BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer & Bare 2006). Fraktur tersebut diakibatkan oleh beberapa penyebab yaitu karena kecelakaan baik yang terjadi pada lalu lintas maupun akibat kecelakaan kerja, cedera dari olahraga, bencana ( kebakaran, alam ) trauma akibat benda tumpul/tajam dan lain sebagainya. (Di, Rsup, & Kandou, 2015) Menurut WHO pada tahun 2008 kasus fraktur terjadi kurang lebih 13 juta orang dengan prevelensi 2,7 %. Pada tahun 2009 meningkat yaitu kurang lebih 18 juta orang dengan prevelensi 4,2 %. Dan di tahun 2010 juga mengalami peningkatan sebanyak 21 juta orang dengan prevelensi 3,5 %. Selain itu dari hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilakukan badan penelitian dan pengembangan RI tahun 2007 di Indonesia angka kejadian fraktur sebagian besar disebabkan oleh cidera karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tumpul maupun benda tajam (Di et al., 2015). Kemudian pada tahun 2011-2012 WHO mencatat 5,6 juta orang meninggal dan 1,2 juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas (WHO, 2011).
Dari 45.987 peristiwa diatas kejadian fraktur sebanyak 1.775 orang dengan presentase 3,8 %. Dari 20.829 kasus kecelakaan karena lalu lintas dan yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang dengan presentase 8,5 % sedangkan dari 14.127 trauma akibat benda tajam maupun tumpul yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang dengan presentasi 1,7 % (Riskesdas, Depkes RI 2007). Hasil survey Kesehatan Nasional Tahun 2008 kasus fraktur secara Nasional menunjukan prevelensi sekitar 27,7%. Prevelensi laki-laki pada tahun 2009 mengalami kenaikan dari 51,2 % menjadi 54,5 sedangkan prevelensi pada perempuan di tahun 2009 mengalami penurunan 2 % dan di tahun 2010 menjadi 1,2 % (Depkes, RI 2010). (Journal et al., n.d.) Depkes RI pada tahun 2011 angka kejadian fraktur khususnya ektremitas bawah karena kecelakaan mengalami prevelensi yang cukup tinggi dibanding dengan yang lain yaitu sekitar 46,2 % dari 45.987 kasus. Fraktur yang diakibatkan berupa fraktur femur (Depkes Ri 2011). Angka kejadian pada anak muda (40 tahun) rendah dan pada orang tua lebih tinggi (Headlund dan Lindergen, 1986). 80 % dari kejadian tersebut terjadi pada pasien usia 35 tahun atau lebih tua dengan kasus fraktur femur karena trauma energi sedangkan pada orang dewasa yang lebih tua umumnya sekitar 65 %. (“No Title,” 2017) Di Indonesia distribusi data dari fraktur khususnya pada femur itu sendiri belum tersedia. Sedangkan tulang paha itu sendiri merupakan bagian yang sangat penting sebagai anggota sistem gerak pada manusia. Fraktur
yang
terjadi
biasanya
mempunyai
gejala
yaitu
nyeri,
pembengkakan, kelainan bentuk, mengalami hambatan dalam mobilitas fisik. Mobilisai adalah kemampuan dari individu untuk melakukan aktivitas/bergerak secara mandiri di dalam lingkungannya sendiri. Aktivitas itu sendiri bisa mencakup ADL seperti makan, minum, mandi, pekerjaan yang ditekuni maupun peran serta dalam masyarakat tanpa harus memerlukan bantuan dari orang lain. Hal ini dapat tercapai jika tidak ada kelainan struktur maupun fungsi dari otot, sendi, tulang, syaraf perifer maupun pusat (Black 2005 ) (Journal et al., n.d.) Karena fraktur tersebut maka pasien tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri bahkan jika ingin berpindah akan memerlukan bantuan orang lain misalnya dalam mengubah posisinya saat berbaring atau bahakan pasien tidak dapat mengubah posisinya karena takut cideranya akan bertambah parah. Untuk mengatasi fraktur yang dialami memerlukan tindakan pemasangan traksi, mengharuskan bedrest (immobilisasi), membantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya, agar proses penyembuhan dapat terjadi secara sempurna dan meminimalkan resiko terjadinya kecacatan. Keadaan ini dapat mengakibatkan pasien tidak dapat memenuhi aktifitas fisiknya secara mandiri selama program pengobatan. Selama proses program pengobatan dapat memberikan efek menguntungkan tetapi jika dilakukan dalam jangka panjang maka akan mengakibatkan efek negatif berupa penurunan fungsi fisik, intelektual maupun, fungsional (Chefez 2001). Melihat masalah akibat mobiltas fisik yang terganggu dan beberapa tindakan keperawatan yang dapat memenuhi kebutuhan mobilitas pasien, maka
karya tulis ini akan memberikan gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan klien yang mengalami hambatan mobilitas fisik pada fraktur ekstremitas bawah.
B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum : Menggambarkan pelaksanaan asuhan keperawatan hambatan mobilitas fisik pada pasien dengan fraktur ekstremitas bawah 2. Tujuan Khusus : a. Menggambarkan
pengkajian,
diagnosa
keperawatan,
perencanaan,
tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi hambatan mobilitas fisik pada pasien dengan fraktur ekstremitas bawah, serta evaluasi dari masalah setelah dilakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah b. Membahas permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan asuhan keperawatan hambatan mobilitas fisik pada klien dengan fraktur ekstremitas bawah C. Manfaat Penulisan 1. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai referensi untuk meningkatkan mutu pendidikan serta memperluas, menambah pengetahuan, dan mengembangkan keterampilan kepada
mahasiswa tentang asuhan keperawatan pada stroke non hemoragi dengan gangguan mobilitas fisik. 2. Bagi penulis Menambah pengetahuan dan pengalaman serta dapat menerapkan teori yang didapat saat memberikan asuhan di lahan terutama tentang asuhan keperawatan pada stroke non hemoragi dengan gangguan mobilitas fisik 3. Bagi tenaga kesehatan Menambah pengetahuan panduan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan serta dapat
menjadi informasi bagi tenaga kesehatan lain
terutama dalam melakukan asuhan keperawatan pada stroke non hemoragi dengan gangguan mobilitas fisik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Fraktur 1. Pengertian Fraktur a. Fraktur Adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang
yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et.al,2000). Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyatakan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur a. Faktor ekstrinsik Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur. b. Faktor intrinsik Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisistas,
kelelahan,
dan
kepadatan
atau
kekerasan
tulang.
(Ignatavicius, Donna D, 1995) 3. Klasifikasi Fraktur Fraktur dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: a. Berdasarkan sifat fraktur 1) Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih tertutup) tanpa komplikasi Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasar keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu: a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya. b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan. c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam pembengkakan. d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma kompartemen. 2) Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit. b. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitam fraktur
1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang. 2) Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti: a) Hair line fraktur (patah retidak rambut). b) Buckle atau torus fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya. c) Green stick fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang. c. Berdasarkan bentuk garis patahan dan hubungannya dengan mekanisme trauma. 1) Fraktur transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung. 2) Fraktur oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga 3) Fraktur spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi. 4) Fraktur kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain. 5) Fraktur avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah 1) Fraktur komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan. 2) Fraktur segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. 3) Fraktur multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama. e. Berdasar pergeserab fragmen tulang 1) Fraktur undisplace (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periostium masih utuh. 2) Fragtur displace (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas: a) Dislokasi ad longitudium cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping). b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut). c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh) f. Fraktur kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang. g. Fraktur patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
(Apley, A Graham, 1993, Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995, Ignatavicius, Donna D, 1995, Oswari, E, 1993, Mansjoer, Arif, Et.Al, 2000, Price, Sylvia A, 1995, dan Reksoprodjo, Soelarto, 1995) 4. Anatomi Dan Fisiologi a. Struktur tulang Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk maupun ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periostium dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periostium mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ketulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut sistem Haversain. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut kanal Haversain. Lapisan melingkar dan matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Setiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversain terdapat sepanjang tulang panjang dan didalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversain, yang didalamnya terdapat trabekulae (batang) dari tulang. Trabekulae ini terlihat seperti
spon tapi kuat sehingga disebut bone spone yang didalamnya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini tediri atas dua macam yaitu Bone Marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan Bone Marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES). Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada dibawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemenelemen ekstraseluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang dengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras. Sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200-400 ml/menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black, J.M, et al,1993 dan Ignatavicius Donna. D, 1995). b. Tulang Panjang Adalah tulang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar dan sering menahan beban berat (Ignatavicius, Donna. D, 1995). Tulang
panjang terdapat epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang. Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat menempelnya tendon dan mempengaruhi kestabilasan sendi. Tulang rawan menutupi seluruh sisi dari ujung tulang dan mempermudah pergerakan, karena tulang rawan sisinya halus dan licin. Diafisis adalah bagian utama dari tulang panjang yang memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan bagian yang melebar dari tulang panjang antara epifisis dan diafisis. Metafisis ini meruapakan daerah pertumbuhan tulang selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan penutup tulang sedang rongga medula (marrow) adalah pusat dari diafisis (Black, J.M, et.al, 1993). c. Fungsi Tulang 1) Memberi kekuatan pada kerangka tubuh. 2) Tempat melekatnya otot. 3) Melindungi organ penting. 4) Tempat pembuatan sel darah. 5) Tempat penyimpanan garam mineral. (Ignatavicius, Donna D, 1993) 5. Patofisiologi Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periostium dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya. (Black, J.M, et.al, 1993). 6. Pathways
7. Etiologi a. Kekerasan langsung Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring. b. Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. c. Kekerasan akibat tarikan otot Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekeatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. (Oswari E, 1993). 8. Manifestasi Klinis a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. b. Deformitas dapat disebabkan oleh pergeseran fragmen pada eksremitas. Deformitas dapat diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas
normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat. c. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm. d. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang. Krepitasi teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya. e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera. (Paramita, Trisa P. (2015). Laporan Pendahuluan: Fraktur. (online), (https://www.pdfcoke.com/document_downloads/direct/262510577?extension= docx&ft=1546123126<=1546126736&user_id=367697501&uahk=jIBURbqWvMqnyr5XuResPcnio8) 9. Biologi Penyembuhan Tulang Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuh menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang yaitu: a. Stadium satu-pembentukan hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24-48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. b. Stadium dua-proliferasi perifer Pada stadium ini terjadi proliferasi dan diferensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periostium, endostium, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami poliferasi ini terus masuk kedalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesei, tergantung frakturnya. c. Stadium tiga-pembentukan kallus Sel-sel yang berkembang memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Masa sel yang tebal dengan tulang yang matur dan kartilago, memebentuka kalus atau bebat pada permukaan endosteal. Sementara tulang yang imatur imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
d. Stadium empat-konsolidasi Bila aktivitast osteoklast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistim ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragment tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal. e. Stadium lima-remodeling Fraktur telah dijembatani oleh sebuah manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuka ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamella yang lebih tebal diletakan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya. (Black, J.M, et.al, 1993 dan Apley, A. Graham, 1993) 10. Komplikasi fraktur a. Komplikasi awal 1) Kerusakan arteri Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstemitras yang disebakan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan. 2) Kompartement syndrom Kompartement syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh udema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat. 3) Fat Embolist Syndrom FES adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tacycardia, hyperternsi, tacypnea, dan demam. 4) Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak apabila ada trauma pada jaringan. Trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk kedalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti plin dan plat. 5) Avaskuler Nekrosis
AVN terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganngu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. 6) Shock Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler
yang
bisa
menyebabkan
menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur. b. Komplikasi Dalam Waktu Lama 1) Delayod Union Merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang. 2) Nonunion Merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrotis. Ini juga disebabkan oleh aliran darah yang kurang. 3) Malunion Merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion
dilakukan dengan pembedahan dan remobilisasi yang baik. (Black, J,M, et.al, 1993) 11. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Radiologi b. Pemeriksaan laboratorium c. Pemeriksaan lain-lain 1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. 2) Biopsi tulang dan otot: pada pemeriksaan ini intinya sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi. 3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. 4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebih. 5) Indium Imaging: pada pemriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. 6) MRI: menggambarkan semua kerusakan pada fraktur. (Ignatavicius, Donna D, 1995) 12. Penatalaksanaan Empat tujuan penatalaksanaan fraktur adalah: a. Untuk menghilangkan nyeri
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena jaringan di sekitar tulang yang patah tersebut terluka. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan teknik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur). Teknik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips. 1) Pembidaian: benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
2) Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah. Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah: a) Imobilisasi dan penyangga fraktur b) Istirahatkan dan stabilisasi c) Koreksi deformitas d) Mengurangi aktivitas e) Membuat cetakan tubuh ortotik Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah: a) Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan b) Gips yang patah tidak bisa digunakan c) Gips yang terlalu kecil atau longga sangat membahayakan pasien d) Jangan merusak/menekan gips e) Jangan pernah memasukkan benda asing ke gips f)
Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh lebih lama
3) Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan lagi teknik yang lebih mantap
seperti pemasangan traksi kontinu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal, tergantung dari jenis frakturnya sendiri. a) Penarikan (traksi) Secara umum, traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstremitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain: (1) Traksi manual Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergensi. (2) Traksi mekanik, ada 2 macam: (a) Traksi kulit (skin traction) Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban <5 kg. (b) Traksi skeletal Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan
balanced
menyempurnakan
luka
traction. operasi
Dilakukan
untuk
dengan
kawat
metal/penjepit melalui tulang/jaringan metal.
(3) Kegunaan pemasangan traksi, antara lain: (a) Mengurangi nyeri akibat spasme otot. (b) Memperbaiki dan mencegah deformitas. (c) Imobilisasi. (d) Mengencangkan pada perlekatannya. Prinsip pemasangan traksi: (a) Tali
utama
dipasang
di
pin
rangka
sehingga
menimbulkan gaya tarik. (b) Berat
ekstremitas dengan
seimbang
dengan
pemberat
alat penyokong harus agar
reduksi
dapat
dipertahankan. (c) Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberikan lapisan khusus. (d) Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol. (e) Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai.
b) Dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang. Pada saat ini, metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut dengan fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya, insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidai anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan paku. Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain: (a) Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah. (b) Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada di dekatnya. (c) Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai. (d) Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain. (e) Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada
kasus-kasus
yang
tanpa
komplikasi
dan
dengan
kemampuan mempertahankan fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama penatalaksanaan dijalankan.
(1) Fiksasi Interna Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi untuk fraktur lainnya kurang cocok. Fraktur dapat dipertahankan lurus dan terhadap panjangnya dengan nail, tetapi fiksasi mungkin tidak cukup kuat untuk mengontrol rotasi. Nailing diindikasikan jika hasil pemeriksaan radiologi memberi kesan bahwa jaringan lunak mengalami interposisi di antara ujung tulang karena hal ini hampir selalu menyebabkan non-union. Keuntungan intramedullary nailing adalah dapat memberikan stabilitas longitudinal serta kesejajaran (alignment) serta membuat penderita dápat dimobilisasi cukup cepat untuk meninggalkan rumah sakit dalam waktu 2 minggu setelah fraktur. Kerugian meliput anestesi, trauma bedah tambahan dan risiko infeksi. Closed nailing memungkinkan mobilisasi yang tercepat dengan trauma yang minimal, tetapi paling sesuai untuk fraktur transversal tanpa pemendekan. Comminuted fracture paling baik dirawat dengan locking nail yang dapat mempertahankan panjang dan rotasi.
(2) Fiksasi Eksterna Bila fraktur yang dirawat dengan traksi stabil dan massa kalus terlihat pada pemeriksaan radiologis, yang biasanya pada minggu ke enam, cast brace dapat dipasang. Fraktur dengan intramedullary nail yang tidak memberi fiksasi yang rigid juga cocok untuk tindakan ini.
(a) Agar terjadi penyatuan tulang kembali Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun terkadang terdapat gangguan dalam penyatuan tulang, sehingga dibutuhkan graft tulang. (b) Untuk mengembalikan fungsi seperti semula Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin. (Paramita, Trisa P. (2015). Laporan Pendahuluan: Fraktur. (online), (https://www.pdfcoke.com/document_downloads/direct/262510577?extension =docx&ft=1546123126<=1546126736&user_id=367697501&uahk=jIBURbqWvMqnyr5XuResPcnio8)
B. Konsep Dasar Hambatan Mobilisasi Fisik 1. Pengertian Hambatan Mobilisasi Fisik a. Mobilisasi Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat.
Mobilisasi
diperlukan untuk
meninngkatkan kesehatan,
memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degeneratif dan untuk aktualisasi. Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat
napas
dalam
dan
menstimulasi
kembali
fungsi
gastrointestinal normal, dorong untuk menggerakkan kaki dan tungkai bawah sesegera mungkin, biasanya dalam waktu 12 jam (Mubarak, 2008). b. Imobilisasi Imobilisasi adalah suatu keadaan dimana penderita harus istirahat di tempat tidur,tidak bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau gangguan pada alat/organ tubuh yang bersifat fisik atau mental. Dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan tidak bergerak / tirah baring yang terus – menerus selama 5 hari atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis (Bimoariotejo, 2009). 2. Tujuan Mobilisasi a. Memenuhi kebutuhan dasar manusia b. Mencegah terjadinya trauma
c. Mempertahankan tingkat kesehatan d. Mempertahankan interaksi sosial dan peran sehari – hari e. Mencegah hilangnya kemampuan fungsi tubuh 3. Batasan Karakteristik a. Ketidakmampuan untuk bergerak dengan tujuan di dalam lingkungan, termasuk mobilitas di tempat tidur, berpindah dan ambulasi. b. Keengganan untuk melakukan pergerakan. c. Keterbatasan rentang gerak. d. Penurunan kekuatan, pengendalian, atau masa otot. e. Mengalami pembatasan pergerakan, termasuk protocol-protokol mekanis dan medis f. Gangguan koordinasi 4. Jenis Mobilitas & Imobilitas a. Jenis Mobilitas : 1) Mobilitas penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motorik volunteer dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang. 2) Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan
sessorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi. Pada pasien paraplegi dapat mengalami mobilitas sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol motorik dan sensorik. Mobilitas sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu: a) Mobilitas
sebagian
temporer,
merupakan
kemampuan
individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversibel pada system musculoskeletal, contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang. b) Mobilitas permanen, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya system saraf yang reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi karena
cedera
tulang
belakang,
poliomilitis
karena
terganggunya system saraf motorik dan sensorik. b. Jenis Imobilitas : 1) Imobilisasi fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan. 2) Imobilisasi intelektual,
merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir. 3) Imobilitas emosional, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. 4) Imobilitas sosial, merupakan keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya, sehingga dapat mempengaruhi perannya dalam kehidupan sosial. 5. Etiologi Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi juga menyebabkan imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat menyebabkan orangusia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun dirumah sakit (Setiati dan Roosheroe, 2007). Penyebab secara umum: a. Kelainan postur b. Gangguan perkembangan otot
c. Kerusakan system saraf pusat d. Trauma lanngsung pada system mukuloskeletal dan neuromuscular e. Kekakuan otot Kondisi-kondisi yang menyebabkan immobilisasi antara lain: (Restrick, 2005) a. Fall b. Fracture c. Stroke d. Postoperative bed rest e. Dementia and Depression f. Instability g. Hipnotic medicine h. Impairment of vision i. Polipharmacy j. Fear of fall 6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mobilisasi a. Gaya hidup Gaya hidup sesorang sangat tergantung dari tingkat pendidikannya. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan di ikuti oleh perilaku yang dapat meningkatkan kesehatannya. Demikian halnya dengan pengetahuan kesehatan tetang mobilitas seseorang akan senantiasa melakukan mobilisasi dengan cara yang sehat misalnya; seorang
ABRI akan berjalan dengan gaya berbeda dengan seorang pramugari atau seorang pemabuk. b. Proses penyakit dan injuri Adanya
penyakit
tertentu
yang
di
derita
seseorang
akan
mempengaruhi mobilitasnya misalnya; seorang yang patah tulang akan kesulitan untukobilisasi secara bebas. Demikian pula orang yang baru menjalani operasi. Karena adanya nyeri mereka cenderung untuk bergerak lebih lamban. Ada kalanya klien harus istirahat di tempat tidurkarena mederita penyakit tertentu misallya; CVA yang berakibat kelumpuhan, typoid dan penyakit kardiovaskuler. c. Kebudayaan Kebudayaan dapat mempengarumi pola dan sikap dalam melakukan aktifitas misalnya; seorang anak desa yang biasa jalan kaki setiap hari akan berebda mobilitasnya dengan anak kota yang biasa pakai mobil dalam
segala
keperluannya.
Wanita
kraton
akan
berbeda
mobilitasnya dibandingkan dengan seorang wanita madura dan sebagainya. d. Tingkat energi Setiap orang mobilisasi jelas memerlukan tenaga atau energi, orang yang lagi sakit akan berbeda mobilitasnya di bandingkan dengan orang sehat apalagi dengan seorang pelari.
e. Usia dan status perkembangan Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasnya dibandingkan dengan seorang remaja. Anak yang selalu sakit dalam masa pertumbuhannya akan berbeda pula tingkat kelincahannya dibandingkan dengan anak yang sering sakit. (Asmadi. 2008) 7. Komplikasi a. Perubahan Metabolik Secara umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme secara normal,
mengingat
imobilitas
dapat
menyebabkan
turunnya
kecepatan metabolisme dalam tubuh. Immobilisasi menggangu fungsi metabolic normal antara lain laju metabolic: metabolisme karbohidarat, lemak, dan protein, keseimbangan cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan kalsium, dan gangguan pencernaan. Keberdaaan infeksius padaklien immobilisasi meningkatkan BMR karena adanya demam dan penyembuhanluka yang membutuhkan peningkatan kebutuhan oksigen selular. Gangguan metabolic yang mungkin terjadi : 1) Defisensi kalori dan proterin merupakan karakteristik klien yangmengalamianoreksia
sekunder
akibat
mobilisasi.
Immobilisasi menyebabkan asam aminotidak digunakan dan akan diekskresikan. Pemcahan asasm amino akan terusterjadi dan menghasilkan
nitrogen
sehingga
akumulasinya
kan
menyebbakankeseimbangan nitrogen negative , kehilangan berat badan , penurnan massaotot, dan kelemahan akibat katabolisme jarinagn. Kehilangan masa otottertutama pada hati,jantung,paruparu, saluran pencernaan, dan imunitas. 2) Ekskresi kalssium dalam urin ditngkatkan melalui resorpsi tulang. Hal initerjadi karena immobilisasi menyebabkan kerja ginjal yang menyebabkanhiperkalsemia. 3) Gangguan
nutrisi
(hipoalbuminemia)
Imobilisasi
akan
mempengaruhi system metabolik dan endokrin yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang imobilisasi sehingga menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresinitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia. 4) Gannguan gastrointestinal terjadi akibta penurunan motilitas usus. Konstipasi sebagai gejala umum , diare karena feces yang cair melewati bagian tejpit dan menyebabkan masalah serius berupa obstruksi usus mekanik bila tidak ditangani karena adanya distensi
dan peningkatan intraluminal yang akan semakin parah bila terjadi dehidrasi, terhentinya basorbsi, gannguan cairan dan elektrolit. b. Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak dari imobilitas akan mengakibatkan persediaan protein menurun dan konsenstrasi protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh. Berkurangnya perpindahan cairan dari intravaskular ke interstitial dapat menyebabkan edema, sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. c. Gangguan Pengubahan Zat Gizi Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan oleh menurunnya pemasukan protein dan kalori dapat mengakibatkan pengubahan zatzat makanan pada tingkat sel menurun, dan tidak bisa melaksanakan aktivitas metabolisme, d. Gangguan Fungsi Gastrointestinal Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi
gastrointestinal,
karena imobilitas dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna dan dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi. e. Perubahan Sistem Pernapasan Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem pernapasan. Akibat imobilitas, kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah otot.
f. Perubahan Kardiovaskular Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas, yaitu berupa hipotensi ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan terjadinya pembentukan trombus. g. Perubahan Sistem Muskuloskeletal 1) Gangguan Muskular: menurunnya massa otot sebagai dampak imobilitas, dapat menyebabkan turunnya kekuatan otot secara langsung. 2) Gangguan Skeletal: adanya imobilitas juga dapat menyebabkan gangguan skeletal, misalnya akan mudah terjadi kontraktur sendi dan osteoporosis. h. Perubahan Sistem Integumen Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilitas. i. Perubahan Eliminasi Perubahan dalam eliminasi misalnya dalam penurunan jumlah urine. j. Perubahan Perilaku Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas, antara lain timbulnya rasa bermusuhan, bingung, cemas, dan sebagainya. 8. Pemeriksaan Penunjang a. Sinar –X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan perubahan hubungan tulang.
b. CT scan (Computed Tomography) menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cidera ligament atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang didaerah yang sulit dievaluasi. c. MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan khusus, noninvasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan computer untuk memperlihatkan abnormalitas (mis: tumor atau penyempitan jalur jaringan lunak melalui tulang. Dll. d. Pemeriksaan Laboratorium: i. Hb ↓pada trauma, Ca↓ pada imobilisasi lama, Alkali Fospat ↑, kreatinin dan SGOT ↑ pada kerusakan otot. 9. Penatalaksanaan a. Pengaturan Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan Pasien Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas, digunakan untuk meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan fleksibilitas sendi. Posisi-posisi tersebut, yaitu : 1) Posisi fowler (setengah duduk) 2) Posisi litotomi 3) Posisi dorsal recumbent 4) Posisi supinasi (terlentang) 5) Posisi pronasi (tengkurap)
6) Posisi lateral (miring) 7) Posisi sim 8) Posisi trendelenbeg (kepala lebih rendah dari kaki) b. Ambulasi dini Cara ini adalah salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan
dan
ketahanan
otot
serta
meningkatkan
fungsi
kardiovaskular.. Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara melatih posisi duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan lain-lain. c. Melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri juga dilakukan untuk melatih kekuatan, ketahanan, kemampuan sendi agar mudah bergerak, serta meningkatkan fungsi kardiovaskular. d. Latihan isotonik dan isometrik Latihan ini juga dapat dilakukan untuk melatih kekuatan dan ketahanan otot dengan cara mengangkat beban ringan, lalu beban yang berat. Latihan isotonik (dynamic exercise) dapat dilakukan dengan rentang gerak (ROM) secara aktif, sedangkan latihan isometrik (static exercise) dapat dilakukan dengan meningkatkan curah jantung dan denyut nadi. e. Latihan ROM Pasif dan Aktif
Latihan ini baik ROM aktif maupun pasif merupakan tindakan pelatihan untuk mengurangi kekakuan pada sendi dan kelemahan otot. Latihan-latihan itu, yaitu : 1) Fleksi dan ekstensi pergelangan tangan 2) Fleksi dan ekstensi siku 3) Pronasi dan supinasi lengan bawah 4) Pronasi fleksi bahu 5) Abduksi dan adduksi 6) Rotasi bahu 7) Fleksi dan ekstensi jari-jari 8) Infersi dan efersi kaki 9) Fleksi dan ekstensi pergelangan kaki 10) Fleksi dan ekstensi lutut 11) Rotasi pangkal paha 12) Abduksi dan adduksi pangkal paha f. Latihan Napas Dalam dan Batuk Efektif Latihan ini dilakukan untuk meningkatkan fungsi respirasi sebagai dampak terjadinya imobilitas. g. Melakukan Postural Drainase Postural drainase merupakan cara klasik untuk mengeluarkan sekret dari paru dengan menggunakan gaya berat (gravitasi) dari sekret itu
sendiri. Postural drainase dilakukan untuk mencegah terkumpulnya sekret dalam saluran napas tetapi juga mempercepat pengeluaran sekret
sehingga
tidak
terjadi
atelektasis,
sehingga
dapat
meningkatkan fungsi respirasi. Pada penderita dengan produksi sputum yang banyak, postural drainase lebih efektif bila diikuti dengan perkusi dan vibrasi dada. h. Melakukan komunikasi terapeutik Cara ini dilakukan untuk memperbaiki gangguan psikologis yaitu dengan cara berbagi perasaan dengan pasien, membantu pasien untuk mengekspresikan kecemasannya, memberikan dukungan moril, dan lain-lain. (Tarwoto & Wartonah, 2003)
C. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Pengumpulan Data 1) Anamnese a) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama. Bahasa yang diapakai, status perkawinan,pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. registrasi, tanggal MRS, diagnosa medis. b) Riwayat keperawatan. Hal yang perlu dikaji diantaranya adalah riwayat adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal, ketergantungan terhadap orang lain dalam melakukan aktivitas, jenis latihan atau olahraga yang sering dilakukan klien dan lain-lain. c) Pola Fungsi Kesehatan a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus hambatan mobilisasi fisik pada fraktur harus melaksanakan membantu
penatalaksanaan
penyembuhan
kesehatan
tulangnya.
Selain
untuk itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat
steroid
yang
dapat
menganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa menganggu
keseimbangannya
dan
apakah
klien
melakukan olahraga atau tidak. (Ignatavicius, Donna D, 1995) b) Pola Aktivitas Karena adanya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang, dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang
perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibandingkan pekerjaan yang lain. (Ignatavicius, Donna D, 1995) c) Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995) d) Pola Persepsi dan Konsep diri Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakadekuatan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image). (Ignatavicius, Donna D, 1995) e) Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien yang mengalami rawat inap dan keterbatasan gerak serta adanya rasa nyeri yang dialami klien sehingga akan mengaganggu aktivitas hubungan seksual klien. Selain itu juaga perlu dikaji status perkawinan
klien
termasuk
jumlah
anak.
perkawinannya. (Ignativicius, Donna D, 1995) f) Pola Penanggulangan Stress
Lama
Pada klien fraktur yang mengalami hambatan mobilisasi fisik akan mengalami kecemasan pada keadaan dirinya akibat kecacatan dan fungsi yang terganggu pada dirinya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif. (Ignatavicius, Donna D, 1995) g) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuahan beribadah
dengan
baik
terutama
frekuensi
dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkanan karena nyeri dan keterbatasan gerak. (Ignativicius, Donna D, 1995) b. Pemeriksaan fisik, meliputi rentang gerak, kekuatan otot, sikap tubuh, dan dampak imobilisasi terhadap sistem tubuh. c. Pemeriksaan Diagnostik 1) Pemeriksaan Laboratorium 2) Pemeriksaan Radiologi 3) Pemeriksaan lain-lain a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. b) Biopsi tulang dan otot: pada pemeriksaan ini intinya sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebih. e) Indium Imaging: pada pemriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. f) MRI: menggambarkan semua kerusakan pada fraktur. (Ignatavicius, Donna D, 1995) 2. Analisa Data Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokan dan dianalisis untuk menentukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokannya dibagi menjadi dua data yaitu, data subjektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan masalah keperawatan yang timbul. 3. Diagnosa Keperawatan a. Gangguan mobilitas fisik
Daftar Pustaka
Asmadi. 2008. Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien, Jakarta : Salemba Medika Di, F., Rsup, I. A., & Kandou, P. R. D. (2015). No Title, 3. Djamil, M., Sagaran, V. C., Manjas, M., & Rasyid, R. (2017). Artikel Penelitian Distribusi Fraktur Femur Yang Dirawat Di Rumah Sakit, 6(3), 586–589. Journal, I. N., Keilmuan, B., Medikal, K., Studi, P., Keperawatan, I., Kedokteran, F., & Kuala, U. S. (n.d.). MOBILISASI PADA PASIEN FRAKTUR MELALUI PENDEKATAN KONSEPTUAL MODEL DOROTHEA E . OREM Mobilisation Patient Fraktur with Concepts Models Dorothea E . Orem, 26–34. Kushariyadi. 2010. Askep pada Klien Lanjut Usia. Jakarta: Salemba Medika Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
No Title. (2017), 6(1). Paramita, Trisa P. (2015).Laporan Pendahuluan : Fraktur. (online), (https://www.pdfcoke.com/document_downloads/direct/262510577?extension=do cx&ft=1546123126<=1546126736&user_id=367697501&uahk=jIBURbqWvMqnyr5XuResPcnio8
Perry & Potter. 2006. Buku ajar fundal mental keperawatan konsep, proses dan praktik. Edisi
4. Jakarta : EGC. Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa
Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Tarwoto & Wartonah, 2003. Kebutuhan dasar manusia & proses keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Wilkinson, Judith M. 2007. Buku saku diagnosa keperawatan dengan intervensi NIC dan EGC.
kriteria hasil NOC. Jakarta :