BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada pihak-pihak di luar korporasi. Dalam laporan keuangan berisi ringkasan dari proses pencatatan transaksi-transaksi keuangan yang terjadi selama tahun buku bersangkutan. Pertimbangan seorang investor yang ingin mengambil sebuah keputusan bisnis salah satunya adalah dengan melihat dan menganalisis laporan keuangan perusahaan. Informasi dalam laporan keuangan merupakan salah satu tolak ukur dalam kinerja suatu perusahaan. Dengan disediakannya laporan keuangan maka keadaan ekonomi perusahaan dapat tercermin dalam laporan keuangan tersebut. Unsur yang sering menjadi perhatian pihak diluar korporasi dalam laporan keuangan adalah unsur laba. Parameter yang digunakan untuk mengukur kinerja manajemen dalam laporan keuangan adalah informasi laba yang terkandung dalam laporan Laba/Rugi (Boediono, 2005). Dalam penyusunan laporan keuangan, manajer menggunakan dasar akrual karena dianggap lebih rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi keuangan perusahaan secara riil. Akuntansi berbasis akrual memiliki keunggulan bahwa informasi dari laba perusahaan dan pengukuran komponen-komponennya yang berdasarkan akuntansi akrual secara umum dapat memberikan indikasi yang lebih baik mengenai kinerja ekonomi perusahaan dari pada informasi yang dihasilkan dari aspek penerimaan dan pengeluaran kas terkini (FASB, 1978). Namun, disisi lain penggunaan
1
akuntansi akrual juga memiliki kelemahan. Penggunaan dasar akrual dapat memberikan keleluasaan kepada pihak manajemen dalam memilih metode akuntansi. Keleluasaan ini tentu menjadi hal yang menguntungkan bagi manajemen apabila tidak tercapainya target laba yang diinginkan. Manajemen akan menggunakan metode-metode akuntansi tersebut selama tidak menyimpang dari aturan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Metode akuntansi yang dapat dipilih pihak manajemen untuk mengatasi tidak tercapainya target laba tertentu salah satunya dengan pengelolaan terhadap angka laba yang dikenal dengan praktik manajemen laba (earnings management). Menurut Schipper (1989), Earnings management is a purpose intervention in the external financial reporting process, with the intent of obtaining some private gain, opposed to say, merely faciliting the neutral operation of the process. Manajemen laba merupakan dampak dari luasnya prinsip serta metode akuntansi yang berterima umum. Jika terdapat suatu kondisi dimana pihak manajemen tidak dapat mencapai target laba yang diinginkan, maka manajemen memanfaatkan fleksibilitas yang diperbolehkan dalam standar akuntansi dalam melaporkan laba perusahaan. Tindakan ini dilakukan manajemen untuk memperlihatkan kinerja yang baik dalam perusahaan. Hal ini tentu berdampak buruk bagi pengguna laporan keuangan, dimana dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan apabila digunakan dalam pengambilan keputusan.
2
Menurut Hanum (2009) Sampai saat ini manajemen laba merupakan area yang paling kontroversial dalam akuntansi keuangan. Pihak yang kontra terhadap manajemen laba seperti investor, berpendapat bahwa manajemen laba merupakan pengurangan keandalan informasi laporan keuangan sehingga dapat menyesatkan dalam pengambilan keputusan. Di lain sisi, pihak yang pro terhadap manajemen laba seperti manajer, menganggap bahwa manajemen laba merupakan hal yang fleksibel untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian yang tidak terduga. Pada penelitian ini, penulis menggunakan discreatinary accrual sebagai proksi dari manajemen laba. Discretionary accruals merupakan komponen akrual yang berasal dari manajemen laba yang dilakukan oleh manajer. Tindakan manajemen laba dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu akibat adanya asimetri informasi, pemberian kompensasi bonus dan ukuran perusahaan. Keberadaan asimetri informasi dianggap sebagai penyebab manajemen laba. Richardson (1998), dalam Rahmawati dkk (2007) berpendapat bahwa terdapat hubungan yang sistematis antara asimetri informasi dengan tingkat manajemen laba. Asimetri informasi merupakan penyebab dari adanya teori keagenan (Agency Theory), yaitu manajer (agent) diberikan wewenang oleh pemilik atau pemegang saham untuk mengatur perusahaan yang dimilikinya. Teori keagenan menyatakan bahwa perusahaan yang memisahkan fungsi pengelolaan dan kepemilikan akan rentan terhadap konflik keagenan (Jensen and Mackling, 1976). Asimetri informasi muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan bagaimana prospek perusahaan dimasa yang akan datang
3
dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. Principal tidak mengetahui dengan pasti mengenai kinerja agent serta bagaimana usahanya dalam memberikan kontribusi terhadap hasil aktual dari perusahaan. Hal tersebut menyebabkan manajer selaku agent yang mengetahui informasi internal lebih banyak menyampaikan informasi yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi perusahaaan yang sebenarnya karena manajer cenderung melaporkan sesuatu yang bertujuan memaksimalkan utilitasnya. Asimetri informasi diukur dengan menggunakan Relative Bid-ask Spread. Dimana asimetri informasi dilihat dari selisih harga saat ask dengan harga bid saham perusahaan atau selisih harga jual dan harga beli saham perusahaan selama satu tahun (Healy, 1999) dalam Rinita Mayanda (2008:46). Disisi lain, terdapat faktor yang dapat memotivasi manajemen dalam melakukan manajemen atau manipulasi laba. Salah satunya yaitu kompensasi bonus. Watss & Zimmerman (1986) menjelaskan bahwa perilaku manajemen laba ini dapat dijelaskan melalui hipotesis yang terdapat dalam positive accounting theory. Hipotesis yang mempengaruhi perilaku manajemen laba tersebut yaitu hipotesis bonus plan hypothesis, yang mana perusahaan yang merencanakan pemberian bonus akan cenderung menggunakan metode akuntansi ini untuk dapat memaksimalkan income masa kini atau tahun berjalan mereka. Manajer perusahaan dengan rencana bonus akan berusaha mengatur laba yang dilaporkannya agar dapat memaksimalkan bonus yang akan diterimanya.
4
Melihat beberapa kasus manajemen laba yang terjadi hingga saat ini, dapat dilihat bahwa praktik manajemen laba tidak hanya terjadi pada perusahaan-perusahaan menengah ke bawah, tetapi juga terjadi pada perusahaan besar. Berdasarkan kasus tersebut menyimpulkan bahwa ukuran perusahaaan juga ikut mempengaruhi tindakan manajemen laba. Mpaata dan Sartono (1997) mengatakan bahwa besaran perusahaan atau skala perusahaan adalah ukuran perusahaan yang ditentukan dari jumlah total asset yang dimiliki perusahaan. Choi (2002). Penelitian Defond (1993) dalam Hanum (2009) mengatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Perusahaan yang lebih besar memiliki dorongan untuk melakukan earning management dibandingkan perusahaan-perusahaan kecil karena perusahaan besar dipandang lebih kritis oleh pihak luar dan perusahaan besar harus mamapu memenuhi ekspektasi dari investor atau pemegang sahamnya. Penelitian ini bersifat empiris, dimana perusahan yang akan diteliti adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2013-2017. Manajemen laba yang akan digunakan pada penelitian ini adalah manajemen laba akrual. Beberapa penelitian terkait dengan manajemen laba telah dilakukan dengan variabel yang sangat variatif dan menujukkan hasil yang berbeda-beda. Dalam penelitian yang dilakuan oleh Muliati (2011) mengenai pengaruh asimetri informasi dan ukuran perusahaan terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan perbankan, dimana penelitian tersebut menunjukkan bahwa variabel independen
5
asimetri informasi berpengaruh positif pada praktik manajemen laba dan variabel ukuran perusahaan terbukti berpengaruh negatif pada praktik manajemen laba. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian Muliati (2011) yaitu dilihat dari perusahaan yang akan diteliti, dimana penelitian ini dilakukan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Terkait dengan kompensasi bonus, penelitian yang dilakukan oleh Pujiati dan Arafan (2013) menjelaskan bahwa kompensasi bonus tidak berpengaruh signifikan terhadap praktik manajemen laba. Lain halnya mengenai bentuk hubungan asimetri informasi dan kompensasi bonus yang dilakukan oleh Yustiningarti dan Asyik (2017) yang menyatakan bahwa keduanya berpengaruh
positif
signifikan
terhadap
manajemen
laba.
Ketidakkonsistenan dari hasil penelitian terdahulu dan fenomena kasus yang terkait praktik manajemen laba, menjadi latar belakang dilakukannya penelitian ini. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: 1.
Apakah asimetri informasi berpengaruh terhadap praktik manajemen laba?
2.
Apakah kompensasi bonus berpengaruh terhadap praktik manajemen laba?
3.
Apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap praktik manajemen laba?
6
1.3
Tujuan penelitian Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1.
Untuk menguji dan memperoleh bukti empiris adakah pengaruh asimetri informasi pada praktik manajemen laba.
2.
Untuk menguji dan memperoleh bukti empiris adakah pengaruh kompensasi bonus pada praktik manajemen laba.
3.
Untuk menguji dan memperoleh bukti empiris pengaruh ukuran perusahaan pada praktik manajemen laba.
1.4
Manfaat penelitian Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1.
Bagi Investor Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar masukan, acuan serta pertimbangan bagi para investor dalam pengambilan keputusan investasi saham, terutama dalam menilai kualitas laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan, serta seberapa berpengaruh asimetri informasi, kompensasi bonus dan ukuran perusahaan terhadap praktik manajemen laba sehingga dapat mengoptimalkan keuntungan dan meminimalkan resiko investasi.
2.
Bagi Akademisi Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dan pedoman bagi peneliti di masa yang akan datang yang juga tertarik untuk membahas permasalahan yang diangkat dalam
7
penelitian dan meningkatkan perkembangan terhadap teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu teori keagenan. 3. Bagi Regulator Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan serta referensi bagi para regulator dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan perusahaan untuk membuat regulasi mengenai pelaporan tahunan perusahaan. 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah yang akan diteliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II : LANDASAN TEORI Bab ini berisi pemaparan tentang tinjauan literatur yang terkait dengan topik penelitian, penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan topik penelitian, kerangka pemikiran penelitian serta hipotesis penelitian. BAB III : METODOLOGI PENELITIAN Bab ini berisi tentang desain penelitian, populasi dan sampel, jenis dan sumber data, variabel dan definisi operasionalnya, dan metode analisis data yang terdiri dari pengujian data dan pengujian hipotesis. 8
BAB IV : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan hasil dari pengumpulab data, analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan hasil analisis. BAB V : PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan, keterbatasan, serta saran mengenai hasil penelitian.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan (agency theory) Jika berbicara mengenai tindakan manajemen laba maka hal tersebut tidak lepas dari teori keagenan (agency theory). Jensen dan Meckling (1976) dalam Rahmawati, dkk. (2006) menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak yang terjadi antara manajer (agent) dengan pemilik perusahaan atau pemegang saham (principal). Principal selaku pemilik perusahaan memberikan tanggungjawab kepada manajer (agent) dalam hal decision making, dengan kata lain principal memberikan amanah kepada manajer untuk melaksanakan tugas tertentu yang sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakti. Teori keagenan menyatakan bahwa terjadinya praktik manajemen laba merupakan pengaruh dari koflik yang terjadi antara agent dan principal dalam mencapai tujuan serta memaksimumkan utility masing-masing. Adanya perbedaan kepentingan antara manajer dan pemilik ini yang melandasi adanya tindakan manajemen laba. Perbedaan kapasitas informasi yang dimiliki tiap-tiap pihak dapat menjadi faktor adanya ketidaksinambungan tujuan antara agent dan principal, dimana agent memiliki informasi yang lebih banyak (full information) mengenai perusahaan dibandingkan dengan principal yangmana dapat menimbulkan adanya asimetri informasi. 10
Eisenhardt
(1989)
dalam
Ujiyanto
dan
Bambang
(2007)
menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya. Adanya perbedaan tujuan keduanya mengakibatkan timbulnya kecendrungan manajer yang terlalu berfokus terhadap bagaimana perusahaan dapat mencapai target serta laba yang tinggi dalam jangka pendek daripada memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham. Ditambah lagi, pemegang saham sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena memiliki keterbatasan informasi. Tindakan manajemen yang hanya berfokus pada pencapaian target serta laba dapat mendorong manajer untuk memilih serta menerapkan metoda akuntansi yang dapat memperlihatkan kinerja yang baik dari manajer. Salah datu tindakan tersebut dilakukan dengan memanipulasi angka laba pada laporan keuangan untuk tujuan mendapatkan bonus dari principal, tindakan ini yang disebut dengan manajemen laba (earnings management). 2.1.2 Teori Bid-Ask Spread
11
Asimetri informasi dapat diukur dengan menggunakan Relative Bid-ask Spread. Dimana, asimetri informasi dilihat dari selisih harga saat ask dengan harga bid saham perusahaan atau selisih harga jual dan harga beli saham perusahaan dalam trader atau bisa disebut juga dengan spread. Jika seorang investor ingin membeli atau menjual suatu saham atau sekuritas lain di pasar modal, biasanya investor akan melakukan transaksi tersebut melalui broker atau dealer yang memiliki kemampuan lebih atau spesialisasi dalam suatu sekuritas. Harga yang di berikan saat kita akan membeli (transaksi long atau buy) di satu pair mata uang disebut dengan bid. Sedangkan ask adalah sebaliknya, yaitu harga yang diberikan saat kita akan bertransaksi jual (short atau sell) di satu pair mata uang. Patisipan pasar saling berinteraksi di pasar
modal guna
mewujudkan tujuannya yaitu membeli atau menjual sekuritasnya, sehingga aktivitas yang mereka lakukan selalu dipengaruhi dengan informasi yang mereka terima baik secara langsung (laporan publik) maupun tidak langsung (insider traders). Muliati (2011) mengatakan bahwa masalah keagenan juga dihadapi oleh partisipan pasar modal. Dealer atau market makers memiliki pola pikir yang terbatas terhadap persepsi masa depan dan menghadapi potensi kerugian ketika berhadapan dengan jnformed traders. Informed traders merupakan aktivitas perdagangan saham ataupun sekuritas tertentu oleh individu yang mempunyai akses tentang informasi non publik dari perusahaan
12
tersebut. Kerugian yang dihadapi dealer berdasar dari biaya yang perlu dikeluarkannyauntuk mendapatkan informasi lebih. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa, dalam menjalankan tugasnya dealer sering dihadapi dengan ketidakpastian yang disebabkan karena adanya ketidakseimbangan informasi. Adanya ketidakseimbangan informasi antara para pelaku pasar menyebakan timbulnya asimetri informasi yang mendorong market maker atau dealer untuk menutupi kerugian dari informed traders dengan meningkatkan spread terhadap pedagang likuid. Besarnya ketidakseimbangan informasi yang dihadapi dealer akan tercermin pada spread yang ditentukannya. Dealer selalu berusaha menentukan spread secara wajar dengan memperhatikan kejadian tertentu atau kondisi atau informasi apa saja yang memberikan sinyal mengenai surat berharga yang dimilikinya. Ketika terdapat asimetri informasi, keputusan pengungkapan yang dibuat oleh manajer dapat mempengaruhi harga saham karena asimetri informasi antara investor yang lebih informed dan kurang informed akan menimbulkan biaya transaksi dan mengurangi likuiditas dalam pasar saham suatu perusahaan. Literatur mikrostruktur dalam Rahmawati, dkk (2006)menyatakan bahwa terdapat suatu komponen spread yang memberikan kontribusi terhadap kerugian yang dialami dealer ketika bertransaksi dengan pedagang terinformasi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Biaya pemrosesan pesanan (order processing cost), terdiri dari biaya yang dibebankan oleh pedagang sekuritas (efek) atas
13
kesiapannya mempertemukan pesanan pembelian dan penjualan, dan kompensasi untuk waktu yang diluangkan oleh pedagang sekuritas guna menyelesaikan transaksi. 2. Biaya penyimpanan persediaan (inventory holding cost), yaitu biaya yang ditanggung oleh pedagang sekuritas untuk membawa persediaan saham agar dapat diperdagangkan sesuai permintaan. 3. Adverse
selection
component,
menggambarkan
suatu
upah
(reward) yang diberikan kepada pedagang sekuritas untuk mengambil suatu resiko ketika berhadapan dengan investor yang memiliki informasi superior. Komponon ini terkait erat dengan arus informasi di pasar modal. Glosten Harris (1988) dalam menemukan bukti bahwa perubahan spread saham biasa dalam jumlah yang signifikan diakibatkan oleh asimetri informasi. Hal tersebut yang menyebabkan spread dapat digunakan sebagai proksi kesetimbangan informasi yang dihadapi partisipan pasar modal. 2.1.3 Manajemen laba (earnings management) 2.1.3.1. Pengertian manajemen laba Menurut Scott (2000) terdapat dua pemahaman terhadap manajemen laba. Pertama, melihat manajemen laba sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kompensasi, kontrak utang dan political costs (opportunistic earnings management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (efficient
14
earnings management), dimana manajemen laba memberikan suatu fleksibilats kepada manajer untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar perusahaannya melalui tindakan manajemen laba, misalnya dengan melakukan perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu. Pada dasarnya, terdapat beberapa pendapat lain mengenai pengertian dari manajemen laba, diantaranya: Sugiri (1998) dalam Widyaningdyah (2001) menyatakan bahwa membagi definisi earnings management menjadi dua, yaitu: 1. Definisi sempit Earnings management dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Earnings management dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk “bermain” dengan komponen discretionary accruals dalam menentukan besarnya earnings. 2. Defenisi luas Earnings management merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut.
15
Scott (2009) mandefinisikan manajemen laba sebagai berikut: “Earning management is the choice by manager of accounting policies so as to achieve some specific objective” Penyataan tersebut menjelaskan bahwa bahwa manajemen laba adalah suatu tindakan manajer yang dilakukan melalui pilihan kebijakan akuntansi untuk memperoleh tujuan tertentu. Menurut Kieso (2011) manajemen laba adalah sebagai berikut: “Earning management is often defined as the planned timing of revenues, expense, gains and losses to smooth out bumps in earnings” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa manajemen laba sering didefinisikan sebagai perencanaan waktu dari pendapatan, beban, keuntungan dan kerugian untuk meratakan fluktuasi laba. Menurut Charless W.Mulford dan Eugene E.Comiskey (2010) mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut: “Manajemen laba adalah memanipulasi akuntansi dengan tujuan menciptakan kinerja perusahaan agar terkesan lebih baik dari yang sebenarnya” Dari beberapa pendapat mengenai pengertian manajemen laba dapat disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan suatu intervensi atau tindakan memanipulasi laba pada laporan keuangan yang dilakukan manajer selaku agent yang menjalankan segala proses bisnis perusahaan sesuai kontrak yang disepakati dengan principal (pemilik atau pemegang saham) dengan tujuan untuk
16
meningkatkan utilitasnya demi mendapatkan kompensasi serta keuntungan pribadi, dimana dapat merugikan serta menyesatkan stakeholder
mengenai
kinerja
ekonomi
perusahaan
yang
sesungguhnya. 2.1.3.2 Pola Manajemen Laba Scott (2000) menyatakan bahwa terdapat beberapa pola dalam manajemen laba, diantaranya: a. Taking a bath Pola ini terjadi ketika adanya tekanan organisasi atau pada saat terjadinya reorganisasi termasuk pengankatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Pola manajemen ini dilakukan dengan cara menjadikan laba perusahaaan pada periode berjalan menjadi sangat rendah atau tinggi dibandingkan dengan laba pada periode sebelumnya. Teknik taking a bath mengakui adanya biaya-biaya yang terdapat pada periode yang akan datang dan kerugian pada periode berjalan ketika terjadinya keadaan buruk yang tidak menguntungkan dan tidak dapat dihindari perusahaan pada periode berjalan. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa yang akan datang. b. Income Minimization Pola manajemen ini dilakukan dengan cara menjadikan laba pada pelaporan keuangan periode berjalan lebih rendah daripada laba sesungguhnya. Pola ini dilakukan pada saat perusahaan
17
memiliki tingkat probabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya. c. Income Maximization Pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan laba pada laporan keuangan periode berjalan lebih tinggi daripada laba sesungguhnya. Pola ini dilakukan pada saat laba menurun. Dimana, hal ini bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan mendapatkan bonus yang lebih besar. d. Income Smoothing Income Smoothing disebut juga perataan laba. Pola ini dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil. 2.1.3.3 Motivasi Manajemen Laba Scott (2000) mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba, diantaranya: a. Bonus Purposes atau motivasi bonus Ini merupakan perluasan dari hipotesis rencana bonus (bonus plan hypothesis), dimana manajer perusahaan dengan rencana bonus
lebih
bertindak
secara
oportunistic
dengan
memaksimalkan laba saat ini untuk kepentingan bonusnya.
18
b. The debt covenant hypotesis Manajemen akan berusaha untuk meningkatkan laba agar tidak melangar perjanjian kredit yang telah dilakukan serta demi menjaga nama baik dan reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal. c. Political Motivations atau motivasi politik Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat. Upaya ini dilakukan degan harapan memperoleh kemudahan serta fasilitas dari pemerintah. d. Taxation Motivations Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan
tujuan
penghematan
pajak
pendapatan
atau
meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar. e. Pergantian CEO CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan. f. Initital Public Offering (IPO)
19
Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, hal tersebut menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka dengan harapan bahwa mereka dapat menaikkan harga saham perusahaan. Roychowdhury (2006) membagi manajemen laba menjadi dua kategori, yaitu: a. Manajemen laba akrual Manajemen laba akrual merupakan tindakan intervensi manajemen dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan tertentu (Schipper, 1989). Tindakan ini secara akrual dilakukan pada akhir periode. Sulistyanto (2008) mengatakan bahwa akrual merupakan selisih antara kas masuk bersih dari operasi perusahaan dengan laba yang dilaporkan dalam laporan laba rugi yang bersifat discreationary accruals dan non-discreationary accruals. Discreationary accruals merupakan pengakuan akrual yang bebas, dimana tidak diatur karena manajemen dapat memilih kebijakan yang akan digunakan, contohnya kebebasan dalam metode penentuan estimasi umur aset tetap, metode depresiasi aset tetap, persentase jumlah piutang tak tertagih, dan metode penentuan jumlah persediaan. Discreationary accruals memungkinkan adanya kesempatan bagi manajemen dalam memodifikasi laporan keuangan untuk
20
menghasilkan jumlah laba yang diharapkan. Dengan demikian, discreationary accruals dapat digunakan sebagai proksi untuk menilai adanya manajemen laba akrual. Non-discretionary accruals merupakan pengakuan akrual yang wajar dan disesuaikan dengan standar-standar akuntansi yang berlaku umum. Contohnya, ketika aset semakin besar maka akrual terkait aset seperti depresiasinya juga akan semakin besar. b. Manajemen laba riil Manajemen laba riil dapat dilakukan pada periode berjalan. Tindakan ini menyimpang dari praktik bisnis yang umumnya terjadi, hal tersebut dikarenakan manajemen memiliki tanggung jawab untuk dapat memenuhi target laba yang ditentukan. Contohnya, penundaan promosi produk dan mempercepat kegiatan penjualan dengan adanya diskon besar-besaran (Sulistiawan, dkk, 2011). 2.1.3.4 Model Pengukuran Manajemen Laba Pengukuran manajemen laba dapat dilakukan dengan lima model yang digunakan sebagai perbandingan, yaitu: a. Model Healy (1985), pengujian Healy untuk manajemen laba dilakukan dengan cara membandingkan rata-rata total akrual (dibagi total aktiva periode selanjutnya). b. Model DeAngelo (1986), pengujian dengan menghitung perbedaan awal pada total akrual dengan asumsi bahwa
21
perbedaan pertama tersebut diharapkan nol, yang berarti tidak terdapat manajemen laba. Model ini menggunakan akrual periode lalu (dibagi total aktiva periode sebelumnya) sebagai ukurannon-discreationary accruals. c. Model Jones (1991), Jones mengusulkan sebuah model yang menolak asumsi bahwa non-discreationary accruals bersifat konstan. Model ini mencoba mengontrol efek perubahan pada lingkungan ekonomi perusahaan terhadap non-discreationary accruals. d. Model Industri (1991), Dechow dan Sloan (1991) menyusun model ini dimana serupa dengan model jones. Model ini mengasumsikan
bahwa
variasi
determinan
dari
non-
discreationary accruals adalah sama pada semua jenis industri yang sama. Pengujian dilakukan untuk mengetahui kemampuan model dengan menerapkan pengujian statistik. e. Model Modifikasi Jones (1995), modelini merupakan model yang dibuat untuk mengeliminasi tendensi konjungtor yang terdapat pada Model Jones. 2.1.4 Asimetri Informasi (asymmetry information) Laporan
keuangan
dibuat
dengan
tujuan
sebagai
sarana
pengkomunikasian informasi keuangan kepada berbagai pihak, baik itu pihak internal selaku manajer, karyawan, serta pihak lainnya maupun pihak eksternal (diluar korporasi). Pihak yang paling berkepentingan dengan laporan keuangan adalah pihak eksternal yaitu
22
pemegang saham, kreditur, pemerintah, masyarakat. Pihak eksternal memerlukan informasi laporan keuangan karena mereka tidak mengetahui secara langsung segala peristiwa serta aktivitas-aktivitas yang terjadi pada perusahaan dan prosepek perusahaan kedepannya. Akibatnya, pengguna eksternal memiliki tingkat ketergantungan yang lebih besar terhadap informasi akuntansi dibandingkan dengan pihak internal perusahaan. Adanya perbedaan terhadap kepemilikan informasi perusahaan menyebabkan terjadinya asimetri informasi (information asymmetry). Asimetri informasi adalah suatu keadaan dimana manajer (agent) mempunyai informasi yang lebih banyak mengenai perusahaan serta prospek perusahaan dimasa yang akan datang dibandingkan pihak luar (principal). Menurut Beaver yang terdapat dalam Santoso (2012): “Asimetri informasi adalah istilah untuk menggambarkan adanya dua kondisi investor dalam perdagangan saham yaitu investor yang more informed dan investor yang less informed.” Pengertian asimetri informasi menurut Scoot (2009) sebagai berikut : “Frequently, one type of participant in the market (sellers, for example) will know something about the assets being traded the another type of participant (buyers) does not know. When this situation exits, the market is said to be characterized by information asymmetry”
23
Pernyataan
tersebut
menjelasksn
bahwa,
asimetri
informasi
merupakan keadaan dimana salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut memiliki keunggulan dan kelebihan informasi mengenai aset yang diperdagangkan dibandingkan dengan pihak lain. Kondisi
ini
memberikan
peluang
kepada
agent
untuk
menggunakan informasi yang diketahuinya untuk memanipulasi laporan keuangan sebagai usaha memaksimalkan kemakmurannya. Jensen dan Meckling (1976) dalam Rahmawati, dkk (2006) menambahkan bahwa jika kedua kelompok (agen dan prinsipal) tersebut
adalah
orang-orang
yang
berupaya
memaksimalkan
utilitasnya, maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal. Terdapat dua asimetri informasi, diantaranya: 1. Adverse selection Adverse selection yaitu dimana, para manajer serta pihak-pihak dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak informasi mengenai keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan dengan pihak luar, sehingga terdapat fakta-fakta yang mungkin tidak disampaikan kepada principal. 2. Moral hazard Moral hazard yaitu dimana, tindakan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak sepenuhnya diketahui oleh investor (pemilik atau pemegang saham), sehingga manajer memiliki kesempatan untuk
24
dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak yang secara etika dan norma tidak layak dilakukan oleh seorang manajer. Moral hazard dapat terjadi karena adanya pemisahan kepemilikan dengan pengendalian perusahaan yang merupakan karakteristik dari perusahaan-perusahaan besar. 2.1.5 Kompensasi Bonus Kompensasi bonus merupakan salah satu dari faktor yang dapat mendorong manajer melakukan praktik manajemen laba. Hal tersebut didorong dengan adanya teori akuntansi positif dalam bonus plan hypothesis, yang menyatakan bahwa manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih terobsesi pada metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba periode berjalan. Menurut Pujianti &Arfan (2013), kompensasi bonus merupakan suatu kebijakan yang diberikan kepada manajer yang didasarkan pada hasil kinerjanya demi mencapai tujuan perusahaan. Mayangsari (2015) juga menyatakan bahwa kompensasi merupakan bentuk penghargaan atau balas jasa yang diberikan oleh perusahaan baik yang berbentuk finansial ataupun barang dan jasa pelayanaan dengan tujuan dapat menghargai kinerja yang dilakukan. Dari beberapa uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa kompensasi perusahaan merupakan bentuk penhargaan yang diberikan oleh perusahaan kepada pihak manajemen diluar gaji pokok bulanan, yaitu dapat berupa finansial, barang dan jasa pelayanan berdasarkan kinerja yang telah diberikan pihak manajemen.
25
Menurut Ningsaptiti (2010) Dalam kontrak bonus dikenal dua istilah yaitu bogey (tingkat laba terendah untuk mendapatkan bonus) dan cap (tingkat laba tertinggi). Jika laba berada di bawah bogey, maka tidak akan ada bonus yang diperoleh manajer sebaliknya jika laba berada di atas cap, maka manajer juga tidak akan mendapat bonus tambahan. Jika laba bersih berada di bawah bogey, manajer cenderung memperkecil laba dengan harapan memperoleh bonus lebih besar pada periode berikutnya, begitu pula sebaliknya. Jadi manajer hanya akan menaikkan laba jika laba bersih berada diantara bogey dan cap. 2.1.6 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan
merupakan suatu
skala dimana suatu
perusahaan dapat diklasifikasikan sebagai perusahaan yang besar atau kecil menurut berbagai cara, diantaranya yaitu total aktiva, nilai pasar saham dan lain-lain. Pada penelitian ini ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan total aktiva. Semakin besar suatu perusahaan maka makin besar pula tingkat kepentingan dari masing-masing pihak. Kebutuhan akan informasi akuntansi terhadap perusahaan yang besar akan semakin komplit. Ukuran
perusahaan
merupakan
salah
satu
faktor
yang
dipertimbangkan oleh investor dalam melakukan investasi. Hal tersebut dikarenakan perusahaan yang besar dianggap lebih berpotensi dan memiliki kedewasan, dengan kata lain perusahaan yang besar memiliki prospek kedepan yang lebih matang dibandingkan dengan
26
perusahaan kecil, hal tersebut mencerminkan perusahaan relatif stabil dan mampu menghasilkan laba yang baik. Selain terhadap investor ukuran perusahaan juga berdampak bagi pihak regulator (pemerintah). Dimana, perusahaaan yang besar akan berdampak terhadap besarnya pajak yang akan diterima negara serta seberapa efektifnya perusahaan berperan dalam pemberian perlingungan terhadap masayarakat secara umum. Machfoedz (1994) dalam Muliati (2011) menejelaskan bahwa pada dasarnya ukuran perusahan hanya terbagi dalam 3 katagori yaitu perusahaan besar (large firms), perusahaan sedang (medium firms), perusahaan kecil (small firms). Penentuan ukuran perusahaan ini adalah bedasarkan kepada total aktiva perusahaan. 2.2
Review Penelitian Terdahulu Muliati (2011) dalam penelitiannya mengenai pengaruh asimetri informasi dan ukuran perusahaan terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan yang tercatat di BEI tahun 2001-2008, menunjukan bahwa asimetri informasi berpengaruh terhadap praktik manajemen laba yang terjadi pada perusahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi asimetri informasi maka semakin tinggi peluang yang dimiliki manajer untuk melakukan praktik manajemen laba. Pada penelitian tersebut juga dikatakan bahwa ukuran perusahaan terbukti berpengaruh negatif pada praktik manajemen laba. Terdapat dua pandangan mengenai bentuk hubungan antara ukuran perusahaan dengan praktik manajemen laba. Pandangan pertama menurut Halim, dkk (2005) dalam Muliati (2011) dan
27
Sunaryo (2010) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan positif dengan praktik manajemen laba. Pandangan kedua menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan negatif dengan manajemen laba seperti yang disampaikan oleh Marrkchi (2001). Setyaningrum dan Aprillia (2011) menyimpulkan bahwa hasil penilitan yang didapatkannya mendukung penelitian Rahmawati, dkk (2006) dimana, asimetri informasi memberikan konstribusi nyata terhadap manajemen laba yang diproksikan dengan discreationary acrrual. Sedangkan pada ukuran perusahaan, dikatakan bahwa variabel tersebut memberikan konstribusi negatif terhadap manajemen laba. Begitupun juga hasil yang sama diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Dhaneswari dan Retnaningtyas (2013). Salah satu variabel dari penelitian sebelumnya (Wijaya & Yulius, 2014) yaitu pengaruh kompensasi bonus terhadap earnings management, memberikan hasil bahwa variabel tersebut memberikan pengaruh positif terhadap earnings management, yangmana juga berlaku pada penelitian yang dilakukan oleh Yustiningarti dan Asyik (2017). Penelitian tersebut tidak sejalan dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Puji dan Arafan (2013) serta Dustriyani dan Nazar (2015) dimana, mereka menyatakan bahwa kompensasi bonus tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, menurut Firdaus (2013) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa asimetri informasi tidak berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Temuan studi ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Healy et.al (2001) yang menilai
28
tentang information asymmetry, corporate disclosure, and the capital markets: A review of the empirical disclosure literature, yang menemukan bahwa asimetri informasi tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. 2.3
Pengembangan Hipotesis 2.3.1 Hubungan Asimetri Informasi dengan Manajemen Laba Adanya keberadaan asimeri informasi dianggap sebagai penyebab praktik
manajemen
laba.
Terdapat
bukti-bukti
empiris
menyatakan bahwa dengan adanya asimetri informasi
yang dapat
memberikan pengaruh terhadap manajemen laba. Muliati (2011), Santos (2012), Rizal (2017), Sunaryo (2010) dan Richardson (1998) dalam
penelitiannya
berpengaruh
terhadap
menunjukan praktik
bahwa
manajemen
asimetri
informasi
yang terjadi
pada
perusahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi asimetri informasi maka semakin tinggi peluang yang dimiliki manajer untuk melakukan praktik manajemen laba. Asimetri informasi timbul karena adanya dampak dari teori keagenan (agency theory) yang terjadi pada perusahaan. Dimana asimetri informasi muncul ketika manajer (agent) memiliki lebih banyak informasi terkait perusahaan serta prospek perusahaan tersebut dalam jangka panjang dibandingkan pemilik atau pemegang saham (principal). Dengan adanya asimetri informasi dapat mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak sebernanya terjadi pada perusahaan dengan tujuan memeperlihatkan kinerja yang baik dari perusahaan untuk memaksimalkan utilitas pribadinya. Ketika asimetri informasi
29
pada suatu perusahaan tinggi, maka pemegang saham atau stakeholder tidak memiliki sumber daya yang cukup atas informasi yang relevan dalam memonitori serta mengawasi tindakan manajer perusahaan. Cristie dan Zimmerman (1994) dalam Utari dan Maria (2016) membuktikan bahwa perusahaan yang melakukan takeover cenderung memilih metoda depresiasi dan metode pencatatan persediaan, yang dapat meningkatkan laba akuntansi. Berdasarkan penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa terdapat sikap opportunistic manajemen dalam kasus ambil alih perusahaan, sekalipun alasan utama pemilihan metode akuntansi didasarkan pada pertimbangan efisiensi atau pertimbangan memaksimalkan nilai perusahaan. H1 : Asimetri informasi berpengaruh positif terhadap manajemen laba. 2.3.2 Hubungan Kompensasi Bonus dengan Manajemen Laba Kompensasi bonus sebagai salah satu bentuk apresiasi atas kinerja manajemen dianggap sebagai pemicu adanya praktik manajemen laba. Artinya, bila manajer dapat mencapai standar yang telah ditetapkan maka manajer akan memperoleh tingkat bonus tertentu. Hak tersebut menyebabkan manajer berusaha untuk meningkatkan utilitasnya demi keuntungan pribadi. H2: Kompensasi bonus berpengaruh positif terhadap manajemen laba. 2.3.3 Hubungan Ukuran perusahaan dengan Manajemen Laba Suatu perusahaan yang lebih besar dianggap lebih memiliki potensi dan prospek kedepannya yang lebih matang dan jelas dibandingkan dengan perusahaan yang berskala kecil atau pun menengah.
30
Perusahaan yang besar relatif stabil dam mampu menghasilkan kinerja ekonomi yang baik serta memiliki pemegang kepentingan yang lebih luas pula, hal tersebut menyebabkan berbagai kebijakan yang ditetapkan perusahaan besar akan berdampak lebih besar terhadap kepentingan publik. Total nilai aktiva dipakai sebagai tolak ukur dari ukuran perusahaan. Perusahaan yang besar diidentikkan dengan nilai aktiva yang besar pula. Hal tersebut yang menjadi pemicu manajer melakukan praktik manajemen laba dengan anggapan bahwa pemegang kepentingan masih mendasarkan penilaian terhadap suatu perusahaan dengan menilai total dari nilai aktiva suatu perusahaan. Ada dua pandangan mengenai bentuk hubungan antara ukuran perusahaan dengan praktik manajemen laba. Pandangan pertama menurut Halim, dkk (2005) dalam Muliati (2011) dan Sunaryo (2010) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan positif dengan praktik manajemen laba. Pandangan kedua menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan negatif dengan manajemen laba seperti yang dilakukan oleh Marrkchi (2001). H2 : Ukuran perusahaan (firm size) berpengaruh positif terhadap manajemen laba. 2.4
Kerangka Pemikiran Teoritis Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disusun kerangka pemikiran dari penelitian seperti yangtampak pada gambar dibawah ini:
31
Gambar 1 Kerangka Teoritis Variabel Independen
Variabel Dependen
Asimetri Informasi (asymmetry information) Manajemen Laba (earnings management)
Asimetri Informasi (asymmetry information) Asimetri Informasi (asymmetry information)
32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Populasi dan Sampel Populasi adalah keseluruhan objek yang ingin diteliti. Nawawi (Margono, 2004: 118) menyebutkan bahwa populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuhtumbuhan, gejala-gejala, nilai tes, atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karaktersitik tertentu di dalam suatu penelitian. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2013-2017. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Menurut Erlina (2011) purposive sampling adalah metode pengambilan sampel berdasarkan suatu kriteria tertentu. Kriteria dari pengambilan sampel sebagai berikut: 1.
Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2013-2017.
2.
Perusahaan yang mempublikasikan laporan keuangan untuk periode 31 Desember 2013-2017. Laporan keuangan harus tersedia berturutturut untuk menghitung manajemen laba.
3.
Perusahaan yang menyajikan data harga saham selama periode estimasi dan pengamatan.
3.2
Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan data sekunder berupa laporan keuangan dan daftar harga saham harian perusahaan manufaktur yang
33
terdaftar di BEI selama periode 2013-2017. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu data yang telah disediakan oleh pihak ketiga dan tidak berasal dari sumber langsung. Data tersebut data yang diperoleh melalui situs: http//www.idx.co.id dan Indonesian Capital Market Dierctory (ICMD). 3.3
Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, sehingga metoda pengumpulan data yang digunakan adalah metoda pengumpulan data arsip(archival), yaitu metoda pengumpulan data di basis data. Data tersebut berupa laporan keuangan dan daftar harga saham perusahaan manufakturyang terdaftar diBursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2013-2017.
3.4
Model Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi linar berganda. Analisis regresi linear berganda digunakan untuk menguji apakah terdapat pengaruh antara variabel independen terhadp variabel dependen. Persamaan regresi dengan linear berganda dalam penelitian ini adalah: Y = α + β1X1 + β2X2 + e Dimana, Y : Manajemen laba (earnings management) α : Nilai konstanta β : Koefisien regresi X1 : Asimetri informasi (asymmetry information)
34
X2 : Ukuran perusahaan (firm size) 3.5
Variabel Penelitian 3.5.1 Variabel Dependen Sugiyono (2009:38) menjelaskan bahwa variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh formasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah manajemen laba (earnings management). Penelitian ini berfokus kepada penghitungan manajemen laba dengan menggunakan manajemen laba akrual perusahaan. Hal ini dikarenakan manajemen laba akrual telah diselesaikan perhitungannya pada tahun tersebut, sehingga data yang digunakan merupakan data yang kemungkinan sudah dilakukan manajemen laba oleh perusahaan pada saat tahun tersebut. Dalam penelitian ini discretonary accrual (DAC) digunakan sebagai proksi karena merupakan komponen yang dapat dimanipulasi oleh manajer. Discreationary accruals dihitung dengan menggunakan modified jones model. Model ini digunakan karena dianggap sebagai model yang paling baik dalam mendeteksi manajemen laba dan dapat memberikan hasil yang kuat (Yustiningarti, 2017). Berikut langkah-langkah mengitung discreationary accruals: a. Berikut cara menghitung total akrual (TAC):
35
Selanjutnya, menghitung nilai akrual yang diestimasi dengan persamaan regresi OLS (Ordinary Least Square):
b. Menghitung nondiscretionary accruals model (NDA) adalah sebagai berikut:
c. Menghitung discretionary accruals
Dimana, DAit
: discreationary accruals perusahaan i dalam periode tahun t
NDAit
: non discreationary accruals perusahaan i dalam periode tahun t
TAit
: total akrual perusahaan i dalam periode tahun t
NIit
: laba bersih perusahaan i dalam periode tahun t
CFOit
: arus kas dari aktivitas operasi perusahaan i dalam periode tahun t
Ait-1
: total assets perusahaan i dalam periode tahun t-1
∆Revit : pendapatan perusahaan i pada tahun t dikurangi dengan pendapatan perusahaan i pada tahun t-1
36
∆Recit
: piutang usaha perusahaan i pada tahun t dikurangi pendapatan perusahaan i pada tahun t-1
PPEit
: property, pabrik, dan peralatan perusahaan i dalam periode tahun t
ε
: error term perusahaan i padaperiode t
3.5.2 Variabel Independen Variabel independen (variabel bebas) merupakan variabel yang mempengaruhi variabel lain atau menjadi faktor penyebab berubahnya variabel lain. Variabel independen pada penelitian ini adalah asimetri informasi (asymmetry information), kompensasi bonus dan ukuran perusahaan (firm size). Asimetri informasi diukur dengan menggunakan relative bid-ask spread yang dioperasikan sebagai berikut: SPREAD = (aski,t – bidi,t)/{(aski,t + bidi,t)/2} x 100 Dimana, Aski,t
: harga ask tertinggi saham perusahaan i yang terjadi pada periode t
Bidi,t
: harga bid terendah saham perusahaan i yang terjadi pada periode t
Kompensasi bonus terdiri dari segala
imbalan yang diberikan
kepada manajer dalam bentuk finansial ataupun non finansial diluar gaji pokok. Kompensasi bonus diukur dengan menggunakan skala dummy, dimana perusahaan yang memberikan kompensasi bonus
37
diberi nilai 1 dan perusahaan yang tidak memberikan kompensasi bonus akan diberi angka 0. Ukuran perusahaan diukur dengan besarnya aset yang dimiliki perusahaan atau total nilai aktiva perusahaan. Pengukuran variabel ini menggunakan nilai logaritma dari total aktiva, dapat dituliskan sebagai berikut: SIZE = log (Total Aktiva) 3.6
Teknik Analisis Data 3.6.1 Analisis Statistik Deskriptif Analisis statisitk deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku secara umum atau generalisasi. Analisis ini dilakukan dengan cara melihat tabel statistik deskriptif yangmenunjukkan hasil pengukuran mean, sum, standar deviation, nilai minimum dan maksimum dari semua variabel yang diuji. 3.6.2 Uji Asumsi Klasik Penggunaan uji asumsi klasik bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh layak untuk dianalisis. 1. Uji Normalitas Data Uji normalitas ini diuji dengan menggunakan Test if Normality Kolmogorov-Smirnov pada program pengelolaan data SPSS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah persamaan regresi yang dihunakan mempunyai distribusi normal ata tidak
38
(Ghozali, 2011). Menurut Santoso (2012), dasar pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan probabilitas dengan ketentuan sebagai berikut: a.
Jika probabilitas > 0,05 maka model yang digunakan berdistribusi normal.
b.
Jika probabilitas < 0,05 maka model yang digunakan berdistribusi tidak normal.
2. Uji Heterokedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji model regresi terjadiketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain.Jika varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebuthomokedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yangbaik adalah yang homokedastisitas atau bebas dari heteroskedastisitas (Muliati, 2011). Uji heterokedastisitas bisa dilihat melalui letak scatterplot: a.
Jika terdapat pola tertentu dimana titik-titik membentuk pola tertentusecara teratur, maka terjadi heterokedastisitas
b.
Jika letak pola titik-titik tidak teratur dan menyebar di atas dan dibawahangka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heterokedastisitas
3. Uji Multikolinearitas Multikolinieritas adalah suatu keadaan dimana terdapat hubungan linear atau korelasi yang tinggi antara variabel bebas dalam model regresi. Model regresi yang baik tidak mengandung
39
multikolinieritas. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas digunakan Variance Inflation Factor (VIF). Apabila nilai tolerance > 0,10 atau nilai VIF < 10, maka tidak ada multikolinieritas antar variabel bebas dalam model regresi. 4. Uji Autokorelasi Autokorelasi menunjukkan dalam sebuah model regresi linear terdapat kesalahan penganggu pada periode waktu dengan kesalahan pada periode waktu sebelumnya. Model regresi yang baik,
bebas
dari
autokorelasi.
Pendeteksian
ada
tidaknya
autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan uji Durbin Watson (DW-test). Suatu observasi dikatakan tidak terjadi autokorelasi jika nilai Durbin Watson -2 < DW < +2. 3.7
Pengujian Hipotesis 3.7.1 Uji Signifikan Simultan (Uji F) Uji F dilakukan untuk melihat ada tidaknya pengaruh semua variabel bebas terhadap variabel terikat (Firdaus, 2013). Pengujian ini dilakukan uji dua arah dengan hipotesis: H0 : artinya tidak terdapat pengaruh secara signifikan dari variabel independen terhadap variabel dependen secara bersama-sama Ha : artinya terdapat pengaruh secara signifikan dari variabel independen terhadap dependen secara bersama-sama. Kriteria pengujian ditetapkan sebagai berikut: a. Jika Fhitung< Ftabel. H0 diterima dan Ha ditolak. b. Jika Fhitung> Ftabel H0 ditolak dan Ha diterima.
40
c. Tingkat signifikansi yang digunakan sebesar 5% dengan kata lain jika signifikansi > 0,05 maka dinyatakan tidak signifikan. 3.7.2 Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi ini merupakan ukuran untuk mengetahui kesesuaian dan ketepatan antara nilai dugaan atau garis regresi dengan data sampel. Apabila nilai dari koefisien korelasi sudah diketahui, maka untuk mendapatkan koefisien determinasi dapat diperoleh dengan mengkuadratkannya. Kriteria: a. Jika R2 mendekati nol maka pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen lemah b. Jika R2 mendekati satu maka pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen kuat 3.7.3 Uji T Ghozali (2006) menjelaskan bahwa pengujian t ini digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari masing-masing variabel independen secara individu terhadap variabel dependen. Berikut dasar pengambilan kesimpulan uji t: a. Apabila Thitung < Ttabel, maka H0 diterima dan Ha ditolak b. Apabila Thitung > Ttabel,maka H0 ditolak dan Ha diterima c. Tingkat signifikan yang digunakan sebesar 5% dimana, jika signifikan > 0,05 maka dinyatakan tidak signifikan.
41
42
43