Proporsi Dermatofitosis Di Rsud Mataram

  • Uploaded by: Taufik Abidin
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Proporsi Dermatofitosis Di Rsud Mataram as PDF for free.

More details

  • Words: 8,095
  • Pages: 44
PROPORSI DERMATOFITOSIS SUPERFISIALIS DI RSUD MATARAM PERIODE JANUARI – DESEMBER 2006 KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan sebagai syarat meraih gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

Oleh Taufik Abidin H1A003048

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2008

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Kondisi geografis Indonesia yang merupakan daerah tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi akan memudahkan tumbuhnya jamur, sehingga infeksi oleh karena jamur di Indonesia banyak ditemukan. (Nasution MA, 2006). M. Nasution, dkk melaporkan jumlah penderita dermatomikosis pada tahun1996-1998 sebanyak 4.162 orang dari 20.951 penderita baru penyakit kulit yang berkunjung ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin FK USU, RSUP H. Adam Malik, RSUD dr. Pirngadi Medan. Dan pada tahun 2002 penyakit dermatofitosis merupakan penyakit kulit yang menduduki urutan pertama dibandingkan dengan penyakit kulit yang lain. (Nasution MA, 2006). Dermatomikosis atau mikosis superfisialis cukup banyak diderita penduduk negara tropis. Di Indonesia angka yang tepat, berapa sesungguhnya insidens dermatomikosis belum ada. Di Denpasar, golongan penyakit ini menempati urutan kedua setelah dermatitis. Angka insidens tersebut diperkirakan kurang lebih sama dengan di kota-kota besar Indonesia lainnya. Di daerah pedalaman angka ini mungkin akan meningkat dengan variasi penyakit yang berbeda. (Adiguna MS. 2004). Berdasarkan penelitian di India yang mengambil sampel sebanyak 121 kasus (98 pria & 23 perempuan), dermatofitosis menempati urutan pertama untuk kasus penyakit kulit, 103 kasus (70,5%), diikuti candidiasis 30 kasus (20,5%) dan pityriasis versikolor 13 kasus (0,9%). Kasus dermatofitosis terbanyak ialah Tinea Pedis (29,2%), diikuti Tinea Kruris (26,2%), Tinea Korporis (15,5%), Tinea Manuum (13,6%), Tinea Unguium

2

(8,7%), Tinea Kapitis (3,9%), dan Tinea Faciei (2,9%). Dermatofita terbanyak yang diisolasi ialah Trichophyton tonsurans (20.5%) diikuti T rubrum (8.7%) dan M ferrugineum (5,8%). (Grover WCS, dkk. 2003). Studi yang dilakukan di Madras selama periode 2 tahun dari januari 2001 sampai dengan desember 2002, didapatkan kasus klinis dengan kecurigaan mikologis sebanyak 165 kasus. Spesimen yang diambil dari kulit, rambut, akar rambut, dan pus. Sebanyak 80 kasus (48,5%) dari 165 kasus merupakan dermatofitosis, 39 kasus (23,6%) merupakan pityriasis versikolor, 29 kasus (17,1%) merupakan kandidiasis, dan 12 kasus (7,1%) merupakan misetoma. Dermatofita yang berhasil diisolasi antara lain T.rubrum, T.violaceum, masing-masing dari 21 spesimen, T.mentagrophytes dari 6 spesimen, T.simii dari 3 spesimen, dan Epidermophyton floccosum dari 2 spesimen. (Kannan P, Janaki C, Selvi GS, 2006). Sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan pada penderita dermatomikosis yang dirawat di IRNA Penyakit Kulit Dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya dalam kurun waktu antara 2 januari 1998 sampai dengan 31 desember 2002. Dari pengamatan selama 5 tahun didapatkan 19 penderita dermatomikosis. Kasus terbanyak terjadi pada usia antara 15-24 tahun (26,3%), penderita wanita hampir sebanding dengan laki-laki (10:9). Dermatomikosis terbanyak ialah Tinea Kapitis, Aktinomisetoma, Tinea Kruris et Korporis, Kandidiasis Oral, dan Kandidiasis Vulvovaginalis. (Riyanto Eko, Suyoso Sunarso. 2003). Beberapa rumah sakit di kota besar di Indonesia telah mengumpulkan data-data tentang insiden penyakit dermatofitosis, antara lain RSCM, RS Dr Hasan Sadikin, RS Dr Kariadi, RS Dr Sarjito, RS Dr Muwardi, RS Dr Soetomo, RSD Dr Sjaiful Anwar,RS Dr Wahidin Sudirohusodo, RS H. Adam Malik, RS Dr M. Jamil, RSUP Palembang, dan

3

RSUP Persahabatan. Data diambil dari tahun 1996 sampai dengan 1998. Berikut tabel insiden dermatomikosis tahun 1996, 1997, dan 1998 di berbagai rumah sakit pendidikan dokter di Indonesia. (Adiguna MS. 2004). Table 1.1 Insiden dermatofitosis dan dermatosis di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di Indonesia tahun 1996, 1997, dan 1998.

Sumber : Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia. Dalam Dermatomikosis Superfisialis cetakan kedua hal. 1-6, 2004.

Jenis organisme penyebab dermatomikosis yang berhasil dibiakkan pada beberapa rumah sakit tersebut yakni: T.rubrum, T.mentagrophytes, M.canis, M.gypseum, M.tonsurans,

E.floccosum, Candida albicans, C.parapsilosis, C.guilliermondii,

Penicillium, dan Scopulariopsis. Menurut Rippon tahun 1974 ada 37 spesies dermatofita yang menyebabkan penyakit di dunia. (Adiguna MS. 2004).

4

Dermatofitosis atau infeksi ringworm bisa menginfeksi kulit, rambut, dan kuku. Berdasarkan data statistik dari klinik dermatologi disini, insiden relatif dari beberapa tipe klinisnya adalah tinea kruris (33%), tinea korporis (18%), tinea pedis (16%), tinea kapitis (14%), tinea manuum (9%), dan tinea unguium (9%). (Wong KO, 2000). Penyakit kulit karena infeksi jamur prevalensinya cukup tinggi di Indonesia dan sangat disayangkan lebih banyak ditemukan pada masyarakat yang berekonomi lemah. (Nasution MA, 2006). Penelitian yang dilakukan di Madras terhadap 462 pasien yang tinggal di tempat yang kondisi sosial ekonomi yang berbeda, didapatkan infeksi dermatofita sebanyak 372 pasien (70,7%). Frekuensi terbanyak dari hasil isolasi dermatofita ialah Trichophyton rubrum. Sebanyak 35% pasien yang terinfeksi, berasal dari penduduk yang berpendapatan sangat rendah (grup-I), 34,2% dari penduduk yang berpendapatan rendah (grup-II), 23,3% dari penduduk yang berpendapatan menengah (grup-III), dan 1,8% dari penduduk yang berpendapatan tinggi (grup-IV). (Ranganathan S, dkk. 1995). Indonesia termasuk wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur, sehingga dapat ditemukan hampir di semua tempat. Menurut Adiguna MS, insidensi penyakit jamur yang terjadi di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia bervariasi antara 2,93%-27,6%. Meskipun angka ini tidak menggambarkan populasi umum. (Riyanto eko, Suyoso sunarso. 2003).

1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana distribusi penyakit dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Mataram periode Januari-Desember pada tahun 2006?”

5

1.3 Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui prevalensi penyakit dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Mataram periode Januari-Desember pada tahun 2006. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui prevalensi penderita penyakit dermatofitosis berdasarkan jenis kelamin pasien di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Mataram periode Januari-Desember pada tahun 2006. b. Mengetahui prevalensi dermatofitosis setiap bulan selama 1 tahun pada tahun 2006 di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Mataram. c. Mengetahui prevalensi dermatofitosis berdasarkan klasifikasi penyakit di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Mataram periode Januari-Desember pada tahun 2006. d. Mengetahui prevalensi penderita penyakit dermatofitosis berdasarkan umur pasien di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Mataram periode Januari-Desember pada tahun 2006.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk penyelidikan/ tindakan selanjutnya.

6

2. Peneliti dapat mengambil banyak pengetahuan yang lebih mendalam mengenai berbagai penyakit dermatofitosis baik secara teori maupun praktik. 3. penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan informasi tambahan bagi dunia pendidikan kesehatan baik pemerintah atau pun pihak swasta terutama untuk wilayah Mataram.

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Dermatofitosis Istilah dermatomikosis harus dibedakan dengan dermatofitosis. Dermatomikosis ialah semua penyakit jamur yang menyerang kulit. Sedangkan dermatofitosis ialah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Sinonim dari dermatofitosis ialah Tinea, ringworm, kurap, teigne, herpes sirsinata. (Budimulja U. 2002). Penyakit

yang

disebabkan

oleh

golongan

jamur

dermatofit

disebut

dermatofitosis. Golongan jamur ini dapat mencerna keratin kulit oleh karena mempunyai daya tarik terhadap keratin (keratinofilik) sehingga infeksi jamur ini dapat menyerang lapisan-lapisan kulit mulai dari stratum korneum sampai dengan stratum basalis. (Boel T, 2003). Berdasarkan pengertian dari WHO, jamur dermatofita digolongkan atas 3 kelompok genus antara lain : Epidermophyton, Trichophyton, dan Microsporum. Kelompok dermatofita ini terdiri atas 40 spesies dan memiliki karakter: 1. Kelompok taksonominya saling berhubungan. 2. Bersifat keratolitik, artinya jamur dermatofita memiliki kemampuan menginvasi dan mencerna keratin sebagai saprofit dalam in vitro dan in vivo, membentuk lesi pada tempat hidupnya. 3. Sebagai jamur penyebab infeksi pada manusia dan hewan. Pada manusia, jamur tersebut menginvasi rambut, kuku, dan kulit. (del Palacio A, et al. 2000).

8

2.2

Etilologi Dermatofitosis Superfisialis Agen penyebab dermatofitosis disebut dermatofita, yang mempunyai sifat

mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Sampai saat ini dikenal sekitar 40 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21 spesies Trichophyton. Dikenal juga genus Nannizia dan Arthroderma yang masing-masing dihubungkan dengan genus Microsporum dan Trichophyton. (Budimulja U, 2002). Golongan jamur dermatofita merupakan kelompok jamur berfilamen, yang terbagi dalam 3 genus yaitu Trichophyton, Mycrosporum, dan Epidermophyton. Jamur ini dapat menginfeksi jaringan keratin manusia maupun binatang. (Mansjoer Arif, dkk. 2000). Jenis organisme penyebab dermatomikosis yang berhasil dibiakkan pada beberapa rumah sakit pendidikan di Indonesia yakni: T.rubrum, T.mentagrophytes, M.canis, M.gypseum, M.tonsurans, E.floccosum, Candida albicans, C.parapsilosis, C.guilliermondii, Penicillium, dan Scopulariopsis. Menurut Rippon tahun 1974 ada 37 spesies dermatofita yang menyebabkan penyakit di dunia. (Adiguna MS. 2004). Budimulja melaporkan penyebab dermatofitosis yang dapat dibiakkan di Jakarta ialah T.rubrum (57,6%), E.floccosum (17,5%), M.canis (9,2%). T.mentagrophytes var.granulare (9,0%), M.gypseum (3,2%), T.concentricum (0,5%). Disebutkan pula M.ferrugineum yang pernah dilaporkan oleh Gouw pada tahun 1965 sebagai penyebab tinea kapitis. Di RSU Adam Malik/Dokter Pirngadi Medan spesies jamur penyebab adalah T.rubrum (43%), E.floccosum (12,1%), T.mentagrophytes (4,4%), dan M.canis (2%) serta nondermatofita (18,5%), ragi (19,1%), C.albicans (17,3%), Candida lain

9

(1,8%). Organisme lain yang pernah dilaporkan di Indonesia antara lain Piedra hortae penyebab piedra hitam, Trichosporon beigelli penyebab piedra putih, Aspergillus sp. dan kapang lainnya sebagai penyebab onikomikosis. (Adiguna MS. 2004). Dermatofitosis ialah suatu infeksi pada rambut, kulit, atau kuku yang disebabkan oleh dermatofita, antara lain yang terbanyak ialah genus Trichophyton dan yang paling jarang ialah dari genus Microsporum atau Epidermophyton. (Gupta AK, dkk. 2005). Dermatofitosis disebabkan jamur golongan dermatofita yang terdiri dari tiga genus yaitu genus: Mikrosporon, Trikofiton dan Epidermofiton. Dari 41 spesies dermafito yang sudah dikenal hanya 23 spesies yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang terdiri dari 15 spesies Trichophyton, 7 spesies Microsporum dan 1 spesies Epidermophyiton. (Boel T, 2003). Trichophyton rubrum merupakan patogen terbanyak yang menyebabkan dermatofitosis, termasuk tinea pedis, tinea korporis, dan tinea kruris. (Weinstein Andrew, 2002). Etiologi predominan berbeda-beda untuk tiap benua, tapi spesies antropofilik Trichophyton tonsurans dan Microsporum audounii merupakan penyebab dominan tinea kapitis di Amerika Utara, Tengah, dan Selatan. (Warnock DW, 2004). Baru-baru ini telah ditemukan suatu spesies baru sebagai agen penyebab dermatofitosis yang masih termasuk dalam varian T.rubrum. Agen penyebab itu dinamakan Trichophyton raubitschekii. T. raubitschekii ditemukan pada suatu kasus dermatofitosis di Brazil pada seorang wanita berusia 49 tahun. Gejala klinis yang terlihat yaitu papulo-eritematous dan pruritus ringan di bagian kiri wajahnya. (Costa RA, et al. 2003).

10

Dermatofita golongan antropofilik merupakan dermatofita yang paling sering ditemukan pada hasil isolasi. (Weinstein Andrew, et al. 2002).

2.3

Patogenesis Dermatofitosis Dermatofita merupakan jamur keratinofilik yang normalnya ditemukan pada

jaringan keratinisasi yang sudah mati, seperti pada stratum korneum, sekitar rambut, dan di lapisan kuku atau pangkal kuku. Gejala klinis dari infeksi dermatofita menunjukkan hasil kerja kombinasi antara jaringan dan respon imun. Jaringan yang rusak itu menunjukkan kelainan mekanis dan aktivitas enzimatis. Dermatofita memproduksi keratinolitik proteinase yang efektif pada pH asam dan enzim ini berperan dalam faktor virulensinya. (Warnock DW, 2004). Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya di dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke dalam jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhan jamur dengan pola radial di dalam stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit sirsinar dengan batas yang jelas dan meninggi yang disebut ringworm. (Mansjoer Arif, dkk. 2000). Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh nonspesifik dan spesifik. Pada waktu menginvasi penjamu (host), jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa penjamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan penjamu. Selanjutnya jamur harus mampu bertahan di dalam lingkungan penjamu dan dapat menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia penjamu untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi radang. Dari berbagai kemampuan tersebut, kemampuan jamur untuk menyesuaikan

11

diri, dan kemampuan mengatasi pertahanan selular, merupakan dua mekanisme terpenting dalam patogenesis penyakit jamur. (Cholis M, 2004). Tabel 2.1 faktor virulensi jamur dan mekanisme penghindaran dari pertahanan imun tubuh. Virulensi Mekanisme Penghindaran Dimorfisme Pembentukan filamen Struktur dinding sel Menghambat sitokin sel Th2 Ikatan komplemen Menghambat zat besi Adhesin Host mimircry Antigen, alergen Perubahan dari respons perlindungan Th1 Enzim Penghancuran reaksi imun humoral Anti oksidan Pertahanan terhadap pembunuhan oksidatif Intercellular trafficking Lari dari fagosom ke dalam sitosol Sumber: M Cholis, 2004. Dalam Imunologi Dermatomikosis Superfisialis hal. 8.

Mekanisme imun nonspesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan infeksi jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi oleh faktor umum seperti gizi, keadaan hormonal, usia, dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa, sekresi permukaan, dan respons radang. (Cholis M, 2004). Produksi keringat dan sekresi kelenjar merupakan pertahanan spesifik, termasuk asam laktat yang mempunyai pengaruh langsung terhadap penekanan jamur, dan menyebabkan pH yang rendah untuk menambah potensi anti jamur. Sekresi yang lain seperti lisozim dalam air mata dan saliva juga mempunyai efek anti jamur. Perubahan dalam lingkungan mukosa, seperti meningkatnya kadar glukosa, akan menguntungkan bagi Candida. (Cholis M, 2004). Terdapat 2 unsur reaksi radang, yaitu pertama, produksi sejumlah komponen kimia yang larut dan bersifat toksik terhadap invasi organisme. Komponen kimia ini antara lain ialah Lisozim, Sitokin, Interferon, Komplemen, dan Protein Fase Akut. Unsur kedua merupakan elemen selular seperti netrofil dan makrofag, dengan fungsi utama fagositosis, mencerna, dan merusak partikel asing. Makrofag juga terlibat dalam

12

respons imun yang spesifik. Sel-sel lain yang termasuk respons radang nonspesifik ialah basofil, sel mast, eosinofil, trombosit, dan sel NK (Natural Killer). Neutrofil mempunyai peranan utama dalam pertahanan melawan infeksi jamur. (Cholis M, 2004).

2.4

Klasifikasi Dermatofitosis Superfisialis Secara klinis dermatofitosis dibagi berdasarkan bagian tubuh yang terkena,

yakni Tinea Kapitis (skalp, rambut, alis, bulu mata), Tinea Korporis (badan dan anggota badan, selain tangan, kaki, dan daerah kruris), Tinea Kruris (genitokrural sampai dengan bokong, pubis, paha atas medial), Tinea Barbae (daerah jenggot/ jambang), Tinea Manuum (tangan dan telapak tangan), Tinea Pedis (kaki dan telapak kaki), dan Tinea Unguium (kuku). (Mansjoer Arif, 2000). Klasifikasi dermatofitosis secara ekologis ialah zoofilik (dermatofita yang ditemukan pada binatang tapi dapat juga menginfeksi manusia), antropofilik (dermatofita yang ditemukan pada manusia), dan geofilik (dermatofita yang berasal dari tanah). (Budimuljia U, 2002). Pembagian yang lebih praktis dan dianut oleh para spesialis kulit ialah : (Budimuljia U, 2002). •

Tinea kapitis, yaitu dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.



Tinea barbae, yaitu dermatofitosis pada dagu dan jenggot.



Tinea kruris, yaitu dermatofitosis pada daaerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.



Tinea pedis et manum, yaitu dermatofitosis pada kaki dan tangan.



Tinea unguium, yaitu dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki.

13



Tinea korporis, yaitu dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk ke dalam bentuk tinea di atas. Akhir-akhir ini telah ditemukan istilah baru untuk tinea korporis yang

menyerang para pemain gulat. Tinea itu dinamakan Tinea Gladiatorum, yang disebabkan oleh T.tonsurans. (Kohl TD, Lisney M. 2000).

2.5

Penularan Dermatofitosis Superfisialis Penularan dermatofitosis dapat terjadi melalui kontak badan langsung, misalnya

pada Tinea Gladiatorum yang penularannya hanya pada para pemain gulat. (Kohl TD, Lisney M. 2000). Selain kontak langsung dengan manusia, penularan juga dapat terjadi antara individu dengan binatang peliharaan yang terinfeksi, tetapi kadang terjadi karena kontak dengan mamalia liar atau tanah yang terkontaminasi. Infeksi spesies antropofilik,seperti E.floccosum atau T.rubrum sering menyertai autoinokulasi dari bagian tubuh lain yang terinfeksi misalnya kaki. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian, perabot, alat mandi, dan sebagainya. (Goedadi MH, dkk. 2004). Disamping cara penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-kelainan di kulit tergantung dari beberapa faktor : (Boel T, 2003). 1. Faktor virulensi dari dermatofita. Virulensi ini tergantung pada afinitas jamur itu, apakah jamur Antropofilik, Zoofilik atau Geofilik. Selain afinitas ini masingmasing jenis jamur ini berbeda pula satu dengan yang lain dalam afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh Misalnya : Trichophyton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermatophyton floccosum paling sering menyerang lipat pada bagian dalam.

14

2. Faktor trauma. Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih sulit untuk terserang jamur. 3. Faktor suhu dan kelembaban. Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau lokal, di mana banyak keringat seperti lipat paha dan sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur ini. 4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan. Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur di mana terlihat insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah, penyakit ini lebih sering ditemukan dibanding golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik. 5. Faktor umur dan jenis kelamin. Penyakit Tinea kapitis lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan orang dewasa, dan pada wanita lebih sering ditemukan infeksi jamur di sela-sela jari dibanding pria dan hal ini banyak berhubungan dengan pekerjaan. Di samping faktor-faktor tadi masih ada faktorfaktor lain seperti faktor perlindungan tubuh (topi, sepatu dan sebagainya), faktor

transpirasi

serta

pemakaian

pakaian

yang

serba

nilan,

dapat

mempermudah penyakit jamur ini.

2.6

Gejala Klinis Dermatofitosis Superfisialis Dermatofita merupakan organisme penyebab utama pada kepala, sela-sela jari,

telapak kaki, telapak tangan, dan kuku. Di negara berkembang, tinea pedis merupakan kasus yang sering ditemukan. Berbeda dengan negara tropis yang didominasi oleh kasus Tinea kapitis dan Tinea korporis. (Nasution MA, 2006). Dermatofitosis pada kulit tidak berambut mempunyai morfologi yang khas, yaitu penderita merasa gatal dan kelainan yang terjadi berbatas tegas. Bagian tepi lesi lebih

15

aktif, tanda-tanda peradangan terlihat jelas daripada bagian tengahnya. Eczema marginatum adalah istilah yang tepat untuk lesi dermatofitosis secara deskriptif. (Budimuljia U, 2002). Gambaran klinis bervariasi bergantung pada lokasi kelainan, respon imun selular pasien, serta jenis spesies dan galur penyebab. Morfologi khas yaitu kelainan yang berbatas tegas, terdiri atas bermacam-macam efloresensi (polimorfi), bagian tepinya lebih aktif, terasa gatal. Pada beberapa keadaan, gambaran klinis tidak khas dan sulit didiagnosis, misalnya akibat infeksi sekunder atau pengobatan dengan kortikosteroid. Dermatofitosis dengan gambaran klinis tidak khas disebut tinea inkognito. (Mansjoer Arif, 2000). Golongan jamur dermatofita dapat menyebabkan beberapa bentuk klinis yang khas. Satu jenis dermatofita dapat menghasilkan bentuk klinis yang berbeda, bergantung pada lokasi anatominya. (Harahap Marwali, 2000).

2.6.1

Tinea Kapitis Tinea kapitis memiliki sinonim ringworm of the scalp. Penyebab tinea kapitis berbeda-beda berdasarkan letak geografisnya. Spesies tersering sebagai penyebab tinea kapitis yaitu Trichophyton Sp.dan Microsporum Sp.. (Nasution MA, dkk. 2004). Tinea kapitis banyak menyerang anak-anak dan sering ditularkan melalui binatang-binatang peliharaan seperti kucing, anjing, dan sebagainya.(Boel T, 2003).

16

Tabel 2.2 karakteristik dermatofita yang menyebabkan tinea kapitis. Ukuran Wood’s Organisme Jenis artrospora artrospora Fluoresensi M.audouinii Kecil (2-3 µm) Ektotriks + M.canis Kecil (2-3 µm) Ektotriks + T.mentogrophytes Kecil (3-5 µm) Ektotriks T.soudanense Besar (4-8 µm) Endotriks T.tonsurans Besar (4-8 µm) Endotriks T.verrucosum Besar (5-10 µm) Ektotriks T.violaceum Besar (4-8 µm) Endotriks Sumber: David W Warnock, 2004. superficial fungal infection. Dalam: infectious disease sec. edition, chapter 13; page 173-180.

Gejala klinis tinea kapitis dapat bervariasi dari lesi ringan dan rambut rontok dengan peradangan ringan sampai peradangan berat dengan kerion. (Warnock DW, 2004). Tinea kapitis memiliki tiga bentuk yang dikenal dalam klinis, yaitu: 1. Grey patch ringworm. Lesi dimulai dari papul eritematosa yang kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak yang memucat dan bersisik. Rambut menjadi berwarna abu-abu, tidak berkilat lagi, dan lebih mudah patah. Dapat terjadi alopesia setempat, batas lesi tidak tegas. Wood fluoresensi hijau kekuning-kuningan pada rambut yang sakit melampaui batas grey patch tersebut. Bagian rambut yang patah dekat dengan permukaan kulit kepala. (Warnock DW, 2004), (Harahap Marwali, 2000), (Mansjoer Arif, 2000), (Budimuljia U, 2002), (Nasution MA, dkk. 2004). 2. Black dot ringworm. Bentuk ini ditandai dengan rambut patah dan rapuh tepat pada muara folikel, sehingga ujung rambut yang hitam di dalam folikel rambut terlihat sebagai bintik hitam. Ujung rambut tersebut penuh dengan spora, sehingga memberi gambaran yang khas berupa titik-titik hitam.

17

Bentuk black dot ringworm ini paling sering menyerang orang dewasa dan lebih sering pada wanita. Rambut sekitar lesi juga tidak bercahaya lagi disebabkan kemungkinan sudah terkena infeksi jamur. (Boel T, 2003), (Harahap Marwali, 2000). 3. Kerion. Kerion merupakan suatu bentuk peradangan akut yang berat berupa pembengkakan menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang padat di sekitarnya dan disertai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lesi berupa massa/ benjolan lunak, basah dengan rambut yang patah dan pus, serta dapat terjadi limfadenopati. Keluhan subjektif berupa gatal, demam, dan sakit. Keadaan ini dapat menimbulkan jaringan parut yang berakibat alopesia permanen. (Budimuljia U, 2002), (Nasution MA, dkk. 2004).

Disamping ketiga jenis di atas, ada juga kelainan tinea kapitis yang lain, yaitu Tinea Favosa. Sifat dari tinea favosa ini berat dan kronis, terutama disebabkan oleh T.schoenleini, T.violaceum, dan M.gypseum. Gejala klinis dari Tinea favosa ialah adanya skutula berwarna kekuningan, yaitu krusta yang berbentuk mangkuk, dan bau seperti tikus pada pengangkatan krusta, serta terlihat dasar yang cekung, merah, dan basah. Biasanya lesi menjadi sikatriks alopesia permanen. (Harahap Marwali, 2000), (Nasution MA, dkk. 2004). 2.6.2

Tinea Barbae Infeksi biasa dimulai pada leher atau dagu. Kadang-kadang tinea barbae dapat berkembang tanpa tanda yang khas, tapi selalu dengan pruritus. Tinea yang disebabkan oleh jamur zoofilik lebih berat menimbulkan gejala klinis,

18

karena reaksi radang yang terjadi lebih kuat. Dagu, kumis, dan leher sering mengalami infeksi. Gejala klinis yang biasa timbul yaitu nodul dengan pustul multipel dan sinosus kering pada permukaannya. Rambut juga rontok atau patah; eksudat, pus, dan krusta di sekelilingnya (kerion celsi). Sedangkan tipe Noninflamasi yag disebabkan oleh dermatofita antropofilik dimulai dengan makula, eritematosa dengan peninggian di pinggir. Bercak makula dapat pula disertai papula, pustul, atau krusta. Rambut yang rusak dekat dengan kulit, dapat juga di folikelnya. (Baran W, et al. 2003). Penderita tinea barbae biasanya mengeluh rasa gatal di daerah jenggot, jambang, dan kumis, disertai rambut-rambut di daerah itu menjadi putus. Ada 2 bentuk tinea barbae yaitu: •

Superfisialis. Kelainan ini berupa eritem, papel, dan skuama yang mulamula kecil selanjutnya meluas ke arah luar

dan memberi gambaran

polisiklik, dengan bagian tepi yang aktif. Gambaran seperti ini menyerupai tinea korporis. •

Kerion. Bentuk ini berupa lesi-lesi yang eritematous dengan ditutupi krusta atau abses kecil dengan permukaan membasah oleh karena erosi. (Boel T, 2003).

2.6.3

Tinea Korporis Tinea korporis banyak diderita oleh orang-orang yang kurang mengerti kebersihan dan banyak bekerja di tempat panas, yang banyak berkeringat, serta

19

kelembaban kulit yang lebih tinggi. Predileksi biasanya di muka, anggota gerak atas, dada, punggung, dan anggota gerak bawah. (Boel T, 2003). Tinea korporis bisa mengenai bagian tubuh manapun, meskipun lebih sering terjadi pada bagian yang terbuka. Pada penyebab antropofilik biasanya terdapat di daerah yang tertutup/oklusif atau daerah trauma. (Goedadi MH, dkk. 2004). Kelainan yang dilihat dalam klinis berupa lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. (Budimuljia U, 2002). Bentuk klinis biasanya menunjukkan lesi yang terdiri atas bermacammacam efloresensi kulit, berbatas tegas dengan konfigurasi anular, arsinar, atau polisiklik. Bagian tepi lebih aktif dengan tanda peradangan yang lebih jelas. Daerah sentral biasanya menipis dan terjadi penyembuhan, sementara di tepi lesi makin meluas ke perifer. Kadang-kadang bagian tengahnya tidak menyembuh, tetapi tetap meninggi dan tertutup skuama sehingga menjadi bercak yang besar. (Harahap Marwali, 2000). Bentuk tinea korporis lain yang khas ialah Tinea Imbrikata. Gejalanya dimulai dengan bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian tengahnya terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris. Tinea imbrikata disebabkan oleh spesies antropofilik T.concentricum. (Baran W, et al. 2003).

2.6.4

Tinea Kruris

20

Tinea kruris memberikan keluhan perasaan gatal yang menahun, bertambah hebat bila disertai dengan keluarnya keringat. Kelainan yang timbul dapat bersifat akut atau menahun. Kelainan yang akut memberikan gambaran yang berupa makula yang eritematous dengan erosi dan kadang-kadang terjadi ekskoriasis. Pinggir kelainan kulit tampak tegas dan aktif. (Boel T, 2003). Penyebab utama biasanya antropofilik jenis T.rubrum dan E.floccosum. Lesinya berwarna coklat. Terdapat peninggian di bagian pinggirnya. (Baran W, et al. 2003). Daerah yang terkena infeksi dari lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain. (Budimuljia U, 2002). Skrotum sangat jarang menimbulkan gambaran klinis, meskipun pemeriksaan mikologis dapat positif. (Goedadi MH, dkk. 2004).

2.6.5

Tinea Pedis Tinea pedis sering menyerang orang dewasa yang bekerja di tempat basah seperti tukang cuci, petani, atau orang yang setiap hari harus memakai sepatu tertutup seperti anggota tentara. Keluhan subjektif bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai dengan rasa gatal yang hebat dan nyeri bila ada infeksi sekunder. (Sri Redjeki S, dkk. 2004). Gejala klinis tinea pedis bermacam-macam, sehingga dibagi dalam tiga bentuk klinis yaitu:

21



Tipe interdigitalis. Tipe ini merupakan tipe yang sering dijumpai pada klinis. Gambarannya berupa maserasi, skuamasi, serta erosi di celah-celah jari terutama jari IV dan V. Kulit terlihat putih, dapat terbentuk fisura bila sudah kronis; nyeri bila disentuh, dan sering tercium bau yang tidak enak. Lesi dapat meluas ke bawah jari dan telapak kaki.



Tipe vesikuler subakut. Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesikel-pustul, dan kadang-kadang bula. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran yang disebut koleret. (Budimuljia U, 2002). Kelainan ini dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. (Warnock DW, 2004).



Tipe papuloskuamosa hiperkeratotik menahun. Tipe ini disebut juga moccasin foot. Daerah yang terinfeksi berwarna merah muda dan tenang, makula putih. Seluruh kaki dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan berskuama. Eritem biasanya ringan, terutama terlihat di bagian tepi lesi. (Harahap Marwali, 2000).

2.6.6

Tinea Manuum Tinea manuum bersifat unilateral, biasanya pada tangan sebelah kanan. Lesinya menyerupai gambaran tinea korporis. Terdapat 2 bentuk lesi pada palmar yaitu:

22



Dishidrosis/ eksematoid. Bentuk ini bersifat akut berupa vesikel pada tangan sisi lateral dan palmar jari-jari atau telapak tangan disertai gatal dan rasa terbakar. Bentuk ini juga dapat juga mengalami fase remisi dan eksaserbasi.



Hiperkeratotik. Bentuk hiperkeratotik bersifat kronis, tidak pernah sembuh spontan. Bentuk subakut/ kronik akibat vesikel yang berdeskuamasi, gambaran makula eritem ditutupi skuama tebal berwarna putih. Bila kronik dapat mengenai seluruh telapak tangan dan terjadi fisura. (Sri Redjeki S, dkk. 2004).

2.6.7

Tinea Unguium Gambaran klinis tinea unguium dibagi atas 4 kelompok, antara lain: 1. Onikomikosis

subungual

distal

(OSD),

menunjukkan

gambaran

hiperkeratosis subungual dan onikolisis, selain warna kuku kekuningan. Lokasi infeksi primer terletak pada kulit telapak kaki dan tangan. 2. Onikomikosis subungual proksimal (OSP), menunjukkan kelainan berupa hiperkeratosis dan onikolisis proksimal, serta destruksi lempeng kuku proksimal. Biasa dijumpai pada penderita AIDS. 3. Onimikosis superfisial putih (OSPT), terjadi bila jamur menginvasi langsung lapisan superfisial lempeng kuku. Tanda klinis berupa bercak-bercak putih keruh berbatas tegas yang dapat berkonfluensi. Kuku menjadi kasar, lunak, dan rapuh. 4. Onimikosis kandida (OK), yang dimulai dengan paronikia dengan gambaran klinis depresi transversal kuku, sehingga kuku menjadi cekung, kasar, dan akhirnya distrofi. (Bramono K., 2002).

23

Gejala klinis yang ditemukan dalam penelitian di Madrid, Spanyol, berupa onikolisis, hiperkeratosis, dan diskolorisasi dengan berbagai tingkat lesi. Kuku yang sering terkena yaitu jari kaki yang pertama, dan kuku yang jarang terkena yaitu jari tangan. (Perea S, et al. 2000).

2.7

Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Diagnosis pada manusia kurang lebih sama dengan yang dilakukan pada hewan.

Pemeriksaan dengan lampu Wood bisa mendeteksi fluoresensi pada beberapa dermatofita, termasuk strain zoofilik. Pemeriksaan miskroskopis dengan Potassium hidroksida (KOH) bisa mendeteksi hifa dan konidia pada kerokan kulit atau rambut. Kultur jamur juga diperlukan untuk diagnosis spesies organisme jamurnya. (Bonifaz et al., 2004). Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45. Pemeriksaan 10x100 biasanya tidak diperlukan. Konsentrasi KOH untuk sediaan basah berbeda untuk beberapa kasus dermatofitosis. Misalnya pada kasus tinea kapitis diperlukan konsentrasi KOH 10%, sedangkan pada kasus tinea korporis dan tinea unguium diperlukan konsentrasi KOH 20%. (Hay R. J., 2002). Kerokan kulit, kuku, dan epitel rambut seharusnya diperiksa dengan menggunakan KOH 10% dan tinta parker. Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat ialah Hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kuku lama dan atau sudah diobati. Pada sediaan rambut yang dilihat ialah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Spora

24

dapat tersusun di luar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut (endotriks). Kadangkadang dapat terlihat juga hifa pada sediaan rambut.(Budimuljia, 2002). Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Medium yang dianggap paling baik saat ini ialah Medium Agar Dekstrosa Sabouraud. Pada agar Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja (Kloramfenikol) atau ditambah pula Klorheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindari kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. (Budimulja U, 2002). Specimen seharusnya diinokulasi pada media isolasi primer, seperti agar Dextrose Sabouraud yang mengandung Cycloheximide (actidione) dan diinkubasi pada suhu 26-28oC selama 4 minggu. Pertumbuhan dermatofita akan terlihat secara signifikan. (Ellis David, 2006).

2.8

Pengobatan Dermatofitosis Pengobatan dermatofitosis sebaiknya didahulukan dengan menghilangkan faktor

predisposisinya seperti mengusahakan daerah lesi selalu kering dengan memakai baju yang menyerap keringat. (Goedadi MH, dkk., 2002). Obat-obat yang digunakan pada infeksi jamur terdiri atas dua jenis, yang dibedakan berdasarkan cara pemakaiannya, yaitu: A. Obat Topikal. Obat topikal digunakan bila ada indikasi sebagai berikut: (del Palacio A, et al. 2000). •

Lesi terbatas pada daerah tertentu.



Kasus yang pengobatannya berinteraksi dengan obat antijamur oral.

25



Pasien yang tidak dapat menjalani pengobatan sistemik.



Sebagai penguat obat sistemik.



Untuk pencegahan setelah pengobatan sistemik.



Pasien dengan kontraindikasi obat antijamur sistemik.



Wanita hamil atau menyusui.



Mendukung kerja obat antijamur sistemik jangka pendek. Berdasarkan mekanisme kerjanya, Oba Anti Jamur topikal terbagi atas :

1. Bahan kimia antiseptik: bahan ini bersifat antibakteri dan antijamur ringan, mengeringkan, yaitu gentian violet 1%. Bahan antispetik dapat digunakan pada tinea kruris dan tinea korporis. 2. Bahan keratolitik: bahan ini meningkatkan eksfoliasi stratum korneum. Misalnya salep Whittfield (asam salisilat 3%, asam benzoat 6% dalam petrolatum), efektif untuk tinea pedis, asam undesilinat krim, dan bedak 3%. 3. Golongan polyene; nystatin, efektif untuk pengobatan topikal pada kandidosis. Tersedia dalam bentuk krim, salep, maupun suspensi oral. Cara kerja masih kontroversial. Bukti menunjukkan adanya interaksi ireversibel dengan ergosterol membran plasma sel jamur. 4. Derivat imidazol; antara lain klotrimazol 1%, mikonazol 2%, ketokonazol 2%, ekonazol 1%, tiokonazol 1%, bufonazol 1%, isokonazol 1%, serta konazol 2%. Mekanisme kerjanya dengan cara menghambat enzim 14-αdemetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur. 5. Golongan allilamin; bekerja dengan cara menghambat enzim epoksidase skualen pada proses ergosterol membran sel jamur, yaitu naftifin 1%,

26

butenafin 1%, dan terbinafin 1%. (fungisidal, bersifat antiinflamasi) yang mampu bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian 7 hari berturut-turut. 6. Lai-lain; tolnaftat berbentuk krim dan bedak 1%. Bersifat noniritatif dan efektif untuk dermatofitosis dan tinea versikolor. Krim dan losio haloprogin 1% digunakan 2-4 minggu, efektif untuk kandida dan dermatofitosis. Krim vioform 3% digunakan untuk dermatofitosis dan kandidosis intertriginosa, dapat menyebabkan warna kuning. 7. Bentuk khusus; siklopiroksolamin 2% (cat kuku, krim, dan losio), bekerja dengan menghambat masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi tinggi merubah permeabilitas sel jamur, bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan antibakteri serta berspektrum luas. Selenium sulfide 1,8% (shampoo) dan 2,5% (solusio), efektif untuk pengobatan tinea versikolor. Bentuk shampoo juga digunakan sebagai obat tambahan pada kasus tinea kapitis untuk mengeliminasi spora dan mencegah penularan. (Kuswadji, dkk. 2004).

B. Obat Oral Indikasi penggunaan obat oral yaitu untuk lesi yang luas seperti Tinea kapitis, Tinea barbae, Tinea unguium, serta lesi kulit dengan folikulitis, dan jika dengan pengobatan topikal tidak mengalami perubahan atau toleransi terhadap obat topikal. (del Palacio A, et al. 2000). Obat-obat antijamur oral antara lain: a. Golongan griseofulvin yang banyak dipakai di rumah sakit-rumah sakit ataupun di puskesmas.

27

b. Golongan ketokonazole yang bersifat fungistatik. c. Golongan terbinafine. d. Golongan itrakonazole. Dari obat-obat tersebut di atas, hanya Itrakonazole yang bersifat fungisidal (dapat membunuh spora). Tetapi sayang, harganya sangat mahal sehingga tidak terjangkau oleh semua kalangan masyarakat. (Nasution MA, 2006). Pengobatan dermatofitosis umumnya menggunakan Griseofulvin, yang bersifat fungistatik. Sediaan Griseofulvin yang biasa digunakan ialah dalam bentuk fine particle dengan dosis 0,5-1 g untuk dewasa dan 0,25-0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kgBB. Grideofulvin sebaiknya dikonsumsi bersamaan dengan makanan berlemak agar absorpsi dalam usus meningkat. (Budimulja U, 2002). Sedangkan pada kasus yang resisten terhadap Griseofulvin, dapat diberikan obat ketokonazol yang bersifat fungistatik dengan dosis 200 mg/hari selama 10 hari2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazol merupakan kontraindikasi bagi penderita hepar. (Bonifaz et al., 2004). Menurut Nasution, Griseofulvin tidak dapat mengobati jamur golongan kandida atau jamur-jamur yang bersifat sistemik atau jamur-jamur golongan deep mycosis. Ketokonazol juga pada akhir-akhir ini sudah mulai resisten terhadap beberapa spesies jamur seperti Trichophyton rubrum, E. floccosum, dan juga Ketokonazol bersifat hepatotoksik sehingga sulit untuk digunakan dalam pengobatan jangka panjang seperti jamur-jamur deep mycosis dan penyakit jamur yang sistemik. (Nasution MA, 2006).

28

Selain pengobatan dengan menggunakan obat-obatan di atas, terdapat juga pengobatan yang dilakukan untuk mencegah timbulnya dermatofitosis, yaitu: (Boel T, 2003). a. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah, dan maserasi. Jika faktor-faktor lingkungan ini tidak diobati, kemungkinan penyembuhan akan lambat. b. Alas kaki harus pas dan tidak terlalu ketat. c. Pasien dengan hiperhidrosis dianjurkan agar memakai kaos dari bahan katun yang menyerap keringat. Diusahakan agar tidak memakai bahan yang terbuat dari wool atau bahan sintetis. d. Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dengan air panas.

BAB III METODE PENELITIAN

29

3.1 Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1

Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum

Daerah Mataram.

3.1.2

Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dari Agustus 2006 - 31 Oktober

2007. Rencana

Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu

kegiatan Penyusunan

1-VI

VII

VIII

X

XI

XII

XIII

proposal Pengumpulan data Pengolahan data Analisis data Penyusunan laporan

3.2 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif berdasarkan data rekam medik dari RSUD Mataram. Bahan penelitian berupa data sekunder dari buku registrasi pasien mengenai kejadian penyakit dermatofitosis terbanyak. Data ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram meliputi jenis penyakit dermatofitosis, jenis kelamin, dan usia pasien.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

30

3.3.1

Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dengan kejadian penyakit

dermatofitosis superfisialis pada bulan Januari 2006 sampai Desember 2006.

3.3.2

Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menderita Dermatofitosis

Superfisialis pada bulan Januari 2006 sampai Desember 2006 yang terdaftar di buku registrasi.

3.4 Data Yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang berhubungan dari data medik penderita penyakit dermatofitosis terbanyak di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Mataram selama periode 2006. Data yang dicatat berupa jenis penyakit dermatofitosis, jenis kelamin, dan umur.

3.5 Cara Pengumpulan Data Seluruh data yang dikumpulkan untuk penelitian ini diperoleh dengan cara mencatat data yang tersedia pada buku registrasi pasien.

3.6 Analisis Data Analisis data secara deskriptif dengan menghitung prevalensi penyakit dermatofitosis terbanyak. Data ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram.

31

3.7 Variabel Penelitian Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah prevalensi dermatofitosis superfisialis tertinggi pada kelompok jenis dermatofitosis, jenis kelamin, dan kelompok usia tertentu yang terdiri dari jumlah dan atau persentase penderita.

3.7.1

Definisi Operasional

Prevalensi Prevalensi adalah mencerminkan jumlah penderita penyakit dalam periode atau saat tertentu pada suatu daerah (Ahmad, 2000). Di penelitian ini prevalensi yang diteliti adalah prevalensi penyakit dermatofitosis superfisialis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Mataram tahun 2006. Jenis Dermatofitosis Jenis dermatofitosis yang akan diteliti meliputi infeksi yang disebabkan oleh jamur (mikosis) superfisialis seperti tinea kapitis, tinea korporis, tinea unguium, tinea barbae, dan lain-lain. Katagori Umur Pembagian umur pada data penelitian ini berdasarkan kategori dari remaja hingga orang tua yang di kelompokkan dalam batasan usia 10 – 15 tahun, 16 – 20 tahun, 21 – 25 tahun, 26 – 30 tahun, 31 – 35 tahun, 36 – 40 tahun, 41 – 45 tahun, 46 – 50 tahun, 51 – 60 tahun, dan 61 – 70 tahun.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian dan Pembahasan

32

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian retrospektif, dimana data penelitian diambil dari buku register pasien yang datang ke Poli Kulit dan Kelamin di RSUD Mataram dalam waktu satu tahun, yaitu dari bulan Januari 2006 sampai dengan bulan Desember 2006.

4.1.1

Prevalensi Dermatofitosis Superfisialis Periode Januari 2006 – Desember 2006. Dari catatan buku register pasien kulit dan kelamin selama kurun waktu Januari 2006 sampai dengan Desember 2006 tercatat jumlah kasus Dermatofitosis Superfisialis sebanyak 547 kasus dari 5627 kasus penyakit kulit dan kelamin, dengan persentase kasus sekitar 9,72%. Pada gambar 4.1 dapat dilihat prevalensi dari tiap jenis kasus Dermatofitosis Superfisialis selama periode Januari 2006 – Desember 2006. Terlihat beberapa jenis Dermatofitosis Superfisialis lebih dominant jumlahnya sehingga terlihat variasi prevalensi untuk tiap-tiap jenis Dermatofitosis Superfisialis. Hasil penelitian diatas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Adiguna M.S. terhadap beberapa rumah sakit pendidikan di Indonesia pada tahun 1996-1998, pada gambar 1.1, dimana variasi insiden penyakit jamur antara 2,93% sampai dengan 27,6%. (Adiguna MS. 2004). Gambar 4.1 Diagram Prevalensi Dermatofitosis Superfisialis Selama Periode Januari 2006 - Desember 2006.

33

Prevalensi Tiap Jenis Dermatofitosis Superfisialis Selama Periode Januari 2006 - Desember 2006 250

232 217

Jumlah Kasus

200

150

100

50

11

28

30

Tinea Unguium

Tinea Pedis

19

9

1

0 Tinea Kapitis

Tinea Korporis

Tinea Barbae

Tinea Kruris

Tinea Manuum

Tinea Inkognito

Jenis Dermatofitosis Superfisialis

Data yang terlihat pada gambar 4.1 menggambarkan prevalensi tertinggi Dermatofitosis Superfisialis selama periode Januari 2006 sampai dengan Desember 2006 ialah jenis Tinea korporis sebanyak 232 kasus (42,41%). Kemudian diikuti Tinea kruris dan Tinea pedis masing-masing sebanyak 217 kasus (39,67%) dan 30 kasus (5,48%). Sedangkan kasus Dermatofitosis Superfisialis yang paling sedikit ditemukan di RSUD Mataram ialah jenis Tinea barbae sebanyak 1 kasus (0,18%). Pada penelitian lain yang dilakukan di India (Grover WCS, dkk. 2003), dimana kasus tertinggi ialah Tinea pedis (29,2%). Sedangkan pada penelitian di Hongkong didapatkan bahwa dermatofitosis yang paling tinggi dijumpai ialah Tinea Kruris (33%), kemudian Tinea Korporis (18%) dan Tinea Kapitis (14%). (Wong K.O. 2000). Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.1 yang menyajikan prevalensi beserta dengan persentase Dermatofitosis selama periode Januari 2006 – Desember 2006.

34

Tabel 4.1 Prevalensi dan Persentase Dermatofitosis selama Periode Januari 2006 – Desember 2006. Dermatofitosis Superfisialis Tinea Kapitis

Tinea Korporis

Tinea Barbae

Tinea Kruris

Tinea Manuum

Tinea Unguium

Tinea Pedis

Tinea Inkognit o

Total

n % n % n % n % n % n % n % n % n % n % n % n %

2 3.39 0 0.00 0 0.00 1 2.63 0 0.00 0 0.00 1 1.47 0 0.00 3 6.52 4 9.76 0 0.00 0 0.00

23 38.98 18 45.00 14 50.00 16 42.11 20 37.74 24 40.00 29 42.65 11 34.38 26 56.52 16 39.02 25 54.35 10 27.78

0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 1 2.17 0 0.00 0 0.00 0 0.00

25 42.37 17 42.50 8 28.57 14 36.84 23 43.40 25 41.67 31 45.59 15 46.88 9 19.57 12 29.27 16 34.78 22 61.11

1 1.69 1 2.50 0 0.00 0 0.00 1 1.89 2 3.33 2 2.94 1 3.13 0 0.00 0 0.00 0 0.00 1 2.78

3 5.08 3 7.50 2 7.14 4 10.53 2 3.77 5 8.33 5 7.35 1 3.13 2 4.35 0 0.00 1 2.17 0 0.00

4 6.78 0 0.00 3 10.71 1 2.63 3 5.66 1 1.67 0 0.00 1 3.13 5 10.87 6 14.63 4 8.70 2 5.56

1 1.69 1 2.50 1 3.57 2 5.26 4 7.55 3 5.00 0 0.00 3 9.38 0 0.00 3 7.32 0 0.00 1 2.78

59 100 40 100 28 100 38 100 53 100 60 100 68 100 32 100 46 100 41 100 46 100 36 100

n %

11

232

1

217

9

28

30

19

547 100%

Bulan

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Total

4.1.2

Prevalensi Dermatofitosis Superfisialis Setiap Bulannya Selama Periode Januari 2006 – Desember 2006. Prevalensi setiap bulannya pada penderita Dermatofitosis Superfisialis paling tinggi dapat kita lihat pada gambar 4.2 di bawah ini. Terlihat adanya peningkatan prevalensi dari bulan Maret ke bulan Juli secara perlahan kemudian menurun tajam lagi pada bulan Agustus. Setelah itu terjadi variasi prevalensi sampai bulan Desember.

35

Gambar 4.2 Diagram Prevalensi Dermatofitosis Tiap Bulan Selama Periode Januari 2006 – Desember 2006 Prevalensi Dermatofitosis Tiap Bulannya Selama Periode Januari 2006 - Desember 2006 75 68

70 65 60

60

59 53

Jumlah Kasus

55 50

46

45 40

40

46 41

38

36

35

32 28

30 25 20 15 10 5 0 Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Agus

Sept

Okt

Nov

Des

Bulan

Dari gambar 4.2 dapat kita lihat bahwa prevalensi Dermatofitosis Superfisialis yang paling tinggi dijumpai pada bulan Juli, dengan jumlah kasus sebanyak 68 (12,43%), kemudian diikuti bulan Juni dan Januari masing-masing sebanyak 60 (10,97%) dan 59 (10,79%). Sedangkan prevalensi yang paling rendah dijumpai pada bulan Maret dengan total kasus sebanyak 28 (5,12%). Dibulan Juli pada tabel 4.1, jenis Dermatofitosis Superfisialis yang paling tinggi ialah Tinea Kruris sebanyak 31 (45,59%). Kemudian diikuti Tinea Korporis dan Tinea Unguium masing-masing sebanyak 29 (42,65%) dan 5 (7,35%). Sedangkan pada bulan Maret jenis Dermatofitosis Superfisialis yang paling tinggi dijumpai ialah Tinea Korporis, sebanyak 14 kasus (50%), lalu pada urutan kedua ialah Tinea kruris sebanyak 8 (25,57%) dan urutan ketiga ialah Tinea pedis sebanyak 3 (10,71%).

36

4.1.3

Prevalensi Penderita Penyakit Dermatofitosis Berdasarkan Jenis Kelamin Pasien Berdasarkan data penelitian yang didapat bahwa kasus dermatofitosis superfisialis lebih banyak ditemukan pada kelompok jenis kelamin perempuan dibandingkan dengan laki-laki (gambar 4.3), sebanyak 275 kasus (50,27%). Sedangkan untuk kelompok jenis kelamin laki-laki sebanyak 272 kasus (49,73%). Perbandingan kasus antara laki-laki dan perempuan sekitar 0,99:1. Gambar 4.3 Diagram Prevalensi Dermatofitosis Superfisialis Berdasarkan Jenis Kelamin Selama Periode Januari 2006 – Desember 2006.

Prevalensi Dermatofitosis pada Kategori Jenis Kelamin

Laki-laki, 272

Perempuan, 275

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Iran (Hashemi J, Nasrollahi O.A, 2004), didapatkan bahwa penderita dermatofitosis paling banyak terdapat pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 147 kasus (70%) dari 210 kasus. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan di Al-Jouf, Saudi Arabia, (Pramod K. Agarwal, 1996) selama periode Maret 1995 – Februari 1996 didapatkan perbandingan prevalensi antara laki-laki dan perempuan sekitar 1,3:1.

37

Gambar 4.4 Diagram Prevalensi Dermatofitosis Superfisialis Tiap Bulannya Berdasarkan Jenis Kelamin Selama Periode Januari 2006 – Desember 2006. Prevalensi Dermatofitosis Superfisialis Tiap Bulannya berdasarkan Jenis Kelamin 45

43

40 34

35 31

Jumlah Kasus

30

29

28

26 24

25

25

24

25 23

20

18

23 23

21

20 18

18

17

16

18 18

15

15 10 10

5

0 Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Agus

Sep

Okt

Nov

Des

Bulan

Laki-laki

Perempuan

Pada gambar 4.4 dapat dilihat prevalensi Dermatofitosis Superfisialis paling tinggi dijumpai dibulan Juli dengan jenis kelamin perempuan menempati urutan tertinggi sebanyak 43 (63,24%), sedangkan laki-laki 25 (36,76%). Berikut di bawah ini saya tampilkan data selengkapnya tentang perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang diambil dari buku daftar register pasien kulit dan kelamin dalam bentuk tabel. Tabel 4.2 Prevalensi Dermatofitosis Superfisialis berdasarkan jenis kelamin selama periode Januari 2006 – Desember 2006. Jenis Kelamin

Bulan Januari Februari

n % n %

Laki-laki

Perempuan

31 52.54 24 60.00

28 47.46 16 40.00

38

Total n 59 100 40 100

Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Total

4.1.4

n % n % n % n % n % n % n % n % n % n %

18 64.29 18 47.37 24 45.28 26 43.33 25 36.76 17 53.13 25 54.35 23 56.10 23 50.00 18 50.00

10 35.71 20 52.63 29 54.72 34 56.67 43 63.24 15 46.88 21 45.65 18 43.90 23 50.00 18 50.00

28 100 38 100 53 100 60 100 68 100 32 100 46 100 41 100 46 100 36 100

n %

272

275

547

Prevalensi Drmatofitosis Superfisialis Berdasarkan Kelompok Usia Pada gambar 4.5 di bawah ini dapat kita lihat prevalensi dermatofitosis superfisialis berdasarkan kelompok usia, dimana didapatkan prevalensi tertinggi pada kelompok usia 46 s/d 50 tahun sebanyak 63 kasus (11,52%), diikuti kelompok usia 51 s/d 55 tahun sebanyak 57 kasus (10,42%) dan kelompok usia 21 s/d 25 tahun sebanyak 55 kasus (10,05%). Kasus dermatofitosis superfisialis paling sedikit dijumpai pada kelompok usia 56 s/d 60 tahun sebanyak 23 kasus (4,20%). Dari data di bawah ini dapat kita lihat bahwa kasus dermatofitosis tidak sedikit dijumpai pada kelompok usia <10 tahun dan >60 tahun, dengan prevalensi masing-masing 36 (6,58%) dan 53 (9,69%). Gambar 4.5 Diagram Prevalensi Dermatofitosis Berdasarkan Kelompok Usia Selama Periode Januari 2006 – Desember 2006 (Dalam Tahun). 39

Prevalensi Dermatofitosis Superfisialis Berdasarkan Kelompok Usia 63

65 60 52 47

45 40

53

51

50

Jumlah Kasus/ Persentase

57

55

55

42 37

36

35

31

30 23

25 20 15 10

10.05

9.51 6.58

8.59

5.67

11.52

9.32

7.68

10.42

9.69

6.76 4.20

5 0 <10

10 s/d 15

16 s/d 20

21 s/d 25

26 s/d 30

31 s/d 35

36 s/d 40

41 s/d 45

46 s/d 50

51 s/d 55

56 s/d 60

>60

Kelompok Usia

keterangan:

Jumlah kasus dalam satuan Jumlah kasus dalam persen

Hasil penelitian di atas berbeda dengan penelitian yang di lakukan di Spanyol (Perea S, et al. 2000), dimana didapatkan bahwa prevalensi tertinggi dermatofitosis dijumpai pada kelompok usia 31-40 tahun sebanyak 218/ 1000 (21,8%). Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan selama periode Agustus 1996 – September 1998 di Sao Paulo, Brazil, (Ligia Rangel B. Ruiz, Clarisse Zaitz, 1999) didapatkan prevalensi dermatofitosis yang paling tinggi pada kelompok usia 21-40 tahun sebanyak 392 (30,81%) dari 1272 kasus.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1

Kesimpulan

40

1. Dari data yang didapatkan prevalensi dermatofitosis superfisialis selama periode januari 2006 sampai dengan desember 2006 sebesar 32,19% atau sebanyak 547 kasus dari 5627 kasus keseluruhan pasien di poli kulit dan kelamin. 2. Prevalensi dermatofitosis superfisialis paling tinggi didapatkan pada bulan juli, dengan total kasus sebesar 68 kasus (12.43%). Sedangkan prevalensi paling rendah terdapat pada bulan maret dengan jumlah kasus sebanyak 28 (5,12%). 3. Jenis dermatofitosis yang paling tinggi didapatkan ialah tinea korporis sebesar 232 (42.41%). Dan jenis dermatofitosis superfisialis yang paling rendah ialah tinea barbae sebanyak 1 kasus (0,18%). 4. Berdasarkan jenis kelamin pasien, prevalensi tertinggi didapatkan pada jenis kelamin perempuan sebesar 275 kasus (50,27%), sedangkan prevalensi untuk jenis kelamin laki-laki sebesar 272 kasus (49,73%). Perbandingan prevalensi antara laki-laki dan perempuan ialah 0,99:1. 5. Prevalensi dermatofitosis superfisialis berdasarkan kelompok usia didapatkan prevalensi tertinggi pada kelompok usia 46 s/d 50 tahun sebanyak 63 kasus (11,52%). Sedangkan prevalensi yang peling rendah terdapat pada kelompok usia 56 s/d 60 tahun sebanyak 23 kasus (4,20%). 5.2

Saran 1. Diharapkan akan diadakan penelitian lebih lanjut tentang penyakit ini. 2. Melihat tingginya prevalensi dermatofitosis superfisialis, kiranya perlu diadakan penyuluhan yang lebih jauh untuk mengurangi prevalensinya. DAFTAR PUSTAKA

41

Adiguna

MS.

2004.

Epidemiologi

Dermatomikosis

Dermatomikosis

Superfisialis

cetakan

kedua.

di

Indonesia. Fakultas

Dalam:

Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta, hal. 1-6. Baran W, et al. Tinea Barbae. Acta Dermatoven APA vol.13, 2004, no.3. Boel T. 2003. Mikosis Superfisial. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. USU digital library. Bonifaz, Alexandro MB; Archer-Dubon, Carla MD; Saul, Amado MD,. Tinea imbricata or Tokelau. International Journal of Dermatology. 43(7):506-510. july 2004. . Available: http://pt.wkhealth.com/pt/re/ijdm. ( accessed: 2007, agustus 14). Bramono K. 2002. Onikomikosis. Dalam: Dermatomikosis Superfisialis cetakan kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, hal. 48-57. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima cetakan keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. hal. 90-97. 2002. Cholis M. 2004. Imunologi Dermatomikosis Superfisialis. Dalam: Dermatomikosis Superfisialis cetakan kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, hal. 7-18. Costa RA, et al. Trichophyton raubitschekii: A New Agent of Dermatophytosis in Brazil. Dermatology Online Journal 9(1):6. 2003. del Palacio A, et al. Trends in the treatment of dermatophytosis. Department of Microbiology, Hospital Universitario “12 de Octubre”, Madrid, Spain page 148-158. 2000.

42

Ellis David. 2006. Dermatophytosis. Springer Netherlands Volume 56, Number 3, Biomedical and Life Sciences. Available: http://www.springerlink.com. (Accessed: 2007, 20 agustus). Goedadi MH, dkk. 2004. Tinea Korporis dan Tinea Kruris. Dalam: Dermatomikosis Superfisialis cetakan kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, hal. 31-35. Grover WCS, Roy LCP. Clinico-mycological Profile of Superficial Mycosis in a Hospital in North-East India. MJAFI 2003; 59 : 114-116. Available: http://medind.nic.in/maa/t03/i2/maat03i2p114.pdf. (accessed: 2007, Juli 24). Harahap Marwali. 2000. Dermatofitosis. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit hal. 75-80. Hipokrates; Jakarta. Hay R. J.. Genetic Susceptibility to Dermatophytosis. European Journal of Epidemiology, Vol. 8, No. 3 (May, 1992), pp. 346-349. Available: http://links.jstor.org. (Accessed: 2007, 21 agustus). Kannan P, Janaki C, Selvi GS. Prevalence of Dermatophytosis and Other Fungal Agents Isolated From Clinical Samples. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2006. Vol. 24, issue 3, page 212-215. Available: http://www.ijmm.org/article.asp. (accessed: 2007, 24 juli). Kohl TD, Lisney M. Tinea Gladitorium: Wrestling’s Emerging Foe. Sports Medicine Vol. 29, Number 6, pp. 439-447(9). Mansjoer Arif, dkk. Mikosis Superfisialis – Dermatofitosis. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran hal. 93-109. Media Aesculapius, Jakarta. 2000. Nasution MA. 2006. Mikrologi dan Mikologi Kedokteran: Beberapa Pandangan Dermatologis. Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam

43

Bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin pada Fakultas Kedokteran USU. USU Repository. Medan. Perea S, et al. 2000. Prevalence and Risk Factors of Tinea Unguium and Tinea Pedis in the General Population in Spain. Journal of Clinical Microbiology p. 32263230, vol.38, no.9. Available: http://jcm.asm.org/cgi/content/full/38/9/3226. Accessed: 2007, 24 juli). Ranganathan S, Menon T, 1995. Sentamil GS. Effect Of Socio-Economic Status On The Prevalence Of Dermatophytosis In Madras. Indian J Dermatol Venereol Leprol

1995;61:16-18.

Available:

http://www.ijdvl

.com/text.asp?1995/61/1/16/4117. (accessed: 2007, juli 24). Riyanto Eko, Suyoso Sunarso. 2003.Dermatomikosis di Instalasi Rawat Inap Medik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya (Penelitian Retrospektof Januari 1998-Desember 2002). Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo. Surabaya. Sri Redjeki S, dkk. 2004. Tinea Pedis et Manum. Dalam: Dermatomikosis Superfisialis cetakan kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, hal. 4047. Warnock DW. Superficial Fungal Infection. Dalam: Infectious Disease second edition, p.173-180. 2004. Mosby Elsevier ltd. Philadelphia. Weinstein A, et al. Topical Treatment of Common Superficial Tinea Infections. American Family Physician 2002;65:2095-102. Wong K.O. 2000. Common Skin Eruptions II – Fungal Infection. Hongkong College of General Practitioners.

44

Related Documents


More Documents from "Rafika Jasmin"

Koma Diabetikum
May 2020 41
Amubiasis
December 2019 43
Fraktur Vertebra
December 2019 45
Hernia,ca Colon
December 2019 46
Abses Paru
May 2020 43
Tumor Hidung
December 2019 47