Proposal Sepni.docx

  • Uploaded by: Sepni Walvri
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Proposal Sepni.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,808
  • Pages: 37
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR HALUSINASI 1. Pengertian Halusinasi adalah persepsi yang tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar. Walaupun tampak sebagai suatu yang “khayal”, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental penderita yang “teresepsi”(Yosep, 2010 dalam Damaiyanti, 2012). Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan gangguan persepsi sensori; merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan dan penciuman yang stimulusnya dirasakan oleh pasien, namun sebenarnya tidak ada. (Keliat, 2012). Halusinasi adalah gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi palsu melalui panca indra tanpa adanya stimulus eksternal (Muhith, 2015). Halusinasi penglihatan merupakan stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometris, gambar kartun dan atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan dapat berupa sesuatu yang menyenangkan. (Stuart & Sundeen, 2005 dalam Muhith, 2015). Halusinasi penglihatan merupakan halusinasi yang lebih sering terjadi pada keadaan delirium. Biasanya sering muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat gambaran- gambaran yang mengerikan (Yosep, 2010). Berdasarkan pengertian- pengertian halusinasi diatas maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu dimana individu mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi palsu melalui panca indra tanpa adanya stimulus eksternal atau rangsangan langsung sedangkan halusinasi penglihatan adalah jenis halusinasi dimana individu seolah- olah melihat gambar yang jelas atau

8

9

samar tanpa stimulus yang nyata atau rangsangan langsung dan orang lain tidak melihat, halusinasi penglihatan tersebut selain berupa gambar yang jelas dapat pula berupa pancaran cahaya, gambaran geometris, gambaran kartun atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan dapat berupa sesuatu yang memyenangkan maupun menakutkan.

2. Jenis- jenis Halusinasi Stuart dan Laraia (2005 dalam Muhith, 2015) membagi halusiansi menjadi tujuh jenis halusinasi yang meliputi halusinasi pendengaran (auditory), halusiansi penglihatan (visual), halusinasi penciuman (olfactory), halusinasi pengecapan (gustatory), halusinasi perabaan (tactile), halusinasi cenesthetic, halusinasi kinesthetic. Halusinasi yang paling banyak diderita adalah halusinasi pendengaran lebih kurang 70%, sedangkan halusinasi penglihatan menduduki peringkat kedua dengan rata-rata 20%, sementara jenis halusinasi yang lain yaitu halusinasi pengecapan, penghidu, perabaan, cenesthetic, dan kinesthetic hanya meliputi 10%. Penjelasan secara detail mengenai karakteristik dari setiap jenis halusinasi adalah sebagai berikut : a. Halusinasi Penglihatan (visual) Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambaran geometris, gambaran kartun, bayangan yang rumit dan kompleks, bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster atau hantu. Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik), biasanya sering muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat gambaran- gambaran yang mengerikan. b. Halusinasi Pendengaran (auditory) Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara bising yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering tersengar sebagai sebuah kata atau kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut ditujukan pada penderita sehingga tidak jarang penderita bertengkar dan berdebat dengan

suara-suara

tersebut.

Pasien

dengan

halusinasi

biasa

10

mendengarkan suara-suara atau suara kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang keras sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang pasien, bahkan sampai percakapan lengkap antara 2 orang atau lebih. Pikiran yang didengar pasien, dimana pasien disuruh untuk melakukan suatu yang kadang-kadang membahayakan. c. Halusinasi Penciuman (Olfactory) Halusinasi ini biasanya berupa mencium suatu bau tertentu dan dirasakan tidak enak seperti bau darah, urine atau feces,umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan, bau melambangkan rasa bersalah pada penderita, bau dilambangkan sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu kombinasi moral. d. Halusinasi Pengecapan (Gustatory) Halusinasi ini walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman, penderita merasa mengecap sesuatu. Pasien merasa mengecap rasa seperti darah, urine atau feces. e. Halusinasi Perabaan (Tactile) Pada halusinasi ini penderita mengalami ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Penderita merasa diraba, disentuh, ditiup atau seperti ada ulat yang bergerak dibawah kulit. Terutama pada keadaan delirium toksis dan skizoprenia. f. Halusinasi Cenesthetic Pada halusinasi ini penderita merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urine. g. Halusinasi Kinesthetic. Pada halusinasi ini, penderita merasakan ada yang bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota badannya bergerak-gerak. Misalnya tungkai yang diamputasi selalu bergerak. Sering pada skizofrenia dalam keadaan toksik akibat pemakaian obat tertentu.

11

3. Etiologi Halusinasi merupakan salah satu gejala dalam menentukan diagnosis pasien yang mengalami psikotik, khususnya skizoprenia. Halusinasi dipengaruhi oleh beberapa faktor (Stuart dan Laraia, 2005 dalam Muhith, 2015), dibawah ini antara lain : a. Faktor Predisposisi Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Menurut, (Yosep, 2010 dalam Damaiyanti, 2012) faktor predisposisi pasien dengan halusinasi adalah sebagai berikut : 1) Faktor Perkembangan Tugas perkembangan pasien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan pasien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress. 2) Faktor Sosiokultural Seseorang yang merasa tidak diterima di lingkungannya sejak bayi akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya. 3) Faktor Biologis Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia.

Akibat

stress

berkepanjangan

menyebabkan

teraktivasinya neurotrasmitter otak. 4) Faktor Psikologis Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan pasien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Pasien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.

12

5) Faktor Genetik dan Pola Asuh Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua schizoprenia

cenderung

mengalami

skizoprenia.

Hasil

studi

menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini. b. Faktor presipitasi Respon pasien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Masalah halusiansi berlandaskan atas hakikat keberadaan seseorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur- unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi (Stuart dan Laraia, 2005 dalam Muhith, 2015) yaitu : 1) Dimensi Fisik Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat- obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol, dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama. 2) Dimensi Emosional Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Pasien tidaak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut pasien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut. 3) Dimensi Intelektual Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya, halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls

yang

menekan,

namun

merupakan

suatu

hal

yang

13

menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian pasien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku pasien. 4) Dimensi Sosial Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Pasien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal comforting, pasien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata sangat membahayakan. Pasien asyik dengan halusinasinya, seolah- olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut sehingga jika perintah halusinasi

berupa

ancaman,

maka

individu

tersebut

bisa

membahauakan orang lain. Oleh karena itu aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan pasien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan pasien tidak menyendiri sehingga pasien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusiansi tidak berlangsung. 5) Dimensi spiritual Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Individu yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri hingga proses di atas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya sehingga halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menghantui dirinya, individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya. Secara spiritual pasien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas, tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk mensucikan diri, irama sirkariannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Ia sering memaki takdir tetapi lemah dalam

14

upaya menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.

4. Patofisiologi Proses

terjadinya

halusinasi

diawali

dengan seseorang

yang

mengalami halusinasi akan menganggap sumber dari halusinasinya berasal dari lingkungan stimulasi eksternal. Padahal sumber itu berasal dari stimulus internal yang berasal dari dalam dirinya tanpa ada stimulus eksternal ( Yosep, 2011 ). Pada fase awal masalah itu menimbulkan peningkatan kecemasan yang terus-menerus dan sistem pendukung yang kurang akan nmembuat persepsi untuk membedakan yang dipikirkan dengan perasaan sendiri, klien sulir tidur sehingga terbiasa menghayal dan klien

biasa

menggap

lamunan

itu

sebagai

pemecahan

masalah.

Meningkatnya pula pada fase comforting, klien mengalami emosi yang berlanjurt seperti adanya cemas, kesepian, perasaan berdosa dan sensorinya dapat diatur. Pada fase ini merasa nyaman dengan halusinasinya. Meningkatnya pada fase Comforting, klien mengalami emosi yang berlanjut seperti cemas, kesepian, perasaan berdosa dan sensorinya dapat dikontrol bila kecemasan dapat diatur. Pada fase ini klien cenderung merasa nyaman dengan halusinasinya. Pada fase conderming klien mulai menarik diri. Pada fase controlling klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berhenti. Pada fase conquering klien lama kelamaan sensorinya terganggu, klien merasa terancam dengan halusinasinya terutama bila tidak menuruti perintahnya. Halusinasi jadi sering datang, klien tidak mampu lagi mengontrol dan berupaya menjaga jarak dengan obyek yang dipesepsikan. Pada fase codeming klien mulai menarik diri dari orang lain. Pada fase controlling klien bisa merasakan kesepian. Pada fase conquering lama-kelamaan pengalamn

sensorinya

terganggu,

klien

merasa

teranam

dengan

halusinasinya terutama bila menuruti kemauan dari halusinasinya tersebut.

15

5. Rentang Respon Halusinasi Berikut ini rentang respon halusinasi menurut (Stuart dan Sudden, 2005 dalam Muhith, 2015). Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berda dalam rentang neurobiologist. Ini merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika pasien sehat persepsinya mampu, mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera (pendengaran, penglihatan, penghidung, pengecapan dan perabaan). Pasien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus pancaindera walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada. Respon individu (yang karena suatu hal mengalami kelainan persepsi) yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Pasien mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukan terhadap stimulus pancaindera tidak akurat sesuai dengan stimulus yang diterima.

Respon adaptif

1. Pikiran logis 2. Persepsi akurat 3. Emosi Konsisten dengan pengalaman. 4. Perilaku sesuai 5. Berhubungan sosial

Respon Maladaptif

1. Distorsi pikiran 2. Ilusi 3. Reaksi emosi berlebihan 4. Perilaku aneh atau tidak biasa 5. Menarik diri

1. Gangguan pikir/ delusi 2. Halusinasi 3. Sulit merespon emosi 4. Perilaku disorganisasi 5. Isolasi sosial

Gambar 1. Rentang Respon Neurobiologist Halusinasi (Stuart dan Sudden, 2005 dalam Muhith, 2015).

16

a. Respon adaptif Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma- norma sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut, respon adaptif : 1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan. 2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan. 3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman ahli. 4) Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran. 5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan. b. Respon psikososial Respon psikososial meliputi : 1) Distorsi pikiran atau Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan 2) Ilusi adalah mis interpretasi atau menilaian yang salah tentang penerapan yamng benar- benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera. 3) Reaksi emosi berlebihan 4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran. 5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain. c. Respon maladaptif Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma- norma sosial budaya dan lingkungan, adapun respon maladaptif meliputi :

17

1) Gangguan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial. 2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang tidak realita atau tidak ada 3) Sulit merespon emosi Sulit merespon emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati. 4) Perilaku disorganisasi Perilaku disorganisasi merupakan suatu yang tidak teratur 5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialamioleh individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang negatif mengancam.

6. Fase Halusinasi Halusinasi yang dialami pasien bisa berbeda intensitas dan keparahannya. Stuart dan Laraia dalam Muhith, 2015 membagi fase halusinasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan

pasien

mengendalikan

dirinya.

Semakin

berat

fase

halusinasinya, pasien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya. Fase- fase halusinasi tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 3. Fase- Fase Halusinasi Fase Halusinasi Fase I Comforting Ansietas sedang Halusinasi menyenangkan

Karakteristik Pasien mengalami perasaan yang mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah, takut, sehingga mencoba untuk berfokus pada pikiran menyenangkan untuk meredakan ansietas. Individu mengenali bahwa pikiranpikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas dapat ditangani. NONPSIKOTIK

1. 2. 3. 4.

5.

Perilaku Pasien Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai Menggerakkan bibir tanpa suara Menggerakkan mata yang cepat Respon verbal yang lambat jika sedang asyik Diam dan asyik sendiri

18

FASE II Condeming Ansietas berat Halusinasi menjadi menjijikan

1. Pengalaman sensori yang menjijikan dan menakutkan. 2. Pasien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. 3. Pasien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain. 4. Mulai merasa kehilangan kontrol. 5. Tingkat kecemasan berat, secara umum halusinasi menyebabkan perasaan antipasi.

1. Meningkatnya tandatanda sistem syaraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah. 2. Rentang perhatian menyempit 3. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realita. 4. Menyalahkan 5. Menarik diri dari orang lain 6. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja

PSIKOTIK RINGAN FASE III Controling Ansietas berat Pengalaman sensori jadi berkuasa

1. Pasien berhenti melakukan perlawanan terhadap halusinasi dan mnyerah pada halusinasi tersebut 2. Isi halusinasi menjadi menarik 3. Pasien mungkin mengalami pengalaman dan kesepian jika sensori halusinasi berhenti

PSIKOTIK

1. Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti 2. Kesukaran berhubungan dengan orang lain 3. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit 4. Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, dan tidak mampu mematuhi perintah 5. Isi halusinasi menjadi atraktif 6. Perintah halusinasi ditaati 7. Tidak mampu mentaati perintah dari perawat, tremor dan berkeringat.

19

FASE IV Conquering Panik Umumnya menjadi melebar dalam halusinasinya

1. Pengalaman sensori menjadi mengancap jika pasien mengikuti perintah halusinasinya 2. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi therapeutic.

PSIKOTIK BERAT

1. Perilaku error akibat panik 2. Potensi kuat suicide atau homeicide 3. Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan, menarik diri 4. Tidak mampu merespon perintah yang kompleks 5. Tidak mampu merespon lebih dari satu orang

7. Manifestasi Klinis Menurut Damaiyanti (2012), tanda dan gejala dari halusinasi yang mungkin muncul yaitu : a. Bicara sendiri. b. Senyum sendiri. c. Ketawa sendiri. d. Menggerakkan bibir tanpa suara. e. Pergerakan mata yang cepat. f. Respon verbal yang lambat. g. Menarik diri dari orang lain. h. Berusaha untuk menghindari orang lain. i. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata. j. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah. k. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik. l. Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori. m. Sulit berhubungan dengan orang lain. n. Ekspresi muka tegang. o. Mudah tersinggung, jengkel dan marah. p. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.

20

q. Tampak tremor dan berkeringat. r. Perilaku panik. s. Curiga dan bermusuhan. t. Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan. u. Ketakutan. v. Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.

8. Komplikasi Berikut ini komplikasi yang dapat terjadi atau muncul karena halusinasi diantaranya adalah munculnya perilaku untuk mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan yang diakibatkan dari persepsi sensori palsu tanpa adanya rangsangan eksternal. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan halusinasi penglihatan, hambatan komunikasi verbal yang berhubungan dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi penglihatan, perubahan nutrisi yang berhubungan dengan halusinasi penglihatan (Wilkinson, 2012)

9. Pemeriksaan penunjang Beberapa pemeriksaan penunjang yang mungkin dilakukan pada penderita halusinasi (Tirto Jiwo, 2012) : a. EEG (Electro Ensefalo Grafic) adalah suatu pemeriksaan untuk membantu dalam membedakan etiologifungsional dan organik dalam kelainan status mental. 1) Pemeriksaan sinar X, untuk mengetahui apakah gangguan jiwa disebabkan oleh struktur anatomi tubuh. 2) Pemeriksaan laboratorium,

kromosom,

darah berfungsi

untuk

mengetahui apakah gangguan jiwa disebabkan unsur genetik b. MRI (Magnetic resonance imaging) Memberikan gambaran otak tiga dimensi dapat diperhatikan gambaran yang lebih kecil dari lobus frontal rata- rata atrofi lobus temporal

21

(terutama hipotalamus, hirus parahipokampus dan ginus temporal superior.

10. Penatalaksanaan Adapun penatalaksanaan pada pasien halusinasi (Muhith, 2015) sebagai berikut : a. Menciptakan lingkungan yang terapeutik Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan dilakukan secara individual dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien disentuh atau dipegang. Pasien jangan diisolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah denagn pasien. Begitu juga jika ingin meninggalkannya hendaknya beritahu pasien. Pasien diberitahu setiap tindakan yang akan dilakukan. Di ruangan tersebut seharusnya disediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan. b. Melaksanakan program terapi dokter Sering kali pasien menolak obat yang diberikan dikarenakan rangsangan halusinasi yang diterimanya. Pendekatan sebaiknya tidak hanya secara persuatif tapi juga instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang didiberikan benar- benar diminum, serta amati pula reaksi obat yang diberikan. c. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu pasien mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data selain dapat diperoleh dari pasien dapat pula melalui keluarga atau orang lain.

22

d. Memberi aktivitas pada pasien Pasien diajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik seperti beolahraga, bermain, atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan berhubungan dengan orang lain. e. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya diberitahu tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari percakapan dengan pasien diketahui bila sedang sendirian ia sering melihat bayangan hitam. Namun bayangan tersebut hilang apabila pasien tidak sendirian. Perawat menyarankan kepada pasien untuk tidak menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini seharusnya diberitahu kepada keluarga atau petugas lainnya agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang diberikan tidak bertentangan. f. Farmakologi 1) Anti Psikotik a) Chlorpromazine (Promactile, Largactile) b) Haloperidol (Haldol, Serenace, Lodomer) c) Stelazine d) Clozapine (Clozaril) e) Risperidone (Risperdal) f) Anti Parkinson 2) Anti Parkinson a) Trihexyphenidile b) Arthan

23

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien (Muhith, 2015). Berikut adalah tahap pengkajian pada pasien halusinasi penglihatan : a. Identitas 1) Perawat yang merawat pasien melakukan perkenalan dan kontrak dengan pasien tentang: nama perawat, nama pasien, panggilan perawat, panggilan pasien, tujuan, waktu, tempat pertemuan dan topik yang akan dibicarakan. 2) Umur, alamat, agama, No. RM, tanggal pengkajian. b. Alasan masuk RS Umumnya pasien halusinasi dibawa ke Rumah Sakit Jiwa karena keluarga merasa tidak mampu merawat, terganggu karena perilaku pasien daan hal lain, gejala yang dinampakkan dirumah sehingga pasien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawataan. c. Faktor Predisposisi 1) Riwayat penyakit terdahulu Tanyakan pada pasien/ keluarga apakah pasien pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu, apabila jawaban ya maka tanya bagaimana hasil pengobatan sebelumnya, apabila pasien dapat beradaptasi di masyarakat tanpa adanya tanda- tanda gangguan jiwa maka pengobatan berhasil, jika dapat beradaptasi tetapi masih ada gejala- gejala sisa maka pengobatan kurang berhasil dan apabila tidak ada kemajuan atau gejala- gejala menetap atau bertambah maka pengobatan tidak berhasil. 2) Riwayat Psikososial Tanyakan apakah pasien pernah melakukan dan atau mengalami dan atau menyaksikan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari

24

lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal. Jika pasien sebagai pelaku, korban atau saksi makan tanya umur pasien saat kejadian. Tanyakan pengalaman masa lalu lain yang tidak menyenangkan baik bio, psiko, sosio, kultural, spiritual seperti (kegagalan, kehilangan/ perpisahan/ kematian, trauma selama tumbuh kembang) yang pernah dialami pasien pada masa lalu. 3) Riwayat penyakit keluarga Tanya pasien/ keluarga apakah ada anggota keluarga lainnya yang mengalami gangguan jiwa. Apabila ada anggota keluarga lain yang mengalami gangguan jiwa, maka tanyakan bagaimana hubungan pasien dengan anggota keluarga terdekat. Tanyakan apa gejala yang dialami serta riwayat pengobatan dan perawatan yang pernah diberikan pada anggota keluarga tersebut. d. Faktor presipitasi Tanyakan riwayat timbulnya gejala gangguan jiwa saat ini, penyebab munculnya gejalan tersebut, apa saja tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut dan bagaimana hasilnya. e. Pemeriksaan Fisik Yang dikaji adalah tingkat kesadaran, tanda- tanda vital ( suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah, berat badan, tinggi badan serta keluhan fisik yang dirasakan pasien. f. Psikososial 1) Genogram : menggambarkan hubungan pasien dengan keluarga 2) Konsep diri a) Gambaran diri Tanyakan persepsi pasien tentang citra tubuhnya, bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai. b) Identitas diri, tanyakan tentang: Status dan posisi pasien sebelum dirawat, kepuasan pasien terhadap status dan posisinya (sekolah, tempat kerja, kelompok), kepuasan pasien sebagai laki- laki atau perempuan.

25

c) Peran, tanyakan: Tugas/

peran

masyarakat

yang

serta

diemban

dalam

keluarga/

kemampuan

pasien

dalam

kelompok/

melaksanakan

perannya. d) Ideal diri, tanyakan: Harapan tentang tubuh, posisi, status, peran, harapan terhadap lingkungan (keluarga, tempat kerja, sekolah, masyarakat) serta harapan terhadap penyakitnya. e) Harga diri, tanyakan: Hubungan pasien dengan orang lain, penilaian/ penghargaan orang lain terhadap diri dan kehidupannya. 3) Hubungan sosial Tanyakan siapa orang terdekat dalam kehidupannya, tempat mengadu, tempat bicara, minta bantuan dan sokongan, tanya pada pasien kelompok apa saja yang diikuti dalam masyarakat dan sejauh mana ia terlibat serta hambatan dalam hubungan dengan orang lain. 4) Spiritual a) Nilai dan keyakinan, tanyakan tentang: Pandangan dan keyakinan terhadap gangguan jiwa sesuai dengan norma budaya dan agama yang dianut. Pandangan masyarakat tentang gangguan jiwa. b) Kegiatan ibadah, tanyakan: Kegiatan ibadah dirumah secara individu dan kelompok. Pendapat pasien tentang kegitan ibadah. g. Status mental 1) Penampian a) Penampilan tidak rapi : rambut acak- acakan, kancing baju tidak tepat, resleting tidak ditutup, baju terbalik, baju tidak diganti- ganti. b) Penggunaan pakaian tidak sesuai : misal pakaian dalam dipakai diluar.

26

c) Cara berpakaian tidak seperti biasanya jika penggunaan pakaian tidak tepat ( waktu, tempat, identitas, situasi/ kondisi) Jelaskan hal yang ditampilkan pasien dan kondisi yang tidak tercantum. 2) Afek a) Adekuat : sesuai dengan stimulus yang ada b) Datar: tidak ada perubahan roman wajah pada saat ada stimulus yang menyenangkan atau menyedihkan. c) Tumpul: hanya bereaksi bila ada stimulus yang kuat d) Labil: emosi yang cepat berubah- ubah e) Tidak sesuai: emosi yang tidak sesuai atau bertentanggan dengan stimulus yang ada 3) Interaksi selama wawancara Kooperatif, Bermusuhan, Tidak Kooperatif, Mudah Tersinggung sudah jelas. Kontak mata kurang ( tidak mau menantap lawan bicara), curiga (menunjukkan sikap/ perasaan tidak percaya pada oraang lain) 4) Persepsi Apakah ada halusinasi ? Kalau ada termasuk jenis apa? Apakah ada ilusi? Apakah ada depersonalisasi : perasaan aneh tentang dirinya atau perasaan bahwa pribadinya tidak seperti biasanya, tidak menurut kenyataan. Atau apakah ada derealisasi: perasaan aneh tentang lingkungannya dan tidak menurut kenyataan. Untuk pasien dengan halusinasi, validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi: a) Isi halusinasi Isi halusiansi yang dialami oleh pasien. Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa saja yang didengar daan apa yang dikatakan berkata jika halusinasi yang dialami dalah halusinasi dengar. Bentuk bayangan bagaimana yangdilihat pasien bila jenis halusinasinya adalah halusinasi penglihatan, bau apa saja yang tercium bila halusinasinya adalah halusinasi penciuman, rasa apa

27

saja yang dikecap untuk halusinasi pengecapan atau merasakan apa di permukaan tubuh bila mengalami halusinasi perabaan. b) Waktu dan frekuensi halusinasi Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada pasien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa hari sekali, seminggu atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi ini penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan bilamana pasien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi. c) Situasi pencetus halusinasi Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami pasien sebelum mengalami halusinasi. Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada pasien peristiwa atau kejadian yang dialami sebelum halusinasi ini muncul. Selain itu perawat juga bisa mengobservasi apa yang dialami pasien menjelang muncul halusinasi untuk memvalidasi pernyataan pasien. d) Respon pasien Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi pasien, bisa dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan pasien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah pasien masih bisa mengontrol stimulus halusiansi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap halusiansi. 5) Proses pikir a) Arus pikir (1) Koheran: kalimat/ pembicaraan dapat dipahami dengan baik. (2) Inkoheran:

kalimat

tidak

terbentuk,pembicaraan

sulit

dipahami. (3) Asosiasi longgar: pembicaraan tak ada hubungan antara satu kalimat

dengan

menyadarinya.

kalimat

lainnya

dan

pasien

tidak

28

(4) Fligh of idea: pembicaraan melompat dari satu topik ke topik lainnya masih ada hubungan yang tidak logis dan tidak sampai ada tujuan. (5) Blocking: pembicaraan terhenti tiba- tiba tanpa gangguan eksternal kemudian dilanjutkan kembali. (6) Pengulangan pembicaraan (persevarasi): berulang- ulang menceritakan sesuatu ide/ tema secara berlebihan. (7) Tangansial: pembicaraan berbelit- belit tetapi tidak sampai tujuan. (8) Sirkumstansiallity: pembicaraan berbelit- belit tetapi sampai pada tujuan pembicaraan. (9) Logorea: pembicaraan cepat tidak terkontrol. (10) Neologisme: membentuk kata- kata baru yang tidak dipahami oleh umum. (11) Irelevansi: ucapan yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan atau dengan hal yang sedang dibicarakan. b) Isi pikir (1) Obsesif: pikiran yang selalu muncul meski pasien berusaha menghilangkan. (2) Ekstasi: kegembiraan yang luar biasa. (3) Fantasi: isi pikiran tentang keadaan/ kejadian yang diinginkan. (4) Bunuh diri: ide bunuh diri (5) Ideas of reference: pembicaraan orang lain, benda- benda atau suatu kejadian yang dihubungkan dengan dirinya. (6) Pikiran magis: keyakinan tentang kemampuan melakukan halhal yang mustahil/ diluar kemampuannya. (7) Alienasi: perasaan bahwa dirinya telah menjadi lain, berbeda, asing. (8) Isolasi sosial: tidak mau berhubungan dengan orang lain.

29

(9) Rendah diri: merendahkan atau menghina diri sendiri, menyalahkan diri sendiri tentang suatu hal yang pernah atau tidak pernah dilakukan. (10) Preokupasi: pikiran yang terpaku pada suatu ide. (11) Pesimisme: mempunyai pandangan yang suram mengenai banyak hal dalam hidup. (12) Fobia: ketakuatan yang patologis/ tidak logis terhadap suatu objek/ situasi tertentu. c) Bentuk Pikir (1) Realistis: cara pikir sesuai dengan kenyataan/ realita yang ada (2) Nonrealistis: cara pikir yang tidak sesuai dengan kenyataan (3) Autistik: cara pikir berdasarkan lamunan / fantasi/ halusinasi/ wahamnya sendiri. (4) Dereistik: cara pikir dimana proses mentalnya tidak ada sangkut pautnya dengan kenyataan. 6) Memori a) Gangguan daya ingat jangka panjang: tidak dapat mengingat kejadian yang terjadi lebih dari 1 bulan. b) Gangguan daya ingat jangka pendek: tidak dapat mengingat kejadian yang terjadi dalam minggu terakhir c) Gangguan daya ingat saat ini: tidak dapat mengingat kejadian yang baru saja terjadi. 7) Tingkat konsentrasi dan berhitung a) Mudah beralih: perhatian mudah berganti dari satu objek ke objek lain. b) Tidak mampu konsentrasi: pasien sellau meminta agar pertanyaan diulang/ tidak dapat menjelaskan kembali pembicaraan. c) Tidak mampu berhitung sederhana: tidak dapat melakukan penambahan atau pengurangan pada benda- benda nyata.

30

8) Kemampuan penilaian a) Gangguan ringan: dapat mengambil keputusan yang sederhana dengan bantuan orang lain. b) Gangguan bermakna: tidak dapat mengambil keputusan walaupun dibantu. 9) Daya tilik diri a) Mengingkari penyakit yang diderita: tidak menyadari gejala penyakit(perubahan fisik, emosi) pada dirinya dan merasa tidak perlu pertolongan. b) Menyalahkan hal- hal diluar dirinya: menyalahkan orang lain/ lingkungan yang menyebabkan kondisi saat ini. 10) Kebutuhan kesiapan pulang (aktivitas sehari- hari) Makan, BAB/BAK, mandi, berpakian/berhias, istirahat/ tidur, penggunaan obat, pemeliharaan kesehatan, kegiatan di dalam dan luar rumah. 11) Mekanisme Koping Data diperoleh dari wawancara pada pasien atau keluarga. 12) Masalah psikososial dan lingkungan Data diperoleh dari wawancara pada pasien atau keluarga. 13) Pengetahuan Data diperoleh dari wawancara pada pasien atau keluarga. 14) Aspek medik Tulis diagnosa medis yang telah dirumuskan oleh dokter yang merawat.

31

2. Diagnosa Keperawatan Resiko Perilaku Kekerasan

Gangguan Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi Penglihatan Isolasi Sosial

Effect

Core Problem

Causa

Harga Diri Rendah Gambar 2. Pohon masalah halusinasi penglihatan (Yosep, 2011) Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan halusinasi penglihatan adalah sebagai berikut: a.

Gangguan persepsi sensori : halusinasi penglihatan

b.

Isolasi sosial

c.

Resiko perilaku kekerasan

d.

Harga diri rendah

3. Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan pada pasien dengan gangguan jiwa diterapkan atau dilaksanakan dalam Strategi Pelaksanaan. Strategi Pelaksanaan (SP) merupakan panduan pelaksanaan intervensi keperawatan jiwa yang digunakan sebagai acuan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa ( Yosep,2012) a. Gangguan persepsi sensori : Halusinasi penglihatan 1) Tindakan untuk Pasien a) Tujuan: (1) Pasien menegenali halusinasinya (2) Pasien dapatmengontrol halusinasinya (3) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal

32

b) Kriteria Hasil: (1) Pasien dapat menyebutkan isi, waktu, frekuensi, situasi pencetus terjadinya halusinasi (2) Mampu memperagakan cara mengonttrol halusinasinya Strategi pelaksanaan Halusinasi Penglihatan SP 1 a) Identifikasi jenis halusinasi pasien b) Identifikasi isi halusinasi pasien c) Identifikasi waktu halusinasi pasien d) Identifikasi frekuansi halusinasi pasien e) Identifikasi situasi yang dapat menimbulkan halusinasi pasien f) Identifikasi respon pasien terhadap halusinasi g) Ajarkan cara menghardik halusinasi h) Anjurkan memasukkan cara menghardik halusinasi ke dalam kegiatan harian SP 2 a) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (SP1) b) Latih pasien mengontrol dengan cara bercakap- cakap dengan orang lain c) Anjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian SP 3 a) Evaluasi Jadwal Kegiatan Harian pasien (SP 1 dan ) b) Latih pasien mengontrol dengan melakukan kegiatan ( kegiatan yang biasa dilakukan pasien) c) Anjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian SP 4 a) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (SP 1, 2 dan 3) b) Berikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur c) Anjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian

33

Tindakan keperawatan untuk pasien Halusinasi 1) Membantu pasien mengenali halusinasi Untuk membantu pasien mengenali halusinasi, yang dapat dilakukan perawat adalah diskusikan dengan pasien tentang isi halusinasi, waktu terjadinya halusinasi, frekuensi halusinasi, situasi pencetus serta respon pasien terhadap halusinasi. 2) Melatih pasien mengontrol halusinasi ( menggunakan 4 cara yang sudah teruji) a) Menghardik halusinasi Adalah upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak pada halusinasinya atau mengabaikan halusinasinya. Jika ini dapat dilakukan,pasien akan dapat mengontrol diri dan tidak mengikuti halusinasinya. Mungkin halusinasi tetap ada, namun dengan kemampuan ini pasien tidak akan larut untuk menuruti apa yang ada dalam halusinasinya. Tahapan tindakan meliputi : (1) Jelaskan cara menghardik halusinasi (2) Peragakan cara menghardik (3) Minta pasien memperagakan ulang (4) Pantau penerapan cara ini, menguatkan perilaku pasien b) Bercakap- cakap dengan orang lain Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan cara bercakap- cakap dengan orang lain, sehingga terjadi distraksi (fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan tadi) c) Melakukan aktivitas yang terjadwal Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri dengan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak waktu luang sendiri yang seringkali mencetus halusinasinya.

34

Tahapan intervensinya sebagai berikut : (1) Jelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi (2) Diskusikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh pasien (3) Latih pasien melakukan aktivitas (4) Susun jadwal aktivitas sehari- hari sesuai dengan aktivitas yang telah dilatih. Upaayakan pasien mempunyai aktivitas dari bangun pagi sampai tidur malam. (5) Pantau pelaksanaan jadwal kegiatan; memberikan penguatan terhadap perilaku pasien yang positif. d) Menggunakan obat secara teratur Untuk mampu mengontrol halusinasi, pasien juga harus dilatih untuk menggunakan obat secara teratur ssesuai dengan program. Pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah seringkali mengalami putus obat sehingga akibatnya pasien mengalami kekambuhan. Bila kekambuhan terjadi maka untuk mencapai kondisi seperti semula akan lebih sulit. Untuk itu pasien perlu dilatih menggunakan obat sesuai program dan berkelanjutan. Adapun tindakan keperawaatn yang diberikan : (1) Jelaskan guna obat (2) Jelaskan akibat jika putus obat (3) Jelaskan cara mendapatkan oabat/ berobat (4) Jelaskan cara mengguanakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, benar dosis).

b. Isolasi sosial 1) Tindakan Keperawatan untuk pasien a) Tujuan (1) Membina hubungan saling percaya (2) Menyadari penyebab isolasi sosial (3) Berinteraksi dengan orang lain

35

b) Kriteria Hasil (1) Membina hubungan saling percaya (2) Menyadari penyebab isolasi sosial, keuntungan dan kerugian berinteraksi dengan orang lain (3) Melakukan interaksi dengan orang lain secara bertahap

Strategi Pelaksanaan pasien isolasi sosial SP 1 (1) Identifikasi penyebab isolasi sosial (2) Diskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain (3) Diskusi tentang kerugian jika tidak berinteraksi dengan orang lain (4) Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang (5) Anjurkan pasien memasukkan kegiatan latihan berbincangbincang dengan orang lain dalam kegiatan harian SP 2 (1) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (2) Beri kesempatan kepada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang (3) Membantu pasien memasukkan kegiatan latihan berbincangbincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian SP 3 (1) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (2) Beri kesempatan kepada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan dua orang (3) Anjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian c) Tindakan keperawatan (1) Membina hubungan saling percaya Tindakan yang harus dilakukan dalam membina hubungan saling percaya adalah:

36

(a) Ucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien (b) Berkenalan denagn pasien: perkenalkan nama, nama panggilan yang disukai,serta tanyakan nama pasien dan nama panggilan yang disukainya. (c) Tanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini. (d) Buat kontrak asuhan: apa yang akan dilakukan bersama pasien, berapa lama dan dimana tempatnya. (e) Jelaskan

bahwa

perawat

akan

merahasiakan

semua

informasi yang disampaikan pasien untuk kepentingan terapi. (f) Tunjukkan sikap empati dan caring pada pasien setiap saat. (g) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan. Untuk membina hubungan saling percaya dengan pasien isolasi sosial, kadang- kadang perlu waktu yang lama tetapi interaksinya singkat dan sering, karena tidak mudah bagi pasien untuk percaya dengan orang lain. Perawat pun harus konsisten bersikap terapeutik terhadap pasien isolasi sosial. Salah satunya adalah dengan selalu memenuhi janji dengan pasien. Jika sudah tumbuh rasa percaya, terapi yang lebih baik akan mungkin dijalankan. (2) Membantu pasien mengenal penyebab isolasi sosial (a) Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain (b) Tanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin berinteraksi dengan orang lain (3) Membantu pasien mengenal keuntungan berinteraksi dengan orang lain Diskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak teman dan bergaul akrab dengan mereka. (4) Membantu pasien mengenal kerugian yang tidak berinteraksi dengan orang lain

37

(a) Diskusikan kerugian jika pasien hanya mengurung diri di kamar dan tidak bergaul dengan orang lain (b) Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik pasien. (5) Membantu pasien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap Perawat tidak mungkin mengubah kebiasaan pasien untuk berinteraksi dengan prang lain secara drastis karena kebiasaan itu telah terbentuk dalam waktu yang lama. Langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut : (a) Beri kesembatan pasien mempraktekkan cara berinteraksi dengan orang lain yang dilakukan di hadapan perawat (b) Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu orang (pasien lain, perawat lain, atau keluarga) (c) Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah interaksi dengan dua, tiga, empat orang dan seterusnya. (d) Beri pujian untuk setiap kemajuan yang telah dilakukan pasien (e) Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah berinteraksi dengan orang lain. Mungkin pasien akan mengungkapkan keberhasilan atau kegagalannya. Beri dorongan terus- menerus agar pasien tetap semangat meningkatkan interaksinya.

c. Resiko Perilaku Kekerasan 1) Tindakan keperawatan untuk pasien a) Tujuan (1) Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan. (2) Pasien dapat mengidentifikasi tanda perilaku kekerasan (3) Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukuannya

38

(4) Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya (5) Pasien dapat menyebutkan cara mencegah atau mengontrol perilaku kekerasannya (6) Pasien dapat mencegah atau mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual, sosial dan dengan psikofarmaka.

b) Kriteria Hasil (1) Menyebutkan penyebab, tanda dan gejala serta akibat perilaku kekerasan. (2) Memperagakan cara fisik 1 untuk mengontrol perilaku kekerasan. Strategi Pelaksanaan pasien Resiko Perilaku kekerasan SP 1 (1) Identifikasi penyebab perilaku kekerasan. (2) Identifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan. (3) Identifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan. (4) Identifikasi akibat perilaku kekerasan. (5) Sebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan. (6) Bantu pasien mempraktikkan latihan cara mengontrol perilaku kekerasan secara fisik 1 : latihan nafas dalam. (7) Anjurkan pasien untuk memasukkan ke dalam kegiatan harian. SP 2 (1) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (SP1). (2) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan fisik 2: pukul kasur dan bantal. (3) Anjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian. SP 3 (1) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (SP 1 dan 2). (2) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara sosial/ verbal.

39

(3) Anjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian. SP 4 (1) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (SP 1, 2 dan 3). (2) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual. (3) Anjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian. SP 5 (1) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (SP 1, 2 dan 3). (2) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan minum obat (discharge planning). (3) Anjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian.

c) Tindakan Keperawatan (1) Bina hubungan saling percaya (a) Mengucapkan salam terapeutik. (b) Berjabat tangan (c) Menjelaskan tujuan interaksi (d) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu pasien. (2) Diskusikan dengan pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan masa lalu. (3) Diskusikan dengan pasien tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan secara intelektual. (4) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang

biasa

dilakukannya pada saat marah, secara verbal, terhadap orang lain, diri sendiri dan terhadap lingkungan. (5) Diskusikan dengan pasien akibat perilakunya. (6) Diskusikan dengan pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara : (a) Fisik : tarik nafas dalam, pukul kasusr dan bantal (b) Medis : obat

40

(c) Sosial atau verbal : menyampaikan amarah secara asertif (d) Spiritual : berdoa sesuai keyakinan. (7) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik. (a) Latihan nafas dalam dan memukul bantal atau kasur. (b) Susun jadwal kegiatan latihan nafas dalam dan memukul bantal dan kasur. (8) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara sosial dan verbal (a) Latih mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak dengan baik, meminta dengan baik, dan mengungkapkan perasaan dengan baik. (b) Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal. (9) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual (a) Latih mengungkapkan marah dengan cara spiritual: berdoa. (b) Buat jadwal latihan berdoa. (10) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat (a) Latih pasien minum obat secara teratur. (b) Susun jadwal minum obat secara teratur. (11) Ikut sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi mengontrol perilaku kekerasan.

41

4.

Implementasi Keperawatan Menurut Keliat

(2012), implementasi keperawatan disesuaikan

dengan rencana tindakan keperawatan dengan memperhatikan dan mengutamakan masalah utama yang aktual dan mengancam pasien beserta lingkungannya. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi pasien pada saat ini (here and now). Hubungan saling percaya antara perawat dengan pasien merupakan dasar utama dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.

5. Evaluasi Keperawatan Evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan yang sudah perawat lakukan untuk pasien halusinasi penglihatan (Muhith, 2015) adalah sebagai berikut: a. Pasien mempercayai perawatnya sebagai terapis, ditandai dengan: 1) Pasien mau menerima perawat sebagai perawatnya 2) Pasien mau menceritakan masalah yang dia hadapi kepaada perawatnya, bahkan hal- hal yang selama ini dianggap rahasia untuk orang lain. 3) Pasien mau bekerja sama dengan perawat, setap program yang perawat tawarkan ditaati oleh pasien. b. Pasien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada objeknya dan merupakan masalah yang harus diatasi, ditandai dengan: 1) Pasien mengungkapkan isi halusiansi yang dialaminya. 2) Pasien menjelaskan waktu, dan frekuansi halusinasi yang dialaminya. 3) Pasien menceritakan situasi yang mencetuskan halusinasi. 4) Pasien menjelaskan perasaannya saat mengalami halusinasi. 5) Pasien menjelaskan bahwa ia akan berusaha mengatasi halusiansi yang dialaminya.

42

c. Pasien dapat mengontrol halusinasi ditandai dengan: 1) Pasien mampu memperagakan empat cara mengontrol halusinasi 2) Pasien menerapkan empat cara mengontrol halusinasi: (a) Menghardik halusinasi (b) Berbicara dengan orang lain disekitarnya bila timbul halusinasi. (c) Menyusun jadwal kegiatan dari bangun tidur pada pagi hari hingga ingin tidur kembali pada malam hari dan melaksanakan jadwal tersebut secara mandiri. (d) Memaatuhi program pengobatan. d.

Keluarga mampu merawat pasein di rumah ditandai dengan : 1) Keluarga mampu menjelaskan masalah halusiansi yang dialami pasien. 2) Keluarga mampu menjelaskan cara merawat pasien di rumah. 3) Keluarga mampu memperagakan cara bersikap terhadap pasien. 4) Keluarga mampu menjelaskan fasilitas kesehatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah pasien. 5) Keluarga melaporkan keberhasilan merawat pasien.

43

C. KERANGKA TEORI Halusinasi Penglihatan

Etiologi : faktor predisposisi dan presipitasi

Asuhan Keperawatan pada Pasien Halusiansi Penglihatan.

Patofisiologi & rentang respon Pengkajian

1.

Manifestasi Klinis

2. 3. 4.

Diagnosa Keperawatan Gangguan persepsi sensori: halusinasi penglihatan Isolasi sosial Resiko perilaku kekerasan Harga diri rendah

Komplikasi Intervensi Keperawatan Pemeriksaan Penunjang Implementasi Keperawatan Penatalaksanaan

Evaluasi Keperawatan

Gambar 3. Kerangka Teori Sumber: Modifikasi (Muhith, 2015 & Keliat, 2012), Damaiyanti, 2012, Wilkinson,2012, Yosep, 2012.

44

D. KERANGKA KONSEP

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Halusinasi Penglihatan

1. 2. 3. 4. 5.

Pengkajian Keperawatan Diagnosa Keperawatan Intervensi Keperawatan Implementasi Keperawatan Evaluasi Keperawatan

Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian E. PERTANYAAN PENELITIAN 1. Bagaimana pengkajian pada pasien dengan halusinasi penglihatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018? 2. Bagaimana diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan halusinasi penglihatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018? 3. Bagaimana intervensi keperawatan yang efektif pada pasien dengan halusinasi penglihatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018? 4. Bagaimana implementasi keperawatan yang efektif untuk meningkatkan adaptasi pada pasien dengan halusinasi penglihatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018? 5. Bagaimana evaluasi keperawatan pada pasien dengan halusinasi penglihatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018?

Related Documents

Proposal
June 2020 38
Proposal
October 2019 60
Proposal
June 2020 41
Proposal
July 2020 34
Proposal
December 2019 58
Proposal
November 2019 62

More Documents from ""