Prisma Kerawananan Dan Tekanan

  • Uploaded by: Iwan Nugroho
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Prisma Kerawananan Dan Tekanan as PDF for free.

More details

  • Words: 7,132
  • Pages: 25
1

KERAWANAN DAN TEKANAN PEMBANGUNAN PULAU JAWA1 Iwan Nugroho

PENDAHULUAN Secara umum diperoleh gambaran bahwa kemajuan yang dicapai bangsa Indonesia dalam pembangunannya tergolong mengesankan. Pada tahun 1995 kemarin, pendapatan nasional per kapita telah mencapai 978 dolar pada tingkat pertumbuhan ekonomi 8.07 persen. Prestasi ini, di dalamnya digerakkan oleh transformasi struktur ekonomi yang ditandai meningkatnya peran sektor industri dan di sisi lain peran sektor pertanian menjadi turun. Terakhir pangsa masing-masing sektor tersebut 24 dan 16 persen (BPS, 1996a). Transformasi ini masih akan berlangsung terus menuju tingkat yang lebih efisien dalam alokasi sumberdaya-sumberdaya pembangunan. Namun demikian seperti halnya di negara-negara sedang berkembang lain, kenyataannya transformasi tersebut tidak mulus jalannya. Di Indonesia share sektor pertanian memang menurun hingga 16 persen, namun ia masih dibebani sekitar 46 persen angkatan kerja nasional. Perbandingan share perekonomian dan angkatan kerja untuk sektor pertanian di NSB lainnya antara lain Sri Lanka (24, 48), Malaysia (14, 27), Thailand (10, 60), Bangladesh (30, 65), China (21, 72), Pakistan (28, 53), dan Filipina (22, 45). Makin tinggi angka dan jauh perbedaannya berarti makin berat beban yang ditanggung oleh sektor pertanian. Bandingkan dengan negara-negara maju seperti Inggris (2, 2), Perancis (2, 5), Canada (4, 3), dan Amerika Serikat (3, 3). Bahkan Amerika Serikat dengan share hanya 2 persen mampu memberi makan orang seluruh dunia (World Bank, 1996) Transformasi yang tidak mulus tersebut, bagi Indonesia akhirnya memberi dampak yang tidak menguntungkan kepada faktor ekonomi maupun non ekonomi. Sekalipun peran (economic share) sektor industri naik hingga 24 persen, namun ia hanya mampu menampung 13 persen saja dari angkatan kerja (labor force). Kondisi ini sangat tidak menguntungkan; (1) sektor pertanian menanggung beban sangat berat untuk meningkatkan produktifitasnya, (2) sektor industri cenderung padat modal dan kurang memanfaatkan potensi wilayah 1

Naskah telah dipublikasikan pada majalah PRISMA, LP3ES Jakarta 7(Juli-Agustus1997):3-20 2

(resource base) sehingga memberikan pengaruh yang sangat kecil terhadap aktifitas perekonomian sekelilingnya, dan (3) tanggung jawab pemerintah makin berat untuk menyediakan infrastruktur baik di lingkungan industri maupun pertanian. Kondisi ketiga berkaitan dengan urbanisasi yang mengakibatkan pertumbuhan penduduk kota meningkat drastis dan menuntut aspek penawaran dan permintaan dari warganya. Jumlah penduduk kota saat ini mencapai 67.8 juta jiwa atau 35.2 persen dari total 192.7 juta jiwa (BPS, 1996b). Masalah bertambah pelik karena transformasi ini secara keseluruhan mengakibatkan kesenjangan dan kemiskinan di desa maupun kota, munculnya isyu Jawa dan luar Jawa, permasalahan sektor informal, dan terabaikannya pembangunan pedesaan. Fenomena lain di dalam transformasi yang memberi makna penting dalam kemajuan pembangunan adalah peranan yang ditampilkan oleh pulau Jawa. Dengan hanya seluas 132186 km persegi, atau 6.9 persen dari luas daratan Indonesia (1919317 km persegi), pulau Jawa menunjukkan dominasi dalam indikator pembangunan lainnya dibanding nasional, antara lain jumlah penduduk (58.9 persen), jumlah tenaga kerja (59.8 persen), Produk Domestik Bruto atau PDB (59.5 persen), dan investasi (72 persen jumlah proyek dan 65 persen nilai proyek). Memandang faktor lainnya tetap (ceteris paribus), maka nampak bahwa produktifitas daratan pulau Jawa mendekati dua puluh kali lipat dibanding daratan luar Jawa2. Gambaran tersebut memperlihatkan betapa intensif deru pembangunan di pulau Jawa, dimana ada kecenderungan penduduknya akan semakin banyak yang tinggal di kota seiring dengan perkembangan sektor industri dan jasa di dalamnya. Berdasarkan data tahun 1995, penduduk kota di Jawa telah mencapai 48.2 juta jiwa dengan pertumbuhan sebesar 4.35 persen. Sementara jumlah penduduk desa pulau Jawa 66.8 juta dengan pertumbuhan negatif 0.9 persen. Jadi sangat beralasan kalau ada pendapat yang mengemukakan bahwa pulau Jawa di masa mendatang akan menjadi mega urban atau ‘pulau kota’, dengan ciri-ciri antara lain tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi (1146 jiwa per kilometer persegi pada tahun 20203) dan semakin berkurang peranan sektor pertaniannya. Keadaan seperti yang diuraikan di atas memberikan gambaran yang mengkuatirkan. Pulau Jawa diperkirakan akan menghadapi ancaman atau tekanan yang dipisahkan ke dalam aspek sumberdaya alam (SDA), sosial kelembagaan, dan perekonomian. Ancaman dari SDA terutama menurunnya daya dukung lingkungan sebagai akibat kelebihan tekanan populasi dan dampak buruk dari sektor industri. Hal ini akan teramati antara lain dengan menurunnya suplai air dan kekeringan yang berkepanjangan, kualitas udara yang makin *

********************************************************awa terhadap Luar Jawa Dengan asumsi pertumbuhannya 1.1 persen, maka pada tahun 2020 penduduknya akan berjumlah 151.5 juta, bandingkan dengan keadaan tahun 1995 dengan jumlah penduduk 115 juta jiwa dan kepadatannya 870 jiwa per kilometer persegi 3

3

memburuk, pencemaran air, pergeseran lahan pertanian ke arah perbukitan, dan menurunnya produktifitas tanaman pertanian. Ancaman dari aspek sosial kelembagaan adalah interaksi dari jumlah penduduk yang sangat besar, sebagian besar masih mengandalkan sektor pertanian, kebanyakan masih berada dalam keadaan miskin, dan makin menipisnya rasa kohesifitas atau kegotongroyongan dalam masyarakat (social capital) sebagai unsur penting yang ikut memandu terjaminnya keberlanjutan alokasi sumberdaya. Bila indigenous institution dan terlebih lagi law enforcement dari regulasi terabaikan, ancaman ini akan makin mengakselerasi kerusakan yang terjadi di pulau Jawa. Ancaman dari aspek perekonomian adalah kemungkinan terjadinya feedback loop yang bersifat negatif. Artinya, makin tinggi kemajuan dalam (ukuran) perekonomian akan makin tinggi pula permintaan untuk mengeksploitasi. Ancaman ini benar-benar terjadi kalau seluruh pelaku ekonomi tidak disiplin dalam berperilaku efisien, tidak menerapkan hasil-hasil dari kegiatan riset dan pengembangan (R&D), bersikap tidak peduli dan lebih berorientasi rent seeker. Atas dasar uraian yang dikemukakan tadi, maka dalam tulisan ini akan disajikan solusinya, yaitu dengan mengembangkan agroforestry di pulau Jawa. Agroforestry diharapkan akan mampu menjawab keseluruhan tiga ancaman di atas, yaitu (i) dengan meningkatkan daya dukung lingkungan, (ii) membangun kembali indigenous institution dan regulasi pendukungnya serta memberikan insentif ekonomi yang layak kepada petani, dan (iii) membangun sikap peduli akan keberlanjutan sistem produksi dan manfaatnya. Uraian sepenuhnya didasari kajian konsepsional yang didukung dan dilengkapi pengalaman empirik dimana hal tersebut adalah sesuatu kewajaran dalam menelaah permasalahan di lingkup ilmu sosial.

KONSEP TRANSFORMASI Konsepsi klasik yang mampu menggambarkan transformasi adalah yang dikemukakan Emilie Durkheim dan hukum Engel. Menurut Dukheim, perubahan orientasi kehidupan yang terjadi dari kehidupan masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri tidak ubahnya mengikuti sistem biologi. Di dalamnya terjadi perubahan dari basis solidaritas masyarakat yang berciri ikatan tradisionil kekeluargaan menjadi ikatan yang ditentukan oleh labor division atau terjadinya spesialisasi pekerjaan. Sementara itu hukum Engel mengemukakan bahwa seiring dengan bertambahnya pendapatan atau kesejahteraan maka terjadi penurunan proporsi tingkat konsumsi bahan pangan dan bersamaan itu terjadi kenaikan proporsi konsumsi non pangan. Chenery juga menggunakan hukum Engel untuk melengkapi gambaran transformasi. 4

Dalam teori-teori pembangunan, transformasi dapat dijelaskan oleh kalangan penganut ortodok dan struktural (Ausy, 1995). Penganut ortodok antara lain Rostow dan Lal, percaya bahwa pertumbuhan ekonomi berjalan melalui ‘trickle down effect’. Negara berkembang diharapkan memperoleh manfaat (dorongan) dari negara maju akibat permintaan barang-barang mentah terhadap negara berkembang. Rostow memperkenalkan lima tahap model pertumbuhan ekonomi, yaitu: 1. Ekonomi tradisionil, ciri-cirinya: (1) sektor pertanian mengerjakan 70 hingga 80 persen populasi dan produktifitasnya rendah, (2) feodalistik dan teknologinya statis, (3) lingkungan spasial adalah pedesaan. 2. Pre-conditioning, ciri-cirinya: (1) ada pemerintahan yang mengatur dan menjamin keamanan perdagangan, (2) ada kelompok yang mampu berproduksi secara efisien, (3) pemanfaatan SDA paling dominan seperti, kayu, tambang, dan batubara. Hingga tahap ini biasanya segera naik ke tahap berikutnya. 3. Tinggal landas, ciri-cirinya: (1) reinvestasi output meningkat dari kurang 5 hingga Lebih 10 persen per tahun, dan petumbuhan outputnya lebih dari 3 persen, (2) berkembangnya sekelompok masyarakat yang mampu memanfaatkan peluang-peluang ekonomi seperti ini, (3) munculnya industri unggulan (antara) seperti baja sebagai (mengantisipasi) kaitan ke depan (forward-linkage) terhadap industri engineering, atau kaitan ke belakang (backward-linkage) terhadap pertambangan biji besi dan batubara. 4. Menuju kematangan, ciri-cirinya: (1) penerapan teknologi modern, tidak hanya pada sektor unggulan, (2) terjadi perubahan perubahan struktur besar-besaran dari pertanian produktifitas rendah menuju sektor jasa dengan produktifitas tinggi, (3) redistribusi populasi dari rural ke urban dan kota berkembang pesat. 5. Economic maturity. Ciri-cirinya: (1) semua sektor menerapkan teknologi maju, (2) income per capita naik seiring produktifitasnya. Model Rostow dianggap terlalu baik dan mulus mengikuti pengalaman negara industri. Kritikan terhadap Rostow antara lain: 1. Perubahan politik diabaikan dan dianggap tidak mengganggu tahapan-tahapan di atas. 2. Dianggap perlu mengantarkan a constant stream dari suatu produk baru agar supaya tidak tergelincir terutama pada tahap ke tiga. Strukturalis terpecah menjadi golongan radical (misal Gundar Frank) dan reformer (seperti Myrdal, Singer dan Prebisch). Golongan radikal mempercayai teori ketergantungan, bahwa negara berkembang tergantung sekali dengan negara maju melalui investasi dan perdagangan internasional. Golongan reformer adalah penganut ekonomi mainstream. Strukturalis kurang optimis dalam memandang pembangunan di negara berkembang, karena 5

lebarnya gap antara negara kaya dan miskin. Negara kaya punya kekuatan politik mengatur perdagangan interna-sional yang dapat menjadikan harga mahal di negara berkembang. Strukturalis memperkenalkan model inti/feri-feri (core/periphery), dimana prinsipnya adalah terjadinya inequity perdagangan antara inti dan peri-peri di suatu wilayah. Myrdal menggambarkan peri-peri sebagai terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Logikanya, mereka tidak punya cukup modal, karenanya investasi dan produktifitasnya juga rendah. Akibatnya adalah rendahnya dan akumulatif. Trickle down effect yang dijanjikan oleh penganut ortodok jutru menjadi backwash effect. Produk negara berkembang sebagai periperi tidak mampu bersaing dengan produk negara maju yang bersifat murah dan massal. Penganut radikal (dependency theory) lebih jauh mengemukakan, modal dan teknologi negara inti (maju) digunakan untuk mengekstrak sumberdaya dan pasarnya pun ditanggung negara berkembang. Kalau intinya, katakan ingin menutup usaha (karena merugi) dan pindah peri-peri yang lain, habis sudah negara berkembang (peri-peri) tersebut. Menurut Dos Santos, bentuk multinational corporations (MNCs) adalah seperti ini meskipun dalam bahasa yang lebih halus. Sejalan dengan Rostow, di dalam transformasi paling tidak harus berjalan tiga komponen yang menurut Kuznetz dapat menaikkan kapasistas perekonomian negara, yaitu (Todaro, 1995; p. 122): 1. Meningkatnya output secara terus menerus untuk meyediakan barang dan jasa memenuhi permintaan penduduknya. 2. Perkembangan teknologi secara berkesinambungan untuk mendukung berjalannya pembangunan. 3. Justifikasi yang terus menerus terhadap kelembagaan, sikap dan ideologi untuk mengakomodasi poin satu dan dua. Penelaahan transformasi secara lebih lengkap dijelaskan oleh Hollis Chenery dari Harvard University (Todaro, 1995; p. 75). Ini pula yang sekarang menjadi acuan banyak pakar untuk menelaah pembangunan di banyak negara. Berikut disajikan hal-hal yang menjadi perhatiannya: 1. Terjadinya secara bersamaan kenaikan dan penurunan peranan masing-masing pada sektor industri dan pertanian seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat (dan berjalannya waktu). Negara dikelompokkan berdasar pendapatan per kapita sebagai berikut: (a) underdevelop (kurang dari 600 dolar) dengan share pertanian dan industri 45 dan 15 persen, (b) transisi (antara 600 hingga 3000 dolar) dengan share pertanian dan industri adalah sama (25 persen), dan © berkembang (di atas 3000 dolar) dengan share pertanian dan industri adalah 20 dan 28 persen. 6

2. Berkurangnya permintaan konsumsi akan pangan, dan meningkatnya konsumsi non pangan (mengikuti hukum Engel) seperti pengeluaran pemerintah dan investasi 3. Jumlah penduduk kota meningkat. Pada pendapatan per kapita melewati 1000 dolar, proporsi penduduk perkotaan melebihi pedesaan. 4. Meningkatnya impor produk-produk industri baik untuk konsumsi atau produksi. Kemudian faktor produksi impor itu bersama local content digunakan untuk menghasilkan produk nasional untuk kepentingan ekspor. Pada gilirannya jumlah dan nilai ekspor akhirnya meningkat pula. Model yang sering digunakan saat ini adalah yang dikembangkan oleh Clark dan Fisher. Disini, transformasi diamati secara time series untuk melihat pangsa relatif tiap lapangan usaha terhadap produk domestik bruto (PDB). Sektor yang diamati umumnya adalah pertanian, industri dan jasa. Dengan waktu, pangsa relatif sektor pertanian akan terus menurun yang diimbangi oleh kenaikan pangsa relatif sektor industri dan jasa. Hal ini bisa terjadi oleh karena adanya transfer tenaga kerja dari sektor yang produktivitas tenaga kerjanya rendah ke sektor yang produktivitasnya lebih tinggi.

PEMBANGUNAN PULAU JAWA Sejarah Pulau Jawa mempunyai catatan sejarah yang panjang dan mendominasi jumlah maupun ragam budaya Indonesia. Jaman prasejarah (sebelum masehi) mencatat bahwa telah berdiri kebudayaan yang diwariskan oleh Kerajaan Tarumanegara yang diperintah oleh raja Purnawarman (situs terletak di Kabupaten Bogor) sekitar tahun 450 Masehi (M) dan kerajaan Kalingga yang dipimpin oleh ratu Sima (situs terletak antara Jawa Timur dan Jawa Tengah) pada tahun 674 M. Dalam jaman ini rakyat mempercayai Animisme dan Dinamisme dan tingkat kehidupannya masih sederhana. Selanjutnya, dalam jaman sejarah kira-kira enam hingga delapan sesudah masehi, kebudayaan di pulau Jawa diwarnai oleh pengaruh ajaran Budha. Warisan sejarahnya hingga sekarang bisa dinikmati, misalnya Candi Borobudur yang dibangun oleh dinasti Syailendra dari Kerajaan Mataram Hindu. Pada jaman ini tingkat kehidupan rakyat sudah cukup baik. Pada saat ini diperkirakan rakyat telah bercocok tanam padi sawah, dan memberikan inspirasi munculnya sebutan Java Dwipa bagi pulau Jawa, yang artinya pulau padi.

7

Pengaruh Budha dalam ukuran waktu tergolong tidak lama karena disusul oleh pengaruh ajaran Hindu yang kemudian lebih mewarnai sejarah Indonesia maupun Jawa. Pada Jaman ini, sekitar abad enam hingga empat belas, bermunculan nama kerajaan besar di Jawa Timur; Kahuripan, Kediri, Singosari, hingga puncaknya adalah Majapahit (tahun 1292 hingga 1420) yang sekaligus mempersatukan seluruh Nusantara dan kemudian ikut menanam dan menyebarkan budaya Jawa pada saat itu. Kebudayaan saat itu sudah tinggi diwarnai oleh hubungan dagang atau diplomasi dengan kerajaan Cina dan Campa. Seiring kemunduran Majapahit, ajaran Islam mulai memasuki Jawa. Warisannya hingga sekarang dapat dilihat antara lain Keraton Yogya dan Solo yang merupakan keturunan dari raja Mataram yang pertama, yaitu Sutawijaya atau Panembahan Senopati. Dalam jaman ini, penjajah dari Eropa mulai masuk dan ikut menanamkan pengaruhnya. Disinilah kemudian para raja-raja yang beragama Islam melakukan perlawanan meskipun akhirnya tidak berhasil. Akhirnya, Belanda menguasai Indonesia selama hampir tiga setengah abad dan menempatkan pulau Jawa sebagai basis kekuatannya. Disinilah kemudian dimulai era eksploitasi secara modern dalam usaha-usaha tani tanaman pangan, perkebunan, maupun kehutanan untuk memenuhi permintaan para entreupener dari dunia lain. Eksploitasi ini, terlepas dari aspek sosial, memberikan kerangka konseptual yang benar di dalam pengelolaan sistem produksi yang efisien pada saat itu. Disinilah kemudian muncul usahausaha partikelir atau onderneming yang klimaksnya adalah pada tahun 1930an ketika menjadi produsen gula terbesar di dunia. Demikian juga, ditemukannya pola pengusahaan hutan jati yang efisien di Jawa. Jelasnya, Belanda benar-benar menerapkan hasil dan kaidah-kaidah penelitian dan pengembangan untuk mendukung pengelolaan sumberdaya pada saat itu. Keadaan segera berubah ketika memasuki penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan. Catatan menunjukkan bahwa Jepang tidak berpengalaman dalam sistem produksi tanaman kecuali padi. Karenanya pada jaman ini dan ketika sudah merdeka, seluruh onderneming tidak terurus dan mengalami kehancuran. Belakangan Indonesia harus mulai dari nol lagi untuk membangun kembali sektor pertaniannya. Namun demikian, keadaan sudah berubah banyak karena jumlah penduduk Jawa meningkat tajam sejak merdeka. Kalau pada tahun 1930 penduduk Jawa kurang dari 30 juta jiwa, maka pada tahun 1961 menjadi 63 juta (Tabel 1). Ini pula yang menandai permasalahan pembangunan secara umum hingga saat ini.

Geografi Daratan pulau Jawa mempunyai luas 132186 km persegi, atau 6.9 persen dari luas daratan Indonesia (1919317 km persegi). Fisiografinya berkisar mulai dataran rendah

8

hingga pegunungan dan di dalamnya terdiri puluhan gunung api yang masih aktif dan banyak sungai mengalir diantaranya. Interaksi dari aktifitas lava dan sumber air ini kemudian membuat proses pembaharuan nutrisi atau hara tanah (nutrient enrichment) berlangsung terus menerus yang mengakibatkan lahan di pulau Jawa secara umum tergolong subur baik sebagai sawah maupun lahan kering. Potensi ini yang mampu diangkat dan dimanfaatkan oleh Belanda dulu.

9

Tabel 1. Penduduk Indonesia Tahun 1961 hingga 2000, Menurut Wilayah (BPS, 1992a) 

Wilayah

1961

1971

1980

1990

1995

2000



------------------------------------ x 1000 -----------------------------------SUMATERA JAWA DKI Jaya Jabar Jateng DIY Jatim KALIMANTAN SULAWESI Bali+Nusa Tenggara Maluku+Irja+Timtim INDONESIA

15740 63058 2973 17614 18407 2241 21823 4102 7080 5558 1548 97086

20809 76086 4579 21624 21877 2489 25517 5155 8527 6618 2013 119208

28017 91270 6503 27454 25373 2751 29189 6723 10409 7932 3140 147491

36505 107581 8259 35384 28521 2913 32504 9100 12521 9417 4255 179379

40970 114988 9161 39337 29688 2917 33886 10521 13772 10140 4894 195283

45337 121761 100558 43285 30551 2897 34972 11999 12201 10785 5536 210439

23,0 61,9 19,0 80,9 4,6 7,1 5,4 2,1

24,3 60,0 20,4 80,3 5,1 7,0 5,2 2,4

24,8 58,9 21,0 79,9 5,4 7,1 5,2 2,5

25,3 57,9 21,5 79,4 5,7 5,8 5,1 2,6

Relatif Terhadap Nasional (persen) DKI+Jabar Jawa Sumatera Jawa+Sumatera Kalimantan Sulawesi Bali-Nustra Mal-Irja-Timtim

21,2 65,0 16,2 81,2 4,2 7,3 5,7 1,6

22,0 63,8 17,5 81,3 4,3 7,2 5,6 1,7



Tabel 2. Suplai dan Kebutuhan Air di Pulau Jawa (World Bank, 1990; p. 81)  Jan

Feb Mar

Apr May

Jun

Jul

Agu

Sep

Okt

Nop

Des

 3

--------------------------------------------- m

1)

per detik ------------------------------------------------

Suplai Air Aktual Rata-rata Tahun kering

9346 10177 10019 4166 4536 4466

8382 3736

5902 2630

3115 1388

2233 995

1555 693

1752 781

2629 1172

5195 2316

7428 3311

2840 101 2941

2840 101 2941

2840 101 2941

2840 101 2941

2840 101 2941

2840 101 2941

1988 101 2089

852 101 953

852 101 953

852 101 953

1988 101 2089

2840 101 2941

6405 1225

7236 1595

7078 1525

5441 795

2961 174 144 -311 -1553 -1094

602 -260

799 -172

1676 219

3106 227

4487 370

Kebutuhan Air Irigasi RT dan Industri Total

Neraca Air Rata-rata Tahun kering

 1)

bertanda negatif menunjukkan terjadi defisit air

10

Pulau Jawa mengenal hanya dua musim, yaitu penghujan dan kemarau. Oleh karena itu distribusi air sepanjang tahun dipengaruhi jatuhnya musim (Tabel 2). Jawa Barat mampu memanen air sebanyak 44 persen dari total sumberdaya air Jawa, sisanya dibagi antara Jawa Timur dan Jawa Tengah masing-masing 30 dan 26 persen. Meskipun jumlah air yang tersedia rata-rata adalah 1750 m3 per kapita per tahun, namun maksimum yang dapat dimanfaatkan adalah 1340, 1120, dan 1000 m3 per kapita per tahun di tiga propinsi tersebut. Angka tersebut tidak termasuk tinggi bila dibanding dengan negara lain. Di Cina dengan populasi 10 kali Jawa, dengan curah hujan lebih kecil, mampu memanfaatkan sebesar 2800 m3 per kapita per tahun. Perbedaan ini disebabkan sungai di Cina lebih panjang (mencapai 4000 km) dan memiliki wilayah daerah aliran sungai atau DAS (catchment area) lebih luas (World Bank, 1990). Bandingkan dengan sungai di Jawa, yang umumnya hanya ratusan kilometer ditambah lingkungan berbukit (rata-rata lebar river basin hanya 50 km) sehingga pada saat musim hujan air cenderung cepat terbuang ke laut (World bank, 1994). Dipengaruhi oleh distribusi air, maka secara (iklim) makro ikut mempengaruhi pola budidaya tanaman. Makin ke timur, dengan kelembaban yang makin berkurang, pola usaha tani yang bersifat masal cenderung memilih usaha tani perkebunan, misalnya tebu, kopi, dan kakao, serta sebagian palawija. Komoditi ini ditanam meluas di Jawa Timur. Sebaliknya makin ke barat, kelembabannya dan suplai air makin tinggi, pola budidaya bisa berupa padi, atau karet. Ini banyak di temukan di Jawa Barat. Sementara itu, secara mikro petani mengantisipasi berfluktuasinya air (secara turun temurun) dengan misalnya tumpang sari, berkebun sekitar rumah, talun atau praktek kombinasi tanaman pohon, perdu, dan tanaman rendah. Pola tanam yang mengikuti model agroforestry nampaknya secara tidak sengaja, sebagai bagian dari kebiasaannya, telah diterapkan. Dalam rangka memanfaatkan potensi air tersebut, sekaligus mendukung kebijaksanaan pembangunan pertanian, maka pemerintah telah membangun infrastruktur irigasi di sebagian besar lahan pertanian di pulau Jawa. Hasilnya memang lumayan, sekitar 70 persen lahan telah terairi (World Bank, 1994) dan berperan menyokong swasembada pangan tahun 1984. Beberapa nama sungai besar ikut berperan di dalamnya, misalnya Citarum, Bengawan Solo, dan Brantas. Bahkan menurut Prof Go Ban Hong dari IPB Bogor, Brantas adalah sungai yang memberi makan kepada paling banyak penduduk dibanding sungai manapun di dunia.

Pulau Jawa Masa Kini Pulau Jawa saat ini adalah fenomena berwajah jamak. Kehidupan modern telah menghiasi wajah kota besar seperti Bandung, Surabaya atau Jakarta sama persis seperti kota besar dunia lainnya. Kehidupan tradisionil-modern teramati pada kota yang sudah mampu

11

mengakses ke kehidupan modern namun sebagian besar rakyatnya tidak mampu melakukannya, misalnya Blitar, Wonogiri, atau Garut. Kehidupan tradisionil, yaitu kehidupan di desa-desa terpencil di mana tidak ada akses seperti yang dimiliki orang kota, mereka jauh dari manfaat hasil-hasil pembangunan, dan mengandalkan kehidupan sepenuhnya kepada SDA. Yang terakhir dipandang paling kritikal karena punya kaitan dengan terjadinya kerusakan SDA sejalan dengan tingkat kemiskinan. Tabel 3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Harga Berlaku, Menurut Wilayah (BPS, 1992b; 1996c) 

Wilayah

Tahun

Pertumbuhan 19931995 1995



1985

1990

1993

1994



------------------------------- juta rupiah -----------------------------

Jawa DKI Jaya Jabar Jateng DIY Jatim Jawa-Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya INDONESIA

51052451 11282641 14635138 10124151 993702 14016819 52493790 24937062 8862663 3986272 3050747 93330534

106964323 22855444 31358132 21689283 1900530 29160934 109982190 49410116 17215471 7551964 6252678 190412419

190991006 51106459 52675362 33978909 4058028 49172248 196680927 72381560 28796495 13363308 12361745 323584035

222517885 58785331 62400244 39303565 4882292 57146453 229008436 81662716 34172737 15553151 14176902 374573942

261007562 69846959 73333011 45996379 5618645 66212568 268417141 95063628 39394470 18467329 17172893 438515461

59,0 22,4 8,9 4,1 3,8

59,4 21,8 9,1 4,2 3,8

59,5 21,7 9,0 4,2 3,9

%

16,9 16,9 18,0 16,3 17,7 16,0 16,8 14,6 17,0 17,6 17,9 16,4

Relatif Terhadap Nasional (persen) Jawa Sumatera Kalimantan Sulawesi Lain

54,7 26,7 9,5 4,3 3,3

56,2 25,9 9,0 4,0 3,3

-



Kehidupan di tiga sektor di atas secara langsung maupun tidak adalah buah hasil dari kemajuan pembangunan yang diakui memang sangat mengagumkan. Dorongan transformasi oleh meningkatnya peran industri dan jasa telah memberi kenaikan output dan sekaligus memancing permintaan tenaga kerjanya. Tahun 1995 (Tabel 3), secara keseluruhan pertumbuhan output Jawa adalah 16.9 persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan nasional 16.4 persen. Sumbangan pulau Jawa dalam PDB adalah 59.5 persen, yaitu sebesar 261 trilyun rupiah dimana sekitar 143 triltyun (55 persen) berasal dari DKI dan Jawa Barat. Dua propinsi ini paling menonjol dalam sektor industri dan jasa di mana masing-masing

12

mengerjakan sebanyak 3.4 dan 9.5 juta pekerja (Tabel 4), paling tinggi dibanding propinsi manapun. Yang penting untuk dicermati adalah peran Jawa dalam perekonomian nasional di saat mendatang justru tidak ada tanda-tanda menurun. Ini artinya tekanan demi tekanan akan makin menambah beban yang dipikul pulau Jawa Tabel 4. Jumlah dan Pertumbuhan Orang Bekerja Menurut Jenis Kelamin dan Wilayah (Sakernas, 1991;1992;1993;1994) 

Jumlah Orang Bekerja (1994) Wilayah

Pertumbuhan (1991-1994)





Pertanian

Industri

Jasa

Total Pertanian Industri

9650,8 18140,0 4455,3 6139,4 7545,4 2543,5 3263,8 2803,4 1455,9 19717,5 37857,5

1114,1 8346,9 3369,7 2637,7 2339,6 381,6 361,6 553,8 82,2 2493,3 10840,2

5268,3 22189,2 9474,2 6396,9 6318,1 1421,1 1753,4 1513,5 453,6 10409,9 32599,1

16192,3 49062,5 17463,4 15293,8 16305,3 4440,1 5415,4 4930,8 1997,1 32975,6 82038,1

(1,1) (5,1) (5,8) (7,0) (2,8) 0,1 0,3 (0,9) 6,3 (0,2) (2,7)

4088,7 6981,8 1576,2 2430,7 2974,9 1084,5 1006,0 1217,6 633,5 8030,3 15012,1

461,7 3741,0 1270,4 1402,3 1068,3 120,4 195,6 373,2 27,7 1178,7 4919,7

1848,5 7961,3 2651,8 2644,8 2664,6 459,3 628,7 641,9 140,5 3718,9 11680,2

6414,5 18742,4 5512,7 6514,7 6715,1 1679,0 1831,6 2259,0 803,1 12987,2 31729,7

(0,3) (4,6) (5,9) (6,9) (1,2) 1,7 2,2 (0,5) 9,8 0,9 (1,8)

Jasa

Total

20,0 10,5 11,3 10,0 10,2 10,6 14,7 7,4 9,8 13,9 11,2

10,3 5,7 5,8 6,6 4,9 10,2 11,0 7,6 3,2 9,6 6,9

3,3 1,7 2,8 0,5 1,6 4,0 4,2 2,5 5,4 3,5 2,4

24,4 11,4 14,2 11,0 9,9 5,2 12,0 8,3 10,8 13,1 11,7

13,6 4,7 4,8 4,2 5,2 10,4 10,5 7,4 9,0 11,3 6,6

4,4 1,8 2,4 0,4 2,7 3,8 5,6 3,1 9,4 4,5 2,8

 ----------------------- ribuan ------------------------- -------------------- persen 1) -------------------

Pria+Wanita Sumatera Jawa - Jabar/DKI - Jateng/DIY - Jatim Kalimantan Sulawesi Bali+Nustra Mal+Irja+Tim Luar Jawa INDONESIA Wanita Sumatera Jawa - Jabar/DKI - Jateng/DIY - Jatim Kalimantan Sulawesi Bali+Nustra Mal+Irja+Tim Luar Jawa INDONESIA

 1)

angka dalam kurung menandakan nilai negatif

Dorongan transformasi mengakibat perubahan komposisi Pekerja Sektor Pertanian (PSP) dan Industri (PSI). PSP berkurang tiap tahunnya 5.1 persen dimana penurunan terbanyak terjadi di Jawa Tengah yaitu 7 persen. Laju penurunan PSP di Jawa lebih cepat dibanding luar Jawa (-0.2 persen), sementara pertumbuhan PSI di luar Jawa (13.9 persen) lebih tinggi dibanding Jawa (10.5 persen). Fenomena ini menunjukkan bahwa dorongan industrialisasi di Jawa berjalan intensif dan dikompensasi berkurangnya PSP. Sementara di

13

luar Jawa, industrialisasinya berjalan sangat intensif namun tidak diimbangi oleh penurunan yang nyata jumlah PSP. Meskipun kenaikan PSI di luar Jawa tinggi namun jumlahnya masih sedikit, sekitar 30 persen pekerja di Jawa. Tabel 5. Investasi Yang Disetujui 1994 dan Pertumbuhan Selama 1990 hingga 1994, Menurut Wilayah (BPS, 1996a) 

Jumlah Proyek

Nilai Investasi

Investasi per Proyek

   Wilayah 1994 Pertum1994 Pertum1994 Pertumbuhan buhan buhan  % miliar rp % miliar rp % JAWA DKI Jaya Jabar Jateng DIY Jatim SUMATERA KALIMANTAN SULAWESI Kal+Sul+Bali+Maluku INDONESIA

994 327 426 72 13 156 204 50 40 176 1374

36,3 14,7 (5,7) 20,2 (6,7) 13,7 89,3 363,2 67,7 426,6 552,1

53673,8 7977,5 21640,9 8762,4 423,1 14869,9 16219,6 6173,6 3126 12304,9 82198,3

149,4 26,7 0,7 49,7 13,5 58,8 912,3 7854,8 418,5 8323,3 9385,1

324,8 24,4 50,8 121,7 32,5 95,3 745,6 573,7 274,4 938,7 2009,0

154,8 12,7 12,3 27,8 56,8 45,1 840,9 730,9 234,3 1041,1 2036,8

-

10 36 65 20 7,5 3,8 2,4 1,3 85

-

1 4 16 37 28,6 13,7 1,4 3,1 53

-

Relatif Terhadap Nasional (persen) DKI DKI+JABAR JAWA SUMATERA KALIMANTAN SULAWESI BALI-NUSTRA MAL-IRJA-TIMTIM JAWA+SUMATERA

24 55 72 15 3,6 2,9 5,0 1,2 87

 Angka dalam kurung menandakan nilai negatif

Informasi lain yang dapat dikemukakan dari Tabel 4 adalah peran pekerja wanita. Transformasi mengakibatkan kecenderungan makin tinggi jumlah mereka bekerja di sektor industri. Kenaikan PSI wanita ini terjadi di Jawa (11.4 persen) maupun luar Jawa (13.1 persen). Sementara PSP wanita di Jawa memberikan fenomena yang menarik, dimana tingkat penurunannya relatif lebih rendah (-4.6 persen) dibanding kaum pria (-5.4 persen, atau -5.1 persen untuk wanita dan pria). Fenomena ini memperlihatkan bahwa PSP wanita kurang elastis mengantisipasi dorongan transformasi. Atau dengan kata lain, wanita tani cukup puas tinggal di desa dan merelakan suami atau famili laki-lakinya mencari pekerjaan 14

di luar pertanian. Posisi yang tidak menguntungkan tadi sangat mungkin mendorong apa yang disebut feminisasi kemiskinan4 (feminization of poverty), dimana PSP wanita cenderung 'bergumul' dengan SDA dalam lingkungan sanitasi yang buruk. Kondisi bertambah buruk manakala SDA tidak mampu mendukung sistem produksinya, sehingga memberi hasil yang tidak diharapkan, dan menurunkan produktifitasnya pada tingkat yang marginal. Hasil dari interaksi kemajuan yang dicapai di Jawa, ketersediaan tenaga kerja, infrastruktur atau faktor-faktor kondusif lainnya, menyebabkan investor cenderung menanamkan investasinya di Jawa (Tabel 5). Tercatat 72 persen dari total proyek diarahkan ke Jawa, dan sekali lagi DKI dan Jawa Barat mendominasi dengan mengambil 753 dari 994 keseluruhan proyek. Berkumpulnya aktifitas industri di dua propinsi ini, selain memberikan manfaat ekonomi, di dalamnya juga mengandung potensi permasalahan yang sangat krusial, menyangkut aspek fisik-polusi, sosial, maupun yang dilatarbelakangi persoalan ekonomi.

ANCAMAN DAN TANTANGAN Kemajuan pesat pembangunan di pulau Jawa menempatkanya ke dalam tekanan-tekanan yang mengkuatirkan. Interaksi dari akumulasi modal dan manusia (keduanya merupakan faktor produksi) yang diikuti mengalirnya dampak buruk akibat pembangunan (externalities) diperkirakan akan membuka (secara frontal) ketidak seimbangan daya dukung lingkungan, goyahnya peran tatanan sosial, dan terganggunya sistem produksi ekonomi. Berikut disajikan kemungkinan ancaman atau tantangan yang dihadapi pulau Jawa sejalan dengan kemajuan ekonominya.

Sumberdaya alam (SDA) Ancaman dari SDA terutama menurunnya daya dukung lingkungan sebagai akibat kelebihan tekanan populasi dan dampak buruk dari aktifitas pembangunan. Secara spasial, pada prinsipnya, hal ini akan terjadi dimanapun ada aktifitas pembangunan. Sementara secara temporal, bersifat langsung maupun akumulatif, pengaruhnya sangat ditentukan oleh sifat dan intensitas tekanan. Yang jelas, perkotaan merupakan wilayah yang rentan terhadap ancaman, dan luasannya makin meningkat diimbangi laju konversi dari lahan pertanian sebesar 10 persen per tahun untuk pengembangan pemukiman dan industri. Dan menurut World Bank (1994), sudah sekitar 60 persen industri berlokasi di Jawa. Di dalamnya,

4

Isyu ini pernah penulis ungkapkan dalam harian KOMPAS, 3 Mei 1996 15

Jakarta bersama Bandung, Semarang dan Surabaya menanggung kurang lebih 36 persen share industri di Jawa, setara dengan 27 persen nasional. Isyu yang mengemuka dalam hubungannya dengan penurunan daya dukung lingkungan adalah polusi industri perkotaan dan suplai air. Polusi industri perkotaan merupakan dampak langsung dari industrialisasi yang teramati melalui menumpuknya sampah kota, emisi kendaraan bermotor, dan pencemaran industri. Data BPS (1995), memperlihatkan bahwa beban pencemaran udara dari industri manufaktur di Jawa mencapai sekitar 50 juta ton debu per tahun, 49.2 juta ton diantaranya dihasilkan oleh DKI dan Jawa Barat. Beban pencemaran ini masih belum menghitung sumber yang bergerak dan bahan gas kimia lainnya. Isyu suplai air ditekankan kepada peningkatan permintaan penduduk kota maupun oleh industri. Menurut World Bank (1994), pada tahun 2010 penggunaan air untuk industri dan pemukiman akan mencapai lima persen dari total permintaan. Sebagian besar (95 persen) masih digunakan untuk sektor pertanian. Namun demikian karena karakteristik pulau Jawa yang kurang mendukung untuk menyimpan air, maka keadaan kekurangan air dipastikan akan terjadi seperti selama ini. Tekanan ini akan nampak nyata terutama di kota besar seperti Jakarta, dimana pengambilan air tanah setiap tahunnya mencapai 300 juta meter kubik, sementara kapasitas rechargenya hanya 114 juta. Ini kemudian mengakibatkan subsidensi 4 hingga 9 cm per tahun ditambah resiko terjadinya banjir dan kerusakan struktur konstruksi bangunan. Di Jakarta Utara, interusi air laut meningkat tajam (dengan laju 0.5 hingga 1 km per tahun), dan sekarang telah mencapai jarak sejauh 15 km dari pantai.

Sosial Kelembagaan Faktor sosial dan tatanan kelembagaan merupakan komponen penting yang mempengaruhi aktifitas manusia dalam mengalokasikan sumberdaya. Ia dapat dianggap sebagai benteng terakhir yang memutuskan apa yang seharusnya terjadi terhadap sumberdaya. Selama ia masih bertahan, meskipun tatanan ekonomi berubah, maka masih ada peluang untuk memperbaikinya kembali. Namun, begitu keberadaannya tidak lagi berfungsi, maka tatanan ekonomi akan mengalami kehancuran dengan kecepatan yang sangat tinggi. Apa yang selama ini dipertahankan oleh masyarakat lokal tradisionil, bukan tanpa maksud. Menurut McNeely (1992), di dalam nilai-nilai lokal terkandung suatu kebenaran dan kearifan (intellectual raw materials) yang bermanfaat dalam mengatur alokasi sumberdaya. Di dalamnya juga tercermin stabilitas dari sistem budaya dan ekologi yang dapat menjamin keberlanjutan pembangunan, dan tentu saja insentif ekonomi yang tinggi bila mampu menggalinya secara tepat.

16

Oleh karena itu adalah sangat penting untuk melindungi keberadaan indigenous institutions melalui regulasi di tingkat nasional. Ini merupakan masalah pokok yang hingga sekarang belum mendapat perhatian, disamping permasalahan lemahnya law enforcement di negara kita. Ini hendaknya sudah harus disadari mengingat makin kuatnya interaksi tekanan jumlah penduduk, rendahnya produktifitas sektor pertanian, kemiskinan, dan menipisnya kohesifitas atau kegotongroyongan dalam masyarakat (social capital) sebagai unsur penting yang ikut memandu terjaminnya keberlanjutan alokasi sumberdaya. Pengalaman memperlihatkan peningkatan mobilitas dan kontrol negara yang berlebihan justru merusak kelembagaan lokal (the tragedy of unmanaged commons) yang pada gilirannya menghasilkan degradasi sistem produksi (Randhir and Lee, 1996). Oleh karena itu sudah saatnya ada pembaharuan yang sungguh-sungguh untuk lebih mendorong munculnya partisipasi dari masyarakat sekaligus memberikan tanggung jawab dan meningkatkan harga dirinya. Kebijaksanaan demikian memang memerlukan upaya yang penuh kesabaran, ketelitian, keikhlasan dan tidak mahal bila dibanding keuntungan yang diperoleh dalam jangka panjang.

Perekonomian Aspek perekonomian dapat memberikan pengaruh negatif terhadap pembangunan. Disini seolah-olah terjadi terjadinya feedback loop yang bersifat negatif sehingga hasil pembangunan bersifat menghambat pembangunan itu sendiri. Artinya, makin tinggi kemajuan dalam (ukuran) ekonomi akan makin tinggi pula permintaan untuk mengeksploitasi dan munculnya perilaku moral hazard lainnya. Ini menjadi permasalahan karena nampaknya (hingga sekarang) perilaku disiplin dari aktor-aktor ekonomi belum menjadi kesadaran atau etika. Nilai-nilai luhur bangsa yang menuntun kepada terciptanya harmoni di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti sikap tenggang rasa, kebersamaan, dan keseimbangan nampaknya tinggal semboyan saja dikalahkan oleh orientasi efisiensi. Ini juga tidak terlepas dari kebiasaan bangsa Indonesia yang cenderung cepat puas atau terlalu permissive terhadap aneka pelanggaran. Permasalahan ini muncul juga berkaitan dengan kecenderungan mengutamakan kepentingan jangka pendek di dalam melihat sistem produksi. Artinya, sistem produksi dianggap sebagai hal yang statis sehingga sama sekali tidak konsepsional menjalankannya. Disini pelaku ekonomi tidak berupaya melakukan learning process untuk mengembangkan sistem produksinya, tidak mau menerapkan hasil-hasil dari kegiatan riset dan pengembangan (R&D), bersikap tidak peduli dan lebih berorientasi rent seeker. Dalam keadaan seperti ini wajar saja produktifitas menjadi rendah, tidak mempunyai daya saing, dan akhirnya

17

tertinggal oleh pelaku ekonomi yang berpandangan jauh ke depan (Kotter, 1995). Fenomena ini telah sering diangkat oleh media massa dengan sasaran pengusaha-pengusaha muda atau kalangan kelas menengah ke atas. Keberadaan mereka umumnya masih jauh dari profesional seperti yang diharapkan, visinya masih dipertanyakan dalam rangka mengembangkan perekonomian nasional dan kemajuan bangsanya.

AGROFORESTRY Penerapan konsepsi agroforestry sudah lama dilakukan di Indonesia. Ia melekat dengan perkembangan pembangunan kehutanan, khususnya di Jawa, yang kecenderungannya makin tinggi dalam keterlibatan masyarakat di dalamnya. Upaya-upaya memformulasikan ke dalam aspek kebijaksanaan telah banyak mendapatkan perhatian melalui penelitian dan studi dari berbagai disiplin (Perum Perhutani, 1996). Berikut secara ringkas diuraikan sejarah dan perkembangan pembangunan kehutanan khususnya yang berkaitan dengan agroforestry.

Sejarah dan Perkembangan Pemanfaatan kayu jati secara intensif sudah terjadi sejak jaman VOC. Pohon jati di pantai utara pulau Jawa ditebang tanpa ada upaya penanaman kembali. Pada saat itu hutan jati masih dianggap kekayaan alam sehingga tidak perlu ada peremajaan. Baru ketika dirasakan ada kekurangan kayu, maka sejak tahun 1700-an pemerintah Belanda memerintahkan penanaman tanaman jati terutama di Pekalongan, Semarang dan Rembang. Teknik penanaman jati (alami atau permudaan buatan) dilaksanakan dengan menerapkan sistem tumpang sari, banjar harian, tanaman naungan (schaduwrijen cultuur) dan komplangan. Penanaman melibatkan tenaga penduduk setempat sebagai pengontrak atau buruh (selama dua tahun, memperoleh lahan garap 0.25 hingga 0.50 ha) agar supaya diperoleh beaya semurah-murahnya serta menghasilkan tegakan hutan yang tumbuh baik. Begitu kontrak selesai, pengelolaan hutan jati dikembalikan ke pemerintah Belanda. Cara penanaman demikian masih berlangsung ketika jaman pendudukan Jepang dengan menghilangkan beberapa ketentuan dalam tumpang sari, serta tidak ketat lagi dalam menerapkan kaidah-kaidah konservasi. Sistem tumpang sari ini masih berlangsung hingga tahun enam puluhan dimana peserta kontrak (disebut pesanggem) dibina oleh Perum Perhutani. Pada tahun 1972 diperkenalkan program prosperity approach. Tujuannya adalah untuk mengembalikan potensi dan fungsi hutan serta sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan dalam program ini antara lain Intensifikasi Massal (Inmass) 18

Tumpangsari, Tumpangsari model MAMA (Magelang Malang), dan program kerjasama Mantri Lurah (MALU). Output program ini adalah tercapainya mutu hasil hutan yang baik serta terbinanya kerjasama antara Perum Perhutani dengan jajaran masyarakat sekitar hutan. Dalam rangka lebih meningkatkan partisipasi masyarakat, pada tahun 1982, program ini disempurnakan lagi menjadi Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Gagasan PMDH menyentuh nuansa yang lebih mendasar, yaitu memadukan aspek sosial, ekonomi dan ekologi sehingga secara konsepsional mendukung keberlanjutan sumberdaya hutan. Disini peran masyarakat dilembagakan ke dalam Kelompok Tani Hutan (KTH), yang merupakan wadah komunikasi atau musyawarah antara Petani Hutan dengan Perum Perhutani. PMDH pada dasarnya adalah menempatkan masyarakat sekitar hutan sebagai subyek dan obyek pembangunan dalam arti yang sesungguhnya. Sebagai subyek, mereka berperan serta penting dalam sistem produksi hutan sementara sebagai obyek adalah menikmati hasil dari peran sertanya dalam bentuk kenaikan kesejahteraan.

MASUKAN

PENGELOLAAN HUTAN DAN LINGKUNGAN

PENINGKATAN DAN PELESTARIAN PRODUKTIFITAS

PERBAIKAN SOSIAL EKONOMI

A

B

C

E

PEMBINAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA DALAM BIDANG KEHUTANAN DAN NON KEHUTANAN D

Gambar 1. Dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan masyarakat hutan dalam program agroforestry (ABCE) dan social forestry (ABCDE) (Perum Perhutani, 1996) Penerapan sistem agroforestry kemudian diperkenalkan dalam PMDH sebagai alternatif sistem tumpang sari. Menurut definisi Perum Perhutani (mengambil definisinya King, direktur ICRAF5 yang pertama), agroforestry adalah model pembudidayaan tanaman hutan dan tanaman pertanian dan pakan pada lahan yang sama, dengan tujuan 5

International Center for Research in Agroforestry (ICRAF) 19

memperoleh hasil pertanian, pakan dan hasil hutan secara bersamaan dan berurutan. Beda antara keduanya adalah dalam jangka watu, tumpang sari berjangka waktu dua tahun sementara agroforestry dapat berlaku sampai akhir daur tanaman pokoknya. Bagi masyarakat, kontrak waktu yang lebih lama memberi peluang dan kepastian untuk meningkatkan kesejahteraannya. Penerapan model agroforestry kemudian lebih dikembangkan lagi dalam program Perhutanan Sosial (social forestry) (lihat Gambar 1), pada tahun 1984, dengan mengembangkan potensi lingkungan setempat, disertai input teknologi, yang sudah diuji secara akademis sehingga memungkinkan dikembangkan secara meluas. Nama baru ini, yaitu agroforestry teknologi bersifat lebih dinamis, menyediakan banyak alternatif pilihan tanaman (pokok atau pohon, pangan, sela, tepi, pagar sisipan, dan pengisi) yang berciri MPTS (multi purposes tree species), menerapkan paket teknologi pupuk dan pestidida, dan konservasi tanah, dan bahkan telah diterapkan pada lahan milik rakyat sendiri. Dan perkembangan agroforestry cenderung meningkat (Tabel 6), membutikan bahwa ada manfaat yang diperoleh masyarakat. Tabel 6. Perkembangan Pilot Project Agroforestry di Jawa 1986 hingga 1995 (Perum Perhutani, 1996)  Jumlah Kumulatif Tahun   Luas Pesanggem KTH Luas Pesanggem KTH  ha ha 1986 232 807 48 232 807 48 1987 1230 4632 230 1462 5439 278 1988 2930 9669 476 4392 15108 754 1989 7636 18871 822 12028 33979 1576 1990 8271 14210 885 20299 48189 2461 1991 6607 16347 915 26906 64536 3376 1992 5858 17574 627 32764 82110 4003 1993 4251 12339 736 37015 94449 4739 1994 5302 21600 1139 42317 116049 5878 1995 5259 21037 1077 47576 137086 6955 Jumlah 47576 137086 6955 Pertumbuhan 119 115 104 (persen) 

Agar program social forestry atau penerapan model-model agroforestry di dalamnya mencapai sasaran dan tujuannya, maka Perum Perhutani kemudian menerbitkan pedoman

20

yang bersifat praktis dan mudah dipahami (dalam persepsi yang sama) oleh masyarakat luas antara lain: 1. 2. 3. 4.

Pedoman Pelaksanaan Program Perhutanan Sosial (Juli 1988) Pedoman Perencanaan Perhutanan Sosial (PHT 55 Seri Produksi 32 tahun 1989) Pedoman Pelaksanaan Tumpangsari Insus (PHT 56 Seri Produksi 33 tahun 1989) Pedoman Agroforestry dalam Program Perhutanan Sosial (PHT 62 Seri Produksi 39 tahun 1990)

Agroforestry: Sebuah Solusi Agroforestry merupakan sistem budidaya tanaman oleh masyarakat yang di dalamnya memuat penerapan konsepsi secara ekonomi, sosial kelembagaan dan fisik lingkungan. Dalam sudut pandang konsepsi ekonomi, sistem budidaya ini adalah cerminan permintaan, penawaran sekaligus kepuasan dari petani penanamnya. Dalam sudut pandang sosial kelembagaan, ia merupakan resultan dari budaya yang terseleksi dari hasil evolusi sejak nenek moyangnya. Dan dari sudut pandang fisik lingkungan, ia merupakan sistem yang telah membuktikan stabilitasnya terhadap beraneka interaksi faktor yang menguntungkan maupun merugikan. Dengan ciri demikian, agroforestry menjadi bersifat khas mengikuti lokasi, waktu maupun masyarakatnya. Atas dasar konsepsi dia atas, maka penelaahan dan pengembangan agroforestry bukan lagi menjadi domain satu bidang ilmu saja. Ia harus multidisiplin agar diperoleh analisis sintesis secara akurat sehingga ketika dirumuskan ke dalam paket kebijaksanaan pembangunan telah memuat rincian yang memudahkan pelaksanaannya. Dan sebagai bagian dari kajian ilmu sosial, maka pendekatannya sangat mementingkan pengalaman empirik dibanding pendekatan teoritis. Budidaya sistem agroforestry mempunyai beragam strata tanaman yang sekaligus memperlihatkan interaksinya. Umumnya terdiri strata pohon tanaman tahunan (tinggi), tanaman perdu (sedang), dan tanaman semusim (rendah). Sistem ini, selain memberikan panenan yang relatif ajeg sepanjang tahun, juga di dalamnya tercermin minimisasi resiko ekonomi. Atas alasan ini, wajar petani yang mengusahakannya memperoleh penghasilan yang lumayan dan penuh kepastian. Fenomena ini tidak akan ditemukan pada petani monokultur. Garrity (1997) mengemukakan, khususnya pada keadaan fisik dan lingkungan yang bergunung di daerah tropika seperti halnya Jawa, konsepsi agroforestry sedang mengalami pergeseran paradigma. Pertama, penerapan teknologi konservasi secara mekanik misalnya penerapan teras, makin berkurang relevansinya dan berubah kepada pendekatan biologi atau 21

vegetatif. Ini dibuktikan dengan sering terbengkalainya proyek-proyek pembangunan teras karena masyarakat tidak mampu memelihara dan menguasai teknologinya. Kedua, bergesernya fokus kegiatan konservasi tanah dari upaya menurunkan erosi tanah menjadi upaya peningkatan produktifitas tanaman, sementara sasarannya pun lebih kepada tingkat petani (smallholder) dibanding watershed. Yang diinginkan petani adalah seperangkat pilihan solusi yang praktis dibanding ‘wonder’ solution meskipun secara teoritis memuaskan. Ketiga, penerapan tanaman pokok (atau pagar) bergeser dari tanaman leguminose (yang sering kali dipangkas) menjadi tanaman lain, yang local adaptive, kualitas benih bagus, punya nilai ekonomi, dan memerlukan tambahan pupuk inorganik dalam pertumbuhannya. Sudah tidak tepat lagi mengandalkan pupuk alami dari pruning bila diinginkan produktifitas tanaman yang tinggi. Seiring dengan tekanan yang dihadapi pulau Jawa, pengembangan agroforestry sekalipun cukup menjanjikan hasilnya, hendaknya dilakukan secara hati-hati dan mengikuti kaidah-kaidah ilmiah sekaligus memperhatikan pergeseran paradigma di atas. Peran masyarakat menempati penting karena mereka menyimpan pengetahuan lokal dan ketrampilan spesifik yang tentu sangat dibutuhkan. Mereka harus mendapat kesempatan seluas-luasnya (secara otonom) untuk mengembangkan pengetahuannya sehingga mereka mempunyai kepercayaan diri untuk memelihara dan meningkatkan sistem produksinya. Peran kaum wanita menjadi komponen penting dalam agroforestry karena keberadaan dan jumlahnya masih cukup banyak yang mengandalkan sektor pertanian. Kaum wanita harus diberi insentif untuk mengembangkan kemampuannya dengan mengagendakan sendiri perubahan yang dikehendaki. Hambatan yang selama ini dirasakan, yaitu akses dan kontrol terhadap pasar (Saito and Spurling, 1992;p.13) harus dibuka lebar-lebar dan transparan yang diikuti pendefinisian hak yang adil. Dengan insentif ini, khususnya pekerja wanita sektor pertanian, terhindar dari penggunaan SDA secara berlebihan, karena pasar mampu memberi keuntungan yang pantas untuk diri dan keluarganya. Ada suatu fenomena lain yang menarik meskipun perlu dilihat lebih detil lagi. Di Jawa Tengah, tepatnya Kabupaten Banyumas, ketika harga cengkeh jatuh umumnya petani kemudian menebangnya. Keadaan ini sangat mencemaskan dilihat dari stabilitas ekosistem karena penebangannya bisa sangat luas. Kecemasan itu nampak tidak ada lagi karena petani telah menggantinya dengan tanaman Albizzia. Fenomena ini menunjukkan bahwa sekalipun terjadi perubahan tatanan ekonomi (tata niaga cengkeh oleh BPPC) namun karena masyarakat mengetahui (melalui tatanan budaya) tanaman penggantinya, maka sistem produksinya masih terus berlanjut. Masih belum diketahui bagaimana wilayah lainnya.

22

Pada akhirnya agroforestry dapat berfungsi mempertahankan stabilitas lingkungan pulau Jawa. Kebijaksanaan ini akan dapat menciptakan kantong-kantong lingkungan stabil yang terkoordinasi sehingga berfungsi sebagai penyangga dari kehidupan di atasnya dan menyediakan sumber-sumber mata air dan mata pencaharian penduduk sekitarnya. Kebijaksanaan juga diarahkan kepada penyelamatan hutan Jawa yang saat ini tinggal sembilan persen dari luas daratan (World Bank, 1994)

PENUTUP 1. Dorongan transformasi berperan dalam meningkatkan pembangunan pulau Jawa yang ditandai oleh industrialisasi dan berkembangnya sektor jasa di wilayah perkotaan, yang diikuti dengan meningkatnya jumlah pekerja di sektor tesebut dan menurunnya jumlah PSP. 2. Penurunan PSP wanita lebih rendah dibanding PSP laki-laki, artinya kaum wanita lebih suka menetap di desa dan merelakan suami dan famili laki-lakinya bekerja di luar sektor pertanian. Dalam keadaan demikian sangat mungkin terjadinya feminisasi kemiskinan karena kebanyakan mereka cenderung bergumul dengan SDA dalam lingkungan sanitasi yang buruk. 3. Ancaman atau tantangan yang dihadapi pulau Jawa dapat dilihat dari aspek (i) SDA yang ditandai dengan polusi dan tekanan dalam suplai air, (ii) sosial kelembagaan, dengan menipisnya kohesifitas di dalam masyarakat, dan (iii) perekonomian, ditandai oleh moral hazard dan kecenderungan mengedepankan kepentingan sesaat. 4. Agroforestry merupakan solusi yang mampu menjawab tiga tantangan di atas, dengan cara (i) meningkatkan daya dukung lingkungan, (ii) membangun kembali indigenous institutions dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam aktifitas pembangunan, dan (iii) menekankan kepada keberlanjutan sistem produksi dan manfaatnya.

UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih dan penghargaan disampaikan kepada Ir. Mulyadi Bratamihardja, Msc., Social Forestry Specialist ICRAF Bogor, yang telah menyediakan waktu berdiskusi dan memberikan pemikiran dalam tulisan ini.

23

DAFTAR PUSTAKA Ausy, R. M. 1995. Diverging development...In: BPS. 1992a. Proyeksi Penduduk Indonesia Per Kabupaten/Kotamadya 1990-2000. BPS Pusat Jakarta. BPS.

1992b. Pendapatan Regional Propinsi-Propinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha, 1983-1990. BPS Pusat Jakarta.

BPS. 1995. Statistik Lingkungan Hidup. BPS Pusat Jakarta. BPS. 1996a. Indikator Ekonomi 1996, beberapa bulan. BPS Pusat Jakarta. BPS. 1996b. Statistik Kesejahteraan Rakyat 1995. BPS Pusat Jakarta.. BPS.

1996c. Pendapatan Regional Propinsi-Propinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha, 1993-1995. BPS Pusat Jakarta.

Garrity, D. P. 1997. Improve agroforestry technologies for conservation farming: pathways toward sustainability. IBSRAM (International Board for Soil Resources and Management) Proceeding No 14. International Workshop on Conservation Farming for Sloping Uplands in Southeast Asia. Bangkok, Thailand. 145-168 Kotter, J. P. 1995. Lifetime learning: the new educational Imperative. The Futurist. November-December 1995. 27-29 McNeely, J. 1992. Nature and culture: conservation needs them both. Nature & Resources, 28(3):37-43. Perum Perhutani. 1996. Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa. Perum Perhutani (In Press), Jakarta. Randhir, T. O. and J. G. Lee. 1996. Managing local commons in developing economies: an institutional approach. Ecological Economics. 16(1):25-34. Saito, K. A. and D. Spurling. 1992. Developing Agricultural Extention for Women Farmers. World Bank Discussion Papers No 156. World Bank, Washington, D.C. 105p. Sakernas. 1991-1994. Keadaan Angkatan Kerja Nasional. Nasional.. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

Survey Angkatan Kerja

Todaro, M. 1995. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (Terjemahan). Jilid I. Edisi keempat. Erlangga. 347p. World Bank. 1990. Indonesia: Sustainable development of Forest, Land, and Water. World bank, Washington DC. 190p. World Bank. 1994. Indonesia Environment and Development: Challenges for the Future. For official use only. Washington, D.C. 292p World Bank. 1996. World Development Report. World Bank-The Johns Hopkins Univ. Press, Baltimore-London.

24

25

Related Documents

Prisma
December 2019 26
Prisma
July 2019 26
Tekanan Dan Soal
May 2020 18

More Documents from ""