PROPOSAL SKRIPSI I.
II.
NamaPeneliti
: Arfyanda Taufirachman
Semester/NIM
: VI/G0014041
Judul Penelitian
: Pengaruh Ekstrak Biji Srikaya terhadap
Index Plasmodium vivax secara in vivo pada mencit Galur Swiss III.
Bidang Ilmu
IV.
Latar Belakang
: Parasitologi
1. Malaria Malaria adalah penyakit menular endemik terutama didaerah tropis/sub-tropis, disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler genus plasmodium, dengan vektor nyamuk anopheles betina. Penyakit ini ditandai dengan demam tinggi paroksimal, menggigil, berkeringat, anemia dan splenomegali, yang pada beberapa kasus dapat menyebabkan kematian, terutama pada infeksi Plasmodium falciparum (Dorland, 2002). Di Indonesia plasmodium yang sering dijumpai adalah Plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertian dan Plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika. Plasmodium malariae pernah pula dijumpai tapi sangat jarang ( Harijanto, 2007). V. Rumusan Masalah
Apakah
ada
fitokimia
tanaman
herbal
Indonesia
sebagai
penghambat reseptor AT1 melalui metode molecular docking untuk pengembangan terapi hipertensi? VI. Tujuan Penelitian Menskrining
fitokimia
tanaman
herbal
Indonesia
sebagai
penghambat reseptor AT1 melalui metode molecular docking untuk pengembangan terapi hipertensi. VII. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat praktis : Memberikan data ilmiah mengenai interaksi fitokimia terhadap reseptor AT1 dan fitokimia apa saja yang bersifat antagonis terhadap reseptor AT1. 2. Manfaat teoritis : Menjadi dasar pengembangan kandidat obat baru atau obat alternatif yang dikombinasikan dengan terapi standar hipertensi. 1
VIII. Tinjauan Pustaka A. Hipertensi 1. Definisi Hipertensi merupakan keadaan peningkatan darah secara persisten pada pembuluh darah vaskular yang menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di dunia. Menurut JNC 8, hipertensi adalah suatu keadaan di mana tekanan darah sistolik ≥150 mmHg & diastolik ≥90 mmHg untuk umur ≥60 tahun serta sistolik ≥140 mmHg & diastolik ≥90 mmHg untuk umur <60 tahun dan ≥18 tahun dengan diabetes atau penyakit ginjal kronik (Kemenkes RI, 2014). Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan salah satu faktor penting sebagai pemicu tertinggi Penyakit Tidak Menular (Non Communicable Disease = NCD). Hipertensi menjadi faktor risiko terbesar terjadinya penyakit jantung koroner dan iskemia, serta berbanding lurus dengan kejadian stroke. Selain itu, gagal jantung, penyakit vaskular perifer, kerusakan ginjal, perdarahan retina, dan kerusakan visual merupakan komplikasi dari hipertensi (Kemenkes RI, 2014). 2. Epidemiologi Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2013, jumlah kematian di seluruh dunia akibat hipertensi sekitar 9,4 juta jiwa tiap tahun (WHO, 2013). Pada tahun 2025, diperkirakan satu miliar penduduk dunia menderita hipertensi (WHO, 2011). Prevalensi hipertensi di Indonesia hingga tahun 2013 sebesar 25,8% berarti sebanyak 65 juta lebih penduduk Indonesia memiliki penyakit hipertensi dengan jumlah penderita perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki (Kemenkes RI, 2014). Prevalensi hipertensi tertinggi di Bangka Belitung 30,9% dan terendah di Papua Barat 16,8%). Provinsi Bangka Belitung, 2
Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Barat, dan Gorontalo, merupakan provinsi yang mempunyai prevalensi hipertensi lebih tinggi dari angka nasional. Provinsi Bangka Belitung mempunyai prevalensi sebesar 30,9%, Kalimantan Selatan 30,8%, Kalimantan Timur 29,6%, Jawa Barat 29,4%, dan Gorontalo 29,4% Sedangkan di Jawa Tengah prevalensi hipertensi sebesar 26,4% (Kemenkes RI, 2014).
3. Gejala dan Komplikasi Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular yang bersifat silent killer karena gejalanya yang tidak khas, seperti sakit kepala/rasa berat di tengkuk, vertigo, jantung berdebar-debar, mudah lelah, penglihatan kabur, telinga berdenging (tinitus), dan mimisan atau dapat juga asimptomatis (Kemenkes RI, 2014). Oleh karena itu, hipertensi dapat berlangsung bertahun-tahun dan dapat menyebabkan komplikasi, seperti penyakit jantung, stroke, dan kerusakan ginjal yang bisa berakibat kematian. Hipertensi menyebabkan kematian 45% penduduk negara di dunia karena penyakit jantung koroner dan 51% karena penyakit stroke. Angka kematian akibat penyakit kardiovaskular ini diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3 juta jiwa hingga tahun 2030 (Kemenkes RI, 2014). 4. Patofisiologi Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS) sangat penting bila ada penurunan tekanan darah atau deplesi cairan atau garam. Reaksi pertama tubuh terhadap penurunan volume darah adalah terjadi peningkatan sekresi renin dari sel jukstaglomerular di arteriol aferen ginjal. Angiotensinogen adalah suatu α globulin yang disentesis dalam hati dan beredar dalam darah. Renin berfungsi mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I (AngI), 3
yang merupakan hormon yang belum aktif. Selanjutnya AngI akan diubah oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE) menjadi angiotensin II (AngII) (Nafrialdi, 2012). AngII merupakan hormon oktapeptida (Asp1-Arg2-Val3Tyr4-Ile5-His6-Pro7-Phe8) yang berperan sebagai efektor utama RAAS. Struktur molekular AngII (gambar 1) berupa struktur lipatan kompak dengan C-terminal dan N-terminal masing-masing mendekati 7.2 A˚. Rantai sisi Arg2, Tyr4, Ile5, dan His6 berorientasi pada salah satu sisi dari peptide backbone AngII, sementara Val3 dan Pro7 menunjuk ke arah yang berlawanan. Stabilisasi konformasi AngII berasal dari susunan rantai sisi Val3 dengan cincin Pro7 dan oleh kelompok hidrofobik yang disusun oleh Tyr4, Ile5, dan rantai sisi His6 (Tzakos et al., 2003). Efek fisiologis AngII setelah menempati reseptor AT1 menyebabkan vasokonstriksi, sekresi aldosteron, reabsorpsi natrium renal, aksi osmoregulasi sentral, termasuk sekresi hormon pituitari ke sirkulasi darah, dan stimulasi pertumbuhan pada berbagai tipe sel (Tzakos et al., 2003, Nafrialdi, 2012). (b)
(a)
Gambar 1. (a) Struktur 2D AngII (https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/) (b) Struktur 3D AngII : rantai biru terdiri atas Arg2, Tyr4, Ile5, dan His6; rantai kuning terdiri atas Val3 dan Pro7; rantai putih terdiri atas Asp1 dan Phe8 (Tzakos et al., 2003).
Ikatan AngII pada reseptor AT1 akan mengaktifkan fosforilase C (PLC) (gambar 2). PLC selanjutnya mengubah 4
fosfoinositol di fosfat (IP2) menjadi inositol trifosfat (IP3) dan diasil gliserol (DAG). IP3 menyebabkan mobilisasi kalsium dari retikulum sarkoplasma ke sitoplasma sehingga terjadi peningkatan kalsium di sitoplasma. Hal ini menyebabkan depolarisasi membran sel dan terbukanya kanal kalsium. Selanjutnya menjadi influks masif kalsium ke dalam sel dan menyebabkan kontraksi otot polos vaskular (vasokonstriksi). Efek ini merupakan mekanisme utama peningkatan tekanan darah oleh sistem renin angiotensin (Nafrialdi, 2012; Tulane University, 2016).
luar
dalam Penyimpanan Ca intraselular Fosforilasi protein
Respon : vasokonstriksi
Gambar 2. Pengaktifan fosforilase C (PLC) akibat ikatan AngII pada reseptor AT1 (Tulane University, 2016)
Pada
sistem
kardiovaskular,
AngII
menyebabkan
vasokontriksi arteriol dan venula serta meningkatkan kekuatan kontraksi miokard. Pada sistem neuro-endokrin terjadi stimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal yang menyebabkan retensi air dan natrium serta ekskresi kalium di ginjal. Selain itu, di tingkat sistem saraf pusat, AngII menyebabkan stimulasi rasa haus dan peningkatan sekresi hormon antidiuretik sehingga mempertinggi volume
cairan
dalam
sirkulasi
dan
memperkuat
efek
vasokonstriksi. AngII juga meningkatkan sekresi katekolamin dari ujung saraf simpatis dan menambah efek vasokonstriksi dan 5
stimulasi jantung. Semua ini akan berakibat peningkatan tekanan darah. Dalam jangka panjang AngII merangsang proliferasi sel otot polos pembuluh darah dan miokard serta memfasilitasi proses aterosklerosis (Nafrialdi, 2012). Peranan angiotensin II sangat penting pada system kardiovaskular dan homeostatis yang dapat mengaktifkan reseptorreseptor spesifik terutama angiotensin II tipe 1 (AT1) yang berlokasi di dalam pembuluh darah perifer dan otak. Pada patofisiologi hipertensi, aktivasi reseptor AT1 menyebabkan vasokonstriksi, retensi air dan garam, aktivasi neurohumoral, dan peningkatan produksi Reactive Oxygen Species (ROS). Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan darah. Oleh karena itu, perlu adanya terapi farmakologis yang berperan sebagai antagonis reseptor AT1 untuk menghambat terjadinya retensi air dan garam, vasokonstriksi, dan akibat lain yang ditimbulkan dari aktivasi reseptor AT1 (Nafrialdi, 2012). B.
Reseptor Angiotensin Angiotensin II adalah suatu oktapeptida yang merupakan komponen aktif dalam RAAS dan bekerja pada sistem kardiovaskular dan neuroendokrin. Dikenal dua jenis reseptor AngII, yaitu reseptor AT1 dan AT2, tapi yang paling berperan dalam efek fisiologis AngII adalah reseptor AT1 (Nafrialdi, 2012). Reseptor AT1 memiliki karakteristik seperti reseptor superfamili protein G berpasangan dengan berat molekul 41 kDa dan terdiri atas 359 asam amino (Oliveira et al., 2007; Miura et al., 2011). Bagian terminal struktur reseptor AT1 memiliki NH2 ekstraselular diikuti domain tujuh heliks transmembran yang terhubung dengan tiga ekstraselular dan tiga intraselular loop kemudian terhubung lagi dengan karboksil terminal (gambar 2). Daerah karboksil terminal kaya akan residu asam amino serin, treonin, dan tirosin (Oliveira et al., 2007). 6
Oleiveira et al. (2007) mengidentifikasi lokasi interaksi AngII terhadap reseptor AT1 sebagai berikut : 1. Asn111 mengikat peptida Tyr4 AngII. 2. His256A dan Phe259A mengikat His6 dan Phe8 AngII. 3. Asp281A dan Asp278A berinteraksi dengan peptida Arg2 AngII. 4. Muatan positif heliks V Lys199A menetralisasi kelompok COOHterminal karboksilat AngII. 5. Lys101A yang berlokasi di terminal heliks III, sebagian NH2terminal dari loop EC-2, Ser105A, Arg23A, His24A, Tyr26A, Ile27A, Thr88A loop EC1, dan Tyr92A juga berperan dalam pengikatan AngII (gambar 3). Dua ikatan rantai senyawa yang terdiri atas Arg2 AngII dengan residu Asp281 reseptor AT1 dan antara kelompok a-COOH dari Phe8 Ang II dan Lys199 residu AT1 penting untuk penempelan hormon ke reseptor. Namun, interaksi ikatan tersebut tidak berperan dalam aktivasi reseptor AT1. Interaksi yang penting untuk aktivasi reseptor AT1 adalah Phe8 Ang II dengan His256 reseptor AT1 dan antara Tyr4 Ang II dengan Asn111 reseptor AT1 (Miura et al., 2011). Pengaktivan reseptor AT1 oleh AngII menimbulkan terjadinya pensinyalan sel, yaitu aktivasi fosfolipase C dan pelepasan inositol fosfat dan Ca2+. Pensinyalan sel ini berlangsung hanya beberapa detik. Kemudian dilanjutkan dengan aktivasi mitogen-activated protein kinase yang berlangsung selama beberap menit. Jalur aktivasi reseptor dilanjutkan dengan pengaktivan Janus Kinase (JNK), transduktor sinyal, dan aktivator jalur transkripsi. Hasil akhir dari aktivasi reseptor AT1 ini adalah vasokonstriksi, regulasi elektrolit oleh tubuli renal, sekresi aldosteron, dan induksi sekresi adrenergik. Aktivasi reseptor AT1 juga dapat memicu hipertrofi sel-sel otot polos vaskular (Oliveira et al., 2007).
7
a)
b)
c)
Gambar 3. a) reseptor AT1 inaktif . b) reseptor AT1 yang teraktivasi oleh AngII (warna ungu). c) agonist site reseptor AT1 (Oliveira et al., 2007).
C.
Terapi Hipertensi 1. Terapi Non Farmakologis Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia adalah :
a. Penurunan berat badan dengan memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan. 8
b. Mengurangi asupan garam pada makanan cepat saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari. c. Olah raga secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/hari dan minimal 3 hari/minggu. d. Mengurangi konsumsi alkohol. e. Berhenti merokok dan menghindari asap rokok (PERKI, 2015).
2. Terapi Farmakologis Obat hipertensi yang digunakan saat ini adalah ACEI, ARB, Calcium channel blocker (CCB), dan tiazid. Pedoman tatalaksana hipertensi menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2015), seperti pada bagan 1. Obat-obat yang menjadi terapi hipertensi sebagai berikut : a. Diuretik tiazid Diuretik tiazid merupakan obat diuretik yang dapat menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah hulu tubulus distal, meningkatkan sekresi sodium dan volume urin, dan memiliki efek vasodilasi langsung pada arteriol (Gormer, 2007; Lyrawati, 2008). Efek samping tiazid adalah hipokalemia, hiponatremia, dan hipomagnesia. Penghambatan sekresi asam urat oleh tiazid juga dapat menyebabkan hiperurisemia sehingga penggunaan pada penderita gout harus hati-hati. Penggunaan tiazid juga dapat menyebabkan resistensi tubuh terhadap insulin sehingga meningkatkan risiko diabetes mellitus (DM) tipe 2. Efek samping lainnya yaitu dapat menyebabkan hiperlipidemia, peningkatan LDL dan trigliserida, serta penurunan HDL. Dilaporkan sebanyak 25% pria yang mengonsumsi tiazid
9
mengalami impotensi dan efek ini hilang setelah konsumsi tiazid dihentikan (Gormer, 2007; Lyrawati, 2008).
Mulai perubahan gaya hidup (Turunkan berat badan, kurangi diet garam dan alkohol, stop merokok)
Terapi medikamentosa (Pertimbangkan untuk tunda pada pasien stage 1 tidak terkomplikasi)
Stage 2 160/100
Stage 1 140-159/90-99 Umur ≥60 tahun
Umur <60 tahun
ACE-i atau ARB
Mulai terapi medikamentosa (Pada semua pasien)
Semua pasien
CCB atau Tiazid Mulai dengan 2 obat
Jika perlu tambahkan
Jika perlu tambahkan
CCB atau Tiazid
ACE-i atau ARB
Jika perlu
Jika perlu
CCB atau Tiazid + ACE-i atau ARB
Kasus khusus Penyakit ginjal Diabetes Penyakit koroner Riwayat stroke Gagal jantung
Jika perlu
CCB atau Tiazid atau ACE-i (atau ARB)
CCB atau Tiazid atau ACE-i (atau ARB)
Jika perlu, tambah obat lain mis. Spironolactone, agen kerja sentral, B blocker Jika perlu, rujuk ke spesialis hipertensi Bagan 1. Pedoman tatalaksana hipertensi oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2015)
b. Beta-Blocker Beta-Blocker bekerja menurunkan tekanan darah dengan menjadi penghambat beta-adrenoreseptor yang terdapat pada jantung, ginjal (reseptor beta-1), paru, pembuluh darah perifer, otot lurik (reseptor beta-2), dan otak. Penghambatan beta-adrenoreseptor dapat mencegah terjadinya peningkatan 10
tahanan perifer (vasokonstriksi) serta peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi urin. Yang termasuk golongan beta-blocker adalah bisoprolol, labetolol, acebutolol, carvedilol, dan celiprolol. Efek samping beta-blocker adalah bronkospasme, bradikardia, gangguan kontraktil miokard, gejala hipoglikemia pada penderita DM tipe, impotensi, peningkatan trigliserida serum, dan penurunan HDL (Gormer, 2007; Lyrawati, 2008). c. Calcium Channel Blocker (CCB) CCB berperan dalam efek penurunan influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini menyebabkan menurunnya kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung, serta memacu efek vasodilatasi. Terdapat tiga kelas obat golongan CCB : dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin), fenilalkalamin
(misalnya verapamil), dan benzotiazipin
(misalnya diltiazem). Efek samping CCB adalah pemerahan pada wajah, pusing, oedem pergelangan kaki, nyeri abdomen, mual, dan gangguan gastrointestinal termasuk konstipasi (Gormer, 2007; Lyrawati, 2008). d. Alpha-Blocker Alpha-Blocker diindikasikan pada hipertensi resisten. Obat yang termasuk alpha-blocker yaitu prazosin, terazosin, bunazosin,
dan doksazosin
(Nafrialdi,
2012).
Obat
ini
menghambat adrenoreseptor alpha-1 sehingga menimbulkan efek vasodilatasi. Efek samping obat ini dapat menyebabkan hipotensi postural (Gormer, 2007; Lyrawati, 2008). e. Golongan lain Antihipertensi vasodilator, misalnya hidralazin dan minoksidil, menurunkan tekanan darah dengan merelaksasi 11
pembuluh darah. Namun, obat ini dapat menyebabkan retensi urin. Antihipertensi kerja sentral, seperti klonidin, metildopa, dan monoksidin bekerja pada adrenoreseptor alpha-2 atau reseptor lain pada batang otak sehingga menurunkan aliran simpatetik ke jantung, pembuluh darah, dan ginjal yang efek akhirnya menurunkan tekanan darah. Namun, obat tersebut tidak spesifik atau selektif sehingga menimbulkan efek samping sedasi
dan
mulut
kering.
Sedangkan
metildopa
dapat
menyebabkan efek samping pada sistem imun, termasuk pireksia, hepatitis, dan anemia hemolitik (Gormer, 2007; Lyrawati, 2008). f. ACE inhibitor (ACEI) ACEI
juga
merupakan
kelompok
obat
yang
memodulasi RAAS (Rahmawan, 2009). ACEI menghambat secara kompetitif pembentukan AngII dari prekursor AngI inaktif yang terdapat pada jantung, darah, pembuluh darah, kelenjar adrenal, ginjal, dan otak sehingga terjadi vasodilatasi, penurunan sekresi aldosteron, serta aktivitas simpatis sentral dan perifer (Gormer, 2007; Lyrawati, 2008). Obat-obat yang tergolong ACE, yaitu captopril, lisinopril, perindopril, enalapril, ramipril,
quinapril, silazapril,
benazepril,
dan fosinopril
(Nafrialdi, 2012). ACEI menghambat degradasi bradikinin sehingga kadar bradikinin dalam darah akan meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi. Namun, penghambatan degradasi bradikinin tersebut menyebabkan peningkatan kadar bradikinin dalam darah sehingga dapat menimbulkan batuk kering (Gormer, 2007; Lyrawati, 2008; Nafrialdi, 2012). Selain batuk kering akibat degradasi bradikinin, efek samping ACEI adalah hiperkalemia karena penurunan produkasi aldosteron (Gormer, 2007; Lyrawati, 2008). 12
g. Angiotensin Receptor Blocker (ARB) Berdasarkan Eighth Joint National Committee (JNC 8) serta guideline-guideline lainnya seperti European Society of Cardiology (ESC); European Society of Hypertension (ESH); International Society for Hypertension in Black (ISHIB); Kidney Disease: Improving Global Outcome (KDIGO); dan National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE), ARB merupakan salah satu golongan obat yang digunakan sebagai terapi lini utama hipertensi terutama untuk hipertensi dengan diabetes atau penyakit ginjal kronik (James et al., 2014). ARB menurunkan tekanan darah dengan cara memblok RAAS melalui jalur antagonis reseptor AT1 sehingga menghambat semua efek angiotensin II seperti vasokonstriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf simpatis, efek sentral angiotensin II (sekresi vasopressin, rangsangan haus) stimulasi jantung, efek renal, serta efek jangka panjang berupa hipertrofi otot polos pembuluh darah dan jantung (Gormer, 2007; Lyrawati, 2008; Miura et al., 2011; Nafrialdi, 2012). Obat golongan ARB yaitu adalah losartan, kandesartan, valsartan, irbesartan, telmisartan, eprosartan, olmesartan, dan azilsartan (Nafrialdi, 2012). ARB memiliki efek yang baik dalam menurunkan tekanan darah, dapat ditoleransi dengan baik, dan efek proteksi terhadap organ-organ tubuh (Asmar, 2006). ARB tidak mempengaruhi
metabolisme
bradikinin
sehingga
tidak
menyebabkan efek samping batuk dan angioedema seperti yang sering terjadi dengan ACEI (Nafrialdi, 2012). Olmesartan merupakan salah satu obat standar ARB. Cara kerja olmesartan dengan berkompetisi dengan angiotensin II dalam menduduki domain ligan reseptor AT1 dengan afinitas ikatan yang lebih kuat daripada angiotensin II. Olmesartan mampu secara signifikan mampu menurunkan sistolik tekanan 13
darah dalam waktu 24 jam. Kemampuannya dalam menurunkan tekanan darah jauh lebih besar dibandingkan losartan dan valsartan (Miura et al., 2012). Namun, obat ARB masih memiliki kelemahan, seperti bioavailabilitas yang rendah, durasi aksi obat singkat, dan aktivitas agonis parsial terhadap reseptor AT1 (Miura et al., 2012). Selain itu, beberapa penelitian menyatakan bahwa obatobat ARB menyebabkan beberapa intoksikasi. Olmesartan dapat meningkatkan risiko kanker (American Society of Health-System Pharmacists, 2014) dan gangguan gastrointestinal, seperti atrofi vili usus
yang ditandai dengan gejala diare,
muntah,
hipokalemia, hipoalbuminemia, gagal ginjal, dan penurunan berat badan (Marthey L. et al., 2014). Selain itu, olmesartan juga berisiko tinggi terhadap terjadinya oligohidramnion sehingga meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas janin pada kehamilan trimester III (Briggs et al., 2011). Efek samping ARB secara
umum
sama
seperti
ACEI
yaitu
menimbulkan
hiperkalemia (Gormer, 2007; Lyrawati, 2008). D.
Struktur Molekular Angiotensin Receptor Blocker (ARB) RAAS memegang peranan penting pada patofisiologi hipertensi di mana AngII menjadi mediator utama dari RAAS dalam mengaktivasi reseptor AT1 sehingga menyebabkan terjadinya hipertensi, terutama pada hipertensi pada gagal jantung (Vangala et al., 2014; Billet et al., 2008). ARB merupakan kelompok obat hipertensi yang memodulasi RAAS dengan menjadi antagonis reseptor AT1(Vangala, 2014; Nafrialdi, 2012). Olmesartan memiliki gugus hidroksil pada cincin imidazol sebagai
tambahan
pada
gugus
karboksil
olmesartan
yang
menunjukkan potensi aktivitas antagonis. Aktivasi reseptor AT1 diinisiasi oleh rotasi anti-clockwise transmembran (TM) III dan VI 14
sehingga menyebabkan perubahan konformasi ikatan. Oleh karena itu, interaksi penting yang mengindikasikan aktivitas antagonis olmesartan terhadap reseptor AT1 (gambar 4) yaitu antara gugus hidroksil olmesartan dengan Tyr113 pada TM III reseptor AT1 serta antara gugus karboksil olmesartan dengan Lys199 dan His256 pada TM VI reseptor AT1. Gln257 reseptor AT1 juga penting untuk interaksi dengan gugus tetrazol olmesartan. Walaupun tidak berperan pada aktivitas antagonis, hilangnya interaksi antara gugus tetrazol dengan Gln257 akan melemahkan stabilitas ikatan olmesartan dengan reseptor AT1. Penempelan obat ini pada reseptor AT1 menyebabkan penghambatan efek Ang II sehingga dapat menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Olmesartan juga memicu regresi ventrikel kiri jantung yang hipertrofi serta menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit kardiovaskular, seperti gagal jantung atau hipertensi nefropati diabetik dengan proteinuria (Miura et al., 2006).
a.
c.
b.
15
Gambar 4. Interaksi olmesartan dengan reseptor AT1 (a) reseptor AT1 digambarkan dengan pita, sedangkan Tyr113, Lys199, His256, Gln257, dan olmesartan digambarkan dengan model batang. Notasi warna dari masing-masing pita heliks : TM I (biru), TM II (hijau), TM III (hijau muda), TM IV (kuning), TM V (jingga muda),TM VI (jingga), and TM VII (merah). Atom karbon olmesartan ditunjukkan dengan warna ungu. (b) Pembesaran tampilan interaksi olmesartan dengan reseptor AT1 (c) Gambaran skematis interaksi olmesartan dengan reseptor AT1. Ikatan hidrogen dan interaksi elektrostatis ditunjukkan dengan garis putus-putus (Miura et al., 2006).
E.
Fitokimia sebagai Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) Saat ini penggunaan bahan alam sebagai obat (biofarmaka) cenderung mengalami peningkatan dengan adanya isu backto nature dan krisis ekonomi yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat terhadap obat-obat modern yang relatif lebih mahal harganya (Rochayani, 2015). Fitokimia merupakan ilmu pengetahuan yang menguraikan aspek kimia suatu tanaman. Kajian fitokimia meliputi uraian yang mencangkup aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan disimpan oleh organisme, yaitu struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya, isolasi dan perbandingan komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis tanaman (Putranti, 2013). Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri komponen bioaktif suatu ekstrak kasar yang mempunyai efek racun atau efek farmakologis lain yang bermanfaat bila diujikan dengan sistem biologi atau bioassay (Putranti, 2013). Obat herbal dinilai aman dan memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan obat-obat farmakologi antihipertensi saat ini (Priya et al., 2011). WHO merekomendasikan penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan, dan pengobatan penyakit terutama penyakit kronis, penyakit degeneratif, dan kanker. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat obat 16
tradisional. Penggunaan obat herbal saat ini sudah meluas di banyak negara. Menurut WHO, negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer (Athiroh, 2012). Fitokimia
sebagai
metabolit
sekunder
secara
alami
terkandung dalam berbagai jenis tumbuhan, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, dan tanaman herbal. Senyawa fitokimia bisa dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan struktur kimianya, seperti flavone, flavanone, isoflavone, coumestans, lignans, dan catechins (Roland, 2014). Senyawa-senyawa ini memiliki kemampuan untuk menginduksi sistem enzim protektif manusia dan oleh berbagai studi epidemiologi menunjukkan efek protektif terhadap penuaan, penyakit kardiovaskular, kanker, serta penyakit neurodegeneratif, seperti Parkonson dan Alzheimer. Selain itu, juga memiliki fungsi biologis, seperti antialergi, antiviral, antiinflamasi, dan faktor vasodilatasi (Viranda, 2009). F.
Molecular Docking 1. Proses Penemuan dan Pengembangan Obat Baru Secara garis besar, proses penelitian dan pengembangan bahan baku obat terdiri atas tiga tahap : (1) tahap awal (primary stage) untuk mencari, mengidentifikasi, dan mengembangkan senyawa aktif baru sebagai kandidat calon obat (2) tahap pre-klinik untuk mengaji kemanjuran (efficacy) dan keamanan (safety) obat baru melalui hewan coba (3) tahap klinik untuk menentukan dosis, efektifitas, dan keamanan obat pada manusia. Bagian penting dalam tahap awal (primary stage) adalah bagaimana mempelajari hubungan antara struktur obat dengan aktivitasnya (structure activity relationship/SAR) sehingga pencarian senyawa aktif baru menjadi lebih terarah (Kardono, 2010).
17
Tahap awal (primary stage) penemuan obat diawali dengan proses identifikasi senyawa aktif baru melalui proses skrining dari banyak senyawa untuk mencari sifat biologis yang diinginkan (Kardono, 2010). Metode skrining pengembangan obat baru menggunakan High Troughput Screening (HTS) dan atau Virtual Screening (VS) (Kroemer, 2007; Meng et al., 2011). HTS merupakan skrining pengembangan obat dengan eksperimental sedangkan VS merupakan metode pengembangan obat dengan pendekatan teoretikal atau komputasional. Proses HTS dimulai dengan mengumpulkan berbagai senyawa yang mempunyai potensi obat dan diujikan pada objek penelitian untuk mengetahui aksi kerja obat pada target molekul (Polgar et al., 2011). Objek yang digunakan adalah
cell
models,
yaitu
sel-sel
yang sudah
dimodifikasi sehingga menyerupai kerja molekul target (Pratama, 2014). Namun, metode HTS membutuhkan waktu lama dan biaya yang mahal (Cheng et al., 2012). Dibandingkan HTS, VS merupakan metode skrining yang lebih cepat dan murah sehingga VS dapat menjadi metode pengganti HTS. Selain itu, senyawa aktif yang tidak terdeteksi (hasil negatif palsu) oleh skrining HTS dapat dideteksi oleh VS melalui skor docking (Kroemer, 2007; Meng et al., 2012). VS dapat diklasifikasikan menjadi ligand-based (LBVS) dan structure-based (SBVS) (bagan 2) (Meng et al., 2012; Sliwoski et al., 2013). Apabila molekul ligan aktif diketahui dan informasi struktur protein target
hanya sedikit atau belum diketahui, digunakan
metode LBVS yang meliputi pharmacophore modeling dan Quantitatif Structure Activity Relationship (QSAR) (Meng et al., 2011). Sedangkan apabila binding site protein target telah diketahui, metode yang digunakan adalah SBVS atau yang disebut molecular docking (Meng et al., 2011; Ferreira et al., 2015).
SBVS
Molecular 18 docking Ligan reseptor
Pharmacophore
kompleks liganreseptor
Bagan 2. Klasifikasi metode VS : SBVS dan
a. Definisi Molecular Docking LBVS (Sliwoski et al., 2013). Molecular docking merupakan metode yang digunakan untuk memprediksi orientasi ikatan suatu molekul dengan molekul lain ketika ikatan yang terbentuk berupa kompleks stabil. Molecular docking adalah perangkat yang aman dan mudah untuk membantu
meneliti,
menginterpretasi,
menjelaskan,
dan
mengidentifikasi struktur-struktur molekul menggunakan struktur 3D (Mukesh dan Rakesh, 2011). Fokus dari molecular docking adalah
mensimulasikan
proses
pengenalan
molekul
secara
komputasi dan merupakan proses untuk mencari ligan yang secara geometrik dan energetik dapat sesuai pada binding site protein (Mukesh dan Rakesh, 2011). Molecular docking terdiri atas beberapa langkah : a.
Preparasi molekul target. Preparasi target terdiri atas penambahan atom hidrogen, eliminasi molekul air, penetapan bagian tautomerisasi dan protonasi yang benar dari binding site residu, dan penghitungan muatan parsial (Ferreira et al., 2015).
b.
Seleksi database senyawa. Langkah penting selanjutnya adalah preparasi koleksi molekul senyawa. Biasanya molecular docking menggunakan senyawa dalam jumlah besar. Langkah
19
selanjutnya adalah database senyawa yang sudah disiapkan didocking-kan pada binding site target (Ferreira et al., 2015). c.
Proses docking. Molekul kecil seperti ligan akan berinteraksi dengan reseptor spesifik. Kemudian interaksi, afinitas ikatan, dan konformasi dari kompleks ligan-reseptor tersebut dapat diprediksi dalam proses docking ini (Ferreira et al., 2015).
d.
Analisis post-docking. Analisis post-docking dilakukan untuk memutuskan senyawa yang akan diprioritaskan. Algoritma konformasi memeriksa energi ikatan masing-masing senyawa dan senyawa dengan skor ikatan yang tinggi dipilih sebagai ligan yang berpotensi. Visualisasi
kompleks ligan-reseptor
yang telah didocking sangat berguna untuk analisis ini (Ferreiraet al., 2015). Salah satu aspek penting dari molecular docking adalah mengalkulasi energi ikatan ligan-reseptor yang didocking. Biasanya kalkulasi dan evaluasi energi ikatan dalam proses molekular docking dibantu oleh fungsi scoring (Mukesh dan Rakesh, 2011). Fungsi scoring digunakan untuk memprediksi besar energi bebas pada ikatan reseptor-ligan sehingga dari proses docking didapatkan urutan senyawa-senyawa berdasarkan kekuatan ikatan protein yang dikandungnya terhadap reseptor targetnya (Lionta et al., 2014). Fungsi scoring pada proses molecular docking sangat penting karena scoring dapat memeriksa tempat ikatan ligan secara efisien sehingga fungsi scoring dapat digunakan untuk mengevalusai afinitas ikatan (Cheng et al., 2012). Oleh karena tujuannya adalah untuk mencapai kesesuaian antara protein dengan ligan, molecular docking membantu dalam studi interaksi obat dengan reseptornya melalui identifikasi situs aktif yang sesuai pada protein, memperoleh struktur geometri komplek ligan-reseptor paling baik, dan menghitung energi interaksi pada ligan-ligan yang berbeda untuk mendesain ligan 20
yang lebih efektif (Mukesh dan Rakesh, 2011). Metode docking dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa software seperti AutoDock, AutoDock Vina, GOLD, Glide, FTDOCK, QXP, dan FlexX (Trott dan Olson, 2010; Sousa et al., 2013). 2. Kriteria Rule of Five Lipinksi Keberhasilan terapi obat tergantung pada absorpsi yang baik di intestinal. Proses absorpsi obat oleh intestinal dipengaruhi oleh fungsi fisiologis traktus gastrointestinal serta sifat biokimia dan fisika epitel barier (Volpe et al., 2010). Selain itu, sifat fisikokimia obat, terutama solubilitas obat, juga berperan penting dalam proses absorpsi obat (Volpe et al., 2010; Elder et al., 2013). Lipinski memiliki konsep ‘rule of five’ untuk menggambarkan kriteria sifat fisikokimia obat yang sangat berpengaruh terhadap proses absorpsi obat. Kriteria rule of five Lipinski ini telah digunakan secara luas untuk penapisan senyawa dalam penemuan dan pengembangan obat baru (Volpe et al., 2010). Kriteria rule of five Lipinski, yaitu : 1) Berat molekul kurang dari 500 Da. 2) Koefisien logaritmik untuk perbandingan oktanol dan air pada senyawa kurang dari 5 (log P<5). 3) Ikatan hidrogen donor kurang dari 5. 4) Ikatan hidrogen reseptor kurang dari 10 (Lipinski, 2004; Elder et al., 2013).
3. AutoDock Vina AutoDock Vina merupakan software yang dikembangkan oleh Molecular Graphics Lab untuk kegiatan penapisan virtual dan molecular docking. Pemilihan perangkat lunak ini bersifat open source sehingga mudah diakses. Pemilihan jenis atom untuk pemetaan, kalkulasi peta, pemilihan parameter, dan pengelompokan 21
hasil tidak diperlukan lagi. AutoDock Vina dapat meningkatkan akurasi dan secara otomatis mengkalkulasi hasil pemetaan serta mengelompokkannya (Trott dan Olson, 2010). AutoDock Vina dalam proses docking menggunakan scoring function gabungan dari knowledge-based potentials dan empirical scoring functions. Scoring function ini bekerja dengan mengutip keterangan empiris dari kedua pilihan konformasi kompleks liganreseptor dan ukuran afinitas eksperimen. Sedangkan algoritma optimisasi yang digunakan adalah Metropolis criterion. Kalkulasi pada
AutoDock
Vina
dilakukan
secara
multithreading
yang
memungkinkan hardware bekerja secara paralel dan pembagian memori bersama (Trott dan Olson, 2010).
4. PyRx PyRx merupakan software yang dikembangkan oleh Molecular Graphics Laboratory, The Scripps Research Institute yang berfungsi dalam membantu proses penapisan virtual pada database senyawa. PyRx memungkinkan pengguna untuk menjalankan penapisan virtual dan membantu penggunanya dalam setiap tahap. Tahapan yang dapat dilakukan menggunakan software ini mencakup preparasi data ligan dan makromolekul, melakukan kalkulasi, serta analisis hasil (Dallakyan, 2009). PyRx terintegrasi dengan beberapa program seperti AutoDock4.0, AutoDock Vina, AutoDock Tools, Python, wxPython, dan Open Babel. AutoDock 4.0 dan AutoDock Vina berfungsi sebagai software molecular docking. AutoDock Tools berfungsi membuat data masukan. Python berfungsi sebagai bahasa pemrograman. WxPython sebagai graphical user interface lintas platform dan alat visualisasi. Open Babel digunakan untuk mengubah format data *.sdf, *.mol, dan *.pdb menjadi bentuk data *.pdbqt (Wolf, 2009).
22
23
24
X.
HIPOTESIS Terdapat fitokimia tanaman herbal Indonesia sebagai penghambat reseptor AT1 melalui metode molecular docking untuk pengembangan terapi hipertensi.
XI. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian bioinformatika yang menganalisis ikatan reseptor AT1 dengan beberapa fitokomia tanamantanaman herbal Indonesia. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) pada bulan September hingga Oktober 2016. C. Subjek Penelitian 1. Struktur 3D reseptor AT1 Struktur reseptor 3D AT1 yang merupakan target penelitian diunduh dari Protein Data Bank (http://www.rcsb.org/pdb) dengan kode PDB IB : 4ZUD. 2. Struktur 3D fitokimia tanaman herbal Indonesia Struktur 3D fitokimia tanaman herbal Indonesia yang dijadikan subjek penelitian adalah yang memenuhi kriteria inklusi : a. Senyawa fitokimia dalam tanaman herbal Indonesia yang sudah terdaftar di database tanaman herbal Indonesia (HerbalDB) dan memiliki kode IDpubchem NCBI. b. Senyawa fitokimia memenuhi kriteria Lipinski’s rule of five, yang terdiri atas : 1) berat molekul kurang dari 500 Da; 2) koefisien logaritmik untuk perbandingan oktanol dan air pada senyawa kurang dari 5 (Log p<5); 3) ikatan hidrogen donor kurang dari 5; dan 4) ikatan hidrogen akseptor kurang dari 10 (Lipinskiet al., 2001).
25
3. Struktur 3D olmesartan Struktur 3D olmesartan merupakan struktur 3D obat standar ARB yang diunduh database ZINC (http://www.zinc.docking.org) dengan kode akses zinc14294279. D. Instrumen Penelitian 1.
Hardware: PC Laptop Toshiba yang diproduksi oleh perusahaan Toshiba Corporation pada tahun 2010 dengan spesifikasi minimal: a. Processor Intel® Core(TM) CPU M350 @2,27 GHz. b. RAM 3 GB. c. VGA Intel® HD Graphics. d. Screen 13” 1366 x 768 pixel.
2.
Software: a. Sistem Operasi Windows 7 32 bit Windows 7.0 32 bit merupakan software sistem operasi komputer versi 7.0 yang diproduksi pada tahun 2009 oleh perusahaan Microsoft Windows. Software ini bisa diunduh melalui website http://windows.microsoft.com. b. PyRx 0.8 PyRx versi 0.8 merupakan software yang digunakan untuk mencari obat baru secara komputasi. Software yang diproduksi pada tahun 2010 di California ini dapat diunduh secara gratis melalui website http://pyrx.sourceforge.net. c. Hex 8.0.0 Hex versi 8.0.0 merupakan software docking yang dapat diunduh secara gratis di http://hex.loria.fr. d. MGLTools 1.5.6 MGLTools versi 1.5.6 merupakan software yang digunakan untuk menentukan grid box selama proses docking. Software
ini
dapat
http://mgltools.scripps.edu. 26
diunduh
secara
gratis
di
e. Chimera 1.10 Chimera
versi
1.10
merupakan
software
yang
digunakan untuk preparasi protein target dan dapat diunduh secara gratis http://cgl.ucsf.edu/chimera. f. Pymol 1.7.2 Pymol versi 1.7.2 merupakan software yang digunakan untuk visualisasi hasil docking dang dapat diunduh secara gratis di http://pymol.org. E. Cara Kerja 1.
Melakukan Penapisan Fitokimia Menggunakan Kriteria Lipinski’s Rules of Five Sebelum melakukan proses molecular docking, perlu dilakukan pencarian daftar fitokimia yang terkandung dalam tanaman herbal Indonesia. Daftar fitokimia dapat diperoleh dari HerbalDB (http://www.herbaldb.farmasi.ui.ac.id). Fitokimia yang digunakan adalah yang memiliki kode ID Pubchem NCBI. Kode ID tersebut dimasukkan ke mesin pencari Pubchem NCBI untuk mendapatkan informasi mengenai fitokimia tersebut, seperti berat molekul, koefisien logaritmik, ikatan hidrogen donor, dan ikatan hidrogen
akseptor.
Informasi
fitokimia-fitokimia
tersebut
kemudian dicocokkan dengan kriteria Lipinski’s rules of five. Struktur
3D
fitokimia-fitokimia
yang
memenuhi
kriteria
Lipinski’s rules of five dapat diunduh dari Pubchem NCBI. 2.
Mengunduh Struktur 3D Reseptor AT1, Olmesartan, dan Fitokimia Tanaman Herbal Indonesia Data virtual reseptor AT1 yang berbentuk 3D dapat diunduh di Protein Data Bank (http://www.rscb.org/pdb/) dengan PDB ID : 4ZUD. Struktur 3D olmesartan dapat diunduh di Zinc Database (http://zinc.docking.org/) dengan kode ZINC95619103. Sedangkan, data virtual fitokimia tanaman herbal Indonesia dalam
27
bentuk
3D
dapat
diunduh
di
Pubchem
NCBI
(http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/). 3.
Mempersiapkan Struktur 3D Reseptor AT1 Struktur 3D reseptor AT1 yang diperoleh dari Protein Data Bank dengan kode PDB ID : 4ZUD belum bisa langsung digunakan karena masih berikatan dengan ligan-ligan unstandard. Ligan-ligan unstandard dipisahkan dari reseptor AT1 dengan menggunakan program AutoDock Tools 1.5.6. Selanjutnya reseptor AT1 dipisahkan dari residu pelarut (air), ditambahkan atom hidrogen polar, dan pemetaan binding site menggunakan program AutoDock Tools 1.5.6.
4.
Validasi Reseptor AT1 dan Olmesartan Validasi diperlukan untuk mendapatkan skor molecular docking standar antara reseptor AT1 dengan olmesartan.
28
F. Rancangan Penelitian Struktur 3D reseptor AT1 dengan format *.pdb yang sudah dibuang ligan-ligan unstandard dari makromolekul menggunakan software AutoDock Tools
Optimasi model reseptor dengan menghilangkan molekul air dan menambahkan atom hidrogen polar dengan software AutoDock Tools
Struktur 3D fitokimia tanaman herbal Indonesia yang terdaftar di http://herbaldb.farmasi.ui.ac.id/ dan mempunyai kode ID PubChem NCBI serta sesuai kriteria Lipisnki’s rule of five
Validasi AT1-olmesartan untuk menemukan skor molecular docking (ikatan energi) dan lokasi ikatan standar
Proses molecular docking antara AT1 dan fitokimia tanaman herbal Indonesia dengan software Autodock Vina
Analisis lokasi ikatan dengan visualisasi hasil molecular docking menggunakan program PyMol dan Chimera
Analisis energi ikatan dengan membandingkannya terhadap energi ikatan AT1-olmesartan
Fitokimia dengan energi ikatan lebih rendah daripada standar dan berikatan pada binding site AT1 kemungkinan memiliki aktivitas sebagai penghambat reseptor AT1
G. Analisis Data 1. Melihat hasil skor docking ligan-reseptor pada panel analyze results. 2. Visualisasi hasil docking menggunakan software Chimera 1.10rc dan Pymol 1.7. 3. Interpretasi hasil docking Interpretasi dilakukan dengan melihat skor docking berupa afinitas ikatan (kkal/mol) antara ligan dengan protein dan melihat mode ikatan berupa posisi/konformasi ligan yang berinteraksi 29
dengan protein melalui proses docking. Mode ikatan dinilai dengan cara visualisasi hasil docking menggunakan software Chimera atau Phymol. Jika senyawa fitokimia tanaman herbal tersebut memiliki skor docking kurang atau sama dengan skor docking senyawa standar (olmesartan) pada Tyr113, Lys199, His256, dan Gln257 reseptor AT1 serta memiliki interaksi ikatan pada binding site di Tyr113, Lys199, His256, dan Gln257 maka senyawa tersebut diprediksi memiliki aktivitas sebagai antagonis reseptor AT1.
XII. JADWAL PENELITIAN September III
IV
Oktober I
II
III
November IV
I
II
Penelitian molecular docking Analisis data Penyusunan hasil penelitian
XIII. DAFTAR PUSTAKA Asmar R (2005). Targeting Effective Blood Pressure Control with Angiotensin Receptor Blockers. Journal Compilation, 60 (3): 315320. Athiroh N, Permatasari N (2012). Mekanisme kerja benalu teh pada pembuluh darah. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 27 (1): 1-6. Badan Litbangkes RI (2013). Riset kesehatan dasar 2013.Edisi ke 3. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI, pp : 83-89.
30
Bethesda MD (2014). Drug Information 2014. American Society of HealthSystem Pharmacists: 2070. Billet S, Aguilar F, Baudry C, Clauser E (2008). Role of angiotensin II AT1 receptor activation in cardiovascular diseases. International Society of Nephrology, 74: 1379-1384. Briggs GG, Freeman RK., Yaffe SJ (2011). Drugs in pregnancy and lactation. Edisi ke 9. Philadelphia: Wolters Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins, pp: 1070. Cheng T, Li Q, Zhou Z, Wang Y, Bryant SH (2012). Structure-Based Virtual Screening for Drug Discovery: a Problem-Centric Review. The AAPS Journal, 14 (1). Dallakyan
S
(2009).
MGLTools.
PxRx–Virtual
Screening
Tool:
http://mgltools.scripps.edu/documentation/links/pyrx-virtual screening-tool - Diakses Agustus 2016. Elder D, Holm R (2013). Aqueous solubility : simple predictive methods (in silico, in vitro and bio-relevant approaches). International Journal of Pharmaceutics, 453: 3-11. Ferreira LG, Santos RND, Oliva G, Andricopulo AD (2015). Molecular docking and structure-based drug design strategies. Molecules, 20: 13384-13421. Gormer, Beth. 2008. Farmakologi Hipertensi. Diana Lyrawati (terj). http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/11/hypertensionhospphar m.pdf. Indarto D, Pratama YM, Amradani RAR, Paramanindita AS, Nityasewaka P (2016). Buku Petunjuk Molecular Docking dengan Autodock Vina. Edisi ke 1. Surakarta: Universitas Sebelas Maret, pp: 1-21.
31
James PA, Oparil S, CarterBL, Cushman WC (2014). 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). Clinical Review & Education : 1-14. Kardono
LBS
(2010).
Kemitraan
Global
dalam
Penelitian
dan
Pengembangan Bahan Baku Obat untuk Mencapai Tujuan Milenium Indonesia.Serpong, pp: 9-13. Kemenkes RI (2014). Pusat Data dan Informasi kementerian Kesehatan RI: Hipertensi. Edisi ke 1. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI, pp: 17. Kemenkes RI (2014). Pusat Data dan Informasi kementerian Kesehatan RI: Situasi Kesehatan Jantung. Edisi ke 1. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI, pp: 2. Kroemer RT (2007). Structure-based drug design : docking and scoring. Current Protein and Peptide Science, 8: 312-328. Laskar MA, Choudhury MD (2014). In silico screening of some plant based natural
products
as
angiotensin
receptor
blockers against
cardiovascular diseases. World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 4 (1): 1248-1257. Lionta E, Spyrou G, Vassilatis DK, Cournia Z (2014). Structure-based virtual screening for drug discovery : Principles, applications and recent advances. Current Topics in Medical Chemistry, 14: 19231938. Lipinski CA, Lombardo F, DOminy BW, Feeney PJ (2001). Experimental and
computational
approaches
to
estimate
solubility and
permeability in drug discovery and development settings. Advances Drug Delivery Reviews, 46: 3-26. 32
Marthey L, Cadiot G, Seksik P, Pouderoux P, Lacroute J, Skinazi F et al. (2014). Olmesartan-associated enteropathy : results of a national survey. Alment Pharmacol Ther, 40 (9): 1103-1109. Meng XY, Zhang HX, Mezei M, Cui M (2011). Molecular docking : A powerful approach for structure-based drug discovery. Cur Comput Aided Drug Des, 7 (2): 146-157. Miura S, Fujino M, Hanzawa H, Kiya Y, Imaizumi S, Matsuo Y, Tomita S et al. (2006) Molecular mechanism underlying inverse agonist of angiotensin II type 1 receptor. The Journal of Biological Chemistry, 281 (28): 19288-19295. Miura s, Karnik SS, Saku K (2011). Angiotensin II type 1 receptor blockers: class effects versus molecular effects. Journal of the ReninAngiotensin-Aldosterone System, 12 (1): 1-7. Mukesh B, Rakesh K (2011). Molecular docking: a review. International Journal of Research in Ayurveda & Pharmacy, 2 (6): 1746-1751. Oliveira L, Costa-neto CM, Nakaie CR, Schereier S, Shimuta SI, Paiva ACM (2007). The angiotensin II AT1 receptor structure-activity correlations in the light of rhodopsin stucture. Physiol Rev, 87 : 565-592. PERKI
(2015).
Pedoman
Tatalaksana
Hipertensi
pada
Penyakit
Kardiovaskular. Edisi ke 1. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, pp: 1: 1-16. Priya V, Jananie RK, Vijayalakshmi K (2011). Molecular docking analysis of compunds present in Trigonella foenum graceum with angiotensin converting enzyme insilico analysis. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research, 3 (4): 129-139.
33
Putranti RI (2013). Skrining fitokimia dan aktivitas antioksidan ekstrak rumput laut sargassum duplicatum dan turbinaria ornata dari jepara. Semarang, Universitas Diponegoro. Thesis. Rochayani IS, Aryanti E, Suripto (2015). Kandungan fitokimia beberapa jenis tumbuhan lokal yang sering dimanfaatkan sebagai bahan baku obat di pulau lombok. Nilai Gizi Tumbuhan Pangan Lokal Pulau Lombok, 1 (2): 388-391. Roland WSU (2014). Intrinsic bitterness of flavonoids and isoflavonoids and masking of their taste activit. Wageningen, Wageningen University. Thesis. Sliwoski G, Kothiwale S, Meiler J, Lowe EW (2014). Computational methods in drug discovery. Pharmacological Reviews, 66: 334395. Sousa SF, Ribeiro AJM, Coimbra JTS, Neves RPP, Martins SA, Moorthy NSHN, Fernandes PA, Ramos MJ (2013). Protein-Ligand Docking in the New Millennium – A Retrospective of 10 Years in the Field Current Medicinal Chemistry, 20: 2296-2314 Trott O and Olson AJ (2010). AutoDock Vina: improving the speed and accuracy of docking with a new scoring function, efficient optimization and multithreading. Journal Computation Chemistry; 31(2): 455–61 Tulane University School of Medicine (2016). Basic Principles of Pharmacology.http://tmedweb.tulane.edu/pharmwiki/doku.php/basi c_principles_of_pharm. Diakses September 2016. Tzakos AG, Bonvin AMJJ, Troganis A, Cordopatis P, Amzel ML, Gerothanassis IP, Nuland NAJV (2003). NMR structure of AII in the solution compared with the X-ray structure of AII bound to the 34
mAb Fab131. On the Molcular Basis of the Recognition of Angiotensin II (AII), 270: 849-860. Vangala VB, Hindupur RM, Pati HN (2014). A review on synthesis of antihypertensive sartan drugs. International Journal of Pharma Research & Review, 3 (11): 46-56. Volpe DA (2010). Application of method suitability for drug permeability classification. The AAPS Journal, 12 (4). WHO
(2015).
Questions
and
Answers
on
Hypertension.
www.who.int/features/qa/82/en/# - diakses Juli 2016. Wolf LK (2009). New software and websites for the chemical enterprise. Chemistry England News; 87: 31. World
Heart
Federation
(2016).
Hypertension.
www.world-heart-
federation.org/cardiovascular-health/cardiovascular..
-
diakses
Agustus 2016 Yanuar A, Mun’im A, Lagho ABA, Syahdi RR, Rahmat M, and Suhartanto H (2011). Medicinal plants database and three dimensional structure of the chemical compounds from medicinal plants in Indonesia. International Journal Computer Science Issues; 8(5): 180–183.
35