1902-TS-16/17
PROPOSAL SKRIPSI
ANALISIS BIAYA TUNDAAN LALU LINTAS PADA PERJALANAN KE KANTOR BERBASIS RUMAH (HBO) DI KOTA SAMARINDA (STUDI KASUS: JARINGAN JALAN PADA PERUMAHAN BUMI SEMPAJA JALAN P.M. NOOR – PERKANTORAN JALAN M.T. HARYONO)
Oleh :
CELINE OKTAVIA PUTRI 1309025002
PROGRAM STUDI S1 TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA 2017 1
UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS TEKNIK PS S1 TEKNIK
SIPIL
PS D3 TEKNIK
PERTAMBANGAN
PERTAMBANGAN
LINGKUNGAN
PROPOSAL TUGAS AKHIR Nama
: Celine Oktavia Putri
NIM
: 1309025002
Peminatan
: Manajemen Transportasi
Judul Skripsi
: Analisis Biaya Tundaan Lalu Lintas Pada Perjalanan ke Kantor Berbasis Rumah (HBO) di Kota Samarinda (Studi Kasus: Jaringan Jalan pada Perumahan Bumi Sempaja Jalan P.M. Noor – Perkantoran Jalan M.T. Haryono)
Usulan Pembimbing 1
:
Usulan Pembimbing 2
:
Dilaksanakan
: Semester Genap 2017 / 2018
1. Judul Skripsi Analisis Biaya Tundaan Lalu Lintas Pada Perjalanan ke Kantor Berbasis Rumah (HBO) di Kota Samarinda. (Studi Kasus: Jaringan Jalan pada Perumahan Bumi Sempaja Jalan P.M. Noor Perkantoran Jalan M.T. Haryono)
2. Latar Belakang Masalah Transportasi pada saat ini sangat berperan penting dalam aktivitas kegiatan manusia sehari-hari. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya jumlah kendaraan pribadi yang naik tiap tahunnya. Ruang lingkup permasalahan transportasi telah bertambah luas dan permasalahannya itu sendiri bertambah parah, baik di negara maju (industri) maupun negara sedang berkembang. Peningkatan arus lalu lintas serta kebutuhan akan 2
transportasi telah menghasilkan kemacetan, tundaan, kecelakaan, dan permasalahan lingkungan yang sudah berada di atas ambang batas.
Permasalahan ini tidak hanya terbatas pada jalan raya saja. Pertumbuhan ekonomi menyebabkan mobilitas seseorang meningkat sehingga kebutuhan pergerakannya pun meningkat melebihi kapasitas sistem prasarana transportasi yang ada. Kurangnya investasi pada suatu sistem jaringan dalam waktu yang cukup lama dapat mengakibatkan sistem prasarana transportasi tersebut menjadi sangat rentan terhadap kemacetan yang terjadi apabila volume arus lalu lintas meningkat lebih dari rata-rata.
Kemacetan lalu lintas pada jalan perkotaan telah menjadi topik utama karena mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Kemacetan yang terjadi menimbulkan kerugian materiil maupun immateriil. Kerugian materiil yakni adanya pemborosan bahan bakar yang bertambah akibat melewati jalan yang macet, dan kerugian immateriil berupa kelelahan pengemudi yang bertambah dan tingkat polusi udara yang meningkat. Akibat kemacetan ini sangatlah merugikan berbagai pihak, baik dari segi aspek pengemudi, jalan itu sendiri, dan juga kendaraan yang melewati jalan tersebut.
Pertumbuhan lalu lintas jalan khususnya di wilayah Kota Samarinda pada jaringan jalan (Perumahan Bumi Sempaja Jalan P.M. Noor – Perkantoran Jalan M.T. Haryono) terus meningkat dengan pesat akibat dari pertumbuhan dan perkembangan kota serta laju jumlah penduduk. Kemacetan lalu lintas yang terjadi sudah sangat mengganggu aktivitas penduduk. Telah kita ketahui, bahwa kemacetan akan menimbulkan berbagai dampak negatif, baik terhadap pengemudi maupun ditinjau dari segi ekonomi dan lingkungan. Dalam keadaan tertentu terutama pada jam sibuk, jaringan jalan tersebut sering terjadi antrian yang cukup panjang. Hal ini berimbas pada pengguna jalan yang harus menempuh waktu lebih lama untuk melewati jalan tersebut. Antrian yang panjang dan waktu tunda yang cukup lama tentu mengindikasikan bahwa simpang tersebut mengalami penurunan tingkat pelayanan yang dapat mengakibatkan kerugian pada sektor ekonomi.
3
Oleh karena itu, untuk menyikapi permasalahan yang terjadi pada jaringan jalan (Perumahan Bumi Sempaja Jalan P.M. Noor – Perkantoran Jalan M.T. Haryono) perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja jaringan jalan tersebut untuk mendapatkan gambaran kondisi jalan pada saat ini dan dilakukan perhitungan kerugian yang ditimbulkan akibat kondisi tersebut.
3. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka terdapat beberapa permasalahan yang akan dibahas pada tugas akhir ini antara lain: 1.
Bagaimana kinerja pada jejaring jalan (Perumahan Bumi Sempaja Jalan P.M. Noor – Perkantoran Jalan M.T. Haryono)?
2.
Berapa lama waktu tunda yang terjadi pada jejaring jalan (Perumahan Bumi Sempaja Jalan P.M. Noor – Perkantoran Jalan M.T. Haryono)?
3.
Berapa besar biaya perjalanan akibat tundaan yang terjadi pada jejaring jalan (Perumahan Bumi Sempaja Jalan P.M. Noor – Perkantoran Jalan M.T. Haryono)?
4. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut : 1.
Menganalisis kinerja pada jejaring jalan (Perumahan Bumi Sempaja Jalan P.M. Noor – Perkantoran Jalan M.T. Haryono).
2.
Mengetahui kapasitas jalan pada jejaring jalan (Perumahan Bumi Sempaja Jalan P.M. Noor – Perkantoran Jalan M.T. Haryono).
3.
Menganalisis besarnya biaya perjalanan akibat tundaan lalu lintas pada jejaring jalan (Perumahan Bumi Sempaja Jalan P.M. Noor – Perkantoran Jalan M.T. Haryono).
5. Batasan Masalah Dalam penyusunan proposal penelitian tugas akhir ini permasalahan akan dibatasi sampai dengan ruang lingkup sebagai berikut : 4
1.
Objek penelitian hanya dilakukan pada kendaraan pribadi saja.
2. Penelitian dilakukan pada jejaring jalan perumahan Bumi Sempaja jalan P.M. Noor sampai dengan perkantoran jalan M.T. Haryono dan dilakukan selama 7 hari pada saat jam sibuk (peak hour). 3. Analisi kinerja jejaring jalan dilakukan dengan parameter derajat jenuh, kapasitas, panjang antrian, dan waktu tunda yang dikoreksi menggunakan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997.
6. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan pada bangkitan pergerakan yang berasal dari Perumahan Bumi Sempaja dengan tujuan pergerakan yaitu daerah perkantoran di Jalan M.T Haryono, Kota Samarinda. Perumahan Bumi Sempaja mempunyai 1 alternatif jalan masuk maupun keluar yaitu Jalan P. M. Noor. (Gambar 6.1)
Sumber: https://maps.google.com/
Gambar 6.1 Lokasi Perumahan Bumi Sempaja Kota Samarinda
Penelitian ini memfokuskan pada pemilihan rute dari titik A ke titik E yaitu jejaring jalan (road network) yang merupakan kombinasi antara simpang bersinyal, tak bersinyal, dan ruas jalan seperti terlihat pada Gambar 6.2. Penelitian ini terdiri dari beberapa rute, antara lain: 5
1. Simpang I
: Jalan P. M. Noor – Jalan K.H. Wahid Hasyim II – Jalan K.H. Wahid Hasyim I – Jalan A.W. Syahranie
2. Simpang II
: Jalan A.W. Syahranie – Jalan Pembangunan – Jalan Kadrie Oening – Jalan Ir. H. Juanda
3. Simpang III
: Jalan Ir. H. Juanda – Jalan P. Antasari – Jalan P. Suryanata – Jalan – Jalan M.T. Haryono
Selain itu, survei juga dilakukan dibeberapa ruas jalan, antara lain Jalan P. M. Noor, Jalan A. W. Syahranie, Jalan Ir. H. Juanda, dan Jalan M. T. Haryono. B A Simpang I
C
Simpang II
Simpang III
D
E Sumber: https://maps.google.com/
Gambar 6.2 Lokasi Penelitian dilakukan dari Titik A hingga Titik E
Lokasi yang dipilih dengan jumlah kendaraan yang masuk maupun keluar (tujuan perjalanan telah ditetapkan) di tiap-tiap lengan dapat menimbulkan masalah pada masing-masing simpang dan ruas jalan tersebut.
Pada titik A, merupakan titik enter (awal) pergerakan yang terjadi. Masalah yang ada yaitu banyaknya pergerakan yang terjadi di Perumahan Bumi Sempaja Jalan P. M. Noor kota Samarinda baik kendaraan masuk maupun keluar sehingga perlu diketahui arah tujuan perjalanan tersebut. 6
Pada simpang I, permasalahan yang terjadi di simpang bersinyal yaitu banyak kendaraan datang dari berbagai sisi perjalanan (Jalan P. M. Noor – Jalan K.H. Wahid Hasyim II – Jalan K.H. Wahid Hasyim I – Jalan A.W. Syahranie) yang menyebabkan kemacetan dititik tersebut terutama pada saat jam puncak pagi dan sore.
Masalah yang terjadi pada Simpang II adalah karena banyak kendaraan yang masuk dari arah Jalan Pembangunan serta kualitas perkerasan yang kurang baik menyebabkan pengguna jalan harus berjalan dengan hati-hati dan pelan menyebabkan kemacetan di beberapa lengan jalan, antara lain Jalan Pembangunan, Jalan A.W. Syahranie, Jalan Kadrie Oening, dan Jalan Ir. H. Juanda.
Simpang III, masalah yang terjadi sama seperti di simpang I yaitu banyaknya kendaraan yang datang dari berbagai sisi perjalanan (Jalan Ir. H. Juanda – Jalan P. Antasari – Jalan P. Suryanata – Jalan – Jalan M.T. Haryono) menyebabkan kemacetan dititik tersebut terutama pada saat jam puncak pagi dan sore.
Sedangkan pada titik E, merupakan titik exit (henti) yang memiliki permasalahan yaitu adanya daerah permukiman dan perkantoran yang berdekatan sehingga menyebabkan arus perjalanan sangat banyak terutama pada jam puncak pagi dan sore. Selain itu, juga banyaknya pengguna jalan yang berasal dari Perumahan Bumi Sempaja khususnya pada daerah perkantoran Jalan M. T. Haryono.
Pada masing-masing ruas (Jalan P. M. Noor, Jalan A. W. Syahranie, Jalan Ir. H. Juanda, dan Jalan M. T. Haryono) juga dilakukan penelitian terhadap kinerja dan tingkat pelayanan lalu lintas.
7. Tinjauan Pustaka 7.1 Transportasi Transportasi berasal dari kata latin yaitu transportare, dimana “trans” berarti seberang atau sebelah lain dari “portare” berarti mengangkut atau membawa. Jadi transportasi 7
berarti mengangkut atau membawa (sesuatu) ke sebalah lain atau dari suatu tempat ke tempat lainnya. Transportasi seperti itu merupakan suatu jasa yang diberikan guna menolong barang atau orang untuk dibawa dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Menurut Salim (2000) transportasi adalah kegiatan pemindahan barang (muatan) dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain. Dalam transportasi ada dua unsur yang terpenting yaitu pemindahan/pergerakan (movement) dan secara fisik mengubah tempat dari barang (comoditi) dan penumpang ke tempat lain.
Transportasi diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan (Nasution, 1996). Dalam hubungan ini terlihat ada tiga hal sebagai berikut: a) Ada muatan yang diangkut b) Tersedia kendaraan sebagai alat angkutannya, dan c) Ada jalanan yang dapat dilalui.
Secara harfiah, transportasi adalah pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia atau mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
7.2 Pendekatan Perencanaan Transportasi
Tujuan dasar para perencana transportasi adalah memperkirakan jumlah serta lokasi kebutuhan akan transportasi (misalnya menentukan total pergerakan, baik untuk angkutan umum maupun angkutan pribadi) pada masa mendatang atau pada tahun rencana yang akan digunakan untuk berbagai kebijakan investasi perencanaan transportasi.
Terdapat beberapa skala atau periode waktu dalam perencanaan sistem transportasi perkotaan, yaitu: skala panjang, menengah, dan pendek. Jangka waktu perencanaan bisa sangat lama (misalnya 25 tahun) yang biasanya digunakan untuk perencanaan strategi 8
pembangunan kota berjangka panjang. Strategi ini akan sangat dipengaruhi oleh perencanaan tata guna lahan dan perkiraaan arus lalu lintas dalam perencanaan ini biasanya dikategorikan berdasarkan moda dan rute.
Pendekatan-pendekatan lalu lintas penting digunakan untuk mencegah dan mengatasi permasalahan lalu lintas yang ada. Hal ini dikarenakan, membangun jalan raya beserta fasilitasnya, umumnya sering kurang atau tidak sesuai dengan pertumbuhan volume lalu lintas yang cepat seperti sekarang ini. Akibatnya kenaikan jumlah kendaraan yang sangat pesat, sehingga sering terjadi tundaan (delay) dan kemacetan (congestion) di jalan terutama di kota-kota besar. Selain itu jumlah kecelakaan di simpang jalan yang sudah ada, baik di daerah perkotaan maupun di luar kota menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah kecelakaan di simpang yang telah dirancang dengan perancangan modern. Tundaan adalah perbedaan waktu perjalanan dari suatu perjalanan dari satu titik ke titik tujuan antara kondisi arus bebas dengan arus terhambat (Alamsyah, 2005). Tundaan merupakan variabel yang sangat penting untuk menentukan kualitas daripada lalu lintas. Tundaan dipergunakan sebagai kriteria untuk menentukan lalu lintas tingkat kemacetan suatu jalan, makin besar nilai tundaan, makin besar pula tingkat kemacetan pada ruas jalan tersebut.
7.2.1 Pendekatan Sistem untuk Perencanaan Transportasi
Pendekatan sistem adalah pendekatan umum untuk suatu perencanaan atau teknik dengan menganalisis semua faktor yang berhubungan dengan permasalahan yang ada (Tamin, 2000).
Pemecahannya dapat berupa manajemen lalu lintas secara lokal, pembangunan jalan baru, peningkatan pelayanan angkutan umum, atau perencanaan tata guna lahan yang baru. Pendekatan sistem mencoba menghasilkan pemecahan yang terbaik dari beberapa alternatif pemecahan yang ada, tentunya dengan batasan tertentu (waktu dan biaya).
9
1) Sistem Transportasi Mikro
Sistem transportasi mikro terdiri dari : a.
Sistem kegiatan Sistem ini merupakan pola kegiatan tata guna lahan yang terdiri dari sistem pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan lain-lain. Kegiatan yang timbul dalam sistem ini membutuhkan pergerakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang perlu dilakukan setiap hari yang tidak dapat dipenuhi oleh tata guna lahan tersebut. Besarnya pergerakan sangat terkait dengan jenis dan intensitas kegiatan yang dilakukan.
b.
Sistem jaringan prasarana transportasi Pergerakan yang berupa pergerakan manusia dan atau barang tersebut membutuhkan moda transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat moda tersebut bergerak. Prasarana transportasi ini dikenal dengan sistem jaringan yang meliputi jaringan jalan raya, kereta api, terminal bus, bandara, dan pelabuhan.
c.
Sistem pergerakan lalu lintas Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan ini menghasilkan suatu pergerakan manusia dan/atau barang dalam bentuk pergerakan kendaraan dan/atau orang (pejalan kaki).
d.
Sistem kelembagaan Untuk menjamin terjadinya pergerakan yang aman, nyaman, lancar, mudah, handal, dan sesuai dengan lingkungan; maka diperlukan suatu sistem yang mengatur tiga sistem diatas. Sistem ini disebut sistem kelembagaan. Sistem kelembagaan yang berkaitan dengan masalah transportasi adalah : 1. Sistem kegiatan
: Bappenas, Bappeda Tingkat I dan II, Pemda.
2. Sistem jaringan
: Dephub, Jasa Marga, Bina Marga, Dinas PU.
3. Sistem pergerakan : Organda, Polantas, dan lain-lain.
2) Sistem Tata Guna Lahan Transportasi
Pergerakan arus manusia, kendaraan, dan barang mengakibatkan berbagai macam interaksi. Hampir semua interaksi memerlukan perjalanan dan menghasilkan pergerakan 10
arus lalu lintas. Sasaran umum perencanaan transportasi adalah membuat interaksi tersebut menjadi semudah dan seefisien mungkin dengan menetapkan kebijakan tentang hal berikut (Tamin, 2000) : a.
Sistem kegiatan Rencana tata guna lahan yang baik (lokasi sekolah, kantor, perumahan, dan lainlain) dapat mengurangi kebutuhan akan pergerakan perjalanan yang panjang sehingga membuat interaksi menjadi lebih mudah.
b.
Sistem jaringan Hal yang dapat dilakukan dengan meningkatkan kapasitas pelayanan prasarana yang ada, seperti pelebaran jalan, menambah jaringan jalan baru.
c.
Sistem pergerakan Hal yang dapat dilakukan dengan mengatur teknik dan manajemen lalu lintas (jangka pendek), fasilitas angkutan umum yang lebih baik (jangka pendek dan menengah), atau pembangunan jalan baru (jangka panjang).
7.3 Konsep Perencanaan Transportasi
Terdapat beberapa konsep perencanaan transportasi yang telah berkembang sampai saat ini, yang paling populer adalah Model Perencanaan Transportasi Empat Tahap.
Model perencanaan ini merupakan gabungan dari beberapa seri submodel yang masingmasing harus dilakukan secara terpisah dan berurutan, yang terdiri dari (Tamin, 2000) : 1.
Bangkitan dan tarikan pergerakan (Trip Generation)
2.
Sebaran pergerakan (Trip Distribution)
3.
Pemilihan moda
4.
Pemilihan rute
Dimana, submodel dari model tersebut meliputi bangkitan dan tarikan pergerakan, sebaran pergerakan, pemilihan moda dan pemilihan rute.
11
1) Bangkitan dan Tarikan Pergerakan (Trip Generation)
Bangkitan pergerakan adalah tahapan permodelan yang memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan tarikan adalah jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu zona atau tata guna lahan (Tamin,2000).
Bangkitan dan tarikan lalu lintas ini mencakup : a.
Lalu lintas yang meninggalkan suatu lokasi
b.
Lalu lintas yang menuju atau tiba di suatu lokasi
Bangkitan dan tarikan pergerakan terlihat secara diagram pada Gambar 7.1 (Wells, 1975)
i
d
Pergerakan yang berasal dari zona i
Pergerakan yang menuju dari zona d
Sumber: Wells (1975)
Gambar 7.1 Bangkitan dan Tarikan Pergerakan
Hasil keluaran dari perhitungan bangkitan dan tarikan lalu lintas berupa jumlah kendaraan, orang atau angkutan per satuan waktu, misalnya kendaraan/jam. Kita dapat dengan mudah menghitung jumlah orang atau kendaraan yang masuk dan keluar dari suatu luas tanah tertentu dalam satu hari (atau satu jam saja) untuk mendapatkan bangkitan dan tarikan pergerakan.
Bangkitan dan tarikan pergerakan lalu lintas tersebut tergantung pada dua aspek tata guna lahan : 12
a.
Jenis tata guna lahan Jenis tata guna lahan yang berbeda (pemukiman, pendidikan, dan komersial) mempunyai ciri bangkitan lalu lintas yang berbeda, antara lain terbagi atas :
Jumlah arus lalu lintas
Jenis lalu lintas (pejalan kaki, truk, mobil)
Lalu lintas pada waktu tertentu (kantor menghasilkan arus lalu lintas pada pagi dan sore hari, sedangkan pertokoan menghasilkan arus lalu lintas sepanjang hari).
Jumlah dan jenis lalu lintas yang dihasilkan oleh setiap tata guna lahan merupakan hasil dari fungsi parameter sosial dan ekonomi. b.
Jumlah aktivitas (dan intensitas) pada tata guna lahan tersebut. Bangkitan pergerakan bukan saja beragam dalam jenis tata guna lahan, tetapi juga tingkat aktivitasnya. Semakin tinggi tingkat penggunaan sebidang tanah, semakin tinggi pergerakan arus lalu lintas yang dihasilkan. Salah satu ukuran intensitas aktivitas sebidang tanah adalah berdasarkan kepadatannya.
Berikut merupakan definisi dasar mengenai model bangkitan pergerakan : a.
Perjalanan Pergerakan satu arah dari zona asal ke zona tujuan, termasuk pergerakan berjalan kaki. Berhenti secara kebetulan (misalnya berhenti di perjalanan untuk membeli rokok) tidak dianggap sebagai tujuan perjalanan, meskipun perubahan rute terpaksa dilakukan. Meskipun pergerakan sering diartikan dengan pergerakan pulang dan pergi, dalam ilmu transportasi biasanya anlisis keduanya harus dipisahkan. Hal yang dikaji disini tidak saja mengenai pergerakan berkendaraan, tetapi juga kadangkadang pergerakan berjalan kaki.
b.
Pergerakan Berbasis Rumah Pergerakan yang salah satu atau kedua zona (asal dan atau tujuan) pergerakan tersebut adalah rumah.
c.
Pergerakan Berbasis Bukan Rumah Pergerakan yang baik asal maupun tujuan pergerakan adalah bukan rumah.
13
d.
Bangkitan Pergerakan Digunakan untuk suatu pergerakan berbasis rumah yang mempunyai tempat asal dan atau tujuan adalah rumah atau pergerakan yang dibangkitkan oleh pergerakan berbasis bukan rumah.
e.
Tarikan Pergerakan Digunakan untuk suatu pergerakan berbasis rumah yang mempunyai tempat asal dan atau tujuan bukan rumah atau pergerakan yang tertarik oleh pergerakan berbasis bukan rumah.
f.
Tahapan Bangkitan Pergerakan Sering digunakan untuk menetapkan besarnya bangkitan pergerakan yang dihasilkan oleh rumah tangga (baik untuk pergerakan berbasis rumah maupun berbasis bukan rumah) pada selang waktu tertentu (per jam atau per hari).
Bangkitan Rumah
Tempat Kerja
Tarikan
Tarikan Bangkitan
Bangkitan
Tarikan
Tarikan
Bangkitan
Tempat Kerja
Tempat Belanja
Gambar 7.2 Pergerakan Bangkitan dan Tarikan
Sepanjang tahun 1980-an beberapa definisi lain seperti tour and trip chain sering dipakai dalam perencanaan dan permodelan transportasi. Hal ini sangat mendukung teori yang menyatakan bahwa kebutuhan akan pergerakan sebenarnya adalah kebutuhan turunan (sesuatu yang sangat tergantung dari adanya keterkaitan dengan kegiatan lainnya). Akan tetapi, definisi tersebut hanya sering digunakan pada model pemilihan diskret.
14
Bangkitan pergerakan harus dianalisis secara terpisah dengan tarikan pergerakan. Jadi, tujuan akhir perencanaan tahapan bangkitan pergerakan adalah menaksir setepat mungkin bangkitan dan tarikan pergerakan pada masa sekarang, yang akan digunakan untuk meramalkan pergerakan pada masa mendatang.
2) Sebaran Pergerakan (Trip Distribution)
Tahap ini merupakan tahap yang menghubungkan interaksi antara tata guna lahan, jaringan transportasi, dan arus lalu lintas. Pola spasial arus lalu lintas adalah fungsi dari tata guna lahan dan sistem jaringan transportasi. Sebaran pergerakan menghasilkan jumlah arus lalu lintas yang bergerak dari suatu zona ke zona lainnya
75 Pergerakan
d
i antara zona i dan d
Sumber: Wells (1975)
Gambar 7.3 Sebaran Pergerakan antar Dua Buah Zona
Jaringan transportasi dapat menyediakan sarana untuk memecahkan masalah jarak tersebut (misalnya perbaikan sistem jaringan transportasi akan mengurangi waktu tempuh dan biaya sehingga membuat seakan-akan jarak antara kedua tata guna lahan atau aktivitas tersebut menjadi semakin dekat).
3) Pemilihan Moda
Jika interaksi terjadi antara dua tata guna lahan suatu kota, seseorang akan memutuskan bagaimana interaksi tersebut harus dilakukan. Dalam kebanyakan kasus, pilihan pertama adalah dengan menggunakan telepon (pos) karena hal ini akan dapat 15
menghindari terjadinya perjalanan. Akan tetapi, sering interaksi mengharuskan terjadinya perjalanan. Secara sederhana moda berkaitan dengan jenis transportasi yang digunakan. Pilihan pertama biasanya berjalan kaki atau menggunakan kendaraan. Jika menggunakan kendaraan, pilihannya adalah kendaraan pribadi (sepeda, sepeda motor, mobil) atau angkutan umum (bus, becak, dan lain-lain). Jika angkutan umum yang digunakan, jenisnya bermacam-macam, antara lain oplet, kereta api, becak, dan lainlain.
Orang yang hanya mempunyai satu pilihan moda saja disebut dengan captive terhadap moda tersebut. Jika terdapat lebih dari satu moda, moda yang dipilih biasanya yang mempunyai rute terpendek, tercepat, atau termurah, atau kombinasi dari ketiganya. Faktor lain yang mempengaruhi adalah ketidaknyamanan dan keselamatan. Hal seperti ini harus dipertimbangkan dalam pemilihan moda.
4) Pemilihan Rute
Semua yang telah diterangkan dalam pemilihan moda juga dapat digunakan untuk pemilihan rute. Untuk angkutan umum, rute ditentukan berdasarkan moda transportasi (bus dan kereta api mempunyai rute yang tetap). Dalam kasus ini, pemilihan moda dan rute dilakukan bersama-sama. Untuk kendaraan pribadi, diasumsikan bahwa orang akan memilih moda transportasinya dulu, baru rutenya. a. Kendaraan pribadi
B
i
D A
C
d
Kendaraan pribadi akan mengikuti rute tersingkat ABCD Sumber: Wells (1975)
Gambar 7.4 Sebaran Pergerakan antar dua buah zona
16
Seperti pemilihan moda, pemilihan rute tergantung pada alternatif terpendek, tercepat, dan termurah, dan juga diasumsikan bahwa pemakai jalan mempunyai informasi yang cukup (misalnya tentang kemacetan jalan) sehingga mereka dapat menentukan rute yang terbaik.
7.4 Klasifikasi Perjalanan
Perjalanan adalah pergerakan satu arah dari zona asal ke zona tujuan, termasuk pergerakan berjalan kaki. Berhenti secara kebetulan tidak dianggap sebagai tujuan pergerakan meskipun terpaksa melakukan perubahan rute. Meskipun pergerakan sering diartikan dengan pergerakan pulang dan pergi, dalam ilmu transportasi biasanya analisis keduanya harus dipisahkan. Klasifikasi perjalanan dibedakan menjadi tiga, diantaranya :
1.
Berdasarkan Tujuan Pergerakan Dalam kasus pergerakan berbasis rumah, lima kategori tujuan pergerakan yang sering digunakan (Tamin, 2000) : a.
Pergerakan ke tempat kerja
b.
Pergerakan ke sekolah atau Perguruan Tinggi (pergerakan dengan tujuan pendidikan)
c.
Pergerakan ke tempat belanja
d.
Pergerakan untuk kepentingan sosial
e.
Pergerakan untuk tujuan rekreasi
Dua tujuan pergerakan pertama (bekerja dan pendidikan) disebut tujuan pergerakan utama yang merupakan keharusan untuk dilakukan setiap orang setiap hari, sedangkan tujuan pergerakan lain sifatnya hanya pilihan dan tidak rutin dilakukan. Pergerakan berbasis bukan rumah tidak selalu harus dipisahkan karena jumlahnya kecil, hanya sekitar 15 – 20% dari total pergerakan yang terjadi
2.
Pergerakan Berdasarkan Waktu Pergerakan biasanya dikelompokkan menjadi pergerakan pada jam sibuk dan jam tidak sibuk. Proporsi pergerakan yang dilakukan oleh setiap tujuan pergerakan sangat berfluktuasi atau bervariasi sepanjang hari. Pergerakan pada selang jam 17
sibuk pagi hari biasanya saling bertolak belakang dengan pergerakan pada selang jam sibuk sore hari. Terjadi antara jam 07.00 sampai jam 09.00 pagi dan jam tidak sibuk berkisar antara jam 10.00 sampai dengan jam 12.00 siang. Kebanyakan pergerakan pada jam sibuk pagi merupakan pergerakan utama yang harus dilakukan setiap hari (untuk bekerja dan pendidikan), yang tidak terjadi pada jam tidak sibuk.
Tabel 7.1 Contoh Klasifikasi Tujuan Pergerakan Tujuan Pergerakan Bekerja Pendidikan Belanja Sosial Kesehatan Birokrasi Ikut dengan Orang Lain-lain Kembali ke Rumah
Jam Sibuk Pagi hari Jumlah % 465,683 52,12 313,275 35,06 13,738 1,54 7,064 0,79 14,354 1,60 34,735 3,89 18,702 2,09 1,736 0,19 24,392 2,72
Jam Tidak Sibuk Jumlah % 39,787 12,68 15,567 4,96 35,611 11,35 16,938 5,40 8,596 2,74 57,592 18,35 6,76 2,14 2,262 0,73 130,689 41,65
Sumber : Ortuzar and Willumsen (1994)
3.
Berdasarkan Jenis Orang Hal ini merupakan salah satu jenis pengelompokan yang penting karena perilaku pergerakan individu sangat dipengaruhi oleh atribut sosio-ekonomi. Atribut yang dimaksud adalah : a.
Tingkat pendapatan Pada umumnya terdapat tiga tingkat pendapatan di Indonesia, yaitu tinggi, menengah, dan rendah.
b.
Tingkat pemilikan kendaraan Pada umumnya terdapat empat tingkat, yaitu 0, 1, 2 atau lebih dari dua (2+) kendaran per rumah tangga.
c.
Ukuran dan struktur rumah tangga Hal penting yang harus diamati adalah bahwa jumlah tingkat dapat meningkat pesat dan ini berimplikasi cukup besar bagi kebutuhan akan data, kalibrasi model, dan penggunaannya.
18
7.5 Lalu Lintas
Lalu lintas di dalam Undang-Undang No. 22 tahun 2009 didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan. Sedangkan, yang dimaksud dengan Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang, dan/barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung. Terdapat tiga komponen terjadinya lalu lintas yaitu manusia sebagai pengguna, kendaran dan jalan yang saling berinteraksi dalam pergerakkan kendaraan yang memenuhi persyaratan kelayakan dikemudikan oleh pengemudi mengikuti aturan lalu lintas yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan yang menyangkut lalu lintas dan angkutan jalan melalui jalan yang memenuhi persyaratan geometrik.
Manusia
Kendaraan
Jalan
Gambar 7.5 Komponen Terjadinya Lalu Lintas
1.
Manusia Sebagai Pengguna Manusia sebagai pengguna dapat berperan sebagai pengemudi atau pejalan kaki yang dalam keadaan normal mempunyai kemampuan dan kesiagaan yang berbedabeda (waktu reaksi, konsentrasi, dan lain-lain). Perbedaan-perbedaan tersebut masih dipengaruhi oleh keadaan fisik dan psikologi, umur serta jenis kelamin dan pengaruh-pengaruh luar seperti cuaca, penerangan/lampu jalan dan tata ruang.
2.
Kendaraan Kendaraan digunakan oleh pengemudi mempunyai karakteristik yang berkaitan dengan
kecepatan,
percepatan,
perlambatan,
dimensi
dan
muatan
yang
membutuhkan ruang lalu lintas yang secukupnya untuk bisa bermanuver dalam lalu lintas. Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), jenis-jenis kendaraan terbagi menjadi: 19
a. Kendaraan ringan, merupakan kendaraan bermotor dengan dua as, mempunyai 4 roda dimana jarak as nya 2,0 – 3,0 m (meliputi: mobil penumpang, oplet, mikrobis, pick-up, dan truk kecil). b. Kendaraan berat, merupakan kendaraan bermotor dengan lebih dari 4 roda (meliputi: bus, truk 2 as, truk 3 as, dan truk kombinasi sistem klasifikasi Bina Marga). c. Sepeda motor, merupakan kendaraan bermotor dengan 2 atau 3 roda (meliputi: sepeda motor dan kendaraan roda 3 sesuai sistem klasifikasi Bina Marga). d. Kendaraan tak bermotor, merupakan dengan roda yang digerakkan oleh orang atau hewan (meliputi: sepeda, becak, kereta kuda, dan kereta dorong sesuai sistem klasifikasi Bina Marga). 3.
Jalan Jalan merupakan lintasan yang direncanakan untuk dilalui kendaraan bermotor maupun kendaraan tidak bermotor termasuk pejalan kaki. Jalan tersebut direncanakan untuk mampu mengalirkan aliran lalu lintas dengan lancar dan mampu mendukung beban muatan sumbu kendaraan serta aman, sehingga dapat meredam angka kelecakaan lalu-lintas.
7.6 Geometrik Jalan
Geometrik jalan adalah suatu bangun jalan raya yang menggambarkan tentang bentuk/ukuran jalan raya baik yang menyangkut penampang melintang, memanjang, maupun aspek lain yang terkait dengan bentuk fisik jalan.
Secara filosofis, dalam perencanaan (perancangan) bentuk geometrik jalan raya harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga jalan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada lalu lintas sesuai dengan fungsinya. Geometrik jalan terdiri dari : a.
Tipe jalan Berbagai tipe jalan akan menunjukkan kinerja berbeda pada pembebanan lalu lintas tertentu, misalnya jalan terbagi dan tidak terbagi.
20
b.
Lebar jalur lalu lintas Kecepatan arus bebas dan kapasitas meningkat dengan pertambahan lebar jalur lalu lintas.
c.
Kereb Kereb sebagai batas antara jalur lalu lintas dan trotoar berpengaruh terhadap dampak hambatan samping pada kapsitas dan kecepatan. Kapasitas jalan dengan kereb lebih kecil dari jalan dengan bahu. Selanjutnya kapasitas berkurang jika terhadap penghalang tetap dekat tepi jalur lalu lintas, tergantung apakah jalan mempunyai kereb atau bahu.
d.
Bahu Jalan perkotaan tanpa kerb pada umumnya mempunyai bahu pada kedua sisi jalur lalu lintasnya. Lebar dan kondisi permukaannya mempengaruhi penggunaan bahu, berupa penambahan kapasitas, kecepatan pada arus tertentu, akibat pertambahan lebar bahu, terutama karena pengurangan hambatan sampng yang disebabkan kejadian disisi jalan seperti kendaraan angkutan umum berhenti, pejalan kaki dan sebagainya.
e.
Median Median jalan adalah suatu pemisah fisik jalur lalu lintas yang berfungsi untuk menghilangkan konflik lalu lintas dari arah yang berlawanan, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan keselamatan lalu lintas. Median yang direncanakan dengan baik juga akan dapat meningkatkan kapasitas jalan
f.
Alinyemen Jalan Alinyemen yang berpengaruh pada kecepatan arus bebas biasanya adalah alinyemen horizontal. Namun karena jari-jarinya di daerah perkotaan tidak terlalu besar maka pengaruh ini di abaikan.
7.7 Klasifikasi Jalan
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap, dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api dan jalan kabel (UU No. 38 21
tahun 2004 tentang Jalan). Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi , badan usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri.
7.7.1
Klasifikasi Jalan Menurut Fungsinya
Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, menurut fungsinya dikelompokkan kedalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. a.
Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.
b.
Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
c.
Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
d.
Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
7.7.2
Klasifikasi Jalan Menurut Statusnya
Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan kedalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa. a.
Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis nasional serta jalan tol.
b.
Jalan provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.
22
c.
Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem nasional dan provinsi yang menghubungkan ibukota kabupaten dan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, dengan pusat kegiatan lokal.
d.
Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil, serta menghubungkan antar pusat permukiman yang berada dalam kota.
e.
Jalan desa merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar permukiman dalam desa, serta jalan lingkungan.
7.8 Jalan Perkotaan
Jalan perkotaan adalah jalan yang terdapat perkembangan secara permanen dan menerus di sepanjang atau hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi jalan, baik berupa perkembangan lahan atau bukan.
Segmen jalan perkotaan/semi perkotaan mempunyai secara permanen dan menerus sepanjang seluruh atau hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi jalan, berupa perkembangan lahan atau bukan. Jalan di atau dekat pusat perkotaan dengan pendudk lebih dari 100.000 selalu digolongkan dalam kelompok ini. Jalan di daerah perkotaan dengan penduduk kurang dari 100.000 juga digolongkan dalam kelompok ini jika mempunyai perkembangan samping jalan yang permanen dan menerus. (MKJI, 1997)
Tipe jalan perkotaan adalah sebagai berikut: a.
Jalan dua-lajur dua-arah (2/2 UD)
b.
Jalan empat-lajur dua-arah
Tak-terbagi (yaitu tanpa median) (4/2 UD)
Terbagi (yaitu dengan median) (4/2 D)
c.
Jalan enam-lajur dua-arah terbagi (6/2 D)
d.
Jalan satu-arah (1-3/1)
23
7.9 Persimpangan
Simpang adalah suatu area yang kritis pada suatu jalan raya yang merupakan tempat titik konflik dan tempat kemacetan karena bertemunya dua ruas jalan atau lebih (Pignataro, 1973). Menurut Direktorat Jendral Bina Marga dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), pemilihan jenis simpang untuk suatu daerah sebaiknya berdasarkan pertimbangan ekonomi, pertimbangan keselamatan lalu lintas, dan pertimbangan lingkungan.
7.9.1 Jenis Simpang
Terdapat 2 (dua) jenis simpang berdasarkan cara pengaturannya, antara lain: 1.
Simpang jalan tanpa sinyal, yaitu simpang yang tidak memakai sinyal lalu lintas. Pada simpang ini pemakai jalan harus memutuskan apakah mereka cukup aman untuk melewati simpang atau harus berhenti dahulu sebelum melewati simpang tersebut.
2.
Simpang jalan dengan sinyal, yaitu pemakai jalan dapat melewati simpangsesuai dengan pengoperasian sinyal lalu lintas. Jadi pemakai jalan hanya boleh lewat pada saat sinyal lalu lintas menunjukkan warna hijau pada lengansimpangnya.
7.9.2
Pengaturan Simpang
Dalam perencanaan suatu simpang, kekurangan dan kelebihan dari simpang bersinyal dan simpang tak bersinyal harus dijadikan suatu pertimbangan. Adapun karakteristik simpang bersinyal dibandingkan simpang tak bersinyal adalah sebagai berikut (Hariyanto, 2004) : 1.
Kemungkinan terjadinya kecelakaan dapat ditekan apabila tidak terjadi pelanggaran lalu lintas.
2.
Lampu lalu lintas lebih memberi aturan yang jelas pada saat melalui simpang.
3.
Simpang bersinyal dapat mengurangi konflik yang terjadi pada simpang, terutama pada jam sibuk.
24
4.
Pada saat lalu lintas sepi, simpang bersinyal menyebabkan adanya tundaan yang seharusnya tidak terjadi.
Terdapat beberapa metode pengendalian persimpangan yang dapat dilakukan dalam upaya meminimalkan konflik dan melancarkan arus lalu (Abubakar,1995), yaitu : 1.
Persimpangan prioritas Metode pengendalian persimpangan ini adalah memberikan prioritas yang lebih tinggi kepada kendaraan yang 11elati dari jalan utama dari semua kendaraan yang bergerak dari jalan kecil (jalan minor).
2.
Persimpangan dengan lampu pengatur lalu lintas Metode ini mengendalikan persimpangan dengan suatu alat yang sederhana (manual, mekanis, dan elektris) dengan memberikan prioritas bagi masing-masing pergerakan lalu lintas secara berurutan untuk memerintahkan pengemudi berhenti atau berjalan.
3.
Persimpangan dengan bundaran lalu lintas Metode ini mengendalikan persimpangan dengan cara membatasi alih gerak kendaraan menjadi pergerakan berpencar (diverging), bergabung (merging), berpotongan (crossing), dan bersilangan (weaving) sehingga dapat memperlambat kecepatan kendaraan.
4.
Persimpangan tidak sebidang Metode ini mengendalikan konflik dan hambatan di persimpangan dengan cara menaikkan lajur lalu lintas atau di jalan di atas jalan yang lain melalui penggunaan jembatan atau terowongan (underpass).
Terdapat perlengkapan pengendalian simpang yang salah satunya merupakan perbaikan-perbaikan kecil tertentu yang dapat dilakukan untuk semua jenis persimpangan sehingga dapat meningkatkan keselamatan dan efisiensi (Abubakar, 1995), yang meliputi : a.
Kanalisasi dan pulau-pulau Unsur desain persimpangan yang paling penting adalah mengkanalisasi (mengarahkan) kendaraan-kendaraan ke dalam lintasan-lintasan yang bertujuan untuk mengendalikan dan mengurangi titik-titik dan daerah konflik. Hal ini dapat 25
dicapai dengan menggunakan marka-marka jalan, paku-paku jalan (road stud), median-median dan pulau-pulau lalu lintas yang timbul. b. Pelebaran jalur-jalur masuk Pelebaran jalan yang dilakukan pada jalan yang masuk ke persimpangan, akan memberi kemungkinan bagi kendaraan untuk mengambil ruang antar (gap) pada arus lalu lintas di suatu bundaran lalu lintas, atau waktu prioritas pada persimpangan berlampu pengatur lalu lintas. c.
Lajur-lajur percepatan dan perlambatan Pada persimpangan-persimpangan antar jalan minor dengan jalan utama, maka merupakan suatu hal yang penting untuk menghindarkan adanya kecepatan yang relatif tinggi dari kendaraan-kendaraan jalan utama dengan kendaraan yang akan masuk ke jalan minor. Cara yang termudah adalah dengan menyediakan lajur-lajur tersendiri untuk keperluan mempercepat dan memperlambat kendaraan.
d. Lajur-lajur belok kanan Marka lalu lintas yang membelok ke kanan dapat menyebabkan timbulnya kecelakaan atau hambatan bagi lalu lintas yang bergerak lurus ketika kendaran tersebut menunggu adanya ruang yang kosong dari lalu lintas yang bergerak dari depan. Hal ini membutuhkan ruang tambah yang kecil untuk memisahkan kendaraan yang belok kanan dari lalu lintas yang bergerak lurus ke dalam suatu lajur yang khusus. e.
Pengendalian terhadap pejalan kaki Para pejalan kaki akan berjalan dalam suatu garis lurus yang mengarah kepada tujuannya, kecuali apabila diminta untuk
tidak melakukannya. Fasilitas
penyeberangan bagi pejalan kaki harus diletakkan pada tempat-tempat yang dibutuhkan, sehubungan dengan daerah kemana mereka akan pergi. Digunakan pagar dari besi untuk mengkanalisasi (mengarahkan) para pejalan kaki dan penyeberangan bawah tanah (subway) serta jembatan-jembatan penyeberangan untuk memisahkan para pejalan kaki dari arus lalu lintas yang padat, dengan mengarahkan dan memberikan fasilitas khusus.
26
7.10
Simpang Tak Bersinyal
7.10.1 Lebar Pendekat dan Tipe Simpang
Lebar pendekat diukur pada jarak 10 m dari garis imajiner yang menghubungkan tepi perkerasan dari jalan berpotongan yang dianggap mewakili lebar pendekat efektif untuk masing-masing pendekat.
Sumber: MKJI 1997
Gambar 7.6 Lebar Rata-Rata Pendekat
Jumlah lajur digunakan untuk keperluan perhitungan yang ditentukan dari lebar ratarata pendekat jalan minor dan jalan utama sebagai berikut. Tabel 7.2 Hubungan Lebar Pendekat dengan Jumlah Lajur
Lebar rata-rata pendekat minor dan utama, WBD, WAC (m) b + d) < 5,5 ( 2 ≥ 5,5 WBD B = ( ) 2 a + c) < 5,5 ( 2 ≥ 5,5 WAC B = ( ) 2
Jumlah lajur (total untuk kedua arah) 2 4 2 4
Sumber: MKJI 1997
27
Tipe simpang menentukan jumlah lengan simpang dan jumlah lajur pada jalan utama dan jalan minor pada simpang tersebut dengan kode tiga angka sebagai berikut :
Tabel 7.3 Kode Tipe Simpang Jumlah lengan simpang 3 3 3 4 4
Kode IT 322 324 342 422 424
Jumlah lajur jalan minor 2 2 4 2 2
Jumlah lajur jalan utama 2 4 2 2 4
Sumber: MKJI 1997
7.10.2 Kapasitas
MKJI (1997) mendefinisikan bahwa kapasitas adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan pada suatu bagian jalan dalam kondisi tertentu dinyatakan dalam kendaraan/jam atau smp/jam. Kapasitas total suatu persimpangan dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian antara kapasitas dasar (Co) dan faktor-faktor penyesuaian (F). Persamaan untuk menentukan kapasitas adalah sebagai berikut :
C = CO x FW x FM x FCS x FRSU x FLT x FRT x FMI
(7.1)
dimana, C
: Kapasitas
CO
: Kapasitas dasar
FW
: Faktor penyesuaian lebar pendekat
FM
: Faktor penyesuaian median jalan utama
FCS
: Faktor penyesuaian ukuran kota
FRSU
: Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping, dan kendaraan tak bermotor
FLT
: Faktor penyesuaian rasio belok kiri
FRT
: Faktor penyesuaian rasio belok kanan
FMI
: Faktor penyesuaian rasio arus jalan minor 28
a.
Kapasitas Dasar (CO)
Kapasitas dasar adalah kapasitas persimpangan jalan total untuk suatu kondisi tertentu yang telah ditentukan pada kondisi sebelumnya (kondisi dasar). Kapasitas dasar (smp/jam) ditentukan oleh tipe simpang. Tabel 7.4 Kapasitas Dasar Menurut Tipe Simpang
Kapasitas dasar (smp/jam) 2700 2900 3200 2900 3400
Tipe simpang IT 322 342 324 atau 344 422 424 atau 444 Sumber: MKJI 1997
b.
Faktor Penyesuaian Lebar Pendekat (FW)
Faktor penyesuaian lebar pendekat ini merupakan faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar sehubungan dengan lebar masuk persimpangan jalan. Tabel 7.5 Faktor Penyesuaian Lebar Pendekat
Tipe simpang 422 424 atau 444 322 324 342
Faktor penyesuaian lebar pendekat (FW) 0,7 + 0,0866 W1 0,61 + 0,074 W1 0,076 W1 0,62 + 0,0646 W1 0,0698 W1
Sumber: MKJI 1997
c.
Faktor Penyesuaian Median Jalan Utama (FM)
Faktor penyesuaian median jalan utama diperoleh dari Tabel 7.6, penyesuaian hanya digunakan untuk jalan utama dengan 4 lajur. 29
Tabel 7.6 Faktor Penyesuaian Median Jalan Utama
Tipe median Tidak ada median jalan utama Ada median jalan utam lebar < 3 m Ada median jalan utama, lebar ≥ 3 m
Faktor penyesuaian median (FM) 1,00 1,05 1,20
Sumber: MKJI 1997
d.
Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS)
Faktor ini hanya dipengaruhi oleh variabel besar kecilnya jumlah penduduk pada suatu kota yang tercantum seperti dalam Tabel 7.7 berikut :
Tabel 7.7 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota
Ukuran kota Sangat kecil Kecil Sedang Besar Sangat besar
Penduduk (Juta) < 0,1 0,1 – 0,5 0,5 – 1,0 1,0 – 3,0 > 3,0
FCS 0,82 0,88 0,94 1,00 1,05
Sumber: MKJI 1997
d.
Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping, dan Kendaraan Tak Bermotor (FRSU)
Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping dan kendaraan tak bermotor (FRSU) dapat dihitung menggunakan Tabel 7.8, dengan variabel masukkan berupa tipe lingkungan jalan (RE), kelas hambatan samping (SF), dan rasio kendaraan tak bermotor UM/MV.
30
Tabel 7.8 Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping, dan Kendaraan Tak Bermotor Kelas tipe lingkungan jalan (RE) Komersial
Pemukiman Akses terbatas
Kelas hambatan samping (SF) Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi/ Sedang/ Rendah
Rasio kendaraan tak bermotor pUM 0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
≥ 0,25
0,93 0,94 0,95 0,96 0,97 0,98
0,88 0,89 0,90 0,91 0,92 0,93
0,84 0,85 0,86 0,86 0,87 0,88
0,79 0,80 0,81 0,82 0,82 0,83
0,74 0,75 0,76 0,77 0,77 0,78
0,70 0,70 0,71 0,72 0,73 0,74
1,00
0,95
0,90
0,85
0,80
0,75
Sumber: MKJI 1997
f.
Faktor Penyesuaian Belok Kiri (FLT)
Dalam pencarian faktor penyesuaian belok kiri ini dapat digunakan rumus : FLT = 0,84 + 1,61 PLT
(7.2)
Atau dapat juga menggunakan grafik untuk menentukan faktor penyesuaian belok kiri dengan variabel masukan adalah belok kiri.
Sumber: MKJI 1997
Gambar 7.7 Faktor Penyesuaian Belok Kiri 31
g.
Faktor Penyesuaian Belok Kanan (FRT)
Faktor penyesuaian belok kanan untuk simpang jalan dengan empat lengan nilai dari FRT = 1,0, sedangkan untk simpang jalan dengan 3 lengan dapat menggunakan rumus : FRT = 1,09 – 0,922 PRT
(7.3)
Atau dapat juga menggunakan grafik untuk menentukan faktor penyesuaian belok kanan dengan variabel masukan adalah belok kanan.
Sumber: MKJI 1997
Gambar 7.8 Faktor Penyesuaian Belok Kanan
h.
Faktor Penyesuaian Rasio Arus Minor (FMI)
Yang banyak mempengaruhi faktor ini adalah rasio arus pada jalan (P MI) dan tipe simpang (IT) pada persimpangan jalannya.
32
Tabel 7.9 Faktor Penyesuaian Arus Jalan Minor
IT 422 424 444 322 342 324 344
FMI 1,19 x PMI2 – 1,19 x PMI + 1,19 16,6 x PMI4 – 33,3 x PMI3 + 25,3 x PMI2 – 8,6 x PMI2 + 1,95 1,11 x PMI2 – 1,11 x PMI + 1,11 1,19 x PMI2 – 1,19 x PMI + 1,19 -0,595 x PMI2 + 0,595 x PMI3 + 0,74 1,19 x PMI2 – 1,19 x PMI + 1,19 2,38 x PMI2 – 2,38 x PMI + 1,49 16,6 x PMI2 – 33,3 x PMI3 + 25,3 x PMI2 – 8,6 x PMI + 1,95 1,11 x PMI2 – 1,11 x PMI + 1,11 -0,555 x PMI2 + 0,555 x PMI + 0,69
PMI 0,1 – 0,9 0,1 – 0,3 0,3 – 0,9 0,1 – 0,5 0,5 – 0,9 0,1 – 0,5 0,5 – 0,9 0,1 – 0,3 0,3 – 0,5 0,5 – 0,9
Sumber: MKJI 1997
Atau dapat juga menggunakan grafik untuk menentukan faktor penyesuaian arus jalan minor dengan variabel masukan adalah rasio arus jalan minor (PMI).
Sumber: MKJI 1997
Gambar 7.9 Faktor Penyesuaian Arus Jalan Minor
33
7.10.3 Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan (DS) merupakan rasio arus lalu lintas aktual (smp/jam) terhadap kapasitas (smp/jam), dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut : DS =
Qsmp
(7.4)
C
Keterangan : DS
: Derajat kejenuhan
Qsmp
: Arus lalu lintas (smp/jam)
C
: Kapasitas (smp/jam) Tabel 7.10 Hubungan Derajat Kejenuhan dengan Tingkat Pelayanan
Tingkat Pelayanan
DS
A
DS < 0,60
B
0,60 < DS > 0,77
C D
0,70 < DS > 0,80 0,80 < DS > 0,90
E
0,90 < DS > 1,00
F
DS > 1,00
Klasifikasi Arus bebas volume rendah dan kecepatan tinggi, pengemudi dapat memilih kecepatan yang dikehendaki Arus stabil, kecepatan sedikit terbatas oleh lalu lintas, pengemudi masih dapat kebebasan dalam memilih kecepatannya Arus stabil, kecepatan dikontrol lalu lintas Arus sudah tak stabil, kecepatan rendah Arus tidak stabil, kecepatan rendah dan berbeda-beda, volume mendekati kapasitas Arus terhambat, kecepatan rendah, volume di atas kapasitas, sering terjadi kemacetan pada waktu
Sumber: Morlok (1978)
7.10.4 Tundaan
Tundaan di persimpangan adalah total waktu hambatan rata-rata yang dialami oleh kendaraan sewaktu melewati suatu simpang. Hambatan tersebut muncul jika kendaraan
34
berhenti karena terjadinya antrian di simpang sampai kendaraan itu keluar dari simpang karena kapasitas simpang yang sudah tidak memadai.
a.
Tundaan lalu lintas simpang (DTI)
Tundaan lalu-lintas simpang adalah tundaan lalu-lintas, rata-rata untuk semua kendaraan bermotor yang masuk simpang tundaan DTI ditentukan dari hubungan empiris antara tundaan DTI dan derajat kejenuhan DS.
Sumber: MKJI 1997
Gambar 7.10 Tundaan Lalu Lintas Simpang dengan Derajat
b.
Tundaan lalu lintas jalan utama (DTMA)
Tundaan lalu-lintas jalan-utama adalah tundaan lalu-lintas rata-rata semua kendaraan bermotor yang masuk persimpangan dari jalan-utama. DTMA ditentukan dari kurva empiris antara DTMA dan DS.
35
Sumber: MKJI 1997
Gambar 7.11 Tundaan Lalu Lintas Jalan Utama dan Derajat Kejenuhan
c.
Tundaan lalu lintas jalan minor (DTMI)
Tundaan lalu-lintas jalan minor rata-rata, ditentukan berdasarkan tundaan simpang ratarata dan tundaan jalan utama rata-rata.
DTMI =
(Qsmp −DT)−(QMI x DTMA ) QMI
(7.5)
dengan, Qsmp : Arus total sesungguhnya (smp/jam) QMA : Jumlah kendaraan yang masuk di simpang melalui jalan major (smp/jam) QMI : Jumlah kendaraan yang masuk di simpang melalui jalan minor (smp/jam)
d.
Tundaan geometrik simpang
Tundaan geometrik simpang adalah tundaan geometrik rata-rata seluruh kendaraan bermotor yang masuk simpang. DG dapat dihitung dari persamaan berikut :
36
Untuk DS < 1,0 DG = (1 – DS) x (PT x 6 + (1 – PT) x 3) + DS x 4 (det/smp)
(7.6)
Untuk DS ≥ 1,0: DG = 4
dimana, DG : Tundaan geometrik simpang (det/smp) DS
: Derajat kejenuhan
PT
: Rasio belok total
e.
Tundaan simpang
Tundaan simpang dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :
DG = DG + DT1 (det/smp)
(7.7)
dimana, DG
: Tundaan geometrik simpang
DT1
: Tundaan lalu lintas simpang
7.10.5 Peluang Antrian
Batas nilai peluang antrian QP% ditentukan dari hubungan empiris antara peluang antrian QP% dan derajat kejenuhan DS. Peluang antrian dengan batas atas dan batas bawah dapat diperoleh dengan menggunakan rumus seperti yang terdapat pada grafik berikut ini :
37
Sumber: MKJI 1997
Gambar 7.12 Batas Atas dan Batas Bawah Peluang
7.11
Simpang Bersinyal
Lampu lalu lintas adalah suatu alat kendali (kontrol) dengan menggunakan lampu yang terpasang pada persimpangan dengan tujuan untuk mengatur arus lalu lintas. Pengaturan arus lalu lintas pada persimpangan pada dasarnya dimaksudkan untuk bagaimana pergerakan kendaraan pada masing-masing kelompok pergerakan kendaraan (vehicle group movements) dapat bergerak secara bergantian sehingga tidak saling menggangu antar arus yang ada. Perlu dipahami bahwa pemasangan lampu lalu lintas tidak selalu bias meningkatkan kapasitas, hal ini salah satu penyebabnya adalah ketika lampu lalu lintas dipasang pada volume rendah. (Salter, 1975). Begitu juga pada perancangan lampu lalu lintas yang kurang tepat dapat meningkatkan kecelakaan.
7.11.1 Kondisi Arus Lalu Lintas
Data arus lalu lintas yang digunakan untuk penghitungan adalah data arus lalu lintas untuk masing-masing pergerakan. Data rinci pergerakan lalu lintas yang dibutuhkan 38
volume dan arah gerakan lalu lintas pada saat jam sibuk. Klasifikasi kendaraan diperlukan untuk mengkonversikan kendaraan ke dalam bentuk satuan mobil penumpang (smp) per jam. Analisis ini dilakukan dengan cara mengalikan jumlah total dari tiap-tiap jenis kendaraan dengan faktor konversi emp.
Tabel 7.11 Faktor Konversi emp
emp Tipe Kendaraan
Pendekat Terlindung 1,0 1,3 0,2
Kendaraan Ringan (LV) Kendaraan Berat (HV) Sepeda Motor (MC)
Pendekat Terlawan 1,0 1,3 0,4
Sumber: MKJI 1997
Untuk masing-masing pendekat rasio kendaraan belok kiri PLT, dan rasio belok kanan PRT, dihitung dengan rumus :
PLT =
PRT =
LT (smp/jam) Total (smp/jam)
RT (smp/jam) Total (smp/jam)
(7.8)
(7.9)
dimana, LT
: Volume kendaraan belok kiri
RT
: Volume kendaraan belok kanan
7.11.2 Karakteristik Sinyal Lalu Lintas
a.
Fase sinyal
Fase adalah bagian dari siklus sinyal dengan lampu hijau disediakan bagi kombinasi tertentu dari gerakan lalu lintas (i = indeks untuk nomor fase). Pemilihan fase pergerakan tergantung dari banyaknya konflik utama, yaitu konflik yang terjadi pada 39
volume kendaraan yang cukup besar. Menurut MKJI, 1997 jika fase sinyal tidak diketahui, maka pengaturan dengan dua fase sebaiknya digunakan sebagai kasus dasar. Pemisahan gerakan-gerakan belok kanan biasanya hanya dilakukan berdasarkan pertimbangan kapasitas kalau gerakan membelok melebihi 200 smp/jam.
b.
Waktu antar hijau dan waktu hilang
Waktu antar hijau adalah periode kuning dan merah semua antara dua fase yang berurutan, arti dari keduanya sebagai berikut ini:
Panjang waktu kuning pada sinyal lalu lintas perkotaan di Indonesia menurut MKJI, 1997 adalah 3,0 detik.
Waktu merah semua pendekat adalah waktu dimana sinyal merah menyala bersamaan dalam semua pendekat yang dilayani oleh dua fase sinyal yang berurutan. Fungsi dari waktu merah semua adalah member kesempatan bagi kendaraan terakhir (melewati garis henti pada akhir sinyal kuning) berangkat sebelum kedatangan kendaraan pertama dari fase berikutnya. Jadi waktu merah semua (all red) merupakan fungsi dari kecepatan dan jarak dari kendaraan yang berangkat dan yang datang dari garis henti sampai ke titik konflik dan panjang dari kendaraan yang berangkat. Titik konflik kritis dari setiap fase adalah titik yang menghasilkan waktu merah semua terbesar yang dihitung dengan rumus: MERAH SEMUAi = [
(LEV +lev ) VEV
−
LAV VAV
]MAX
(7.10)
dimana, LEV, LAV
: Jarak dari garis henti ke titik konflik masing-masing untuk kendaraan yang berangkat dan yang datang (m)
lev
: Panjang kendaraan yang berangkat (m)
VEV, VAV
: Kecepatan masing-masing untuk kendaraan yang berangkat dan yang datang (m/det)
Nilai-nilai untuk VEV, VAV, dan lev tergantung dari komposisi lalu lintas dan kondisi kecepatan pada lokasi. Nilai-nali ini dapat dilihat pada tabel berikut : 40
Tabel 7.12 Nilai Kecepatan dan Panjang Kendaraan Bermotor
Kecepatan kendaraan yang datang Kecepatan kendaraan yang berangkat
VAV
10 m/det (kendaraan bermotor)
VEV
10 m/det (kendaraan bermotor)
Panjang kendaraan yag berangkat
lev
5 m (LV atau HV), 2 m (MC atau UM)
Sumber: MKJI 1997
Apabila periode merah semua untuk masing-masing akhir fase telah ditetapkan, maka waktu hilang (LTI) untuk simpang dapat dihitung sebagai jumlah dari waktu-waktu antar hijau (intergreen): LTI = ∑ (merah semua + kuning)
(7.11)
dengan, LTI
: Waktu hilang total per siklus (det)
Intergreen
: Waktu antar hijau pada fase 1 (det)
Merah semua : Waktu merah semua (det) Kuning
: Waktu kuning (det)
7.11.3 Penentuan Waktu Sinyal
a.
Tipe Pendekat
Terdapat 2 jenis tipe pendekat, antara lain:
Terlindung (P)
: Arus berangkat tanpa konflik dengan lalu lintas dari arah berlawanan
Terlawan (O)
: Arus berangkat dengan konflik dengan lalu lintas dari arah berlawan
41
b.
Lebar Pendekat Efektif
Lebar pendekat efektif (We) untuk pendekat dengan pulau lalu lintas maupun tanpa pulau lalu lintas dapat ditentukan dengan langkah sebagai berikut :
Jika WLTOR ≥ 2 m Dalam hal ini dianggap bahwa keadaan LTOR dapat mendahului antrian kendaraan lurus dan belok kanan dalam pendekat selama sinyal merah. Selanjutnya arus lalu lintas belok kiri langsung (QLTOR) tidak disertakan dalam perhitungan waktu sinyal dan kapasitas. Lebar pendekat efektif ditentukan dengan rumus : W − WLTOR We = MIN { A Wmasuk
(7.12)
Jika WLTOR < 2 m Dalam hal ini dianggap bahwa keadaan LTOR tidak dapat mendahului antrian kendaraan lurus dan belok kanan dalam pendekat selama sinyal merah. Selanjutnya arus lalu lintas belok kiri langsung (QLTOR) tdisertakan dalam perhitungan waktu sinyal dan kapasitas. Lebar pendekat efektif ditentukan dengan rumus : WA Wmasuk + WLTOR We = MIN { WA x (1 + PLTOR ) − WLTOR
c.
(7.13)
Arus Jenuh Dasar (SO)
Perhitungan besarnya arus jenuh tidak sama untuk setiap persimpangan. Tergantung pada berbagai faktor seperti kondisi gradien jalan, lokasi parkir, radius tikungan dan ada tidaknya lalu lintas belok kanan yang berpapasan dengan lalu lintas yang datang dari arah berlawanan.
Untuk pendekat tipe terlindung (P) Rumus yang dapat digunakan adalah: SO = 600 x We
(7.14)
Atau dapat menggunakan grafik seperti pada Gambar 7.14.
42
Sumber: MKJI 1997
Gambar 7.14 Arus Jenuh Dasar untuk Pendekat Tipe P
f.
Untuk pendekat tipe terlindung (P) Arus jenuh dasar ditentukan berdasarkan Gambar C-3:2 untuk pendekat tanpa lajur belok kanan terpisah (MKJI hal. 2-51) dan Gambar C-3:3 untuk pendekat dengan lajur belok kanan terpisah (MKJI hal. 2-52). Gambar tersebut dipergunakan untuk mendapatkan nilai arus jenuh pada keadaan dimana We lebih besar atau lebih kecil daripada We sesungguhnya, dan dihitung hasilnya dengan interpolasi.
7.12
Kecepatan Perjalanan
Kecepatan adalah jarak yang ditempuh dalam satuan waktu, atau nilai perubahan jarak terhadap waktu, atau nilai perubahan jarak terhadap waktu. Kecepatan tempuh didefinisikan dalam manual ini sebagai perbandingan antara panjang jalan dengan waktu tempuh, yang dirumuskan sebagai berikut :
V=
L TT
(7.15)
43
dimana, V
: Kecepatan rata-rata (km/jam)
L
: Panjang segmen (km)
TT : Waktu tempuh rata-rata sepanjang segmen (jam)
7.13
Tingkat Pelayanan Jalan
Tingkat pelayanan adalah indikator yang dapat mencerminkan tingkat kenyamanan ruas jalan, yaitu perbandingan antara volume lalu lintas yang ada terhadap kapasitas jalan tersebut (MKJI, 1997). Tingkat-tingkat ini dinyatakan dengan huruf A yang merupakan tingkat pelayanan tertinggi sampai F yang merupakan tingkat pelayanan paling rendah.
7.14
Tundaan Lalu Lintas pada Konsep Jaringan (Dtotal)
Tundaan ruas dan simpang dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut : Dtotal = n . Dsp + n . TTruas dimana, Dtotal
: Biaya yang dikeluarkan untuk perjalanan (det/smp)
n
: Jumlah simpang/ruas
Dsp
: Tundaan lalu lintas simpang (det/smp)
TTruas
: Tundaan lalu lintas ruas (det/smp)
7.15
Biaya Operasi Kendaraan
Biaya Operasional Kendaraan (BOK) adalah biaya ekonomis yang terjadi biaya ekonomis yang terjadi dengan dioperasikannya suatu kendaraan pada kondisi normal untuk suatu tujuan tertentu. Pengertian biaya ekonomi yang dimaksud disini adalah biaya yang sebenarnya terjadi (Hudoyo R, 2006). Analisis biaya operasional kendaraan di pengaruhi oleh kecepatan kendaraan, jenis kendaraan, geometrik jalan, kekasaran permukaan jalan, dan gaya pengemudi.
44
Menurut Bina Marga, 1995 dan Sistem Perencanaan Angkutan Umum ITB, 1997, biaya operasi kendaraan (BOK) terdiri dari : 1. Biaya tetap (standing cost atau fixed cost) adalah biaya tetap yang harus dikeluarkan secara rutin untuk jangka waktu tertentu dan tidak terpengaruh oleh operasional kendaraan tersebut, yaitu meliputi : Biaya depresiasi Biaya bunga modal (interest cost) Biaya asuransi Biaya overhead 2. Biaya tidak tetap (variable cost or running cost) adalah biaya yang harus dikeluarkan sesuai dengan jarak tempuh dengan jarak tempuh dan tergantung pada pemakaian kendaraan sehingga dapat dirasakan secara langsung, biaya tidak tetap terdiri dari : Biaya konsumsi bahan bakar Biaya konsumsi oil Biaya konsumsi ban Biaya pemeliharaan Biaya awak kendaraan
7.15.1 Metode Biaya Operasi Kendaraan (BOK) Kendaraan Penumpang
a.
Metode PCI 1988
Perhitungan biaya operasi kendaraan mobil penumpang menggunakan metode PCI sebagaimana dikutip pada Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI) ITB (1996) untuk jenis jalan perkotaan (non toll road).
Komponen biaya dan persamaan penghitungan BOK adalah sebagai berikut : 1) Pemakaian bahan bakar Biaya bahan bakar ditentukan dengan menghitung bahan bakar yang digunakan (liter/1.000 km) dikalikan dengan harga tiap liternya. Pemakaian bahan bakar untuk jenis kendaraan penumpang sesuai dengan persamaan berikut : 45
Mobil penumpang : Y = 0,05693 S2 – 6,42593 S + 269,18567
(7.16)
Keterangan : Y : konsumsi BBM (liter/1.000 km) S : kecepatan (km/jam) 2) Pemakaian oli/minyak pelumas Pemakaian oli/minyak pelumas untuk jenis kendaraan mobil penumpang sesuai dengan persamaan berikut ini : Mobil penumpang : Y = 0,00037 S2 – 0,04070 S + 2,20403
(7.17)
Keterangan : Y : konsumsi minyak pelumas/oli (liter/1.000 km) S : kecepatan (km/jam) 3) Pemakaian ban Pemakaian ban untuk jenis kendaraan mobil penumpang sesuai dengan persamaan berikut ini : Mobil penumpang : Y = 0,0008848 S – 0,004533
(7.18)
Keterangan : Y : konsumsi ban setiap 1.000 km (ban/1.000 km) S : kecepatan (km/jam) 4.) Biaya perawatan kendaraan Biaya perawatan kendaraan terdiri dari biaya suku cadang dan montir, sesuai dengan persamaan beikut ini : a. Suku cadang Mobil penumpang : Y = 0,0000064 S + 0,0005567
(7.19)
Keterangan : Y : peliharaan suku cadang setiap 1.000 km S : kecepatan (km/jam) b. Montir Mobil penumpang : Y = 0,00362 S + 0,36267
(7.20)
Keterangan : Y : jasa untuk setiap 1.000 km (jam/1.000 km) S : kecepatan (km/jam) 5) Biaya penyusutan kendaraan Biaya penyusutan untuk jenis kendaraan mobil penumpang sesuai dengan persamaan berikut ini : Mobil penumpang : Y = 1 / (2,50 S + 125)
(7.21)
Keterangan : Y : biaya penyusutan kendaraan setiap 1.000 km (sama dengan ½ nilai penyusutan kendaraan/1.000 km) 46
S : kecepatan (km/jam) 6) Asuransi Biaya asuransi untuk jenis kendaraan mobil penumpang sesuai dengan persamaan berikut ini : Mobil penumpang : Y = 38 / (500 S)
(7.22)
Keterangan : Y : biaya asuransi setiap 1.000 km S : kecepatan (km/jam) 7) Bunga modal Mobil penumpang : Y = 150 / 500 S
(7.23)
Keterangan : Y : biaya bunga modal setiap 1.000 km (sama dengan ½ nilai penyusutan kendaraan/1.000 km) S : kecepatan (km/jam)
b.
Metode LAPI Institut Teknologi Bandung (1996)
Komponen biaya dan persamaan penghitungan biaya operasi kendaraan untk Golongan I (mobil penumpang) adalah sebagai berikut : 1) Konsumsi bahan bakar Konsumsi bahan bakar = basic fuel (1 ± (kk + kl + kr)) dimana,
(7.24)
basic fuel dalam liter/1.000 km kk adalah koreksi akibat kelandaian kl adalah koreksi akibat kondisi lalu lintas kr adalah koreksi akibat kekasaran permukaan jalan (roughness)
Konsumsi bahan bakar dasar kendaraan Golongan I Mobil penumpang : Y = 0,0284 V2 – 3,0644 V + 141,68
(7.25)
47
Tabel 7.13 Faktor Koreksi Konsumsi Bahan Bakar Dasar Kendaraan
g < -5% -5% ≤ g < 0% 0% ≤ g < 5% g ≥ 5% 0 ≤ v/c < 0,6 0,6 ≤ v/c < 0,8 v/c ≥ 0,8 < 3 m/km ≥ 3 m/km
Koreksi Kelandaian Negatif (kk) Koreksi Kelandaian Positif (kk) Koreksi Lalu Lintas (kl) Koreksi Kekasaran (kr)
-0,337 -0,158 0,400 0,820 0,050 0,185 0,253 0,035 0,085
Sumber: LAPI ITB, 1996
2) Konsumsi minyak pelumas Konsumsi dasar minyak pelumas (liter/km) dimodifikasi dari model yang dikembangkan dalam GENMERRI dan dikoreksi menurut tingkatan roughness seperti yang terlihat pada Tabel 7.15.
Tabel 7.14 Konsumsi Dasar Minyak Pelumas (liter/km)
Kecepatan (km/jam) 10 – 20 20 – 30 30 – 40 40 – 50 50 – 60 60 – 70 70 – 80 80 – 90 90 – 100 100 -110
Jenis kendaraan Golongan I 0,0032 0,0030 0,0028 0,0027 0,0027 0,0029 0,0031 0,0033 0,0035 0,0038
Golongan IIA 0,0060 0,0057 0,0055 0,0054 0,0054 0,0055 0,0057 0,0060 0,0064 0,0070
Golongan IIB 0,0049 0,0046 0,0044 0,0043 0,0043 0,0044 0,0046 0,0049 0,0053 0,0059
Sumber: LAPI ITB, 1996
Tabel 7.15 Faktor Koreksi Konsumsi Minyak Pelumas terhadap Kondisi Kekasaran Permukaan Jalan
Niai kekasaran < 3 m/km ≥ 3 m/km
Faktor koreksi 1,00 1,50
Sumber: LAPI ITB, 1996
48
3) Konsumsi ban Modelnya adalah sebagai berikut : Mobil penumpang : Y : = 0,0008848 V – 0,0045333 dimana,
(7.26)
Y : pemakaian ban per 1.000 km V : kecepatan berjalan (running speed)
4.) Biaya pemeliharaan Biaya pemeliharaan terdiri dari dua komponen yaitu biaya suku cadang dan montir. a. Suku cadang Mobil penumpang : Y = 0,0000064 V + 0,0005567
(7.27)
Keterangan : Y : peliharaan suku cadang per 1.000 km S : kecepatan berjalan (running speed)
b. Montir Mobil penumpang : Y = 0,00362 V + 0,36267
(7.28)
Keterangan : Y : jasa montir per 1.000 km S : kecepatan berjalan (running speed) 5) Biaya depresiasi Biaya depresiasi untuk jalan arteri dirumuskan sebagai berikut : Mobil penumpang : Y : = 1 / (2,50 V + 125) dimana,
(7.29)
Y : depresiasi per 1.000 km, sama dengan ½ nilai depresiasi dari kendaraan.
6) Bunga modal Menurut model HDM III, biaya bunga modal per kendaraan kilometer yang dilambangkan dengan INT dan diekspresikan sebagai fraksi dari harga kendaran baru diberikan dalam persamaan berikut ini : Mobil penumpang : INT = AINT / AKM
(7.30)
dimana, INT
: bunga modal kendaraan/km
AINT
: rata-rata bunga modal tahunan dari kendaraan yang diekspresikan sebagai fraksi dari harga kendaraan baru = 0,01 x (AINV/2)
AINV
: bunga modal tahunan dari harga kendaraan baru (%)
AKM
: rata-rata jarak tempuh tahunan (kilometer) kendaraan 49
7) Asuransi Biaya asuransi adalah sebagai berikut : Mobil penumpang : Y : = 38 / (500 V) dimana,
(7.31)
Y : depresiasi per 1.000 km, sama dengan ½ nilai depresiasi dari kendaraan.
8) Waktu perjalanan Mobil penumpang : Y = Nilai waktu x Panjang jalan dimana,
(7.32)
Y : nilai waktu perjalanan
Untuk setiap kendaraan representatif, data dasar yang diperlukan adalah : a.
Harga satuan bahan bakar bensin (Rp/liter)
b.
Harga satuan minyak pelumas/oli (Rp/liter)
c.
Harga ban baru (Rp)
d.
Harga kendaraan baru dan harga kendaraan terdepresiasi (Rp)
e.
Kecapatan kendaraan dan jarak tempuh rata-rata tahunan kendaraan
f.
Tingkat suku bunga (%)
7.16 Nilai Waktu
Nilai waktu adalah sejumlah uang yang disediakan seseorang untuk dikeluarkan (atau dihemat) untuk menghemat satu unit waktu perjalanan. Nilai waktu ini relatif dengan banyaknya pengeluaran konsumen.
7.17 Biaya Tundaan Lalu Lintas
Biaya tundaan lalu lintas merupakan tambahan biaya perjalanan yang terjadi sebagai bakibat adanya tambahan waktu perjalanan volume kendaran yang mendekati atau melebihi kapasitas pelayanan.
50
7.18 Perumusan Perhitungan Biaya Tundaan Lalu Lintas
Setelah dijelaskan komponen dari perumusan perhitungan biaya tundaan lalu lintas maka selanjutnya diuraikan bentuk perumusannya. Adapun bentuk yang dapat digunakan adalah selisih biaya perjalanan sesudah dan sebelum pertambahan volume lalu lintas dan hambatan samping jalan. Bentuk perhitungan diatas dapat dirumuskan sebagai berikut : D = ∑Q x (∆t x (BOK + NW))
(7.33)
dimana, D
: Biaya perjalanan (Rp)
Q
: Volume kendaraan pada waktu puncak (kendaraan)
∆t
: Waktu perjalanan/waktu tempuh (jam)
BOK : Biaya Operasi Kendaraan (Rp/jam) NW
: Nilai waktu perjalanan (Rp/jam)
Sehubungan dengan itu, untuk melihat biaya tundaan yang terjadi maka dilakukan perhitungan selisih biaya perjalanan antara volume lalu lintas pada waktu puncak puncak dengan kecepatan tempuh saat sebelum dan sesudah pertambahan volume lalu lintas dan hambatan samping jalan.
Dengan demikian, persamaan diatas dapat ditulis sebagai berikut : D = ∑Q x ((t1 x (BOK1 + NW1)) – (t0 x (BOK0 + NW0)))
(7.34)
dimana, Indeks 1 : Kondisi setelah pertambahan volume dan hambatan samping jalan Indeks 0 : Kondisi sebelum pertambahan volume dan hambatan samping jalan
51
8. Metodologi Penelitian
Tahapan-tahapan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Mulai
Studi Pendahuluan : a. b. c. d.
Studi Pustaka Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat
Pengumpulan Data
Data Primer : a. b. c. d. e. f. g.
Data Sekunder :
Data traffic counting Data geometrik lalu lintas Data kecepatan kendaraan Konsumsi BBM Pemakaian pelumas Pemakaian ban Biaya pemeliharaan
a. Data jumlah penduduk b. Data tata guna lahan c. Jaringan jalan
Analisis Data a. b. c. d.
Analisis lalu lintas pada simpang dan ruas Analisis tundaan jaringan yang dihasilkan Analisis BOK dengan cara manual Analisis biaya tundaan Hasil dan Pembahasan Kesimpulan dan Saran Selesai 52
9. Relevansi Penelitian yang dilakukan diharapkan agar instansi pemerintah atau swasta dapat menjadikan skripsi ini sebagai acuan terhadap permasalahan transportasi yang terjadi di kota Samarinda, seperti pengelolaan terhadap kinerja lalu lintas. Selain itu, dapat memberikan manfaat bukan hanya bagi penulis tetapi juga bagi pihak-pihak yang saling terkait dan untuk rekan-rekan mahasiswa yang berminat dengan manajemen transportasi.
10. Jadwal Kegiatan
Dalam melakukan penelitian tentunya akan mengalami beberapa kendala. Untuk itu, agar penelitian dapat berjalan sesuai dengan waktu yang diharapkan maka diperlukan jadwal kegiatan. Penelitian akan dilaksanakan selama 5 bulan. Adapun jadwal pelaksanaan kegiatan penelitian adalah sebagai berikut :
Tabel 9.1 Jadwal Kegiatan
No
Kegiatan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
2017
2017
2017
2017
2017
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 1
2
3
4 5 6
4
Studi Literatur Penyusunan Proposal Pengumpulan Data Pengolahan Data Analisa Data Penulisan Laporan
53
11. Daftar Pustaka Departemen Pekerjaan Umum. 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Marga. Jotin, Kristy C. dan B. Kent Lall. 2003. Dasar-dasar Rekayasa Transportasi Jilid II. Erlangga : Jakarta Jotin, Kristy C. dan B. Kent Lall. 2003. Dasar-dasar Rekayasa Transportasi Jilid I. Erlangga : Jakarta. Nasution, Ariany F. dan D.M. Priyantha. 2012. Jurnal: Analisis Biaya Perjalanan Akibat Tundaan Lalu Lintas. Universitas Udayana: Denpasar. Pasaribu, Rama Miranda dan Zulkarnain Muis. 2009. Jurnal: Analisa Biaya Tundaan Kendaraan di Ruas Jalan Kota Medan (Studi Kasus: Jalan Guru Patimpus Medan). Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara: Medan. Tamin, O.Z. 2008. Perencanaan, Permodelan, dan Rekayasa Transportasi. ITB: Bandung
Samarinda, 30 Januari 2017
Mengetahui, Ketua Program Studi
Dr. Hj. Mardewi Jamal, S.T., M.T. NIP. 19770311 200812 2 001
Yang Mengusulkan,
Celine Oktavia Putri NIM. 1309025002 54