BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan ataupun hewan dengan menggunakan penyari tertentu. Ekstraksi bertujuan untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi laju ekstraksi adalah tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu pelarut, dan tipe pelarut (Depkes RI 1995). Shriner et al. (1980) menyatakan bahwa pelarut polar akan melarutkan solut yang polar dan pelarut non polar akan melarutkan solut yang non polar atau disebut dengan “like dissolve like”. Buah ruruhi adalah buah dari suku jambu-jambuan/mytarcea (Becker, 1963). Pada buah atau sayuran, pigmen antosianin umumnya terletak pada sel-sel dekat permukaan (Markakis, 1982). Buah ruruhi berbentuk bulat dan memiliki warna merah yang terang ketika masih muda dan merah gelap setelah matang. Antosianin merupakan senyawa yang bertanggung jawab terhadap warna yang terbentuk pada buah dan sayuran. Antosianin merupakan senyawa fenol yang tergolong flavonoid. Menurut durst dan Wrolstad (2005) bahwa antosianin jumlahnya sekitar 90-96% dari total senyawa fenol.
Pelarut yang sering digunakan dalam proses ekstraksi antosianin, yaitu etanol,
metanol,
isopropanol,
aseton,
dan
aquadest.
Pelarut
tersebut
dikombinasikan dengan asam seperti asam klorida, asam asetat, asam format, asam aksorbat atau dengan asam. Penggunaan alkohol, etanol maupun metanol selama ini paling banyak digunakan dalam proses ekstraksi pigmen antosianin (Hidayat, 2006). Ekstraksi pigmen antosianin dari bahan nabati umumnya menggunakan larutan pengekstrak HCl dalam etanol (Gao and Mazza, 1996). HCl dalam etanol akan mendenaturasi membran sel tanaman kemudian melarutkan pigmen antosianin keluar dari sel. Pigmen antosianin dapat larut dalam etanol karena sama-sama polar (Broillard, 1982., Fathinatullabibah, dkk, 2014). Antosianin dipercaya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan manusia. Antosianin ini diketahui dapat diabsorbsi dalam bentuk molekul utuh dalam lambung, meskipun absorbsinya jauh dibawah 1%, antosianin setelah ditranspor ke tempat yang memiliki aktivitas metabolik tinggi memperlihatkan aktivitas sistemik seperti antineoplastik, antikarsinogenik, antiatherogenik, antiviral, dan efek anti-inflammatory, menurunkan permeabilitas dan fragilitas kapiler dan penghambatan agregasi platelet serta immunitas. Semua aktivitas ini didasarkan pada peranannya sebagai antioksidan. Antosianin yang tidak terabsorbsi memberikan perlindungan terhadap kanker kolon (Ali., dkk, 2013). Pigmen antosianin berfungsi sebagai antioksidan di dalam tubuh sehingga dapat mencegah terjadinya aterosklerosis, sebagai antiradikal bebas, penyakit penyumbatan pembuluh darah (Santoso dan Teti, 2014).
2
Ekstrak buah ruruhi yang optimal diformulasikan menjadi sedian gel mosturiser. Gel adalah sediaan semipadat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar terpenetrasi oleh suatu cairan (Ansel, 2008). Sediaan gel dipilih karena mudah mengering, membentuk lapisan film yang mudah dicuci dan memberikan rasa dingin di kulit (Panjaitan EN, A., dkk, 2012) dan sediaan gel mempunyai beberapa keuntungan diantaranya tidak lengket, mudah dioleskan, dan tidak meninggalkan lapisan berminyak pada kulit sehingga mengurangi resiko timbulnya peradangan lebih lanjut akibat menumpuknya minyak pada pori-pori (Maulina dan Nining, 2015). Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pelarut yang optimal untuk ekstraksi antosianin buah ruruhi dan pemanfaatan sediaan gel . B. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Pelarut apakah yang cocok digunakan untuk mendapatkan antosianin dengan aktivitas antioksidan yang tinggi dari buah ruruhi?
2.
Bagaimanakah karakteristik sediaan gel ekstraks buah ruruhi yang dihasilkan?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui pelarut yang cocok digunakan untuk mendapatkan antosianin dengan aktivitas antioksidan yang tinggi dari buah ruruhi.
3
2.
Untuk mengetahui karakteristik sediaan gel ekstraks buah ruruhi yang dihasilkan?
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu: 1.
Bagi pemerintah, sebagai bahan informasi baru yaitu ekstrak dari buah ruruhi dapat dijadikan sebagai kosmetik.
2.
Bagi masyarakat, sebagai bahan informasi bahwa ekstrak buah ruruhi ternyata memiliki manfaat dalam kehidupan.
3.
Bagi
mahasiswa
khususnya
mahasiswa
farmasi,
untuk
menambah
pengetahuan mengenai ekstrak buah ruruhi 4.
Memberikan informasi dan tambahan pustaka bagi mahasiswa fakultas farmasi Universitas Halu Oleo dan kepada masyarakat tentang etnobotani dari tanaman obat tradisional.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Buah Ruruhi (Syzygium polycephalum (Miq.) Merr & L.M Perry.) 1.
Definisi Ruruhi Ruruhi adalah pohon buah anggota suku jambu-jambuan atau Myrtaceae
yang berasal dari Indonesia, khususnya Jawa dan Kalimantan. Keberadaan buah ini sudah terbilang langka maka sebagian dari kita masih merasa asing dengan buah yang bulat-bulat kecil warna ungu sampai merah ini. Namun selain tumbuh liar dihutan, pohon buah ruruhi ini juga ada yang dibudidayakan di pekarangan sekitar rumah atau di area perkebunan petani. Pohon buah ruruhi tumbuh liar terutama di hutan-hutan sekunder, antara ketinggian 200-1800 m dpl. Pohon, tinggi 8-20 m dengan garis tengah batang mencapai 50 cm. Daun lonjong, panjang 11 - 25 cm dan lebar 4 - 10½ cm. Perbungaan memalai, bunga dengan panjang kelopak 4-6 mm, benang sari banyak, panjang 5 – 13 cm. Buah bulat, berwarna merah sampai ungu gelap, bergaris tengah 2½ - 3½ cm, menggerombol, kelopak tetap menempel dibagian ujung (Backer, 1963). 2. Taksonomi Ruruhi Menuru Backer (1963), Taksonomi tumbuhan ruruhi diklasifikasinkan sebagai berikut: Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
5
Ordo
: Myrtales
Suku
: Myrtaceae
Marga
: Syzygium
Jenis
: Syzygium polycephalum (Miq.) Merr & L.M Perry.
(Gambar 1 : Buah Ruruhi (Syzygium polycephalum (Miq.) Merr & L.M Perry) (Dokumentasi pribadi, 2017)
3. Nama Daerah Ruruhi Nama ruruhi berasal dari bahasa Tolaki. Selain itu, tanaman ini juga memiliki sebutan lokal di setiap daerah. Nama-nama tersebut diantaranya adalah gohok, kepa (Betawi), kupa, kupa beunyeur (Sunda), gowok , gowak , kupa , dompiong (Jawa), dan kaliasem (Bali). 4. Kandungan Kimia Ruruhi Belum banyak penilitian ilmiah menyangkut kandungan kimia tanaman Ruruhi. Namun pada beberapa penilitian genus (Syzygium) memiliki kandungan kimia sebagai berikut :
6
a. Buah duwet atau jamlang (Syzygium cuminiL) sendiri mengandung minyak atsiri, damar, asam galat, dan glikosida, sedangkan biji buah duwet atau jamblang mengandung antimelin, jambulol, fitosterin, zat pati, protein, zat samak, asam galat, gula, minyak atsiri dan minyak lemak. Dari sumber lain juga dikatakan bahwa duwet atau jamblang mengandung minyak atsri, fenol (methylxanthoxylin), alkaloid (jambosine), asam organik, triterpenoid, resi yang berwarna. Kulit duwet atau jamblang sendiri berwarna ungu, ini diakibatakan keberadaan antosianin. Antosianin dapat memberikan warna merah, ungu, violet dan biru pada bunga, buah, daun dan sayur. Buah duwet mengandung antosianin yaitu sianidin, petunidin, dan malvidin ramnoglikosida (Kotan dan Kusriani, 2005). b. Kandungan kimia dalam 100 g buah jambu air (Syzygium semarangense Burm .F. Alst) adalah 0,60 g protein, 0,20 g lemak, 11,80 mg karbohidrat, 7,5 mg kalsium, 9 mg fosfor, 1,1 mg zat besi, 5 mg vitamin C, asam sitrat 0,1 g, glukosa 2,1 g, fruktosa 2,4 g (Rukmana, 1997). c. Kandungan kimia buah salam (Syzygium polyanthum [Wight.] Walp) adalah minyak atsiri (sitrat, eugenol), tannin dan flavonoid (Dalimartha, 2000). Sedangkan menurut penelitian Ariviani (2010) dalam 100 g daging buah salam mengandung 58 mg antosianin. d. Menurut penelitian Santoni, dkk (2013) dalam 100 g buah pucuk merah (Syzygium campanulatum Korth) mengandung 20,03 g antosianin. B. Ekstraksi Ekstraksi merupakan istilah dalam bidang farmasi yang artinya pemisahan bahan aktif baik pada tanaman maupun hewan dengan menggunakan pelarut
7
selektif sesuai standar prosedur ekstraksi. Standarisasi proses ekstraksi bertujuan untuk memurnikan zat aktif dari zat lain dengan menggunakan pelarut tertentu (Hastari, 2012). Pemilihan pelarut sangat penting dalam proses ekstraksi sehingga bahan berkhasiat yang akan ditarik dapat tersari sempurna (Ma’mun, 2006). Kecepatan untuk mencapai kesetimbangan umumnya tergantung pada suhu, pH, ukuran partikel dan gerakan partikel. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi mengikuti prinsip “like dissolves like” yang berarti bahwa senyawa polar akan mudah larut dalam pelarut polar, dan begitupun sebaliknya (Sudjadi,1988). Maserasi merupakan cara ekstraksi sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk sampel dalam pelarut selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Metode maserasi digunakan untuk menyari sampel yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam pelarut. Pemilihan pelarut yang digunakan untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut (Manjang, 2004). Metode maserasi termodifikasi memakan waktu yang lebih singkat (Irnawati, dkk., 2017) Ada beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut, yaitu: (Ditjen POM, 2000) 1. Cara Dingin a. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana karena tidak
8
membutuhkan peralatan khusus sehingga dapat diterapkan pada semua laboratorium.
Namun
kerugiannya
adalah
pengerjaannya
lama
dan
penyariannya kurang sempurna (Depkes RI, 1995). Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan terhadap pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan (Depkes RI, 2000). Selama maserasi dilakukan proses pengocokan berulang-ulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat di dalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan kurangnya perpindahan bahan aktif. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi akan semakin banyak maserat yang diperoleh (Voight, 1995). b. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahapan maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), sampai diperoleh ekstrak (perkolat). 2. Cara Panas Refluks adalah
ekstraksi
dengan pelarut
pada temperatur
titik
didihnya,selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga proses ekstraksi sempurna. a. Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
9
b. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC. c. Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90 oC selama 15-20 menit di penangas air dapat berupa bejana infus tercelup dengan penangas air mendidih. d. Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 900C selama 30 menit. C. Skrining Fitokimia Uji (skrining) fitokimia merupakan salah satu langkah penting dalam upaya mengungkap potensi sumber daya tumbuhan. Hasil analisis fitokimia dapat memberikan petunjuk tentang keberadaan komponen kimia (senyawa) jenis golongan steroid/triterpenoid, alkaloid, fenolik, flavonoid, saponin, dan tanin pada tumbuhan (Tukiran., dkk, 2014) D. Antosianin 1.
Definisi Antosianin Antosianin merupakan kelompok pigmen yang berwarna merah sampai
biru yang tersebar luas pada tanaman, dan antosianin tergolong pigmen yang disebut flavonoid yang pada umumnya larut dalam air. Antosianin merupakan zat pewarna alami yang tergolong ke dalam benzopiran. Struktur utama turunan benzopiran ditandai dengan adanya dua cincin aromatik benzena (C6H6). Antosiani merupakan pigmen alami yang dapat menghasilkan warna birum ungu, violet, magenta dan kuning. Pigmen ini larut dalam air yang terdapat pada bunga, buah dan daun tumbuhan. Antosianin terdapt
10
dalam vakuloa sel bagian tanaman (Moss BW, 2002). Antosianin memiliki sistem ikatan rangkap terkonjugasi yang mampu menjadikan antosianin sebagai antioksidan dengan mekanisme penangkapan radikal (Dipahayu dkk., 2014).
Gambar 2.Rumus Struktur Antosianin (Jackman dan Smith, 1996) 2. Stabilitas Antosianin Salah satu faktor yang mempengaruhi warna dari antosianin adalah perubahan pH. Sifat asam akan menyebabkan warna antosianin menjadi merah, sedangkan sifat basa menyebabkan antosianin menjadi biru. Selain faktor perubahan pH, konsentrasi pigmen, adanya campuran dengan senyawa-senyawa lain, jumlah gugus hidroksi dan metoksi juga mempengaruhi warna antosianin. Gugus hidroksi yang dominan menyebabkan warna cenderung biru dan relatif tidak stabil sedangkan, gugus metoksi yang dominan menyebabkan warna merah dan relatif lebih stabil (Putri., dkk, 2015). Antosianin lebih stabil pada suhu rendah daripada pada suhu tinggi. Hal ini terbukti dari % retensi pigmen dimana % retensi pigmen pada suhu rendah lebih besar daripada % retensi pigmen pada suhu tinggi. antosianin stabil antara pH 1 - 3, tetapi pada pH >4 struktur antosianin tidak stabil dan dapat mengalami transformasi, artinya semakin tinggi
11
pH yang diberikan semakin tidak stabil kadar antosianinnya atau semakin tinggi kerusakan pigmennya (Farida dan Fitri, 2015). Stabilitas warna suatu bahan pangan merupakan salah satu parameter penting dalam quality control. Warna dan stabilitas pigmen antosianin tergantung pada struktur molekul secara keseluruhan. Substitusi pada struktur antosianin A dan B akan berpengaruh pada warna antosianin. Pada kondisi asam warna antosianin ditentukan oleh banyaknya substitusi pada cincin B. Semakin banyak substitusi OH akan menyebabkan warna semakin biru, sedangkan metoksilasi menyebabkan warna semakin merah penambahan gugus hidroksil menghasilkan pergeseran ke arah warna biru (pelargonidin → sianidin → delpinidin), dimana pembentukan glikosida dan metilasi menghasilkan pergeseran ke arah warna merah (pelargonidin → pelargonidin-3-glukosida; sianidin → peonidin). Jika dibandingkan dengan pewarna sintetik pada umumnya zat warna alami dari sumber nabati maupun hewani, memiliki tingkat stabilitas warna yang lebih rendah. Oleh karena itu, berbagai teknologi untuk meningkatkan stabilitas zat pewarna alami di dalam bahan pangan telah banyak dilakukan. Secara umum stabilitas antosianin dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : struktur dan konsentrasi antosianin, derajat keasaman (pH), oksidator, cahaya, suhu, dan sebagainya (Santoso dan Teti, 2014). a. Transformasi Struktur dan pH Pada
umumnya,
penambahan
hidroksilasi
menurunkan
stabilitas,
sedangkan penambahan metilasi meningkatkan stabilitas. Warna dalam makanan mengandung antosianin yang kaya akan pelargonidin, sianidin, atau aglikon delpinidin kurang stabil dari makanan yang kaya akan petunidin atau
12
aglikon malvidin. Faktor pH ternyata tidak hanya mempengaruhi warna antosianin ternyata juga mempengaruhi stabilitasnya. Antosianin lebih stabil dalam larutan asam dibanding dalam larutan alkali. b. Suhu Pemanasan bersifat “irreversible” dalam mempengaruhi stabilitas pigmen dimana kalkon yang tidak berwarna tidak dapat kembali menjadi kation flavilium yang berwarna merah. Degradasi antosianin dipengaruhi oleh temperatur. Antosianin terhidroksilasi adalah kurang stabil pada keadaan panas daripada antosianin termetilasi terglikosilasi atau termetilasi c. Cahaya Antosianin tidak stabil dalam larutan netral atau basa dan bahkan dalam larutan asam warnanya dapat memudar perlahan-lahan akibat terkena cahaya, sehingga larutan sebaiknya disimpan di tempat gelap dan suhu dingin. Secara umum diketahui bahwa cahaya mempercepat degradasi antosianin. Efek tersebut dapat dilihat pada jus anggur dan red wine. Pada winemetilasi diglikosida yang terasilasi dan metilasi monoglikosida. Antosianin juga tidak stabil ketika terkena sinar tampak dan ultraviolet dan inti lain dari radiasi ion. Dekomposisi sebagian besar tampak menjadi fotooksidasi karena asam p-hidroksibenzoat diidentifikasi sebagai hasil degradasi minor. Kemampuan cahaya membuat antosianin tereksitasi lewat transfer elektron yang dapat mempengaruhi pigmen ke dekomposisi fotokimia (Armanzah, 2016).
13
3. Metode Analisis Antosianin Penentuan kandungan antosianin total dilakukan dengan metode pH differenstial
(Giusti
spektrofotometet
and
Uv-Vis
Wrolstad, dengan
2000).
panjang
Metode
ini
menggunakan
gelombang 200-700.
Panjang
gelombang ini dipilih karena antosianin memiliki serapan maksimum antara panjang gelombang 270—560 (Sadiyah, dkk., 2012). Konsentrasi antosianin ( mg L-1 ) =
A x BM x FP x 1000 ( ε x 1)
E. Antioksidan 1.
Deskripsi Antioksidan Antioksidan adalah molekul yang berkemampuan memperlambat ataupun
mencegah oksidasi molekul lain. Kandungan antioksidan yang rendah dapat menyebabkan stres oksidatif dan merusak sel-sel tubuh (Ali, 2013). Antioksidan berfungsi mengatasi atau menetralisir radikal bebas sehingga diharapkan dengan pemberian antioksidan tersebut proses tua dihambat atau paling tidak “tidak dipercepat” serta dapat mencegah terjadinya kerusakan tubuh dari timbulnya penyakit degeneratif. Sumber-sumber antioksidan dapat berupa antioksidan sintetik maupun antioksidan alami. Tetapi saat ini penggunaan antioksidan sintetik mulai dibatasi. Ada banyak bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan alami, misalnya rempahrempah, teh, coklat, dedaunan, biji-biji serelia, sayursayuran, enzim dan protein. Kebanyakan sumber antioksidan alami adalah tumbuhan dan umumnya merupakan senyawa fenolik yang tersebar di seluruh bagian tumbuhan baik di kayu, biji, daun, buah, akar, bunga maupun serbuk sari. Senyawa fenolik atau polifenolik antara lain dapat berupa golongan flavonoid. Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan telah banyak diteliti belakangan tahun
14
ini, dimana flavonoid memiliki kemampuan untuk merubah atau mereduksi radikah bebas dan juga sebagai anti radikal bebas (Zuhra, 2008). Secara teoritis, antioksidan akan kehilangan potensi jika tidak mempunyai lagi kemampuan untuk mengikat hidrogen atau elektron. Beberapa jenis antioksidan, terutama golongan fenolat bersifat dapat menguap dalam suhu kamar, terlebih pada proses penggorengan. Kehilangan antioksidan disebabkan penguapan akibat degradasi molekul, terutama pada suhu yang tinggi (Ketaren, 1986). 2. Klasifikasi Antioksidan Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu antioksidan pencegah dan antioksidan pemutus rantai. Antioksidan pencegah bekerja dengan menghambat pembentukan reactive oxygen species (ROS), seperti enzim katalase, peroksidase, superoksida dismutase, dan transerin. Antioksidan pemutus rantai merupakan senyawa yang yang menangkap radikal oksigen kemudian memutus rangkaian rantai reaksi radikal, contohnya vitamin C, vitamin E, asam urat, bilirubin, polifenol, dan sebagainya. Antioksidan pemutus rantai memiliki dua jalur reaksi. Jalur pertama merupakan jalur transfer atom hidrogen dengan mekanisme radikal oksigen menangkap hidrogen dari antioksidan sehingga terbentuk kompleks antioksidan radikal yang bersifat stabil. Jalur kedua, antioksidan mendeaktivasi radikal bebas dengan transfer elektron tunggal. Transfer elektron tunggal dipengaruhi oleh kestabilan pelarut pada muatan tertentu (Sadeli, 2016).
15
F. Pelarut Ekstraksi 1.
Etil Asetat Etil asetat adalah cairan jernih, tak berwarna, berbau khas yang digunakan
sebagai pelarut tinta, perekat dan resin. Jika Selain dari penggunaannya sebagai pelarut, etil asetat dapat berfungsi sebagai bahan aditif untuk meningkatkan bilangan oktan pada bensin serta dapat berguna sebagai bahan baku kimia serbaguna (Azura, dkk, 2015). Etil asetat merupakan senyawa aromatik yang bersifat semipolar dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3 sehingga dapat menarik analit-analit yang bersifat polar dan nonpolar. Hal ini berarti pelarut etil asetat mampu menarik komponen senyawa kimia yang terkandung di dalam ekstrak. pelarut etil asetat. Etil asetat merupakan pelarut semipolar dengan indeks polaritas 4,4, sehingga berbagai senyawa baik polar maupun nonpolar dapat tertarik ke dalam pelarut (Artini, 2013). 2.
Etanol Etanol merupakan pelarut yang dapat membantu pelarutan senyawa-
senyawa hasil oksidasi hidrogen peroksida sehingga mempercepat dekomposisi zat warna (Neliyanti dan Norra, 2014). Etanol sebagai pelarut dalam mengekstrak karena antosianin adalah pigmen yang sifatnya polar dan akan larut dengan baik dalam pelarut-pelarut polar (Moeksin, 2009). Penggunaan etanol menghasilkan total antosianin yang lebih tinggi, dimana pelarut etanol memiliki tingkat kepolaran yang relatif sama dengan polaritas pigmen antosianin (Moulana, 2012).
16
3.
Air Pelarut air merupakan senyawa yang paling polar dibandingkan pelarut
lainnya, sehingga komponen yang bersifat polar seperti karbohidrat ikut terekstrak dan menyebabkan total fenol per berat sampel menjadi rendah (Septiani dan Ari, 2012) Air sebagai pengekstrak, karena air merupakan bahan yang mudah diperoleh, murah, tidak berbahaya serta kadar mineralnya rendah. Penggunaan di masyarakat secara empirik pelarut air sering digunakan dalam ekstraksi (Amin dan Anna, 2016). 4. Metanol Metanol merupakan pelarut yang bersifat universal sehingga dapat melarutkan analit yang bersifat polar dan nonpolar. Metanol dapat menarik alkaloid, steroid, saponin, dan flavonoid dari tanaman (Salamah, 2015). Ekstraksi antosianin dapat dilakukan dengan beberapa jenis solven, seperti air, etanol, metanol, tetapi yang paling efektif adalah dengan menggunakan metanol yang diasamkan dengan HCl (Hambali., dkk, 2014). Metanol yang ditambah dengan HCl 1% adalah pelarut yang sering disarankan untuk mengekstrak antosianin karena sifatnya yang polar dan asam. Antosianin adalah senyawa polar yang lebih mudah diekstrak dalam suasana asam (Dewi., dkk, 2007). G. Gel Gel didefinisikan sebagai suatu sistem semi padat yang terdiri dari suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik kecil atau molekul organik besar dan saling diresapi cairan. Sediaan farmasi dalam bentuk gel banyak digunakan dalam kosmetik. Gel disukai karena kandungan airnya cukup besar,
17
sehingga nyaman dan terasa dingin pada kulit, mudah dioleskan, tidak berminyak, mudah dicuci, lebih jernih, elegan, elastis, daya lekat tinggi namun tidak menyumbat pori, serta pelepasan obatnya baik (Kuncari., dkk, 2014). Sifat / Karakteristik Gel (lachman, 496 – 499) a. Zat pembentuk gel yang ideal untuk sediaan farmasi dan kosmetik ialah inert, aman dan tidak bereaksi dengan komponen lain b. Pemilihan bahan pembentuk gel harus dapat memberikan bentuk padatan yang baik selama penyimpanan tapi dapat rusak segera ketika sediaan diberikan kekuatan atau daya yang disebabkan oleh pengocokan dalam botol, pemerasan tube, atau selama penggunaan topikal. c. Karakteristik gel harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan sediaan yang diharapkan. d. Penggunaan bahan pembentuk gel yang konsentrasinya sangat tinggi atau BM besar dapat menghasilkan gel yang sulit untuk dikeluarkan atau digunakan). e. Gel dapat terbentuk melalui penurunan temperatur, tapi dapat juga pembentukan gel terjadi satelah pemanasan hingga suhu tertentu. Contoh polimer seperti MC, HPMC dapat terlarut hanya pada air yang dingin yang akan membentuk larutan yang kental dan pada peningkatan suhu larutan tersebut akan membentuk gel. f. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang disebabkan oleh pemanasan disebut thermogelation.
18
H. Uraian Bahan a. Karbomer Bahan pembentuk gel yang banyak digunakan dalam bidang farmasi dan kosmetik adalah polimer karboksivinil yaitu karbomer. Karbomer digunakan sebagai pembentuk gel pada konsentrasi 0,5-2,0%. Karbomer merupakan polimer sintetik dengan berat molekul tinggi dari asam akrilat yang disambung silang dengan alil sukrosa atau alil pentaeritriol. Karbomer memiliki pH antara 2,5-4,0. Kabormer dapat membengkak dalam air dan gliserin dan setelah netralisasi dalam etanol (95%). Carbomers tidak larut tetapi hanya membengkak sampai tingkat yang luar biasa. Karbomer tidak sesuai dengan fenol, polimer kationik, asam kuat, dan tingkat elektrolit yang tinggi (Rowe, dkk., 2009). b. Trietanolamin (TEA) Trietanolamin dapat digunakan sebagai zat pembasa dan pengemulsi, memiliki rumus empiris C6H15NO3 dengan berat molekul 149,19. TEA berupa cairan kental yang sangat higroskopis dengan bau amoniak ringan, jernih, tidak berwarna, sampai kuning pucat. TEA telah digunakan secara luas dalam sediaan topikal sebagai alkalizing agent dan emulsifiying agent pada konsentrasi 2-4%. Trietanolamina akan bereaksi dengan asam mineral untuk membentuk garam dan ester kristal dan juga dapat bereaksi dengan reagen seperti thionyl chloride untuk menggantikan gugus hidroksi dengan halogen. Produk dari reaksi ini sangat beracun, menyerupai mustard nitrogen lainnya (Rowe, dkk., 2009).
19
c. Metil paraben Metil paraben dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan paraben lain atau dengan agen antimikroba lainnya. Dalam kosmetik, methylparaben adalah digunakan.
pengawet
antimikroba
yang paling sering
Penggunaan metiparaben antara 0,02-0,3% pada sediaan.
Aktivitas antimikroba metilparaben dan paraben lainnya sangat berkurang dengan adanya surfaktan nonionik, seperti polisorbat 80, sebagai hasil dari micellization. Tidak kompatibel dengan zat lain, seperti bentonit, magnesium trisilicate, talc, tragacanth, sodium alginat, minyak atsiri, sorbitol, dan atropin, telah dilaporkan dan juga bereaksi dengan berbagai gula dan alkohol gula terkait. Methylparaben menunjukkan aktivitas antimikroba pH 4-8. Efektivitas pengawet menurun dengan meningkatnya pH karena pembentukan anion fenolat. Paraben lebih aktif melawan ragi dan jamur daripada melawan bakteri. Mereka juga lebih aktif melawan bakteri Gram-positif dibandingkan dengan bakteri Gram-negatif. Aktivitas juga telah dilaporkan ditingkatkan dengan penambahan eksipien lain seperti: propylene glycol; phenylethyl alcohol; dan asam edetic serta golongan paraben lain. (Rowe, dkk., 2009). Kelarutan dari metilparaben adalah larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih, dalam 3,5 bagian etanol (95%) dan dalam 3 bagian aseton, mudah larut dalam eter dan dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam 60 bagian gliserol panas dan dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas, jika didinginkan larutan tetap jernih (Depkes RI, 1979).
20
d. Propilen glikol Propilen glikol secara luas digunakan sebagai pelarut dan bahan pembawa pada parenteral dan non parenteral formulasi farmasetik. Di industri kosmetik dan makanan, propilen glikol digunakan sebagai humektan yaitu menjaga kelembapan kulit dengan cara mengurangi penguapan air dari kulit dan digunakan pada konsentrasi 15%. Propilen glikol merupakan cairan jernih kental, tidak berwarna, tidak berbau dan memiliki rasa manis. Propilen glikol dapat bercampur dengan etanol, gliserin, dan air, serta tidak bercampur dengan minyak mineral, tetapi bercampur dengan minyak esensial. Pada suhu rendah, propilen glikol tetap stabil dalam wadah tertutup rapat, tetapi pada suhu tinggi dan di tempat terbuka akat teroksidasi (Rowe, dkk., 2009).
21
I. Kerangka Konsep Buah Ruruhi
Maserasi Termodifikasi Pelarut Air +HCL1% Pelarut etanol + HCL1% Pelarut Etil Asetat + HCL1% Pelarut Metanol + HCL1% Ekstrak
Skrining Fitokimia
Antosianin Total
Rendemen
Fenol Total
Antioksidan
Formulasi dan uji kaarkterisasi sediaan Gel Keterangan :
Variabel Bebas Variabel Terikat Gambar 3. Kerangka Konsep
22
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan April sampai dengan Juli 2018 di Laboratorium Farmasi Jurusan Farmasi Universitas Halu Oleo. B. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. C. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu buah ruruhi, etanol 96%, Etil asetat (teknis), air (teknis), HCl (teknis), Metanol (teknis), Buffer potassium klorida (p.a), Buffer sodium asetat (p.a), DPPH (2,2-Diphenyl-1-picrylhydrazil) (sigma) dan vit C (p.a), kertas saring, carbomer, propilen glikol, metil paraben. D. Alat Penelitian Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu, botol coklat, gelas kimia (pyrex), batang pengaduk, kain flannel, timbangan analitik (Precisa), magnetik stirer (stirer bar), pipet tetes, tabung reaksi (pyrex), Erlenmeyer (pyrex), spatula, pengayak, spektrofotometer (Perkin Elmer) dan blender (Miyako) E. Variabel Penelitian Dalam penelitian ini, variabel dibaji menjadi dua yaitu : 1. Variabel bebas
: Pelarut eksktraksi buah ruruhi
2. Variabel terikat
: Hasil skrining fitokimia, kadar antosianin total, fenol total dan aktivitas antioksidan, serta karakteristik sediaan gel
23
F. Definisi Operasional 1. Buah Ruruhi (Syzygium polycephalum (Miq.) Merr. & L.M. Perry) adalah buah dari tanaman yang di peroleh dariBuah Ruruhi (Syzygium polycephalum (Miq.) Merr. & L.M. Perry) adalah buah dari tanaman yang di peroleh dari wilayah Kota Kendari Sulawesi Tenggara, berbentuk bulat dan berwarna merah atau merah tua. 2. Optimasi pelarut buah ruruhi (Syzygium polycephalum (Miq.) Merr. & L.M. Perry) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah beberapa pelarut yang digunakan untuk di ekstraksi menggunakan metode maserasi termodifikas (pelarut etanol, pelarut air, metanol dan pelarut etil asetat yang diasamkan dengan HCl 1%). 3. Kadar antosianin total adalah jumlah kadar antosianin secara keseluruhan yang terdapat dalam buah ruruhi setelah dilakukan pengukuran menggunakan metode pH differensial dengan menggunakan alat spektrofotometer Uv-Vis pada panjang gelombang 520 dan 700 nm. 4. Aktivitas antioksidan buah ruruhi adalah besaran penghambatan ekstrak dan
kulit
buah
ruruhiterhadap
radikal
DPPH
(2,2-Diphenyl-1-
picrylhydrazil) yang dinyatakan dalam IC50. 5. Karakteristik sediaan adalah evaluasi yang dilakukan sesaat setelah pembuatan sediaan gel untuk mendapatkan gel yang terbaik dengan uji orgaloptis (bau, warna dan bentuk sediaan) homogenitas, pH, daya sebar, daya lekat dan viskositas. 6. IC50 adalah konsentrasi larutan substrat atau sampel yang mampu mereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%.
24
G. Prosedur Penelitian 1. Persiapan Sampel Buah yang digunakan adalah buah yang telah masak yang ditandai dengan warna merah gelap pada kulit buah. Selanjutkan dilakukan sortasi atau pemilihan. Buah ruruhi yang masih baik selanjutnya dicuci pada air yang mengalir hingga diperkiran kotoran (tanah, debu dan sebagainya) sudah hilang. 2. Ekstraksi Ekstraksi menggunakan metode maserasi termodifikasi. Pelarut yang digunakan adala pelarut etanol, pelarut air, pelarut metanol dan pelarut etil asetat yang diasamkan dengan HCl 1%. Penambahan HCl bertujuan untuk memberikan suasana asam karena antosianin bersifat lebih stabil pda pH asam. Buah ditimbang sebanyak 100 gram dimaserasi selama 3 jam dengan menggunakan 4 pelarut, masing-masing pelarut diambil sebanyak 500 mL yang dicampur dengan HCl 1% sebanyak 5 mL. Dimaserasi termodifikasi menggunakan stirrer. Penggantian pelarut dilakukan tiap 1 jam. Pengadukan dengan stirrer dilakukan untuk menambah efektifitas dari proses ekstraksi tersebut 3. Standarisasi Ekstrak Etanol Kulit Buah Ruruhi a. Penentuan kadar air Sejumlah 0,1 gram ekstrak ditimbang dalam krus porselen bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 1050C selama 30 menit dan telah ditera. Diratakan dengan menggoyangkan hingga merupakan lapisan setebal 10–15 mm dan dikeringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap, tutupnya dibuka, dibiarkan krus dalam keadaan tertutup dan mendingin
25
dalam desikator hingga suhu kamar, kemudian dicatat bobot tetap yang diperoleh untuk menghitung persentase susut pengeringannya (Depkes RI, 2000). Kadar air =
Berat sebelum pengeringan−Berat akhir Berat sebelum pengeringan
x 100%
b. Penetapan kadar abu Sejumlah 0,2 gram ekstrak ditimbang dengan seksama dalam krus yang telah ditera, dipijarkan perlahan-lahan. Kemudian suhu dinaikkan secara bertahap hingga 600 ± 250C sampai bebas karbon, selanjutnya didinginkan dalam desikator, serta ditimbang berat abu. Kadar abu dihitung dalam persen berat sampel awal (Depkes RI, 2000). Kadar abu =
Berat awal−Berat akhir Berat awal
x 100%
c. Penetapan kadar sari larut air Maserasi sejumlah 5,0 gram ekstrak selama 24 jam dengan 100 mL airkloroform LP , menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Diuapkan 20 mL filtrat hingga kering dalam cawan penguap, residu dipanaskan pada suhu 105°C hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air terhadap berat ekstrak awal (Depkes RI, 2000). d. Penetapan kadar sari larut etanol Maserasi sejumlah 5,0 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 100 mL etanol 95% menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring cepat dengan menghindari penguapan etanol, kemudian diuapkan 20 mL
26
filtrat hingga kering dalam cawan penguap yang telah ditera, residu dipanaskan pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam etanol 95% terhadap ekstrak awal (Depkes RI, 2000). 4. Uji Fitokimia Uji fitokimia merupakan suatu identifikasi golongan senyawa kimia yang terdapat dalam suatu simplisia (Harborne, 1987). Untuk menghasilkan ekstrak dari buah ruruhi, maka dilakukan uji fitokimia yang terdiri atas flavonoid, alkoloid, tanin, triterpenoid, saponin a. Flavonoid Pada uji senyawa flavonoid yaitu 1 gram sampel dimasukan kedalam tabung reaksi. Ditambahkan pada sampel berupa serbuk Magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil alkohol (campuran HCL 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama) dan 4 ml alkohol. Sampel dikocok dan diamati perubahan yang terjadi, terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid. b. Alkoloid Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi ditambahkan 10 ml HCl 2 N dan dipanaskan pada penangas air sampai bening, setelah bening diambil 2 ml dan ditambah 4 tetes I2. Terbentuknya kekeruhan menunjukkan adanya alkaloid
27
c. Triterpenoid Sebanyak 5 ml sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi ditambahkan 2 tetes CH3 COOH dan 1 tetes H2SO4. Sampel dikocok dan diamati perubahan yang terjadi, terbentunya warna hijau atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid. d. Tanin Sebanyak 0,5 gram sampel dimasukan kedalam tabung reaksi ditambahkan 10 ml aquadest dan 1 tetes FeCl3. Terbentuknya warna biru atau hijau menunjukkan adanya tanin. e. Saponin Sebanyak 0,5 gram sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi ditambahkan 10 ml aquades lalu dikocok kuat selama 30 detik dan terbentuk busa permanen lebih dari 10 menit dengan penambahan 2 tetes HCl 2 N. Maka menunjukan uji positif untuk saponin 5. Antosianin Total a.
Pembuatan Larutan Buffer Kalium Klorida pH 1 dan Natrium Asetat pH 4,5 Untuk pembuatan buffer pH 1,0 digunakan KCl sebanyak 1,86 g dilarutkan dalam 980 ml aquadest atur pHnya hingga mencapai 1 dengan menggunakan HCl pekat. Selanjutnya larutan dipindahkan kedalam labu ukur 1 L dan ditambahkan aquadest sampai
volume
larutan
digunakan natrium asetat sebanyak 54,43 g
buffer
pH
4,5
larutan
1L.
Sedangkan
untuk
dilarutkan dengan 960 ml aquadest, pH diukur dan diatur dengan HCL pekat sehingga diperoleh larutan dengan pH 4,5. Selanjutnya larutan dipindahkan ke dalam labu ukur 1000 mL dan diencerkan dengan aquadest hingga tanda batas (AOAC Official Method, 2005)
28
b. Penentapan Kadar Antosianin Total Menurut Prior et al (1998), Penetapan kadar antosianin total dilakukan dengan menggunakan metode pH differensial. Sebanyak masing-masing 5 mg sampel dimasukkan ke dalam 2 buah tabung reaksi. Tabung reaksi pertama ditambah larutan bufferkalium klorida (0,025 M) pH 1 sebanyak 4,95 mL dan tabung reaksi kedua ditambahkan larutan buffernatrium asetat (0,4 M) pH 4,5 sebanyak 4,95 ml. Pengaturan pH dalam pembuatan bufferkaliumklorida dan natrium asetat menggunakan HCl pekat. Absorbansi dari kedua perlakuan pH diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 520 nm dan 700 nm pada masing-masing larutan setelah didiamkan selama 15 menit. Nilai absorbansi sampel ekstrak dihitung dengan menggunakan persamaan A = [(A520 - A700)pH1– (A520 - A700) pH4.5]. Keterangan: A
: Nilai absorbansi
A520
:
A 700
: Nilai absorbansi dengan panjang gelombang 700
pH1
: Larutan buffer kalium klorida
Nilai absorbansi dengan panjang gelombang 520
pH4,5 : Larutan buffer natrium asetat
Konsentrasi antosianin dihitung sebagai sianidin-3-glukosida menggunakan koefisien ekstingsi molar sebesar 26.900 L cm-1 dan berat molekul sebesar 449.2. Konsentrasi antosianin ( mg L-1 ) =
A x BM x FP x 1000 ( ε x 1)
dimana:
29
A
= absorbansi
BM
= berat molekul ( 449.2 g/mol ) untuk sianidin-3-glukosida
FP
= faktor pengenceran
ε
= koefisien ekstingsi molar ( 26 900 L cm-1)
6. Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH Uji aktivitas akntioksidan ekstrak etanol buah ruruhi dilakukan berdasarkan metode Brand-Williams (1995). a. Pembuatan Larutan Blanko DPPH 80 ppm Cara membuatnya adalah menimbang 4 mg DPPH kemudian dilarutkan dalam etanol hingga semua larut, selanjutnya dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL dan diencerkan hingga tanda tera. Kocok sampai homogen sehingga dapat larutan DPPH 80 µg/mL. Larutan DPPH disimpan dalam wadah yang dilindungi dari cahaya dengan cara melapisinya dengan kertas aluminium. b. Penentuan Panjang Gelombang Maksimal DPPH Pembuatan larutan blanko dilakukan dengan cara diambil 3 mL etanol dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 mL larutan DPPH 80 ppm, dikocok hingga homogen dan diinkubasi pada suhu 37o C selama 30 menit. Serapan diukur menggunakan spektrofotometer Uv-Vis pada panjang gelombang 400-800 nm. c. Penyiapaan Ekstrak Uji Ekstrak buah ruruhi ditimbang 5 mg dalam beaker glass, lalu ditambahkan 4060 mL etanol 96% sedikit demi sedikit kemudian dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL. Kemudian ditambahkan etanol 96% hingga tanda tera dan dijogog hingga homogen, untuk membuat larutan induk dengan konsentrasi
30
100 mg/L. Selanjutnya, dari 100 mL larutan induk tersebut dibuat lima seri konsentrasi ekstrak berturut-turut sebesar 2, 4, 6, 8 dan 16 ppm. d. Pengukuran Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Kulit Buah Ruruhi Secara Spektrofotometri Uv-Vis Larutan uji sebanyak 1 mL larutan uji pada masing-masing konsentrasi seri ditambahkan dengan larutan DPPH 80 mg/L sebanyak 1 mL, lalu didiamkan selama 30 menit dan diamati absorbansinya pada panjang gelombang maksimum yang telah didapatkan. Sebagai blanko digunakan sebanyak 1 mL larutan DPPH 80 mg/L yang ditambahkan 3 mL etanol 96%. Diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum. e. Pengujian Larutan Pembanding Vitamin C Standar Sebanyak 20 mg vitamin C standar ditimbang kemudian dilarutkan dalam 100 mL etanol sehingga diperoleh konsentrasi 200 ppm. Dilakukan pengenceran untuk membuat larutan konsentrasi 1, 2, 3, 4, dan 5 ppm. Setelah itu 1 mL larutan masing-masing konsentrasi dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 mL larutan DPPH 80 ppm dan ditambahkan 2 mL etanol. Dikocok hingga homogen kemudian tabung yang berisi larutan tersebut diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh. f. Penghitungan Persentase hambatan (IC50) terhadap radikal DPPH dari masing-masing konsentrasi larutan sampel dapat dihitung dengan rumus: % Inhibisi =
Absorbansi kontrol−Absorbansi sampel Absorbansi kontrol
x 100% (Sadeli, 2016)
31
Nilai persentasi hambatan (%) dan konsentrasi ekstrak (µg/mL) diplot masingmasing pada sumbu x dan y, sehingga didapatkan persamaan y = a + bx dengan perhitungan regresi linear. Aktivitas antioksidan dinyatakan Inhibition Concentration 50% (IC50) yaitu konsentrasi sampel yang dapat meredam radikal DPPH sebanyak 50%. Nilai IC50 didapatkan dari nilai x setelah mengganti y = 50. 7. Formulasi Sediaan Gel Formula Gel ekstrak buah ruruhi mengikuti formula Supomo dkk, (2016) yang dimodifikasi: Tabel 1. Formulasi sediaan gel ekstrak etanol buah ruruhi No. Bahan
Konsentrasi (b/b)
1
Ekstrak etanol buah ruruhi
0,0004 %
2
Karbomer
1,5 %
3
TEA
3%
4
Propilenglikol
15%
5
Metilparaben
0,1%
6
Akuades
Ad 100%
Pada pembuatan gel, karbomer didispersikan terlebih dahulu dengan air hangat kemudian diaduk hingga terdispersi seluruhnya menggunakan pengaduk elektrik di atas penangas air. Kemudian ditambahakan TEA sebagai penetral basis dan diaduk hingga membentuk massa gel bening. Larutan metilparaben dan propilenglikol dimasukan dalam massa gel dan terus diaduk hingga homogen. Ekstrak yang sudah dilarutkan dengan etanol kemudian dimasukan dalam massa
32
gel sambil diaduk. Kemudian sisa air ditambahkan sambil diaduk hingga gel homogen. 8. Uji Karakteristik Gel a. Uji Organoleptis Pengamatan organoleptis dilakukan secara makroskopis dengan memeriksa bau, warna, dan bentuk sediaan (Paye et al, 2001). Memiliki beberapa persyaratan yaitu : memiliki warna seperti zat aktif, memiliki aroma khas getah jarak, penampilan kental. b. Uji Homogenitas Pengukuran pH gel dilakukan dengan pH stick indicator yang dicelupkan ke dalam sedian selama 3 detik. Hasil pengukuran dengan kisaran pH sesuai dengan perubahan warna yang terjadi pada pH stick indicator. Uji ini untuk mengetahui pH gel yang sesuai yaitu kisaran 4,5-6,5 dimana bila gel terlalu basa akan mengakibatkan kulit menjadi mudah kering dan bila terlalu asam akan menimbulkan iritasi pada kulit (Draelos dan Lauren, 2006) c. Uji Perubahan pH Pengamatan
homogenitas
dilakukan
menggunakan
mikroskop
dengan
pembesaran 40 kali. Sediaan harus menunjukkan susunan homogen dan tidak terlihat adanya butiran kasar (Ditjen POM, 1985). d. Uji Daya Lekat Sampel 0,25 gram diletakkan diantara 2 gelas obyek, kemudian ditekan dengan beban 1 kg selama 5 menit. Setelah itu beban diangkat dari gelas obyek, kemudian pasang gelas obyek pada alat test (tali). Alat uji diberi beban 80
33
gram dan kemudian dicatat waktu pelepasan gel dari gelas obyek (Miranti, 2009). e. Uji Perubahan Viskositas Pengukuran viskositas dilakukan dengan menempatkan sampel dalam viskometer Brookfield DV-E hingga spindel terendam. Diatur spindel dan kecepatan yang akan digunakan. Viskometer Brookfield DV-E dijalankan, kemudian viskositas dari gel akan terbaca (Septiani dkk., 2012). f. Uji Daya Sebar Sediaan sebanyak masing-masing 0,5 gram dan kaca tak berskala ditimbang. Gel diletakan di tengah kaca berskala dan ditimpa kaca tak berskala selama 1 menit. Dihitung diameter luas sebaran dengan ditambahkan beban mulai dari 0 gram hingga 500 gram dan masing-masing didiamkan terlebih dahulu 1 menit sebelum ditambahkah beban.
34
DAFTAR PUSTAKA Ansel, 2008. Pengantar bentuk sediaan farmasi.Edisi Keempat. Jakarta: UI Press Ali, A.A., Milala, M.A., and Gulani, I.A., 2015. Antimicrobial Effect of Crude Bromelain Extracted From Pineapple Fruit (Ananas Comosus (linn.) Merr.) Advances in Biochemistry, 3, 1-4. Artini, 2013. P. E. U. D., Astuti, K. W., Warditiani, N. K. (2013). Uji fitokimia ekstrak etil asetat rimpang bangle (Zingiber purpureum Roxb.). Retrieved from http://ojs.unud.ac.id/index.php/jfu/article/ viewFile/7396/5646 Backer, CA dan Brink, Bakhuizen, 1963.Flora Of Java. The Nedherland: NVP Noordhof Brand-Williams, W., Cuvelier M.E., dan Berset C. 1995, Use of a Free Radical Method to Evaluate Antioxidant Activity,Food Sci Tecnol,28(1). Depkes RI, 1995. Farmaskope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal: 1066. Depkes RI., 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Diktorat Jenderal POM, Jakarta. Ditjen POM, 1985, Formularium Kosmetika Indonesia, departemen Kesehatan RI, Jakarta. Ditjen POM, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Depkes RI, Jakarta. Durst, R.W. dan Wrolstad, R.E, 2005. Determination of total monomeric anthocyanin pigment content of fruit juices, beverages, natural colorants, and wines by the pH differential method.Collaborative study. Journal of Association of Offiial Analytical Chemists International88(5): 1269-1278 Fathinatullabibah., Kawaji., dan Lia, U.K., 2014, Stabilitas Antosianin Ekstrak Jati (Tectona grandis) terhadap Perlakuan pH dan Suhu, Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, Vol 3(2). Gao and Mazza, 1996. Comparison of chromatic properties, stability and antioxidant capacity of anthocyanin-based aqueous extracts from grape pomace obtained from different vinification methods. Food Chemistry 97:87-94. Giusti, M, M, Wrolstad, R, E. 1996. Characterization of red radish anthocyanins. Journal of Food Science. 61(2):322-326
35
Hambali, M., Febrilia, M., dan Fitriadi, N., 2014, Ekstraksi Antosianin Dari Ubi Jalar Dengan Variasi Konsentrasi Solven, Dan Lama Waktu Ekstraksi, Teknik Kimia, 2(2). Irnawati, Wa Ode Sitti, Z., dan Arifah., 2017, Anthoycanin Total and Antioxidant Activity of Ruruhi (Syzygium polycephalum Merr.) Fruits, PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi, Vol 6(3). Ketaren, 1986.Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UIPress. Kotan, Yoalistailus dan Kusriani, Herni, 2014. Kajian Pustaka Antosianin Dari Buah Duwet atau jamblang. KTI Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Moeksin, R., dan Stevanus, R.HP., 2009, Pengaruh Kondisi, Perlakuan dan Berat Sampel Terhadap Ekstraksi Antosianin Dari Kelopak Bunga Rosela dengan Pelarut Aquadest dan Etanol, Jurnal Teknik Kimia, Vol 16(4). Moulana, R., Juanda., Syafirah, R., dan Ria, R., 2012, Efektivitas Penggunaan Jenis Pelarut dan Asam Dalam Proses Ekstraksi Pigmen Antosianin Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L), Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia, Vol 4(3). Markakis, 1982. Anthocyanins as Food Additives. Di dalam Anthocyanins as Food Colors. Markakis, P. (ed). 1982. Academic Press. New York Neliyanti., dan Nora, I., 2014, Ekstraksi dan Uji Stabilitas Zat Warna Alami Dari Buah Lakum (Cayratia trifolia (L.) Domin), JKK, Vol 3(2). Moss BW. 2002. The Chemistry of Food Colour. Didalam : D.B MacDaugall (ed) Colour in food : Improving Quality. Washingtong : CRC Press. Panjaitan EN, A., dkk, 2012. Formulasi gel dari ekstrak rimpang jahe merah (Zingiber officinale Roscoe). Journal of Pharmaceutics and Pharmacology. (1): 9-20 Putri., dkk, 2015. Ekstraksi Pewarna Alami Daun Suji, Kajian Pengaruh Blanching dan Jenis Bahan Pengestrak. Jurnal Teknologi Pertanian 4(1) : 13-24. Rowe,, R.C., Paul, J.S., dan Marian, E.Q., 2009, Handbook Of Pharmaceutical Excipients Sixth Edition, Pharmaceutical Press, Chicago, London. Rukmana, R, 1997. Jambu Air (Tabulampot). Yogyakarta: Kanisius. Sadeli. R.A, 2016, Uji Aktivitas Antioksidan Dengan Metode Dpph Ekstrak Bomelain Buah Nanas, Skripsi
36
Sadiyah, Esti, RachmawatidanKodir, Reza, Abdul, 2012. Studi Awal Kandungan Antosianin Pada Buah Cantigi Ungu (Vaccinium Varingiaef Folium (BL.) MIQ) yang Berpotensi Sebagai Suplemen Antioksidan.Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Andalas.ISSN. 3(1): 95-100 Salamah, 2015. aktivitas antioksidan ekstrak metanol daun kelengkeng (euphoria longan (l) steud.) dengan metode penangkapan radikal 2,2’-difenil-1pikrilhidrazil. Pharmaҫiana, Vol. 5, No. 1, 2015: 25-34 Sudjadi, 1988, Metode Pemisahan Kimia, Kanisius, Yogyakarta. Suzery, M., Sri, L., dan Bambang, C., 2010, Penentuan Total Antosianin Dari Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L) dengan Metode Maserasi dan Sokhletasi, Jurnal Sains & Matematika, Vol 18(1). Tukiran, Andika, P. W., Ela, N., Ayu, S., dan Nurul, H., 2016, Analisis Awal Fitokimia pada Ekstrak Metanol Kulit BatangTumbuhan Syzygium (Myrtaceae), Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Workshop 2016, ISBN: 978-602-0951-12-6. Voight, 1995. Textbook of Pharmaceutical Technology, 5ed,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
37