Prof.docx

  • Uploaded by: Bang Bang
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Prof.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,834
  • Pages: 14
Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. telah mengintrodusir dan mengupas tuntas tentang hak asasi manusia di dalam buku terbarunya yang berjudul Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Buku tersebut berhasil di terbitkan pada 2003 silam oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan sampai saat ini telah menjadi referensi utama para mahasiswa untuk memahami konsep Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) secara holistik. Secara umum, buku ini banyak menghimpun pandangan-pandangan ahli terdahulu, baik yang saling mendukung satu sama lain hingga yang saling bertentangan. Buku ini juga mendalami HAM dengan pendekatan historis, sehingga pembaca dapat menemukan asal-usul darimana HAM itu berasal. Selain itu juga dibahas mengenai isu-isu HAM aktual yang menjadi diskursus di tengah para ahli-ahli hukum. Pada kesempatan ini, mahasiswa ditugaskan untuk meringkas Bab II khususnya BAB II A buku tersebut yang berjudul Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik. Istilah hak asasi manusia adalah istilah yang relatif baru semenjak meletusnya Perang Dunia ke-II dan dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945. Sebelumnya istilah hak asasi manusia lebih di kenal sebagai natural rights dan the rights of man. Akan tetapi menurut Eleanor Roosevelt frasa the rights of man sama sekali tidak mengakomodir hak-hak wanita, maka dari itu perlu ada pembaharuan pada penyusunan rancangan Universal Declaration of Human Rights. Secara historis konsepsi HAM sudah berkembang dari masa Yunani dan Roma, saat itu HAM memiliki kaitan yang erat dengan doktrin hukum alam pra modern dari Greek Stocism, yakni sekolah filsafat yang didirikan oleh Zeno di

Citium. Menurutnya kekuatan kerja yang universal mencakup semua ciptaan dan tingkah laku manusia, sehingga harus dinilai berdasarkan kepada hukum alam. Sedangkan Hukum Romawi lebih menekanan kepada eksistensi hukum alam. Perkembangan selanjutnya menurut ius gentium (hukum bangsa-bangsa atau hukum internasional) terdapat beberapa hak yang bersifat universal dan kemudian berkembang melebihi hak-hak warga negara. Salah satunya adalah ahli hukum Romawi Ulpianus yang menyatakan bahwa alamlah yang menjamin semua manusia bukannya negara, baik merupakan warga negara ataupun bukan. Teori yang berkembang selanjutnya adalah teori tentang negara dan hukum. Salah satu tokohnya adalah J.J von Schmid yang memaparkan pemikiran tentang negara dan hukum tidak mendahului pembentukan dan pertumbuhan peradabanperadaban. Akan tetapi merupakan gejala sosial yang menampakan diri setelah berabad-abad lamanya hidup pada perabadan yang maju. Memang menjadi syarat penting bagi suatu negara bahwa ia mengijinkan warga negaranya untuk mengeluarkan pendapat tentang negara dan hukum secara kritis. Harapannya hal tersebut muncul dalam kehidupan negara dan masyarakat, tetapi juga diharapkan terus eksis di kalangan rakyat dari negara yang bersangkutan. Awalnya keadaan tersebut terjadi pada bangsa Yunani dalam abad ke-5 SM. Banyak faktor yang menyebabkan kejadian itu, yakni sifat agama yang tidak mengenal ajaran Tuhan yang ditetapkan sebagai kaidah hukum yang keramat, keadaan geografi negeri yang berorientasi kepada peradagangan dan perantauan. Hal tersebut menyebabkan bangsa Yunani bertemu dengan negeri-negeri disebelah Timur,

dan negaranya yang berbentuk republik sehingga rakyat memerintah diri dengan tanggung jawab sendiri. Dalam konteks teori tentang negara dan hukum terdapat juga mahakarya dari Plato yang sangat relevan untuk di simak. Ketiga karyanya adalah (1) Politea, yang ditulisnya saat masih muda ; (2) Politicos (the statesman) ; dan (3) Nomoi (The Law). Buku pertama Plato ditulis sebagai luapan rasa keprihatinannya atas keadaan negara yang dipimpin oleh orang-orang yang haus akan harta, kekuasaan dan gila hormat. Pada saat itu pemerintah secara sewenang-wewenang tidak memperdulikan penderitaan rakyatnya, maka dari itu Plato menulis buku dan menggagas eksistensi suatu negara yang ideal sesuai dengan cita-citanya, yaitu negara yang bebas dari pemimpin yang rakus dan jahat, tempat dimana keadilan dijunjung tinggi. Tidak dapat dibantah bahwa tradisi HAM adalah produk dari zamannya. Hal inilah yang merefleksikan proses kelanjutan sejarah dan perubahan-perubahan yang membantu untuk memberikan substansi dan bentuk. Oleh sebab itu, untuk memahami lebih baik diskursus tentang isi dan ruang lingkup HAM serta prioritas-prioritas yang dikemukakan sangat menarik untuk mendalami “tiga generasi HAM” yang dikembangkan oleh ahli hukum Prancis Karel Vasak. Dengan diilhami oleh Revolusi Prancis, Vasak membagi HAM menjadi tiga generasi, diantaranya adalah generasi pertama berupa hak-hak sipil dan politik (liberte) , generasi kedua adalah hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (egalite) dan generasi ketiga adalah hak-hak solidaritas (fraternite).

Generasi pertama adalah hak-hak yang tergolong sebagai hak-hak sipil dan politik, yang terutama berasal dari teori-teori kaum reformis yang dikemukakan pada awal abad ke-17 dan ke-18 berkaitan dengan revolusi di Inggris, Amerika, dan Prancis. Dipengaruhi filsafat politik individualisme liberal dan doktrin sosial ekonomi laissez-faire, generasi ini meletakkan posisi HAM lebih pada terminologi negatif daripada terminologi yang positif dan lebih menghargai ketiadaan intervensi pemerintah dalam pencarian martabat manusia. Termasuk kelompok ini adalah hak sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2-21 Universal Declaration of Human Rights. Generasi kedua tergolong ke dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hak-hak tersebut secara utama berakar pada tradisi sosial yang membayangi SaintSimonitas pada awal abad ke-19 di Perancis dan secara beragam diperkenalkan melalui perjuangan revolusioner dan gerakan-gerakan kesejahteraan setelah itu. Jika di lihat lebih dalam, generasi ini merupakan respon atas pelanggaran dan penyelewengan dari perkembangan kapitalis dan menggaris bawahinya tanpa kritik yang esensial, konsepsi kebebasan individual yang mentoleransi bahkan sampai melegitimasi, dan eksploitasi kelas pekerja oleh masyarakat kolonial. Termasuk kelompok ini adalah Pasal 22-27 Universal Declaration of Human Rights. Generasi ketiga tergolong kedalam hak-hak solidaritas (solidarity rights) yang merupakan rekonseptualisasi dari kedua generasi HAM sebelumnya. Generasi ini dapat dipahami sebagai suatu produk dari kebangkitan dan kejauhan negara bangsa dari paruh kedua abad ke-20. Generasi ini tercantum dalam Pasal 28 Universal Declaration of Human Rights yang mencakup enam hak sekaligus. Tiga dari mereka

merefleksikan bangkitnya nasionalisme dunia ketiga dan keinginannya untuk mendistribusikan kembali kekuatan, kekayaan dan nilai-nilai yang penting. Selanjutnya menurut Claude dan Weston, ketiga hak pertama yang mewakili Dunia Ketiga adalah (1) the right of political, economic, social, and cultural selfdetermination, (2) the right to eonomic and sosial development, dan (3) the right to participate in and benefit from “the common heritage of Mankind”. Sedangkan ketiga hak kedua yang dimaksud meliputi (4) the right to space , (5) the right to healthy and balance environment ; dan (6) the right to humanitarian disaster relief yang menunjukan ketidakmampuan dan ketidakefisienan dari negara dalam beberapa hal kritis tertentu. Keenam hak tersebut cenderung untuk disebut sebagai hak-hak kolektif yang memerlukan usaha dan dukungan bersama dari semua elemen masyarakat untuk mencapainya. Universal Declaration of Human Responsibilities atau yang diterjemahkan sebagai Deklarasi Universal tentang Tanggung Jawab Manusia yang dibentuk dengan tujuan untuk melengkapi Universal Declaration of Human Rights. Salah satupPemikiran yang berkembang disaat pembentukan Deklarasi ini adalah sudah waktunya hak diimbangi oleh tanggung jawab atau kewajiban. Universal Declaration of Human Rights (1948) dinilai mencerminkan latar belakang filsafat dan kebudayaan negara-negara Barat yang memenangkan Perang Dunia II. Selanjutnya dinyatakan bahwa konsep mengenai kewajiban manusia berfungsi sebagai penyeimbang antara konsep kebebasan dan tanggung jawab. Hak memiliki kaitan yang erat dengan

kebebasan, sedangkan kewajiban memiliki kaitan dengan tanggung jawab. Sekalipun ada perbedaan, akan tetapi kebebasan dan tanggungjawab bergantung satu sama lain. Deklarasi Universal tentang Tanggung Jawab manusia tersebut selanjutnya menyatakan bahwa dokumen ini tidak bermaksud untuk mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban, akan tetapi dengan tujuan untuk mendamaikan berbagai ideologi, kepercayaan, serta pandangan politik yang di masa lampau dianggap bertentangan satu dengan yang lainnya. Prinsip dasarnya tidak hanya tercapai kebebasan sebanyak mungkin, akan tetapi juga berkembang rasa penuh tanggung jawab. Kebebasan akan terus bertumbuh, kebebasan tanpa menerima tanggung jawab dapat memusnahkan kebebasan itu sendiri. Dalam forum lainnya yang diselenggarakan di Kairo dengan tajuk The Nineteenth Islamic Conference of Foreign Minister juga dibahas mengenai HAM dalam Islam. Deklarasi dari acara ini terdiri dari 25 Pasal yang nafas utamanya terdapat pada Mukadimah. Salah satu Profesor dari Indonesia bernama Ismail Suny mencoba membandingkan Deklarasi Kairo dan Deklarasi HAM. Menurutnya terdapat pembahasan khusus mengenai universalisme versus relativisme budaya dalam HAM yang dapat ditinjau melalui perspektif umum maupun dalam perspektif Islam. Sejak beberapa tahun yang lalu perbedaan pandangan mengenai teori mana yang berlaku di antara kedua kutub teori (Universalisme vs Relativisme Budaya) memanglah sangat tajam. Salah satu perbedaan pandangan yang terjadi dapat dilihat dari pertemuan Negara-Negara Nonblok di Jakarta pada tahun 1992.

Menurut Todung Mulya Lubis, HAM dapat dilihat dari dua spektrum : pertama, yang berdasarkan pada teori hukum alam pada salah satu ujung spektrum ; dan kedua, yang berlandaskan pada teori relativisme budaya pada ujung spektrum lainnya. Di antara kedua spektrum tersebut terdapat pula teori-teori yang didasarkan atas pemikiran kelompok positivis, Marxis, Agama, dan perspektif lainnya. Jika dilihat dari perspektif umum, menurut kalangan relativis budaya, tidak ada satu HAM pun yang bersifat universal. Teori hukum alam pun menurutnya telah mengabaikan dasar masyarakat dari identitas individu sebagai manusia, karena seorang manusia selalu menjadi produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya. Kesimpulan dari perspektif ini adalah tradisi dan budaya yang berbeda menjadikan manusia menjadi berbeda pula. Kesimpulannya adalah perdebatan antara universalisme dengan relativisme budaya merupakan suatu niscaya yang tidak dapat dielakan. Solusinya adalah merekonsiliasikan perbedaan-perbedaan antara universalisme dan relativisme budaya, sehingga ditemukan titik temu yang solutif dan produktif. Dalam perspektif Islam, timbul gugatan yang dilakukan oleh Eggi Sudjana. Menurutnya masyarakat internasional sudah terlupa (baik sengaja atau tidak sengaja) bahwa telah banyak konsep HAM yang disusun manusia seperti Magna Charta, Bill of Rights, Universal Declaration of Human Rights, etc., namun semua itu hanya “manis” di atas kertas, akan tetapi “busuk” dalam implementasinya. Contonya adalah

kebiadaban pada Perang Bosnia-Serbia, penduduk Palestina dan tentara Israel, serta warga Afghanistan yang dihantui peluru Amerika Serikat. Maka dari itu menurut Eggi Sudjana ada dua hal yang harus di konkretkan. Pertama, adanya pencerahan di tubuh umat islam sendiri, sehingga mereka menyadari bahwa islam memiliki konsepsi HAM yang bersumber dari ajaran dan nilai-nilai keagamaan. Kedua, adanya toleransi dari pihak eksternal (luar islam), sebagaimana toleransi umat islam terhadap Declaration of Human Rights.

KOMENTAR Definisi Hak Asasi Manusia dahulu lebih dikenal sebagai Natural Rights. Hal itu disebabkan karena konsep yang dulu berkembang masih sempit dan didasarkan pada kehendak alam semata. Itu artinya, belum ada signifikansi akal rasio manusia yang digunakan untuk berfikir secara lebih mendalam pada saat itu. Istilah rights of man juga sejatinya tidak salah total, karena secara nomenklatur frasa Man tidak bisa diartikan hanya sebatas lelaki yang sudah dewasa saja, akan tetapi juga harus diartikan sebagai the generic use of the word to refer to any human being.1 Tetapi istilah Human Rights sudah sangat tepat karena secara umum dapat diartikan sebagai hak asasi manusia, tidak terbatas hak pria, atau hak wanita saja, akan tetapi hak

Anonim, “Definisi Man” http://www.artikata.com/arti-112415-man.html, diunduh pada 28 Februari 2015 1

seorang manusia. Hal itu mengindikasikan bahwa manusia memiliki hak yang sama, tidak dibatasi oleh perbedaan gender, suku, agama, negara, dan unsur lain. Menurut Dr. Fatmawati, S.H., M.H dalam kuliah Kekuasan Kehakiman dalam Perspektif Hukum Tata Negara pada 27 Februari 2015 silam, menurutnya jangan terlalu meromantisme zaman yunani terlalu berlebihan. Karena beliau percaya bahwa Zaman Yunani juga terdapat kelemahannya. Salah satunya adalah penciptaan kasta di tengah masyarakat. Dimana saat itu terdapat kurang lebih tiga kasta yang berlaku, yaitu budak, ksatria, dan bangsawan. Seseorang yang terlahir sebagai budak tidak akan bisa naik kasta lagi, karena dia telah menurunkan darah budak dari orang tuanya. Hal tersebut disebabkan karena dianutnya paham teori hukum alam secara pragmatis, sehingga timbul anggapan bahwa seorang budak terlahir karena hukum alam, dan tidak bisa lagi di pertentangkan. Tentunya hal ini merupakan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam perspektif modern, karena sejatinya tidak ada satu orang pun yang layak mendapatkan tindakan diskriminatif oleh penguasa ataupun masyarakatnya. Hingga akhirnya pada abad ke-13 sampai perdamaian Westphalia (1648) mulailah tampak kegagalan dari penguasa untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan hukum alam. Sejak saat itulah ide tentang HAM menjadi kebutuhan atas realita sosial di tengah-tengah masyarakat. Pandangan yang dikemukakan oleh Karel Vasak tentang tiga generasi HAM tampaknya tidak sejalan dengan apa yang di paparkan oleh Prof. Jimly Asshidiqie.

Menurut Prof. Jimly, pengertian konsep HAM dalam sejarah instrumen hukum internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi perkembangan. Generasi pertama, pemikiran mengenai konsepsi HAM yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak era pencerahan di Eropa, meningkat menjadi dokumendokumen hukum internasional yang formal, resmi, dan yuridis. Dalam konsepsi generasi pertama elemen dasar HAM mencakup mengenai prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan poltik. Generasi kedua menurut Prof. Jimly memiliki karakteristik HAM yang mencakup upaya jaminan pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik dan hak untuk menikmati ragam penemuan-penemuan ilmiah. Sedangkan generasi ketiga berbicara mengenai hak atas pembangunan atau right to development. Hak atas pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju bagi segala bangsa, dan termasuk bagi setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk pembangunan ini meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut, menikmati perkembangan hasil peningkatan ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain sebagainya. Kesimpulan menurut Prof. Jimly adalah ketiga generasi konsepsi HAM tersebut pada pokoknya mempunyai ciri khas yang sama yaitu dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan penguasa

dalam suatu negara. Apabila terdapat pelanggaran terhadap HAM, mulai dari generasi pertama sampai ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by governent, yang termasuk didalamnya adalah political crime, sebagai antitesa dari pengertian crime against government. Oleh karena itu, sasaran utama perjuangan HAM adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya. Selanjutnya, dinyatakan bahwa konsep mengenai kewajiban manusia berfungsi sebagai penyeimbang antara konsep kebebasan dan tanggung jawab. Tanggung jawab adalah suatu sikap moral yang berfungsi sebagai check (hambatan) yang bersifat alamiah serta sukarela terhadap kebebasan yang dimiliki oleh orang lain. Dengan demikian, makin banyak kebebasan yang kita nikmati, makin banyak pula kewajiban yang harus kita lakukan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Menurut saya, tidak elok rasanya apabila hanya Hak Asasi Manusia saja yang di tuangkan dalam konstitusi suatu negara, sedangkan Kewajiban Asasi Manusia tidak. Kewajiban Asasi Manusia seharusnya juga menjadi salah satu unsur penting yang di tuangkan di dalam Konstitusi. Salah satu argumen saya adalah, dengan adanya Kewajiban Asasi Manusia yang dituangkan dalam Konstitusi, maka masyarakat dapat paham secara pasti hal-hal apa saja yang menjadi kewajiban seseorang menjadi suatu warga negara. Selain itu, tidak ada lagi istilah “kebebasan yang kebablasan” apabila seseorang memaknai betul Kewajiban Asasi Manusia yang di cantumkan dalam Konstitusi suatu negara.

Sejatinya , Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia ibarat dua mata koin yang tidak dapat dipisahkan. Apa yang menjadi Hak orang lain adalah suatu kewajiban bagi saya. Contohnya adalah, semua orang memiliki hak untuk hidup di dunia, hak hidup orang tersebut merupakan kewajiban bagi saya untuk melindunginya tetap hidup dan tidak membunuhnya. Meskipun pada akhirnya pemikiran saya bertentangan dengan sejarah perkembangan Konstitusi yang dikenal sebagai Du Contract Social karya J.J Rousseau. Menurut Rousseau Konstitusi merupakan kontrak sosial antara rakyat dan penguasa, akan tetapi konstitusi justru membuat penguasa lemah di mata masyarakat, banyak hak-hak penguasa yang terabsorbsi menjadi hak-hak rakyat. Disinilah seharusnya kewajiban asasi manusia berperan, yaitu menyeimbangkan posisi rakyat sebagai atasan, dan juga rakyat sebagai bawahan. Hal tersebut menciptakan koordinat yang seimbang, yaitu situasi dimana saling menghargai antara rakyat dan penguasanya. Banyak yang memandang bahwa HAM dan Universal Declaration of Human Rights sangat kental akan nuansa individualistis dan ego sektoral seorang manusia. Menanggapi hal tersebut, seharusnya hak atas kebebasan tidak hanya menjadi sikap mementingkan hak diri sendiri akan juga melihat hak atas kebebasan orang lain. Maka dari itu di dalam forum-forum internasional yang membahas mengenai HAM, seharusnya juga di akomodir HAM dari organisasi masyarakat yang memiliki karakteristik kolegial, sehingga tidak hanya kepentingan individu saja yang di lindungi, tetapi kepentingan bersama juga harus di lindungi.

Selanjutnya diuraikan bahwa dua rezim totaliter yang dibahas oleh Arendt dalam bukunya terkait pemerintahan Nasionalisme-sosialisme (Nazi) oleh Adolf Hitler di Jerman dalam kurung waktu 1933-1945 dan kekuassan Bolshevisme Soviet oleh W.Stalin dalam kurung waktu (1922-1953). Dalam kasus tersebut dapat kita lihat bahwa walaupun faktor internasional secara langsung atau tidak mempengaruhi jalannya transisi politik, akan tetapi terdapat dominasi pengaruh dari dalam negeri sendiri. Dua kasus tersebut menggambarkan arti penting dari kepemimpina dan pertimbangan politis, serta pentingnya peran sautu individu dalam proses historis yang kompleks. Kondisi tersebut berbeda dengan proses transisi yang dilakukan oleh Argentina dan Chile. Dimana proses negosiasilah yang tampak dan tidak terdapat perlawanan dari para elit militer. Contohnya adalah Chile, dimana pemerintah telah memilih sarana yang berbeda untuk mengupas masa lalunya yaitu dengan cara membuka kebenaran dari pelanggaran-pelanggaran HAM dan dorongan terhadap suatu pengakuan publik akan kejahatan-kejahatan. Tujuannya adalah meminta rasa bersalah dan permintaan maaf yang dilakukan oleh pelaku kepada korban. Walaupun pada awalnya terasa nuansa skeptis yang menjurus kearah instabilitas, akan tetapi kemudian justru mendapatkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Hal inilah yang dapat disebut sebagai salah satu mekanisme simbolis untuk memutuskan hubungan dengan masa lalu. Dapat kita simpulkan bahwa transisi politik di beberapa negara Amerika Latin memang memiliki beberapa karakteristik yang sama. Salah satu contohnya ketika kita

membandingkan dengan pengalaman yang dialami di negara Eropa Selatan. Di Amerika latin, faktor-faktor internasional memegang peranan penting dalam proses transisi politik, sedangkan di Eropa Selatan tidaklah demikian. Perbedaan-perbedaan dan pertentanga-pertentangna itu juga mendukung suatu predisik yang lebih optimistis perihal prospek penegakan hukum demokrasi.

DAFTAR PUSTAKA INTERNET Anonim. “Definisi Man” http://www.artikata.com/arti-112415-man.html. Diunduh pada 28 _______Februari 2015 BUKU

Arinanto Satya, “Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia”, Cet.I, _______Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, 2003

More Documents from "Bang Bang"

Aplikasi Xtra Pandai
October 2019 38
Prof.docx
July 2020 23
Form Aplikasi Kartu Kredit
October 2019 43
Bukti Tanda Terima Pengadua
October 2019 44