Proposal Rev 6 Fix Bagas.docx

  • Uploaded by: echa
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Proposal Rev 6 Fix Bagas.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,782
  • Pages: 27
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ekstrak metanol bawang putih (Allium sativum L) terbukti dapat menurunkan glukosa darah (Rahmatullah et al. 2018). Beberapa senyawa bioaktif utama bawang putih adalah kelompok allil sulfida, allil sistein, serta senyawa alliin dan allisin yang dipercaya sebagai anti diabetes (Hernawan dan Setyawan 2003). Penelitian yang dilakukan Rahmatullah et al. (2018) menunjukkan pemberian ekstrak metanol bawang putih pada konsentrasi 400 mg/kgBB mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah mencit. Permasalahan penggunaan bahan alam sebagai senyawa aktif adalah rendahnya bioavabilitas. Rendahnya bioavabilitas disebabkan karena rendahnya penetrasi. Fitosom dapat menjerap bahan alam yang sebagian besar bersifat hidrofil sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan bioavaibilitas dan penetrasinya (Saha et al. 2013). Fitosom memiliki vesikel yang berukuran nano dengan ukuran partikel 1200 nm (Agoes 2010). Partikel dengan ukuran nano memiliki kecendrungan membentuk agregat partikel berdasarkan pada gaya tolak menolak elektrostatik (Singh dan

Lillard 2009). Permasalahan ini dapat diatasi dengan

memformulasikan sistem fitosom dalam suatu bentuk sediaan, salah satunya adalah gel. Gel adalah sistem semi padat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (Departemen Kesehatan RI 2014). Komponen yang berpengaruh dalam formulasi gel adalah gelling agent. Salah satu gelling agent yang dapat digunakan dalam formulasi gel adalah Carbopol 940. Carbopol 940 digunakan sebagian besar di dalam cairan atau sediaan farmasi formulasi semi solid yang digunakan sebagai agen pensuspensi atau agen penambah kekekentalan (Agoes 2012). Penelitian yang dilakukan oleh (Anggraeni dkk. 2012) menunjukkan Carbopol 940 dengan konsentrasi 0,5% 1

menghasilkan gel dengan dengan nilai laju difusi 77,759 ± 7,3429 μg/cm2/menit. Penelitian yang dilakukan oleh Abrar et al. (2012), carbopol 940 mampu melepaskan bahan aktif sebesar 99% selama 120 menit pada pengujian difusi. Jumlah bahan aktif yang dilepaskan carbopol 940 sedikit lebih tinggi dibandingkan carbopol 934, yaitu sebesar 97%. Berdasarkan penjelasan tersebut, pada penelitian ini digunakan Carbopol 940 sebagai gelling agent dengan konsentrasi 0,5-1,5 %. Peningkatan konsentrasi diharapkan dapat mempengaruhi laju difusi dan laju penguraian (stabilitas kimia) fitosom ekstrak bawang putih (Allium sativum L). B. Permasalahan Penelitian Ekstrak metanol bawang putih terbukti memiliki aktivitas farmakologi sebagai antidiabetes pada konsentrasi 400 mg/kgBB (Rahmatullah et al. 2018). Ekstrak bawang putih (Allium sativum L) dapat dibuat dalam sistem fitosom dengan menggunakan lesitin sebagai pembentuk ikatan fosfolipid sehingga dapat meningkatkan stabilitas dan absorbsinya (Amit et al. 2013). Fitosom merupakan sistem nanopartikel yang memiliki ukuran partikel 1-200 nm (Agoes 2012), jika ukuran partikel kecil kemungkinan terjadi kerusakan sistem akibat terjadinya agregat semakin besar. Kerusakan sistem akan mempengaruhi laju difusi dan stabilitas kimia, dan untuk mengatasi permasalahan tersebut sistem fitosom dibuat dalam bentuk sediaan gel. Komponen gel yang mempengaruhi laju difusi dan stabilitas kimia adalah gelling agent. Salah satu gelling agent yang dapat digunakan adalah carbopol 940. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan pada penelitian ini adalah apakah peningkatan konsentrasi carbopol 940 dapat mempengaruhi laju difusi dan laju penguraian gel fitosom ekstrak bawang putih (Allium sativum L)? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi Carbopol 940 sebagai gelling agent terhadap laju difusi dan laju penguraian gel fitosom ekstrak bawang putih (Allium sativum L). D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai rute alternatif untuk sediaan yang memiliki khasiat sebagai penurun glukosa darah. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Bawang Putih

Gambar 1. Bawang Putih (Departemen Kesehatan RI 2008)

Kingdom: plantae, Subkingdom: tracheobionta, Divisi: magnoliophyte, Kelas: liliopsida, Subkelas: lilidae. Ordo: Liliaceae, Genus: Allium, Spesies: Allium sativum L. Bawang putih adalah umbi lapis Allium sativum L., suku Liliaceae yang mengandung minyak atsiri tidak kurang dari 0.50 % v/b. Bentuk berupa umbi lapis utuh, warna putih atau putih keunguan, bau khas, rasa agak pahit. Umbi bawang putih adalah umbi lapis yang terbentuk dari roset daun, terdiri atas beberapa umbi yang berkelompok membentuk sebuah umbi yang besar. Fragmen pengenal berupa parenkim dengan tetes minyak, berkas pengangkut, korteks, parenkim, dengan resin dan serabut (Departemen Kesehatan RI 2008). a. Kandungan dan Manfaat Metabolit sekunder yang terkandung di dalam umbi bawang putih mengandung lebih dari 100 metabolit sekunder yang secara biologi sangat berguna. Senyawa ini kebanyakan mengandung belerang yang bertanggung jawab atas rasa, aroma, dan sifat-sifat farmakologi bawang putih (Hernawan dan Setyawan 2003). Salah satunya menggunakan senyawa allisin sebagai antidiabetes. Mekanisme kerja allisin pada bawang putih sebagai antidiabetes bekerja melalui insulin di dalam plasma, yaitu dengan meningkatkan sekresi insulin 3

dari sel beta pankreas (Banerjee & Maulik 2002). Allisin pada bawang putih menstimulasi sel beta pankreas untuk menghasilkan lebih banyak insulin, dengan cara tersebut, glukosa di dalam darah akan masuk kedalam jaringan tubuh dengan adanya insulin yang diberikan dari stimulasi allisin bawang putih tersebut. Efek antidiabetes dari bawang putih menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih dapat menjaga kadar glukosa dalam kadar normal. Bahkan ekstrak bawang putih dinyatakan dalam penelitian yang telah dilakukan lebih efektif dibandingkan dengan glibenklamid (Londhe et al. 2011). b. Allisin Allisin (diallyl thiosulfinate atau diallyl disulfide) merupakan salah satu komponen biologis yang paling aktif yang terkandung dalam bawang putih. Komponen ini, bersamaan dengan komponen sulfur lain yang terkandung dalam bawang putih berperan pula memberikan bau yang khas pada bawang putih (Londhe et al. 2011). Alliin akan berubah menjadi allisin begitu umbi diremas. Allisin bersifat tidak stabil sehingga mudah mengalami reaksi lanjut tergantung kondisi pengolahan atau faktor eksternal lain seperti penyimpanan, suhu, pH, dan lain-lain. Ketika jaringan segar pada sel bawang putih terluka, enzim hanya dapat bereaksi dengan prekusor ketika selnya dirusak. Pada bawang putih, katalisis dari alinase membentuk Allisin, yang memberikan karakteristik bau pada bawang putih (Hernawan dan Setyawan 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Ashraf et al. (2011) menunjukkan konsentrasi allisin dalam tablet bawang putih 300 mg adalah sebesar 0,6%. Pada penelitian tersebut dijelaskan bahwa terjadi penurunan gula darah puasa pasin DM tipe 2 selama 24 minggu pengujian yaitu sebesar 3,12% saat dikombinasikan penggunaannya dengan metformin. Hasil penelitian juga menunjukkan aktivitas penurunan gula darah yang lebih tinggi dibandingkan pemberian metformin tunggal.

Gambar 2. Struktur Allisin (Hernawan dan Setyawan 2003) 4

2. Metode Ekstraksi Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Adapun metode ekstraksi menurut Departemen Kesehatan RI, (2000) dibagi menjadi 2 yaitu ekstraksi cara dingin dan ekstraksi cara panas. Pada penelitian ini menggunakan maserasi sebagai metode ekstraksi. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokkan atau pengadukkan pada suhu ruangan (suhu kamar). 3. Fitosom a. Pengertian Fitosom Fitosom berasal dari kata “Phytosome” yang memiliki arti phyto artinya tanaman, dan some artinya sel, merupakan suatu teknologi yang dikembangkan dari pembuatan obat dan nutraceutical, untuk menggabungkan ekstrak dari tanaman yang larut didalam fitokonstituen ke dalam fosfolipid untuk membentuk kompleks molekul lipid. Fitokonstituen akan berikatan dengan bagian kepala dari fosfolipid. Fosfolipid yang sering digunakan dalam pembuatan fitosom adalah fosfatidilkolin. Nano-fitosom dibuat dengan mencampurkan fitokonstituen dengan fosfatidilkolin pada perbandingan molar tertentu (biasanya 1:1 hingga 1:3), sehingga akan menghasilkan suatu kompleks yang ikatannya lebih kuat karena 1 molekul fitokonstituen akan diikat oleh 1 molekul fosfatidilkolin (Karimi et al. 2015). Fitosom dibuat untuk meningkatkan bioavailabilitas dari suatu bahan aktif yang memiliki kepolaran yang tinggi. Bahan aktif yang terkandung dalam tanaman memiliki bioavailabilitas yang buruk karena sebagian besar bahan aktif yang terkandung dalam ekstrak tanaman memiliki polaritas yang tinggi dan ukuran molekulnya besar sehingga sulit untuk menembus membran sel yang tersusun atas lipid. Fitosom akan melindungi bahan aktif dari degradasi oleh bakteri usus dan enzim-enzim saluran pencernaan (Ajazuddin dan Saraf 2010). b. Keuntungan Fitosom Menurut Amit et al. (2013) fitosom memiliki keuntungan sebagai berikut 5

1) Fitosom dapat meningkatkan absorpsi dari fitokonstituen polar yang tidak terlarut dalam lipid melalui rute oral sebaik rute topikal sehingga menunjukkan bioavabilitas yang lebih baik dan efek terapi yang lebih besar. 2) Penjerapan obat yang cukup besar. 3) Fosfatidikolin yang digunakan dalam preparasi fitosom, selain berperan sebagai karier juga dapat berfungsi sebagai hepatoprotektif, oleh karena itu memberikan efek sinergis dengan substansi hepatoprotektif yang ditambahkan. 4) Fitosom menunjukkan profil stabilitas yang lebih baik karena ikatanikatan kimia yang terbentuk antara molekul fosfatidikolin dan fitokonstituen. 5) Fitosom dapat meningkatkan kemampuan suatu substansi untuk melalui membran sel dan masuk ke dalam sel.

Gambar 3. Perbedaan Struktur Fitosom dan Liposom (Tripathy et al. 2013)

c. Metode Pembuatan Fitosom Menurut Amit et al. (2013) Fitosom yang diperoleh dengan mereaksikan 23 mol namun lebih disukai dengan satu mol fosfolipid seperti fosfotidilkolin, fosfotidiethanolamin atau fofatidilserin dengan satu mol komponen bioaktif dalam perlarut anorganik. Kompleks yang terbentuk ini dapat diisolasi dengan liofilisasi maupun dengan penyemprotan kering. Rasio antara fosfolipid dan flavonoid yang paling disukai adalah 1 : 1. Tahapan pembuatan fitosom

6

mengacu pada Anwar dan Farhana (2018) dengan menggunakan metode hidrasi lapis tipis. 4. Fosfotidilkolin Salah satu fosfolipid yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk membuat Fitosom adalah fosfatidilkolin. Fosfatidilkolin berasal dari bahasa Yunani lekithos yang berarti kuning telur, oleh karena itu nama lain dari fosfatidilkolin adalah lesitin. Fosfatidilkolin dapat ditemukan pada kacang kedelai (1,48 sampai 3,08%), kacang tanah (1,11%), hati anak sapi (0,85%), gandum (0,61%), dan telur (0,39%). Fosfatidilkolin nabati tidak mengandung kolesterol dan tidak berbau, sedangkan fosfatidilkolin hewani mengandung kolesterol dan agak berbau, sehingga tidak cocok digunakan untuk sediaan kosmetik (Mayangkara 2011). Fosfotidilkolin merupakan golongan dari fosfolipid berupa serbuk hingga padatan berwarna coklat ke kuningan, memiliki rasa hambar dan tidak berbau. Fosfolipid yang utama dalam lesitin kedelai adalah fosfatidilkolin, fosfatidiletanol amin, dan fosfatidilinositol. Lesitin berbentuk setengah dan bubuk, tergantung pada kandungan asam lemak bebas. Fofolipid digunakan untuk membentuk berbagai jenis fitosom. Fosfatidilkolin akan memisah pada kondisi pH yang ekstrim, higroskopis dan dapat menjadi sumber degradasi mikroba. Ketika dipanaskan diatas 160oC, fosfatidilkolin akan teroksidasi menjadi gelap. Penyimpanan fosfatidilkolin dilakukan pada suhu dibawah 10oC akan menyebabkan pemisahan (Rowe et al. 2009).

Gambar 4. Struktur fofatidilkolin (Rowe et al. 2009)

7

5. Karakterisasi Fitosom Karakterisasi dan evaluasi fitosom dilihat dari berbagai aspek. Tujuannya untuk mengetahui ukuran dan morfologi fitosom yang telah diformulasikan, antara lain (Pawar dan Bhangale 2015) : a) Morfologi Visualisasi bentuk fisik fitosom dapat dilihat dan diukur dengan microscope electron yaitu dilakukan dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) atau Transmission Electron Microscope (TEM). b) Efisiensi penjerapan Untuk melihat efektifitas penjerapan dari fitosom yang terbentuk, dilakukan pemisahan obat yang terjerap bagian prespitat dan obat yang tidak terjerap pada bagian supernatan dalam fitosom, yang dapat diukur dengan menggunakan teknik ultrasentrifugasi. c) Ukuran partikel, distribusi ukuran partikel dan zeta potensial Untuk mengetahui pola penyebaran dengan menentukan distribusi ukuran partikelnya menggunakan Particle Size Analyzer (PSA). 6. Kulit Kulit merupakan jaringan perlindungan yang lentur dan elastis, menutupi seluruh permukaan tubuh dan merupakan 5% berat tubuh. Kulit sangat berperan pada pengaturan suhu tubuh dan mendeteksi adanya rangsangan dari luar serta untuk mengeluarkan kotoran. Kulit memiliki pH sekitar 4,5-6,5 (Tranggono et al. 2007). 7. Gel Gel merupakan sistem semi padat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (Departemen Kesehatan RI 2014). Dasar gel hidrofobik antara lain petrolatum, plastibase, alumunium stearat, carbowax sedangkan dasar gel hidrofilik antara lain bentonit, veegum, silika, pektin, tragakan, metil selulosa, carbomer (Allen 2002). Salah satu faktor penting dalam formulasi gel adalah gelling agent. Gelling agent bermacam-macam jenisnya, biasanya berupa turunan dari selulosa seperti metil selulosa, carboxy metil selulosa (CMC), hidroxy propil metil selulosa 8

(HPMC), dan ada juga yang berasal dari polimer sintetik seperti carbopol. Masing-masing gelling agent memiliki karakterisik tersendiri. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi carbopol 940 yang digunakan sebagai gelling agent terhadap sifat fisik sediaan gel fitosom ekstrak bawang putih (Allium sativum L). Adapun keuntungan sediaan gel yaitu: penyebaran pada kulit baik, kemudahan pencucian dengan air baik, pelepasan obat baik (Voigt 1995). 8. Carbomer (Carbopol)

Gambar 5. Struktur karbomer (Rowe et al. 2009)

Carbopol atau carbomer adalah serbuk berwarna putih, halus dan higroskopis dengan karakteristik sedikit bau. Carbopol mengembang di air dan gliserin, dan setelah dinetralkan, dengan etanol (95%). Carbopol biasa digunakan dalam sediaan formulasi farmasi berupa cairan atau semisolid seperti krim, gel, lotion, dan salep dalam sediaan mata, rectal, vaginal, dan topikal sebagai agen modifikasi rheologi. Keunggulan carbopol 940 adalah tipe yang paling efisien diantara semua carbopol yang lain, dimana viskositasnya sangat tinggi yaitu 40.000-60.000 cps (pada konsentarasi 0,5% pH 7,5) dan penampilannya sangat jernih (Allen 2002). Presentase penggunaan carbopol sebagai zat gelling agent 0,5 – 2,0% (Rowe et al. 2009). Carbopol dengan luar biasa baik dalam hal kejernihan optik (bening) dan segi kekuatan kekentalan membuat carbopol sangat efektif dan ekonomis. Setelah dinetralkan, carbopol dapat digunakan sebagai emulsifikasi, stabilitas, dan kontrol rheologi dalam industri kosmetik dan farmasi. Beberapa keuntungan menggunakan carbopol adalah viskositas tinggi pada konsentrasi rendah, interval viskositas beragam dan karakteristik alir yang baik, 9

ketercampuran dengan banyak zat aktif, sifat bioadhesif, suhu stabil, dan karakteristik organoleptik yang bagus dan penerimaan oleh pasien (Islam dkk. 2004). 9. Monografi Bahan a. TEA (Trietanolamin)

Gambar 6. Struktur TEA (Trietanolamin) (Rowe et al. 2009)

Trietanolamin merupakan cairan hampir tidak berwarna atau berwarna kuning pucat, cairan kental jernih, hampir tidak berbau, dan higroskopis. Dalam formulasi trietanolamin digunakan sebagai salah satu bahan pembentuk gel dan membantu menyesuaikan pH gel karbomer (Rowe et al. 2009). b. Metilparaben (Nipagin)

Gambar 7. Struktur Metilparaben (Nipagin) (Rowe et al. 2009)

Metilparaben atau nipagin merupakan hablur kecil, tidak berwarna, atau serbuk hablur, putih, berbau khas lemah, rasa sedikit membakar. Kelarutannya mudah larut dalam 1:2 etanol, 1:5 propilenglikol, dan 1:10 eter. Penggunaan metilparaben sebagai pengawet pada sediaan topikal dengan konsentrasi 0,02 0,3% (Departemen Kesehatan RI 2014 dan Rowe et al. 2009). c. Propilenglikol

Gambar 8. Struktur Propilenglikol (Rowe et al. 2009) 10

Propilenglikol adalah cairan kental, jernih, tidak berwarna, kental, rasa khas. Cair, dengan rasa manis, dengan sedikit rasa pedas. Propilenglikol larut dalam eter, kloroform, dan minyak essensial. Fungsinya sebagai pengawet antimikroba, desinfektan, humektan, plasticizer, pelarut, agen stabilisasi. Penggunaan propilenglikol sebagai humektan topikal adalah sampai 15%, sebagai pengawet pelarut untuk semisolid 15-30% (Departemen Kesehatan RI 2014 dan Rowe et al. 2009). d. Aqua Destilata Aqua destilata atau aquadest merupakan cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak mempunyai rasa (Departemen Kesehatan RI 1979). 10. Difusi Difusi adalah suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak (gerakan Brownian) dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas. Perjalanan suatu zat melalui batas biasa terjadi oleh suatu permeasi molekuler sederhana atau oleh gerakan melalui pori dan lubang (saluran). Faktor penting yang mempengaruhi penetrasi obat dikulit adalah koefisien difusi, koefisien partisi dan gradien konsentrasi. Difusi melalui membran biologis merupakan suatu langkah penting bagi obat untuk memasuki (absorpsi) atau meninggalkan (eliminasi) tubuh. Ini juga merupakan suatu kompenen penting, bersama dengan konveksi, untuk distribusi obat yang efisien ke seluruh tubuh serta ke dalam jaringan dan organ. Difusi dapat terjadi melalui sel-sel lipoid dua lapis (lipoidal bilayer) atau sering disebut dengan difusi transeluler. Sedangkan difusi paraseluler terjadi melalui ruang antarsel yang berdekatan. Selain difusi, obat dan nutrien juga melewati membran biologis dengan menggunakan transporter membran, dan sebagian kecil menggunakan reseptor permukaan sel. Transporter membran adalah protein khusus yang memfasilitasi transpor obat melalui membran biologis. Interaksi antara obat dan transporter dapat dikelompokkan ke dalam interaksi yang bergantung pada energi yaitu transport aktif sedangkan yang tidak bergantung pada energi yaitu difusi terfasilitasi. Dalam hukum Fick’s secara matematika dapat dijelaskan secara 11

umum proses difusi molekul pada suatu membran. Proses difusi molekul obat pada stratum korneum dapat dilihat dari : 𝑑𝐶

𝐽 = −𝐷 𝑑𝑥 .........................................................(1) Dimana, D adalah koefisien difusi penetran (cm²/detik), C adalah konsentrasi (gram/cm³), dan x adalah jarak dalam cm pergerakan yang tegak lurus dengan permukaan (Sinko 2011). 11. Laju Reaksi Penguraian Uji stabilitas dipercepat dilakukan dengan menggunakan perlakuan termik. Dalam hal ini peraturan kinetika reaksi dapat dipergunakan, dimana penguraian dipelajari pada suhu tinggi dan tidak pada suhu kamar, yang selanjutnya di ekstrapolasikan pada suhu penyimpanannya. Bahan obat disimpan dalam berbagai suhu yang tinggi tetapi selama percobaan masing-masing suhu dibuat tetap, dan dalam jangka waktu tertentu, konsentrasi produk penguraian atau kandungan bahan aktif, ditentukan. Sebagai besaran dasar pertama yang ditentukan adalah ketergantungan kecepatan penguraian akan konsentrasi, yang kedua adalah ketergantungan kecepatan reaksi akan suhu. Secara umum telah dikenali bahwa dengan menaiknya suhu, kecepatan reaksi pun meningkat. Peraturan yang lebih eksak untuk ketergantungan kecepatan reaksi akan suhu diberikan oleh persamaan yang ditemukan oleh Arrhenius. Kecepatan reaksi dirumuskan oleh persamaan yang ditemukan oleh Arrhenius.

log 𝑘 = −

𝐸 2,303 𝑅.𝑇

+ log A ......................................(2)

Dimana E = energi aktivasi (J.mol-1), A = faktor frekuensi, faktor jumLah tumbukkan, R = konstanta gas universal, T = suhu mutlak (K), e = basis logaritmik naturalis (2,718), k = konstanta kecepatan reaksi. Untuk menentukan ketergantungan kecepatan reaksi akan suhu, harga k ditentukan pada berbagai suhu, paling tidak tiga suhu (Voigt 1995).

12

12. RSM Response Surface Methodology (RSM) tidak hanya mendefinisikan pengaruh variabel independen, tetapi juga menghasilkan model matematis, yang menjelaskan proses kimia atau biokimia. kumpulan dari teknik matematika dan statistik yang digunakan untuk modeling dan menganalisis masalah, dimana beberapa variabel mempengaruhi sebuah respons, tujuannya untuk mengoptimalkan respons tersebut. Keuntungan menggunakan metode RSM yaitu lebih cepat dan informatif dibanding dengan pendekatan satu variabel klasik atau desain faktorial lengkap. Dengan metode RSM dapat diketahui bagaimana kombinasi kondisi proses ekstraksi yang baik untuk mendapatkan kadar total fenol yang optimal. Selain itu dengan metode RSM dapat mengetahui pengaruh interaksi antar variabel (Iriawan dan Astuti 2006). 13. Kerangka Berfikir Bawang putih (Allium sativum L) mengandung senyawa allisin yang diketahui memiliki khasiat antidiabetes. Fitosom ekstrak bawang putih dianalisis dengan RSM untuk mendapatkan formula optimum. Fitosom dapat dibuat sediaan gel untuk meningkatkan stabilitas kimia, dan penetrasinya. Gelling agent merupakan komponen utama pembentuk gel. Salah satu gelling agent yang digunakan adalah Carbopol 940. Pada sediaan gel fitosom ekstrak bawang putih (Allium sativum L) diharapkan dapat meningkatkan laju difusi dan laju penguraian (stabilitas kimia) ekstrak bawang putih (Allium sativum L). 14. Hipotesa Peningkatan konsentrasi Carbopol 940 sebagai gelling agent dapat mempercepat laju difusi dan memperlambat laju reaksi penguraian fitosom ekstrak bawang putih (Allium sativum L).

13

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1.

Tempat Penelitian Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Farmasi Fisika, Laboratorium

Fitokimia, Laboratorium Farmasetika, Laboratorium Kimia Terpadu, Laboratorium Solid, Laboratorium Instrumentasi dan Laboratorium Biofarmasetika Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO). 2.

Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Bulan Januari 2018 - Juni 2019.

Uraian No Kegiatan

Tabel 1. Rencana Jadwal Penelitian Skripsi Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan ke- I ke-II ke-III ke-IV ke- V

Bulan ke- VI

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1

Telaah Pustaka

x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x

2

Konsultasi

x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x

3

Penyusuna n Proposal

x x x x x

4

Seminar Proposal

5 6

7

8

x

Pelaksanaa n Orientasi Pengumpu lan Data Pengumpu lan dan analisis data Penulisan laporan

x x x x x x x x x x x x

x x x x

x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x

Ujian Skripsi Keterangan : x (Ada kegiatan) 9

x

14

B. Pola Penelitian 1.

Pengumpulan serta penyediaan alat dan bahan

2.

Pembuatan ekstrak bawang putih

3.

Pemeriksaan karakteristik ekstrak bawang putih

4.

Optimasi formula dan kondisi Pembuatan fitosom ekstrak bawang putih

5.

Analisis RSM

6.

Pembuatan formula fitosom yang optimal

7.

Liofilisasi atau pengeringan

8.

Pembuatan formula gel fitosom ekstrak bawang putih

9.

Evaluasi gel fitosom eksktrak bawang putih

10. Penentuan laju penguraian dan laju difusi gel fitosom ekstrak bawang putih 11. Analisis data B. Prosedur Penelitian 1.

Pengumpulan Serta Penyediaan Alat dan Bahan

a. Alat Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi: Spektrofotometer UV-Vis 1601, Nerraca Analitik (OHAUS), alat-alat gelas, Mixer & Homogenizer (Multimix). pH meter (Metler Toledo), Centrifuge (tipe HC1180T), Pengaduk Magnetik, Vacum Rotary Evaporator (Buchi), Lemari Pendingin, Sel Difusi Franz Termodifikasi, Themostat syringe GCMC (Willhi), Spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu) Particle Size Analyzer (Delsa Max), Scanning Electron Microscop (Stubaki), Oven (Memmert), Waterbath (Memmert) dan syringe. b. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Allium sativum L dibeli dari Balitro Kota Bogor. Bahan-bahan lain seperti Metanol, Lesitin, Aquadest, Diclorometan, membran sintetis milipore 0,22 μm, Carbopol 940, propilenglikol, Nipagin, Trietanolamin (TEA), dextrosa, aquadest, dan Kalium dihidrogen fosfat, hidrogen disodium fosfat, natrium hidroksida di PT. Brataco Chemical, Indonesia. 2.

Pembuatan Ekstrak Bawang Putih (Rahmatullah et al. 2018) Umbi Bawang putih yang di dapat dideterminasi terlebih dahulu di LIPI

Cibinong untuk memastikan spesies yang spesifik. Kemudian bawang putih yang didapat dicuci bersih, lalu dikeringkan diudara dan dihaluskan dengan 15

menggunakan blender. Selanjutnya digerus menjadi serbuk dan diayak menggunakan pengayak nomor mesh 40-60. Selanjutnya serbuk ditimbang kurang lebih 100 g dan diekstraksi dengan pelarut metanol 500 mL menggunakan metode maserasi selama 48 jam. Hasil ekstrak kasar yang diperoleh kemudian disaring dengan menggunakan kertas penyaring whattman No. 1 dan pelarut diuapkan hingga membentuk ekstrak kental dengan menggunakan Rotary Evaporator pada suhu 40°C. 3.

Pemeriksaan Karakteristik Ekstrak Bawang Putih

a.

Pemeriksaan Organoleptis (Departemen Kesehatan RI 2000) Pemeriksaan organoleptis meliputi bentuk, warna, bau, dan rasa terhadap

ekstrak bawang putih. Pengamatan organoleptis dilakukan setelah 24 jam dari sediaan dibuat suhu kamar. Bentuk dilihat dari sediaan yang mampu mengalir dalam wadah. Warna dilihat dengan latar belakang kertas putih disertai dengan penerangan lampu. Bau dicium dengan cara dikibaskan diatas sediaan yang telah jadi. b.

Penetapan Kadar Air (Departemen Kesehatan RI 2011) Penetapan kadar air dilakukan dengan cara destilasi toluen. Toluen yang

digunakan dijenuhkan dengan air terlebih dahulu. Kemudian ditimbang seksama ekstrak sebanyak 2g dan dimasukkan kedalam labu alas bulat dan ditambahkan toluen yang telah dijenuhkan. Labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit, setelah toluen mulai mendidih, penyulingan diatur 2 tetes/detik, lalu 4 tetes/detik. Setelah semua air tersuling dilanjutkan pemanasan selam 5 menit. Biarkan tabung penerima dingin hingga suhu kamar. Volume air dibaca sesudah toluen dan air memisah sempurna. Lakukan replikasi sebanyak tiga kali kemudian dihitung persentasenya. c.

Perhitungan Rendemen (Departemen Kesehatan RI 2000) Perhitungan rendemen dihitung dengan cara menghitung jumlah ekstrak kering

yang didapatkan kemudian dibagi dengan serbuk kental sebelum dilakukan ekstraksi. Rendemen (%) =

Berat Ekstrak Berat Serbuk Bawang Putih

16

x 100% ...................(3)

d. Identifikasi Senyawa Allisin dengan Kromatografi GC-MS (Amin et al. 2014) Sampel di suntikan kedalam septum dengan cara split injeksi sebanyak 1 µL, dengan rasio perbandingan 5:1. Jenis kolom kapiler dengan fase diam non polar, Mengguakan kolom kapiler type Agilent 19091S-433 HP-5MS, fase diam Phenyl Methyl Silox dengan suhu kolom 325°C, panjang 29,81 m diameter 250 µm dan ukuran partikel 0,25 µm, gas pembawa Helium dengan laju alir 15 mL/menit, suhu kolom terprogram (Temperature progamming) dengan suhu awal disesuaikan selama 4 menit, lalu dinaikkan perlahan-lahan dengan kenaikan 10˚C/menit sampai suhu 299˚C selama 29,633 menit, dan detektor menggunakan MS (Massa Spektrometer). e.

Evaluasi Bobot Jenis (Departemen Kesehatan RI 2014) Gunakan piknometer bersih dan telah dikaliberasi dengan menetapkan bobot

piknometer dan bobot air yang baru dididihkan pada suhu 25°C. Atur hingga suhu ekstrak cair lebih kurang 20°C, masukkan ke dalam piknometer. Atur suhu piknometer yang telah diisi hingga suhu 25°C, buang kelebihan ekstrak cair dan ditimbang. Kurangkan bobot piknometer kosong dari bobot piknometer yang telah diisi. Bobot jenis ekstrak cair adalah hasil yang diperoleh dengan membagi bobot ekstrak dengan bobot air, dalam piknometer pada suhu 25°C. Bobot jenis dihitung dengan rumus: 𝑊2−𝑊0

𝜌 = 𝑊1−𝑊0 ...........................................................(4) Dimana: Piknometer kosong ditimbangkan pada suhu 250C sebagai Wo, piknometer diisi aquadest pada suhu 250C, lalu ditimbang sebagai W1, piknometer diisi sampel pada suhu 250C, lalu ditimbang sebagai W2. f.

Petetapan Kadar Abu Total (Departemen Kesehatan RI 2011) Timbang saksama 2g bahan uji yang telah dihaluskan dan masukkan ke dalam

krus silikat yang telah dipijar dan ditara, pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan dan timbang. Pijarkan kertas saring beserta sisa penyaringan dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan dan pijarkan hingga bobot tetap. Kadar abu total dihitung terhadap berat bahan uji, dinyatakan dalam % b/b.

17

g.

Penetapan kadar Abu Tidak Larut Asam (Departemen Kesehatan RI 2011) Didihkan abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dengan 25 mL

asam klorida encer LP selama 5 menit. Kumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam, saring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, pijarkan dalam krus hingga bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap berat bahan uji, dinyatakan dalam % b/b. 4. Optimasi Formula dan Kondisi Pembuatan Fitosom Ekstrak Bawang Putih a. Pembuatan Dapar Fosfat pH 5,5 (Europe 2010) Pembuatan dapar fosfat pH 5,5 dibuat dengan melarutkan 13,61g kalium dihidrogen fosfat diencerkan dengan air 1000 mL (A) dan larutkan 35,81g hidrogen disodium fosfat encerkan dengan air 1000 mL (B). Campurkan larutan A 96,4 Ml dan larutan B 3,6 mL hingga didapat pH 5,5 pada pembacaan dengan pH meter. b. Pembuatan Fitosom (Anwar dan Farhana 2018) Formula dan metode pembuatan fitosom ekstrak bawang putih (Allium sativum L) dapat dilihat pada Table 2. Fitosom dibuat dengan cara mengkomplekskan fosfolipid dan ekstrak metanol bawang putih (Allium sativum L) dengan metode hidrasi lapis tipis. Tabel 2. Rancangan Formula dan Metode Pembuatan Fitosom Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L) Berdasarkan RSM (Design-Expert 7.1.6) Faktor 1 Run Block

A: Konsentrasi Ekstrak Bawang Putih (%)

Faktor 2 B: Konsentrasi Lesitin (%)

Faktor 3 C: Suhu (celcius)

Faktor 4 D: Kecepatan Rotasi (rpm) 125

1

Day 1

7,5

4,5

40

2

Day 1

6

6

35

100

3

Day 1

4,5

7,5

30

75

4

Day 1

7,5

4,5

30

75

5

Day 1

4,5

7,5

40

125

6

Day 1

7,5

7,5

40

75

7

Day 1

7,5

7,5

30

125

18

8

Day 1

6

6

35

100

9

Day 1

4,5

4,5

30

125

10

Day 1

4,5

4,5

40

75

11

Day 2

4,5

4,5

30

75

12

Day 2

7,5

4,5

30

125

13

Day 2

7,5

7,5

30

75

14

Day 2

7,5

4,5

40

75

15

Day 2

7,5

7,5

40

125

16

Day 2

4,5

4,5

40

125

17

Day 2

6

6

35

100

18

Day 2

6

6

35

100

19

Day 2

4,5

7,5

30

125

20

Day 2

4,5

7,5

40

75

21

Day 3

6

6

35

50

22

Day 3

9

6

35

100

23

Day 3

6

6

35

100

24

Day 3

3

6

35

100

25

Day 3

6

3

35

100

26

Day 3

6

6

45

100

27

Day 3

6

6

35

100

28

Day 3

6

9

35

100

29

Day 3

6

6

35

150

30

Day 3

6

6

25

100

Ekstrak bawang putih dan fosfatidilkolin ditimbang seksama sesuai dengan jumlah bobot yang tertera pada Tabel 2. Kemudian fosfatidilkolin kedelai dilarutkan dengan diclorometan sedangkan ekstrak bawang putih dilarutkan dengan etanol 96%, lalu dimasukkan ke dalam labu alas bulat. Diclorometan diuapakan menggunakan rotary evaporator pada suhu yang tertera pada Tabel 2 dengan 19

kecepatan yang tertera pada Tabel 2 dan divakum sampai diperoleh lapisan tipis merata. Gas nitrogen mengalir ke lapisan tipis, kemudian lapisan itu disimpan dalam kulkas hingga 24 jam pada suhu 2°C-8°C. Lapisan tipis itu di hidrasi dengan larutan dapar fosfat pH 5,5 pada suhu 40°C. Setelah suspensi terbentuk, lakukan sonikasi selama 2 menit. Kemudian masukkan kedalam botol kaca. c.

Evaluasi Fitosom

1) Efisiensi Penjerapan (Departemen Kesehatan RI 2014) 1) Pembuatan larutan dapar fosfat pH 6,8 Dibuat dengan mencampurkan 50 mL kalium dihidrogen fosfat 0,2 M dengan sejumlah 22,4 mL natrium hidroksida 0,2 N yang diencerkan dengan aqua bebas C02 hingga 200 mL hingga didapat pH 6,8 pada pembacaan dengan pH meter. 2) Pembuatan Kurva Kalibrasi Allisin (Phalke & Ravindra 2010) Standar allisin ditimbang sebanyak 50,0 mg dengan seksama, kemudian dimasukkan ke dalam labu terukur 50,0 mL. Pelarut Dapar phosfat pH 6,8 digunakan untuk melarutkan allisin standard. Dapar phosfat pH 6,8 ditambahkan hingga garis batas labu terukur, allisin standard diukur serapannya dengan alat spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum yaitu 262 nm. Serapan yang diperoleh kemudian ditentukan persamaan regresi linearnya (y = a+bx). 3) Penentuan Efisiensi Penjerapan Allisin (Anwar dan Farhana 2018) EE atau Entrapment efficiency atau efisiensi penjerapan fitosom dilakukan dengan memasukkan 0,5 mL sampel kedalam tabung sentrifugasi, kemudian dilakukan sentrifugasi untuk memisahkan zat aktif yang tidak terserap dalam fitosom pada kecepatan 14000 rpm selama 90 menit. Diambil supernatannya untuk mengukur kadar allisin yang tidak terserap dalam vesikel fitosom. Selanjutnya dicukupkan volumenya dengan Dapar phosfat pH 6,8 10 mL, larutan yang diperoleh diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer. Presentase allisin yang terjerap ditentukan dengan menggunakan rumus: % 𝐸𝐸 =

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑙𝑙𝑖𝑠𝑖𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑢𝑠𝑝𝑒𝑛𝑠𝑖−𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑙𝑙𝑖𝑠𝑖𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑢𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑙𝑙𝑖𝑠𝑖𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑢𝑠𝑝𝑒𝑛𝑠𝑖

2) Evaluasi Bobot Jenis (Departemen Kesehatan RI 2014) 20

x100% ......(5)

Prosedur evaluasi berat jenis dapat di lihat pada halaman 17. 3) Visualisasi Morfologi Partikel (Ramana et al. 2010) Penentuan morfologi fitosom ekstrak bawang putih (Allium sativum L) dilakukan menggunakan mikroskop elektron SEM (Scanning Electron Microscopy) mula-mula fitosom dikeringkan dengan menggunakan metode Freeze Drying kemudian sampel dianalisis dengan dilihat bentuk ukurannya. 4) Penentuan Ukuran Partikel, Polidispersi Indeks, dan Zeta Potensial (Keerthi et al. 2014) Dilakukan dengan menggunakan alat Particle Size Analyzer (PSA). Sampel dilakukan pengenceran dengan aqudest yaitu 1 mL sampel dicampurkan dengan 9 mL aquadest. Diukur dengan menggunakan Light Scattering Analyzer DelsaMax Pro Particle Size Analyzer. Larutan tersebut dimasukkan ke dalam flow cell, flow cell yang telah diisi sampel dimasukkan ke dalam cell alat. Alat dinyalahkan dan dipilih menu DLS & PALS (Stimultaneous). Alat akan mengukur sampel selama 9 menit, lalu ukuran partikel dari vesikel fitosom akan terukur. 5.

Analisis RSM Analisis RSM pada penelitian ini digunakan untuk menentukan formula optimum

fitosom gel ekstrak bawang putih (Allium sativum L). 6. Pembuatan Formula Fitosom yang Optimal Fitosom ekstrak bawang putih dibuat sesuai dengan formula dan kondisi pembuatan optimal yang diperoleh dari analisa RSM. Pada fitosom yang terbentuk dilakukan uji efisiensi penjerapan, bobot jenis, pengujian ukuran partikel, polidispersi indeks dan zeta potensial. Prosedur evaluasi dapat di lihat pada halaman 19 sampai 21. 7. Liofilisasi (Pengeringan) a. Proses Pengeringan (Ghanbarzadeh, Valizadeh, & Zakeri-Milani 2013) Proses pengeringan fitosom ekstrak bawang putih dilakukan dengan metode freeze dry (pengeringan beku). Lyoprotectant (Dekstrosa) dilarutkan dalam dapar fosfat pada konsentrasi 10%. Suspensi fitosom di dispersikan kedalam larutan dekstrosa, kemudian dibekukan pada suhu -195°C. Tahap selanjutnya adalah tahap

21

dehidrasi pada suhu dilakukan selama 2 hari pada suhu -40°C hingga terbentuk serbuk kering. b. Evaluasi Serbuk Kering Fitosom ekstrak bawang putih yang telah dikeringkan dengan menggunakan Freeze Dry kemudian di analisis dengan menggunakan GC-MS, prosedur dapat dilihat di halaman 18. 8. Pembuatan Formula Gel Fitosom Ekstrak Bawang Putih Tabel 3. Formula Gel Bahan Fitosom Ekstrak Bawang Putih Carbopol 940 Propilenglikol Trietanolamin Nipagin Aquadest

Gel Fitosom Ekstrak Bawang Putih F1 F2 F3 x x x 0,5 %

1%

1,5 %

15 % qs

15 % qs

15 % qs

1% Ad 100

1% Ad 100

1% Ad 100

Fungsi Zat aktif Gelling Agent Humektan Alkaling Agent Pengawet Pelarut

Pembuatan sediaan gel dimulai dengan pembuatan basis gel. Metilparaben yang telah dilarutkan dengan propilenglikol dicampurkan kedalam sisa air untuk mengembangkan carbopol. Kemudian taburkan serbuk carbopol diatas campuran tersebut gerus hingga terhidrasi sempurna. Lalu, diamkan hingga 24 jam sampai mengembang, cek pH larutan. Setelah itu ditambahkan TEA hingga pH basis gel mencapai 6,5. Fitosom ekstrak bawang putih dicampur kedalam basis, lalu di homogenkan. Pada gel fitosom ekstrak bawang putih yang terbentuk kemudian dilakukan evaluasi sifat fisik, penentuan laju penguraian dan laju difusi. 9.

Evaluasi Gel Fitosom Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L)

a.

Organoleptis (Departemen Kesehatan RI 2000) Meliputi pengamatan terhadap, bentuk, warna, dan bau pada suhu kamar 25˚C

amati dengan latar gelap. b.

Pengukuran pH (Departemen Kesehatan RI 2014) Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter, dengan cara:

Elektroda dicuci dan dibilas dengan air suling, keringkan. Kaliberasi alat 22

menggunakan larutan dapar standar pH 4 dan pH 7. Elektroda dimasukan kedalam gel, catat pHnya. Diulang sebanyak tiga kali. c.

Pengukuran Rheologi (Sinko 2011) Sebelum dilakukan pengujian, terlebih dahulu dilakukan orientasi terhadap

spindle dan kecepatan geser (rpm) yang akan digunakan. Gel dituang dalam wadah beaker glass, selanjutnya dipasang spindle. Pengukuran dilakukan dengan viskometer Brookfield pada kecepatan yang diatur. Catat angka yang menunjukkan nilai viskositas sediaan pada layar. d.

Pemeriksaan Homogenitas (Departemen Kesehatan RI 1995) Sampel gel diletakkan diantara dua kaca transparan, lalu diamati dengan

penglihatan mata. Sediaan harus menunjukan susunan yang homogen tidak terlihat adanya ketidak homogenan dari gel. e.

Ukuran Partikel, Polidispersi Indeks, dan Zeta Potensial Penentuan Ukuran Partikel, Polidispersi Indeks dan Zeta Potensial pada gel

dapat dilihat pada halaman 21. f.

Penetapan Kadar Gel Fitosom Ekstrak Bawang Putih (Phalke & Ravindra 2010) Penetapan kadar gel fitosom ekstrak bawang putih dilakukan untuk melihat

senyawa allisin yang terdapat dalam gel. Dengan menggunakan larutan dapar fosfat pH

6,8.

Setelah

itu

dilakukan

pembacaan

absorbansi

menggunakan

spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum 262 nm dan di dapatkan nilai absorbansi, kemudian dimasukan kedalam persamaan regresi linear (y=bx+a). 10. Penentuan Laju Penguraian Gel Fitosom Ekstrak Bawang Putih Pada penelitian ini gel fitosom ekstrak bawang putih untuk melihat persentase penurunan kadar dari gel fitosom ekstrak bawang putih. Sampel ditimbang sebanyak 1 gram kemudian disimpan dengan menggunakan 3 suhu berbeda yaitu 4°C, 25°C, dan 40°C selama 8 minggu (Voigt 1995). Dilakukan penentuan kadar allisin dalam gel, prosedur dapat dilihat pada halaman 22. Kadar allisin yang diperoleh dimasukkan ke dalam persamaan model kinetika penguraian orde nol dan orde satu dari laju penguraian fitosom ekstrak bawang putih.

23

11. Penentuan Laju Difusi Gel Fitosom Ekstrak Bawang Putih (Dash 2010; Lanimarta 2012) Dilakukan pembuatan kurva kalibrasi allisin, prosedur pembuatan dapat dilihat pada halaman 19. Uji difusi fitosom ekstrak bawang putih dilakukan secara in vitro menggunakan Sel Difusi Franz termodifikasi menggunakan pelarut dapar fosfat pH 6,8 dan menggunakan membran sintetis milipore 0,22 μm yang diletakan diantara dua bagian sel difusi Franz, lalu kompartemen reseptor diisi dapar fosfat pH 6,8 sebanyak 130 mL. Sebanyak 1 gram fitosom ekstrak bawang putih diletakkan pada permukaan membran. Kemudian dilakukan pengambilan sampel dari kompartemen sebanyak 5 mL. Pengambilan sampel dilakukan pada menit ke 5, 10, 15, 30, 60, 90, 180, 240, 300, 360, 420 menit. Setelah itu dilakukan pembacaan absorbansi menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum 262 nm dan di dapatkan nilai absorbansi, kemudian dimasukan kedalam persamaan regresi linear (y=bx+a) yang diperoleh dari kurva baku allisin dalam medium dapar fosfat pH 6,8. Setelah diperoleh data laju difusi kemudian ditentukan kinetika pelepasan obatnya. 12. Analisis data Adapun evaluasi yang dianalisis secara statistik adalah laju difusi dengan menggunakan analisa varian satu arah (one way ANOVA) dan laju penguraian menggunakan analisa varian dua arah (two way ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95% (α=0,05) untuk melihat adanya perbedaan atau tidak dari keseluruhan formula. Kemudian, dilanjutkan dengan uji Tukey HSD untuk menentukan perbedaan perbedaan yang bermakna pada setiap formula.

24

DAFTAR PUSTAKA Agoes G. 2010. Enkapsulasi Farmasetik (SFI-5). Bandung : ITB. Hlm. 237, 264 Agoes G. 2012. Sediaan Farmasi Likuida-Semisolida (SFI-7). Bandung : ITB. Hlm. 329 Abrar B., Anis S., Tanu B., and Singh S. 2012. Formulation and in-vitro evaluation of NSAID’s gel. Dalam: International Journal Curr Pharm Res. Vol.4(3). Hlm. 56-58 Ajazuddin, Saraf S. 2010. Applications of novel drug delivery system for herbal formulations. Dalam: Journal of Elsevier Fitoterapia. Vol. 81(7). India. Hlm. 682-685 Allen, L. V. 2002. The Art, Science and Technology of Pharmaceutical Compounding, Second Edition. Dalam: American Pharmaceutical Association, Vol. 2. Washington D.C. Hlm. 170-173, 183, 187 Amin S., Ruswanto, Negoro Y. 2014. Analisis Minyak Atsiri Umbi Bawang Putih Menggunakan Kromatografi Gas Spektrofotometer Massa. Dalam: Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada, Jurnal Ilmu-ilmu Keperawatan, Analis Kesehatan dan Farmasi. Vol. 11(1). Tasikmalaya. Hlm. 38-45 Amit P., Tanwar Y.S., Rakesh S., Poojan P. 2013. Phytosome: Phytolipid Drug Dilivery System for Improving Bioavailability of Herbal Drug. Dalam: Journal of Pharmaceutical Science and Bioscientific Research (JPSBR). Vol. 3(2). India. Hlm. 51-57 Anggraeni Y., Hendradi E., dan Purwant, T. 2012. Karakteristik sediaan dan pelepasan natrium diklofenak dalam sistem niosom dengan basis gel carbomer 940. Dalam: Journal Pharma Scientia. Vol. 1. Surabaya. Hlm. 1-15 Anwar E., & Farhana N. 2018. Formulation and Evaluation of Phytosome-Loaded Maltodextrin-Gum Arabic Microsphere System for Delivery of Camellia sinensis Extract. Dalam: Journal of Young Pharmacists. Vol. 10(2S). Depok. Hlm. 57 Ashraf R., Khan R. A., dan Ashraf, I. 2011. Garlic (Allium sativum L) supplementation with standard antidiabetic agent provides better diabetic control in type 2 diabetes patients. Dalam: Journal Pak J Pharm Sci. Vol. 24(4). Pakistan. Hlm. 565-570. Banerjee, S.K. and Maulik S.K. 2002. Effect of Garlic on Cardiovasculer Disorders: a Review. Dalam: Nutrition Journal. Vol. 1 (4). India. Hlm. 8. Council of Europe. 2010. European Pharmacopoeia Ed. 7 th. Council of Europe: Strasbourg. Hlm. 490

25

Dash S., Murthy P. N., Nath L., & Chowdhury P. 2010. Kinetic modeling on drug release from controlled drug delivery systems. Dalam: Journal Acta Pol Pharm. Vol. 67(3). India. Hlm. 217-222. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Hlm. 96 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Hlm. 33 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umum Tumbuhan Obat Bahan Alam. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Hlm. 10, 13, 30. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hlm. 6-8 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi II. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hlm. 9, 11, 104-106 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Farmakope Indonesia. Edisi V Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Hlm. 47, 856, 1070, 1553, 1563, 1750. Ghanbarzadeh S., Valizadeh H., and Zakeri-Milani P. 2013. The effects of lyophilization on the physico-chemical stability of sirolimus liposomes. Dalam: Journal Advanced pharmaceutical bulletin. Vol. 3(1). Iran. Hlm 25-29 Hernawan U. E., Setyawan A. D. 2003. Senyawa Oragnosulfur Bawang Putih (Allium sativum L.) dan aktivitas Biologisnya. Dalam: Journal Biofarmasi. Vol. 1(2). Surakarta. Hlm. 65-76 Iriawan N. dan S. P. Astuti. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Penerbit Andi. Yogyakarta Islam, Mohammad T., Nai’r Rordri’guez-Homedo, Susan Ciotti, and Chrisita Ackermann. 2004. Rheological Characterization of Topical Carbomer Gels Neutralized to Diffrent pH. Dalam: Journal Pharmaceutical Research, Vol. 21 (7). USA. Hlm. 1192 Karimi N., Ghanbarzadeh M., Hamishehkar H., Pezeshki A., Mostafayi H., & Gholian M. M. 2015. Phytosome as novel delivery system for nutraceutical materials. Dalam: International Journal Curr Microbiol App Sci. Vol. 4(6). Iran. Hlm. 153 Keerthi B., Pingali P. S., & Srinivas P. 2014. Formulation and evaluation of capsules of ashwagandha phytosomes. Dalam: Int J Pharm Sci Rev Res. Vol. 29(2). India. Hlm. 138-142 Lanimarta Y. 2012. Pembuatan dan Uji Penetrasi Nanopartikel Kurkumin – Dendrimer Poliamidoamin (PAMAM) Generaso 4 dalam Sediaan Gel dengan 26

Menggunakan Sel Difusi Franz. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Depok. Londhe V. P., Gavasane A. T., Nipate S. S., Bandawane D. D., Chaudhari P. D. 2011. Role of Garlic (Allium sativum L) In Various Diseases: An Overview. Dalam: Journal of Pharmaceutical Research and Opinion. Vol. 1(4). India. Hlm.130 Mayangkara. 2011. Pengaruh Etanol dan Asam Oleat terhadap Penetrasi Liposom Transdermal Glukosamin Menggunakan Sel Difusi Franz. Skripsi. Universitas Indonesia. Jakarta. Halaman 5 – 28. Pawar H. A., Bhangale D. B. 2015. Phytosome as a Novel Biomedicine: A Microencapsulated Drug Delivery System. Dalam: Journal of Bioanalysis & Biomedicine. Vol. 7(1). India. Hlm.06-012 Phalke O. L., and Ravindra R. P. 2010. Design And Evaluation of Garlic Sustained Release Matrix Tablets. Dalam: International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research. Vol. 4(1). India. Hlm. 100-106 Ramana L. N., Sethuraman S., Ranga U., & Krishnan U. M. 2010. Development of a liposomal nanodelivery system for nevirapine. Dalam: Journal of biomedical science. Vol. 17(1). Hal. 1-9 Rana, M. S., Rohani, S., Hossain, M. N., & Rahmatullah, M. 2018. Improved Glucose Tolerance with A Polyherbal Formulation Of Colocasia Esculenta Tubers And Allium Sativum Cloves. Dalam: Journal of Pharmaceutical Research. Vol. 7(16). Hal. 55-61 Rowe C. R., Sheskey J. P., and Quinn E. M. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients Edisi 6. The Pharmaceutical Press. America. Hlm. 110-113, 385387, 441-444, 754-755. Saha S, Sarma A, Saikia P, Chakrabarty. 2013. Phytosome: A Brief Overview. Dalam: Journal Scholars Academic Journal of Pharmacy (SAJP). Vol 2(1). India. Hlm. 14 Singh R, Lillard Jr. JW. 2009. Nanoparticle-based targeted drug delivery. Dalam: Journal Exp Mol Pathol National Institute of Health. Vol. 86(3). USA. Hlm. 218 Sinko, P. J. 2011. Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika edisi 5. diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB. Jakarta : EGC. Hlm 379-383. Tripathy S., Patel D. K., Baro L., Nair S. K. 2013. A Review on Phytosomes, Their Characterization, Advancement & Potential for Transdermal Application. Journal of Drug Delivery & Therapeutics. 3(3), 147-152. India. Hlm. 147-152. Tranggono R. I., Latifah F. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. Jakarta. Hlm. 27 Voigt R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Diterjemahkan oleh Soendani N. S. Yogyakarta: UGM Press. Hlm. 609, 613-615 27

Related Documents


More Documents from "fajar ardiansyah"