguan aliran darah yang dijumpai pada pasien diabetes lama juga berperan menimbulkan kelelahan (brunner, 2005). c. Polifagia Polifagia merupakan peningkatan rasa lapar, glukosa yang tidak bisa digunakan, akan menyebabkan menurunnya simpanan kalori, sehingga sel-selm kelaparan. Sering terjadi penurunan berat badan. Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa disekresi mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada penderita diabetes kronik (brunner, 2005). Gejala lain pasien DM meliputi kelelahan, penurunan berat badan, kelemahan perubahan penglihatan yang tiba-tiba, geli atau kebas pada tangan dan kaki, kulit kering, luka pada kulit atau luka yang lambat sembuh dan infeksi yang berulang (Lemone & Bare, 2008 dalam Ariani 2011:13).

16

5. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 a. Resistensi Insulin Transporter glukosa yang paling utama dan berperan pada jaringan otot dan jaringan lemak adalah Glucose transporter type 4 (GLUT-4). GLUT-4 normalnya didaur ulang diantara membran plasma sel dan simpanan intraselular. Translokasi GLUT-4 intraselular dirangsang oleh insulin, sebenarnya dimulai dari ikatan insulin kepada reseptor di bagian ekstraselular. Bila ada insulin, akan terjadi translokasi reseptor ke membran plasma yang akan menyebabkan peningkatan glukosa masuk ke dalam sel. Insulin akan berikatan dengan reseptor di ekstraseluler yang akan menyebabkan reaksi fosforilasi. Reaksi tersebut akan memfosforilasi protein intraseluler yaitu Insulin Reseptor Substrate-1 (IRS-1). IRS-1 memicu transpor glukosa transmembran. Tingginya kadar glukosa darah pada seseorang yang mengalami resistensi insulin maka akan menyebabkan terganggunya translokasi GLUT-4 dari intraseluler ke membran plasma (Raymond RT, 2016). b. Defisiensi Insulin Pada penderita diabetes, fungsi sel β yang abnormal dapat menyebabkan ketidakseimbangan insulin yang diproduksi dengan jumlah glukosa yang berlebihan setelah makan. Hal ini dapat menimbulkan hiperglikemi puasa. Apabila terjadi secara terus–menerus dapat menyebabkan komplikasi diabetes jangka panjang (Raymond RT, 2016).

17

6. Komplikasi Menurut Price & Sylvia (2003), komplikasi yang timbul dari diabetes melitus adalah : a. Akut Hipoglikemia Hipoglikemia adalah keadaan kilnik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa darah. Gejala ini ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dan kejang. Penyebabnya adalah obat-obat hipoglikemia oral golongan sulfoniluria, khususnya glibenklamid. Hipoglikemia juga bisa terjadi karena makan kurang dari aturan yang ditetukan. Berat badan turun, sesudah olahraga, sesudah melahirkan, sembuh dan sakit dan makan obat yang mempunyai sifat serupa. Hipoglikemik timbul bila glukosa darah kurang dari 50 mg/dl. Hiperglikemia Hiperglikemia adalah adanya masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului oleh stres akut. Tanda khas kesadaran menurunkan disertai dehidrasi berat. Ketoasidosis Diabetik (KAD) KAD merupakan ganguan metabolik yang mengancam hidup yang secara potensial akut yang terjadi sebagai akibat defisiensi insulin lama dikarakteristikan dengan hiperglikemia yang ekstrem (lebih dari 300 mg/dl). KAD dimanifestasikan sebagai status berlanjutnya patofisiologi oleh DM, pasien tampak sakit berat dan memerlukan intervensi darurat untuk mengurangi kadar gula darah dan memperbaiki asidosis berat, elektrolit dan

18

ketidakseimbangan cairan. Faktorfaktor pencetus KAD adalah obat-obatan (steroid, diuretik, alkohol), penurunan masukan cairan, kegagalan masukan insulin sesuai program, stres, emosi berat, kegagalan untuk mengikuti modifikasi diet. b. Kronik Penyakit Makrovaskular Penyakit

makrovaskular

adalah

karena

aterosklerosis,

terutama

mempengaruhi pembuluh darah besar dan sedang karena kekurangan insulin. Lemak diubah menjadi glukosa untuk energi. Perubahan pada sintesis dan katabolisme lemak mengakibatkan peningkatan LDL (Low Density

Lippoprotein)

okulasi

vaskuler

dari

arterosklerosis

dapat

menyebabkan penyakit arteri koroner. Penyakit vaskuler perifer dan penyakit serebral. Penderita DM dan kelainan makrovaskular dapat memberikan gambaran kelainan pada tungkai bawah. Baik berupa ulkus maupun gangren diabetik. Penyakit Mikrovaskular Penyakit Mikrovaskular lebih banyak mempengaruhi pembuluh darah kecil dan disebabkan oleh penebalan membran dasar kapiler dan peningkatan kadar glukosa darah secara kronis. Hal ini dapat menyebabkan diabetik retinopati, neuropati dan nefropati. 7. Pemeriksaan Penunjang Menurut Rochmah (2007), pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mengetahui seseorang menderita diabetes melitus adalah: Glukosa darah meningkat 100-200 mg/dl atau lebih, aseton plasma atau keton positif, asam

19

lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meningkat elektrolit,gas darah arteri : pH rendah dan penurunan pada HCO3 (asidosis metabolik), trombosit : Ht mungkin meningkat (dehidrasi), ureum/kreatinin : mungkin meningkat atau normal (dehidrasi/penurunan fungfi ginjal), insulin darah : mungkin menurun bahkan tidak ada (pada tipe I) atau normal sampai tinggi (pada tipe II), urin : gula dan aseton positif, berat jenis urin mungkin meningkat, kultur : kemungkinan adanya ISK (infeksi saluran kemih), infeksi pernapasan dan infeksi pada luka. Perkeni (2006) menetapkan kriteria diagnostik yang menyatakan DM adalah: kadar gula darah sewaktu (plasma vena) > 200 mg/dl, kadar glukosa darah puasa (plasma vena) > 126 mg/dl, kadar plasma > 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram. 8. Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan Umum a. Riwayat penyakit: ditanyakan kepada pasien berupa gejala yang dialami pasien, riwayat penggunaan obat yang mungkin mempengaruhi glukosa darah, faktor resiko (merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, riwayat keluarga), riwayat penyakit dan pengobatan, dan pola hidup. b. Pemeriksaan fisik: lakukan pengukuran tinggi dan berat badan, tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar tiroid, paru, dan jantung. Lakukan juga pemeriksaan kaki. c. Evaluasi laboratorium: HbA1c dan glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.

20

d. Penampisan komplikasi: dilakukan pada pasien yang baru saja terdiagnosis (Eliana, 2015). 2. Penatalaksanaan Khusus Non Farmakologi : a. Edukasi: promosi hidup sehat. b. Terapi Nutrisi Medis (TNM): pasien DM harus tau pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. c. Olahraga: jenis olahraga yang dianjurkan bersifat aerobik intensitas sedang seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Dilakukan secara teratur yaitu 3-5 hari seminggu selama 30–45 menit. Farmakologi : a. Obat Anti-hiperglikemia Oral: 1. Insulin secretagogue: memacu sekresi insulin. Contohnya yaitu sulfonilurea dan glinid. 2. Peningkat

sensitivitas

terhadap

insulin.

Contohnya

yaitu

metformin dan tiazolidindion (TZD). 3. Penghambat Glukosidase Alfa: menghambat absorbsi glukosa dalam usus halus. 4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV): saat kerja DPPIV dihambat maka GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi sehingga dapat meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon.

21

5. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2): menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal. Contohnya yaitu: canagliflozin, empagliflozin. b. Obat Antihiperglikemia Suntik 1. Insulin 2. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic: merangsang pelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia 3. Terapi Kombinasi: menggunakan dua macam obat yang cara kerjanya berbeda (Eliana, 2015). B. Penelitian Terkait Lama seseorang yang menderita diabetes melitus lebih dari 20 tahun dapat mempengaruhi nilai ABI yaitu <0,9 dengan nilai OR=1,54 yang berarti lama seseorang menderita diabetes melitus dapat berpengaruh terhadap nilai ABI sebesar 1,54 kali, dengan tingkat kepercayaan 95% (Escobedo et al, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Le Mone et al (2011) menyatakan bahwa semakin lama seseorang mengalami diabetes maka semakin besar risiko terjadinya komplikasi. Salah satu komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah diabetic foot ulcer yang merupakan manifestasi akhir timbulnya kelainan dari neuropati perifer, kelainan vaskular (Peripheral Arterial Disease) ataupun gabungan keduanya (Prompers et al., 2008). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sihombing, Nursiswati, & Prawesti (2008) menyimpulkan bahwa perawatan kaki wajib dilakukan oleh setiap orang khususnya pada pasien DM karena sangat rentan dan membutuhkan waktu yang lama dalam proses penyembuhan apabila sudah

22

terkena neuropati yang mengakibatkan ulkus pada kaki. Melakukan perawatan kaki secara teratur dapat mengurangi penyakit kaki diabetik sebesar 50-60%. Untuk meningkatkan vaskularisasi perawatan kaki dapat juga dilakukan dengan gerakan-gerakan kaki yang dikenal sebagai senam kaki diabetes (Black & Hawks, 2009;Smeltzer et al., 2010; Lewiset al., 2011). Wahyuni,

Arisfa

(2016) pernah meneliti senam kaki diabetik efektif

meningkatkan ankle brachial index pasien diabetes melitus tipe 2. Dari penelitian yang mereka lakukan disimpulkan bahwa pelaksanaan senam kaki diabetik dapat meningkatkan ABI pada pasien DM tipe 2. Penelitian yang dilakukan Permana (2016) didapatkan bahwa komplikasi muncul setelah penyakit berjalan 10-15 tahun karena lama menderita DM tipe 2 menyebabkan penumpukan glukosa dalam darah secara terus menerus yang mengakibatkan komplikasi. Lama menderita DM akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi vaskular (Mostaza et al., 2008). C. Lama Menderita DM Price & Wilson (2005) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara lama menderita DM dan gangguan sirkulasi perifer, kadar gula di dalam darah yang tinggi secara terus menerus dapat merubah dan merusak jaringan pembuluh darah. Lama seseorang yang menderita diabetes melitus lebih dari 20 tahun dapat mempengaruhi nilai ABI yaitu <0,9 dengan nilai OR=1,54 yang berarti lama seseorang menderita diabetes melitus dapat berpengaruh terhadap nilai ABI sebesar 1,54 kali, dengan tingkat kepercayaan 95% (Escobedo et al, 2010).

23

Penelitian yang dilakukan oleh Le Mone et al (2011) menyatakan bahwa semakin lama seseorang mengalami diabetes maka semakin besar risiko terjadinya komplikasi. Salah satu komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah diabetic foot ulcer yang merupakan manifestasi akhir timbulnya kelainan dari neuropati perifer, kelainan vaskular (Peripheral Arterial Disease) ataupun gabungan keduanya (Prompers et al., 2008). Penelitian yang dilakukan Permana (2016) didapatkan bahwa komplikasi muncul setelah penyakit berjalan 10-15 tahun karena lama menderita DM tipe 2 menyebabkan penumpukan glukosa dalam darah secara terus menerus yang mengakibatkan komplikasi. Lama menderita DM akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi vaskular (Mostaza et al., 2008). D. Perawatan Kaki DM Perawatan kaki adalah suatu tindakan yang dilakukan individu baik dalam keadaan kadar gula normal atau naik yang dilakukan secara teratur untuk menjaga kebersihan diri, terutama pada bagian kaki. Kaki adalah bagian paling sensitif pada penderita DM (Hidayat dan Nurhayati, 2014). Perawatan kaki merupakan upaya pencegahan primer terjadinya luka pada kaki diabetes (Soegondo, Soewondo dan Subekti, 2007). Tujuan perawatan kaki diabetes untuk mengetahui ada kelainan sedini mungkin, menjaga kebersihan kaki dan mencegah perlukaan di kaki yang dapat menimbulkan resiko infeksi dan amputasi (Damayanti, 2017). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sihombing, Nursiswati, & Prawesti (2008) menyimpulkan bahwa perawatan kaki wajib dilakukan oleh setiap orang khususnya pada pasien DM karena sangat rentan dan

24

membutuhkan waktu yang lama dalam proses penyembuhan apabila sudah terkena neuropati yang mengakibatkan ulkus pada kaki. Melakukan perawatan kaki secara teratur dapat mengurangi penyakit kaki diabetik sebesar 50-60%. Untuk meningkatkan vaskularisasi perawatan kaki dapat juga dilakukan dengan gerakan-gerakan kaki yang dikenal sebagai senam kaki diabetes (Black & Hawks, 2009;Smeltzer et al., 2010; Lewiset al., 2011). Wahyuni, Arisfa (2016) pernah meneliti senam kaki diabetik efektif meningkatkan ankle brachial index pasien diabetes melitus tipe 2. Dari penelitian yang mereka lakukan disimpulkan bahwa pelaksanaan senam kaki diabetik dapat meningkatkan ABI pada pasien DM tipe 2. 1. Masalah umum pada kaki DM Luka melepuh pada kaki akibat pemakaian sepatu yang sempit atau baru pada orang yang tidak diabetes adalah hal yang biasa, tetapi bagi orang diabetes luka tersebut akan menjadi masalah besar. Terdapat tiga alasan mengapa orang dengan diabetes lebih tinggi resikonya mengalami masalah kaki, yaitu: sirkulasi darah kaki dari tungkai yang menurun, berkurangnya perasaan pada kedua kaki, berkurangya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Adanya masalah tersebut pada kaki diabetes akan menimbulkan beberapa masalah yang umumnya terjadi antara lain: kapalan, mata ikan dan melepuh, cantengan (kuku masuk ke dalam jaringan), kulit kaki retak dan luka kena kutu air, kutil pada telapak kaki, radang ibu jari kaki atau jari seperti martil (Soegondo, Soewondo dan Subekti, 2007).

25

2. Cara perawatan kaki DM Seorang penderita DM harus selalu memperhatikan dan menjaga kebersihan kaki, melatihnya secara baik walaupun belum terjadi komplikasi. Jika tidak dirawat, dikhawatirkan suatu saat kaki penderita akan mengalami gangguan peredaran darahdan kerusakan saraf yang menyebabkan berkurangnya sensitivitas terhadap rasa sakit, sehingga penderita mudah mengalami cedera tanpa ia sadari (Hidayat dan Nurhayati, 2014). Tindakan yang harus dilakukan dalam perawatan kaki untuk mengetahui adanya kelainan kaki secara dini yaitu, menjaga kebersihan kaki, memotong kuku dengan benar, pemakaian alas kaki yang baik, dan senam kaki (Soegondo, Soewondo dan Subekti, 2007). Menurut World Diabetes Foundation (WDF) 2013, National Diabetes Education Program (NDEP) 2014, dan American Diabetes Association (ADA) 2014 penderita DM perlu melakukan perawatan kaki untuk mencegah terjadinya kaki diabetik. Beberapa cara melakukan perawatan kaki DM meliputi: a. Memeriksa Keadaan Kaki Setiap Hari 1. Inspeksi atau perhatikan keadaan kaki setiap hari. Periksa adanya luka, lecet, kemerahan, bengkak atau masalah pada kuku. 2. Gunakan kaca untuk mengecek keadaan kaki, bila terdapat tandatanda tersebut segera hubungi dokter. b. Menjaga Kebersihan Kaki Setiap Hari 1. Bersihkan dan cuci kaki setiap hari dengan menggunakan air hangat.

26

2. Bersihkan menggunakan sabun lembut sampai ke sela-sela jari kaki. 3. Keringkan kaki menggunakan kain bersih yang lembut sampai ke sela jari kaki. 4. Berikan pelembab pada kaki, tetapi tidak pada celah jari-jari kaki. Pemberian pelembab bertujuan untuk mencegah kulit kering. Pemberian pelembab pada celah jari tidak dilakukan karena akan berisiko terjadinya infeksi oleh jamur. c. Memotong kuku kaki dengan benar 1. Memotong kuku lebih mudah dilakukan sesudah mandi, sewaktu kuku lembut. 2. Gunakan gunting kuku yang dikhususkan untuk memotong kuku. 3.

Memotong kuku kaki secara lurus, tidak melengkung mengikuti bentuk kaki, kemudian mengikir bagian ujung kuku kaki.

4.

Bila terdapat kuku kaki yang menusuk jari kaki dan kapalan segera hubungi dokter.

d. Memilih alas kaki yang tepat 1. Memakai sepatu atau alas kaki yang sesuai dan nyaman dipakai. 2. Gunakan kaos kaki saat memakai alas kaki. Hindari pemakaian kaos kaki yang salah, kaos kaki ketat akan mengurangi atau mengganggu sirkulasi, jangan pula menggunakan kaos kaki tebal karena dapat mengiritasi kulit ataupun kaos kaki yang terlalu besar karena ukurannya tidak pas pada kaki. 3. Sepatu harus terbuat dari bahan yang baik untuk kaki/tidak keras.

27

e. Pencegahan Cidera 1. Selalu memakai alas kaki baik di dalam ruangan maupuan di luar ruangan. 2. Selalu memeriksa bagian dalam sepatu atau alas kaki sebelum memakainya. 3. Bila terdapat corns dan kalus di kaki gunakan batu pomice untuk menghilangkannya. 4. Selalu mengecek suhu air ketika akan membersihkan kaki. 5. Hindari merokok untuk mencegah kurangnya sirkulasi darah ke kaki. 6. Melakukan senam kaki secara rutin. 7. Memeriksakan diri secara rutin ke dokter dan memeriksa kaki setiap kontrol. f. Pertolongan Pertama Pada Kaki Yang Cidera 1. Jika ada luka/lecet, tutup luka/lecet tersebut dengan kasa kering setelah diberikan antiseptik di area yang cedera. 2.

Bila luka tidak sembuh, segera mencari tim kesehatan khusus yang ahli dalam menangani luka diabetes.

E. Ankle Brachial Index (ABI) Ankle Brachial Index (ABI) adalah salah satu cara untuk mendeteksi PAD. Pemeriksaan ABI sangat direkomendasikan pada individu yang beresiko terhadap PAD (Migliacci et al., 2008). Cara mengukur ABI yaitu dengan melihat rasio yang berasal dari tekanan darah sistolik pergelangan kaki (dorsalis pedis dan tibialis posterior) setiap kaki

28

kanan dan kiri lalu dibandingkan dengan lengan brakialis. Normalnya tekanan aliran darah di ekstremitas bawah sama atau sedikit lebih tinggi dengan tekanan aliran darah yang di lengan (Ilminova et al., 2015). Pemeriksaan ABI direkomendasikan oleh

American Heart

Association (AHA) untuk mengetahui proses aterosklerosis khususnya pada orang dengan risiko gangguan vaskuler yang berusia 40-75 tahun (Aboyans et al, 2012). Sebagai pemeriksaan penunjang, nilai ABI dapat dijadikan sebagai patokan untuk menentukan (Jusi, 2010): a. Penilaiain apakah amputasi perlu dilakukan b. Penilaian hasil pasca operasi secara objektif c. Penentuan berat ringannya kelainan pembuluh darah d. Penentuan apakah kelainan berasal dari kelainan saraf atau vaskuler 1.

Indikasi dan kontraindikasi ABI Adapun indikasi ABI adalah adanya gejala klaudikasio intermiten, Usia lebih dari 70 tahun, Usia lebih dari 50 tahun dengan riwayat merokok atau diabetes. Sementara kontra indikasi ABI adalah rasa sakit yang hebat pada ekstremitas bawah, adanya trombosis vena, dan nyeri hebat terkait luka pada ekstremitas bawah (Society, 2012).

2.

Perhitungan Nilai ABI Cara menghitung skor ABI yaitu dengan cara tekanan sistolik tertinggi pada ankle (arteri dorsalis pedis atau arteri tibia posterior) dibagi dengan tekanan sistolik tertinggi pada lengan (arteri brakialis) (Society, 2012). Rentang penilaian ABI dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

29

Tabel 2.1 Rentang Nilai ABI Nilai ABI 0,91-1,3

Keterangan Normal

0,41-0,90

Mid-Moderate Periferal Arterial Disease

0,00-0,40

Severa Periferal Arterial Disease

Skor ABI 0,41-0,90 mengindikasikan klien beresiko tinggi mengalami luka pada kaki dan perlu perawatan lebih lanjut. E. Kerangka Teori Diabetes melitus adalah penyakit gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Hiperglikemia yang terjadi pada pasien DM tipe 2 dapat menimbulkan komplikasi yaitu akut dan kronik. Komplikasi akut yang dapat terjadi adalah hiperglikemia dan hipoglikemia. Komplikasi kronik dapat menyebabkan gangguan mikrovaskular dan makrovaskular. Komplikasi makrovaskular yang biasa terjadi adalah trombosit otak dan PJK. Sedangkan komplikasi mikrovaskular yang dapat terjadi retinopati, neuropati, nefropati dan kelainan vaskular (Fatimah, 2015). Kerangka teori penelitian tersaji dalam gambar dibawah ini:

30

Gambar 2.1 Kerangka Teori Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya DM : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Kerutunan Obesitas/kegemukan Usia diatas 40 tahun Kurang aktivitas Stress Kehamilan hipertensi

Diabtes melitus

Penatalaksanaan DM:

Komplikasi DM:

1. 2. 3. 4.

1. 2. 3. 4. 5.

Edukasi Perencanaan makan Latihan jasmani farmakologi

Vasculopati Retinopati Hipoglikemia/Hiperglikemia Neuropati Nefropati

Lama menderita DM

Perawatan kaki DM/senam kaki diabetes

Ankle Brachial Index (ABI)

(Sumber Perkeni, 2011)

31

BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik korelatif dengan desain cross sectional yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan di mana variabel tergantung (efek) diobservasi sekaligus pada waktu yang sama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lama menderita DM dan tindakan perawatan kaki terhadap nilai Ankle Brachial Index (ABI) di ruang Aster dan Bougenville di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel satu dengan yang lainnya dan dikumpulkan secara simultan atau pada suatu waktu (point time approach) (Notoatmodjo, 2010). B. Kerangka Konsep Kerangka konsep Hubungan Lama menderita DM dan Tindakan Perawatan Kaki Terhadap Nilai Ankle Brachial Index (ABI) di Ruang Aster dan Bougenville RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. DM Tipe 2

Variabel Independen

Tindakan Perawatan kaki

Lama menderita DM

Ankle Brachial Index

Gambar 3.1 Kerangaka Konsep Penelitian

Variabel Independen

Variabel Dependen

32

C. Hipotesis Penelitian Terdapat hubungan lama menderita DM dan tindakan perawatan kaki terhadap nilai Ankle Brachial Index (ABI) di ruang bougenville dan aster di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. D. Definisi Operasional Adapun definisi operasional penelitian ini adalah: Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel

Alat ukur

Hasil ukur

yang pada dibawa

Kuesioner

1. = Laki-laki 2. = Perempuan

Nominal

Umur

Satuan untuk berdasarkan tahun yang mengukur waktu sejak lahir hingga sekarang.

Kuesioner

1. = < 30 tahun 2. = >30 tahun

Ordinal

Lama Menderita Dm

Rentang waktu pasien menderita DM tipe 2, dihitung mulai pertama kali terdiagnosis sampai dengan penelitian dijalankan.

Lembar observasi yang berisi nilai lama menderita DM dan catatan medis pasien

1. = >5 tahun 2. = ≤5 tahun

Ordinal

Tindakan Perawatan Kaki

Suatu kegiatan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan kaki dan merupakan upaya pencegahan kaki diabetik.

Kuesioner perawatan kaki

1. = Perawatan baik jika ≥ mean 2. = Perawatan tidak baik Jika < mean

Ordinal

Ankle Brachial index (ABI)

Pemeriksaan yang dapat menilai sirkulasi darah kaki klien DM melalui pemeriksaan tekanan sistole diekstrimitas kaki (ankle) dengan ekstrimitas atas (brachial)

Tensimeter, Arteri Dopller

1. = Normal (0,91-1,3)

Ordinal

Jenis kelamin

Definisi operasional Tanda fisik teridentifikasi responden yang sejak lahir.

ABI

Tekanan Sistole Ankle Tekanan Sistole Brachial

2. = Tidak Normal (0,4-0,9)

Skala ukur

33

E. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruang Aster dan Bougenville RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Maret-April 2019 pada pasien DM tipe 2. F. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita penyakit DM tipe 2 yang sedang melakukan rawat inap di ruang Aster dan Bougenville RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya. 2. Sampel Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek penelitian dan dianggapmewakili populasi (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik consecutive sampling yaitu, subyek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi. Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini berdasarkan rumus Lemeshow, et al (1997) untuk uji hipotesis beda proporsi dua sisi (two tail).

34

Rumus sebagai berikut : (𝑍1−𝛼/2 √2𝑃̅(1 − ̅̅̅ 𝑃) + 𝑍1−𝛽 √𝑃1 (1 − 𝑃1 ) + 𝑃2 (1 − 𝑃2 )2 𝑛= (𝑃1 − 𝑃2 )2 Keterangan : n : Besar Sampel α: Probabilitas kesalahan menolak Ho yang benar, ditetapkan 0.05 𝑍1−𝛼

: 1,96, tabel 2 arah

𝛽: Kesalahan gagal menolak Ho yang salah, ditetapkan 5% atau 0,5 1−β

: Power (kekuatan) studi, yaitu 80%

𝑍1−𝛽

: 0,84 (tabel)

𝑃1 : Proporsi nilai ABI normal pada lama DM < 6 tahun 50% 𝑃2 :Proporsi nilai ABI normal pada lama DM > 6 tahun 15% 𝑃1 − 𝑃2 :Presisi (Perbedaan minimal yang dianggap bermakna secara substansi, ditetapkan 55%-15%= 35% 𝑃 : (P1 + P2) / 2 = 65%/2 =32,5%

𝑛=

(1,96√2𝑥0,325(1 − ̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 0,325) + 1,28√0,55(1 − 0,55) + 0,1(1 − 0,1)2 (0,45)2

n = 27 sampel jumlah sampel tersebut dikalikan dua untuk mendapatkan jumlah sampel pada dua proporsi sehingga minimal sampel yang dibutuhkan menjadi sebanyak 54 sampel ditambahkan dengan 10% perkiraan drop out sehingga total 59 Sampel.

35

G. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untukpengumpulan data (Notoatmodjo,2010). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jenis instrumen sebagai berikut: 1. Instrumen untuk lama menderita DM menggunakan kuesioner lama menderita DM dan catatan rekam medik pasien. 2. Instrumen perawatan kaki yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupakuesioner dari Nottingham Assessment of Functional Footcare revised 2015 (NAFF) dan telah diuji validitasnya dan pernah dipakai oleh peneliti sebelumnya Sianturi Plores L tahun 2018 dengan judul penelitian “Hubungan Dukungan Keluarga DenganPerawatan Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus di Puskesmas Padang Bulan Medan”. Kuesioner perawatan kaki terdiri dari 20 pernyataan. Keseluruhan pernyataan merupakan pernyataan positif dengan rentang jawaban: tidak pernah;1, jarang; 2, sering; 3, selalu; 4. 3. Instrumen untuk pemeriksaan ABI menggunakan doppler vaskuler dan sphygmomanometer. Pemeriksaan ini diukur

pada pasien dengan

posisiterlentang. Tekanansistolik diukur pada kedua lengan dari arteri brachialis dan di arteri tibialisposterior dan dorsalis pedis pada bagian tungkai kaki masing-masing (Al-Qaisi etal, 2009; Potier et al, 2011; Aboyans et al, 2008).

36

H. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner perawatan kaki dan pengukuran nilai ABI menggunakan doppler vaskuler. Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti menerima surat izin pelaksanaan penelitian dari Poltekkes Kemenkes Palangkaraya. Pada saat pengumpulan data peneliti menjelaskan waktu, tujuan, manfaat, dan prosedur pelaksanaan penelitian kepada calon responden dan yang bersedia berpartisipasi diminta untuk menandatangani surat persetujuan sebagai

responden/informed

consent.

Responden

diminta

mengisi

kuesioner yang diberikan oleh peneliti. Selama pengisian kuesioner responden diberi kesempatan untuk bertanya pada peneliti bila ada pertanyaan yang tidak dipahami. Kemudian responden dilakukan pemeriksaan ABI untuk mengetahui nilai ABI pasien. Langkah-langkah pengambilan dan pengolahan data yang dilakukan dapat dilihat pada desain dibawah ini: 1. Prosedur Administrasi a. Peneliti mengajukan surat izin penelitian kepada Kaprodi D-IV Keperawatan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya. b. Pihak kampus memberikan surat pengantar ke Direktur rumah sakit dr. Doris Sylvanus Palangka Raya untuk memperoleh ijin pengambilan data dan melakukan studi pendahuluan. c. Direktur rumah sakit mengeluarkan surat izin penelitian keruang rawat inap Aster dan Bougenville

37

2. Prosedur Teknis a. Peneliti memberikan surat izin penelitian yang sudah ditanda tangan direktur rumah sakit dr. Doris Sylvanus Palangka Raya kepada kepala ruangan Aster dan Bogenville dan menjelaskan maksud dan tujuan penelitiannya. b. Peneliti melakukan studi pendahuluan/mengumpulkan data pasien DM yang pernah rawat inap tahun 2018. c. Peneliti menentukan calon responden yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan. d. Peneliti meminta persetujuan dan menjelaskan hal-hal yang akan dilakukan kepada responden. e. Menemui responden, responden setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian. I. Analisis Data dan Pengolahan Data 1. Analisa Data a. Analisa univariat, yaitu untuk mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Hasil analisa data penelitian yang dilakukan oleh peneliti akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel (Notoatmodjo,2010) b. Analisa bivariat adalah analisa yang dilakukan untuk menganalsisis hubungan dua variabel yang dapat bersifat simetris tak saling mempengaruhi, saling mempengaruhi, variabel satu mempengaruhi variabel lain. Analisis ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya

38

hubungan antara variabel independen (bebas) yaitu lama menderita DM dan tindakan perawatan kaki terhadap variabel dependen (terikat) yaitu nilai ABI. Analisis ini menggunakan analisa Chi-Square test, dengan p value ≤ 0,05 artinya ada hubungan signifikan secara statistik antara variabel independen dan variabel dependen, dan ≥ 0,05 yang artinya tidak ada hubungan signifikan secara statistik antara variabel independen dan dependen. 2. Pengolahan Data a. Editing (Memeriksa) Proses editing dilakukan setelah data terkumpul dan dilakukan dengan memeriksa kelengkapan dan kejelasan data, jika terdapat kekurangan dan segera dilengkapi b. Coding (Memberi Tanda Kode) Mengklarifikasi jawaban responden dengan cara menandai jawaban dengan kode tertentu. c. Tabulating Setelah selesai pembuatan kode selanjutnya dengan pengolahan data kedalam satu tabel menurut sifat-sifat yang dimiliki yang mana sesuai dengan tujuan penelitian ini dalam hal ini dipakai tabel untuk penganalisaan data. d. Aplikasi Data Aplikasi data merupakan uji statistik yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pada penelitian ini peneliti menggunakan bantuan aplikasi komputer.

39

J. Etika Penelitian Etika penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti, dan masyarakat yang akan mendapatkan dampak hasil penelitian tersebut. Etika penelitian termasuk juga perilaku peneliti terhadap subyek penelitian (Notoatmodjo, 2010). Ada empat prinsip dalam melakukan sebuah penelitian, yaitu: 1. Menghormati harkat dan martabat manusia ( respect for human dignity) Peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian untuk mendapatkan informasi tentang tujuan peneliti melakukan penelitian. Peneliti juga memberikan kebebasan kepada subjek untuk memberikn informasi atau tidak memberikan informasi (berpartisipasi). Peneliti menghormati harkat dan martabat subjek consent) yang mencakup: a. Penjelasan manfaat penelitian. b. Penjelasan

kemungkinan

risiko

dan

ketidaknyamanan

yang

ditimbulkan. c. Penjelasaan manfaat yang didapatkan. d. Persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan subjek berkaitan dengan prosedur penelitian. e. Persetujuan subjek dapat mengundurkan diri sebagai objek penelitian kapan saja. f. Jaminan anonimitas dan kerahasiaan terhadap identitas dan informasi yang diberikan oleh responden.

40

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respectfor privacy and confidentiality). Setiap orang mempunyai hak dasar individu termasuk privasi dan kebebasan individu dalam memberikan informasi. Setiap orang berhak untuk tidak memberikan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Oleh sebab itu peneliti, tidak menampilkan informasi mengenai identitas dan kerahasian identitas subjek. 3. Keadilan dan keterbukaan (respect for justice and inclusiveness). Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan kejujuran, keterbukaan, dan kehati-hatian. Untuk itu, lingkungan penelitian perlu dikondisikan sehingga memenuhi prinsip keterbukaan, yakni dengan menjelaskan prosedur penelitian. Prinsip keadilan menjamin bahwa semua subjek penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama, tanpa membedakan gender, agama, etnis, dan sebagainya. 4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benefits). Peneliti berusaha meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subjek. Oleh sebab itu, pelaksanaan penelitian harus dapat mencegah atau mengurangi rasa sakit, cedera, stress, maupun kematian subjek penelitian.

41

DAFTAR PUSTAKA Aboyans, V., Ho, E., Denenber, J.O., Ho, L.A., Natarajan, L., Criqui, M.H., 2008.The Association Between Elevared Ankle Sitolic Pressure and Peripheral Occlusive Arterial Disease in Diabetic and Non Diabetic Subjects. J VascSurg. 53: 984-991 Aboyans, V., Criqui, MH., Abraha, P., Allison, MA., Creager, MA., Diehm, C., Fowkes, FGR et al, 2012. Measurement and Interpretaton of the Ankle – Brachial Index. American Heart Association. 126: 28902909. Al-Qaisi, M., Nott, DM., King, DH., Kaddoura, S., 2009. Ankle Brachial Preasure Index (ABPI) : An Update for Practioness. VHRM. 5: 83341. American Diabetes Association. 2017. Standards of medical care in diabetes. [Diunduh 02 Januari 2019]. Tersedia dari:http://care.diabetesjournals.org. Ariani Yesi (2011). Hubungan Antara Motivasi Dengan Efikasi Diri Pasien DM Tipe 2 Dalam Konteks Asuhan Keperawatan DI Rsup. H. Adam Malik Medan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2018. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2018. Laporan Nasional 2018: 1–614 Begum Sheule, Wipawee Kong-in, Jaruwan Manasurakan, 2010. Knowledge and Practice of Prevention of Foot Ulcer Among Patients with Diabetes Mellitus. Diakses pada 20 januari 2019. www.libartsconference.psu.ac.th/.../008.pdf Bertalina, & Purnama. 2016. ‘Hubungan Lama Sakit, Pengetahuan, Motivasi Pasien dan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Diet Pasien Diabetes Mellitus’. Jurnal Kesehatan. vol.7, no.2.(hh.329-340) . Black, J. M., & Hawks, J. H. 2009. Medical Surgical Nursing Clinical Management For Positive Outcomes. (R. G. Carroll & S. Quallich, Eds.) (8th ed., Vol. 1). United Stated America: Saunders Elsevier. Brunner, Suddart. 2005. Keperawatan Medikal Bedah (Edisi delapan). Jakarta: EGC. Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC Damayanti, S. 2017. Diabetes melitus dan penatalaksanaan keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

42

Dewi, A. 2006. Hubungan aspek-aspek perawatan kaki diabetes dengan kejadian ulkus kaki diabetes pada pasien diabetes melitus. Dinkes Kota Palangka Raya. 2017. Profil Kesehatan Kota Palangka Raya Tahun 2017, 1–234. Eliana F. 2015. Penatalaksanaan DM sesuai konsensus PERKENI 2015. Satelit Simposium 6.1 DM Update Dan Hb1C: 1–7. [Diunduh 30 januari 2019]. Tersedia dari: http://www.pdui-pusat.com/wpcontent/uploads/2015. Escobedo, J., Rana, J.S., Lombardero, M.S., et al. 2010. Association Between Albuminuria and Duration of Diabetes and Myocardial Dysfunction and Paripheral Arterial Disease Among Patients With Stabel Coronary Artery Disease in the BARI 2D Study. Mayo Clin Proc. 85(1):41-46. Fatimah RN. 2015. Diabetes melitus tipe 2. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Juke Unila. 4: 93–101. Guyton, Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 15. Jakarta: EGC. Hidayat, R.A. & Nurhayati, I. 2014. Perawatan kaki pada penderita diabetes melitus di rumah. Jurnal Permata Indah Volume 5, Nomor 2, November 2014,hal. 49-54. Ilminova, Firsty, Nugroho, Heri K, Ismail A. 2015. Hubungan antara status diabetes melitus dengan status penyakit arteri perifer (PAP) pada pasien hipertensi. Medico. 4:7–29. International Diabetes Federation, 2013,Diabetes Atlas, sixth edition, ISBN: 2- 930229-85-3 Online version of Diabetes Atlas: www.eatlas.idf.org Jusi, H. Djang., 2010. Diagnosis Pada Penderita Kelainan Vaskuler, In: Dasar- Dasar Ilmu Bedah Vaskuler. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 21-36. Jusi, H. Djang., 2010. Sumbatan Arteri Menahun, In: Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskuler. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 109-136. Kementrian Kesehatan RI.2014. Waspada diabetes; eat well, life well. [Diunduh 30 januari 2019]. Tersedia dari:http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin. Kirsner RS. 2010. The standart of care for evaluation and treatment of diabetic foot ulcers. [Diunduh 30 januari 2019]. Tersedia dari: http://www.woundcarenurses.org/uploads.

43

Le Mone P, Burke K, Bauldoff G. 2011. Medical surgical nursing critical thinking in client care. Pearson Education. 1(4): 170-81. Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., Bucher, L., & Camera, I. M. (2011). Medical Surgical Nursing Assessment and Management of Clinical Problems (8th ed., Vol. 2). St. Louis Missouri: Elsevier Mosby. Mostaza, JM., Suarez, C., Manzano, L., 2008. Merito study group. Sub clinical vascular disease in type 2 diabetic subjects;relationship with cronic complication on diabetesand the presence of cardiovascular risk factor. Eur J Intern Med. 19:255-60. Migliacci R, Nasorri R, Ricciarini P, Gresele P. 2008. Ankle brachial index measured by palpation for the fiagnosis of peripheral arterial disease. Fam Pract. 4(25): 228–32.

Ndraha S. 2014. Diabetes melitus tipe 2 dan tatalaksana terkini. Medicinus. 27(2): 9–16. Novitasari, Retno, 2012, Diabetes Mellitus Dilengkapi Senam DM., Jogjakarta:Nuha Medika. Notoatmojo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Permana H. 2016. Komplikasi kronik dan penyakit penyerta pada diabetesi. Medical Care. [Diunduh 20 januari 2019]. Tersedia dari: http://pustaka.unpad.ac.id. Potier L, Abi Khalil C, Mohammedi K, et al. 2011. Use and Utility of Ankle Brachial Index in Patients with Diabetes. Eur J Vasc Endovasc Surg. 41(1):110-16. Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses & Praktek Edisi 4 Vol 1. Jakarta: EGC. Price & Wilson. 2005. Patofisisologi Konsep Klinis Proses- proses Penyakit Jilid 2 Ed 4. Jakarta: EGC. Price, Sylvia A, Wilson LM. 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis proses – proses penyakit edisi 6. Jakarta: EGC Prompers L, Huijiberts M, Schapes N, Apelqvist J, Bakker K, Edmonds M et al. 2008. Resource utilisation and cost associated with the treatment of diabetic foot ulcers. Diatabelogia. 51(10): 1826-34. Rahmaningsih BY. 2016. Hubungan antara nilai ankle brachial index dengan kejadian diabetic foot ulcer pada penderita diabetes melitus tipe 2 di

44

RSUD DR. Moewardi Surakarta [thesis]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. 1–19. Raymond RT. 2016. Patogenesis diabetes tipe 2: resistensi defisiensi insulin. Dexa Medica. [Diunduh 30 januari 2019]. Tersedia dari: https://www.researchgate.net. Rochmah, Wasilah. 2007.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI. RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. 2018. Laporan Pasien Rawat Inap RSUD Dr. Doris Sylvanus Tahun 2018, Palangka Raya.

Sihombing, D., Nursiswati, & Prawesti, A. (2008). Gambaran Perawatan Kaki dan Sensasi Sensorik Kaki Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Journal Of Student Padjajaran University, 1–14. Sidartawan Soegondo, dkk. (2009). Buku Penatalaksanaan Diabetes Melitus. Terpadu. Jakarta: FKUI. Society WO. 2012. Ankle brachial index. J Wound Ostomy Continence Nurs. 39 (25): 21–9.

Soegondo. S., Soewondo. P., Subekti. I. (2007). Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Smeltzer, S., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Textbook ofMedical-Surgical Nursing (12th ed.,Vol. 2). Philadelphia: Wolter Kluwer Health. Tambunan, M. 2011. Perawatan Kaki Diabetes, Dalam : Soegondo, S., Soewondo,P., Subekti, I., Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Trisnawati, 2013, Faktor risiko diabetes mellitus tipe 2 pasien rawat jalan di Puskesmas Wilayah Kecamatan Denpasar Selatan, Public Health and Preventive Medicine Archive, Volume 1, Nomor 1, Juli 2013 Wahyuni, A., & Arisfa, N. 2016. Senam Kaki Diabetik Efektif Meningkatkan Ankle Brachial Index Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Ipteks Terapan, 2, 155–164. https://doi.org/10.22216/jit.2016.v10i2.440. World Health Organization. 2016. 8-who2016-diabetes-facts-and-numbersindonesian.pdf Wild et al, 2004, Global Prevalence of Diabetes, Diabetes Care 27:1047– 1053,2004.

45

Zimmet, P. (2009) Preventing Diabetic Complication: A Primary Care Prospective, Diabetes Res Clin Pract 84:107-116.

Related Documents

Proposal
June 2020 38
Proposal
October 2019 60
Proposal
June 2020 41
Proposal
July 2020 34
Proposal
December 2019 58
Proposal
November 2019 62

More Documents from ""