PROPOSAL PENELITIAN UPAYA PENCEGAHAN TINDAKAN BULLYING MELALUI MODEL BERMAIN PERAN DI KELAS V SDN 023895 BINJAI SELATAN
DISUSUN OLEH : NAMA : CICI V.W. SIREGAR NIM : 1162311002 KELAS : C EKSTENSI 2016 DOSEN PEMBIMBING : Dra. Sorta Simanjuntak, MS.
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2018
13
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini kasus kekerasan terhadap anak marak terjadi. Bentuk ancaman atau pemalakan lebih sering muncul dalam beberapa bentuk seperti minta makanan, minta dibuatkan tugas sampai disaat ujian minta untuk diberikan contekan. Kasus lain yaitu berupa ejekan kepada teman-temannya sampai teman yang diejek menangis. Selain itu juga terjadi kebiasaan untuk memanggil temannya dengan nama bapaknya atau bukan nama siswa yang sebenarnya dengan maksud melecehkan. Tindakan seperti inilah yang sering disebut dengan bullying. Bullying adalah fenomena yang telah lama terjadi di kalangan remaja. Kasus bullying biasanya menimpa anak sekolah. Pelaku bullying akan mengintimidasi/mengejek kawannya sehingga kawannya tersebut jengkel. Atau lebih parah lagi, korban bullying akan mengalami depresi dan hingga timbul rasa untuk bunuh diri. Bullying harus dihindari karena bullying mengakibatkan korbannya berpikir untuk tidak berangkat ke sekolah karena di sekolahnya ia akan di bully oleh si pelaku. Selain itu, bullying juga dapat menjadikan seorang anak turun prestasinya karena merasa tertekan sering di bully oleh pelaku. Sekarang ini, kasus bullying tidak hanya terjadi di kalangan orang dewasa, tetapi juga sangat marak di kalangan siswa-siswi Sekolah Dasar. Berdasarkan berita online SindoNews.Co, untuk mengantisipasi anak menjadi pelaku dan korban bullying yang marak belakangan ini ternyata kuncinya adalah pendidikan agama. Orang tua dan guru harus memberikan pendidikan agama yang baik sehingga anak memandang orang lain sebagai individu atau mahluk sosial yang perlu disayangi. Pakar Pendidikan UIN Jakarta Nuraini Ahmad mengatakan, kasus bullying yang terjadi di Thamrin City, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu, sejatinya tak lepas dari minimnya pengawasan orang tua dan kurangnya pendidikan agama kepada anak. Sebab, pendidikan itu utamanya tanggung jawab orang tua, lalu guru saat di sekolah. Oleh sebab itu, dapat diketahui pengaruh pendidikan agama di sekolah khususnya di Sekolah Dasar sangatlah besar.
14
B. Identifikasi Masalah 1. Siswa-siswi Sekolah Dasar berani melakukan tindakan bullying. 2. Minimnya pengawasan orang tua terhadap anak. 3. Kurangnya pendidikan agama yang diajarkan kepada anak. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: bagaimana pengaruh pendidikan agama dalam mengurangi tindakan bullying pada siswa-siswi Sekolah Dasar?
D. Hipotesa Tindakan Jika siswa-siswi diajarkan pendidikan agama dengan baik maka akan mengajarkan siswa-siswi untuk saling menghargai dan menghormati sesama, sehingga siswa-siswi tidak melakukan tindakan bullying.
15
BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teoritis 1. Pengertian Bullying Istilah bullying berasal dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti banteng. Banteng merupakan hewan yang suka menyerang secara agresif terhadap siapapun yang berada di dekatnya. Sama halnya dengan
bullying, suatu tindakan yang digambarkan seperti banteng yang cenderung bersifat terjadi
destruktif.
Bullying merupakan sebuah kondisi dimana telah
penyalahgunaan
kekuatan
atau
kekuasaan
yang
dilakukan
oleh
perseorangan ataupun kelompok. Penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan dilakukan pihak
yang
kuat
tidak
hanya
secara
fisik
saja
tetapi
juga
secara
mental(Sejiwa, 2008).Perilaku bullying juga dapat disebut dengan peer
victimization ataupun hazing.
16
Istilah bullying merupakan suatu istilah yang masing terdengar asing bagi
kebanyakan
masyarakat
di
Indonesia,
walaupun
pada
kenyataannya
perilaku tersebut telah terjadi dalam kurun waktu yang lama dan terjadi di berbagai segi kehidupan termasuk juga dunia pendidikan. Padahal tindakan
bullying merupakan suatu fenomena yang tersebar di seluruh dunia (Sari Pediatri, 2013:175). Berikutnya,
Liness
(Sri
Wahyuni
&
M.G.
Adiyanti,
2010)
mendefinisikan perilaku bullying sebagai intimidasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok baik secara fisik, psikologis, sosial, verbal atau emosional,
yang
dilakukan
secara
terus
menerus.
Menurut
Santrock
(2007:213), “bullying didefinisikan sebagai perilaku verbal dan fisik yang dimaksudkan untuk mengganggu seseorang yang lebih lemah”. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, penulis dapat menarik kesimpulanbahwa bullying merupakan suatu perilaku agresif yang bersifat negatif
padaseseorang
atau
sekelompok
orang
yang
dilakukan
secara
berulang-ulangdan dengan sengaja untuk menyakiti orang lainbaik secara fisik
ataupunmental
karena
adanyapenyalahgunaan
ketidakseimbangan
kekuatan.
2. Bentuk-bentuk Perilaku Bullying Bentuk-bentuk perilaku bullying yang terjadi mulai dari lingkungan pergaulan hingga di lingkungan sekolah sangat beragam. Baik anak laki-laki dan perempuan melakukan bullying terhadap orang lain secara langsung dan tidak langsung, tetapi anak laki-laki lebih mungkin untuk menggunakan jenis bullying fisik. Perempuan lebih mungkin untuk menyebarkan rumor dan menggunakan pengucilan sosial atau isolasi, jenis bullying juga dikenal agresi asrelational. Sejiwa (2008:2), menyatakan bahwa ada tiga kategori perilaku bullying diantaranya: 17
a. Bullying fisik Merupakan bentuk perilaku bullying yang dapat dilihat secara kasat mata karena terjadi kontak langsung antara pelaku bullying dengan korbannya. Bentuk bullying fisik antara lain: menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjambak, menjegal, menghukum dengan berlari keliling lapangan, menghukum dengan cara push up. b. Bullying verbal Merupakan bentuk perilaku bullying yang dapat ditangkap melalui iri
pendengaran.
Bentuk
bullying
verbal
antara
lain:
menjuluki,
meneriaki, memaki, menghina, mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menebar gosip, memfitnah. c. Bullying mental/psikologis Merupakan bentuk perilaku bullying yang paling berbahaya dibanding dengan bentuk bullying lainnya karena kadang diabaikan oleh beberapa orang. Bentuk bullying mental/psikologis antara lain: memandang sinis, memandang penuh ancaman, mendiamkan, mengucilkan, memelototi, dan mencibir (Sejiwa(2008:2). Terkait
dengan
bentuk
perilaku
bullying
dalam
Focus
on
bullying
menyatakan bahwa bentuk-bentuk perilaku bullying antara lain: a. Agresi secara fisik Bentuk perilaku bullying yang termasuk ke dalam agresi fisik dibagi menjadi 2, yaitu: 1) Bentuk
perilaku
bullying yang perlu diperhatikan yaitu
mendorong, mendesak, meludah, menendang, dan memukul. 2) Bentuk
perilaku
mengancam
dengan
bullying dengan perhatian serius yaitu menggunakan
sebuah
senjata,
mengotori
bahkan merusak benda-benda di sekitar, melakukan pencurian b. Agresi secara lisan 18
Bentuk perilaku bullying yang termasuk ke dalam agresi secara lisan dibagi menjadi 2, yaitu: 1) Bentuk perilaku bullyingyang tidak membutuhkan perhatian yaitu
menghina, mengejek orang lain, suka mengatai dan
memberi julukan pada orang, pandangan yang menunjukkan rasa tidak senang, kebencian ataupun kemarahan, dan ,menyindir orang lain. 2) Bentuk perilaku bullying yang membutuhkan perhatian serius seperti mengintimidasi (menakut-nakuti, menggertak) melalui panggilan telepon, mengejek yang berkaitan dengan ras, jenis kelamin,
ancaman
berupa
kata-kata
yang
dapat
melukai
perasaan orang lain, tindak kekerasan yang berupa kata-kata yang bersifat mengancam atau menimbulkan luka-luka pada tubuh
orang
lain,
melakukan
pemaksaan,
dan
melakukan
pemerasan terhadap orang lain. c. Pengasingan social Bentuk perilaku bullying yang termasuk ke dalam pengasingan sosial dibagi menjadi 2, yaitu: 1) Bentuk perilaku bullying yang tidak membutuhkan perhatian seriusseperti sehingga
menggunjing
dijauhi
oleh
bahkan
memfitnah
teman-temannya,
seseorang
memperlakukan
seseorang di depan umum, membuat seseorang seolah-olah terlihat
bodoh,
menyebarkan
rumor
tentang
seseorang,
mengeluarkan seseorang dari kelompok pergaulan. 2) Bentuk
perilaku
bullying
yang
membutuhkan
perhatian
seriusseperti menghasut orang lain yang didasarkan pada rasa
benci,
melakukan
pengucilan
terhadap
seseorang
ataupun kelompok yang berhubungan dengan ras, dan jenis 19
kelamin, membuat seseorang menanggung kesalahan, melakukan penghinaan di depan umum, menyebarkan rumor jahat tentang seseorang.
Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (Levianti, 2008) menyatakan bahwa bentuk-bentuk bullying yaitu: a. Kontak fisik langsung Merupakan gangguan berupa serangan secara fisik yang dilakukan oleh pelaku kepada korban atau sasarannya dimana terlibat kontak langsung. Tindakan ini dapat berupa memukul, mendorong, menendang, mencubit, dan lainnya yang merupakan tindakan kekerasan. b.
Kontak verbal langsung Merupakan serangan berupa kata-katayangdilisankan langsung dari pelaku kepada korban. Tindakan ini dapat berupa ancaman, ejekan, mempermalukan, menggertak, menyebarkan gosip, sikap negatif terhadap guru, dan memaki. Antara anak laki-laki dengan perempuan memiliki suatu
perbedaan
Anaklaki-laki
dalam
hal
tindakan
umumnyamenggunakan
bullying
kata-kata
kasar,
yang suka
dilakukan. menggoda,
mengolok-olok teman dan lainnya. Pada anak perempuan biasanya menjadi pencemburu, egois, pemarah dan bisa juga melampiaskannya dengan membanting barang atau benda-benda lainnya. c. Perilaku non-verbal langsung Perilaku ini ditunjukkanmelalui gerakan tubuh pelaku bullying yang biasa dikenal dengan bahasa tubuh, yang diperlihatkan secara langsung kepada sasaran atau korbannya. Anak-anak biasanya melakukan hal seperti pandangan sinis, menunjukkan ekspresi wajah yang merendahkan, memelototi,
mengabaikan
lawan
bicara,mengalihkanpandangan,dan
gerakan-gerakan tubuh yang menghina orang lain. 20
d. Perilaku non-verbal tidak langsung. Perilaku ini tidak melibatkan kontak langsung antara pelaku
bullying seseorang,
dengan
korban.Perilakuyang
berbuat
curang
pada
dilakukan
orang
lain
seperti atau
mendiamkan
sahabat
yang
menyebabkan keretakan persahabatan, dengan sengaja mengucilkan teman, menghasut teman yang lain, mengirim SMS ancaman atau surat kaleng tanpa ada nama pengirimnya. Perilaku ini dilakukan dengan maksud agar lawan yaitu temannya sendirimerasa tidak nyaman, gelisah, terancam atau ketakutan. e. Pelecehan Seksual Pelecehan
seksual
biasanya
dilakukan
oleh
seorang
laki-laki
terhadap perempuan. Pelecehan seksual dilakukan secara fisik atau lisan menggunakan ejekan atau kata-kata yang tidak sopan untuk menunjuk pada sekitar hal yang sensitif pada seksual. Secara fisik pelecehan seksual bisa dilakukan dengan sengaja memegang wilayahwilayah seksual lawan jenis. Pada tindak kekerasan seksual bisa juga terjadi dalam bentuk penghinaan-penghinaan terhadap lawan jenis atau sejenis seperti halnya mengatakan teman laki-laki ”banci”bagi lakilaki yang berperilaku feminim. Berdasarkan pendapat di atas, dapat penulis simpulkan bahwa bentukbentuk bullying meliputi bullying lisan, bullying fisik, bullying sosial, dan bullying psikologis.
3. Faktor-Faktor yang MempengaruhiPerilaku Bullying
Bullying terjadi tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja tetapi setiap bagian yang ada di sekitar anak juga turut memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam munculnya perilaku tersebut.
21
Menurut
Andri
Priyatna
(2010:6-8)
mengemukakan
bahwa
faktor-faktor
tersebut antara lain: a. Faktor dari Keluarga Pola asuh dalam suatu keluarga mempunyai peran dalam pembentukan perilaku anak terutama pada munculnya perilaku bullying. Keluarga yang menerapkan pola asuh permisif membuat anak terbiasa untuk bebas melakukan segala sesuatu yang diinginkannya. Anak pun juga menjadi manja, akan memaksakan keinginannya. Anak juga tidak tahu letak kesalahannya ketika ia melakukan kesalahan sehingga segala sesuatu yang dilakukannya dianggapnya sebagai suatu hal yang benar. Begitu pula dengan pola asuh yang keras, yang cenderung mengekang kebebasan anak. Anak pun terbiasa mendapatkan perlakuan kasar yang nantinya akan dipraktikkan dalam pertemanannya bahkan anak akan menganggap hal tersebut sebagai hal yang wajar.Anantasari (2006:57) menyatakan bahwa lingkungan keluarga si anak apabila cenderung mengarah pada hal-hal negatif seperti sering terjadi kekerasan (memukul, menendang meja dan lain-lain), sering memaki-maki dengan menggunakan kata kotor, sering menonton acara televisi yang mana terdapat adegan-adegan kekerasan dapat berimbas pada perilaku anak. Sifat anak yang cenderung meniru
(imitation) akan melakukan hal yang sama seperti apa yang dilihatnya. Selain itu anak akan membentuk kerangka pikir bahwa perilaku yang sering
dilihatnya
merupakan
hal
yang
wajar
bahkan
perlu
untuk
dilakukan. b. Faktor dari Pergaulan Teman
sepermainan
yang
sering
melakukan
tindakan
kekerasan
terhadap orang lain akan berimbas kepada perkembangan si anak. Anak juga akan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh 22
teman-temannya. Selain itu anak baik dari kalangan sosial rendah hingga atas juga melakukan bullying dengan maksud untuk mendapatkan pengakuan serta penghargaan dari teman-temannya.
Berdasarkan pendapat di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa penyebab terjadinya perilaku bullying tidak hanya dilatarbelakangi oleh salah satu faktor saja tetapi segala faktor baik internal dan eksternal dari
seorang
anak
juga
mengambil
peranan
dalam
timbulnya
perilaku
bullying.
4. Karakteristik Pelaku Bullying (Bully) Dalam setiap aksi kekerasan tentu saja terdapat pelaku aksi kekerasan serta korban aksi kekerasan. Dimana keduanya memiliki karakteristik tersendiri yang dapat diamati. Pelaku bullying biasanya anak-anak yang secara fisiknya berukuran besar dan kuat. Tidak menutup kemungkinan apabila pelaku bullying memiliki ukuran tubuh yang kecil atau sedang dengan dominasi kekuatan serta kekuasaan yang besar di kalangan temantemannya. ditunjukkan
Para oleh
orang
tua
anak-anaknya
dapat
mengidentifikasi
apakah
mereka
telah
perilaku menjadi
yang pelaku
bullying bagi teman-teman sebayanya karena anak yang sering melakukan bullyingmemiliki kecenderungan antara lain: a. Anak sering cepat marah atau bahkan sering berdebat mengenai segala sesuatu yang mungkin tidak sesuai dengan kehendaknya. Hal ini menunjukkan bahwa anak tidak mendengarkan perintah orang tuanya (membantah). b. Mengontrol
atau
mengendalikansituasi
cepat
dan
memiliki
kepercayaaan diri. Banyak diantara anak memiliki rasa kepercayaan
23
yang tinggi sehingga ingin menindas temannya yang lebih lemah dan kurang percaya diri. c. Mudah marah dan akan menunjukkan kemarahaannya kepada siapapun. Anak kurang dapat mengontrol emosinya sehingga emosinya meledakledak
dan
anak
akan
meluapkannya
kepada
orang
yang
ada
di
sekelilingnya. d. Sering memerintah teman sebayanya layaknya orang yang memiliki kekuasaan besar. Anak ingin selalu menjadi penguasa dan orang yang ditakuti oleh teman-temannya. e. Jarang menunjukkan empati terhadap orang lain. Melihat temannya merasa ketakutan, bahkan kesakitan tidak membuat seorang pelaku
bullying lantas menghentikan tindakannya karena mereka kurang terlatih dan terbiasa untuk menolong temannya, bahkan berbagi. f. Pandai
meyakinkan
orang
lain
untuk
mengikutinya.
Anak
akan
memiliki banyak pengikut yang nanti turut membantunya dalam mem-
bully teman lainnya. g. Ingin selalu menang. Anak akan melakukan segala cara agar dia selalu menjadi pemenang dalam segala hal termasuk kekerasan karena menurutnya dialah orang yang paling berkuasa. h. Bermain fisik secara kasar. Dalam pergaulannya anak akan melakukan kekerasan
secara
fisik
misalnya
saja
mendorong,
menjegal,
menendang, mencubit, menjambak, bahkan memukul temannya. i. Seringkali menolak untuk bekerja sama. Anak-anak yang sering melakukan bullying terhadap temannya akan susah untuk diajak bekerja sama karena mereka pada kenyataannya akan menyuruh korban untuk melakukan segala permintaannya.
24
Berdasarkan pendapat di atas, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa karakteristik pelaku bullying atau yang sering disebut dengan bully antara lain: (1) memiliki kekuatan dan kekuasaan yang jauh lebih kuat dibanding teman yang lain, (2) cenderung mendominasi dalam pertemanan, (3) ingin menguasai teman-temannya, (4) temperamen tinggi sehingga bersifat impulsif, (5) kurang berempati, (6) selalu berargumentasi (membantah), (7) susah mengikuti aturan.
5. Motivasi Bullying Perilaku bullying tentu saja terjadi dengan dilatarbelakangi suatu alasan yang kuat pada diri masing-masing anak.Alasan kuat inilah yang menjadi motivasi tersendiri dalam melakukan penindasan anak yang satu dengan yang lain. Pelaku bullying memiliki kepuasan tersendiri apabila ia menjadi penguasa di kalangan teman-temannya. Dengan melakukan bullying, anak tersebut akan mendapatkan pengakuan serta pelabelan dari teman sebayanya bahwa ia adalah orang yang hebat, kuat, dan besar. Hal ini semakin mempertegas ketidakberdayaan dan betapa lemahnya si korban di mata pelaku bullying.Selain itu, beberapa pendapat dari orang tua dalam sebuah pelatihan mengenai mengapa anak-anak menjadi pelaku bullyingmenyebutkan bahwa: (1) Anak-anak pernah menjadi korban bullying, (2) Anak memiliki keinginan
untuk
menunjukkan
eksistensi
diri,
(3)
Ingin
mendapatkan
pengakuan, (4) Untuk menutupi kekurangan diri, (5) Untuk mendapatkan perhatian, (6) Balas dendam, (7) Iseng sekedar coba-coba, (8) Ikutikutan(Sejiwa, 2008:14-16).Berdasarkan pendapat di atas, peneliti menarik kesimpulan
bahwa
anak-anak
melakukan
intrinsik dan ekstrinsik pada anak.
25
bullying
berdasarkan
motivasi
6. Karakteristik Korban Bullying Dalam bullying tidak mungkin terjadi hanya dengan adanya pelaku
bullying. Terdapat anak yang menjadi sasaran penganiayaan dan penindasan oleh pelaku bullying. Anak-anak yang menjadi korban bullying memiliki postur tubuh yang lebih kecil dibanding temannya yang lain, lemah secara fisik ataupun psikis. Anak yang memiliki penampilan yang berbeda dari segi berpakaian dan berperilaku misalnya saja anak yang mengucilkan diri dari pergaulan, susah beradaptasi dengan lingkungannya, memiliki kepercayaan diri yang rendah, anak yang memiliki aksen yang berbeda.Anak orang tak mampu juga sering menjadi korban bullying bahkan anak orang kaya pun tidak luput dari perlakuan bullying.Selain itu, anak-anak yang kurang pandai dan memiliki keterbatasan fisik seperti gagap juga sering menjadi korban
bullying. Anak yang cenderung menentang pelaku bullying karena sering beradu agumentasi dianggap sebagai anak yang menyebalkan sehingga pelaku
bullying akan menindas mereka (Sejiwa, 2008:17). Berdasarkan pendapat di atas, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa karakteristik seorang anak yang menjadi korban bullying antara lain: (1) lemah secara fisik (bertubuh kecil,
tidak
cantik/tampan,
gagap,
cacat),
(2)
lemah
secara
psikis
(pendiam, mengucilkan diri, tidak dapat menyesuaikan dengan lingkungan baru,
memiliki
sedikit
teman),
(3)
anak
yang
menyebalkan
(selalu
beragumentasi dengan pelaku bullying, agresif).
7. Hakikat Metode Pembelajaran Metode pembelajaran merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Metode pembelajaran merupakan suatu cara yang dipilih oleh seorang guru untuk menyampaikan pelajaran agar mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ahmadi dan Prastya (2005: 52) yang mengatakan bahwa metode 26
pembelajaran merupakan teknik penyajian yang dikuasai oleh seorang guru untuk menyajikan materi pelajaran kepada murid di dalam kelas baik secara individual atau secara kelompok agar materi pelajaran dapat diserap, dipahami dan dimanfaatkan oleh murid dengan baik. Metode pembelajaran merupakan cara yang dipergunakan guru ketika mengadakan hubungan dengan peserta
didik
saat
berlangsungnya
pembelajaran.
Ginting
(2008:
42)
memberikan penjelasan, bahwa metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara atau pola yang khas dalam memanfaatkan berbagai prinsip dasar pendidikan serta berbagai teknik dan sumberdaya terkait lainnya agar terjadi proses pembelajaran pada diri pembelajar. Hal ini membuktikan metode dalam rangkaian sistem pembelajaran memegang peran yang penting, karena
keberhasilan
pembelajaran
bergantung
pada
cara
guru
dalam
menggunakan metode pembelajaran.
8. Hakikat Metode Bermain Peran Metode bermain peran merupakan sebuah metode yang digunakan dalam pembelajaran
bahasa
khususnya
Supriono
Sapari
(2001:
dan
pembelajaran
137)
keterampilan
mengungkapkan
bermain
bercerita.
peran
adalah
tindakan di luar peranan yang ditentukan sebelumnya, karena tujuannya adalah menciptakan kembali gambaran histori masa silam, peristiwa yang mungkin terjadi pada masa mendatang, peristiwa-peristiwa sekarang atau situasi-situasi bayangan pada suatu tempat serta waktu tertentu, sehingga siswa memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang pribadi dan motivasi yang mendorong tingkah lakunya. Pendapat ini didukung oleh Soeparno (2008: 101) yang mengatakan, bahwa main peran atau role playing merupakan suatu kegiatan berupa penampilan tingkah laku, sifat, watak, dan perangai suatu peran tertentu untuk menciptakan suatu imajinasi yang dapat melukiskan peristiwa
yang
sebenarnya.
Zaini 27
(2008:
98)
mengemukakan
pengertian
bermain peran (role playing) dengan lebih luas, bahwa bermain peran adalah suatu aktivitas pembelajaran terencana yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan secara spesifik. Filina (2013: 314) mengartikan metode bermain peran merupakan suatu bentuk permainan anak-anak yang aman dan bentuk-bentuk permainan yang sesuai dengan struktur lingkungan atau permainan-permainan dengan menggunakan boneka, rumah rumahan, yang pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa metode bermain peran merupakan metode dalam pengajaran keterampilan berbahasa khususnya keterampilan bercerita dengan melakukan suatu peran yang telah dirancang atau direncanakan sebelumnya.
9. Fungsi, Tujuan, Manfaat Metode Bermain Peran Metode
bermain
peran
sebagai
salah
satu
metode
pembelajaran
keterampilan bercerita mempunyai fungsi, tujan, serta manfaat di dalam penerapanya. Huda (2014: 116) memberikan gambaran mengenai fungsi dari metode
bermain
mentransfer
dan
peran
yaitu,
mewujudkan
(1)
mengeksplorasi
pandangan
mengenai
perasaan
siswa;
(2)
perilaku,
nilai,
dan
persepsi siswa; (3) mengembangkan skill pemecahan masalah dan tingkah laku; (4) mengeksplorasi pelajaran dengan cara yang berbeda. Tujuan metode bermain peran seperti yang diungkapkan oleh Soeparno (2008: 101) antara lain: (1) memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan berbicara
menggunakan
kalimat
yang
sesuai
dengan
pola
yang
telah
diajarkan; (2) memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih memahami kalimat- kalimat yang diucapkan orang lain secara tepat sesuai dengan apa yang dimaksudkan; (3) melatih siswa untuk menghadapi situasi yang terjadi di dalam masyarakat yang sebenarnya; (4) mengembangkan dan menanamkan 28
sikap serta tingkah laku yang baik serta dapat mengoreksi sikap serta tingkah laku yang kurang baik. Selain fungsi dan tujuan di atas, metode bermain juga mempunyai beberapa manfaat. Ruminiati (2007: 5) memberikan penjelasan mengenai manfaat dari metode bermain peran yaitu sebagai berikut: (1) sebagai sarana menggali perasaan siswa; (2) untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam memecahkan masalahnya; (3) Untuk mendapatkan inspirasi dan pemahaman yang dapat mempengaruhi sikap, nilai dan persepsinya; (4) untuk mendalami isi mata pelajaran yang dipelajari; (5) untuk bekal terjun ke masyarakat dimasa mendatang sehingga siswa dapat membawa diri menempatkan diri, menjaga dirinya sehingga sudah tidak asing lagi apabila dalam kehidupan bermasyarakat terjadi banyak siswa yang berbeda-beda.
B. Kerangka Konseptual Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan masalah melalui peragaan, serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi. Untuk kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak sebagai pemeran dan yang lainnya sebagai pengamat. Seorang pemeran harus mampu menghayati peran yang dimainkannya. Melalui peran, peserta didik berinteraksi dengan orang lain yag juga membawakan peran tertentu sesuai dengan tema yang dipilih. Selama pembelajaran berlangsung, setiap pemeranan dapat melatih sikap empati, simpati, rasa benci, marah, senang, dan peran lainnya. Pemeranan tenggelam dalam peran yang dimainkannya sedangkan pengamat melibatkan dirinya secara emosional dan berusaha mengidentifikasikan perasaan dengan perasaan yang tengah bergejolak dan menguasai pemeranan.
C. Hipotesis Tindakan
29
Untuk menjawab permasalahan penelitian yang ditemukan dapat diajukan hipotesis sebagai berikut: Dengan menggunakan model bermain peran siswa dapat mencegah
bullying di kelas V SDN 023895 Jalan Diponegoro Rambung Dalam Binjai Selatan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.
Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research). Sesuai dengan penelitian ini, maka penelitian ini memiliki tahap-tahap penelitian yang berupa siklus. Prosedur dalam penelitian ini, terdiri dari dua siklus, tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang akan dicapai.
B.
Subjek Penelitian
Pencegahan tindakan bullying pada anak sekolah dasar (SD) dengan menggunakan metode bermain peran.
C.
Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SDN 023895 Jl. Diponegoro no. 19 Rambung Dalam Binjai Selatan, jumlah siswa 20 orang tahun ajaran 2018/2019.
Adapun variabel penelitian ini adalah penggunaan model bermain peran yang mengutamakan
tindakan
pencegahan
bullying.
Dengan
teknik
ini
siswa
dapat
mendramatisasikan tingkah laku, atau ungkapan gerak-gerik wajah seseorang dalam hubungan sosial antara manusia. Dalam penelitian ini adalah tindakan pencegahan. Dimana hasil dari proses pencegahan yakni berupa perubahan dalam tindakan bullying. Dengan menerapkan langkah-langkah pencegahan dengan penerapan model bermain peran.
D.
Desain Penelitian
30
Desain Penelitian yang digunakan adalah desain yang menggunakan model suharsimi Arikunto yang dikemukakan secara skematis seperti terlihat pada skema dibawah ini :
E.
Prosedur penelitian Sesuai dengan penelitian yaitu PTK, maka penelitian ini memiliki tahap-tahap yang
berupa siklus. Prosedur dalam penelitian ini terdiri dari dua siklu. Dalam tiap siklus ada 2 kali pertemuan, sehingga dari 2 siklus terdiri dari 4 kali pertemuan. Dan tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang akan dicapai. Perencanaan Penelitian Penelitian ini direncanakan dilaksanakan dalam 2 siklus dengan berbagai kemungkinan perubahan yang dianggap penting. Siklus I 1)Perencanaan a.
Merencanakan pembelajaran yang akan ditetapkan 31
b.
Menentukan pokok bahasan
c.
Menyusun RPP dengan materi peristiwa rengas dengklok
d.
Mempersiapkan sumber dan media pembelajaran
e.
Menyiapkan alat evaluasi berupa tes tertulis
f.
Menyiapkan lembar observasi untuk mengamati keterampilan guru dan aktivitas siswa.
2)Pelaksanaan Tindakan a.
Membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok diberi tugas untuk
bermain peran tentang peritiwa rengasdengklok b.
Siswa membagi peran dalam kelompok
c.
Menjelaskan skenario yang menggambarkan urutan permainan
d.
Masing-masing kelompok memainkan peran secara bergantian, kelompok yang tidak
bermain bertugas untuk mengamati kelompok yang sedang bermain peran e.
Mendiskusikan permainan dan melakukan evaluasi terhadap peran-peran yang dilakukan
f.
Permainan peran ulang oleh siswa dan menarik kesimpulan.
3)Observasi a.
Melakukan pengamatan keterampilan guru dalam pembelajaran bermain peran.
b.
Melakukan pengamatan aktivitas siswa dalam pembelajaran bermain peran.
4)Refleksi a.
Mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran siklus I.
b.
Mengkaji pelaksanaan pembelajaranan efektivitas tindakan pada siklus I.
c.
Membuat daftar permasalahan yang terjadi pada siklus I.
d.
Merencanakan perencanaan tindak lanjut untuk siklus II.
siklus II a. Perencanaan Berdasarkan temuan dari refleksi siklus 1, maka pada siklus 2 direncanakan sebagai berikut : 1.
Mengkoreksi metode bermain yang sudah dilakukan pada siklus I
2.
Meperbaiki kekurangan yang ditemukan pada siklus I
3.
Menjelaskan tindakan pencegahan bullying yang dapat dilakukan.
4.
Melihat berapa banyak siswa yang terbantu dalam tindakan pencegahan bullying. b. Tahap pelaksanaan tindakan
32
Peneliti berusaha dengan baik dalam memberikan pengarahan dan bimbingan kepada siswa. Tahap ini lebih memfokuskan pada metode bermain peran yang mengasyikkan. a. Guru pembimbing harus menerangkan kepada siswa, untuk memperkenalkan teknik ini, bahwa dengan jalan sosiodrama siswa diharapkan dapat memecahkan masalah hubungan sosial yang aktual ada di masyarakat, maka kemudian guru pembimbing menunjuk beberapa siswa yang akan berperan, masing-masing akan mencari pemecahan masalah sesuai dengan perannya. Dan siswa lain jadi penonton dengan tugas-tugas tertentu pula. b. Guru pembimbing harus memilih masalah-masalah yang irgen, sehingga menarik minat anak. Guru pembimbing mampu menjelaskan dengan menarik, sehingga siswa terangsang untuk berusaha memecahkan masalah itu. Agar siswa memahami peristiwanya, maka guru pembimbing harus bisa menceritakan sambil untuk mengatur adegan yang pertama. c. Bila ada kesediaan sukarela dari siswa untuk berperan, harap ditanggapi tetapi guru pembimbing harus mempertimbangkan apakah ia tepat untuk perannya itu. Bila tidak ditunjuk saja siswa yang memiliki kemampuan dan pengetahuan serta pengalaman seperti yang diperankan itu. d. Jelaskan pada pemeran-pemeran itu sebaik-baiknya, sehingga mereka tahu tugas perannya, menguasai masalahnya, pandai bermimik maupun berdialog. e. Siswa yang tidak turut harus menjadi penonton yang aktif, disamping mendengar dan melihat, mereka harus bisa member saran dan kritik pada apa yang akan dilakukan setelah sosiodrama selesai. f. Bila siswa belum terbiasa, perlu dibantu guru didalam menimbulkan kalimat pertama dalam berdialog. g. Setelah sosiodrama itu dalam situasi klimaks, maka harus dihentikan, agar kemungkinankemungkinan pemecahan masalah dapat didiskusikan secara umum. Sehingga para penonton ada kesempatan untuk berpendapat, menilai permainan dan sebagainya. Sosiodrama dapat dihentikan pula bila sedang menemui jalan buntu. h. Sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi, walau mungkin masalahnya belum \terpecahkan, maka perlu dibuka Tanya jawab, diskusi atau membuat karangan yang berbentuk sandiwara.
33
F. Pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan wawanmcara. A. Observasi Observasi yang dilakukan peneliti untuk mengamati seluruh kegiatan yang berlangsung baik kinerja guru ataupun aktivitas siswa, mulai dari awal pembelajaran sampai akhir pembelajaran mengenai Tindakan pencegahan bullying. Tujuan tindakan observasi adalah untuk memperoleh data perilaku siswa sehingga di dapatkan hasil perubahan perilaku siswa dalam memperbaiki tindakan bullying B. Wawancara Wawancara adalah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara yang diwawancarai oleh peneliti adalah guru, dan siswa. Wawancara ini bias mengenai tindakan bullying yang tertjadi. Tujuan untuk memperoleh data pada sekolah tersebut. G. Instrumen penelitian 1. Observasi 2. Wawancara H. Analisa data Data hasil observasi dan wawancara dilakukan secara efektif untuk mengetahui gambaran keseluruhan kegiatan.
34
I. Jadwal Penelitian
No Keterangan
Bulan Oktober 1
1
Refleksi
2
3
awal
(Persiapan) 2
Siklus I Pertemuan 1 Pertemuan 2
3
Siklus II Pertemuan 1 Pertemuan 2
4
Analisis data
5
Penyusunan laporan
35
4
5
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Jaka Tri Prastya. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV. Pustaka Setia. Anantasari. (2006). Menyikapi Perilaku Agresif Anak. Yogyakarta: Kanisius. Andri Priyatna. (2010). Let‟s End Bullying: Memahami, Mencegah & Mengatasi Bullying. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Faye Ong. (2003). Bullying At School. The California Department of Education: CDE Press. Filina, Zulhaida. 2013. “Efektivitas Metode Role Playing untuk Meningkatkan Kosa Kata Anak Tunarungu”. Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, 1, 1, hlm 313. Huda, Miftahul. 2014. Model- model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Levianti. (2008). Konformitas dan Bullying Pada Siswa. Jurnal Psikologi. Vol 6. No.1. 2008. 4. Rigby, Ken. (2003) . Bullying Among Young Children: A Guide for Teachers and
Carers.
Australia: Australian Government Attorney-General‟s Department. Ruminiati. 2007. Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan SD. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Sari Pediatri. (2013). Gambaran Bullying dan Hubungannya dengan Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak Sekolah Dasar.Jurnal Ilmu Kesehatan Anak dan Psikiatri. Vol. 15. No. 3. Oktober 2013. 175. Sejiwa. (2008). Bullying:Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: PT. Grasindo. Soeparno. 2008. Media Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: PT. Intan Pariwara. Sri Maslilah. (2013). Play Teraphy Dalam Mengidentifikasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak.Jurnal Penelitian Psikologi.Vol.4. No. 1. Universitas Pendidikan Indonesia. Supriono & Sapari. 2001. Manajemen Berbasis Sekolah. Surabaya: SIC. Zaini, dkk. 2008. Strategi Belajar Aktif. Jakarta: PT. Pustaka Insan Mudani.
36
37