Proposal Pkl Atau Komunitas

  • Uploaded by: aisyalfi pratimi
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Proposal Pkl Atau Komunitas as PDF for free.

More details

  • Words: 5,281
  • Pages: 31
MAKALAH KELOMPOK MANAJEMEN BENCANA “ANALISIS RESIKO BENCANA KDRT” Dosen : Rijanto, S.Kp., M.Kes

Disusun oleh D4 Reguler A : Kelompok 3 1. 2. 3. 4. 5.

Agie Malinda (P27824416006) Sherlynda Budi S. (P27824416008) Aisyalfi Pratimi (P27824416009) Verinda Rizki U. (P27824416011) Khusnul Maghfiroh (P27824416013)

6. Eka Widya Novika (P27824416025) 7. Intan Pertiwi (P27824416032) 8. Nur Ilmi Amaliyah (P27824416036) 9. Raras Amaranggana (P27824416038) 10. Imroatus Sholihah (P27824416040)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA JURUSAN KEBIDANAN PRODI DIV KEBIDANAN SUTOMO TAHUN 2019/2020 KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan karunianya kami dapat menyusun tugas ini tanpa suatu halangan apapun. Tugas ini disusun untuk memenuhi nilai tugas, disamping itu penyusun berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembacanya agar dapat mengetahui Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penyusun mengharap kritik dan saran dari pembaca sehingga dalam pembuatan tugas lainnya menjadi lebih baik lagi. Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal Alamin.

Surabaya, 2019 Penyusun,

DAFTAR ISI 2

KATA PENGANTAR....................................................................................................i DAFTAR ISI.................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...............................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2 1.3 Tujuan Pembuatan Masalah...........................................................................2 1.3.1 Tujuan Umum..................... .......................................................................................................................................2 1.3.2 Tujuan Khusus.................. .......................................................................................................................................2 1.4 Manfaat..........................................................................................................2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)......................................3 2.1.1 Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga.........................................3 2.1.2 Klasifikasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga .......................................4 2.1.3 Lingkup Keluarga Menurut Undang-Undang.........................................8 2.1.4 Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga.................................9 2.1.5 Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga.................10 2.1.6 Peran Negara.........................................................................................11 2.1.7 Cara Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.....................12 2.2 Konsep Komunikasi Risiko.........................................................................13 2.2.1 Pengertian Komunikasi Risiko..............................................................13 2.2.2 Komponen Risiko..................................................................................13 2.2.3 Tujuan Komunikasi Risiko....................................................................14

2.3 Analisis Risiko Bencana Pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga..................15 2.3.1 Analisis Risiko.........................................................................................15 BAB III PEMBAHASAN 3.1 Analisis Risiko Pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Di Indonesia pada tahun 2018........................................................................17 3.1.1 Data Dasar................................................................................................17 3.1.2 Identifikasi Jenis Bahaya Pada Kasus KDRT..........................................22 3.1.3 Hasil Identifikasi Bahaya.........................................................................22 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan.....................................................................................................25 4.2 Saran...............................................................................................................26 DAFTAR PUSTAKA

4

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut. Demikian juga halnya dengan kekerasan dalam rumah tangga, terjadi karena adanya relasi kekuasaan yang timpang antara lelaki (suami) dengan perempuan (istri). Kondisi ini tidak jarang mngakibatkan terjadinya tindak kekerasan oleh suami terhadap istrinya maupun anaknya justru dilakukan sebagai bagian dari otoritas yang dimilikinya sebagai seorang kepala keluarga. Kekerasan merupakan pelanggaran HAM, pelanggaran hukum negara dan norma agama serta norma sosial (budaya dan peradaban) manusia. Oleh karena itu, tidak ada kekerasan yang secara fisik membahayakan, melukai perasaan atau mengabaikan dapat dibenarkan dalam kehidupan peradaban manusia. Pada tanggal 24 Juli 1984, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Untuk melaksanakan amanat Konvensi tersebut, Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak dan perdagangan manusia dan melindungi hak-hak korban, dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan terakhir UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Trafiking.

Ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017, yang terdiri dari 335.062 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama, serta 13.384 kasus yang ditangani oleh 237 lembaga mitra pengadalayanan, tersebar di 34 Provinsi. Komnas Perempuan mengirimkan 751 lembar formulir kepada lembaga mitra pengadalayanan di seluruh Indonesia dengan tingkat respon pengembalian mencapai 32%, yaitu 237 formulir. Adapun penulis mengambil sampel kasus kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2018 untuk dilakukan analisis resiko bencana yang disusun dalam makalah ini dengan judul 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah konsep Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ? 2. Bagiamanakah Konsep komunikasi risiko? 3. Bagaimanakah analisis risiko bencana pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ? 1.3 Tujuan Pembuatan Makalah 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui analisis resiko bencana pada kasus KDRT di Indonesia pada tahun 2018. 1.3.2 1. 2. 3.

Tujuan Khusus Mengetahui konsep Kekerasan dalam Rumah tangga (KDRT). Mengetahui Konsep komunikasi risiko. Mengidentifikasi analisis risiko bencana pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

1.4. Manfaat Memberikan sumbangan ilmiah dalam ilmu manajemen bencana yaitu membuat analisis resiko bencana pada kasus KDRT di Indonesia pada tahun 2018.

BAB II

6

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) 2.1.1 Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah

tangga

termasuk

ancaman

untuk

melakukan

perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Menurut Arif Gositabahwa (1993, dalam Pradipta, 2013:34) yang dimaksud dengan KDRT adalah berbagai macam tindakan yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial para anggota keluarga oleh sesama anggota keluarga (anak/ menantu, ibu/ istri, dan ayah/ suami). Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya. Adapun yang termasuk cakupan rumah tangga menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah: a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan

(misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT). Berdasarkan beberapa pengertian

diatas,

maka

penulis

mendefinisikan KDRT adalah perilaku menyimpang yang menyebabkan penderitaan dan cedera baik dalam bentuk fisik, psikologis, penelantaran rumah tangga atau 8 ancaman yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang lain. 2.1.2 Klasifikasi Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam, yaitu: 1. Kekerasan Fisik Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. a. Kekerasan Fisik Berat; berupa penganiayaan berat seperti menendang,

memukul,

menyundut,

melakukan

percobaan

pembunuhan atau pembunuhan, dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan: 1. Cedera berat, 2. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari, 3. Pingsan, 4. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati, 5. Kehilangan salah satu panca indera, 6. Mendapat cacat, 7. Menderita sakit lumpuh, 8. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih, 9. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan, 10. Kematian korban. b. Kekerasan Fisik Ringan; berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan: 1. Cedera ringan, 2. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat, 3. Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat. 8

2. Kekerasan psikologis / emosional Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang. a. Kekerasan Psikis Berat; berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial, tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, penguntitan, kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis yang masing- masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut: 1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun, 2. Gangguan stres pasca trauma, 3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis), 4. Depresi berat atau destruksi diri, 5. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya, 6. Bunuh diri. b. Kekerasan Psikis Ringan; berupa tindakan pengendalian, manipulasi,

eksploitasi,

kesewenangan,

perendahan

dan

penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial, tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, penguntitan, ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini: 1. Ketakutan dan perasaan terteror, 2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, 3. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual, 4. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis), 5. Fobia atau depresi temporer.

3. Kekerasan seksual Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) korban dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak korban. Menurut Budi Sampurna (2003, dalam Pradipta, 2013:46), kekerasan seksual meliputi : a) Pengisolasian istri dari kebutuhan batinnya; b) Pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki atau tidak disetujui istri; c) Pemaksaan hubungan ketika istri sedang tidak menghendaki, istri sedang sakit, atau menstruasi; dan d) Memaksa istri berhubugn seks dengan orang lain, memaksa istri menjadi pelacur, dan sebagainya.

a. Kekerasan seksual berat, berupa: 1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan. 2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki. 3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan. 4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu. 5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi. 6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera. b. Kekerasan Seksual Ringan; berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina

10

korban. Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat. 4. Kekerasan ekonomi Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri. (http://kompas.com., 2006). a. Kekerasan Ekonomi Berat; yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa: 1. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran. 2. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya. 3. Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, b.

merampas dan atau memanipulasi harta benda korban. Kekerasan Ekonomi Ringan; berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

2.1.3 Lingkup keluarga menurut Undang-Undang 1. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi : a. Suami, istri, dan anak. b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang mencakup dalam rumah tangga dan/atau, c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga tersebut. 2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf (c) dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Fakta kekerasan terhadap perempuan ini didukung oleh pernyataan mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Kholifah Indar Parawansah yang mengatakan bahwa tingkat kekerasan yang dialami perempuan Indonesia sangat tinggi. Tindak kekerasan dominan yang dialami oleh perempuan Indonesia adalah kekerasan domestik/KDRT.

2.1.4 Bentuk – Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Dilihat dari segi subyek dan obyeknya, KDRT dapat terjadi dengan beberapa konteks antara lain (Pradipta, 2013:36): a. Kekerasan pada suami terhadap istri Suami merasa berhak untuk memaksakan kehendak kepada istri sebab ia adalah pemimpin dalam rumah tangga. Implikasi yang mucul adalah perilaku tirani dan kesewenang-wenangan suami atas istri dan anak-anaknya. Tak jarang dijumpai seorang kepala rumah tangga memukul istri atau anak-anak, atau pembantunya, hanya gara-gara alasan yang amat sederhana. b. Kekerasan istri terhadap suami Kekerasan dalam rumah

tangga

tidak

mengenal

jenis

kelamin.Kekerasan bisa terjadi dari istri terhadap suami. Kekerasan psikologis terjadi misalnya tatkala istri melontarkan kata-kata kasar dan kotor kepada suami. Istri menteror suami dengan ancamanancaman dan ungkapan yang menyakitkan hati. Mungkin juga istri melakukan tindakan-tindakan paksa terhadap harta benda suaminya yang ia tidak memiliki hak atasnya. Termasuk melakukan tindakan penyelewengan seksual atau perselingkuhan yang dengan sengaja ditampakkan di depan mata. c. Kekerasan orang tua kepada anak-anak Kekerasan fisik terjadi tak kala orang tua sering main pukul terhadap anakanak. Hanya karena kesalahan-kesalahan kecil yang tidak prinsip, orang tua 9 menjadi emosi dan menghukum anak dengan tindakan keras. Tak jarang dijumpai ada anak menjadi cacat seumur hidup karena penyiksaan orang tua, atau bahkan menjadi mati teraniaya. d. Kekerasan anak kepada orang tua Banyak pula dijumpai, anak-anak menjadi pelaku kekerasan baik secara fisik, seksual maupun psikologis terhadap orang tuanya.

12

Berawal dari perbedaan pendapat, atau dari keinginan yang tidak dituruti, atau dari pembagian serta perlakuan yang tak adil dari orang tuanya, anak menjadi berang dan menganiaya orang tuanya sendiri. Bahkan ada yang sampai menyebabkan kematian orang tua. Contohnya adalah anak menghujat, mencela, berkata kasar dan kotor kepada orang tuanya, anak mengancam akan melarikan diri dari rumah, mencederai orang tua, dan berbagai ancaman lainnya karena ingin memaksakan kehendaknya sendiri terhadap orang tua. e. Kekerasan terhadap pembantu rumah tangga Posisi pembantu rumah tangga yang sering dipandang sebelah mata, dalam kehidupan masyarakat kita banyak ditemukan bentukbentuk kekerasan terhadap pembantu rumah tangga, khususnya pembantu perempuan. Seperti penyiksaan fisik, pemukulan, pelecehan seksual, perkosaan, serta kekerasan psikologis seperti kata-kata hinaan, dan ancaman-ancaman lain. 2.1.5 Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut: a. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita. b. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. c. Beban pengasuhan anak Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga. d. Wanita sebagai anak-anak

Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan

kele-luasaan

laki-laki

untuk

mengatur

dan

mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib. e. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga. 2.1.6 Peran Negara 1. Efektitas perlindungan hukum: KDRT masih sangat dominan menjadi isu kekerasan yang dikenali dan dilaporkan karena adanya perlindungan hukumnya. Penyelesaian KDRT cenderung diselesaikan dengan perceraian dibanding dengan memproses dimensi pidananya. Situasi inilah yang memicu impunitas. Namun penting membaca kedayagunaan dan implementasi UU PKDRT yang cenderung digunakan korban untuk melaporkan namun semakin kecil digunakan untuk melindungi perempuan dari kekerasan yang dihadapinya, terutama dengan banyaknya kriminalisasi perempuan korban KDRT karena aparat negara salah baca masalah. 2. Pendokumentasian/Pendataan KtP : a. Perbaikan data dari sejumlah lembaga negara berkonstribusi untuk mempermudah pemetaan kekerasan terhadap perempuan dan akses perlindungan korban. Termasuk akses keadilan di lembaga peradilan yang terdokumentasi dengan baik. b. Data KtP Papua dari tahun-ketahun melalui Catahu cenderung tembus pandang, tidak terdokumentasi sehingga tak ada peta penanganan. c. Pengetahuan Negara tentang KtP :  Terdapat perubahan perspektif dan penamaan kategori kekerasan terhadap perempuan sebagai penyebab perceraian di Badan 14

Peradilan Agama. Antara lain tidak lagi mengkategorikan poligami sehat atau poligami tidak sehat.  Akses Layanan : lembaga layanan dari OMS sejauh ini yang paling dipercaya atau terbanyak dipercaya korban untuk menangani kasusnya. Perempuan korban dan masyarakat telah menggunakan mekanisme LNHAM dalam memutus mata rantai kekerasan dan mendapatkan akses layanan. 2.1.7 Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain: a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran. b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada. c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. d.

Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan

sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan. e. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.

2.2 Konsep Komunikasi Risiko 2.2.1 Pengertian Komunikasi Risiko Komunikasi risiko adalah pertukaran informasi dan pandangan mengenai risiko dan faktor–faktor yang berkaitan dengan risiko di antara pengkaji risiko, manajer risiko, konsumen dan berbabagai pihak lain yang

berkepentingan.

Tujuan

pokok

komunikasi

risiko

adalah

memberikan informasi yang relevan dan akurat dalam istilah yang jelas dan mudah dipahami kepada audiens tertentu. (FAO, Food & Nutrition paper, No.70). 2.2.2 Komponen Risiko Komunikasi risiko pada dasarnya merupakan bagian dari rangkaian proses meminimalkan risiko, yang terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu analisis risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko itu sendiri. 1. Analisis risiko Adalah suatu proses penentuan faktor-faktor dan tingkat risiko berdasarkan datadata ilmiah. 2. Manajemen risiko Adalah proses penyusunan dan penerapan kebijakan dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak untuk melindungi masyarakat dari risiko, dalam hal ini risiko terhadap kesehatan.

3. Komunikasi risiko Adalah pertukaran informasi dan opini secara timbal balik dalam pelaksanaan manajemen risiko.Komunikasi risiko merupakan komunikasi dua arah, interaktif dan proses jangka panjang, secara bersama masyarakat dan komunikator melalui dialog. Untuk itu komunikator

harus

mengembangkan

kemampuan

mendengar

(listening skills), ia harus mampu memahami minat masyarakat dan merespon opini, emosi dan reaksi mereka. Komunikator risiko harus ikut

serta

melaksanakan

dalam dan

kegiatan

mengarahkan,

mengevaluasi.

Mereka

mengembangkan, harus

berperan

menjembatani para ahli dan masyarakat. Komunikator ini berperan juga untuk memperkuat (bukan penghambat) antara manajemen dan masyarakat. Komunkasi risiko merupakan bagian integral dan berlanjut dalam praktek analisis risiko dan idealnya semua 16

stakeholders harus terlibat sejak awal sehingga mereka memahami setiap tahap dari risk assessment. Ini akan membantu memastikan, bahwa kondisi logis, signifikansi dan keterbatasan risk assessment secara

jelas

diketahui

oleh

seluruh

pemangku

kepentingan

(stakeholders), termasuk juga informasi yang berasal dari stakeholders yang bersifat krusial. 2.2.3 Tujuan Komunikasi Risiko Memberikan informasi yang bermakna, relevan dan akurat dalam istilah yang jelas dan mudah dipahami kepada audiens tertentu dalam rangka: 1. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang berbagai persoalan spesifik yang harus dipertimbangkan oleh semua peserta selama proses analisis risiko. 2. Meningkatkan konsistensi dan keterbukaan dalam pengambilan keputusan manajemen risiko dan implementasinya. 3. Memberikan landasan yang aman untuk memahami keputusan manajemen risiko yang diusulkan atau diimplementasikan. 4. Meningkatkan keseluruhan keefektifan dan efisiensi proses analisis risiko. 5. Turut memberikan kontribusi pada pengembangan dan penyampaian program informasi dan pendidikan yang efektif jika kedua hal tersebut terpilih sebagai pilihan manajemen risiko. Tujuan pokok komunikasi risiko adalah memberikan informasi yang bermakna, relevan dan akurat dalam istilah yang jelas dan mudah dipahami kepada audiens tertentu. 2.3 Analisis Risiko Bencana pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) 2.3.1 Analisis Risiko A. Pengertian Analisis resiko adalah proses penilaian terhadap resiko yang telah teridentifikasi, dalam rangka mengestimasi kemungkinan munculnya dan besaran dampaknya, untuk menetapkan level atau status resikonya. Status resiko biasanya disajikan dalam bentuk tabel. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang dinyatakan dalam hidup, status kesehatan,mata pencaharian, aset dan jasa, yang dapat terjadi pada suatu komunitas tertentu ataumasyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu (UNISDR, 2009). Risiko bencana adalah potensi

kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Definisi risiko bencana mencerminkan konsep bencana sebagai hasil dari hadirnya risiko secara terus menerus. Risiko bencana terdiri dari berbagai jenis potensi kerugian yang sering sulit untuk diukur.Namun demikian, dengan pengetahuan tentang bahaya, pola populasi, dan pembangunansosial-ekonomi, risiko bencana dapat dinilai dan dipetakan, setidaknya dalam arti luas. B. Tujuan Analisis Risiko Analisis resiko bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengukur resiko bencana, memisahkan resiko – resiko kecil (yang dapat diterima) dengan resiko – resiko besar, dan menyiapkan data sebagai bantuan dalam mengevaluasi dan merumuskan pengendalian terhadap resiko bencana.

Analisis

resiko

mencakup

penentuan

kemungkinan

(probabilitas) dan dampak dari resiko. Melalui analisis resiko, instansi pemerintah dapat menentukan dampak resiko terhadap pencapaian tujuan, tingkat resiko yang dapat diterima, dan prioritas resiko yang perlu ditangani dengan kegiatan pengendalian. C. Penilaian Risiko Bencana Untuk menyusun prioritas risiko bencana yang mungkin terjadi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan penjumlahan nilai bahaya, kerentanan dan manajemen serta berdasarkan pertemuan faktor ancaman bencana dan kerentanan masyarakat.

18

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Analisis Risiko Pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia Pada Tahun 2018 3.1.1 Data Dasar 1. Data Kejadian KDRT Di Indonesia Pada Tahun 2018 Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2018  CATAHU 2018 menunjukkan hal yang baru, berdasarkan laporan kekerasan

di

ranah

privat/personal

yang

diterima

mitra

pengadalayanan, terdapat angka kekerasan terhadap anak perempuan yang meningkat dan cukup besar yaitu sebanyak 2.227 kasus. Sementara angka kekerasan terhadap istri tetap menempati peringkat pertama yakni 5.167 kasus, dan kemudian kekerasan dalam pacaran merupakan angka ketiga terbanyak setelah kekerasan terhadap anak yaitu 1.873 kasus.  Di ranah privat/personal, persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 41% (3.982 kasus), diikuti kekerasan seksual 31% (2.979 kasus), kekerasan psikis 15% (1.404 kasus), dan kekerasan ekonomi 13% (1.244 kasus).  Hal lain yang mengejutkan pada CATAHU 2018, untuk kekerasan seksual di ranah privat/personal tahun ini, incest (pelaku orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga) merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan yakni sebanyak 1.210 kasus, kedua adalah

kasus

perkosaan

sebanyak

619

kasus,

kemudian

persetubuhan/eksploitasi seksual sebanyak 555 kasus. Dari total 1.210

kasus incest, sejumlah 266 kasus (22%) dilaporkan ke polisi, dan masuk dalam proses pengadilan sebanyak 160 kasus (13,2%).  Di tahun ini, CATAHU juga menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah privat/personal adalah pacar sebanyak 1.528 orang, diikuti ayah kandung sebanyak 425 orang, kemudian diperingkat ketiga adalah paman sebanyak 322 orang. Banyaknya pelaku ayah kandung dan paman selaras dengan meningkatnya kasus incest. 2. Angka Kekerasan Berdasarkan Data Propinsi Di Indonesia Sementara angka kekerasan terhadap perempuan berdasarkan propinsi yang tertinggi adalah DKI Jakarta (1,999), kedua Jawa Timur (1,536) dan ketiga Jawa Barat (1,460) dilaporkan tertinggi, tetapi tingginya angka tersebut belum tentu menunjukkan banyaknya kekerasan di propinsi tersebut. Komnas Perempuan melihat tingginya angka berkaitan dengan jumlah tersedianya Lembaga Pengada Layanan di propinsi tersebut, dan kepercayaan masyarakat untuk mengadu. Sangat mungkin rendahnya angka kekerasan terhadap perempuan di propinsi tertentu disebabkan oleh tidak adanya lembaga tempat korban melapor atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga yang tersedia, atau rasa tidak aman apabila melapor. Berikut diagram data yang dimaksud.

20

3. Bentuk – Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Perkawinan Dan Hubungan Pribadi Kekerasan terhadap perempuan dalam ranah pribadi terjadi dalam berbagai bentuk. Melalui bentuk-bentuk kekerasan dalam hubungan perempuan dengan orang terdekat, dapat menggambarkan kekerasan yang terjadi pada korban. Bentuk-bentuk tersebut adalah kekerasan terhadap istri (KTI), kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan terhadap anak perempuan berdasarkan usia anak (KTAP), kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami dan mantan pacar, kekerasan yang terjadi pada pekerja rumah tangga, dan ranah personal lainnya.

D Diagram

diatas

menunjukkan

bentuk

kekerasan

terhadap

perempuan. Bentuk kekerasan terbanyak adalah fisik (41%), dan seksual sebanyak (31%). Kekerasan seksual menjadi terbanyak kedua yang dilaporkan, dan menunjukkan rumah dan relasi pribadi belum menjadi tempat yang aman bagi perempuan. 4. Kekerasan Seksual Dalam Ranah Privat Komnas Perempuan menganggap perlunya melihat lebih dalam tentang bentuk kekerasan seksual apa saja yang dialami korban di ranah keluarga atau KDRT, berikut adalah diagramnya.

22

Diagram di atas sangat mengejutkan karena kekerasan seksual di dalam rumah yang banyak dilaporkan adalah kasus incest yaitu sebesar 1,210 kasus, kedua adalah kasus eksploitasi seksual/persetubuhan sebanyak 555 kasus, dan kemudian perkosaan dan pencabulan. Angka tentang incest menunjukkan pelaku kekerasan seksual terbanyak dilakukan oleh orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga. Selain itu kekerasan seksual dalam hal incest yang pelakunya adalah anggota keluarga menjadi semakin banyak terlaporkan. Kekerasan seksual dalam bentuk incest ini paling banyak dilaporkan kepada LSM, Kepolisian (UPPA), P2TP2A, dan Pengadilan Negeri. Kasus incest tertinggi dengan pelaku ayah dan paman (lihat kategori pelaku) yang termasuk kategori kekerasan seksual atau ranah privat. Ini menunjukkan baik ayah maupun paman adalah dua orang yang seharusnya menjadi pelindung bukan lagi menjadi sosok yang aman untuk korban. Hal lainnya adalah, bagaimana dengan hukuman kebiri pada kasus incest ini? Total kasus incest tahun 2017 sejumlah 1,210 yang dilaporkan ke polisi sebanyak 266 (22%) dan masuk dalam proses pengadilan sebanyak 160 kasus (13,2%). 5. Kategori Pelaku Kekerasan Seksual Dalam Keluarga dan Hubungan Pribadi

Komnas Perempuan memiliki kepentingan untuk melihat data pelaku kekerasan seksual di ranah rumah tangga dan relasi personal yang banyak dilaporkan. Berikut adalah diagramnya.

Kekerasan seksual yang terjadi di dalam ranah pribadi paling banyak dilakukan oleh pacar, sementara dalam KDRT menjadi kedua terbesar yaitu dilakukan oleh Ayah Kandung, Paman, Kakak Kandung dan Kakek Kandung. Kekerasan seksual juga dilakukan oleh pihak Suami, yang selama ini dianggap tidak mungkin. 3.1.2 Identifikasi Jenis Bahaya Pada Kasus KDRT Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) termasuk dalam jenis bahaya yang disebabkan oleh manusia dalam kategori konflik dan kekerasan. 3.1.3 Hasil Identifikasi Bahaya 24

A. Peta Risiko Kejadian KDRT

Keterangan : : Tinggi : Sedang : Rendah B. Analisis Tingkat Kerentanan Korban dan Pelaku Kasus KDRT 1. Peta korban KtP di ranah personal/KDRT dan komunitas yang dapat diidentifikasi melalui usia, pendidikan dan profesi mereka adalah perempuan yang sedang puncak produktif dari segi sosial biologis. Adapun peta pelaku adalah mereka dengan pendidikan terakhir SLTA dan juga dalam rentang usia produktif antara diatas 25 tahun. Artinya penduduk Indonesia yang terinterupsi hidupnya karena menjadi korban dan pelaku kekerasan adalah mereka yang mayoritas sedang bertanggungjawab untuk menjaga dan mereproduksi generasi.

2. Perempuan yang mengalami kekerasan dalam usia produktif, mengundang kerentanan ekonomi dan perlu dilihat konektifitasnya dengan banyaknya perempuan yang menjadi pengedar narkoba atau terjebak dalam ligkaran ekonomi yang merentan kan kehidupan perempuan. 3. Tingginya korban maupun pelaku dalam rentang usia pendidikan bahkan ada dibawah usia 5 tahun, membutuhkan kecermatan untuk melihat sejauh mana peran keluarga dan lembaga pendidikan dalam mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan di lembaga pendidikan. 4. Pelaku yang memiliki otoritas dan kekuasaan secara politik dan spiritual cenderung minim dilaporkan dan minim didokumentasi misalnya anggota DPR, petinggi militer, tokoh agama dan tokoh spiritual, pelaku dari korporasi. C. Analisis Risiko

3 Keterangan : 

Ancaman : 3 KDRT dapat menyebabkan psikologis seseorang terganggu. Hampir tidak ada seseorang yang psikologisnya tidak terganggu setelah mengalami kekerasan. Oleh sebab itu ancaman untuk KDRT termasuk tinggi, sehingga diberi skor 3.



Keretanan : 2 KDRT dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya ekonomi. Indonesia merupakan berkembang yang pertumbuhan ekonominya masih rendah, sehingga di Indonesia masih tergolong rentan terjadi 26

KDRT. Oleh sebab itu kerentanan untuk KDRT di Indonesia 

termasuk sedang, sehingga diberi skor 2. Kapasitas : 2 Di Indonesia banyak terdapat LSM yang memperjuangkan hak-hak anak dan perempuan. LSM tersebut mempunyai tujuan untuk mencegah dan menanggulangi resiko terjadinya KDRT. Namun, seiring waktu, semakin banyak kekerasan yang terjadi. Sehingga dapat disimpulkan dengan adanya LSM ini masih belum bisa untuk mengurangi resiko terjadinya KDRT. Oleh karena itu, kapasitas untuk mengurangi resiko KDRT sedang. Sehingga diberi skor 2.

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan Seharusnya seorang suami dan istri harus banyak bertanya dan belajar, seperti membaca buku yang memang isi bukunya itu bercerita tentang bagaimana cara menerapkan sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi kebutuhan psikis, di mana kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang bertentangan. Seorang suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-masing. Seperti halnya dalam berpacaran. Untuk mempertahankan sebuah hubungan, butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya. Begitu juga halnya dalam rumah tangga harus dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang sifat seperti itu, terkadang suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di luar rumah. Karena mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika sudah begitu kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan orang lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki sifat cemburu yang terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kajadian seperti itu. Sifat rasa cemburu bisa menimbukan kekerasan dalam rumah tangga.

Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-sama menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang bisa memicu konflik di dalam rumah tangga, bisa suami maupun istri. Sebelum kita melihat kesalahan orang lain, marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan kita masing-masing

4.2 Saran Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan dan kekurangan, baik dalam pengetahuan maupun pengalaman. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak, khususnya dosen mata kuliah Managemen Bencana, serta bagi pembaca pada umumnya.

25

DAFTAR PUSTAKA

Husna, Nurul.(2018), Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Kdrt) Melalui Mediasi Di Polres Bener Meriah. Diakses pada tanggal

23

Februari

2019,

dari

https://repository.ar-

raniry.ac.id/5321/1/Nurul%20Husna.pdf Yogi, Komang.(2018), Penyelesaian Hukum Terhadap Tindak Pidana (KDRT) Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Wilayah Kabupaten Kendal (Studi Kasus Di Pengadilan Negri Kendal). Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 13. No. 1 Maret 2018 Komnas Perempuan.(2018), Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2018 Tergerusnya Ruang Aman Perempuan dalam Pusaran Politik Populisme Jakarta, 7 Maret 2018. Diakses

pada

tanggal

22

Februari

2019,

dari

https://www.komnasperempuan.go.id Moeljatno.(2011),Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2002, hlm. 59. Diakses pada tanggal 22 Februari 2019, dari http://digilib.unila.ac.id/8890/2/BAB%20II.pdf Nasir, Liztia.(2018), Analisis Komunikasi Risiko Dalam Masa Tanggap Darurat Bencana.

Diakses

pada

tanggal

23

Februari

2019,

dari

https://www.academia.edu Nuhatama, Didib.(2011), Makalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Diakses

pada

tanggal

19

Februari

2019,

dari

http://d2bnuhatama.blogspot.com/2011/08/makalah-pancasila-kekerasandalam-rumah.html?m=1

Anggraeni, Anggi.(2015), Analisis Risiko Kesehatan pada Penanganan Bencana. Diakses

pada

tanggal

23

Februari

2019,

dari

https://www.pdfcoke.com/doc/293921548/Analisis-Risiko-Kesehatan-padaPenanganan-Bencana Revita Ike.(2018), Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Kdrt): Realitas Terkamuflase. Padang : Universitas Andalas Padng. Diakses pada 22 Februari 2019 Bappeda Jatim.(2018), Data Dinamis Provinsi Jawa Timur Triwulan I 2018. Diakses

pada

tanggal

22

Februari

2019,

dari

http://bappeda.jatimprov.go.id/bappeda/publikasi/dinamis_1_2018.pdf Komnas Perempuan.(2018), Tergerusnya Ruang Aman Perempuan Dalam Pusaran Politik Populisme. Diakses pada tanggal 22 Februari 2019, dari https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Publikasi/Catatan %20Tahunan%20Kekerasan%20Terhadap%20Perempuan%202018.pdf

25

Related Documents


More Documents from ""