Nama : M. Rizalli Rakhman NIM : A1E 307704 MENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA TENTANG PERKALIAN BILANGAN BULAT MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING TIPE STUDENT TEAM ACHIEVEMENT DIVISIONS (STAD) DI KELAS V SDN 2 BARABAI TIMUR HULU SUNGAI TENGAH BAB I PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui kegiatan pembelajaran. Kegiatan tersebut diselenggarakan pada semua jenjang pendidikan sekolah dasar sembilan tahun, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Didalam undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Bab II tentang dasar, fungsi dan tujuan pendidikan Pasal 3 berisi ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi pesertadidikagarmenjadimanusiayang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Untuk mencapai hal tersebut bukan hanya terletak pada kecanggihan kurikulum atau kelengkapan fasilitas sekolah, melainkan melainkan bagaimana kredibilitas seorang guru di dalam mengatur dan memanfaatkan mediator yang ada di dalam kelas. Guru sebagai tenaga pendidik harus mempunyai tujuan utama dalam kegiatan pembelajaran di sekolah yaitu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, dapat menarik minat dan antusias siswa serta dapat memotivasi siswa untuk senantiasa belajar dengan baik dan semangat, sebab dengan suasana belajar yang
menyenangkanakan akan berdampak positif dalam pencapaian hasil belajar yang optimal. Dalam upaya pencapaian hasil belajar yang optimal dapat dilihat dari keberhasilan siswa dalam memahami suatu materi pelajaran. Matematika sering kali dianggap pelajaran yang paling sulit, padahal matematika merupakan mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum di sekolah yang diniliai cukup memegang peranan penting, baik pola pikirnya maupun penerapannya dalam kehidupan sehari-hari yang harus dapat dikuasai para siswa sedini mungkin. Hudoyo (1990) dalam Pahaji (2007; online) berpendapat bahwa “salah satu aspek
penting
dalam
pengajaran
matematika
adalah
agar
siswa
mampu
mengaplikasikan konsep-konsep matematika dalam berbagai keterampilan serta mampu menggunakan berbagai strategi untuk memecahkan masalah”. Sedangkan menurut Sujono (Hamzah, 2001:8) matematika perlu diajarkan di sekolah karena matematika menyiapkan siswa menjadi pemikir dan penemu, matematika menyiapkan siswa menjadi warga negara yang hemat, cermat dan efisien dan matematika membantu siswa mengembangkan karakternya. (http://guru-beasiswa.blogspot.com/2007_12_01_archive.html) Pendapat yang lain adalah pendapat Stanic (Hamzah, 2001:8) menegaskan bahwa tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah untuk meningkatkan kemampuan berfikir siswa, peningkatan sifat kreativitas dan kritis. Berdasar beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika di sekolah merupakan hal yang penting untuk meningkatkan kecerdasan siswa. Dewan Nasional Guru-Guru Matematika dalam Suryadi Nomi dan Amir Kumadin, SF (2002:43) menyarankan : “Pembelajaran seharusnya menggunakan kedua potensi siswa, baik intelektual mupun fisik. Mereka harus menjadi pelajar yang aktif, ditantang untuk menerapkan pengetahuan utama dan pengalaman baru mereka serta makin bertambahnya situasi-situasi yang lebih sulit. Berbagai pendekatan pembelajaran harus mengajak siswa-siswa dalam proses pembelajaran daripada sekedar mengirimkan informasi kepada mereka untuk diterimanya”. Dalam hal ini Dewan Nasional Guru-Guru Matematika menekankan agar mengubah sikap siswa yang tradisional dari pasif menjadi pelajar aktif.
Sering ditemui di sekolah-sekolah yang menunjukkan bahwa sebagian besar pengajaran matematika diberikan secara klasikal yang melalui metode ceramah tanpa banyak melihat kemungkinan penerapan metode lain yang sesuai dengan jenis materi, bahan dan alat yang tersedia. Sehingga, para siswa kurang berminat mengikuti proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, membuat siswa merasa bosan dan tidak tertarik dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar sehingga tidak ada motivasi dari dalam diri siswa untuk berusaha memahami apa yang di ajarkan oleh guru. Peristiwa yang sangat menonjol adalah siswa kurang kreatif, kurang terlibat langsung, dan pertanyaan jaranag muncul dari siswa ketika proses pembelajaran. Hal ini di dukung oleh pendapat Jenning dan Dunne (1999:13), dalam Pahaji (2007; online), “Dalam pengajaran matematika, penyampaian guru cenderung bersifat monoton, hampir tanpa variasi kreatif, kalau saja siswa ditanya ada saja alasan yang mereka kemukakan seperti matematika sulit, tidak mampu menjawab, takut disuruh guru ke depan dan sebagainya, sehingga menimbulkan adanya gejala matematika phobia (ketakutan anak terhadap
matematika)
yang
melanda
sebagian
besar
siswa.
Guru
dalam
pembelajarannya dikelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika. (http://guru-beasiswa.blogspot.com/2007_12_01_archive.html) Kenyataan demikian juga terjadi di SDN 2 Barabai Timur. Pada saat melakukan observasi berupa pengamatan langsung di kelas V terlihat pada saat menyajikan materi guru lebih dominan menerapkan beberapa metode yaitu ceramah, diskusi, tugas dan tanya jawab saja yang tidak secara keseluruhan menarik minat, motivasi dan antusias siswa untuk belajar matematika. Suasana dalam proses pembelajaran demikian cenderung membuat siswa diam dan pasif ditempat duduk mendengarkan dan menerima materi dari guru. Ketika siswa mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran, siswa pada umumnya merasa takut untuk bertanya kepada guru apalagi bagi siswa yang berkemampuan rendah mereka cenderung diam dan enggan dalam mengemukakan pertanyaan atau pendapat.
Peneliti menduga model pembelajaran inilah yang menjadi salah satu penyebab rendahnya hasil belajar Matematika di kelas IV SDN 2 Barabai Timur. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata ulangan yang diperoleh dua tahun terakhir yang hanya mencapai 5,06 tahun ajaran 2006/2007 dan 5,2 tahun ajaran 2007/2008. Nilai rata-rata ini jika dibandingkan dengan ketuntasan belajar menurut kurikulum yakni sebesar 6,0 atau 60 % dapat dikatakan bahwa nilai tersebut berada di bawah standar ketuntasan yang diharapkan. Pada pembelajaran matematika di pokok bahasan bilangan bulat, siswa sering mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal, pada khususnya soal-soal yang menyangkut bilangan bulat pada perkalian, sehingga sering kali diadakan pengajaran remedial setelah diadakan kuis atau ulangan blok untuk soal materi bilangan Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kemampuan belajar siswa dalam suatu proses pembelajaran yang digunakan guru di dalam kelas, salah satunya adalah model pembelajaran yang monoton, hal ini akan mengurangi minat dan motivasi siswa dalam mengikuti proses pembelajaran dikarenakan siswa merasa jenuh dengan pola pembelajaran yang sama terus menerus. Oleh karena itu, perlu diterapkan suatu model tertentu dalam pembelajaran yang dapat mengaktifkan dan memotivasi siswa dalam proses pembelajaran matematika. Banyak model yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas, namun pemakaian metode yang hanya berfokus pada satu metode saja dapat membawa siswa pada kejenuhan belajar dan kebosanan. Dalam hal ini dapat mengakibatkan hasil belajar siswa menjadi rendah. Olehnya itu hasil belajar matematika siswa dalam perkalian bilangan bulat harus dapat ditingkatkan dan mendapatkan perhatian dari guru. Disadari bahwa setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menerima pelajaran yang dijelaskan oleh guru. Untuk meminimalkan perbedaaan tersebut, maka dibentuk secara berkelompok agar siswa dapat saling mengisi, saling melengkapi, serta bekerja sama dalam menyelesaikan soal-soal atau tugas yang diberikan oleh guru. Dengan demikian tujuan pengajaran dapat tercapai dan hasil belajar siswapun dapat ditingkatkan
Salah satu tipe di dalam pembelajaran kooperatif yang dianggap peneliti dapat memotivasi siswa pada proses pembelajaran matematika adalah model ”Student Team Achievement Divisions” (STAD). Karena pada model pembelajaran ini siswa menjadi siap dan berusaha untuk memahami dan menguasai materi yang sedang disampaikan guru dalam proses pembelajaran dan melatih siswa untuk bekerjasama dengan baik dengan anggota kelompoknya dalam menjawab tugas yang diberikan oleh guru. Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka peneliti berkeinginan untuk mengadakan suatu penelitian tindakan kelas dengan mengangkat judul “Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Tentang Perkalian Bilangan Bulat Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Learning Tipe Student Team Achievement Divisions (STAD) di Kelas V SDN 2 Barabai Timur”. B. Rumusan Masalah dan Rencana Pemecahan 1. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah hasil belajar matematika tentang perkalian bilangan bulat dapat ditingkatkan malalui model pembelajaran kooperatif learning tipe Student Team Achievement Divisions (STAD) di kelas V SDN 2 Barabai Timur Kabupaten Hulu Sungai Tengah?” 2. Rencana Pemecahan Masalah Permasalahan pembelajaran Matematika yang penulis temukan pada siswa Kelas V SDN 2 Barabai Timur Kabupaten Hulu Sungai Tengah adalah rendahnya kemampuan perkalian bilangan bulat siswa dalam mengikuti KBM di kelas. Pada saat guru menyampaikan materi, semua siswa terlihat benar-benar menyimak dengan baik, namun ketika diberi kesempatan untuk bertanya semua nampak terdiam seakan-akan dapat memahami semua materi yang disampaikan. Ketika dilakukan evaluasi, atau pun pertanyaan lisan dari guru, maka tidak semua siswa berani dan dapat memberikan jawaban dengan baik (hanya tertentu yang dapat memberikan jawabannya dengan lisan/ berbicara).
Kondisi tersebut merupakan permasalahan klasik yang penulis temui pada Kelas V SDN 2 Barabai Timur. Dengan demikian, kemampuan atau keterampilan perkalian siswa pada bilangan bulat harus dilatih, apalagi terhadap soal-soal yang diberikan oleh guru, terutama soal yang memerlukan jawaban secara lisan. Berdasarkan paparan di atas, penulis menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Divisions (STAD) untuk meningkatkan kemampuan perkalian siswa pada bilangan bulat. Karena penulis menganggap model pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat cocok dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam perkalian bilangan bulat. Langkah-langkah yang penulis lakukan adalah : a. Penyajian kelas. b. Belajar dalam tim/ kelompok. c. Tes individu d. Skor pengembangan individu. e. Penghargaan tim C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan
untuk
Meningkatkan
Hasil
Belajar
Matematika
Melalui
Model
Pembelajaran Kooperatif Learning Tipe Student Team Achievement Divisions (STAD) di kelas V SDN 2 Barabai Timur Kabupaten Hulu Sungai Tengah”. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Menambah wawasan, pengetahuan dan keterampilan peneliti khususnya yang terkait dengan penelitian yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. 2. Bagi Guru
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi atau masukkan tentang model pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa. 3. Bagi Siswa Dapat menumbuhkan semangat kerjasama antar siswa, meningkatkan motivasi dan daya tarik siswa terhadap matematika.
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Belajar Belajar adalah istilah kunci yang paling vital dalam kehidupan manusia khususnya dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar tak pernah ada pendidikan. Menurut Gagne (1984: 26) belajar disefenisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman. Sedangkan menurut Ujang Sukandi, dkk (2003; 8) belajar adalah “menemukan dan membangun makna/ pengertian oleh si pembelajar terhadap informasi dan pengalaman yang disaring melalui persepsi, pikiran dan perasaan si pembelajar. Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru. Pengetahuan dibangun sendiri oleh si pembelajar.” Clifford T. Morgan dalam Inggridwati Kurni, dkk (2007; 6-3) mengatakan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku karena hasil pengalaman,
sehingga
memungkinkan
seseorang
menghadapi
situasi
selanjutnya dengan cara yang berbeda-beda. Selanjutnya Morgan juga mnyebutkan bahwa suatu kegiatan dikatakan belajar apabila memiliki tiga ciri-ciri sebagai berikut : a. Belajar adalah perubahan tingkah laku; b. Perubahan terjadi karena latihan dan pengalaman, bukan karena pertumbuhan; c. Perubahan tersebut harus bersifat permanen dan tetap ada untuk waktu yang cukup lama. Menurut pakar-pakar yang lain dalam Inggridwati Kurni, dkk belajar merupakan proses memiliki pengetahuan, dari yang tidak tahu menjadi tahu, ari yang tidak bisa menjadi bisa. Selain itu, belajar merupakan perubahan fisik meupun motorik. Belajar juga merupakan perubahan yang menekankan aspek-
aspek rohani. Didalama belajar, terdapat tiga ranah yang satu sama lain sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan tegas. Ketiganya adalah : a. Ranah kogitif (cognitive domain); b. Ranah afektif (affective domain); c. Ranah psikomotor (psychomotor domain). Dari pengertian diatas dapat dibuat kesimpulan bahwa agar terjadi proses belajar atau terjadinya perubahan tingkahlaku sebelum kegiatan belajar mengajar dikelas seorang guru perlu menyiapkan atau merencanakan berbagai pengalaman belajar yang akan diberikan pada siswa dan pengalaman belajar tersebut harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses belajar itu terjadi secara internal dan bersifat pribadi dalam diri siswa, agar proses belajar tersebut mengarah pada tercapainya tujuan dalam kurikulum maka guru harus merencanakan dengan seksama dan sistematis berbagai pengalaman belajar memungkinkan perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan apa yang diharapkan. Menurut Jerome S. Bruner, proses belajar siswa terjadi dalam tiga fase yaitu fase informasi, transformasi dan penilaian. Sedangakan menurut Wittig dalam Muhibbin (1995) proses belajar berlangsung dalam tiga tahap yaitu : a. Acquasistion (tahap perolehan informasi), pada tahap ini si belajar (siswa) meulai menerima informasi sebagai stimulus dan memberikan respon sehingga ia memiliki pemahaman atau perilaku baru. Tahap acquasistion merupakan tahapan yang paling mendasar, bila pada tahap ini kesulitan belajar siswa tidak dibantu maka ia akan mengalami kesulitan untuk menghadapi tahap selanjutnya. b. Storage (penyampaian informasi), pemahaman dan perilaku baru yang diterima siswa secara otomatis akan disimpan dalam memorinya yang disebut shortterm atau longterm memori. c. Retrieval (mendapatkan kembali informasi), apabila seorang siswa mendapat pertanyaan mengenai materi yang telah diperolehnya maka ia akan mengaktifkan kembali fungsi-fungsi sistem memorinya untuk menjawabpertanyaan atau masalahyang dihadapinya. Tahap retrieval
merupakan peristiwa mental dalam rangka mengungkapkan kembali informasi, pemahaman, pengalaman yang telah diperolehnya.. Dalam hal ini proses belajar adalah tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif dan psikomotor yang terkjadi dalam diri siswa. Perubahan tersebut bersifat positif dalam arti berorientasi kearah yang lebih maju dari pada keadaan sebelumnya. Untuk itu, merupakan aktifitas guru untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan proses belajar siswa berlangsung secara optimal yang mengarah pada tercapainya suatu tujuan. Untuk menciptakan proses belajar yang berlangsung secara optimal di SD, seorang guru harus memperhatikan prinsip-prinsip belajar sebagai berikut: a. Tujuan yang terarah; b. Motivasi yang kuat; c. Bimbingan untuk mengetahui hambatan dan bimbingan; d. Cara belajar dengan pemahaman; e. Interaksi yang positif dan dinamis antara individu dan lingkungan; f. Teknik-teknik belajar; g. Diskusi dan pemecahan masalah; h. Mamapu menerapkan apa yang telah dipelajari dalam kegiatan sehari-hari. Prinsip-prinsi belajar ini juga didukung oleh Davies yang mengatakan untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik seorang guru perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman berbagai prinsip-prinsip belajar, khususnya prinsip berikut : a. Apapun yang dipelajari siswa, maka siswalah yang harus belajar, bukan orang lain. Untuk itu siswalah yang harus bertindak aktif; b. Setiap siswa akan belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya; c. Seorang siswa akan belajar lebih baik apabila memperoleh pengutan langsung pada setiap langkah yang dilakukan selam proses belajarnya terjadi; d. Penguasaan yang sempurna dari setiap langkah yang dilakukan siswa akan membuat proses belajar lebih berarti;
e. Seorang siswa akan lebih meningkat lagi motivasinya untuk belajar apabila ia diberi tanggung jawab serta kepercayaan penuh atas belajarnya (davies 1971). (http://www.whandi.net/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id =41) Untuk itu penting artinya pemahaman guru akan pengertian tentang belajar dan prinsip-prinsip belajar tersebut. 2. Mengajar Mengajar adalah suatu proses, yakni proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar. Pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan/ bantuan kepada siswa dalam melakukan proses belajar. Menurut De Quelyu Pengertian mengajar adalah penyerahan kebudayaan berupa pengalaman-pengalaman kecakapan kepada anak didik atau usaha mewariskan nilai-nilai kebudayaan kepada generasi muda/penerus. Sedangkan menurut Mursell dan Nasution (2002; 8), mengajar adalah “mengorganisasi hal-hal yang berhubungan dalam belajar.” Usman (1995: 6) menyatakan mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab yang cukup berat, karena berhasilnya pendidikan pada siswa sangat bergantung pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran Sejalan
yang menimbulkan
proses
belajar (Usman, 1995: 6).
dengan itu, Hamalik (2001: 8) menyatakan bahwa mengajar adalah
usaha guru untuk mengorganisasi lingkungan sehingga menciptakan kondisi belajar bagi siswa. Pengertian ini mengandung makna bahwa guru dituntut untuk dapat berperan sebagai organisator kegiatan belajar siswa dan juga
hendaknya mampu memanfaatkan lingkungan, baik yang ada di kelas maupun yang ada di luar kelas yang menunjang kegiatan belajar mengajar. Menurut
Rusyan (1989: 27)
bahwa
mengajar
bukan
upaya
guru menyampaikan bahan pelajaran, melainkan bagaimana siswa dapat mempelajari bahan pelajaran sesuai tujuan. (http://www.pdfcoke.com/doc/4549409/babii?autodown=doc) Metode mengajar adalah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pembelajaran. Oleh karena itu, peranan metode mengajar sebagai alat untuk menciptakan proses belajar dan mengajar. Nana Sudjana (2000; 77), mengatakan ada 14 metode dalam mengajar yang dapat digunakan guru dalam melakukan proses mengajar, yaitu : 1. Metode ceramah ceramah adalah penuturan bahan pelajaran secara lisan. 2. Metode tanya Jawab tanya jawab adalah metode mengajar yang memungkinkan terjadinya komunikasi langsung yang bersifat two way traffic sebab pada saat yang sama terjadi dialog antara siswa dan guru. 3. Metode diskusi diskusi pada darsarnya adalah tukar menukar informasi, pendapat, dan unsur-unsur pengalaman secara teratur dengan maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu, atau untuk mempersiapkan dan merampungkan keputusan bersama. 4. Metode tugas belajar dan resitasi tugas belajar dan resitasi tidak sama dengan pekerjaan rumah, tetapi jauh lebiih luas dari itu. Tugas dilaksanakan di rumah, di sekolah, di perpustakaan dan di tempat lainnya. Tugas dan resitasi merangsang anak untuk aktif belajar baik secara individual maupun secara kelompok. 5. Metode kerja kelompok kerja kelompok atau bekerja dalam situasi kelompok mengandung pengertian bahwa siswa dalam satu kelas dipandang sebagai satu kesatuan
(kelompok) tersendiri ataupun dibagi atas kelompok-kelompokkecil (subsub kelompok. 6. Metode demonstrasi dan eksperimen demonstrasi dan eksperimen merupakan metode mengajar yang sangat efektif, sebab membantu para siswa untuk mencari jawaban dengan usaha sebdiri berdasarkan fakta data) yang benar. 7. Metode sosio drama (role playing) metode sosiodrama dan role plying dapat dikatakan sama artinya dan dalam pemakaiannya sering disilihgantikan. Sosiodrama pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial. 8. Metode problem solving problem solving (pemecahan masalah) g\bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga merupakan suatu metode berpikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan metode-metode lainnya dimulai dengan mencari data sampai kepada menarik kesimpulan. 9. Metode sistem regu (team teaching) sistem regu adalah metode mengajar yang terdiri dari dua orang guru atau lebih bekerja sama mengajar sebuah kelompok siswa. 10. Metode latihan (drill) umumnya digunakan untuk memperoleh suatu ketangkasan atau keterampilan dari apa yang telah dipelajari. 11. Metode karyawisata (field trip) karya wisata dalam arti metode mengajar mempunyai arti tersendiri yang berbeda dengan karyawisata dalam arti umum. Karyawisata disini bererti kunjungan keluar kelas dalam rangka belajar. 12. Metode resource person (Manusia Sumber) manusia sumber ialah orang luar (bukan guru) memberikan pelajaran kepada siswa. Orang luar ini diharapkan memiliki keahlian khusus. 13. Metode survai masyarakat
survai berarti cara untuk memperoleh informasi atau keterangan dari sejumlah unit tertentu dengan jalan observasi dan komunikasi langsung. 14. Metode Simulasi. Simulasi adalah sara untuk menjelaskan sesuatu (bahan pelajaran) melalui proses tingkah laku imitasi, atau bermainperanan mengenai suatu tingkah laku yang dilakukan seolah-olah dalam keadaan yang sebenarnya. Strategi mengajar adalah tindakan guru melaksanakan rencana mengajar. Artinya, usaha guru dalam menggunakan beberapa variabel pengajaran (tujuan, bahan, metode dan alat serta evaluasi) agar dapat mempengaruhi para siswa untuk mencapai tujuan yang telah diterapkan. Nana Sudjana (2000; 147) mengatakan ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam melaksanakan startegi mengajar, yaitu : 1. Tahapan mengajar. 2. Model atau pendekatan mengajar 3. Prinsip mengajar. 3. Pembelajaran Istilah pembelajaran berhubungan erat dengan pengertian belajar dan mengajar. Belajar, mengajar dan pembelajaran terjadi bersama-sama. Belajar dapat terjadi tanpa guru atau tanpa kegiatan mengajar dan pembelajaran formal lain. Sedangkan mengajar meliputi segala hal yang guru lakukan di dalam kelas. Duffy dan Roehler dalam whandie (2007; online) mengatakan apa yang dilakukan guru agar proses belajar mengajar berjalan lancar, bermoral dan membuat siswa merasa nyaman merupakan bagian dari aktivitas mengajar,
juga
secara
khusus
mencoba
dan
berusaha
untuk
mengimplementasikan kurikulum dalam kelas. Sementara itu pembelajaran adalah suatu usaha yang sengaja melibatkan dan menggunakan pengetahuan profesional yang dimiliki guru untuk mencapai tujuan kurikulum. Jadi pembelajaran adalah suatu aktivitas yang dengan sengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapainya suatu tujuan
yaitu tercapainya tujuan kurikulum. Dalam buku pedoman melaksanakan kurikulum SD,SLTP dan SMU (1994) istilah belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku setelah terjadinya interaksi dengan sumber belajar. Sumber belajar tersebut dapat berupa buku, lingkungan, guru dll. Gredler (1986) dalam Wandhie (2007; online) menegaskan bahwa proses perubahan sikap dan tingkahlaku itu pada dasarnya berlangsung pada suatu lingkungan buatan (eksperimental) dan sangat sedikit sekali bergantung pada situasi alami (kenyataan). Oleh karena itu lingkungan belajar yang mendukung dapat diciptakan, agar proses belajar ini dapat berlangsung optimal. Dikatakan pula bahwa proses menciptakan lingkungan belajar sedemikian rupa disebut dengan pembelajaran. Belajar mungkin saja terjadi tanpa pembelajaran, namun pengaruh
suatu
pembelajaran
dalam
belajar
hasilnya
lebih
sering
menguntungkan dan biasanya mudah diamati. Mengajar diartikan dengan suatu keadaan untuk menciptakan situasi yang mampu merangsang siswa untuk belajar. Situasi ini tidak harus berupa transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa saja tetapi dapat dengan cara lain misalnya belajar melalui media pembelajaran yang sudah disiapkan. Gagne dan Briggs (1979:3) dalam wandhie (2007; online) mengartikan instruction atau pembelajaran ini adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. Sepintas pengertian mengajar hampir sama dengan pembelajaran namun pada dasarnya berbeda. Dalam pembelajaran kondisi atau situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan terlebih dahulu oleh perancang atau guru. Sementara itu dalam keseharian di sekolah-sekolah istilah pembelajaran atau proses pembelajaran sering dipahami sama dengan proses belajar mengajar dimana di dalamnya ada interaksi guru dan siswa dan antara sesama siswa untuk mencapai suatu tujuan yaitu terjadinya perubahan
sikap dan tingkahlaku siswa. Apa yang dipahami guru ini sesuai dengan pengertian yang diuraikan dalam buku pedoman kurikulum (1994:3) Sistem pendidikan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakat yang memberinya masukan maupun menerima keluaran tersebut. Pembelajaran mengubah masukan yang berupa siswa yang belum terdidik menjadi siswa yang terdidik. Arief S. (1984:10) dalam Wandhie (2007; online) mengatakan fungsi sistem pembelajaran ada tiga yaitu fungsi belajar, fungsi pembelajaran dan fungsi penilaian. Fungsi belajar dilakukan oleh komponen siswa, fungsi pembelajaran dan penilaian (yang terbagi dalam pengelolaan belajar dan sumber-sumber belajar) dilakukan oleh sesuatu di luar diri siswa.. Sebenarnya belajar dapat saja terjadi tanpa pembelajaran namun hasil belajar akan tampak jelas dari suatu pembelajaran. Pembelajaran yang efektif ditandai dengan berlangsungnya proses belajar dalam diri siswa. Arief. Sukadi (1991;12) dalam Wandhie (2007; online), Dalam pembelajaran hasil belajar dapat dilihat langsung, oleh karena itu agar kemampuan siswa dapat dikontrol dan berkembang semaksimal mungkin dalam proses belajar di kelas maka program pembelajaran tersebut harus dirancang terlebih dahulu oleh para guru dengan memperhatikan berbagai prinsip-prinsip pembelajaran yang telah diuji keunggulannya. (http://www.whandi.net/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=41) 4. Hasil belajar Sebagai tenaga pengajar/ pendidik yang secara langsung terlibat dalam proses belajar mengajar, maka guru sebagai pendidik memegang peranan penting dalam menentukan hasil belajar yang akan dicapai siswanya. Setiap proses belajar-mengajar keberhasilannya diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai siswa, disamping diukur dari segi prosesnya. Howard Kingsley dalam Nana Sudjana (2000; 45) “membagi tiga macam hasil belajar, yaitu : a) keterampilan dan kebiasaan, b) pengetahuan
dan pengertian, c) sikap dan cita-cita, yang masing-masing golongan dapat diisi dengan bahan yang ditetapkan dalam kurikulum sekolah.” Herman Hudoyo (1990:39) dalam Tim Web LPMP Sulsel (2008; online) mengemukakan pendapatnya tentang hasil belajar sebagai berikut: “Hasil belajar dan proses belajar kedua-duanya penting, di dalam belajar ini, terjadi proses berpikir. Seseorang dikatakan berpikir bila orang itu melakukan kegiatan mental, bukan kegiatan motorik walaupun kegiatan motorik ini dapat pula bersama-sama dengan kegiatan mental tersebut, dalam mental itu orang menyusun hubungan antara bagian-bagian informasi yang telah diperoleh sebagai pengertian. Karena itu menjadi memahami dan menguasai hubungan tersebut sehingga orang itu dapat menampilkan pemahaman dan penguasaan bahan pelajaran yang dipelajari, inilah merupakan hasil belajar”. (http://bpgupg.go.id/index.php?view=article&id=135%3Ameningkatkanhasil-belajar-pengetahuan-dasar-teknologi-melalui-pembelajarankooperatif-dengan-pendekatan-stad-dismk&option=com_content&Itemid=144) 5. Matematika SD Karso, dkk (2004; 14) mengatakan “Matematika di SD merupakan salah satu kajian yang selalu menarik untuk dikemukakan karena adanya perbedaan karakteristik antara hakekat anak dengan hakekat matematika. Untuk itu diperlukan adanya jembatan yang dapat menetralisir perbedaan atau pertentangan tersebut.” Anak usia SD sedang mengalami perkembangan dalam tingkat berpikirnya. Hal ini dikarenakan tahap berpikir mereka masih belum formal, malahan para siswa SD di kelas-kelas rendah bukan tidak mungkin sebagian dari mereka berpikirnya masih berada pada tahapan (pra konkret). Lebih lanjut Karso, dkk (2004; 14) mengatakan matematika adalah “ilmu deduktif, aksiomatik, formal, hirarkis, abstrak, bahasa simbul yang padat artinya dan semacamnya, sehingga para ahli matematika dapat
mengembangkan sebuah system yang deduktif yang mampu mengembangkan model-model matematika. Model-model matematika sebagai interpretasi dari system matematika ini kemudian ternyata dapat digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan dunia nyata. Karso, dkk juga mengatakan terdapat manfaat yang menonjol yaitu dengan matematika dapat membentuk pola pikir orang yang mempelajarinya menjadi pola pikir matematis yang sistematis, logis, kritis dengan penuh kecermatan Hal ini juga sejalan dengan pendapat
Sujono (1998; 15) yang
mengajukan 3 alasan mengapa matematika perlu diajarkan di sekolah, yaitu : 1. Matematika menyiapkan siswa menajadi pemikir dan penemu; 2. Metematika menyiapkan siswa menjadi warga negara yang hemat, cermat, dan efesien; 3. Matematika membantu siswa untuk mengembangkan karakternya. Soedjadi (2000: 1) mengemukakan bahwa ada beberapa definisi atau pengertian matematika berdasarkan sudut pandang pembuatnya, yaitu sebagai berikut: a. Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisisr secara sistematik b. Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi c. Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan. d. Matematika adalah pengetahuan fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk. e. Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logic Matematika
adalah
pengetahuan
tentang
aturan-aturan
yang
ketat.
(http://karmawati-yusuf.blogspot.com/2008/12/1-hakikat-matematika.html) Jackson (1992; 756) mengatakan bahwa secara umum matematika adalah “penting bagi kehidupan masyarakat.” Oleh karena itu, matematika dimasukkan dalam kurikulum sekolah.
Kurikulum KTSP pada mata pelajaran matematika yang bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut : 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaiatan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efesien dan tepat dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika
dalam
membuat
generalisasi,
menyusun
bukti,
atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengomunikasikan gagasan dengan symbol, table, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. 6. Model pembelajaran kooperatif Pembelajaran
kooperatif
merupakan
strategi
belajar
melalui
penempatan siswa belajar dalam kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan yang berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling bekerja sama dan membantu memahami suatu bahan pelajaran artinya bahan belum selesai jika salah satu teman dalam sekelompok belum menguasai bahan pembelajaran. Menurut Egge, dkk (1993:13) dalam Stefania (2008; online), mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah “sebagai sekumpulan strategi mengajar yang digunakan guru agar saling membantu dalam mempelajarai sesuatu.” Model pembelajaran kooperatif dapat digunakan untuk mengerjakan materi yang komplek dan dapat membantu guru dalam mencapai tujuan pembelajaran yang berdimensi sosial dan hubungan antara manusia, misalnya
membuat siswa menghargai perbedaan dan keberagaman, selain itu model pembelajaran kooperatif juga, dapat memotifasi seluruh siswa untuk belajar dan membantu saling belajar, berdiskusi, berdebat, dan menggeluti ide-ide, konsep-konsep dan ketrampilan-ketrampilan, memanfaatkan energi sosial siswa, saling mengambil tanggung jawab, dan belajar menghargai satu sama lain. (http://stefaniaportofolio.blogspot.com/2008/12/makalah-inovatif.html) Menurut Dasim Budimansyah (2003; 10) mengatakan belajar kooperatif adalah “proses pembelajaran dengan model ini menerapkan prinsip belajar kooperatif yaitu proses pembelajaran yang berbasis kerjasama. Menurut Slavin dalam Doantara Yasa (2008; online) pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, siswa dalam satu kelas dijadikan kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 orang untuk memahami konsep yang difasilitasi oleh guru. Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dengan setting kelompok-kelompok kecil dengan memperhatikan keberagaman anggota kelompok sebagai wadah siswa bekerjasama dan memecahkan suatu masalah melalui interaksi sosial dengan teman sebayanya, memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang bersamaan dan ia menjadi narasumber bagi teman yang lain. Jadi, pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif memiliki cirri-ciri sebagai berikut : a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menyelesaikan materi belajarnya. b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. c. Bilamana mungkin, anggota kelompok juga berasal dari ras, budaya, suku dan jenis kelamin yang berbeda. d. Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok daripada individu. (http://ipotes.wordpress.com/2008/05/10/metode-pembelajarankooperatif/)
Tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994). Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya 3 tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000) dalam Mang Jaya (2009), yaitu : a. Kemampuan akademik. Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Banyak ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang sulit.
b. Penerimaan perbedaan individu. Efek penting yang kedua adalah penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras, budaya, kelas sosial, kemampuan dan ketidakmampuan.
c. Penembangan keterampilan sosial. Model pembelajaran kooperatif bertujuan mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerjasama dan kolaborasi. (http://www.idonbiu.com/2009/05/tujuan-pembelajaran-cooperative.html)
Pada dasarnya pembelajaran kooperatif mempunyai 6 (enam) langkah, dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan motivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti oleh penyajian informasi, seringkali dengan bahan bacaan daripada secara verbal. Selanjutnya siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahapan ini diikuti bimbingan guru pada saat siswa bekerja bersama untuk menyelesaikan tugas bersama mereka. Fase terakhir pembelajaran kooperatif meliputi fersentasi hasil kerja kelompok atau evaluasi tentang apa tang telah mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu.
Tabel 1.1 langkah-langkah pembelajaran kooperatif Fase Fase 1 Menyampaikan
tujuan
Tingkah laku guru Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran dan yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan
memotivasi siswa Fase 2 Menyajikan informasi Fase 3
memotivasi siswa belajar. Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan. Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
Mengorganisasikan siswa ke
caranya membentuk kelompok belajar dan
dalam kelompok
membantu kelompok agar melakukan transisi
Fase 4
secara efisien. Guru membimbing
kelompok-kelompok
Membimbing kelompok
belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
bekerja dan belajar
mereka. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
Fase 5
materi yang telah dipelajari atau masing-
Evaluasi
masing kelompok mempresentasikan hasil
Fase 6 Memberikan penghargaan
belajarnya. Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu
maupun kelompok. (M.FaiqDzaki,http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2009/03/langka h-langkah-model-pembelajaran.html)
7. Pengertian dan prosedur model pembelajaran kooperatif STAD STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin, dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Guru yang menggunakan STAD, juga mengacu kepada belajar kelompok siswa, menyajikan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu menggunakan presentasi verbal atau teks. Guru membagi siswa menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang dan terdiri laki-laki dan perempuan yang berasal dari berbagai suku, memiliki kemampuan tinggi,
sedang, rendah. Komponen STAD menurut Slavin (1995) dalam Herdian (2009; online), adalah sebagai berikut: a. Penyajian kelas. b. Belajar dalam tim/ kelompok. c. Tes individu d. Skor pengembangan individu. e. Penghargaan tim. Berikut ini uraian selengkapnya dari pembelajaran kooperatif tipe StudentTeams Achievement Division (STAD). a. Penyajian Guru menyajikan materi pelajaran sesuai dengan yang direncanakan. Setiap awal dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD selalu dimulai dengan penyajian kelas. Penyajian tersebut mencakup pembukaan, pengembangan dan latihan terbimbing dari keseluruhan pelajaran dengan penekanan dalam penyajian materi pelajaran. b. Belajar dalam tim/ kelompok Selama belajar kelompok, tugas anggota kelompok adalah menguasai materi yang diberikan guru dan membantu teman satu kelompok untuk menguasai materi tersebut. Siswa diberi lembar kegiatan yang dapat digunakan untuk melatih ketrampilan yang sedang diajarkan untuk mengevaluasi diri mereka dan teman satu kelompok. Pada saat pertama kali guru menggunakan pembelajaran kooperatif, guru juga perlu memberikan bantuan dengan cara menjelaskan perintah, mereview konsep atau menjawab pertanyaan. c. Tes individu (kuis) Kuis dikerjakan siswa secara mandiri. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan apa saja yang telah diperoleh siswa selama belajar dalam kelompok..
d. Skor pengembangan individu
Hasil kuis digunakan sebagai nilai perkembangan individu dan disumbangkan dalam nilai perkembangan kelompok . e. Penghargaan tim Langkah pertama yang harus dilakukan pada kegiatan ini adalah menghitung nilai kelompok dan nilai perkembangan individu dan memberi sertifikat atau penghargaan kelompok yang lain. Pemberian penghargaan kelompok berdasarkan pada rata-rata nilai perkembangan individu dalam kelompoknya.
B. Kerangka Berpikir
Pembelajaran perkalian bilangan bulat merupakan salah satu aspek yang harus dikuasai siswa dalam pelajaran matematika. Adapun untuk melatih keterampilan perkalian siswa dapat digunakan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif memberi kesempatan kepada siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan atau memecahkan suatu masalah secara bersama. Selain itu pembelajaran kooperatif dapat membantu siswa meningkatkan sikap positif siswa dalam matematika. Para siswa secara individu membangun kepercayaan diri terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah matematika, sehingga akan mengurangi dan menghilangkan rasa cemas terhadap matematika yang dialami banyak siswa. Dimana model pembelajaran kooperatif ini dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya 3 tujuan pembelajaran penting, yaitu : a. Kemampuan akademik. b. Penerimaan perbedaan individu. c. Penembangan keterampilan sosial. Pembelajaran kooperatif tipe STAD memberi kesempatan kepada siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran dan sering mengekspresikan ide, siswa memiliki kesempatan lebih banyak dalam memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan matematika secara komprehensif dalam kelompoknya. Ketika siswa melakukan kegiatan matematika untuk memecahkan permasalahan yang diberikan pada kelompoknya, dengan sendirinya akan mendorong potensi mereka untuk melakukan kegiatan matematika pada tingkat berpikir yang lebih tinggi sehingga pada akhirnya membentuk intelegensi matematika siswa. Dengan terbentuknya intelegensi matematika siswa akan berpengaruh pada pencapain hasil belajar siswa yang meningkat. C. Hipotesis Berdasarkan kajian pustaka, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini
adalah
“dengan
menggunakan
tipe Student Team Achievement Divisions
model
pembelajaran
kooperatif
(STAD) dapat meningkatkan hasil
belajar Matematika pada pokok bahasan perkalian bilangan bulat di kelas IV SDN 2 Barabai Timur Kabupaten Hulu Sungai Tengah”.