Print Paper Perekonomian Indonesia.docx

  • Uploaded by: Linda Udayani
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Print Paper Perekonomian Indonesia.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,569
  • Pages: 12
Perekonomian Indonesia SAP 7

Kelompok 6 I Wayan Aditya Paramarta

1607532089

Dewa Gede Edwin Oktaviansa

1607532091

I Made Dany Yadnyapawita

1607532095

JurusanAkuntansi FakultasEkonomi Dan Bisnis UniversitasUdayana 2018

1

Kebijakan Pangan dan Sektor Pertanian Pada Masa Penjajahan Belanda System perekonomian Belanda yakni kapitalistik, perkembangan di sector pertanian diserahkan sepenuhnya pada permintaan dan penawaran. Belanda tidak punya lahan yang cukup luas untuk pertanian, di Indonesia wilayah pertanian sangat luas. Perkembangan sector ini atas kekuatan pasar terutama subsector perkebunan yang sebagai perusahaan besar swasta yang hasilnya diekspor dari daerah jajahan ke pasar di Eropa sebagai bahan mentah untuk perkembangan industrinya. Teknologi perkebunan diserahkan agar secara mandiri dikembangkan oleh perusahaan perkebunan besar. Beras adalah bahan makanan pokok di Indonesia dan pegawai pemerintahan jajahan serta pegawai swasta perkebunan besar dibayar dengan beras sebagai bagian dari gajinya. Pemerintah Belanda mempunyai kepentingan agar harga beras selalu murah. Dengan politik harga beras murah ini dapat dikatakan bahwa beras adalah komuditas politik disamping komuditas ekonomi. Tahun 1911 ketika penghasilan petani jatuh akibat depresi dunia Belanda menjalankan kebijaksanaan Olie Vlek yakni satu program penyuluhan percontohan yang bertujuan untuk menyebarluaskan caracara bertani yang lebih baik. Namun sangat terbatas jangkauannya. Tahun 1933 impor dibatasi dengan cara lsensi dan harga-harga diawasi langsung oleh Pemerintah. Pemerintah berusaha menggalakkan perdagangan beras antar provinsi dengan tujuan agar daerah deficit beras di luar Jawa memperoleh tambahan beras dari daerah surplus seperti Jawa, Bali dan Sulawesi Selatan. Tahun 1939 perlu dibentuk suatu badan pemerintahan khusus untuk melaksanakan dan mengawasi kebijaksanaan pemerintah yang sudah menjadi begitu luas dalam pemasaran beras. April 1939 dibentuk Stitchting Het Voedingsmidlenfons (VMF). Merupakan badan pengendalian dibidang pangan yang sangat penting dalam masa orde baru. Pendirian VMF merupakan cerminan pandangan pemerintahan Belanda dan pemerintah Indonesia bahwa masalah beras sangat penting dan memerlukan pengaturan khusus dari pemerintah.

2

Jepang memasuki Indonesia dan mengambil alih VMF sampai akhir Perang Dunia II. Jepang mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan militer. Perekonomian Indonesia sehabis perang masih tidak banyak berbeda dengan perekonomian

sebelum

perang.

Ekspor

hasil-hasil

pertanian

seperti

kopra,karet,the,kopi dan tembakau tetap merupakan sumber devisa terbesar sampai akhir tahun 1960an. Kebijakan Pangan pada Pemerintahan Orde Lama Dalam subsector tanaman pangan (beras), kebijaksanaan yang sebelumnya ditempuh Belanda yang terutama sekali untuk menjaga stabilitas harga beras selama masa kekurangan maupun kelebihan, dialihkan menjadi kebijaksanaan yang ditujukan untuk mempertahankan penghasilan tertentu bagi mereka yang diserahi tugas mengelola administrasi dan keamanan Negara muda ini (pegawai negeri sipil dan militer). Menurut Timmer proses politisi system pemasaran beras ini bertolak belakang dengan kenyataan bahwa beras sama sekali tidak dianggap barang politik oleh produsennya (para petani padi). Kepentingan utama petani padi adalah penghasilannya sendiri. Di bidang produksi, beberapa program swasembada dilaksanakan dalam tahun 50an dan 60an. Terbatasnya devisa untuk membeli beras impor guna mengisi kekurangan produksi dalam negeri melatar belakangi masa ini. Program Padi Sentra dimulai 1959 yang bertujuan mencapai swasembada sebelum 1963 adalah satu program yang gagal. Mewariskan satu contoh organisasi bagi BUUD dan KUD serta BRI unit desa dalam fungsinya sebagai saluran pemasaran bagi sarana produksi dan hasil produksi pertanian. Pada tahun 1963 Presiden Sukarno memulai gerakan mengganti beras dengan jagung. Perubahan jatah pns dan militer menjadi 75% beras dan 25% jagung. Program ini menimbulkan reaksi negative dari kalangan masyarakat, sehingga kemudian dihentikan. Pada tahun 1963 dilakukan penyuluhan oleh mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang menjadi Institut Pertanian Bogor, 3

merupakan sumber inspirasi bagi berkembangnya program Bimas (Bimbingan Massal) yang memberikan kerangka dasar organisasi program intensifikasi produksi padi yang dilaksanakan secara besar-besaran selama 10 tahun pertama Orde Baru. Di mulai 1964 dan menjadi terkenal karena semboyan Panca Usaha, yakni 5 cara ke arah usaha tani yang baik, penggunaan bibit pilihan, pupuk dan pestisida, cara bercocok tanam yang baik dan koperasi yang kuat. Mahasiswa penyuluh hidup dan bekerja bersama dengan petani di desa. Bidang tanggung jawab mahasiswa dibatasi dengan jelas sehingga menumbuhkan hubungan yang dekat dan kepercayaan petani. Pemerintahan orde baru mulai memegang kekuasaan, sector perberasan di Indonesia berada dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Produksi beras di Jawa hanya 2% lebih tinggi dari tahun 1954: tingkat produksi yang terakhir ini hanya kurang lebih sama dengan tingkat produksi sebelum perang Dunia II sehingga mengakibatkan makin membesarnya deficit beras bagi Negara. Tahun 1960an lebih dari satu juta ton beras diimpor setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Salah satunya titik cerah dengan situasi pangan adalah adanya kemungkinan menaikkan produksi beras melalui program Bimas. Kebijakan Pangan dan Sektor Pertanian pada Pemerintahan Orde Baru Sejak awal pemerintahan Orde Baru menyadari pentingnya penyediaan beras yang cukup. Dalam usaha memperbaiki pelaksanaan program Bimas, beberapa kebijaksanaan baru diambil untuk mempermudah pembiayaan sarana produksi:BRI memerlukan bantuan dalam usahanya memenuhi kebutuhan dana para petani. Pertengahan 1966, Kolognas suatu badan yang dibentuk untuk menangani masalah logistic distribusi barang-barang kebutuhan pokok, diberi tugas tambahan untuk menyalurkan dana bagi pengikut Bimas. Devisa yang tersedia untuk mengimpor pupuk masih sangat terbatas dan system distribusi masih kurang efisien. Target Bimas ditentukan pada tingkat yang cukup optimis dapat dicapai. Impor beras juga terhambat, tidak memncapai tingkat yang diperlukan. Bulognas kemudian dibubarkan

4

pada tahun 1967 diganti dengan Bulog, sebuah badan yang mengelola persediaan pangan dan bertanggungjawab langsung kepada presiden. Tahun 1967 panen ternyata gagal dan produksi menurun drastis akibat musim kering yang melanda Asia Tenggara. Harga beras melonjak 300% dalam tahun itu. Terjadi krisis beras. Sebuah perusahaan swasta, Mantrust mendirikan pabrik beras sintetis, bernama beras Tekad, terbuat dari ramuan tepung gandum yang dicetak menyerupai beras. Usaha ini gagal karena lebih menyerupai bubur daripada nasi. Tahun 1968 diadakan perubahan kebijaksanaan beras pemerintah dan perubahan ini merupakan awal kebijaksanaan harga produksi dan mengimpor beras yang cukup untuk memelihara keseimbangan penawaran dan permintaan pada tingkat harga yang stabil. Dicetuskan “rumus tani” yang dijadikan pegangan dalam kebijaksanaan harga. Program Bimas terus dilaksanakan dan disempurnakan. Pemerintah menerapkan Bimas Gotong Royong disamping Bimas biasa pada awal musim tanam 1968. Pemberian kredit dan distribusin pupuk dan pestisida dari luar negeri melalui kepala desa. Dana, bibit dan nasehat kepada para penyuluh juga disediakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Bulog membayar perusahaan asing atas pelaksanaan program ini dan nantinya bulog menerima pembayaran dalam bentuk gabah melalui para kepala desa. Kelemahan pada Bimas Gotong Royong merupakan pelajaran yang sangat berguna untuk memperbaiki system Bimas yang terus dilaksanakan. Meluasnya teknologi bibit unggul, program Bimas dikaitkan dengan konsep unit desa yang ditunjang dengan system kredit melalui bank keliling BRI yang menggunakan tenaga terlatih. System distribusi pupuk dibuka untuk usaha swasta dan perusahaan Negara, Pertani dan Pusri, sehingga menjadi lebih kompetitif. Repelita I, II, III … Repelita V. menutup kekurangan Bimas dan melalukan perbaikan program Bimas dan program yang menyangkut produksi beras lainnya. Bulog bertugas untuk mengelola buffer stock dan telah berhasil melaksanakan

5

kebijaksanaan harga yang stabil. BUUD bertugas ikut serta dalam harga minimum dengan cara memberikan persaingan terhadap para pedagang dibidang pembelian padi petani. Program intensifikasi diperluas tidak saja untuk padi tetapi juga jagung, kacang tanah, dan kedelai disamping juga dilaksanakan program ekstensifikasi melalui perluasan area tanam. Pemerintah juga melaksanakan program Keluarga Berencana Nasional dengan tujuan mengurangi tingkat fertilisasi penduduk, dengan demikian pula laju pertumbuhan kebutuhan manusia akan bahan makanan beras juga dapat dikekang. Tahun 1984 Pemerintah Indonesia telah menyatakan tingkat swasembada beras tercapai. Periode

setelah

swasembada

beras.

Perekonomian

Indonesia

malah

mengalami kemajuan pesat yang semu, sehingga akhirnya dilanda krisis pada tahun 1997/8. Sampai dengan pergantian pemerintahan ke Presiden Habibie, Presiden Gus Dur, dan Presiden SBY, kebijaksanaan pangan telah dikelabui oleh kebijaksanaan perbaikan ekonomi masa krisis Kondisi ini diperburuk oleh adanya konversi lahan subur di Jawa, sehingga pertumbuhan produksi padi agak melandai. Lahan sawah merupakan sumber utama produksi padi. Potensi lainnya ialah peningkatan mutu intensifikasi melalui penggunaan varietas unggul desertai dengan pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT). Penerapan kebijakan ini yang didukung oleh pembangunan dan renovasi infrastruktur disertai penyediaan sumber modal agar memungkinkan petani mengadopsi teknologi maju telah mengakibatkan 4 tahun terakhir (2005-2008) produksi padi menaik dengan persentase kenaikan yang meninggi dari tahun ke tahun. Tahun 2008 produksi tanaman padi menembus angka 60 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) pertama dalam sepanjang sejarah Indonesia. Tahun 2008 Indonesia dikatakan Negara yang berswasembada beras. Pencapaian status swasembada beras tahun 2008 terasa sangat istimewa karena pada tahun itu dunia tengah mengalami krisis pangan. Stok beras dalam negeri pun bertambah.

6

Kebijakan Pembangunan Tanaman non Pangan Tanaman non pangan meliputi mangga, jeruk, teh, tembakau, kelapa, kelapa sawit, panili, kakao, karet dsb. Tanaman pangan disebut tanaman tahunan, tanaman perkebunan, tanaman pohon, tanamas kas. Pada jaman Belanda diserahkan kepada perusahaan besar perkebunan. Tumbuh diladang kering dari penjajahan Belanda, akhir pemerintahan Sukarno dan awal pemerintahan Suharto lading rakyat terlantar kosong dan tidak ditanami. Pertengahan 1970an baru tanaman pangan memperoleh perhatian. Direktorat Tanaman Perkebunan (non pangan) mereka mengembangkan bibit unggul dan tanaman perkebunan baru diantaranya tanaman kakao, panili, jeruk, kelapa, kelapa sawit dsb. Bibit unggul ini juga disuntikkan kepada masyarakat dengan bantuan kredit sehingga dikenal dengan adanya RPTE (Rencana Pengembangan Tanaman Ekspor). Untuk didaerah Bali dan daerah lainnya, tanaman perkebunan yang menonjol adalah cengkeh dan panili. Petani berlomba-lomba menanamnya. Pendekatannya hampir sama dengan bidang beras, yakni induced technology dengan dan tanpa kredit yakni pendekatan produksi. Tanaman non pangan contohnya adalah tembakau. Kita lihat diera saat ini, tembakau banyak diproduksi oleh banyak pabrik untuk pembuatan rokok. Biaya ekonomi dan sosial yang ditimbulkan akibat konsumsi tembakau terus meningkat dan beban peningkatan ini sebagian besar ditanggung oleh masyarakat miskin. Angka kerugian akibat rokok setiap tahun mencapai 200 juta dolar Amerika, sedangkan angka kematian akibat penyakit yang diakibatkan merokok terus meningkat. Di Indonesia, jumlah biaya konsumsi tembakau tahun 2005 yang meliputi biaya langsung di tingkat rumah tangga dan biaya tidak langsung karena hilangnya produktifitas akibat kematian dini, sakit dan kecacatan adalah US $ 18,5 Milyar atau Rp 167,1 Triliun.[i] Jumlah tersebut adalah sekitar 5 kali lipat lebih tinggi dari pemasukan cukai sebesar Rp 32,6 Triliun atau US$ 3,62 Milyar tahun 2005 (1US$ = Rp 8.500,-)

7

Jumlah perokok di seluruh dunia kini mencapai 1,2 milyar orang dan 800 juta diantaranya berada di negara berkembang. Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah Cina dan India. Peningkatan konsumsi rokok berdampak pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok dan bertambahnya angka kematian akibat rokok. Rokok membunuh 1 dari 10 orang dewasa di seluruh dunia, dengan angka kematian dini mencapai 5,4 juta jiwa pada tahun 2005. Tahun 2030 diperkirakan angka kematian perokok di dunia akan mencapai 10 juta jiwa, dan 70% diantaranya berasal dari negara berkembang. Saat ini 50% kematian akibat rokok berada di negara berkembang. Bila kecenderungan ini terus berlanjut, sekitar 650 juta orang akan terbunuh oleh rokok, yang setengahnya berusia produktif dan akan kehilangan umur hidup (lost life) sebesar 20 sampai 25 tahun. Peran Sektor Pertanian Dengan adanya pembangunan ekonomi peran sector pertanian biasanya mengalami penurunan dibarengi dengan makin meningkatnya sector lain seperti industry dan jasa. Sector pertanian pada umumnya memgang peran yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi satu Negara. Peran tersebut antara lain : 1. Menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang kianmeningkat. 2. Meningkatkan permintaanakan produk industry dan dengan demikian mendorong keharusan diperlusnya sector sekunder dan tersier. 3. Menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk impor barang modal bagi pembangunan melalui ekspor hasil pertanian. 4. Meningkatkan pendapatan desa untuk dimobilisasi oleh pemerintah (tabungan). 5. Memperbaiki kesejahteraan masyarakat pedesaan.

8

Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia Menurut Chenery, perubahan struktur ekonomi sebagai transformasi struktur yang diartikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu sama lain dalam komposisi Agregat Deman (AD) dan Impor (X-M). Agreat Supply (AS) yang merupakan produksi dan penggunaan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal untuk mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berlanjut. (Tambunan, 2003). Teori umum yang digunakan dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi, yakni dari Arthur Lewis tentang migrasi sedangkan Hoilis Chenery tentang teori transportasi struktural. Pada dasarnya teori Lewis membahas tentang proses pembangunan ekonomi yang terjadi didaerah pedesaan dan daerah perkotaan. Lewis juga mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi 2 yaitu perekonomian tradisional di pedesaan yang di dominasi sector pertanian dan perekonomian modern di perkotaan dengan industri sebagai sector utama. Bentuk perekonomiannya masih bersifat tradisianal dan sub sistem, dan pertumbuhan penduduk yang tinggi maka terjadi kelebihan Supply tenaga kerja. A.

Struktur Perekonomian Indonesia Analisis struktur perekonomian Indonesia menunjukan bahwa perekonomian Indonesia masih menjadi tulang punggung perekonomian Negara. Perekonomian Indonesia itu bisa di tinjau dari keuangan dan bisa juga ditinjau dari demokrasi pengambilan keputusan dan tinjauan makro sektoral. Jadi secara keseluruhannya struktur perekonomian Indonesia masih berubah-ubah dimasa orde baru, secara makro sektoral dan birokrasi.

9

B.

Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Makro-Sektoral Berdasarkan tinjauan makro-sektoral perekonomian suatu negara dapat berstruktur agraris, industri, atau niaga. Hal ini tergantung pada sektor apa/mana yang dapat menjadi tulang punggung perekonomian negara yang bersangkutan. Dilihat secara makro sektoral dalam bentuk produk domestik bruto maka struktur perekonomian Indonesia tahun 1990-an masih agraris, namun sekarang sudah berstruktur industri. Struktur perekonomian Indonesia yang industrialisasi pada saat ini sesungguhnya belum mutlak, tetapi masih sangat dini. Industrialisasi di Indonesia barulah berdasarkan kontribusi sektoral dalam membentuk PDB atau pendapatan nasional. Industrialisasi yang ada belum didukung dengan kontribusi sektoral dalam penerapan tenaga dan angkatan kerja. Apabila kontribusi sektoral dalam menyumbang pendapatan dan dalam penerapan tenaga kerja diperbandingkan, maka struktur ekonomi Indonesia ternyata masih dualisme. Boeke seorang ekonom Belanda mengatakan bahwa perekonomian Indonesia berstruktur dualistis. Sebab dari segi penyerapan tenaga kerja dan sumber kehidupan rakyat (53,69%), sedangkan sektor industri pengolahan hanya menyerap 10,51% tenaga kerja.

C.

Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Keruangan Pergeseran

struktur

ekonomi

secara

makro-sektoral

senada

dengan

pergeserannya dengan keruangan, ditinjau dari sudut pandang keruangan, struktur perekonomian telah bergeser dari struktur pedesaan menjadi struktur perkotaan. Hal ini dapat kita lihat dan kita rasakan sejak Pelita I hingga era reformasi sekarang ini. Kemajuan perekonomian di kota-kota jauh lebih besar dibandingkan dengan di 10

pedesaan., hal ini disebabkan pembangunan industri-industri pengolahan di daerah perkotaan dan juga makin berkembangnya sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi. Dengan demikian jumlah penduduk yang tinggal di kawasan pedesaan menjadi lebih sedikit, hal ini bukan semata-mata karena perpindahan pendudik dari pedesaan ke kota untuk bekerja di pabrik-pabrik tetapi juga karena mekar dan berkembangnya kota-kota khusunya di pulau Jawa sehingga terjadi penumoukan penduduk disini. Disamping itu juga kehidupan masyarakat sehari-hari semakin modern yang tercermin dari perilaku konsumtif masyarakat dan juga penerapan teknologi modern untuk proses produksi oleh perusahaan-perusahaan.

D.

Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Penyelenggaraan Kenegaraan Ditinjau dari sini maka struktur perekonomian dapat dibedakan menjadi struktur etatis, egaliter, atau borjuis. Di Indonesia tidak cocok menggunakan struktur ekonomi

borjuris,

karena

struktur

ekonomi

borjuris

menimbulkan

krisis

perekonomian di Indonesia. Sebab, hanya kalangan pemodal dan usahawan saja yang mengendalikan sektor utamanya. Oleh karena itu, Indonesia lebih cocok menggunakan struktur ekonomi legaliter, karena struktur ini dianggap lebih efektif dalam membangun perekonomian di Indonesia. Sebab melibatkan seluruh penggerak roda perekonomian yang akan membawa perekonomian Indonesia menjadi lebih baik. E.

Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Birokrasi Pengambilan Keputusan Dilihat dari sudut tinjauan birokrasi pengambilan keputusan, struktur ekonomi dapat dibedakan menjadi struktur ekonomi yang terpusat (sentralisasi) dan tidak terpusat (desentralisasi). Dalam struktur ekonomi yang sentralistis pembuatan 11

keputusannya lebih banyak ditetapkan oleh pemerintah pusat atau kalangan atas pemerintahan. Sedangkan struktur ekonomi yang desentralisasi, pembuatan keputusannya ditetapkan oleh Pemerintah daerah atau kalangan pemerintahan dibawah. Struktur birokrasi pengambilan keputusan yang sentralistis terpelihara rapi selama pemerintahan orde baru. Struktur perekonomian yang etatis dan sentralistis berkaitan erat. Pemerintah Pusat menganggap bahwa Pemerintah Daerah belum cukup mampu untuk diserahi tugas untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Namun demikian sejak awal pembangunan jangka panjang tahap kedua struktur perekonomian yang etatis dan sentralistis tersebut secara berangsur mulai berkurang kadarnya, dan keinginan untuk melakukan desentralisasi dan demokratisasi ekonomi makin besar. Referensi : Nehen,I K.2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar. Udayana University Press Hall Hill. 1996. Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966. Yogyakarta: PAU Ekonomi UGM http://mettadevi96.blogspot.com/2015/03/tugas-perekonomian-indonesia.html https://prezi.com/9k1wtsrfec4n/kebijakan-pembangunan-pangan-dan-pertanian/

12

Related Documents


More Documents from "Agung Prasaja"